Kamis, 19 Juni 2014

ANJURAN WAKAF



ANJURAN WAKAF

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ تَعاَلىَ عَنْهُمَا قَالَ: اَصَابَ عُمَرُ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ اَرْضًا بِخَيْبَرَ فَاَتَى النَّبِىَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيْهَا, فَقاَلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ اِنىِّ اَصَبْتُ اَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ اُصِبْ مَالاً قَطُّ هُوَ اَنْفَسُ عِنْدِيْ مِنْهُ فَقَالَ اِنْ  شِئْتَ حَبَسْتَ اَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ اَنَّهُ لاَ يُبَاعُ اَصْلُهَا وَلاَ يُوْرَثُ وَلاَ يُوْ هَبُ فَتَصَدَّقَ بِهَا فِى الْفُقَرَاءِ وَفىِ الْقُرْبَى وَفِى الرِّقَابِ وَفىِ سَبِيْلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيْلِ وَالضَّيْفِ لاَ جُنَاحَ عَلىَ مَنْ وَلِيَّهَا اَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوْفِ, وَيُطْعِمَ صَدِيْقًا غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ مَالاً. (متفق عليه واللفظ لمسلم وفى رواية للبخاري: تَصَدَّقَ بِاَصْلِهَا لاَ يُبَاعُ وَلاَ يُوْ هَبُ وَلَكِنْ يُنْفَقُ ثَمْرُهُ.          

Artinya : Dari Ibnu Umar r.a beliau berkata : Umar mendapat tanah di Khaibar lalu beliau mendatangi Nabi saw. Untuk meminta fatwanya tentang tanah itu, seraya berkata : Ya, Rasulullah : sesungguhnya saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya tidak mendapat harta yang lebih berharga bagi saya daripada sebidang tanah itu. Lalu Rasulullah bersabda : jika kamu mau, maka tahanlah pokoknya lalu sedekahkan hasilnya. Kata Ibnu Umar : Lalu Umar mensedekahkan hasilnya. Sesungguhnya tanahnya tidak dijual, tidak diwariskan, tidak dihibahkan, lalu beliau sedekahkan hasilnya pada fakir miskin, keluarga-keluarga terdekatnya, untuk memerdekakan hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Tidak berdosa atas penggarapnya/pengurusnya memakan sebagian hasilnya dengan cara yang baik, boleh di berikan makan temannya, dengan tidak mengambil harganya. Muttafaq ‘alaih. Susunan matan tersebut menurut riwayat Muslim. Dalam riwayat Al Bukhari : Beliau sedekahkan pokoknya tidak dijual, dan tidak dihibahkan, tetapi diinfaqkan hasilnya.


URAIAN
1. Makna lafadz / istilah
Wakaf menurut bahasa adalah “ALHABSU” (menahan). Sedang menurut istilah syara’ ialah menahan harta milik dalam kepentingan sabilillah, yakni hasilnya untuk diberikan kepada fakir miskin, pemeliharaan anak yatim piatu, pendirian dan pemeliharaan rumah-rumah ibadah dan kepentingan sosial, sedang modal pokoknya masih dikuasai oleh pemiliknya semula.
Yang dimaksud kalimat يَسْتَأْمِرُهُ ialah يَسْتَشِيْرُهُ meminta petunjuk atau minta fatwa kepada Nabi saw. Tanah Umar yang diperoleh di kahibar itu bernama “Tsamagh” demikian menurut A-Bukhari.
Lafadz انفس adalah sinonim dengan  اجود yang artinya lebih baik.
Yang dimaksud dengan rangkaian kalimat وتصدقت بها ialah mensedekah kan manfaat yang didapat dari tanah itu. Interpretasi yang demikian diperoleh berdasarkan riwayat Al Bukhori yang mengatakan حَبِّسْ اَصْلَهَا وَسَبِّلْ ثَمْرَتَهَا (tahan pokoknya dan sedekahkan buahnya)
Lafadz غير متمول artinya tidak memilikinya sebagai harta kekayaan (Al-Haditsun Nabawi, III/156).
2. Makna Global
Amalan wakaf amat besar artinya bagi kehidupan sosial-ekonomi, kebudayaan dan keagamaan. Karenanya syariat Islam meletakkan amalan wakaf sebagai salah satu macam ibadah yang amat digemarkan.
Dari hadits di atas dapat kita peroleh pengertian, bahwa wakaf Umar tersebut ditujukan untuk kepentingan umum. Meskipun disebutkan juga tujuan untuk sanak - kerabatnya, disamping tujuan yang bersifat umum.
Wakaf yang dilakukan oleh Umar tersebut benar-benar hasilnya dapat dinikmati oleh masyarakat secara luas dan dapat dijadikan salah satu sarana untuk menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat, baik sosial-ekonomi, pendidikan, kebudayaan maupun keagamaan.

3. Hadits dalam kajian para ulama’
Hadits Umar tersebut mengandung  ketentuan syariat wakaf.
Menurut orang-orang Muhajirin, bahwa wakaf yang mula pertama dilakukan dalam Islam ialah wakaf Umar ini. Akan tetapi menurut analisa orang-orang Anshor, bahwa sedekah yang berfungsi wakaf yang mula dilaksanakan dalam islam ialah wakaf tanah Mukhairiq yang semula tanah itu diwasiatkan kepada Nabi saw, kemudian oleh beliau terus diwakafkan
Jumhurul ulama’ berpendapat, bahwa Hukum wakaf itu jawaz. Dalam hal ini Imam At-Turmudzi mengatakan bahwa tidak ada perselisihan pendapat para sahabat dan ulama’ Mutaqoddimin tentang jawaznya melakukan wakaf atas tanah.
Sedang ulama’ lain memandang bahwa wakaf itu disunatkan dan merupakan perbuatan terpuji (Al-Haditsun Nabawi, III/156)
Dalam hadits di atas Umar menerangkan kepada Nabi, bahwa tanah yang beliau peroleh di khaibar itu merupakan harta yang paling baik baginya. Maka beliau bertanya kepada Nabi tentang apakah yang lebih baik dilakukan terhadap tanahnya. Menurut pertimbangan Nabi, bahwa Umar boleh mewakafkan tanahnya, yaitu menahan tanah itu sendiri di dalam miliknya dan mensedekahkan hasil yang diperoleh dari tanah tersebut. Maka Umarpun mensedekahkan hasil tanah itu atas nama wakaf dengan syarat tanah tersebut dipusakakan oleh seorang keluarga.
Umar mensedekahkan hasil tanahnya itu kepada fakir-miskin, dzawil qurba, dan para mukatab (budak) guna melepaskan mereka dari perbudakan, juga untuk Ibnu sabil, untuk para pejuang di jalan Allah, para musafir yang kehabisan belanja, dan untuk menjamu tamu. (Mutiara Hadits, V/597).
Sabda Nabi “Tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diwariskan”, menurut Ash-Shonani, dapat digunakan menolak/membantah pendapat Abu Hanifah yang membolehkan menjual wakaf. Kata Abu Yusuf, sesungguhnya seandainya hadits ini sampai kepada Abu Hanifah, niscaya beliau akan berpendapat berdasarkan hadist tersebutdan pasti beliau akan menarik fatwanya yang membolehkan jual beli harta wakaf itu. (Subulus Salam, III/88).
Pendapat kuat dari mazshab Syafii ialah bahwa milik yang ada pada orang yang diberi wakaf itu berpindah kepada Allah Azza Wajalla, maka harta itu bukan lagi milik orang yang berwakaf dan bukan pula milik orang yang diberi wakaf.
Malik dan Ahmad, berpendapat bahwa milik itu berpindah ketangan orang yang diberi wakaf (Fiqh as-Sunnah, III/382).
Kalau kita pahami dari hadist,  bahwa benda asal yang diwakafkan itu haruslah kekal zatnya. Akan tetapi bagaimana halnya bila benda yang diwakafkan itu sudah tidak lagi memberi manfaat atau sudah rusak sama sekali, apakah dapat dijual atau dapat dipindahkan ketempat lain ?
Menurut pendapat yang kuat tidak ada halangan menjual harta wakaf yang sudah tidak dapat memberi manfaat, selama hasil penjualannya itu digunakan membeli barang yang diwakafkan kembali. Mengganti barang wakaf yang sudah tidak berfungsi dengan wakaf baru adalah sama dengan mengekalkan harta wakaf.
Imam Ahmad membolehkan mengganti sebuah masjid dengan masjid lain demi suatu kemaslahatan yang diperlukan, sebagaimana halnya beliau juga membolehkan merubahnya untuk kepentingan yang sama. Beliau mengeluarkan suatu atsar dari sahabat Umar bin Khatab yang mengganti masjid kuno di Kuffah dengan masjid lain. Sedang bekas masjid yang lama dijadikan pasar (Al-Haditsun Nabawi, III/168).
Adapun yang dimaksud dengan “cara yang baik (ma’ruf) ialah kadar yang biasa berlaku. Dan ada yang mengatakan menurut ukuran yang memenuhi kebutuhannya.
Jadi bagi orang yang mengurusi harta wakaf, diperbolehkan untuk memakan sebagian dari hasil wakaf itu. Hal ini didasarkan hadits Ibnu Umar.

لاجناح على من وليها ان يأكل منها بالمعروف                          


Artinya :Tidak ada halangan bagi orang yang mengurusinya untuk menahan sebagian (hasil) darinya dengan cara yang baik (ma’ruf)

Al-Qurtubi berkata “Telah terbiasa bahwa pengurus itu menahan sebagian dari hasil wakaf, sehingga seandainya pewakaf mensyaratkan agar pengurus tidak menahan sebagian dari hasilnya, tentulah tidak akan diterima persyaratan itu. (Fiqh as-Sunnah, III/385).
Sabda Nabi “Ghaira Mtamawwil” itu maksudnya tidak mengambilnya sebagai harta milik dari wakaf itu. Maksudnya bahwa pengurus tidak memiliki sedkitpun harta wakaf itu dan tidak menerima harganya (tidak boleh dijual) akan tetapi dia hanya mempunyai hak menginfakkannya di jalaqn Allah. (Subulus Salam, III/88).

4. Hal-hal yang dapat disimpulkan dari kandungan hadits.
a.   Harta wakaf tidak dapat dipindahkan kepada orang lain, baik dengan dijual-belikan, diwariskan atau dihibahkan.
b.   Harta wakaf terlepas dari milik wakif (orang yang berwakaf0.
c.   Tujuan wakaf harus jelas dan termasuk amal kebajikan menurut pandangan Islam.
d.   Harta wakaf dapat dikuasakan kepada pengawas yang mempunyai hak ikut harta wakaf sekedar perlu, tidak berlebih-lebihan.
e.   Harta wakaf dapat berupa tanah, dan sebagainya yang tahan lama, tidak musnah seketika setelah digunakannya.






 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar