Kamis, 19 Juni 2014

Wakaf : solusi alternatif untuk pengentasan kemiskinan



Wakaf : solusi alternatif untuk pengentasan kemiskinan
Oleh : Abdul Haris

Iftitah
Kemiskinan merupakan problem rumit yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Untuk mengatasinya, bangsa ini disamping membutuhkan pejabat dan penyelenggara pemerintah yang bersih, juga membutuhkan dana dan anggaran yang cukup besar. Memang ada  klaim yang menegaskan bahwa pemerintah telah mampu menurunkan  angka kemiskinan, akan tetapi yang jelas sampai saat ini secara real kita belum merasakan dan  melihat adanya perubahan yang cukup signifikan tentang kesejahteraan masyarakat yang ada di sekitar kita. Tetangga kita yang dulunya miskin mayoritas masih tetap berstatus sebagai orang miskin dan jarang sekali yang berubah menjadi orang yang sejahtera dan berkecukupan.
Permasalahan kemiskinan oleh Islam  dipandang sebagai permasalahan yang serius, bahkan kemiskinan dapat menjerumuskan seseorang pada kekafiran. Karena demikian, maka program pengentasan kemiskinan bukanlah menjadi program yang hanya ditawarkan oleh pemerintah, akan tetapi juga merupakan program yang ditawarkan oleh agama kita. Kewajiban menunaikan zakat, anjuran untuk berinfak dan bershadaqah, adanya ketentuan tetang wasiat, qorban dan wakaf adalah bukti konkrit bahwa Islam merupakan agama yang sangat peduli terhadap kesejahteraan sosial. Ketika sampai saat ini masih dirasa bahwa justru yang banyak berada di garis kemiskinan adalah umat Islam, hal ini bukan disebabkan karena konsep Islam, akan tetapi lebih disebabkan karena aplikasi dan pengelolaan dari konsep Islam yang masih belum maksimal atau disalah-pahami.
Tulisan ini mencoba untuk mengungkap konsep wakaf menurut fiqh Islam dan peluangnya dalam rangka ikut serta menyelesaikan permasalahan kemiskinan yang terjadi di negara kita.
Sejarah Wakaf
Pengertian Wakaf
Kata ”wakaf” berasal dari bahasa Arab, yaitu bentuk masdar dari ( وقف – يقف – وقفا  ) yang berarti : berhenti. Dari pengertian ini dapat diterjemahkan bahwa seorang yang mewakafkan hartanya harus menghentikan manfaat keuntungan harta tersebut untuk dinikmati dirinya sendiri dan diarahkan untuk amal kebaikan sesuai dengan tujuan wakaf ; atau dapat juga diterjemahkan bahwa seorang yang mewakafkan hartanya harus menghentikan segala aktifitas yang pada mulanya diperbolehkan terhadap harta tersebuat, seperti menjual, mewariskan, menghibahkan mentransaksikan dan lain sebagainya dan kemudian hanya khusus diperuntukkan pada hal-hal yang menjadi tujuan wakaf.
Sedangkan dari sisi istilah, minimal ada tiga definisi yang biasaada beberapa definisi yang biasa ditawarkan oleh kalangan fuqaha’, yaitu :
·       التعريف الأول ـ لأبي حنيفة (1) : وهو حبس العين على حكم ملك الواقف، والتصدُّق بالمنفعة على جهة الخير. وبناء عليه لا يلزم زوال الموقوف عن ملك الواقف ويصح له الرجوع عنه، ويجوز بيعه؛ لأن الأصح عند أبي حنيفة أن الوقف جائز غير لازم كالعارية
Definisi pertama. Yaitu definisi yang ditawrkan oleh Abu hanifah. wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum tetap menjadi milik wakif  dan mensedakahkan manfaatnya untuk kebaikan. Berdasarkan definisi ini, kepemilikan harta wakaf tidak harus lepas dari orang yang mewakafkan. Seorang wakif juga diperbolehkan untuk menarik kembali, dan bahkan boleh menjualnya, karena menurut pendapat yang paling shahih dari Abu Hanifah bahwa wakaf itu termasuk dalam kategori akad jaiz, bukan lazim sebagaimana ariyah.”
·       التعريف الثاني ـ للجمهور وهم الصاحبان وبرأيهما يفتى عند الحنفية، والشافعية والحنابلة في الأصح (2) : وهو حبس مال يمكن الانتفاع به، مع بقاء عينه، بقطع التصرف في رقبته من الواقف وغيره، على مصرف مباح موجود ـ أو بصرف ريعه على جهة بر وخير ـ تقرباً إلى الله تعالى. وعليه يخرج المال عن ملك الواقف، ويصير حبيساً على حكم ملك الله تعالى (3) ، ويمتنع على الواقف تصرفه فيه، ويلزم التبرع بريعه على جهة الوقف
“ definisi kedua menurut jumhur. Mereka adalah dua sahabat (Abu Hanifah). Pendapat mereka ini menjadi dasar fatwa bagi golongan Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah. Wakaf adalah menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya sedangkan  bendanya tidak terganggu dengan cara memutus penggunaan barang tersebut, baik dari wakif atau yang lain untuk disalurkan pada saluran yang ada dan mubah, atau dengan menyalurkan hasilnya untuk kebaikan. Semua itu dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Berpijak dari definisi ini harta benda yang diwakafkan keluar dari kepemilikan wakif dan menjadi milik Allah. Wakif dilarang menggunakannya dan harus mendistribusikan hasilnya untuk kebaikan”
·       التعريف الثالث ـ للمالكية (1) : وهو جعل المالك منفعة مملوكة، ولو كان مملوكاً بأجرة، أو جعل غلته كدراهم، لمستحق، بصيغة، مدة ما يراه المحبِّس. أي إن المالك يحبس العين عن أي تصرف تمليكي، ويتبرع بريعها لجهة خيرية، تبرعاً لازماً، مع بقاء العين على ملك الواقف، مدة معينة من الزمان، فلا يشترط فيه التأبيد.
”Definisi ketiga menurut kalangan Malikiyah. Wakaf  adalah perbuatan si wakif yang menjadikan manfaat hartanya atau hasil dari benda yang diwakafkjan (apabila yang diwakafkan beebentuk uang)  untuk digunakan oleh mustahiq (penerima wakaf) walaupun yang dimiliki itu berbentuk upah dengan mengucapkan sighat wakaf untuk masa tertentu sesuai dengan keinginan pemilik. Dengan kata lain pemilik harta menahan benda itu dari penggunaan secara kepemilikan tapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan yang mengikat beserta tetapnya status benda pada kepemilikan wakif selama masa tertentu. Wakaf tidak disyaratkan harus kekal.  
Dalam konteks Indonesia nampaknya yang berlaku adalah definisi yang ditawrkan oleh  jumhur, sebagaimana hal ini terekam dalam definisi yang ditawarkan oleh Kompilasi Hukum Indonesia (KHI) yang berbunyi : wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang  atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
Dasar Hukum Wakaf
Sebuah keputusan hukum pasti didasarkan pada sebuah dalil atau dasar hukum. Demikian juga halnya dengan wakaf. Dalil atau dasar hukum yang biasa dijadikan sebagai pegangan dalam menjelaskan permasalahan wakaf adalah :
  • Al-Qur’an
o      لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيم
“ Kamu sekali-kali tidak akan sampai pada kebaikan sampai kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahui (QS, 3 : 92)


  • Al-Hadits
o      حَدَّثَنَا الرَّبِيعُ بْنُ سُلَيْمَانَ الْمُؤَذِّنُ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ سُلَيْمَانَ يَعْنِي ابْنَ بِلَالٍ عَنْ الْعَلاَءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أُرَاهُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“ Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali tiga hal; shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak yang shaleh yang mendoakannya”
o      حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ حَدَّثَنَا ابْنُ عَوْنٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أَصَابَ عُمَرُ بِخَيْبَرَ أَرْضًا فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَصَبْتُ أَرْضًا لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ مِنْهُ فَكَيْفَ تَأْمُرُنِي بِهِ قَالَ إِنْ شِئْتَ حَبَّسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا فَتَصَدَّقَ عُمَرُ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ فِي الْفُقَرَاءِ وَالْقُرْبَى وَالرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالضَّيْفِ وَابْنِ السَّبِيلِ لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ أَوْ يُطْعِمَ صَدِيقًا غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ فِيهِ
Sahabat Umar r.a memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian menghadap rasulullah. Umar berkata : Saya mendapatkan sebidang tanah (di khaibar), saya belum pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku ?” Rasulullah bersabda: “ bila engkau suka, kau tahan pokoknya tanah itu dan engkau shadakahkan (hasilnya). Kemudian Umar melakukan shadakah kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian, sabilillah, tamu dan Ibnu sabil. (tanah tersebut tidak dijual, tidak dihibahkan dan juga tidak diwariskan. Tidak dilarang bagi yang menguasai tanah wakaf itu (yang mengurusi) makan dari hasilnya dengan cara yang baik atau memberi makan orang lain dengan tanpa ada niatan memilikinya.”
  • Penegasan Ulama
o      ويلاحظ ان القليل من احكام الوقف ثابت بالسنة ومعظم احكامه ثابت باجتهاد الفقهاء بالاعتماد على الاستحسان والاستصلاح والعرف



Rukun dan Syarat-Syarat Wakaf
Kendati para Imam Mujtahid berbeda pendapat dalam memberikan pandangan terhadap institusi wakaf, namum semuanya sependapat bahwa untuk mem-bentuk lembaga wakaf diperlukan rukun dan syarat-syarat wakaf. Rukun artinya sudut, tiang penyangga yang merupakan sendi utama atau unsur pokok dalam pembentukan suatu hal. Tanpa rukun tersebut sesuatu itu tidak akan tegak berdiri. Begitu pula syarat-syarat yang menentukan sah atau tidaknya suatu wakaf.
Khusus mengenai jumlah rukun tersebut terdapat perbedaan pendapat antara Mazhab Hanafi dengan Jumhur Fuqaha. Menurut ulama Mazhab Hanafi bahwa rukun wakaf itu hanya satu, yakni akad yang berupa ijab (penyataan dari wakif). Sedangkan qabul (pernyataan menerima wakaf) tidak termasuk rukun bagi ulama mazhab hanafi. Hal ini disebabkan karena akad wakaf tidak bersifat mengikat. Apabila seseorang mengatakan; “saya mewakafkan harta ini kepada anda”, maka akad itu sah dengan sendirinya dan orang yang diberi wakaf berhak atas harta itu.
Menurut jumhur ulama dari mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hambali rukun wakaf tersebut ada empat , yaitu : 1) adanya wakif (orang yang berwakaf), 2) maukuf alaih (orang yang menerima wakaf), 3) maukuf (benda yang diwakafkan) dan 4) Sighat.
Masing-masing dari rukun itu harus memenuhi persyaratan tertentu pula. Untuk wakif, ada beberapa syarat, yaitu; 1). Wakif harus orang yang merdeka, 2). Baligh, 3). Berakal, 4). Cerdas. Empat persyaratan ini apabila disederhanakan  dalam bahasa yang lebih ringkas menjadi seorang wakif harus memiliki memenuhi persyaratan  Shihhatu Ibarah dan Ahliyatu-Tabarru”. Jadi tidak bisa wakif itu orang yang berada dalam pengampuan, anak kecil dan menjadi sah, apabila si wakif telah dewasa, sehat pikirnnya (akalnya) dan atas kemauannya sendiri, tidak ada unsur keterpaksaan atau unsur lainnya.
Di samping itu, seorang  wakif harus berstatus sebagai pemilik sah dari harta yang ingin diwakafkan, dengan bukti-bukti yang sah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dewasa sebagai syarat sebagaimana disebutkan sebelumnya, bermaksud menyadari dan mengetahui tujuan melepaskan hak miliknya kepada pihak lain, dalam hal ini kepada Mauquf alaih. Kemudian si wakif tidak boleh orang yang punya hutang, jika dinilai seluruh hartanya yang akan diwakafkan hanya cukup sebatas untuk membayar hutangnya. Karena kewajiban yang terpenting baginya adalah menyelesaikan hutangnya kepada pihak yang memberi piutang, sedangkan wakaf dalam hal ini bersifat sunat. Mendahulukan yang wajib lebih diutamakan ketimbang hal yang disunnahkan.
Rukun kedua dari wakaf setelah adanya wakif ialah Maukuf alaih. Bagi Maukuf alaih, disyaratkan harus ada sewaktu penyerahan wakaf, harus ahli untuk memiliki harta yang diwakafkan, tidak orang yang durhaka terhadap Allah itu harus jelas tidak diragukan lagi kebenarannya.
Keberadaan  Maukuf alaih sewaktu terjadinya ikrar wakaf menjadi persyaratan  karena dalam pandangan ulama-ulama fuqaha, tidak sah wakaf kepada orang yang belum jelas orangnya atau terhadap orang yang belum lahir. Sebagai contoh wakaf terhadap seorang bayi yang masih dalam kandungan ibunya, belum diketahui apakah anak itu akan hidup atau meninggal ketika lahir. Kemudian Maukuf alaih disyaratkan pula ahli untuk memiliki harta (menerima), maksudnya Maukuf alaih bisa mempertanggung jawabkan dan memelihara harta wakaf itu dan memelihara wakaf sebagai amanah dari Allah yang harus dijaga. Disyaratkan pula Mauquf alaih seorang yang bukan pendurhaka dan orang yang suka berbuat maksiat melawan hukum Allah.
Rukun ketiga, ialah Maukuf (benda yang diwakafkan) dengan beberapa syarat, yakni; 1). Abadi untuk selama-lamanya, maka tidak sah wakaf yang dibatasi oleh waktu tertentu, seperti mewakafkan harta kepada seseorang selama satu tahun. Lalu tidak boleh pula mengantungkan dengan syarat tertentu, kepada pihak yang menerima wakaf.
Pendapat ini berbeda dengan Imam Malik dan Abu Hanifah yang menyatakan boleh untuk waktu tertentu dan benda itu tetap berada dalam milik si wakif, 2). Benda yang diwakafkan harus tetap zatnya dan dapat dimanfaatkan untuk jangka lama, 3). Jelas wujudnya dan bila tanah harus jelas batas-batasnya., 4). Bisa benda bergerak atau benda yang tidak bergerak seperti buku-buku, saham dan surat-surat berharga.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa benda yang diwakafkan itu sifat zatnya harus kekal dan tahan lama, tidak cepat habis seperti benda makanan. Jika diperhatikan, barangkali hal ini  disebabkan contoh-contoh benda wakaf yang terjadi pada masa Rasul umumnya adalah benda yang tahan lama dan kekal zatnya. jadi, semua barang yang dapat diperjual-belikan dengan ciri-ciri seperti yang di atas dapat diwakafkan tanpa menghabiskan barangnya. Artinya tidak sah wakaf jika benda itu tidak dapat diambil manfaatnya melainkan dengan merusaknya, seperti emas, perak, dan makanan. Oleh sebab itu, benda yang dilarang untuk diperjual-belikan seperti babi dan barang yang bisa habis kalau dimanfaatkan atau cepat rusak tidak sah dijadikan sebagai benda wakaf.
Selain tiga rukun yang telah disebutkan, rukun yang keempat adalah sighat. Sighat adalah pernyataan wakif sebagai tanda penyerahan barang atau benda yang diwakafkan itu. Sighat  dapat dilakukan dengan lisan maupun melalui tulisan. Dengan pernyataan itu, maka terhapuslah hak wakif atas benda tersebut.
Sighat yang diucapkan oleh wakif juga memiliki  persyaratan tertentu pula, yaitu; sighat itu tidak boleh  digantungkan. Tidak diiringi syarat tertentu. Jelas dan terang. Tidak menunjukkan atas waktu tertentu atau terbatas. Tidak mengandung pengertian untuk mencabut kembali terhadap wakaf yang telah diberikan. Karena tindakan mewakafkan sesuatu dipandang sebagai perbuatan hukum sepihak, maka dengan pernyataan si wakif itu merupakan ijab, dengan sendirinya perwakafan telah terjadi ketika itu juga. Pernyataan Qabul dari Maukuf alaih, yang menerima tidak disyaratkan Qabul. Dalam ibadah wakaf, hanya ada ijab tanpa qabul.
Harta yang diwakafkan seseorang atau kelompok orang atau badan hukum berarti telah lepas hak miliknya dari benda tersebut dan beralih menjadi kepunyaan Allah. Walaupun benda itu diambil manfaatnya untuk kepentingan umum, namun benda yang diwakafkan itu harus tetap dan tidak bisa dimiliki oleh siapapun.



Kendati para Imam mujtahid berbeda pendapat dalam memberikan pandangan terhadap institusi wakaf, namun semuanya sependapat  bahwa untuk membentuk lembaga wakaf diperlukan rukun dan syarat-syarat wakaf.
Khusus mengenai jumlah rukun terdapat perbedaan pendapat diantara madzhab-madzhab yang ada. Kalangan Hanafiyah berpandangan bahwa rukun wakaf itu hanya satu, yaitu shighat , khususnya ijab dari seorang wakif, sedangkan qabul tidak termasuyk dalam kategori rukun menurut pandangan ulama Hanafiyah.
Menurut jumhur ulama dari madzhab Syafi’i, Maliki dan Hanbali, rukun wakaf ada empat, yaitu  : 1) wakif ( orang yang mewakafkan hartanya),  2)maukuf  alaihi (orang yang menerima atau menjadi sasaran wakaf), 3)maukuf ( benda yang diwakafkan) , 4) sighat.
Syarat-syarat wakif
    • أن يكون الواقف حراً مالكاKal
    • أن يكون عاقلا
    • أن يكون بالغا
    • أن يكون رشيداً غير محجور عليه
Syarat-syarat maukuf alaihi
    • FAGHA
    • HAJ
Syarat-syarat maukuf
    • اتفق الفقهاء على اشتراط كون الموقوف مالاً متقوماً، معلوماً، مملوكاً للواقف ملكاً تاما
Syarat –syarat sighat
    • Haj
    • ba

Tidak ada komentar:

Posting Komentar