Wakaf : solusi alternatif untuk
pengentasan kemiskinan
Oleh : Abdul Haris
Iftitah
Kemiskinan merupakan problem
rumit yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Untuk mengatasinya, bangsa ini
disamping membutuhkan pejabat dan penyelenggara pemerintah yang bersih, juga
membutuhkan dana dan anggaran yang cukup besar. Memang ada klaim yang menegaskan bahwa pemerintah telah
mampu menurunkan angka kemiskinan, akan
tetapi yang jelas sampai saat ini secara real kita belum merasakan dan melihat adanya perubahan yang cukup
signifikan tentang kesejahteraan masyarakat yang ada di sekitar kita. Tetangga
kita yang dulunya miskin mayoritas masih tetap berstatus sebagai orang miskin
dan jarang sekali yang berubah menjadi orang yang sejahtera dan berkecukupan.
Permasalahan kemiskinan oleh
Islam dipandang sebagai permasalahan
yang serius, bahkan kemiskinan dapat menjerumuskan seseorang pada kekafiran.
Karena demikian, maka program pengentasan kemiskinan bukanlah menjadi program
yang hanya ditawarkan oleh pemerintah, akan tetapi juga merupakan program yang
ditawarkan oleh agama kita. Kewajiban menunaikan zakat, anjuran untuk berinfak
dan bershadaqah, adanya ketentuan tetang wasiat, qorban dan wakaf adalah bukti
konkrit bahwa Islam merupakan agama yang sangat peduli terhadap kesejahteraan
sosial. Ketika sampai saat ini masih dirasa bahwa justru yang banyak berada di
garis kemiskinan adalah umat Islam, hal ini bukan disebabkan karena konsep
Islam, akan tetapi lebih disebabkan karena aplikasi dan pengelolaan dari konsep
Islam yang masih belum maksimal atau disalah-pahami.
Tulisan ini mencoba untuk
mengungkap konsep wakaf menurut fiqh Islam dan peluangnya dalam rangka ikut
serta menyelesaikan permasalahan kemiskinan yang terjadi di negara kita.
Sejarah Wakaf
Pengertian Wakaf
Kata ”wakaf” berasal dari
bahasa Arab, yaitu bentuk masdar dari ( وقف – يقف – وقفا ) yang berarti : berhenti. Dari pengertian ini
dapat diterjemahkan bahwa seorang yang mewakafkan hartanya harus menghentikan
manfaat keuntungan harta tersebut untuk dinikmati dirinya sendiri dan diarahkan
untuk amal kebaikan sesuai dengan tujuan wakaf ; atau dapat juga diterjemahkan
bahwa seorang yang mewakafkan hartanya harus menghentikan segala aktifitas yang
pada mulanya diperbolehkan terhadap harta tersebuat, seperti menjual,
mewariskan, menghibahkan mentransaksikan dan lain sebagainya dan kemudian hanya
khusus diperuntukkan pada hal-hal yang menjadi tujuan wakaf.
Sedangkan dari sisi istilah, minimal
ada tiga definisi yang biasaada beberapa definisi yang biasa ditawarkan oleh
kalangan fuqaha’, yaitu :
· التعريف الأول ـ لأبي حنيفة
(1) : وهو حبس العين على حكم ملك الواقف، والتصدُّق بالمنفعة على جهة الخير. وبناء
عليه لا يلزم زوال الموقوف عن ملك الواقف ويصح له الرجوع عنه، ويجوز بيعه؛ لأن الأصح
عند أبي حنيفة أن الوقف جائز غير لازم كالعارية
“Definisi pertama. Yaitu
definisi yang ditawrkan oleh Abu hanifah. wakaf adalah menahan suatu benda yang
menurut hukum tetap menjadi milik wakif
dan mensedakahkan manfaatnya untuk kebaikan. Berdasarkan definisi ini,
kepemilikan harta wakaf tidak harus lepas dari orang yang mewakafkan. Seorang
wakif juga diperbolehkan untuk menarik kembali, dan bahkan boleh menjualnya,
karena menurut pendapat yang paling shahih dari Abu Hanifah bahwa wakaf itu
termasuk dalam kategori akad jaiz, bukan lazim sebagaimana ariyah.”
· التعريف الثاني ـ للجمهور وهم
الصاحبان وبرأيهما يفتى عند الحنفية، والشافعية والحنابلة في الأصح (2) : وهو حبس مال
يمكن الانتفاع به، مع بقاء عينه، بقطع التصرف في رقبته من الواقف وغيره، على مصرف مباح
موجود ـ أو بصرف ريعه على جهة بر وخير ـ تقرباً إلى الله تعالى. وعليه يخرج المال عن
ملك الواقف، ويصير حبيساً على حكم ملك الله تعالى (3) ، ويمتنع على الواقف تصرفه فيه،
ويلزم التبرع بريعه على جهة الوقف
“ definisi kedua menurut jumhur. Mereka adalah
dua sahabat (Abu Hanifah). Pendapat mereka ini menjadi dasar fatwa bagi
golongan Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah. Wakaf adalah menahan harta yang
mungkin diambil manfaatnya sedangkan bendanya tidak terganggu dengan cara memutus
penggunaan barang tersebut, baik dari wakif atau yang lain untuk disalurkan
pada saluran yang ada dan mubah, atau dengan menyalurkan hasilnya untuk
kebaikan. Semua itu dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Berpijak
dari definisi ini harta benda yang diwakafkan keluar dari kepemilikan wakif dan
menjadi milik Allah. Wakif dilarang menggunakannya dan harus mendistribusikan
hasilnya untuk kebaikan”
·
التعريف الثالث ـ للمالكية (1) : وهو جعل المالك منفعة
مملوكة، ولو كان مملوكاً بأجرة، أو جعل غلته كدراهم، لمستحق، بصيغة، مدة ما يراه المحبِّس.
أي إن المالك يحبس العين عن أي تصرف تمليكي، ويتبرع بريعها لجهة خيرية، تبرعاً لازماً،
مع بقاء العين على ملك الواقف، مدة معينة من الزمان، فلا يشترط فيه التأبيد.
”Definisi ketiga menurut kalangan
Malikiyah. Wakaf adalah perbuatan si
wakif yang menjadikan manfaat hartanya atau hasil dari benda yang diwakafkjan
(apabila yang diwakafkan beebentuk uang) untuk digunakan oleh mustahiq (penerima wakaf)
walaupun yang dimiliki itu berbentuk upah dengan mengucapkan sighat wakaf untuk
masa tertentu sesuai dengan keinginan pemilik. Dengan kata lain pemilik harta
menahan benda itu dari penggunaan secara kepemilikan tapi membolehkan
pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan yang mengikat beserta tetapnya
status benda pada kepemilikan wakif selama masa tertentu. Wakaf tidak
disyaratkan harus kekal.
Dalam konteks Indonesia nampaknya
yang berlaku adalah definisi yang ditawrkan oleh jumhur, sebagaimana hal ini terekam dalam
definisi yang ditawarkan oleh Kompilasi Hukum Indonesia (KHI) yang berbunyi :
wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian
dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan
ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
Dasar Hukum Wakaf
Sebuah keputusan hukum
pasti didasarkan pada sebuah dalil atau dasar hukum. Demikian juga halnya
dengan wakaf. Dalil atau dasar hukum yang biasa dijadikan sebagai pegangan
dalam menjelaskan permasalahan wakaf adalah :
- Al-Qur’an
o لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا
مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيم
“ Kamu sekali-kali tidak akan sampai
pada kebaikan sampai kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa
saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahui (QS, 3 : 92)
- Al-Hadits
o
حَدَّثَنَا الرَّبِيعُ بْنُ سُلَيْمَانَ الْمُؤَذِّنُ
حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ سُلَيْمَانَ يَعْنِي ابْنَ بِلَالٍ عَنْ الْعَلاَءِ بْنِ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ أُرَاهُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ
عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ
بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“ Apabila
manusia meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali tiga hal;
shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak yang shaleh yang mendoakannya”
o
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ
حَدَّثَنَا ابْنُ عَوْنٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
قَالَ أَصَابَ عُمَرُ بِخَيْبَرَ أَرْضًا فَأَتَى
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَصَبْتُ أَرْضًا لَمْ أُصِبْ
مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ مِنْهُ فَكَيْفَ تَأْمُرُنِي بِهِ قَالَ إِنْ شِئْتَ حَبَّسْتَ
أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا فَتَصَدَّقَ عُمَرُ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلَا
يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ فِي الْفُقَرَاءِ وَالْقُرْبَى وَالرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ
وَالضَّيْفِ وَابْنِ السَّبِيلِ لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا
بِالْمَعْرُوفِ أَوْ يُطْعِمَ صَدِيقًا غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ فِيهِ
“ Sahabat
Umar r.a memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian menghadap rasulullah.
Umar berkata : Saya mendapatkan sebidang tanah (di khaibar), saya belum pernah
mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku ?”
Rasulullah bersabda: “ bila engkau suka, kau tahan pokoknya tanah itu dan
engkau shadakahkan (hasilnya). Kemudian Umar melakukan shadakah kepada
orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian, sabilillah, tamu dan Ibnu sabil.
(tanah tersebut tidak dijual, tidak dihibahkan dan juga tidak diwariskan. Tidak
dilarang bagi yang menguasai tanah wakaf itu (yang mengurusi) makan dari
hasilnya dengan cara yang baik atau memberi makan orang lain dengan tanpa ada
niatan memilikinya.”
- Penegasan Ulama
o ويلاحظ ان القليل من احكام الوقف ثابت بالسنة ومعظم
احكامه ثابت باجتهاد الفقهاء بالاعتماد على الاستحسان والاستصلاح والعرف
Rukun
dan Syarat-Syarat Wakaf
Kendati para Imam Mujtahid berbeda
pendapat dalam memberikan pandangan terhadap institusi wakaf, namum semuanya
sependapat bahwa untuk mem-bentuk lembaga wakaf diperlukan rukun dan syarat-syarat
wakaf. Rukun artinya sudut, tiang penyangga yang merupakan sendi utama atau
unsur pokok dalam pembentukan suatu hal. Tanpa rukun tersebut sesuatu itu tidak
akan tegak berdiri. Begitu pula syarat-syarat yang menentukan sah atau tidaknya
suatu wakaf.
Khusus mengenai jumlah rukun tersebut
terdapat perbedaan pendapat antara Mazhab Hanafi dengan Jumhur Fuqaha. Menurut
ulama Mazhab Hanafi bahwa rukun wakaf itu hanya satu, yakni akad yang berupa ijab (penyataan
dari wakif). Sedangkan qabul (pernyataan menerima wakaf) tidak termasuk rukun
bagi ulama mazhab hanafi. Hal ini disebabkan karena akad wakaf tidak bersifat
mengikat. Apabila seseorang mengatakan; “saya mewakafkan harta ini kepada
anda”, maka akad itu sah dengan sendirinya dan orang yang diberi wakaf berhak
atas harta itu.
Menurut jumhur ulama dari mazhab
Syafi’i, Maliki, dan Hambali rukun wakaf tersebut ada empat , yaitu : 1) adanya
wakif (orang yang berwakaf), 2) maukuf alaih (orang yang menerima wakaf), 3)
maukuf (benda yang diwakafkan) dan 4) Sighat.
Masing-masing
dari rukun itu harus memenuhi persyaratan tertentu pula. Untuk wakif, ada
beberapa syarat, yaitu; 1). Wakif harus orang yang merdeka, 2). Baligh, 3).
Berakal, 4). Cerdas. Empat persyaratan ini apabila disederhanakan dalam bahasa yang lebih ringkas menjadi
seorang wakif harus memiliki memenuhi persyaratan “Shihhatu Ibarah dan Ahliyatu-Tabarru”.
Jadi tidak bisa wakif itu orang yang berada dalam pengampuan, anak kecil dan
menjadi sah, apabila si wakif telah dewasa, sehat pikirnnya (akalnya) dan atas
kemauannya sendiri, tidak ada unsur keterpaksaan atau unsur lainnya.
Di samping
itu, seorang wakif harus berstatus
sebagai pemilik sah dari harta yang ingin diwakafkan, dengan bukti-bukti yang
sah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dewasa sebagai syarat sebagaimana
disebutkan sebelumnya, bermaksud menyadari dan mengetahui tujuan melepaskan hak
miliknya kepada pihak lain, dalam hal ini kepada Mauquf alaih. Kemudian si
wakif tidak boleh orang yang punya hutang, jika dinilai seluruh hartanya yang
akan diwakafkan hanya cukup sebatas untuk membayar hutangnya. Karena kewajiban
yang terpenting baginya adalah menyelesaikan hutangnya kepada pihak yang
memberi piutang, sedangkan wakaf dalam hal ini bersifat sunat. Mendahulukan
yang wajib lebih diutamakan ketimbang hal yang disunnahkan.
Rukun kedua
dari wakaf setelah adanya wakif ialah Maukuf alaih. Bagi Maukuf alaih,
disyaratkan harus ada sewaktu penyerahan wakaf, harus ahli untuk memiliki harta
yang diwakafkan, tidak orang yang durhaka terhadap
Allah itu harus jelas tidak diragukan lagi kebenarannya.
Keberadaan Maukuf alaih sewaktu terjadinya ikrar
wakaf menjadi persyaratan karena dalam
pandangan ulama-ulama fuqaha, tidak sah wakaf kepada orang yang belum jelas
orangnya atau terhadap orang yang belum lahir. Sebagai contoh wakaf terhadap
seorang bayi yang masih dalam kandungan ibunya, belum diketahui apakah anak itu
akan hidup atau meninggal ketika lahir. Kemudian Maukuf
alaih disyaratkan pula ahli untuk memiliki harta (menerima), maksudnya Maukuf
alaih bisa mempertanggung jawabkan dan memelihara harta wakaf itu dan
memelihara wakaf sebagai amanah dari Allah yang harus dijaga. Disyaratkan pula
Mauquf alaih seorang yang bukan pendurhaka dan orang yang suka berbuat maksiat
melawan hukum Allah.
Rukun
ketiga, ialah Maukuf (benda yang diwakafkan) dengan beberapa syarat,
yakni; 1). Abadi untuk selama-lamanya, maka tidak sah wakaf yang dibatasi oleh waktu tertentu, seperti mewakafkan
harta kepada seseorang selama satu tahun. Lalu tidak boleh pula mengantungkan dengan syarat tertentu,
kepada pihak yang menerima wakaf.
Pendapat
ini berbeda dengan Imam Malik dan Abu Hanifah yang menyatakan boleh untuk waktu
tertentu dan benda itu tetap berada dalam milik si wakif, 2). Benda yang
diwakafkan harus tetap zatnya dan dapat dimanfaatkan untuk jangka lama, 3).
Jelas wujudnya dan bila tanah harus jelas batas-batasnya., 4). Bisa benda
bergerak atau benda yang tidak bergerak seperti buku-buku, saham dan
surat-surat berharga.
Mayoritas
ulama berpendapat bahwa benda yang diwakafkan itu sifat zatnya harus kekal dan
tahan lama, tidak cepat habis seperti benda makanan. Jika diperhatikan,
barangkali hal ini disebabkan
contoh-contoh benda wakaf yang terjadi pada masa Rasul umumnya adalah benda
yang tahan lama dan kekal zatnya. jadi, semua barang yang dapat
diperjual-belikan dengan ciri-ciri seperti yang di atas dapat diwakafkan tanpa
menghabiskan barangnya. Artinya tidak sah wakaf jika benda itu tidak dapat
diambil manfaatnya melainkan dengan merusaknya, seperti emas, perak, dan makanan.
Oleh sebab itu, benda yang dilarang untuk diperjual-belikan seperti babi dan
barang yang bisa habis kalau dimanfaatkan atau cepat rusak tidak sah dijadikan
sebagai benda wakaf.
Selain tiga
rukun yang telah disebutkan, rukun yang keempat adalah sighat. Sighat adalah
pernyataan wakif sebagai tanda penyerahan barang atau benda yang diwakafkan
itu. Sighat dapat dilakukan dengan lisan
maupun melalui tulisan. Dengan pernyataan itu, maka terhapuslah hak wakif atas
benda tersebut.
Sighat yang
diucapkan oleh wakif juga memiliki persyaratan
tertentu pula, yaitu; sighat itu tidak boleh digantungkan. Tidak diiringi syarat tertentu.
Jelas dan terang. Tidak menunjukkan atas waktu tertentu atau terbatas. Tidak
mengandung pengertian untuk mencabut kembali terhadap wakaf yang telah
diberikan. Karena tindakan mewakafkan sesuatu dipandang sebagai perbuatan hukum
sepihak, maka dengan pernyataan si wakif itu merupakan ijab, dengan sendirinya
perwakafan telah terjadi ketika itu juga. Pernyataan Qabul dari Maukuf
alaih, yang menerima tidak disyaratkan Qabul. Dalam ibadah wakaf,
hanya ada ijab tanpa qabul.
Harta yang
diwakafkan seseorang atau kelompok orang atau badan hukum berarti telah lepas
hak miliknya dari benda tersebut dan beralih menjadi kepunyaan Allah. Walaupun
benda itu diambil manfaatnya untuk kepentingan umum, namun benda yang
diwakafkan itu harus tetap dan tidak bisa dimiliki oleh siapapun.
Kendati para Imam mujtahid
berbeda pendapat dalam memberikan pandangan terhadap institusi wakaf, namun
semuanya sependapat bahwa untuk
membentuk lembaga wakaf diperlukan rukun dan syarat-syarat wakaf.
Khusus mengenai jumlah rukun
terdapat perbedaan pendapat diantara madzhab-madzhab yang ada. Kalangan
Hanafiyah berpandangan bahwa rukun wakaf itu hanya satu, yaitu shighat , khususnya
ijab dari seorang wakif, sedangkan qabul tidak termasuyk dalam kategori rukun
menurut pandangan ulama Hanafiyah.
Menurut jumhur ulama dari
madzhab Syafi’i, Maliki dan Hanbali, rukun wakaf ada empat, yaitu : 1) wakif ( orang yang mewakafkan
hartanya), 2)maukuf alaihi (orang yang menerima atau menjadi
sasaran wakaf), 3)maukuf ( benda yang diwakafkan) , 4) sighat.
Syarat-syarat wakif
- أن يكون الواقف حراً مالكاKal
- أن يكون عاقلا
- أن يكون بالغا
- أن يكون رشيداً غير محجور عليه
Syarat-syarat maukuf alaihi
- FAGHA
- HAJ
Syarat-syarat maukuf
- اتفق الفقهاء على اشتراط كون الموقوف مالاً متقوماً، معلوماً، مملوكاً للواقف ملكاً تاما
Syarat –syarat sighat
- Haj
- ba
Tidak ada komentar:
Posting Komentar