KESALEHAN INDIVIDUAL DAN SOSIAL SEBAGAI PENANGKAL PERILAKU KORUPSI
Jum'at, 22 September 2006 16:54 WIB
اَ لْحَمْدُ ِلله ِاَّلذِيْ
اَنْعَمَناَ بِنِعْمَةِ اْلإ ِ يْمَانِ وَاْلإِسْلاَمِ وَ بِشَرِيْعَةِ
نَبِيِّنَامُحَمَّدٍ صَلىَّ الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَه
إلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ
رَسُوْلُهُ . اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَىسَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النَِّبيِّّ اْلأُ
مِّيِّ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَجَمِيْعِ أُمَّتِهِ وسَلَّمَ. أَعُوْذُ بِاللهِ
مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ بِسْمِ اللهِ الَّرْحمنِ الَّرحِيْمِ هُوَ الَّذِي
جَعَلَكُمْ خَلاَ ئِفَ فِي ْالأَ رْضِ فَمَنْ كَفَرَ فَعَلَيْهِ كُفْرُهُ
وَلاَ يَزِيْدُ الْكَافِرِيْنَ كُفْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ إِلاَّ مَقْتًا وَلاَ
يَزِيدُ الْكَافِرِينَ كُفْرُهُمْ إِلاَّ خَسَارًا. أَمَّابَعْدُ ،
فَيَاعِبَادَالله أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَ ىاللهِ فَقَدْ فَازَ
اْلمُتَّقُوْنَ.
Hadirin jama’ah Jum’at
yang dimulyakan Allah Swt.
Segala puji dan syukur bagi Allah
Swt., Tuhan yang telah senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya bagi
seluruh makhluk-Nya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad Saw., keluarga, sahabat, serta umatnya yang setia
mengikuti ajarannya.
Dalam kesempatan khutbah
kali ini, khatib berwasiat kepada diri sendiri maupun jama’ah sekalian, marilah
kita senantiasa meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Allah Swt. Takwa dalam
pengertian yang seluas-luasnya, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, sosial
kemasyarakatan, maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hadirin jama’ah Jum’at
yang dimulyakan Allah Swt.
Allah Swt. berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإ ِنْسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ.
Dan Aku tidak menciptakan
jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. Adz-Dzâriyât
[51]: 56)
Ayat tersebut memberi
pengertian bahwa, satu-satunya tujuan diciptakannya jin maupun manusia adalah
beribadah kepada Allah. Ibadah yang dimaksud di sini adalah ibadah dalam
pengertian yang seluas-luasnya. Kata ibâdah
yang berarti menyembah mempunyai akar yang sama dengan kata ‘abdun yang berarti hamba
atau budak. Oleh karena itu, ibadah berarti pengabdian total kepada Allah Swt.
Ibadah merupakan ekspresi ketaatan manusia terhadap Penciptanya dalam seluruh
aspek kehidupannya.
Manusia adalah hamba Allah
(‘abd Allâh).
Dalam posisi ini, maka seluruh gerak dan langkah kehidupan manusia seharusnya
semata-mata diorientasikan untuk mengikuti segenap perintah-Nya, dan menjauhi
segala larangan-Nya. Dalam ayat lain, Allah Swt. berfirman:
...اعْبُدُوا الله َ وَاتَّقُوهُ ذَالِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ
كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ.
… Sembahlah
olehmu Allah dan bertakwalah kepada-Nya. Yang demikian itu adalah lebih baik
bagimu, jika kamu mengetahui. (QS. Al-‘Ankabût [29]: 16)
Sementara itu, dalam
pengertian yang lebih khusus, kata ‘ibâdah
dipahami sebagai ritualitas atau amalan-amalan keagamaan yang
didasarkan pada ketentuan-ketentuan syari’at. Dengan kata lain, hubungan
antara hamba (‘abdun)
dan Allah Swt. (al-Khâliq)
dalam hal ini diwujudkan melalui ritualitas (‘ubûdiyyah) yang mengacu pada
ketentuan-ketentuan syari’at. Dalam sebuah kaidah ushul fiqh dinyatakan, bahwa
segala praktek ritual (‘ubûdiyyah)
pada dasarnya dilarang dikerjakan (harâm), kecuali dengan
mengacu pada ketentuan-ketentuan al-Qur'an dan as-Sunnah. Artinya, manusia
tidak diperkenankan membuat cara-cara ritual baru dalam beribadah kepada Allah
Swt. Penambahan atau pengurangan terhadap tata cara peribadatan merupakan
bentuk penyimpangan keagamaan atau bid’ah.
Pengertian semacam ini adalah pengertian ibadah ritual atau yang disebut ibadah
makhdlah,
seperti ketentuan shalat dan haji.
Akan tetapi, apakah yang
disebut ibadah terbatas pada praktek ritual? Tentu saja tidak. Sebab jika
demikian, agama akan mengalami penyempitan makna. Padahal, agama menyatakan
bahwa semua perbuatan manusia, baik perbuatan dalam konteks individual maupun
kolektif akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Manusia bahkan harus
mengorientasikan seluruh aktifitasnya sebagai bentuk ibadah kepada Allah. Oleh
sebab itu, ibadah tidak terbatas pada shalat atau haji, tetapi mencakup seluruh
perbuatan manusia.
Hadirin jama’ah Jum’at
yang dimulyakan Allah Swt.
Imam al-Ghazali (450 H - 505 H)
adalah ulama tasawuf besar yang dijuluki ‘hujjatu
l-islâm’. Semasa hidupnya ia banyak menulis karya yang menjelaskan
makna ibadah. Banyak orang menyebutnya sebagai ilmuwan yang menjembatani
dimensi syari’at dengan dimensi tasawuf. Karya-karyanya monumentalnya, seperti Ihyâ` ‘Ulûmi d-dîn,
al-Adabu fî d-Dîn,
Bidâyah al-Hidâyah
dan lain-lain, secara luas mengkaji makna yang terkandung dalam praktek-praktek
ibadah ritual, serta memberi gambaran yang jelas tentang makna ibadah dalam
arti luas.
Bentuk ritual ibadah
seberapapun individualnya ia dipraktekkan selalu berkaitan dengan aspek-aspek
moral dan etika yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia sebagai
makhluk sosial. Artinya meskipun ibadah ritual pada dasarnya bersifat
individual, ia mengandung prinsip dan pesan moral yang harus diimplementasikan
dalam kehidupan manusia secara keseluruhan, tidak saja dalam diri pribadinya
tetapi juga dalam kehidupan sosialnya.
Islam hadir ke dunia ini
bukan untuk menyuruh umatnya untuk hidup mengucilkan diri di balik
tembok-tembok suci peribadatan dalam rangka menjalankan ritualitas ibadah
formal semata-mata. Sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatal li l-‘âlamîn),
Islam mengajak pemeluknya untuk mampu menjalankan peran-peran kemanusiaan
secara luas. Oleh sebab itu, di samping sebagai hamba Allah (‘abdu llâh), manusia juga
mendapatkan tugas mulia dari Allah Swt., yaitu sebagai khalîfah atau pengatur
kehidupan di muka bumi. Dalam hal ini Allah berfirman:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَ ئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي
ْالأَرْضِ خَلِيْفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ
الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ
مَا لاَتَعْلَمُونَ.
Ingatlah ketika Tuhanmu
berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". (Qs. Al-Baqarah [2]: 30)
Dalam ayat lain
ditegaskan,
هُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلاَ ئِفَ فِي ْالأَ رْضِ فَمَنْ كَفَرَ
فَعَلَيْهِ كُفْرُهُ وَلاَ يَزِيْدُ الْكَافِرِيْنَ كُفْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ
إِلاَّ مَقْتًا وَلاَ يَزِيدُ الْكَافِرِينَ كُفْرُهُمْ إِلاَّ خَسَارًا.
Dia-lah yang menjadikan
kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barangsiapa yang kafir, maka (akibat)
kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-orang yang kafir itu
tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran
orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka
belaka.
(QS. Fâthir [35]: 39)
Dalam kapasitasnya
sebagai khalifah,
manusia diberi mandat dan kekuasaan oleh Allah Swt. untuk mengelola, mengurus,
merawat dan melestarikan bumi berikut isinya. Manusia diberi
kekuasaan untuk memanfaatkan bumi dan segala isinya untuk kemaslahatan umat
manusia. Pada
saat itulah, manusia seharusnya menciptakan pola hubungan yang harmonis, baik
antar-sesama manusia maupun dengan makluk-makhluk lainnya. Keharmonisan
hubungan antar sesama manusia dilakukan dalam berbagai aspek kehidupan, baik
secara sosial, politik, ekonomi, budaya dan sebagainya, bahkan hubungan antara
manusia dengan alam semesta, seperti tumbuh-tumbuhan, hewan, gunung-gunung,
planet-planet luar angkasa dan lain-lain. Kesemuanya itu merupakan bentuk
ibadah. Inilah makna yang terkandung dalam kalimat iftitâh shalat kita:
إِنَّ صَلاَ تِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لله ِرَبِّ
الْعَالَمِينَ.
“…Sesungguhnya shalatku,
ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam…” (QS. Al-An’âm [6]: 162)
Dengan menyadari bahwa ibadah tidak terbatas pada amalan-amalan ritual, maka
seseorang akan selalu mempergunakan hati dan pikirannya dalam pergaulan (mu’âmalah) di dunia ini.
Ia tidak akan berbuat kezaliman terhadap sesamanya, baik kezaliman fisik,
psikis, ataupun kezaliman dengan cara merampas hak orang lain, termasuk dengan
cara korupsi. Ibadah ritual sebanyak apapun tidak akan berarti apa-apa jika
orang yang melakukannya tidak mampu menjaga dirinya dengan baik
tindakan-tindakan sosialnya. Orang yang rajin melakukan shalat, berkali-kali
haji, dengan memenuhi ketentuan pelaksanaannya secara fiqih belumlah bisa
disebut pribadi yang saleh jika ia masih gemar memakan harta haram, menyakiti
orang lain, dan berbuat kezaliman-kezaliman di muka bumi.
Di sinilah kita bisa
memahami bahwa beragama dalam konteks yang lebih luas, adalah menjaga hablum mina llâh dan habl mina n-nâs. Keduanya
merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain, yang harus
bermuara pada pencapaian keridlaan Allah Swt.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar