HUKUM WARIS ISLAM DI INDONESIA
I. Pendahuluan
Di negara kita RI ini,
hukum waris yang berlaku secara nasioal belum terbentuk, dan hingga kini ada 3
(tiga) macam hukum waris yang berlaku dan diterima oleh masyarakat Indonesia,
yakni hulum waris yang berdasarkan hukum Islam, hukum Adat dan hukum Perdata
Eropa (BW).[1]
Hal ini adalah akibat warisan hukum yang dibuat oleh pemerintah kolonial
Belanda untuk Hindia Belanda dahulu.
Kita
sebagai negara yang telah lama merdeka dan berdaulat sudah tentu mendambakan
adanya hukum waris sendiri yang berlaku secara nasional (seperti halnya hukum
perkawinan dengan UU Nomor 2 Tahun1974), yang sesuai dengan bangsa Indonesia
yang berfalsafah Pancasila dan sessuai pula dengan aspirasi yang benar-benar
hidup di masyarakat.
Karena
itu menginggat bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam.[2] Yang tentunya mengharapkan berlakunya hukum Islam di
Indonesia, termasuk hukum warisnya bagi mereka yang beragama Islam, maka sudah
selayaknya di dalam menyusun hukum waris nasional nanti dapatlah kiranya
ketentuan-ketentuan pokok hukum waris Islam dimasukkan ke dalamnya, dengan
memperhatikan pula pola budaya atau adat yang hidup di masyarakat yang bersangkutan.[3]
II. Pembahasan
tentang Hukum Waris Islam
Setiap
masalah yang dihadapi oleh manusia ada hukumya (wajib, sunat, haram, mubah),
di samping ada pula hikmahnya atau motif hukumnya. Namun, hanya sebagian kecil
saja masalah-masalah yang telah ditunjukan oleh Al-Qur’an atau sunnah dengan
keterangan yang jelas dan pasti (clear dan fix statement),
sedangkan sebagian besar masalah-masalah itu tidak disinggung dalam Al-Qur’an
atau sunnah secara eksplisit, atau disinggung tetapi tidak dengan keterangan
yang jelas dan pasti.
Hal
yang demikian itu tidak berarti Allah dan Rasul-nya lupa atau lengah dalam
mengatur syariat Islam tetapi justru itulah menunjukan kebijakan Allah dan
Rasul-nya yang sanggat tinggi atau tepat dan merupakan blessing in disguise
bagi umat manusia. Sebab masalah-masalah yang belum atau tidak ditunjukkan oleh
Al-Qur’an atau sunnah itu diserahkan kepada pemerintah, ulama atau cendekiawan
Muslim, dan ahlul hilli wal ‘aqdi (orang-orang yang punya keahlian
menganalisa dan memecahkan masalah) untuk melakukan pengkajian atau ijtihad
guna menetaplan hukumnya, yang sesuai dengan kemaslahatan masyarakat dan
perkemmbangan kemajuannya.[4]
Masalah-masalah
yang menyangkut warisan seperti halnya masalah-msalah lain yang dihadpi manusia
ada yang sudah dijelaskan permasalahannya dalam Al-Qur’an atau sunnah dengan
keterangan yang kongkret, sehingga tidak timbul macam-macam interpretasi,
bahkan mencapai ijma’ (konsensus) di kalangan ulama dan umat Islam. Misalnya
kedudukan suami istri, bapak, ibu dan anak (lelaki atu perempuan) sebagai ahli
waris yang tidak bisa tertutup oleh ahli waris lainnya dan juga hak bagiannya
masing-masing.[5]
Selain
dari itu masih banyak masalah warisan yang dipersoalkan atau diperselisihkan.
Misalnya ahli waris yang hanya terdiri dari dua anak perempuan. Menurut
kebanyakan ulama, kedua anak perempuan tersebut mendapat bagian dua pertiga,
sedangkan menurut Ibnu Abbas, seorang ahli tafsir terkenal, kedua anak tersebut
berhak hanya setengah dari harta pusaka.[6] Demikian pula kedudukan cucu dari anak perempuan sebagai
ahli waris, sebagai ahli waris jika melalui garis perempuan, sedangkan menurut
syiah, cucu baik melalui garis lelaki maupun garis perempuan sama-sama berhak
dalam warisan.[7]
Penyebab
timbulnya bermacam-macam pendapat dan fatwa hukum dalam berbagai masalah waris
adalah cukup banyak.[8] Tetapi ada dua hal yang menjadi penyebab utamanya, yakni
:
1. Metode
dan pendekatan yang digunakan oleh ulama dalam melakukan ijtihad berbeda; dan
2. Kondisi
masyarakat dan waktu kapan ulama melakukan ijtihad juga berbeda.
Hal-hal
tersebut itulah yang menyebabkan timbulnya berbagai mazhab atau aliran dalam
hukum fiqh Islam, termasuk hukum waris. Maka dengan maksud mempersatukan dan
memudahkan umat Islam dalam mencari kitab pegangan hukum Islam, Ibnu Muqqafa
(wafat tahun 762 M) menyarankan Khalifah Abu Ja’far al-Mansur agar disusun
sebuah Kitab Hukum Fiqh Islam yang lengkap berdasarkan Al-Qur’an,
Sunnah,dan ra’yu yang sesuai dengan keadilan dan kemaslahatan umat. Khalifah
Al-Mansur mendukung gagasan tersebut. Namun gagasan tersebut tak mendapat
respon yang positif dari ulama pada waktu itu, karena ulama tak mau memaksakan
pahamnya untuk diikuti umat, karena mereka menyadari bahwa hasil ijtihadnya
belum tentu benar. Imam Malik juga pernah didesak oleh Khalifah Al-Mansur dan
Harun al-Rasyid untuk menyusun sebuah kitab untuk menjadi pegangan umat Islam,
karena setiap bangsa atau umat mempunyai pemimpin-pemimpin yang lebih tahu
tentang hukum-hukum yang cocok dengan bangsa atau umatnya.
Turki
adalah negara Islam yang dapat dipadang sebagai pelopor menyusun UU Hukum
Keluarga (1326 H) yang berlaku secara nasional, dan materinya kebanyakan
diambil dari maznab Hanafi, yang dianut oleh kebanyakan penduduk Turki.
Di
Mesir, pemrintah membentuk sebuah badan resmi terdiri dari para ulama dan ahli
hukum yang bertugas menyusun rancangan berbagai undang-undang yang diambil dari
hukum fiqh Islam tanpa terikat suatu mazhab dengan memperhatikan kemaslahatan
dan kemajuan zaman. Maka dapat dikeluarkan UU Nomor. 26 tahun 1920, UU Nomor 56
tahun 1923, dan UU Nomor 25 Tahun 1929, ketiga UU tersebut mengatur
masalah-masalah yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian, nafkah, idah,
nasab, mahar, pemeliharaan anak dan sebagainya. Hanya UU pertama yang masih
diambil dari mazhab empat, sedangkan UU kedua dan ketiga sudah tidak terikat
sama sekali dengan mazhab empat. Misal pasal tentang batas minimal usia kawin
dan menjatuhkan talak tiga kali sekaligus hanya diputus jatuh sekali. Kemudian
tahun 1926 sidang kabinet atau usul Menteri Kehakiman (Wazirul ‘Adl
menurut istilah disana) membentuk sebuah badan yang bertugas menyusun rancangan
UU tentang Al-Akhwal al-Syakhsiyyah, UU wakaf, waris, wasiat dan
sebagainya. Maka keluarnya UU Nomor 77 Tahun 1942 tentang waris secara lengkap.
Di dalam UU waris ini terdapat beberapa ketentuan yang mengubah praktek selama
ini. Misalnya saudara si mati (lelaki atau permpuan) tidak terhalang oleh
kakek, tetapi mereka bisa mewarisi bersama dengan kakek. Demikian pula
pembunuhan yang tak sengaja menggugurkan hak seseorang sebagai ahli waris.[9]
Di
Indonesia hingga kini belum pernah tersusun Kitab Hukum Fiqh Islam yang
lengkap tentang Al-Akhwal al-Syakhsyiyah termasuk hukum waris, yang
tidak berorientasi dengan mazhab, tetapi berorientasi dengan kemaslahatan dan
kemajuan bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam, baik penyusunannya itu
dilakukan oleh lembaga pemerintah atau lembaga swasta ataupun olah perorangan
(seorang ulama).
III. Pelaksanaan
Hukum Waris Islam di Indonesia
Sejak
berdirinya kerajaan-krajaan Islam di Nusantara (Demak dan sebagainya) dan juga
pada zaman VOC, hukum Islam sudah dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam
Indonesia sebagai konsekuensi iman dan penerimaan mereka terhadap agama Islam.
Karena
itu, pada waktu pemerintah kolonial Belanda mendirikan Pengadilan Agama.[10] Di Jawa dan Madura pada tauhun1882 (Stb. 1882 Nomor 152)
para pejabatnya telah dapat menentukan sendiri perkara-perkara apa yang menjadi
wewenangnya, yakni semua perkara yang berhubungan dengan perkawinan,
perceraian, mahar, nafkah, sah tidaknya anak, perwalian, kewarisan, hibah,
sedekah, Baitul Mal, dan wakaf.[11] Sekalipun wewenang Pengadilan Agama tersebut tidak
ditentukan dengan jelas.
Pada
tahun 1937, wewenang pengadilan agama mengadili perkara waris dicabut dengan
keluarnya Stb. 1937 Nomor 116 dan 610 untuk jawa dan Madura dan Stb. 1937 Nomor
638 dan 639 untuk Kalimantan Selatan.[12]
Pengadilan
Agama di luar Jawa-Madura dan Kalimantan Selatan sampai Belanda dan Jepang
meninggalkan Indonesia belum terbentuk secara resmi. Namun ia (pengadilan
agama) tetap menjalankan tugasnya sebagai bagian dari Pengadilan Adat atau
Pengadilan Sultan. Baru pada tahun1957 diundangkan PP Nomor 45 Tahun1957 yang
mengatur Pengadilan Agama di luar Jawa-Madura dan Kalimantan Selatan dengan
wewenang yang lebih luas, yaitu disamping kasus-kasus sengketa tentang
perkawinan juga mempunyai wewenang atas waris, hadhanah, wakaf, sedekah,
dan Baitul Mal. Tetapi peraturan yang menyatakan bahwa putusan
Pengadilan Agama harus dikuatkan oleh Pengadilan Umum tetap berlaku.[13]
Menurut
Daniel D. Lov, seorang sarjana Amerika yang menulis buku Islamic Courts in
Indonesia, hasil penelitiannya pada Pengadilan Agama di Indonesia, bahwa
pengadilan agama di Jawa dan Madura sekalipun telah kehilangan kekuasaanya atas
perkara waris tahun 1937, namun dalam kenyataanya masih tetap menyelesaikan
perkara-perkara waris dengan cara-cara yang sangat mengesankan. Hal ini
terbukti, bahwa Islam lebih banyak yang mengajukan perkara waris ke Pengadilan
Agama daripada ke Pengadilan Negeri.[14] Dan penetapan Pengadilan Agama itu sekalipun hanya
berupa fatwa waris yang tidak mempunyai kekuatan hukum, tetapi kebanyakan
fatwa-fatwa warisnya diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Bahkan di
Jawa sudah sejak lama fatwa waris Pengadilan Agama diterima oleh notaris dan
para hakim Pengadilan Negeri sebagai alat pembuktian yang sah atas hak milik
dan tuntutan yang berkenaan dengan itu. Demikian pula halnya dengan pejabat
pendaftaran tanah di Kantor Agraria.[15]
Pada
tahun 1977/1978 Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerja sama dengan Fakultas
Hukum Universita Indonesia mengadakan penelitian di lima daerah, yakni D.I.
Aceh, Jambi, Palembang, DKI Jaya, dan Jawa Barat. Dan hasilnya antara lain
adalah sebagai berikut :
1. Masyarakat
Islam di lima daerah tersebut yang menghendaki berlakunya hukum waris Islam
untuk mereka sebanyak 91,35%, sedang yang menghendaki berlakunya hukum waris
adat sebanyak 6,65%
2. Kalau
terjadi sengketa waris, maka mereka yang memilih Pengadilan Agama 77,16%,
sedangkan yang memilih Pengadilan Negeri 15,5%
Kemudian
kedua lembaga tersebut di atas mengadakan penelitian pada tahun 1978/1979 di
sembilan daerah, yakni : Jakarta Barat, Kota Cirebon, Kota Serang, Kota
Pekalongan, Kota Semarang, Kota Surabaya, Kota Malang, Kota Mataram dan
sekitarnya, N.T.B., dan Kota Banjarmasin. Dan hasilnya antara lain adalah
sebagai berikut :
1. Masyakarat
Islam di sembilan daerah tersebut yang menghendaki berlakunya hukum waris Islam
untuk mereka sebanyak 82,9%, sedangkan yang menghendaki berlakunya hukum waris
adat bagi mereka hanya 11,7%
2. Kalau
terjadi sengketa waris, maka mereka yang memilih Pengadilan Agama mengadili
kasus warisnya sebanyak 68,3%, sedangkan yang memilih Pengadilan Negeri
sebanyak 27,7%.
Karena
itu apabila sengketa warus yang terjadi antara orang Islam diajukan ke
Pengadilan Negeri, maka seharusnya diputus menurut hukum waris Islam sesuai
dengan agama yang bersangkutan berdasarkan isi pasal 131 dan juga Keputusan
Mahkamah Agung Nomor 109K/Sip/1960 tanggal 20-9-1960, yang menyatakan bagi
golongan pribumi berlaku hukum adat, sedangkan hukum faraid (hukum waris
Islam) diberlakuka sebagai hukum adat, karena merupakan the living law
dan menjadi cita-cita moral dan hukum bangsa Indonesia.[16]
Karena
itu, patut disesalkan apabila kasus-kasus warisan keluarga Muslim seperti kasus
warisan H. Subhan Z.E. diputus oleh Pengadilan Negeri menurut hukum adat pada
tanggal 16 Maret 1973 (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) dengan pertimbangan
antara lain, “Walupun pewaris/almarhum H. Mas Subhan adalah seorang tokoh Islam
di Indonesia tidak berarti dapat diberlakukan hukum waris Islam oleh karena
almarhum/pewaris berasal dan tempat tinggal di Jawa”.
Jelaslah,
bahwa hakim Pengadilan Negeri yang mengadili kasus H. Subhan Z.E. tersebut masih
menganut teori resepsi yang telah “usang” itu. Sebab UUD 1945 sebagai
konstitusi RI dengan sendirinya telah menghapus Indische Staatsregeling sebagai
konstitusi yang dibuat pemerintah kolonial Belanda untuk Hindia Belanda dahulu.[17] Sebagai salah satu fakta yang menunjukkan teori resepsi
telah ditinggalkan, ialah UU Perkawinan Nomor 1/1974. Sebab di dalamnya
terdapat beberapa pasal dan penjelasannya yang menunjukkan peranan agama untuk
sahnya perkawinan dan perjanjian perkawinan dan sebagainya tanpa ada
embel-embel “yang telah diterima oleh hukum ada”.[18]
IV. Penutup
Dari
uraian yang telah dikemukakan di atas, dapatlah disampaikan beberapa kesimpulan
dan saran/harapan sebagai berikut :
1. Hukum
Islam khususnya hukum keluarganya termasuk hukum warisnya telah lama dikenal
dan dilaksanakan oleh umat Islam Indonesia atas dasar kemauan sendiri sebagai
konsekuensi iman dan penerimaan mereka terhadap agama Islam. Karena itu, hukum
Islam tersebut hendaknya dijadikan sumber yang utama untuk pembentukan
hukum nasional (mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan
kesadaran hukum agamanya), di samping hukum-hukum lain yang hidup di negara
Indonesia
2. Di
Indonesia hingga kini belum ada kitab/himpuna hukum Islam yang lengkap terutama
mengenai hukum keluarga Islam termasuk hukum waris Islam Indonesia, baik yang
tradisional maupun yang modern. Karena itu, hendaknya para ulama dan
cendekiawan Muslim segera menyusun Himpunan Hukum Islam tersebut tanpa
terikat dengan suatu madzhab tertentu, tetapi hukum Islam tersebut harus bisa
memenuhi rasa keadilan, sesuai dengan kemaslahatan umat, dan kemajuan zaman.
3. Akibat
politik hukum pemerintah kolonial Belanda yang hendak mengikis habis pengaruh
Islam dari negara jajahannya – Indonesia, maka secara sistematis step by
step Belanda mencabut hukum Islam dari lingkungan tata-hukum Hindia
Belanda. Dan akibat politik hukum Belanda yang sadis itu masih dirasakan oleh
umat Islam Indonesia sampai sekarang. Karena itu, sesuai dengan semangat Orde
Baru yang bertekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara konsekuen dan
murni, maka hendaknya produk-produk hukum warisan kolonial dan warisan Orde
Lama, dapat segera dicabut dan diganti dengan hukum nasional yang bisa memenuhi
rasa keadilan dan kesadaran hukum rakyat Indonesia yang mayoritas beragama
Islam.
4. Khusus
hukum waris Islam yang ternyata diterima dan dikehendaki berlakunya oleh umat
Islam di semua daerah yang telah diteliti oleh BPHN dan Fakultas Hukum UI pada
tahun 1977-1979, dan praktek-praktel Pengadilan Agama dalam hukum waris Islam
yang sangat mengesankan; maka sesuai dengan UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, hendaknya kedudukan dan wewenang
Pengadilan Agama disejajarkan dengan Pengadilan Negeri. Karena itu, UU tentang
Struktur dan Yurisdiksi Pengadilan Agama yang akan diundangkan nanti
benar-benar menempatkan kedudukan Pengadilan Agama sejajar dengan Pengadilan
Negeri dan wewenang Pengadilan Agama sekurang-kurangnya dikembalikan seperti
semula sebelum ada teori resepsi Snouck Hurgronje. Sebab teori resepsi ini
bertentangan dengan ajaran Islam. Sebaliknya teori reception in complexuvan
de Berg itulah yang sesuai dengan ajaran Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Moch. Koesnoe, Perbandingan antara Hukum Islam, Hukum Eropa dan Hukum
Adat. Seminar Pembinaan Kurikulum Hukum Islam di Perguruan Tinggi, Badan
Kerjasama PTIS, Kaliurang, 1980.
Biro Pusat Statistik, Penduduk Indonesia Menurut Propinsi,
Seri L No. 3, Tabel 6. Cf. Tabel 9.
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Adat Bagi Umat Islam, Yogyakarta, Nur
Cahaya, 1983. Cf. Sajuti Thalib, Receptio A Contrario (Hubungan Hukum
Adat dengan Hukum Islam), Jakarta, Bina Aksara, 1982.
Muhammad Sallam Madkur, Al-Magkhal lil Fiqh al-Islamy, Cairo, Dar
al-Nahdhah al-‘Arabiyah, 1960
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang,
1975.
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan dalam Lingkungan Adat
Minangkabau, Jakarta, Gunung Agung, 1984.
Masjfuk Zuhdi, Ijtihad dan Problematikanya dalam Memasuki Abad XV
Hijriyah, Surabaya, Bina Ilmu, 1981.
___________, “Pelaksanaan Hukum Faraid di Indonesia”, Al-Mizan, No.
2 Tahun I, 1983.
Notosusanto, Organisasi dan Jurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia,
Yogyakarta, B.P. Gadjah Mada, 1963.
Bustanul Arifin, “Pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia”, Al-Mizan,
Nomor 3 Tahun I, 1983.
Muhammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia,
Jakarta, Yayasan Risalah, 1984.
[1] Mengenai hukum Islam, hukum adat, hukum
Eropa yang berlaku di Indonesia dewasa ini, vide Moch. Koesnoe,
Perbandingan antara Hukum Islam, Hukum Eropa dan Hukum Adat. Seminar
Pembinaan Kurikulum Hukum Islam di Perguruan Tinggi, Badan Kerjasama PTIS,
Kaliurang, 1980, hlm. 1-20
[2] Berdasarkan sensus penduduk tahun 1980,
penduduk Indonesia menurut agama berjumlah 147.490.298 jiwa yang beragama Islam
125.462.176 jiwa (87,09%), vide Biro Pusat Statistik, Penduduk
Indonesia Menurut Propinsi, Seri L No. 3, Tabel 6, hlm. 20-21. Cf. Tabel 9,
hlm. 26-27
[3] Mengenai pandangan Islam terhadap
adat/hukum adat, vide Ahmad Azhar Basyir, Hukum Adat Bagi Umat Islam,
Yogyakarta, Nur Cahaya, 1983, hlm. 27-34. Cf. Sajuti Thalib, Receptio A
Contrario (Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam), Jakarta, Bina Aksara,
1982, hlm/ 65-70
[4] Vide Muhammad Sallam Madkur, Al-Magkhal lil Fiqh al-Islamy, Cairo, Dar
al-Nahdhah al-‘Arabiyah, 1960, hlm. 211-212. Dan untuk memahami/mencari hikmah
di balik ketetapan suatu hukum Islam, vide M. Hasbi Ash-Shiddieqy,
Falsafah Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975, hlm. 380-404
[6] Vide Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan dalam Lingkungan Adat
Minangkabau, Jakarta, Gunung Agung, 1984, hlm. 66
[8] Mengenai sebab-sebab timbulnya perbedaan
pendapat/fatwa hukum, vide Masjfuk Zuhdi, Ijtihad dan Problematikanya
dalam Memasuki Abad XV Hijriyah, Surabaya, Bina Ilmu, 1981, hlm. 16-17. Dan
mengenai metode ijtihad yang dipakai oleh Imam Mazhab Empat, Ibid., hlm.
22-26
[10] Nama resminya Priester Road (Pengadilan
Pendeta), nama yang asing bagi umat Islam Indonesia sendiri, dan pemberian nama
yang salah, karena Islam tak mengenal kependetaan, sebab Islam punya prinsip equality
before God.
[11] Vide Notosusanto, Organisasi dan Jurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia,
Yogyakarta, B.P. Gadjah Mada, 1963, hlm. 10
[12] Perhatikan pasal 2a Stb. 1937 Nomor 116
dan 610 dan pasal 3 Stb. 1937 Nomor 638 dan 639 yang menetapkan yurisdiksi
Pengadilan Agama di Jawa-Madura dan Pengadilan Agama di Kalimantan Selatan.
[13] Bustanul Arifin, “Pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia”,
Al-Mizan, Nomor 3 Tahun I, 1983, hlm. 24-25
[14] Ny. Habibah Daud mengadakan penelitian di
DKI Jakarta pada tahun 1976, dan hasilnya bahwa dari 1081 orang hanya 47 orang
yang mengajukan perkara waris ke Pengadilan Negeri (4,35%), dan 1034 orang
(96,65%) mengajukan perkara waris ke Pengadilan Agama. Vide Muhammad
Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia, Jakarta,
Yayasan Risalah, 1984m hlm. 24-25
[16] Vide Masjfuk Zuhdi, “Pelaksanaan Hukum Faraid di Indonesia”, Al-Mizan,
No. 2 Tahun I, 1983, hlm. 39-40
[17] Yang pro dan yang kontra terhadap teori resepsi
Snouck Hurgronje dengan argumentasinya masing-masing, vide Sajuti
Thalib, op.cit., hlm. 19-23, dan hlm. 65-72
[18] Perhatikan pasal 2 (sahnya perkawinan)
pasal 29 (sahnya perjanjian perkawinan), dan penjelasan pasal 37 (harta benda
suami istri yang cerai) menunjukkan berlakunya hukum agama termasuk hukum Islam
Indonesia tanpa harus disandarkan berlakunya hukum Islam tersebut pada hukum adat,
tetapi cukup berdasarkan secara langsung peraturan UU yang bersangkutan dalam
hal ini UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar