KEDUDUKAN WAKAF BERDASARKAN HUKUM
ISLAM
DAN PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA
(SUATU ANALISIS)*
oleh
: Asri Wijayanti
ABSTRAK
Wakaf
merupakan salah satu lembaga hukum yang berasal dari hukum Islam. Wakaf
dilakukan oleh umat Islam dalam rangka melaksanakan ibadah untuk Allah.
Pelaksanaan wakaf harus memenuhi rukun dan syaratnya wakaf. Rukun wakaf ada
empat yaitu adanya wakif, harta yang akan diwakafkan, tempat dimana benda akan
diwakafkan dan akad. Benda wakaf berdasarkan hukum Islam meliputi semua harta
yang dimiliki oleh wakif.
Perkembangan wakaf di Indonesia dimulai dari adanya wakaf
yang telah ada pada masyarakat hukum adat. Pemerintah melalui PP No. 28 Tahun
1977 telah mengatur tentang perwakafan yang dibatasi hanya tanah hak milik saja
serta harus melalui prosedur dengan akta ikrar wakaf yang nantinya sertipikat
hak milik diubah menjadi sertipikat wakaf.
Pengaturan wakaf dalam PP No. 28 Tahun 1977 ternyata masih belum
memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga kemudian keluarlah Inpres No. 1 Tahun 1991
tentang KHI, dimana obyek wakaf meliputi benda bergerak atau tidak bergerak.
Sayangnya kedudukan Inpres No. 1 Tahun 1991 dipertanyakan kedudukannya apabila
ditinjau dari TAP MPR-RI No. III/MPR/2000. Oleh karena itu perlu segera
dibentuk peraturan yang mengatur tentang wakaf dalam undang-undang, supaya
dapat tercapai kepastian hukumnya.
Pemikiran kearah pengaturan wakaf dalam bentuk undang-undang ada
empat. Pertama wakif tidak hanya dibatasi pada orang yang mempunyai tanah hak
milik, tetapi apapun bentuk harta milik wakif baik benda bergerak atau tidak
dapat diwakafkan. Kedua nadzir seharusnya mendapat imbalan untuk pengurusan
benda wakaf sebesar x % untuk mendorongnya bekerja secara professional
mengoptimalkan hasil wakaf. Ketiga obyek wakaf meliputi semua harta milik wakif
baik yang sudah ada atau yang akan ada asalkan sudah pasti. Keempat prosedur
wakaf apabila menyangkut hak milik atas tanah dapat tetap melalui prosedur PP
No. 28 Tahun 1977 tetapi untuk yang lainnya dapat pelaksanaan akad wakaf dilakukan
dihadapan notaris.
Kata kunci :
wakaf, obyek hukum wakaf, nadzir, kepastian hukum
I PENDAHULUAN
Wakaf merupakan salah satu lembaga hukum Islam. Hukum
Islam adalah suatu sistim hukum yang mendasarkan pada ajaran agama Islam. Agama
Islam merupakan ajaran agama yang sempurna. Mengatur seluruh kehidupan alam
seisinya, termasuk mengatur kehidupan manusia. Dalam menjalani kehidupannya
manusia dapat memiliki harta, tetapi kepemilikan harta itu tidak mutlak. Harta
adalah milik Allah SWT dan dititipkan kepada manusia yang dikehendaki-NYA.
Harta yang dimiliki oleh umat Islam sebagian adalah hak dari manusia yang
lemah. Oleh karena itu Islam mengajarkan
memberikan sedekah, zakat dan wakaf terhadap harta yang dimiliki untuk
kepentingan agama.
Di Indonesia mayoritas penduduknya beragama Islam,
sehingga wakaf sudah dikenal sejak lama. Menurut Hazairin wakaf merupakan suatu
perbuatan hukum rangkap.
Perkembangan di Indonesia wakaf yang ada mengalami
penyimpangan baik peruntukan, maupun pengurusan sehingga banyak menimbulkan
sengketa antara ahli waris dari wakif dan
atau ahli waris nadzir. Hal ini mendorong terbentuknya Peraturan
Pemerintah No. 28 Tahun 1977.
Dalam praktek adanya PP No. 28 tahun 1977 tidak dapat
efektif karena disebagian masyarakat ada yang enggan untuk mewakafkan tanahnya
karena bebarapa alasan. Seiring dengan adanya Peradilan Agama yang dibentuk
berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dibutuhkan
suatu pedoman untuk menyelesaikan sengketa tentang wakaf yang dirasa oleh hakim
Pengadilan Agama masih kurang apabila hanya mendasarkan ketentuan dari PP No.
28 Tahun 1977. Untuk itu ditetapkanlah Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991
Tentang Kompilasi Hukum Islam.
Timbul pertanyaan kemudian bagaimanakah kedudukan KHI
dalam tata tertib peraturan perundang-undangan RI ?, Dimanakah letak Instruksi
Presiden?. Bagaimanakah kekuatan mengikatnya serta apakah dapat Inpres
mengesampingkan PP?, dan akhirnya perlukah segera dibentuk Undang-Undang
tentang wakaf ?
II KEDUDUKAN WAKAF BERDASARKAN
HUKUM ISLAM
Wakaf merupakan salah satu bentuk dari lembaga hukum
Islam. Oleh karena itu ketentuan tentang wakaf juga bersumber dari ketentuan
ajaran agama Islam.
Wakaf berasal dari kata waqafa artinya berhenti,
atau diam ditempat atau tetap berdiri atau penahanan [1].
Pengertian wakaf pernah disabdakan oleh
Rasulullah yaitu : "sesungguhnya harta wakaf itu tidak boleh dijual
belikan dan dialihkan serta diwarisi, dan bersedekahlah dengannya kepada fakir
miskin serta sanak keluarga dan orang-orang yang berada dibawah tanggunganmu,
tidaklah mengapa bagi yang mengurusinya untuk memakan hasilnya dengan
alakadarnya serta tidak pula menjadikannya milik pribadinya."[2]
Sejalan dengan
hal itu maka muncul beberapa batasan pengertian tentang wakaf. Abu Hanifah merumuskan wakaf sebagai
penahanan pokok sesuatu harta dalam tangan pemilikan wakaf dan penggunaan hasil
barang itu yang dapat disebutkan ariah atau commodate loan untuk tujuan- tujuan
amal saleh.[3]
Selain itu ada pendapat lain dari Naziroeddin Rachmat ,
Yang dimaksud dengan harta wakaf ialah suatu barang yang sementara
asalnya (zatnya) tetap, selalu berbuah, yang dapat dipetik hasilnya dan yang
empunya sendiri sudah menyerahkan kekuasaannya terhadap barang itu dengan
syarat dan ketentuan bahwa hasilnya akan dipergunakan untuk keperluan amal
kebajikan yang diperintahkan syariat[4]
Dari batasan pengertian di atas
dapat diketahui bahwa wakaf pada dasarnya adalah penahanan pokok untuk
selama-lamanya atas harta untuk kepentingan agama
Dasar hukum dari kewajiban melakukan wakaf di dalam
hukum Islam disebut sebagai dalil diantaranya adalah QS. Al Imron ayat 92 yang terjemahannya
adalah tidaklah akan tercapai oleh kamu kebaikan, sebelum kamu sanggup
membelanjakan sebagian daripada brang yang kamu sayangi.
Selain itu terdapat hadis riwayat jamaah Ahli Hadist
kecuali Buchori dan Ibnu Majah : Bahwa Nabi berkata : Bila mati anak Adam,
terputuslah segala amalnya, kecuali tiga macam, yaitu : sedekah yang terus
menerus, ilmu yang dipergunakan, atau anaknya yang saleh yang selalu
mendoakannya.
Dari ketentuan itu dapat diketahui bahwa betapa
pentingnya bersodakoh atau membelanjakan sebagian harta . Apabila sedekah
dilakukan terus menerus, yaitu wakaf maka pahala tidak akan terputus meskipun
telah mati. Itulah keutamaan melakukan wakaf.
Wakaf yang dilakukan oleh seseorang harus memenuhi rukun
dan syaratnya wakaf. Rukun adalah sesuatu yang wajib ada akan adanya wakaf.
Apabila tidak ada salah satu dari rukun maka wakaf tidak akan pernah ada.
Keberadaan rukun bersifat kumulatif artinya tidak ada salah satu dari rukun
berakibat wakaf tidak sah.
Rukun wakaf ada empat, yaitu :
1.
Ada
orang yang berwakaf (wakif).
2.
Ada
sesuatu atau harta yang akan diwakafkan (mauquf).
3.
Ada
tempat kemana diwakafkan harta itu (al mauquf alaihi).
4.
Ada
aqad sebagai pernyataan timbang terima harta wakaf itu dari tangan si
wakif kepada orang atau tempat berwakaf.
Sedangkan syarat wakaf adalah :
1.
wakaf itu
mesti berkekalan dan terus menerus, artinya tidak boleh dibatasi dengan sesuatu
jangka waktu.
2.
wakaf itu
mesti dilakukan secara tunai, karena berwakaf berarti memindahkan hak milik
pada waktu terjadi wakaf itu.
3.
hendaklah
wakaf itu disebutkan dengan terang kepada siapa diwakafkan.[5]
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa
untuk dapat dikatakan telah ada perwakafan maka harus dipenuhinya empat rukun
secara kumulatif yaitu adanya wakif, nadzir, obyek wakaf (harta) dan akad
wakaf. Sedangkan untuk syarat adanya wakaf yaitu wakaf harus dilakukan
selama-lamanya, secara tunai dan terang
Seorang yang akan berwakaf haruslah atas kehendaknya sendiri dan
benar-benar merupakan niatnya untuk melakukan ibadah atas nama Allah atau hanya
mengharap keridhoan Allah semata. Atas setiap manusia yang menafkahkan sebagian
rezeki yang dikaruniakan Allah untuk
kebaikan , maka Allah berjanji akan membalas perbuatan itu berlipat-lipat.
Nadzir atau pihak yang akan melakukan
pengurusan atas harta wakaf haruslah menjalankan tugasnya dengan penuh amanah.
Oleh karena itu pemilihan nadzir dapat ditentukan oleh wakif dengan
pertimbangan bahwa nadzir yang telah ditunjuk dapat melaksanakan kepercayaan
wakif untuk mengurus harta wakaf dengan penuh amanah.
Obyek wakaf menurut hukum Islam adalah semua
harta yang menjadi milik si wakif secara keseluruhan. Harta itu tidak dibatasi
jenisnya apakah benda bergerak atau
tidak bergerak. Dapat berupa tanah atau harta lainnya yang bukan tanah. Asalkan
kepemilikan secara mutlak adalah milik wakif.
Di dalam hukum Islam seseorang yang akan
berwakaf tidak rumit dalam melakukannya atau prosedur yang harus dilalui hanya
sederhana, yaitu si wakif melakukan akad wakaf kepada nadzir dengan disaksikan
minimal oleh 2 orang saksi yang adil. Akad wakaf itu dapat dilakukan hanya
dengan secara lisan.
Apabila wakaf telah dilakukan dengan benar
memenuhi ketentuan rukun dan syaratnya wakaf, maka wakaf itu menjadi sah.
Akibat hukumnya benda wakaf akan beralih fungsinya untuk kepentingan Allah SWT
atau untuk ibadah. Tidak dibatasi jenis hartanya, sehingga apapun harta yang
dimiliki oleh wakif secara keseluruhan dapat diwakafkan.
III WAKAF DALAM
PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA
Memang benar wakaf
berasal dari lembaga hukum Islam, tetapi kenyataannya di Indonesia juga telah dijumpai tanah
wakaf. Di dalam masyarakat hukum adat juga dikenal tentang wakaf, misalnya di
suku badui di Cibeo (Banten Selatan) dikenal huma serang, di Lombok
dikenal Tanah pareman [6].
Pengertian wakaf menurut hukum
adat dapat disebutkan pendapat dari Koesoema Atmadja ,
wakaf adalah : Suatu perbuatan hukum dengan mana perbuatan
suatu barang / barang keadaan telah telah dikeluarkan/ diambil kegunaannya
dalam lalu lintas masyarakat semula, guna kepentingan seseorang/ orang tertentu
atau guna seseorang maksudnya / tujuan / barang tersebut sudah berada dalam
tangan yang mati [7]
Menurut
Ter Haar wakaf merupakan suatu perbuatan hukum yang rangkap maksudnya adalah :
Perbuatan itu disatu pihak adalah
perbuatan mengenai tanah atau benda yang menyebabkan obyek itu mendapat
kedudukan hukum yang khusus tetapi dilain pihak seraya itu perbuatan itu
menimbulkan suatu badan dalam hukum adat ialah suatu badan hukum yang sanggup
ikut serta dalam kehidupan hukum sebagai subyek hukum.[8]
Selanjutnya wakaf yang telah
memasuki kehidupan masyarakat Indonesia
dalam perkembangannya banyak terjadi penyimpangan. Penyimpangan itu disebabkan
oleh penyelewengan harta wakaf oleh nadzir atau keturunan nadzir dengan mendaku
kepemilikan harta wakaf. Selain itu penyimpangan juga dapat terjadi dalam
bentuk penyimpangan kegunaan atau fungsi wakaf.
Oleh karena itu pemerintah membuat suatu peraturan
tentang wakaf yang bertujuan untuk mengamankan harta wakaf serta mendorong
masyarakat Indonesia
untuk melakukan wakaf sebagai perwujudan dari melaksanakan ibadah karena Allah.
Langkah konkrit itu adalah dengan disahkannya Peraturan
Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik. Sayangnya PP No.
28 Tahun 1977 ini hanya membatasi obyek wakaf hanya pada tanah hak milik saja,
tidak mencakup harta lainnya yang dimiliki oleh wakif. Adapun prosedur yang
dilakukan tidak cukup akad wakaf dilakukan secara lisan saja. Untuk menjamin
kepastian hukum PP No. 28 Tahun 1977 mengharuskan wakaf dilakukan secara lisan
dan tertulis dihadapan pejabat pembuat
akta ikrar wakaf untuk selanjutnya dibuat akta ikrar wakaf. Dengan mendasarkan
akta ikrar wakaf maka tanah hak milik diajukan perubahannya ke Badan Pertanahan
Nasional setelah memenuhi syarat administrasinya untuk diubah menjadi
sertipikat wakaf.
Kenyataan yang ada di masyarakat, terdapat tanah wakaf
yang belum mendapatkan sertipikat wakaf, meskipun akta ikrar wakaf telah
diperoleh, misalnya di wilayah Malang. Dibawah ini akan disajikan data perwakafan
tanah yang ada di wilayah Malang
sampai akhir Desember 2001.
KEADAAN 31 DESEMBER 2001
No
|
Kabupaten
/ Kota |
JML.
TANAH
WAKAF |
BARU BER
AIW / APAIW |
PROSES
BPN
|
BELUM
DIPROSES
|
KET.
|
||||
BID.
|
LUAS
(M2) |
BID.
|
LUAS
(M2) |
BID.
|
LUAS
|
BIDANG
|
LUAS
( M2) |
|||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
8
|
9
|
10
|
11
|
|
MALANG
|
904
|
466.831,63
|
136
|
36.268,36
|
-
|
-
|
32
|
180.750
|
|
Sumber : Departemen Agama RI Tahun 2002
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa data tanah wakaf tahun 2001 sampai tanggal 31 Desember 2001 terdapat 904 bidang tanah wakaf dengan luas tanah 466.831,63 m2. Dari jumlah itu terdapat 136 bidang tanah wakaf yang baru berdasarkan akta ikrar wakaf (seluas 36.268,36 m2) serta 32 bidang tanah wakaf yang belum diproses BPH (seluas 180,750 m2). Dari jumlah itu dapat diketahui bahwa terdapat 736 bidang tanah wakaf dengan luas 430.382,52 m2 yang sudah mempunyai sertipikat wakaf . Apabila dinyatakan dalam presentase terdapat 18,58% yang masih belum mempunyai sertipikat wakaf. Sedangkan tanah wakaf yang sudah bersertipikat di wilayah malang sebesar 82,42 %. Jumlah itu menunjukkan bahwa masyarakat Malang telah mematuhi ketentuan PP No. 28 Tahun 1977 dalam hal melakukan perwakafan tanah miliknya.
Selain itu di
wilayah Surabaya Timur dijumpai masyarakat yang membangun tempat ibadah di
halaman rumah, yang juga untuk umum tetapi mereka enggan mengganggap itu
sebagai benda wakaf . Hal ini dikarenakan mereka masih ragu apabila dikemudian
hari mereka membutuhkan lagi tanah wakaf itu.
Adanya ketentuan PP No. 28 Tahun 1977 ternyata dirasa
masih kurang setelah melihat kebutuhan masyarakat. Terlebih setelah dibentuknya
Pengadilan Agama berdasarkan Undang-Undang No 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan
Agama . Salah satu kekuasaan Pengadilan Agama berdasarkan ketentuan pasal 49 UU
No. 8 Tahun 1989 disebutkan bahwa Pengadilan Agama berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang
wakaf.
Keadaan pada permulaan terbentuknya Pengadilan Agama,
hakim PA sangat membutuhkan adanya pedoman disamping PP No. 28 Tahun 1977.
Mengingat untuk menjadi hakim di Pengadilan Agama salah satu syaratnya adalah
seorang sarjana hukum (lulusan fakultas hukum) bukan seorang sarjana syariah
(lulusan fakultas syariah). Seorang sarjana hukum tentulah minim pengetahuannya
di bidang hukum Islam dibandingkan dengan mereka yang lulusan fakultas syariah.
Untuk mengatasi hal ini disahkanlah kemudian Instruksi
Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Salah satunya juga mengatur tentang
perwakafan. Sebelum tahun 2000. Kompilasi Hukum Islam (KHI) dapat berfungsi
sebagai sumber hukum yang mengikat bagi hakim di PA. Keberadaan KHI dapat ditafsirkan sebagai pelaksanaan dari
TAP MPRS NO. XX/MPRS/1966 tentang
Memorandum DPRGR mengenai sumber tertib hukum RI dan Tata urutan
peraturan perundangan RI. Adapun yang dimaksud dengan sumber tertib hukum
peraturan perundangan RI berdasarkan TAP MPRS NO. XX/MPRS/1966 adalah UUD 1945, Ketetapan MPR, UU / Perpu, PP,
Kepres, Peraturan- peraturan pelaksana lainnya seperti Peraturan Menteri,
Instruksi Menteri dan lain-lainnya. Berdasarkan ketentuan itu dapat diketahui
bahwa penempatan KHI dalam Inpres No 1 Tahun 1991 dapat dimasukkan sebagai
salah satu bentuk peraturan lainnya. Akibatnya KHI sebelum tahun 2000 dapat
sebagai sumber hukum yang mengikat bagi hakim PA.
Setelah adanya TAP MPR-RI No.
III/MPR-RI/2000 tentang sumber hukum dan tata urutan peraturan
perundang-undangan. Adapun tata urutan peraturan perundangan RI meliputi UUD
1945, Ketetapan MPR, UU, Perpu, PP, Kepres. Dari ketentuan itu diketahui bahwa
tidak disebutkan Instruksi Presiden sebagai salah satu sumber tertib peraturan
perundangan RI. Akibat hukum dari adanya ketentuan TAP MPR-RI NO III/MPR/2000
adalah KHI yang semula sebagai sumber tertib hukum sekarang bukanlah sebagai
sumber hukum melainkan hanya berfungsi sebagai kitab hukum yang tidak mempunyai
kekuatan mengikat bagi hakim PA.
Obyek hukum wakaf berdasarkan ketentuan KHI meliputi
benda bergerak dan tidak bergerak. Hal ini dapat diketahui berdasarkan
ketentuan pasal 1 angka 4 KHI tentang
pengertian benda wakaf adalah segala benda baik bergerak atau tidak bergerak
yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut
ajaran Islam. Sayangnya perluasan obyek hukum itu hanyalah merupakan wacana
sehingga untuk saat ini perlu sekali segera dibentuk peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang wakaf dalam bentuk undang-undang.
IV PEMIKIRAN WAKAF KEARAH UNDANG-UNDANG
Penempatan wakaf sangat diperlukan
dalam bentuk undang-undang daripada dalam bentuk peraturan pemerintah, karena
lebih terjamin kepastian hukum dan perlindungan hukumnya.
Pemikiran ke arah perkembangan
wakaf menjadi suatu undang-undang, perlu adanya perbaikan dalam hal siapa saja
yang dapat sebagai wakif, bagaimana kriteria wakif yang baik dan apa saja hak- hak dan
kewajibannya, apa saja yang dapat sebagai obyek wakaf dan bagamaina prosedurnya.
Pemikiran
mengenai yang dapat menjadi wakif
adalah perlu adanya perluasan siapa saja yang dapat menjadi wakif.
Selama ini berdasarkan PP No. 28 Tahun 1977 wakif hanya dibatasi pada orang ,
orang-orang, atau badan hukum yang memiliki tanah hak milik. Obyek wakaf hanya
dibatasi pada benda tetap yang berupa tanah hak milik saja. Untuk memberikan
dorongan bagai umat Isalam untuk mewujudkan pelaksanaan ibadah kepada ALLAH
melalui wakaf maka tidak perlulah seseorang itu menunggu mempunyai tanah hak
milik. Cukup apabila seseorang itu memiliki harta baik benda tetap atau benda
tidak tetap, asalkan benda itu merupakan harta milik wakif secara keseluruhan
dan adanya niat wakif untuk mewakafkan hartanya itu secara kekal atau terus
menerus.
Terhadap hal ini ada pemikiran
dari KH. Sechul Hadi Permono mengenai seorang wakif dapat mewakafkan hartanya
misalnya tanah hak miliknya untuk jangka waktu tertentu, tujuannya untuk
memanfaatkan lahan tidur. Sebagaimana pengertian wakaf menurutnya yaitu :
perbuatan hukum seesorang atau sekelompok orang atau badan hukum untuk
memisahkan sebagian dari harta miliknya dan melembagakannya guna kepentingan
ibadah atau kepentingan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam dan
perundang-undangan yang berlaku [9].
Berkaitan dengan hal itu tidaklah
tepat pengertian wakaf untuk harta yang penyerahannya untuk jangka waktu
tertentu. Sebab syarat adanya wakaf adalah seseorang itu menyerahkan hartanya
untuk kepentingan ALLAH semata dan bersifat kekal atau untuk selama-lamanya.
Apabila harta itu diperluas tidak hanya tanah hak milik saja itu benar asalkan
tetap harta itu merupakan milik wakif secara keseluruhan. Apabila tentang
lamanya atau waktu wakaf yang dibatasi sekehendak wakif maka hal itu bukanlah
memenuhi unsur wakaf dan hanya dapat disebut sebagai sedekah.
Selanjutnya pemikiran kedua
mengenai perbaikan wakaf dalam suatu undang-undang adalah mengenai harta wakaf.
Hukum Islam tidak membatasi obyek hukum wakaf hanya pada tanah hak milik saja.
Keberadaan PP No. 28 tahun 1977 memang hanya dibatasi pada tanah hak milik
saja. Hal ini untuk memudahkan pemantauan dan menyelamatkan harta wakaf benda
tetap untuk publik. Hal itu tidak berarti wakaf hanya dapat dilaksanakan untuk
benda yang berupa tanah hak milik saja, karena Inpres No 1 Tahun 1991 membuka perluasan
obyek wakaf meliputi benda bergerak atau tidak bergerak milik wakaf. Sayangnya
keberadaan obyek wakaf berdasarkan Inpres No. 1 Tahun 1991 ini secara
formalitas bukan merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-undangan
berdasarkan ketentuan TAP MPR-RI NO. III/MPR/2000 dan hanya berfungsi sebagai
kitab hukum saja.
Oleh karena itu perlu penekanan
secara yuridis tentang benda apa saja yang dapat diwakafkan ke dalam
undnag-undang wakaf nantinya. Sebagai bahan pertimbangan obyek wakaf perlu
penekanan pada substansi benda wakaf atau unsure pokok benda wakaf yaitu harus
berhenti atau penahanan pokoknya .
Perdebatan tentang unsur kekal dari benda wakaf tampak antara madzab
Syafi’I dan Hanafi dengan madzab Maliki
.
Imam Syafi'i misalnya, sangat
menekankan wakaf pada fixed asset (harta tetap) sehingga menjadikannya sebagai
syarat sah wakaf. Mengingat di Indonesia secara fikih kebanyakan adalah
pengikut mazhab Syafi'i, maka bentuk wakaf yang lazim kita dapatkan berupa
tanah, masjid, madrasah, dan aset tetap lainnya.
Di lain pihak, Imam Maliki mengartikan
''keabadian'' lebih pada nature barang yang diwakafkan, baik itu aset tetap
maupun aset bergerak. Untuk aset tetap, seperti tanah, unsur keabadian
terpenuhi karena memang tanah dapat dipakai selama tidak ada longsor atau
bencana alam yang menghilangkan fisik tanah tersebut, demikian juga halnya
dengan masjid atau madrasah. Selain itu Imam Maliki memperluas lahan wakaf
mencakup barang-barang bergerak lainnya, seperti wakaf susu sapi atau wakaf
buah tanaman tertentu. Yang menjadi substansi adalah sapi dan pohon, sementara
yang diambil manfaatnya adalah susu dan buah. Ia membuka luas kesempatan untuk
memberikan wakaf dalam jenis aset apa pun, termasuk aset yang paling likuid
yaitu uang tunai (cash waqf).[10]
Dari uraian di atas dapat
dipikirkan adanya perluasan mengenai obyek hukum wakaf. Dapat berupa uang yang
dimiliki oleh wakif berapapun jumlahnya yang dikelola dan dikumpulkan oleh suatu badan baik badan bentukan pemerintah
atau badan sosial yang nantinya dapat
dibelikan sebuah lahan misalnya dibelikan tanah hak milik yang nantinya dapat
diubah menjadi tanah wakaf. Seperti yang telah dilakukan oleh persyarikatan
Muhammadiyah di Kalimantan Selatan telah menguasai/memiliki 323 persil tanah
dengan luas 606.198,45 m2 [11].
Diantara tanah wakaf itu ada yang pembeliannya melalui pengumpulan uang dari
sumbangan masyarakat untuk lahan pekuburan, dimana yang memberikan sumbangan
mendapat imbalan berupa hak berkubur di atas tanah itu untuk dirinya sendiri
atau keluarganya.[12].
Bentuk benda yang dapat diwakafkan
dapat pula berupa suatu benda yang pasti akan ada dikemudian hari misalnya
keuntungan menjalankan usaha milik sesorang. Hal ini sebenarnya sudah pernah
dilakukan pada masa lalu yaitu
sudah dipraktekkan sejak awal abad kedua
hijriyah. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa Imam az Zuhri (wafat 124 H)
salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar tadwin al hadits
memfatwakan, dianjurkan wakaf dinar dan dirham untuk pembangunan sarana dakwah,
sosial, dan pendidikan umat Islam. Adapun caranya adalah dengan menjadikan uang
tersebut sebagai modal usaha kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf.[13]
Selanjutnya apabila dikaji, terdapat manfaat
yang lebioh besar apabila wakaf dilakukan dalam bentuk uang, yaitu :
Pertama, wakaf uang jumlahnya bisa bervariasi sehingga seseorang yang
memiliki dana terbatas sudah bisa mulai memberikan dana wakafnya tanpa harus
menunggu menjadi tuan tanah terlebih dahulu.
Kedua, melalui wakaf uang, aset-aset wakaf yang berupa tanah-tanah kosong
bisa mulai dimanfaatkan dengan pembangunan gedung atau diolah untuk lahan
pertanian.
Ketiga, dana wakaf tunai juga bisa membantu sebagian lembaga-lembaga
pendidikan Islam yang cash flow-nya terkadang kembang-kempis dan
menggaji civitas akademika alakadarnya.
Keempat, pada gilirannya, insya Allah, umat Islam dapat lebih mandiri dalam
mengembangkan dunia pendidikan tanpa harus terlalu tergantung pada anggaran
pendidikan negara yang memang semakin lama semakin terbatas.[14]
Selanjutnya benda wakaf apabila
dikelola dengan baik misalnya dipikirkan perlunya pengembangan obyek wakaf ke
arah usaha yang produktif maka akan dapat diupayakan dapat mendapatkan
keuntungan, misalnya untuk dana pendidikan.
Seperti kita ketahui anggaran
pendidikan Indonesia
tahun 2002
pemerintah telah berupaya maksimal
mengalokasikan Rp 11,6 triliun rupiah atau sekitar 24,5 persen dari total
anggaran pembangunan, untuk anggaran pendidikan, kebudayaan nasional, pemuda
dan olah raga. Jumlah itu ternyata sangat sedikit apabila dibandingkan dengan anggaran pendidikan negara-negara maju yang
mencapai 7 persen dari Gross Domestic Product (GDP), sementara itu, di negara
negara berkembang 2,5 persen. Khusus Indonesia, anggaran pendidikan kita
baru mencapai 1 persen dari GDP.
Sebagai bahan pertimbangan terdapat
lembaga Islam terkemuka seperti al-Azhar University Cairo, Universitas
Zaituniyyah di Tunis, dan ribuan Madaris Imam Lisesi di Turki. Universitas
Nizamiyyah di Baghdad mampu bertahan berabad-abad lamanya, dan memberikan
beasiswa kepada jutaan mahasiswa selama lebih dari 1.000 tahun dari seluruh
penjuru dunia. Lembaga pendidikan ini bukanlah yang fully profit oriented.
Mereka adalah lembaga pendidikan yang lebih bercorak sosial. Sumber pendanaan
mereka adalah berasal dari keberhasilan mengembangkan cash waqf sebagai
sumber dana untuk pengembangan dan operasional pendidikan. [15]
Selanjutnya pemikiran ketiga
mengenai perbaikan wakaf ke arah undang-undang adalah perbaikan mengenai
nadzir. Selama ini nadzir bekerja hanya berdasarkan keikhlasan atau hanya
berdasarkan ibadah lillahitaallah. Hal ini membawa akibat potensi kerja nadzir
tidak professional, hanya menjalankan tugas rutinitas tanpa memikirkan adanya
pengembangan bagaimana mengelola wakaf supaya lebih mendatangkan keuntungnan
yang natinya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pengembangan islam. Perlu
dipikirkan pemberian imbalan hasil jerih payah nadzir sebagai penghasilan.
Seperti yang telah dilakukan di negara Turki, misalnya, badan pengelola wakaf
mendapatkan alokasi 5 persen dari net income wakaf. Angka yang sama juga
diterima Kantor Administrasi Wakaf Bangladesh. Sementara itu, The
Central Waqf Council India mendapatkan sekitar 6 persen dari net income
pengelolaan dana wakaf.[16]
Keberadaan nadzir memang harus
betul-betul amanah, apabila benda wakaf yang dikelola sangat besar nilainya dan
diselewengkan, maka akan membuat nadzir itu menjadi kaya raya. Hal ini seperti
adanya harta wakaf yang berupa Auqaf Ashy, Bait Ashy, atau Daar Ashy di kawasan Qasyasyisah di Makkah
Almukaromah yang berjumlah 21 dari wakif yang bernama Haji Bugag Aceh yang diselewengkan oleh nadzirnya. Jika rumah
itu dijual semuanya atau sewanya dikembalikan kepada rakyat rakyat Aceh maka
empat juta rakyat akan dapat hidup makmur.[17]
|
Selanjutnya untuk pemikiran wakaf
kearah undang-undang yang keempat adalah tentang prosedur. Hukum Islam hanya
mensyaratkan adanya akad wakaf dari wakif kepada nadzir, dapat dilakukan secara
lisan asalkan disaksikan oleh dua orang. PP No. 28 Tahun 1977 mengatur prosedur
wakaf harus dilakukan secara tertulis antara wakif kepada nadzir dengan
disaksikan oleh PPAIW untuk dibuatkan Akta Ikrar Wakaf, yang nantinya akta
ikrar wakaf itu nantinya akan diganti menjadi sertipikat wakaf (yang semula
dari sertipikat hak milik).
Sebagai perbaikan mengingat obyek
wakaf dapat berupa benda tetap dan benda tidak tetap, maka untuk benda tetap
dapat dilaksanakan sesuai prosedur PP No. 28 Tahun 1977 sedangkan untuk yang
lainnya dapat ditentukan minimal nilai harta wakaf sebesar X rupiah dilaksanakan didepan
notaries dan dibawah nilai nominal x rupiah dilakukan tanpa harus dilakukan
dihadapan notaris.
V KESIMPULAN
Wakaf merupakan salah satu lembaga
hukum Islam Pelaksanaanya di Indonesia mengalami perkembangan. Secara yuridis
terdapat peraturan yang mengatur tentang wakaf, yaitu PP No. 28 Tahun 1977 dan
Inpres No. 1 Tahun 1991. Peraturan itu belum memenuhi kebutuhan masyarakat,
perlu segera dibuat undang-undang tentang wakaf yang memberikan kepastian
hukum.
Terdapat pemikiran ke arah
perbaikan peraturan tentang wakaf yaitu
tentang siapa wakif yang pada dasarnya orang yang memiliki harta yang
akan diwakafkan secara kekal.Obyek wakaf perlu diperluas menjadi benda bergerak
atau tidak bergerak atau yang sudah ada atau yang akan ada. Misalnya wakaf uang
atau wakaf keuntungan usaha. Selanjutnya tentang nadzir perlu diberi kepastian
imbalan pengurusan x % dari perolehan keuntungan wakaf untuk mendorong cara
kerjanya lebih professional. Selain itu perlu diatur prosedur wakaf yang
dibedakan berdasarkan jenis bendanya. Misalnya untuk wakaf tanah perlu prosedur
seperti PP No. 28 Tahun 1977. Tetapi untuk bentuk obyek wakaf yang lainnya
dengan batas X rupiah untuk kepastian hukumnya dapat dibuat dalam bentuk akta
notaries.
DAFTAR RUJUKAN
Abdurrahman, 1990, Masalah perwakafan tanah milik dan kedudukan
tanah wakaf di negara kita, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Adijani al-Alabij,1992, Perwakafan Tanah di Indonesia dalam teori
dan praktek, Rajawali Pers, Jakarta.
Muhammad Syafi’I Antonio, 2002,
Cash waqf dan Anggaran pendidikan umat, www.alislam.or.id.
Sechul Hadi Permono, “Hukum Waris, Wasiat, Hibah dan Wakaf kaitannya
dengan penyusunan RUU tentang Hukum Terapan Peradilan Agama”, Makalah
disampaikan dalam debat publik RUU tentang Hukum Terapan Peradilan Agama Depag
RI di Garden Palace Hotel, Surabaya,
25 September 2002.
Undang-Undang 1945
TAP MPRS NO. XX/MPRS/1966
TAP MPR-RI NO. III/MPR-RI/2000
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Hak
Milik
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
* Dimuat
dalam jurnal Prespektif Hukum. Vol.3 No. 1
[1] Abdurrahman, 1990, Masalah perwakafan tanah milik dan kedudukan
tanah wakaf di negara kita, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 5.
[3] Ibid., hal. 6.
[4] Ibid.
[5] Ibid., hal. 9.
[6] Ibid., hal 14.
[7] Ibid. hal. 15.
[8] Ibid.
[9] KH. Sechul Hadi Permono, Hukum Waris, Wasiat, Hibah dan Wakaf
kaitannya dengan penyusunan RUU tentang Hukum Terapan Peradilan Agama, Makalah
disampaikan dalam debat publik RUU tentang Hukum Terapan Peradilan Agama Depag
RI di Garden Palace Hotel, Surabaya, 25 September 2002.
[10] Muhammad Syafi’I Antonio, 2002,
Cash waqf dan Anggaran pendidikan umat, www.alislam.or.id.
[11] Adijani al-Alabij,1992, Perwakafan Tanah di Indonesia dalam
teori dan praktek, Rajawali Pers, Jakarta, hal 91.
[12] Ibid , hal. 97
[13] Muhammad Syafi’I Antonio. Op.cit
[14] Ibid.
[15] Ibid
[17] Tamaddun, op.cit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar