Minggu, 18 Mei 2014

Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat dan Injil (dan Al-qur'an) yang diturunkan kepada mereka dari Rabb mereka, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka. Diantara mereka ada golongan yang pertengahan. Dan alangkah buruknya apa yang telah dikerjakan oleh kebanyakan mereka. (Q.S. Al-Maidah:66)
Satu-satunya sumber pengetahuan adalah pengalaman

Minggu, 04 Mei 2014

HARI RAYA BERSAMA RASULULLAH SAW



HARI RAYA BERSAMA RASULULLAH SAW
Hari raya dinamakan dengan 'id yang berarti berulang dari waktu ke waktu, bisa minggu demi minggu, bulan demi bulan atau tahun demi tahun, karena ia selalu dirayakan berulang-ulang untuk mengenang masa-masa indah dan bahagia. Setiap ummat tentu memiliki hari raya yang selalu mereka rayakan pada saat-saat tertentu untuk mengenang masa indah yang pernah terjadi, demikian juga dengan umat Islam, Allah telah memberikan kepada kita dua hari raya yang selalu kita rayakan setiap tahunnya, yaitu hari raya Idul Fithri dan Idul Adha, tidak ada hari raya lain yang dikenal selain kedua hari raya ini. Rasulullah ` memberikan tuntunannya kepada kita bagaimana sebaiknya kita merayakan hari raya dengan menggabungkan antara ungkapan syukur, zikir, takbir untuk mengagungkan kebesaran Allah dan bergembiraria dengan bentuk hiburan dan permainan yang mubah yang tidak bertentangan dengan agama, karena Islam agama yang sesuai dengan fitrah manusia.
Pertama, mengumandangkan takbir semenjak matahari terbenam pada malam 'idul fitri sampai dilaksanakannya shalat 'id, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah atas nikmat ibadah puasa yang telah kita jalani selama sebulan, karena melalui ibadah ini dosa-dosa yang pernah kita lakukan selama sebelas bulan dihapuskan. Allahl berfirman:
"…Agar kalian bertakbir atas apa yang Ia tunjukan kepadamu dan agar kalian bersyukur" (QS al-Baqarah:185)
Kedua, disunnahkan pada hari raya mandi lalu memakai pakaian yang bagus dan wangi-wangian sebagai tanda rasa syukur kepada Allah dan untuk menampakkan nikmat-Nya, karena hari ini merupakan hari yang penuh kebahagian. Ibnu Qayyim berkata: "Rasulullah ` memakai pakaian terbagus yang beliau miliki ketika akan pergi melaksakan shalat 'idul fithri dan 'idul adhha, beliau memiliki baju khusus untuk hari raya" (Zadul Ma'ad:1/425).
Ketiga, melaksanakan shalat dua raka'at. Ibnu Abbasa berkata:
"Kami mengikuti shalat 'id bersama Nabi saw, Abi Bakar, Ummar dan Usman semuanya shalat sebelum khutbah…" (HR. Muslim).


"Barangsiapa tertinggal shalat 'id hendaklah shalat empat raka'at" (Fathul Bahri:2/611) dan diriwayatkan dari Anas, jika ia tidak mengikuti shalat 'id bersama imam di Bashrah, maka ia mengumpulkan keluarganya dan para budaknya lalu shalat dua raka'at dengan bertakbir.(Al-Mushannaf:2/183)


Keempat, disunnahkan pergi menuju lokasi shalat 'id dengan berjalan kaki karena Rasulullah ` tidak pernah pergi menuju ke lokasi shalat 'id atau shalat janazah dengan berkendara (Ibnu Majah). Ali bin Abi Thaliba berkata:
"Disunnahkan mendatangi shalat 'id berjalan kaki" (HR. Turmizi) Turmizi berkata: Hadis ini hasan dan banyak ulama yang mengamalkannya.
Kelima, sebaiknya sholat ‘id dilaksanakan di masjid seperti yang dikatakan Mazhab Syafi'i mensyaratkan pelaksanaan shalat 'id di tanah lapang jika masjid sempit sehingga tidak dapat menampung jama'ah, namun jika masjid luas, maka pelaksanaan shalat 'id tanah lapang termasuk menyalahi keutamaan, karena para imam selalu shalat 'id di Makah di masjid dan masjid adalah tempat yang paling mulia dan suci. (Al-Majmu':5/6-7)
Keenam, kaum wanita dan anak-anak dianjurkan pergi ke tempat diselenggarakannya shalat 'id baik gadis, orang tua dan wanita yang haid. Bagi wanita haid agar menjauh dari lokasi shalat dan ikut mengumandangkan takbir bersama serta mengharap berkah hari ini. Ummu Atiyah berkata:
Ketujuh, disunnahkan menyantap makanan sebelum pergi shalat 'idul fithri dan setelah shalat 'idul adhha. Dari Buraidah, katanya:
Kedelapan, disunnahkan pergi dan pulang pada shalat 'id melalui jalan yang berbeda. Dari Abu Hurairahakatanya:
"Rasulullah ` jika keluar pada hari raya kembali melalui jalan yang berbeda dengan jalan yang dilalui ketika pergi" (HR. Turmizi)


Kesembilan, diperbolehkan mengisi hari raya dengan bentuk hiburan dan permainan yang mubah dan tidak mengandung kemaksiatan untuk menambah suasana kegembiraan pada hari ini. Imam Bukhari menulis sebuah bab di dalam kitabnya dengan judul: "Bab sunnah hari raya 'idul fithri dan 'idul adhha bagi ummat Islam" dalam bab ini beliau membawakan dua buah hadis, salah satunya sebuah hadis ang diriwayatkan oleh Aisyaha ia berkata:
Sepuluh, Diperbolehkan mengucapkan selamat hari raya. Ibnu Hajar berkata dalam Fathul-Bahri: "Kami meriwayatkan dalam Al-Mahamaliyah dengan isnad yang baik dari Jubair bin Nafir: "Para sahabat Rasulullah jika bertemu saling mengucapkan kalimat: "Taqabalallahu minna waminkum" semoga Allah menerima ibadah kita." (Fathul-Bahri 2/575)

AMALAN PELEBUR DOSA



Amalan Pelebur Dosa
[29/05/2007, 16:44:04]
Tumpukan dosa yang menggumpal bukan berarti tak bisa dihapus. Beragam kebaikan yang dilakukan dengan ikhlas mampu meleburnya.
Kesalahan bisa dilakukan siapa saja. Tak terkecuali ahli ibadah sekalipun. Karenanya, orang yang terbaik bukan mereka yang tak pernah terjerembab dalam kekeliruan. Tapi, mereka yang selalu menyadari kesalahannya, lalu bertaubat. Dan tidak menunda walau sedetik pun. “Langsung bertaubat dari dosa merupakan keharusan yang tak bisa ditunda-tunda. Jika taubat ditunda, ia akan memunculkan durhaka lain akibat penundaan itu,” kata Ibnu Qayyim al-Jauziyah.
Begitu pentingnya taubat karena ia adalah gerbang segala ampunan. Ia adalah wujud pengakuan hamba atas dosanya, dan jembatan pengakuan Allah bagi ampunan-Nya. Taubatlah yang menjadi kunci kebaikan untuk menghapus dosa kesalahan seorang hamba. Allah berfirman, “…Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih, maka kejahatan mereka diganti dengan kebaikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Furqan: 70).
Setelah gerbang ampunan terbuka, ibadah berikutnya yang bisa melebur dosa adalah sedekah, baik yang dilakukan dengan terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Allah berfirman, “Jika kamu menampakkan sedekah(mu) maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagi kamu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu, dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Baqarah: 271).
Rasulullah saw bersabda, “…sedekah itu mematikan (melebur) kesalahan dan takwa itu membunuh kesalahan seperti air memadamkan api.” (HR Thabrani).
Sedekah berasal dari kata shadaqa yang berarti benar. Orang yang suka bersedekah adalah orang yang benar pengakuan imannya. Menurut terminologi syariah, pengertian sedekah sama dengan pengertian infak, baik hukum maupun ketentuan-ketentuan umum lainnya. Hanya saja, jika infak cenderung berkaitan dengan materi, sedekah memiliki arti lebih luas, menyangkut juga hal yang bersifat non-materi. Hadits riwayat Imam Muslim dari Abu Dzar, Rasulullah saw menyatakan bahwa jika tidak mampu bersedekah dengan harta, maka membaca tasbih, membaca takbir, tahmid, tahlil, berhubungan suami-istri, atau melakukan kegiatan amar ma’ruf nahi mungkar juga sedekah. Dalam hadits lain yang juga diriwayatkan Muslim, Rasulullah saw menyebutkan bahwa tersenyum kepada saudara yang lain, itu sedekah.
Lebih luas lagi, kata sedekah yang terdapat dalam al-Qur′an, sebagian dimaksudkan zakat (QS at-Taubah: 60 dan 103). Hanya saja, walaupun seseorang telah berzakat tetapi masih memiliki kelebihan harta, ia sangat dianjurkan untuk berinfak dan bersedekah. Berinfak adalah ciri utama orang yang bertakwa (QS al-Baqarah: 3), ciri Mukmin yang sungguh-sungguh imannya (QS al-Anfal: 3-4), ciri Mukmin yang mengharapkan keuntungan abadi (QS Faathir: 29). Berinfak akan melipatgandakan pahala di sisi Allah SWT (QS al-Baqarah: 262). Sebaliknya, tidak mau berinfak sama dengan menjatuhkan diri pada kebinasaan (QS al-Baqarah: 195).
Di antara keutamaan zakat adalah, termasuk indikator tingginya keimanan seseorang, mengundang pertolongan dan rahmat Allah SWT (QS al-Hajj: 40-41 dan QS at-Taubah: 71), membersihkan harta (QS at-Taubah: 103), mengembangkan harta (QS ar-Ruum: 39), dan mendistribusikan harta sehingga lenyap jurang antara kaya dan miskin (QS al-Hasyr: 7).
Ibadah lainnya yang masih berkaitan langsung dengan harta dan pahalanya mampu melebur dosa adalah jihad. Jihad di jalan Allah yang dilakukan dengan ikhlas bisa melebur dosa. Baik yang dilakukan dengan harta maupun jiwa. Allah berfirman, “…(yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan ke dalam surga…” (QS ash-Shaff: 11-12).
Karenanya, para sahabat Rasulullah saw selalu berlomba menyambut seruan jihad. Kendati mereka sudah menginfakkan harta, tapi itu tak membuat mereka puas untuk tidak ikut berjuang di jalan Allah. Bagi mereka, syahid di jalan Allah adalah kunci utama untuk mendapatkan ampunan Allah. Dari Abu Hurairah Rasulullah saw bersabda, “Orang yang mati syahid akan diampuni dosanya pada percikan darah yang pertama, dan akan dikawinkan dengan dua bidadari dan akan memberi syafaat tujuh puluh dari anggota keluarganya…” (HR Thabrani).
Untuk itu, niat berjihad harus selalu ada dalam benak kaum Muslimin. Namun, bagi mereka yang tidak sempat berjihad bukan berarti pintu melebur dosa tertutup. Ibadah sehari-hari yang kita lakukan dengan ikhlas dan sesuai tuntutan Rasulullah saw, juga bisa menghapus dosa. Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang berwudhu seperti wudhuku ini, maka dosa-dosanya yang terdahulu akan diampuni. Sedangkan shalatnya, jalannya menuju masjid adalah amalan tambahan.” (HR Muslim dan Nasai).
Dalam hadits yang diriwayatkan Thabrani dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya, Abdullah bin Umar berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang pergi ke masjid (untuk shalat) berjamaah, maka satu langkah bisa menghapus kesalahannya, dan satu langkah (yang lain) ditulis sebagai kebaikan (untuknya) selama pergi dan pulang.”
Begitu juga dengan ibadah-ibadah lainnya. Shalat merupakan kaffarah (penebus) atas dosa dan kesalahan seorang hamba. Perumpamaan orang yang melakukan shalat lima waktu sehari semalam ibarat orang yang di depan rumahnya mengalir sungai dan ia mandi lima kali sehari. Tak akan ada kotoran yang tersisa. “Begitulah perumpamaan shalat lima waktu. Dengan shalat itu Allah akan melebur kesalahan-kesalahan (hamba-Nya),” ujar Rasulullah saw seperti diriwayatkan Bukhari dan Muslim.
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Muslim dan Tirmidzi bahwa Rasulullah saw menegaskan, “Shalat lima waktu, shalat Jum’at menuju Jum’at berikutnya adalah pelebur dosa di antara mereka, selama dosa-dosa besar tidak dilanggar.”
Ibadah puasa yang dilakukan dengan penuh keimanan dan hanya mengharap ridha Allah, bisa melebur dosa. “Barangsiapa puasa Ramadhan dengan iman dan ikhlas (mencari pahala karena Allah) maka diampunilah dosanya yang sudah lewat.” (HR Bukhari Muslim).
Apalagi jika puasa Ramadhan diikuti dengan puasa Syawal enam hari setelahnya. “Barangsiapa yang puasa Ramadhan dan mengiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka ia akan keluar dari dosa-dosanya seperti pada hari ia dilahirkan ibunya,” demikian sabda Rasulullah saw seperti yang diriwayatkan Thabrani dalam Mu′jam al-Ausath-nya.
Puasa ayyamul bidh (tiga hari setiap pertengahan bulan hijriyah) juga bisa menjadi pelebur dosa. Dalam Mu′jam al-Kabir-nya Thabrani meriwayatkan, dari Maimunah binti Sa′ad bahwa Rasulullah saw bersabda, “Dari setiap bulan tiga hari, barangsiapa yang mampu melaksanakannya maka (pahala) setiap harinya bisa melebur sepuluh kali kesalahan dan dia bersih dari dosa seperti air membersihkan pakaian.”
Kalau ibadah harian (seperti shalat), bulanan (seperti puasa sunnah), atau tahunan (seperti puasa Ramadhan) mampu melebur dosa, begitu juga dengan ibadah haji yang diwajibkan sekali seumur hidup bagi yang mampu. Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang melaksanakan haji, lalu tidak berbicara kotor dan tidak fasik, dia akan kembali (diampuni) dari dosanya sebagai mana ia dilahirkan ibunya.” (HR Bukhari Muslim).
Begitulah kesempurnaan Islam dan keutamaan umat Nabi Muhammad. Hari-harinya penuh dengan pahala yang mampu melebur dosa kesalahannya. Bahkan, pelebur dosa itu kadang bukan datang dari ibadah mahdhah yang kita lakukan. Musibah yang dihadapi dengan tabah dan sabar juga mampu mendatangkan ampunan Allah. “Tidaklah menimpa seorang Mukmin suatu kepayahan dan tidak pula penyakit yang langgeng, tidak pula duka cita, dan tidak pula kesusahan, tidak pula penyakit dan tidak pula kesedihan sampai duri yang mengenai dirinya kecuali Allah akan mengampuni kesalahannya dengan musibah itu.” (HR Bukhari Muslim).
Muamalah sesama manusia yang dilakukan dengan akhlak yang baik juga mampu mengikis tumpukan dosa. “Akhlak yang baik bisa menghancurkan kesalahan-kesalahan sebagaimana matahari mencairkan es.” (HR Thabrani dan Baihaqi). Dalam hadits yang diriwayatkan Ahmad dan Tirmidzi, Nabi kembali menegaskan, “Tak ada dua orang Islam yang saling bertemu, lalu keduanya saling berjabat tangan kecuali Allah akan mengampuni keduanya sebelum berpisah.”
Subhanallah. Betapa mulia Islam. Tak ada tindakan umatnya yang sia-sia jika dilakukan sesuai tuntunan Rasulullah saw. Desah napas kebaikan yang kita hembuskan semua bernilai pahala. Ibadah-ibadah ringan yang selama ini sering kita anggap remeh nyatanya mampu menjadi godam palu yang bisa melebur bongkahan dosa.
sumber:www.pks-anz.org

ABORSI


KEMULIAAN DAN AMALAN-AMALAN BULAN RAJAB§



KEMULIAAN DAN AMALAN-AMALAN BULAN RAJAB§

Arti dan nama-nama bulan Rajab.
Menurut Imam al-Ash’amy, imam al-Mufadhal dan Imam al-Fura, rajab, berarti mulia dan agung. Dinamakan demikian, karena para malaikat senantiasa mengagungkan dan memuliakan bulan tersebut dengan lebih memperbanyak bacaan tahmid dan tasbih kepada Allah (liannal malaaikah tatarajjab littasbiih wat tahmiid fiih).
Imam as-Syatha dalam kitabnya  I’aanatut Thaalibin (2/307), juga mengatakan, bahwa kata rajab diambil dari kata at-tarjiib yang berarti at-ta’zhiim, yang dimuliakan, yang diagungkan. Dinamakan demikian, karena orang-orang Arab dahulu kala memuliakan dan mengagungkannya melebihi bulan-bulan lainnya. Bahkan, orang-orang jahiliyyah dahulu, menjadikannya sebagai di antara hari raya, serta mereka ramai-ramai melakukan kurban dengan nama al’atiirah.
            Sementara berkaitan dengan nama-nama bulan Rajab, sebagian ulama semisal Imam Abu Bakar bin as-Sayyid Muhammad Syatha ad-Dimyathi dalam kitabnya I’aanatut Thaalibin (2/307), mengatakan, Bulan Rajab mempunyai empat belas (14) nama, dan sebagian lagi mengatakan ada tujuh belas (17) nama, yaitu:
1.      Syahrullah (bulan Allah). Dinamakan demikian, karena Rajab termasuk di antara bulan Haram, yang mana Allah yang memuliakan dan mengharamkan peperangan di dalamnya. Karena itu, Rajab disebut Bulan Allah (syahrullah).
2.      Rajab (mulia, agung), disebut demikian, karena para malaikat pada bulan ini lebih mengagungkan Allah dengan jalan lebih memperbanyka tahmid dan tasbih.
3.      Rajab Mudhar (sangat, lebih kemuliaan dan keharamannya). Dinamakan demikian, karena Rajab lebih dipandang mulia oleh orang-orang Arab dahulu dibandingkan bulan-bulan Haram lainnya.
4.      Munshil Asnah (melepas anak penah). Disebut demikian, karena pada bulan ini, orang-orang Jahiliyyah tidak melakukan peperangan, mereka melepaskan seluruh atribut peperangan, termasuk anak-anak panahnya.
5.      Asham (tuli). Dinamakan demikian, karena pada bulan ini orang-orang Arab dahulu tidak mendengar bunyi-bunyi senjata, peperangan.
6.      Ashab (mengena, mendapatkan). Dinamakan demikian, karena pada bulan tersebut, banyak kebaikan dan untung yang dapat diraih, terutama mereka yang mengadakan perdagangan, atau bisnis lainnya, karena bulan tersebut aman, tidak terjadi peperangan.  Sebagian yang lain mengatakan, disebut Ashab, karena pada bulan ini Allah tidak menyiksa satu ummat pun. Namun, pendapat ini dibantah dengan dikatakan bahwa Allah menenggelamkan kaum Nabi Nuh as, juga pada bulan Rajab, karena itu pendapat tersebut tidak tepat, sebagaimana dinukil oleh Imam al-Bujairamy dalam kitabnya Hasyiyah al-Bujairamy ‘alal Khatiib bab diyat (12/44).
Sedangkan menurut Imam Abdurrahman as-Shafury dalam bukunya Nuzhatul Majaalis (hal. 222), disebut Ashab, karena pada bulan ini, rahmat, kasih sayang Allah betul-betul dicurahkan dengan sangat deras kepada hamba-hambaNya.
7.      Munfis (yang indah dan bagus). Disebut demikian, karena pada bulan ini pemandangan sangat indah dan bagus, tertib, teratur, orang-orang dengan tenang melakukan aktifitas sehari-hari dan lain sebagainya, dikarenakan tidak terjadi peperangan di dalamnya.
8.      Muthahhir (mensucikan, membersihkan). Dinamakan demikian, karena orang-orang arab dahulu membersihkan diri mereka dengan melaksanakan ibadah umrah, atau membersihkan diri mereka dari peperangan pada bulan itu.
9.      Ma’la (tempat tinggi).Disebut demikian, karena pada bulan ini, orang-orang saling mengangkat dan menghargai satu sama lain, serta menempatkannya di tempat mulia dan tinggi. Sehingga sekalipun ada yang berbuat salah, mereka tidak melakukan pembalasan.
10.  Muqiim (berdiam diri). Dinamakan demikian, karena orang-orang Arab dahulu berdiam diri di rumah, tidak melakukan peperangan.
11.  Haram (lemah, tua). Dinamakan demikian, karena pada bulan ini, orang-orang Arab seperti orang-orang yang lemah dan tua, mereka berdiam diri di ruamh, tidak melakukan peperangan.
12.  Muqasyqisy (terpelihara). Disebut demikian, karena pada bulan ini orang-orang terpelihara dari peperangan, sehingga lalu lintas perdagangan lancer dan kehidupan pun menjadi sangat normal.
13.  Mubri (bebas, lepas). Disebut demikian, karena pada bulan ini orang-orang arab dahulu melepaskan alat-alat perang dan terlepas dari peperangan.
14.  Fard (menyendiri). Dinamakan demikian, karena bulan Rajab adalah bulan haram yang menyendiri, tidak beriringan dengan bulan-bulan haram lainnya. Sementara Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah dan Muharram adalah bulan-bulan haram yang beriringan satu sama lainnya.
Sementara mereka yang berpendapat ada tujuh belas nama, tiga nama lainnya adalah:
1.      Rajim (merajam, melempari). Disebut demikian, karena pada bulan ini orang-orang Arab melempari setan agar setan tersebut tidak menyakiti orang-orang pilihan (para wali), dan orang-orang shaleh.
2.      Munshil al-Alah (melepaskan alat-alat perang). Dinamakan demikian, karena mereka orang-orang Arab pada bulan ini melepaskan semua alat-alat perang.
3.      Munzi’ al-Asnah (mencabut anak panah). Disebut demikian, karena orang-orang Arab dahulu melepaskan, dan mencabut anak-anak panah mereka, sebagai tanda tidak terjadi peperangan di dalam bulan tersebut.

Keistimewaan bulan Rajab
Ada beberapa keistimewaan dari bulan Rajab ini, di antaranya adalah:
1.      Bulan Rajab termasuk bulan haram.
Sebagaimana telah dipaparkan di atas, bahwa bulan haram merupakan bulan  yang sangat mulia dan istimewa, karenanya Allah menyebutkannya dalam al-Qur’an tidak kurang dari lima ayat. Bulan Rajab termasuk bulan haram, berdasarkan hadits di bawah ini:
عَنْ أَبِى بَكْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ: ((إِنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبٌ شَهْرُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ)) [متفق عليه]
Artinya: “Dari Abu Bakrah, Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya waktu terus berputar, sebagaimana keadaannya semula, pada hari dimana Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan, di antaranya ada empat bulan haram, tiga bulan berurutan, yaitu Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah dan Muharram, dan bulan Rajab yaitu bulan mudhar (yang lebih lagi dari segi keharamannya), yang berada di antara dua bulanJumadil (ula dan akhir) dan di antara bulan Sya’ban” (HR. Bukhari Muslim). 
2.      Bulan Rajab disebut dengan Bulan Allah (syahrullaah).
Syahrullah, berarti bulan Allah. Tidak semata-mata dinisbahkan namanya kepada Allah, melainkan untuk sesuatu yang istimewa. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits di Mursal riwayat Imam as-Syuyuthi dalam kitabnya al-Jami as-Shagir, disampaikan ada tiga bulan berurutan yang masing-masing milik pihak-pihak tertentu; Rajab, Sya'ban dan Ramadhan. Rajab adalah bulan Allah, Sya'ban bulan Rasulullah, dan Ramadhan bulan ummat Rasulullah. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda:
عن الحسن البصري قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((رجب شهر الله, وشعبان شهري, ورمضان شهر أمتي)).
Artinya: "Hasan al-Bashri berkata, Rasulullah saw bersabda: "Bulan Rajab adalah bulan Allah, Sya'ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan ummatku".
            Hemat penulis, bulan Rajab disebut bulan Allah, karena bulan Rajab termasuk Bulan sangat mulia, karena itu kebaikan yang dilakukan di dalamnya, akan dilipat gandakan pahalanya, sebaliknya, kejahatan yang diperbuat di dalamnya, juga akan dilipatgandakan siksa dan dosanya.
Sementara mengapa Sya'ban disebut bulan Rasulullah saw, karena pada bulan ini Rasulullah saw melakukan banyak sekali puasa sunnat. Bahkan, dalam sebuah riwayat disebutkan, beliau melakukan puasa pada bulan Sya'ban ini seluruh bulan atau sebagian besarnya. Karena itulah Rasulullah saw menyebutnya sebagai 'Bulanku'.
Sementara Ramadhan disebut bulan ummatku, karena pada bulan ini ummat Rasulullah saw panen dengan pahala. Ibadah apapun yang dilakukan di dalamnya, pahalanya dilipatgandakan dari pada pada bulan-bulan lainnya. Umrah di dalamnya, pahalanya sama dengan melakukan ibadah haji, shalat sunnat yang dilakukan pada bulan Ramadhan, pahalanya sama dengan pahala mengerjakan shalat Wajib, dan pahala shalat wajib dilipatgandakan menjadi tujuh puluh kali lipat dari shalat wajib pada waktu-waktu lainnya. Karena itu, sangat pantas apabila bulan Ramadhan ini disebut dengan bulan ummatku, karena kita selaku ummat Rasulullah saw betul-betul panen pahala dan kebaikan.
3.      Bulan yang paling mulia di antara bulan-bulan Haram lainnya.
Sebagaimana telah penulis singgung di atas, bahwa sebagian ulama syafi’iyyah berpendapat bahwa bulan Rajab adalah bulan yang paling mulia dibandingkan dengan bulan-bulan haram lainnya, sekalipun pendapat ini dibantah oleh Imam Nawawi, dan beliau lebih merajihkan bulan Muharram sebagai bulan yang paling istimewa dari bulan-bulan haram.
4.      Termasuk satu dari lima waktu malam mustajab untuk berdoa.
Imam  Syafi’i pernah mengatakan, bahwa ada lima malam yang sangat mustajab untuk berdoa, di antaranya adalah malam pertama dari bulan Rajab.
بلغنا أن الدعاء يستجاب فى خمس ليال: ليلة الجمعة, والعيدين, وأول رجب, ونصف شعبان. قال: واستحب كل ما حكيت فى هذه الليالي
Artinya: "Telah sampai kepada kami riwayat bahwa dua itu akan (lebih besar kemungkinan untuk) dikabulkan pada lima malam: Pada malam Jum'at, malam Idul Fithri, malam Idul Adha, malam awal bulan Rajab, dan pada malam Nishfu Sya'ban. Imam Syafi'i berkata kembali: "Dan aku sangat menekankan (untuk memperbanyak doa) pada seluruh malam yang telah aku ceritakan tadi".
5.      Terjadinya peristiwa maha penting Isra Mi’raj Rasulullah saw.
Sebagian ulama berpendapat bahwa, Isra Mi’raj Rasulullah saw terjadi pada bulan Rajab, tepatnya pada malam ke 27 dari bulan Rajab. Ini menunjukkan bahwa bulan Rajab merupakan bulan yang sangat istimewa, dan karenanya Allah memilihnya sebagai waktu  yang tepat untuk pelaksanaan Isra Mi’raj Rasulullah saw. Dan, sebagaimana diketahui bersama, Isra Mi’raj merupakan peristiwa sangat penting dalam Islam, di mana pada peristiwa itu turun perintah wajibnya shalat lima waktu.
6.      Rajab merupakan singkatan dari rahmatullah (kasih saying Allah), juudullah (kedermawanan Allah) dan birrullaah (kebaikan Allah).
Imam Abdurrahman bin Abdus Salam as-Shafury asy-Syafi’i dalam kitabnya Nuzhatul Majaalis wa Muntakhab an-Nafais (hal 222) mengatakan bahwa kata Rajab yang terdiri dari tiga huruf ra, jim dan ba, merupakan singkatan dari Rahmatullah (kasih saying Allah), Juudullaah (kedermawanan Allah) dan birrullah (kebaikan Allah).
Menurutnya, bahwa pada bulan Rajab, Allah akan mencurahkan kasih sayangNya, kedermawananNya dan kebaikan-kebaikanNya, tentu bagi mereka yang mengisinya dengan banyak kebaikan.
7.      Bulan rajab adalah kunci kebaikan dan keberkahan bulan-bulan berkah lainnya.
Di antara bulan yang penuh berkah dan penuh kebaikan adalah bulan Sya’ban dan bulan Ramadhan. Kunci pertama untuk meraih keberkahan dan kebaikan pada kedua bulan di atas, adalah pada bulan Rajab. Artinya, apabila bulan pada bulan Rajab sudah diisi dengan penuh kebaikan dan ketaatan, maka kebaikan dan keberkahan pada bulan Sya’ban dan bulan Ramadhan, akan sangat mudah diraih.
Imam Abu Bakar al-Warraq al-Balakhy sebagaimana dinukil Ibnu Rajab dalam Lathaiful Ma’arif (hal 176), mengatakan:
شهر رجب شهر الزرع, وشهر شعبان شهر السقي للزرع, وشهر رمضان شهر حصاد الزرع.
Artinya: “Bulan Rajab adalah bulan untuk menanam (kebaikan), bulan Sya’ban adalah bulan untuk menyiram tanaman (kebaikan itu), dan bulan Ramadhan adalah bulan untuk memanen tanaman dimaksud”.
Dalam kesempatan lain, Imam al-Balakhy juga pernah mengatakan:
شهر رجب مثل الريح, ومثل شعبان مثل الغيم, ومثل رمضان مثل المطر.
Artinya: “Bulan Rajab itu laksana angina, sedang bulan Sya’ban ibarat awan, dan bulan Ramadhan seperti hujan (hujan penuh kebaikan dan keberkahan)”.
8.      Bulan Rajab, di antara bulan pembebasan dari api neraka.
Selain bulan Ramadhan, menurut sebagian ulama, bulan Rajab juga merupakan bulan di mana di dalamnya Allah akan membebaskan orang-orang dari siksa neraka. Karena itu, sebagaimana telah disinggung di atas, sebagian ulama mengatakan, bahwa pada bulan ini Allah tidak akan menghukum atau mengadzab hambaNya.
Karena itulah, sebagian ulama dahulu kala sangat berharap untuk meninggal pada bulan ini. Ibnu Rajab (hal 176) menuturkan sebuah kisah, ada seorang ulama shalih sakit sebelum bulan Rajab. Kemudian ulama itu bertutur: “Sesungguhnya saya berdoa kepada Allah, agar Allah mengakhirkan kematian saya pada bulan Rajab, karena terdapat riwayat mengatakan bahwa dalam bulan Rajab, Allah akan membebaskan orang-orang dari siksa kelak”. Allah pun mengabulkan doa hamba shaleh tadi, ia pun meninggal pada bulan Rajab. Allahu akbar.

Amalan-amalan pada bulan Rajab
Sebagaimana telah dipaparkan di atas, bahwa bulan Rajab, termasuk di antara bulan yang sangat dimuliakan oleh Allah. Bahkan, menurut sebagian Syafi’iyyah, ia merupakan bulan paling mulia dibandingkan dengan bulan-bulan haram lainnya.
Oleh karena bulan ini bulan yang sangat mulia, maka apapun kebaikan yan dilakukan di dalamnya tentu pahalanya akan sangat berlipat dan besar dibandingkan bulan-bulan lainnya, selain Ramadhan.
Untuk itu, para ulama sejak dahulu sangat concern untuk betul-betul mengisi bulan penuh berkah ini dengan ritual ibadah yang sangat beraneka ragam, mulai dari shalat, puasa, sedekah, membaca al-Qur’an, silaturahim, membantu sesama, sampai pelaksanaan umrah. Berikut ini, di antara amalan penting yang sebaiknya dilakukan dalam rangka mengisi bulan Rajab, bulan penuh berkah dan bulan penuh kebaikan.
1.      Berdoalah agar diberkahi pada bulan Sya'ban dan dapat mengikuti bulan Ramadhan
Di antara amalan yang biasa dilakukan oleh Rasulullah saw pada bulan Rajab, adalah berdoa agar diberi keberkahan untuk bulan Rajab dan Sya’ban, serta agar dapat dipertemukan dengan bulan Ramadhan. Doa yang biasa dilafalkan Rasulullah saw adalah:
اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِى رَجَبَ وَشَعْبَانَ, وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ
Allahumma baarik lanaa fi rojab wa sya'ban, wa ballignaa romadhan
Artinya: "Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab, juga di bulan Sya'ban ini serta sampaikanlah usia kami ke bulan Ramadhan".
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:
عن أنس بن مالك قال: كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا دخل رجب قال: ((اللهم بارك لنا فى رجب وشعبان, وبلغنا رمضان)) [رواه أحمد والطبرانى والبزار]
Artinya: "Anas bin Malik berkata: "Adalah Rasulullah saw apabila beliau memasuki bulan Rajab, beliau suka berdoa: "Allahumma baarik lanaa fi rajab wa sya'ban, wa ballignaa ramadhan (Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab ini, juga di bulan Sya'ban ini serta sampaikanlah usia kami ke bulan Ramadhan)" (HR. Ahmad, Thabrani dan al-Bazzar).
Menurut Imam Abdul Ghani bin Ismail an-Nablusi dalam bukunya, Fadhail al-Ayyaam was-Syuhuur (hal 29) mengatakan, bahwa hadits ini diriwayatkan juga oleh Imam ad-Dailami dalam Musnad al-Firdaus nya, diriwayatkan melalui tiga jalan dari Anas bin Malik. Dan hadits-hadits yang ada dalam kitab Musnad al-Firdaus adalah hadits-hadits dhaif, akan tetapi dapat dilakukan dan diamalkan selama berkaitan dengan bab keutamaan amal perbuatan, Fadhailul Amal.
Imam Nawawi pun dalam pendahuluan Syarah Muslim nya menegaskan, bahwa hadits Dhaif dapat dipakai dalam bab keutamaan amal perbuatan (bab Fadhailul a'maal).
Doa di atas sebaiknya dibaca berulang kali ketika kita memasuki bulan Rajab dan Sya'ban. Semakin banyak membacanya, tentu semakin besar  pahalanya. Keberkahan di bulan Rajab, keberkahan di bulan Sya'ban, dan dapat menjumpai bulan Ramadhan, merupakan tiga hal yang sangat diharapkan oleh seluruh ummat Islam. Doa di atas juga sebaiknya di baca setiap selesai shalat wajib, atau pada waktu-waktu senggang sambil berdzikir atau selesai membaca al-Qur'an.
Selain doa tersebut, ada doa lain yang biasa dibaca oleh para sahabat pada bulan Rajab dan Sya'ban, sebagaimana disampaikan oleh Yahya bin Abu Katsir, sebagaimana dikutip oleh Ibnu Rajab dalam Lathaiful Ma'arif-nya (hal. 202) yaitu:
اللهم سلمنى إلى رمضان, وسلم لي رمضان, وسلمه منى متقبلا.
Allahumma sallimnii ilaa ramadhan, wa salllim lii ramadhan, wa sallimhu minni mutaqabbalaa.
Artinya: "Ya Allah, selamatkan dan sampaikanlah (usia) saya ke bulan Ramadhan, dan selamatkanlah Ramadhan kepada saya, serta selamatkanlah amalan-amalan saya pada bulan Ramadhan sehingga dapat diterima".
2.      Bertaubat dan memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan.
Bulan Rajab merupakan kunci pertama memupuk kebaikan dan menanam ketaatan agar dapat dipanen pada bulan Ramadhan kelak. Oleh karena itulah, maka selain memupuk dan menanam kebaikan tentu memohon ampun atas segala dosa dengan jalan bertaubat atau memperbanyak istighfar, merupakan di antara hal yang harus dilakukan.
Memang idealnya, sebelum menanam kebaikan, istighfar dan taubat adalah syarat utama. Sebelum melakukan ketaatan, seorang hamba sangat dianjurkan untuk mengakui segala dosa dan kesalahan, plus memohon ampun atas segala kesalahan dan dosa dimaksud. Dan, pada bulan Rajab hal itu harus lebih banyak dan lebih sering dilakukan.
Oleh karena itu, sebagian ulama, seperti Imam Abdurrahman as-Shafury dalam bukunya Nuzhatul Majaalis (hal. 222), mengatakan bahwa bulan Rajab ini adalah bulan permohonan ampun atas segala dosa dan kesalahan (listighfaarid dzunuub), Sya’ban untuk menutup segala aib (lisatril ‘uyuub), dan bulan Ramadhan untuk menerangkan hati dan pikiran (litanwiiril quluub).
Ungkapan lain, bulan Rajab adalah bulan ampunan dari Allah (maghfirah minallaah), Sya’ban adalah bulan pertolongan dari Allah (Syafa’atullah), dan bulan Ramadhan adalah bulan dilipatgandakannya pahala kebaikan (tadh’iful hasanaat).
Selain itu, para ulama juga mengatakan: Rajab adalah bulan untuk bertaubat (syahrut taubah), Sya’ban bulan untuk menabur kasih sayang (syahrul mahabbah), dan Ramadhan adalah bulan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah (syahrul qurbah).
Oleh karena itulah, maka di antara amalan yang perlu diperbanyak pada bulan Rajab ini adalah bertaubat dan memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan (istighfar).
Imam Ali ra pernah berkata: “Perbanyaklah membaca istighfar pada bulan Rajab, karena setiap saat pada bulan Rajab, terdapat orang-orang yang akan dibebaskan oleh Allah dari siksa neraka”.
3.      Melakukan shalat sunnat sebanyak dan sekhusyu’ mungkin.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa di antara keistimewaan bulan Rajab ini adalah, bulan yang dipilih oleh Allah untuk kejadian penting Isra Mi’raj Rasulullah saw. Dan inti dari adanya peristiwa ini, adalah diwajibkannya shalat lima waktu. Oleh karena itulah, maka amalan penting lainnya yang perlu dilakukan dalam rangka mengisi bulan Rajab ini adalah melakukan shalat sunnat sesering mungkin, mulai dari Dhuha, Tahajjud, Witir, Hajat, Tasbih, Rawatib dan lainnya.
Dalam sebuah hadits Dhaif sebagaimana dinukil oleh Imam Abdurrahman as-Shafury dalam bukunya Nuzhatul Majaalis (hal. 218), dari Tsauban, bahwasannya Rasulullah saw suatu saat melewati komplek pekuburan. Rasulullah saw tiba-tiba menangis sambil bersabda: “Wahai Tsauban, mereka saat ini sedang disiksa di dalam kuburannya, kemudian saya berdoa kepada Allah agar Allah meringankan siksa kepada mereka. Wahai Tsauban, seandainya mereka berpuasa satu hari saja pada bulan Rajab, juga mereka melakukan satu kali saja shalat malam (tahajud), tentu mereka tidak akan disiksa di dalam kuburnya seperti ini”.
Tsauban kemudian bertanya: “Wahai Rasulullah, dengan puasa satu hari dan shalat tahajud satu kali saja di bulan Rajab, dapat mencegah siksa kubur?”.
Rasulullah saw menjawab: “Iya, demi diriku yang berada di dalam kekuasaanNya, tidak ada satu muslim atau muslimah pun yang melakukan puasa satu hari saja atau melakukan shalat malam satu kali saja di bulan Rajab, melainkan Allah akan mencatat baginya pahala seperti seseorang yang beribadah satu tahun, di mana siangnya ia berpuasa dan malamnya ia shalat tahajud terus”.
Sebagian ulama ada yang menganjurkan untuk melakukan Shalat Sunant Ragaib.

Shalat sunnat Ragaib adalah shalat sunnat yang dilakukan pada malam Jum’at pertama setelah shalat Maghrib dan sebelum shalat Isya, pada bulan Rajab.
Shalat Ragaib ini pernah disampaikan oleh Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya ‘Ulumiddin bab an-nawaafil (shalat-shalat sunnat: 1/202), dengan mengutip sebuah hadits di bawah ini:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((ما من أحد يصوم أول خميس من رجب ثم يصلي فيما بين العشاء والعتمة اثنتي عشرة ركعة يفصل بين كل ركعتين بتسليمة يقرأ في كل ركعة بفاتحة الكتاب مرة وإنا أنزلناه في ليلة القدر ثلاث مرات وقل هو الله أحد اثنتي عشرة مرة ، فإذا فرغ من صلاته صلى علي سبعين مرة يقول : اللهم صل على محمد النبي الأمي وعلى آله ثم يسجد ويقول في سجوده سبعين مرة : سبوح قدوس رب الملائكة والروح ، ثم يرفع رأسه ويقول سبعين مرة : رب اغفر وارحم وتجاوز عما تعلم إنك أنت الأعز الأكرم ، ثم يسجد سجدة أخرى ويقول فيها مثل ما قال في السجدة الأولى ثم يسأل حاجته في سجوده فإنها تقضى))
Artinya: “Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada seseorang pun yang berpuasa pada hari Kamis pertama di bulan Rajab, kemudian shalat sunat antara waktu Isya dan waktu gelap malam, sebanyak dua belas rakaat, yang setiap dua rakaat dipisah dengan salam. Kemudian setiap rakaat membaca surat al-Fatihah satu kali, surat al-Qadar 3 kali, al-Ikhlas 12 kali, dan ketika selesai shalatnya, membaca shalawat berikut sebanyak 70 kali: Allaoohumma shalli ‘alaa Muhammadinin Nabiyyil Ummiyyi wa ‘alaa aalihii, kemudian sujud sambil membaca tasbih berikut sebanyak 70 kali: subbuhun quddusun rabbul malaaikati war ruuh, kemudian bangkit dari sujud, sambil membaca sebanyak 70 kali doa berikut: ‘robbighfir warham wa tajaawaz ‘ammaa ta’lam, innakal a’azzul akram (ya Allah, ampuni segala dosa, sayangi dan maafkan segala kesalahan dari apa yang Eukau ketahui, karena Eukau Maha Gagah lagi Maha Mulia), kemudian sujud satu kali lagi sambil membaca bacaan sebagaimana pada sujud pertama, kemudian masih dalam posisi sujud, ia berdoa memohon segala hajat keperluaannya kepada Allah, maka Allah akan mengabulkan segala hajat dan keperluannya”.
Hanya saja, hadits ini dinilai oleh Imam al-‘Iraqy dalam bukunya Takhrij Ahaadits al-Ihyaa (2/129), sebagai hadits Maudhu’ yang tidak dapat dijadikan pegangan hokum.  Oleh karena itu, mengingat hal ini menyangkut masalah hokum, maka tentu harus berdasar kepada hadits shahih, dan karenanya, shalat Ragaib tidak dibenarkan dilakukan.
Jumhur ulama sebagaimana dikutip oleh Ibnu Rajab (hal 171), shalat Ragaib termasuk salah satu bid’ah madzmumah (bid’ah tercela) yang harus dihindari. Imam Nawawi dalam al-Majmu’nya juga mengatakan sebagaimana dikutip oleh Imam Syarbini dalam Mughnil Muhtaj nya  bab shalat sunnat (bab shalat an-nafl: 3/151), juga mengkatagorikannya sebagai bid’ah madzmumah (bid’ah yang tercela).
Untuk itu, maka shalat Ragaib ini sebaiknya tidak dilakukan, dan diganti dengan shalat sunnat-shalat sunnat lainnya yang jelas-jelas masyru, seperti tahajud, dhuha, witir, hajat dan lainnya.  
4.      Memperbanyak puasa sunnat.
Termasuk amalan yang sebaiknya dilakukan pada bulan Rajab adalah melakukan puasa sunnat sebanyak mungkin, baik senin kamis, Daud atau puasa bulan purnama (tanggal 13, 14, dan 15 dari bulan Rajab). Apakah selain puasa sunnat di atas, masih boleh berpuasa sunnat lainnya di bulan Rajab karena kemuliaan bulan dimaksud?
Menyangkut masalah ini, Ibnu Rajab al-Hanbali (hal. 171-173) menuturkan banyak pendapat mengenai soal ini, antara yang membolehkan dan yang tidak membolehkan. Hanya saja, sebagian ulama salaf, seperti Ibnu Umar, Hasan al-Bashri, dan Abu Ishak as-Subai’i, lanjutnya, biasa berpuasa pada bulan-bulan haram seluruh bulan penuh.
Bahkan, Imam ats-Tsaury pernah berkata: “Bulan-bulan haram (termasuk Rajab) adalah bulan yang paling saya sukai untuk berpuasa di dalamnya”.
Pendapat ini, berdasarkan hadits dhaif riwayat Ibnu Majah, bahwasannya Rasulullah saw pernah bersabda: “Puasalah pada bulan-bulan haram”.
Sementara Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Sa’id bin Jubair, Yahya bin Sa’id al-Anshary, juga Anas bin Malik, sebagaimana dikutip Ibnu Rajab (hal. 173), mereka menilai makruh melakukan puasa sunnat pada bulan Rajab satu bulan penuh. Oleh karena itu, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, terkadang menampakkan di depan orang-orang tidak melakukan puasa beberapa hari pada bulan Rajab ini.
Imam Ahmad bin Hanbal juga pernah berkata: “Makruh melakukan puasa satu bulan penuh di bulan Rajab, akan tetapi sebaiknya berbuka (tidak puasa) satu atau dua hari”.
Imam Syafi’i dalam qaul qadim  nya juga berpendapat: “Saya menilai makruh seseorang yang berpuasa satu bulan penuh pada bulan Rajab, sebagaimana puasa pada bulan Ramadhan, karena dalam sebuah hadits Bukhari Muslim, Aisyah berkata: “Saya tidak pernah melihat Rasulullah saw melakukan puasa satu bulan penuh selain pada bulan Ramadhan saja”.
Imam Syafi’i kemudian meneruskan perkataannya: “Saya menilai makruh di atas, agar orang awam tidak menilai bahwa puasa Rajab ini sesuatu yang wajib, namun apabila ia melakukannya juga (berpuasa penuh pada bulan Rajab), maka hal itu perbuatan baik”.


Dari beragam pendapat di atas, hemat penulis, seseorang diperbolehkan melakukan puasa sunnat pada bulan Rajab sebanyak mungkin, hanya saja, ia berpuasa bukan semata karena bulan Rajabnya, akan tetapi karena bulan haram nya, di mana Rajab termasuk salah satunya.
Namun, apabila anda mengambil pendapat yang lebih baik yang keluar dari perbedaan di atas, misalnya hanya berpuasa sunnat yang jelas-jelas dianjurkan saja, seperti senin kamis, puasa Daud atau puasa bulan purnama (13, 14 dan 15) saja, maka tentu hal demikian lebih baik dan lebih selamat.
Menyangkut keutamaan puasa pada bulan Rajab, terdapat banyak hadits dhaif yang menceritakannya. Dan Ibnu Hajar al-Asqalany pernah  menulis satu buku penting, berkaitan dengan hadits-hadits seputar keutamaan bulan Rajab ini, dan ia mentakhrijnya serta memisahkan mana yang termasuk hadits shahih, mana yang dhaif dan mana juga yang termasuk hadits maudhu’ dalam bukunya berjudul Tabyiinul ‘Ajab Bimaa Warada fi Fadhl Rajab.
Menurutnya, di antara hadits-hadits Dhaif yang berbicara seputar keutamaan puasa pada bulan Rajab adalah:
((إن فى الجنة نهرا يقال له رجب ، ماؤه أشد بياضا من اللبن وأحلى من العسل ، من صام يوما من رجب سقاه الله من ذلك النهر))
Artinya: “Sesungguhnya di surga kelak, terdapat sebuah sungai yang dinamakan Sungai Rajab. Airnya melebihi putihnya susu, dan melebihi manisnya madu. Siapa yang berpuasa satu hari dari bulan Rajab, maka Allah akan memberikan minum dari sungai Rajab tersebut”.
((من صام من رجب يوما كان كصيام شهر، ومن صام منه سبعة أيام غلَّقت عنه أبواب الجحيم السبعة, ومن صام منه ثمانية أيام فتحت له أبواب الجنة الثمانية ، ومن صام منه عشرة أيام بدلت سيئاته حسنات))
Artinya: “Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang berpuasa satu hari di bulan Rajab, maka pahalanya sama dengan berpuasa satu bulan penuh. Siapa yang berpuasa tujuh hari di bulan Rajab, maka tujuh pintu neraka akan ditutup baginya, dan barang siapa yang berpuasa delapan hari pada bulan Rajab, maka akan dibukakan baginya delapan pintu surga. Siapa yang berpuasa sepuluh hari di bulan Rajab, maka kesalahan-kesalahannya akan digantikan dengan kebaikan-kebaikan”.
Imam Abdurrahman as-Shafury, dalam bukunya Nuzhatul Majalis (hal 222) pernah menuturkan satu kisah, suatu hari Nabi Isa as melewati sebuah gunung yang bersinar dan memancarkan cahaya sangat indah. Nabi Isa kemudian memohon kepada Allah agar gunung itu dapat berbicara. Allah mengabulkannya.
Gunung itu kemudian bertanya: “Wahai Nabi Isa, apa yang kamu inginkan?”
Nabi Isa menjawab: “Coba ceritakan kepada saya mengapa tubuh kamu bersinar indah seperti itu”.
Gunung itu menjawab: “Karena di dalam perutku ada seseorang yang sedang beribadah”.
Nabi Isa kemudian berdoa kepada Allah: “Ya Allah, tolong keluarkan laki-laki itu dari perut gunung”.
Gunung pun membelah, dan keluarlah seorang laki-laki tua dengan muka bersih berseri, sambil berkata: “Wahai Isa, saya adalah kaumnya Nabi Musa, dan saya memohon kepada Allah, agar umur saya dapat menjumpai Nabi Muhammad saw, supaya saya dapat menjadi salah satu ummatnya. Dan saya berada di dalam perut gunung ini selama enam ratus tahun, dan semuanya saya pakai untuk beribadah kepada Allah”.
Nabi Isa kemudian berkata: “Ya Allah, apakah ada orang di muka bumi ini yang lebih mulia menurutMu dari pada orang shaleh ini?”
Allah menjawab: “Wahai Isa, siapapun dari ummat Muhammad yang berpuasa satu hari saja di bulan Rajab, maka dia lebih mulia di hadapanKu, dari pada orang ini”. Subhanallah wal hamdulillah.
5.      Memperbanyak sedekah, termasuk berkurban bila memungkinkan.
Bulan Rajab, bagi orang-orang Jahiliyyah dahulu, betul-betul bulan yang sangat dimuliakan. Bahkan, bulan Rajab ini dijadikan sebagai hari raya mereka. Pada bulan ini juga, mereka biasa melakukan kurban hewan, baik unta, sapi atau kambing, sebagai upaya memuliakan bulan penuh berkah ini, yang mereka sebut dengan nama al-’atirah.
Para ulama berbeda pendapat, apakah ‘atirah ini masih boleh dilakukan atau sudah dihapus hukumnya.
Jumhur ulama berpendapat bahwa ketentuan hukumnya telah dihapuskan, hal ini berdasarkan hadits Bukhari Muslim dari Abu Hurairah di mana Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada fara’ (fara’ adalah kurban dari anak unta atau kambing pertama) juga tidak ada kurban ‘atirah (‘atirah adalah kurban hewan pada bulan Rajab)”.
Sementara menurut Ibnu Sirin, Ahmad bin Hanbal dan segolongan ulama hadits, menilai ‘atirah adalah perbuatan sunnah sampai saat ini. Artinya, apabila ada yang kurban pada bulan Rajab, maka ia telah dipandang melakukan perbuatan sunant.




Hal ini berdasarkan hadits Hasan di bawah ini yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Imam Nasai dan Ibnu Majah dari Makhnaf bin Sulaim al-Ghamidy, bahwasannya Rasulullah saw bersabda ketika di Arafah:
إن على كل أهل بيت في كل عام أضحية وعتيرة, وهي التي يسمونها الرجبية [رواه أبو داود والترمذي والنسائي وابن ماجه, وحسنه الألباني في صحيح ابن ماجه (2533)].
Artinya: “Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya bagi setiap keluarga dalam setiap tahunnya ada kurban dan ‘atirah, dan ‘atirah adalah yang biasa disebut dengan Rajabiyyah (kurban yang dilakukan pada bulan Rajab)”. (Hr. Abu Daud dan lainnya).
Dalam hadits shahih riwayat Imam Nasa’i dari Nabisyah, bahwa para sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah saw:
قالوا: يا رسول الله, إنا كنا نعتر فيه في الجاهلية—يعني في رجب-قال: ((اذبحوا لله في أي شهر كان, وبروا الله وأطعموا)) [رواه أبو داود والنسائي وابن ماجه, وصححه الألباني في صحيح ابن ماجه (2565)].
Artinya: “Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, kami pada masa Jahiliyyah biasa melakukan ‘atirah, berkurban pada bulan Rajab”. Rasulullah saw bersabda: “Berkurbanlah karena Allah, pada bulan apa saja, dan berbuat baiklah hanya karena Allah (ketika menyembelihnya), serta berikanlah (dagingnya kepada orang-orang yang memerlukan)”. (HR. Abu Daud dan lainnya).
Dalam hadits lain di bawah ini, Rasulullah saw membolehkan pelaksanaan ‘atirah ini:
عن أبي رزين, قال: قلت: يا رسول الله, كنا نذبح ذبائح في الجاهلية-يعني في رجب-فنأكل ونطعم من جاءنا, فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((لا بأس به)) [رواه النسائي, وصححه الألباني في صحيح النسائي (4244)].
Artinya: “Abu Razin berkata: “Saya bertanya kepada Rasulullah saw: “Ya Rasulullah, kami biasa berkurban pada bulan Rajab pada masa Jahiliyyah dahulu, kami memakannya, dan kami berikan kepada mereka yang datang ke rumah. Rasulullah saw bersabda: “Tidak mengapa”. (Hr. Nasai).
Dari beberapa hadits antara yang membolehkan dan yang melarang, para ulama, sebagaimana dituturkan Ibnu Rajab (hal. 170) mencoba menggabungkan keduanya. Bahwa, hadits-hadits yang menunjukkan bahwa praktek ‘atirah yang tidak diperbolehkan itu, apabila sembelihan dan kurbannya (‘atirah) nya itu bukan karena Allah. Adapun ‘atirah yang dilakukan pada bulan Rajab, dan dilaksanakan karena Allah, maka hal demikian diperbolehkan, bahkan termasuk amalan sunnah.
Oleh karena itu, di antara amalan yang dapat dilakukan pada bulan Rajab juga adalah berkurban yang diperuntukkan untuk fakir miskin, sebagai salah satu wujud bersedekah kepada mereka. Apabila tidak memungkinkan untuk berkurban, maka dapat bersedekah dengan bentuk lain, seperti memberikan makanan, uang, pakaian atau yang lainnya. Wallahu ‘alam.




























§  Makalah ini dipresentasikan pada acara pengajian Majlis Taklim al-Muttaqien, kelompok pengajian ibu-ibu KBRI Cairo, pimpinan Ibu Hj. Burhanuddin, yang diselenggarakan pada hari Selasa, 30 Juni, 2009, di kediaman Ibu Dewi Danang, Dokki, Giza, Mesir.