A. Latar Belakang Masalah
Amal mulya mewakafkan harta benda
untuk kepentingan sosial telah berkembang sejak zaman sahabat Rasulullah.
Sebuah tindakan pelepasan hak milik untuk kepentingan umum tersebut dilakukan
oleh sahabat Nabi, sekaligus sebagai percontohan yang layak ditiru oleh umat
Islam.
Sahabat Umar bin Khattab menyerahkan hartanya yang
berbentuk tanah yang sangat luas yang dikenal dengan sebutan “ Tanah Tamagh”
di daerah Bairuha yang terletak dibagian Khaibar. Tanah tersebut sangat
produktif untuk tanaman kurma dan hasilnya untuk kepentingan social umat Islam
di zaman itu, termasuk untuk membangun sebuah masjid.
Dampak positif amal sosial wakaf yang
dilakukan oleh sahabat Umar bin Khattab tersebut, telah memberikan contoh dan
dorongan bagi sahabat Nabi yang lain. Dizaman itu tercatat sekitar 80 orang
sahabat yang rela melepas hakmiliknya dan diserahkan kepada nadzir dalam bentuk
wakaf yang bersifat permanen. Antara lain sahabat Ustman bin Affan mewakafkan
bangunan rumahnya di kota
Madinah, sahabat Khalid bin Walid yang mewakafkan baju perisai perang untuk
kepentingan sosial. Selain itu ada wakaf yang pernah dilakukan kolektif oleh
Bani Hajjar berbentuk sebuah bangunan masjid dan kuda tunggangan untuk perang.
Jenis barang yang diwakafkan para sahabat Rasul
berkembang dan bervariasi sesuai dengan tingkat kemempuan ekonominya. Ada yang berbentuk hambal
untuk Masjid dan lampu penerangan untuk Masjid.
Sejak itulah amal sosial mewakafkan
harta benda untuk kepentingan pengembangan syariat Islam terus dibudayakan
sebagai bagian tradisi Islam yang positif dan dilindungi sebagai aturan hukum
yang bersifat nasional.
Dalam al.quran masalah wakaf secara umum bisa
dipersepsikan dalam surat al. hajj ayat 77, Al.
Baqarah ayat 267 dan surat
Ali Imran 92. Sedangkan hadist menjelaskan dalam 45 unit hadits yang terbagi
dalam 6 tema wakaf dan diperkuat oleh praktek amaliyah wakaf oleh kalangan
sahabat Nabi.[1]
Sejak Islam datang ke Indonesia,
perwakafan diatur menurut hukum Islam. Pada tahun 1905 ada Edaran Pemerintah Kolonial Belanda berupa
Beijblad, yang disusul dengan beijblad-beijblad tahun 193, 1934 dan
1935 yang menentukan agar perwakafan tanah harus memberitahukan kepada
pemerintah agar wakaf tidak terkena rencana perubahan yang akan dibuat pada
masa sesudahnya. Dengan pemberitahuan tersebut pemerintah dapat menunjuk tanah
yang diwakafkan supaya tidak terkena gusuran atau kepentingan pemerintah lainya
sehingga wakaf dapat berfungsi untuk selama-lamanya[2].
Peraturan yang dikeluarkan pemerintah Belanda tersebut tidak menggubah (memperbaiki) ketentuan perwakafan dalam
kitab-kitab fikih, sehingga setelah meninggalnya wakif muncul beberapa pengaruh
yang dapat mengubah status wakaf. [3]
Kata
wakaf (al-waqf) secara harfiah adalah
sinonim dari kata al-habsu yang
berarti menahan, menghentikan atau berdiam di tempat. Menurut istilah, wakaf
adalah menahan pokok (modal) dan
menjalankan (memanfaatkan) hasil,
yakni menahan harta dan men-tasharruf-kan
manfaatnya untuk jalan Allah.[4]
Sedangkan dalam KHI mendifinisikan wakaf sebagai perbuatan hukum seseorang atau
kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya
dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan
umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam hal ini ditegaskan dalam Pasal
215 ayat 1 KHI. Dalam kaitan dengan wakaf atas tanah pegertian wakaf tersebut
diatas mengandung makna bahwa hak atas tanah tersebut menjadi bersifat abadi
semata-mata untuk kepentingan Agama atau dengan kata lain hak atas tanah wakaf tersebut secara hukum tidak bisa beralih atau
dialihkan lagi karena tanah wakaf tersebut sudah menjadi milik Agama / Allah.
Dalam pelaksanaan
perwakafan tanah hak milik di Indonesia yang diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan tanah Hak milik, salah satu pertimbangan
untuk mengeluarkan peraturan pemerintah tersebut adalah bahwa wakaf merupakan
suatu lembaga keagamaan yang dapat dipergunakan sebagai salah satu sarana guna
pengembangan kehidupan keagamaan, khususnya bagi umat yang beragama Islam dalam rangka mencapai kesejahteraan sprituil
dan materiil menuju masyarakat adil dan makmur yang berdasarkan Pancasila.
Mengingat sangat
pentingnya persoalan wakaf ini maka Undang-Undang pokok Agraria No. 5/1960
telah mencantumkan adanya suatu ketentuan khusus mengenai masalah wakaf
sebagaimana tersebut didalam Pasal 49 yang memberikan ketentuan sebagai berikut
:
- Hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dibidang sosial dan keagamaan.
- Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagai dimaksud dalam Pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dengan hak pakai.
Perwakafan tanah
milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dari ketentuan pasal
49 ayat (3) diatas jelas bahwa untuk melindungi berlangsungnya tanah perwakafan
di Indonesia,
Pemerintah akan memberikan pengaturan melalui Peraturan Pemerintah tentang
perwakafan tanah milik. Peraturan Pemerintah itu baru dikeluarkan setelah 17
tahun berlakunya UU Pokok Agraria itu. Pada tanggal 17 Mei 1977 Pemerintah RI
mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 28 tentang Perwakafan Tanah Milik
diiringi dengan seperangkat Peraturan Pelaksanaannya oleh Departemen Agama dan
Departemen Dalam Negeri dan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional.
Yang menjadi latar belakang
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977 itu adalah :
- Pada waktu yang lampau pengaturan tentang perwakafan tanah sebelum memenuhi kebutuhan juga tidak diatur secara tuntas dalam suatu Peraturan Perundang-Undangan Sehingga memudahkan terjadinya penyimpangan hakekat dan tujuan perwakafan itu sendiri.
- Hal ini menimbulkan keresahan dikalangan umat Islam yang menjurus pada perasaan antipati terhadap lembaga wakaf, padahal lembaga itu dapat dipergunakan sebagai salah satu sarana pengembangan kehidupan beragama, khususnya bagi umat Islam.
- Dalam masyarakat banyak terjadi persengketaan mengenai wakaf tanah karena tidak jelasnya status tanah wakaf yang bersangkutan. Kemudian Pada tanggal 27 Oktober 2004, Pemerintah mengeluarkan sebuah peraturan baru yaitu Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Undang-undang ini merupakan Undang-undang
pertama yang secara khusus mengatur wakaf. Dengan berlakunya Undang-undang ini,
semua peraturan tentang perwakafan masih berlaku sepanjang tidak bertentangan
dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undangundang ini.
Secara umum banyak hal baru dan berbeda yang terdapat dalam UU No. 41/2004 bila
dibandingkan dengan PP No. 28/1977 maupun KHI, walaupun banyak pula
kesamaannya. Dapat dikatakan bahwa UU No. 41/2004 mengatur substansi yang lebih
luas dan luwes bila dibandingkan dengan peraturan Perundang-undangan yang ada
sebelumnya. Salah satu perbedaan UU No. 41/2004 dengan PP No. 28/1977 adalah
ruang lingkup subtansi yang diaturnya. UU ini mengatur wakaf dalam lingkup yang
lebih luas, tidak terbatas hanya pada wakaf tanah milik. Undangundang ini
membagi benda wakaf menjadi benda tidak bergerak yaitu misalnya hak atas tanah,
bangunan atau bagian bangunan, tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan
tanah serta hak milik atas rumah susun dan benda bergerak meliputi uang, logam
mulia, surat
berharga, kendaraan , hak atas kekayaan intelektual dan hak sewa. Khusus untuk
benda bergerak berupa uang, UU No. 41/2004 mengaturnya dalam 4 pasal yaitu
Pasal 28 sampai Pasal 31. Hal ini sejalan dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia
pada tahun 2002 yang isinya membolehkan wakaf uang. Hal berbeda berikutnya yang
terdapat dalam UU No. 41/2004 adalah mengenai pengertian sekaligus rukun wakaf.
Wakaf menurut Pasal 215 KHI adalah : Perbuatan hukum seseorang atau kelompok
orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan
melembagakan untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum
lainnya sesuai dengan ajaran Islam, jadi menurut pasal tersebut, salah satu
rukun wakaf adalah permanen dan wakaf sementara adalah tidak sah. Namun hal itu
kemudian diubah-ubah oleh UU No 41/2004 pada Pasal 1 UU No 41/2004 tersebut
dinyatakan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum wakaf untuk memisahkan dan/atau
menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau
jangka waktu tertentu dan sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah
dan/atau kesejahteraan umum menurut syariat, jadi menurut ini wakaf sementara
juga diperbolehkan asalkan sesuai dengan kepentingannya. Hal berbeda lain yang
terdapat pada UU No. 41/2004 adalah mengenai cara penyelesaian sengketa. Pada
UU ini penyelesaian sengketa dapat diselesaikan melalui musyawarah mufakat
maupun bantuan pihak ketiga melalui mediasi, abitrase dan jalan terakhir adalah
melalui pengadilan.
Dalam dunia sekarang banyak sekali sengketa-sengketa
tanah wakaf khususnya yang berkaitan dengan tanah wakaf masjid yang menimbulkan
banyak problem yang perlu penanganan secara baik. Hal ini sering sekali terjadi
di banyak perumahan di seluruh Indonesia
termasuk problem di perumahan-perumahan Kelurahan Tegal Besar Kecamatan
Kaliwates Kabupaten Jember. Dari banyak problem tersebut, seringkali
ta’mir-ta’mir masjid diperkarakan oleh sebagain masyarakatnya. Dan perlu
diketahui di kelurahan Tegal Besar Kecamatan Kaliwates Kabupaten Jember ini ada
sekitar 11 perumahan yang semuanya ada tanah wakaf masjid yang banyak
menimbulkan problem di masyarakat, perumahan-perumahan itu antara lain : Perum
Villa Tegal Besar, Perum Pondok Gede, Perum Tegal Besar Permai 1, Perum Tegal
Besar Permai 2, Perum Bumi Tegal Besar, Perum Taman Anggrek, Perum Tegal Besar
Raya, Perum Griya Tegal Besar, Perum Muktisari, Perum Taman Gading dan Perum Citra Mas. Dari Banyaknya Problem yang
dialami oleh ta’mir masjid di Kelurahan Tegal Besar ini menjadi sangat menarik untuk diteliti secara detail, Dengan alasan ini
peneliti tertarik untuk mengetahui dan sekaligus meneliti tentang Problema
Tanah Wakaf Masjid Perumahan-Perumahan
di Kelurahan Tegal Besar Kecamatan Kaliwates Jember
B. Fokus dan Tujuan
Masalah
Adapun
Fokus dan Tujuan Penelitian yang teridentifikasi dari latar belakang masalah
yang telah dipaparkan di atas adalah:
1.
Tentang
problem tanah wakaf masjid yang terjadi di perumahan-perumahan Kelurahan Tegal
Besar Kaliwates Jember
2.
Tentang
Faktor-faktor yang memunculkan problem tanah wakaf masjid yang terjadi di
perumahan-perumahan Kelurahan Tegal Besar Kaliwates Jember
3.
Tentang
Solusi yang pernah dilakukan oleh Ta’mir Masjid dalam menyelesaikan problem
tanah wakaf masjid yang terjadi di perumahan-perumahan Kelurahan Tegal Besar
Kaliwates Jember
4.
Tentang
kendala yang dihadapi Ta’mir masjid dalam memberikan solusi terhadap problem
tanah wakaf masjid yang terjadi di perumahan-perumahan Kelurahan Tegal Besar
Kaliwates Jember
C.
Kegunaan
Penelitian
1.
Secara
Teoritis
Secara
teoritis hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi yang berguna bagi
penulis khususnya dalam meyumbangkan sikap ilmiah menuju profesionalisme
sebagai calon Doktor Hukum Islam dan merupakan manifestasi dari Tridarma
Perguruan Tinggi dalam bidang penelitian.
2. Secara
Praktis
Penelitian
ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penelitian yang berkaitan dengan
penyelesaian sengketa tanah wakaf masjid serta kendala-kendala yang dihadapi.
D. Kajian Pustaka
Dalam kajian
pustaka ini, penulis akan berusaha menelusuri karya- karya terdahulu yang
membahas tentang sengketa wakaf atau yang masih ada sangkut pautnya, hal ini
penting untuk dijadikan sebagai salah satu acuan dalam proses penelitian,
sehingga dapat berjalan lancar dan benar. Diluar itu, tinjauan pustaka juga
penting dalam rangka menghindari adanya pengulangan penelitian (duplikasi)
suatu hal yang sangat di sayangkan dalam penelitian Ilmiah.
Berdasarkan
pembahasan yang berhubungan atau yang ada sangkut pautnya dengan bahasan Wakaf
yang sudah pernah di angkat dan dijadikan judul atau tema penelitian pada
tahun-tahun terdahulu, di antaranya adalah sebagai berikut:
1.
Ismawati,
Penyelesaian
Sengketa Tanah Wakaf Studi Terhadap Tanah Wakaf Banda Masjid Agung Semarang,
penelitian pada Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang, 2007
2.
Juwaini,
Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Tanah Wakaf Masjid yang
Dimanfaatkan untuk Jalan (Studi Kasus di Ds. Bakalan Sumobito Jombang), Penelitian pada Fakultas Syariah IKAHA
Tebuireng Tahun 2001
3.
Zainuri Zen, “Studi
Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor: 690k/Ag/2009 (Sengketa Wakaf
Masjid Cukir)”. Penelitian pada Fakultas
Syariah IKAHA Tebuireng Tahun 2007
4.
Ali Mashudi,
Problematika Pendaftaran Tanah Wakaf (Studi Kasus Sengketa Tanah Wakaf di Desa.
Sambi Kec. Kendal Kab. Kediri) Penelitian pada
Fakultas Syariah IKAHA Tebuireng Tahun 2000.
E. Kerangka Teoritik
1. Kedudukan Wakaf Berdasarkan Hukum Islam
Wakaf merupakan salah satu bentuk dari lembaga hukum
Islam. Oleh karena itu ketentuan tentang wakaf juga bersumber dari ketentuan
ajaran agama Islam. Wakaf berasal dari kata waqafa artinya berhenti,
atau diam ditempat atau tetap berdiri atau penahanan [5].
Pengertian wakaf pernah disabdakan oleh
Rasulullah yaitu : "sesungguhnya harta wakaf itu tidak boleh dijual
belikan dan dialihkan serta diwarisi, dan bersedekahlah dengannya kepada fakir
miskin serta sanak keluarga dan orang-orang yang berada dibawah tanggunganmu,
tidaklah mengapa bagi yang mengurusinya untuk memakan hasilnya dengan
alakadarnya serta tidak pula menjadikannya milik pribadinya."[6]
Sejalan dengan
hal itu maka muncul beberapa batasan pengertian tentang wakaf. Abu Hanifah merumuskan wakaf sebagai
penahanan pokok sesuatu harta dalam tangan pemilikan wakaf dan penggunaan hasil
barang itu yang dapat disebutkan ariah atau commodate loan untuk tujuan- tujuan
amal saleh.[7]
Selain itu ada pendapat lain dari Naziroeddin Rachmat ,
Yang dimaksud dengan harta wakaf ialah suatu barang
yang sementara asalnya (zatnya) tetap, selalu berbuah, yang dapat dipetik
hasilnya dan yang empunya sendiri sudah menyerahkan kekuasaannya terhadap
barang itu dengan syarat dan ketentuan bahwa hasilnya akan dipergunakan untuk
keperluan amal kebajikan yang diperintahkan syariat[8]
Dari batasan pengertian
di atas dapat diketahui bahwa wakaf pada dasarnya adalah penahanan pokok untuk
selama-lamanya atas harta untuk kepentingan agama Dasar hukum dari kewajiban
melakukan wakaf di dalam hukum Islam disebut sebagai dalil diantaranya
adalah QS. Al Imron ayat 92 yang
terjemahannya adalah tidaklah akan tercapai oleh kamu kebaikan, sebelum kamu
sanggup membelanjakan sebagian daripada brang yang kamu sayangi. Selain itu
terdapat hadis riwayat jamaah Ahli Hadist kecuali Buchori dan Ibnu Majah :
Bahwa Nabi berkata : Bila mati anak Adam, terputuslah segala amalnya, kecuali
tiga macam, yaitu : sedekah yang terus menerus, ilmu yang dipergunakan, atau anaknya
yang saleh yang selalu mendoakannya.
Dari ketentuan itu dapat diketahui bahwa betapa
pentingnya bersodakoh atau membelanjakan sebagian harta . Apabila sedekah
dilakukan terus menerus, yaitu wakaf maka pahala tidak akan terputus meskipun
telah mati. Itulah keutamaan melakukan wakaf.
Wakaf yang dilakukan oleh seseorang harus memenuhi rukun
dan syaratnya wakaf. Rukun adalah sesuatu yang wajib ada akan adanya wakaf.
Apabila tidak ada salah satu dari rukun maka wakaf tidak akan pernah ada.
Keberadaan rukun bersifat kumulatif artinya tidak ada salah satu dari rukun
berakibat wakaf tidak sah.
Rukun wakaf ada empat, yaitu :
1.
Ada
orang yang berwakaf (wakif).
2.
Ada
sesuatu atau harta yang akan diwakafkan (mauquf).
3.
Ada
tempat kemana diwakafkan harta itu (al mauquf alaihi).
4.
Ada
aqad sebagai pernyataan timbang terima harta wakaf itu dari tangan si
wakif kepada orang atau tempat berwakaf.
Sedangkan
syarat wakaf adalah :
1.
wakaf itu
mesti berkekalan dan terus menerus, artinya tidak boleh dibatasi dengan sesuatu
jangka waktu.
2.
wakaf itu
mesti dilakukan secara tunai, karena berwakaf berarti memindahkan hak milik
pada waktu terjadi wakaf itu.
3.
hendaklah
wakaf itu disebutkan dengan terang kepada siapa diwakafkan.[9]
Dari uraian di atas dapat
diketahui bahwa untuk dapat dikatakan telah ada perwakafan maka harus
dipenuhinya empat rukun secara kumulatif yaitu adanya wakif, nadzir, obyek
wakaf (harta) dan akad wakaf. Sedangkan untuk syarat adanya wakaf yaitu wakaf
harus dilakukan selama-lamanya, secara tunai dan terang. Seorang yang akan
berwakaf haruslah atas kehendaknya
sendiri dan benar-benar merupakan niatnya untuk melakukan ibadah atas nama
Allah atau hanya mengharap keridhoan Allah semata. Atas setiap manusia yang
menafkahkan sebagian rezeki yang dikaruniakan Allah untuk kebaikan , maka Allah berjanji akan
membalas perbuatan itu berlipat-lipat.
Nadzir atau pihak yang
akan melakukan pengurusan atas harta wakaf haruslah menjalankan tugasnya dengan
penuh amanah. Oleh karena itu pemilihan nadzir dapat ditentukan oleh wakif dengan
pertimbangan bahwa nadzir yang telah ditunjuk dapat melaksanakan kepercayaan
wakif untuk mengurus harta wakaf dengan penuh amanah.
Obyek wakaf menurut hukum
Islam adalah semua harta yang menjadi milik si wakif secara keseluruhan. Harta
itu tidak dibatasi jenisnya apakah benda bergerak atau tidak bergerak. Dapat berupa tanah atau
harta lainnya yang bukan tanah. Asalkan kepemilikan secara mutlak adalah milik
wakif.
Di dalam hukum Islam
seseorang yang akan berwakaf tidak rumit dalam melakukannya atau prosedur yang
harus dilalui hanya sederhana, yaitu si wakif melakukan akad wakaf kepada
nadzir dengan disaksikan minimal oleh 2 orang saksi yang adil. Akad wakaf itu
dapat dilakukan hanya dengan secara lisan.
Apabila wakaf telah
dilakukan dengan benar memenuhi ketentuan rukun dan syaratnya wakaf, maka wakaf
itu menjadi sah. Akibat hukumnya benda wakaf akan beralih fungsinya untuk
kepentingan Allah SWT atau untuk ibadah. Tidak dibatasi jenis hartanya,
sehingga apapun harta yang dimiliki oleh wakif secara keseluruhan dapat
diwakafkan.
2. WAKAF DALAM PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA
Memang benar wakaf
berasal dari lembaga hukum Islam, tetapi kenyataannya di Indonesia juga
telah dijumpai tanah wakaf. Di dalam masyarakat hukum adat juga dikenal tentang
wakaf, misalnya di suku badui di Cibeo (Banten Selatan) dikenal huma serang,
di Lombok dikenal Tanah pareman [10].
Pengertian wakaf menurut hukum adat dapat
disebutkan pendapat dari Koesoema Atmadja ,
wakaf adalah : Suatu perbuatan hukum dengan mana perbuatan
suatu barang / barang keadaan telah telah dikeluarkan/ diambil kegunaannya
dalam lalu lintas masyarakat semula, guna kepentingan seseorang/ orang tertentu
atau guna seseorang maksudnya / tujuan / barang tersebut sudah berada dalam
tangan yang mati [11]
Menurut Ter Haar wakaf
merupakan suatu perbuatan hukum yang rangkap maksudnya adalah : Perbuatan itu
disatu pihak adalah perbuatan mengenai tanah atau benda yang menyebabkan obyek
itu mendapat kedudukan hukum yang khusus tetapi dilain pihak seraya itu
perbuatan itu menimbulkan suatu badan dalam hukum adat ialah suatu badan hukum
yang sanggup ikut serta dalam kehidupan hukum sebagai subyek hukum.[12]
Selanjutnya wakaf yang
telah memasuki kehidupan masyarakat Indonesia dalam perkembangannya
banyak terjadi penyimpangan. Penyimpangan itu disebabkan oleh penyelewengan
harta wakaf oleh nadzir atau keturunan nadzir dengan mendaku kepemilikan harta
wakaf. Selain itu penyimpangan juga dapat terjadi dalam bentuk penyimpangan
kegunaan atau fungsi wakaf. Oleh karena itu pemerintah membuat suatu peraturan
tentang wakaf yang bertujuan untuk mengamankan harta wakaf serta mendorong
masyarakat Indonesia
untuk melakukan wakaf sebagai perwujudan dari melaksanakan ibadah karena Allah.
Langkah konkrit itu adalah dengan disahkannya Peraturan
Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik. Sayangnya PP No.
28 Tahun 1977 ini hanya membatasi obyek wakaf hanya pada tanah hak milik saja,
tidak mencakup harta lainnya yang dimiliki oleh wakif. Adapun prosedur yang
dilakukan tidak cukup akad wakaf dilakukan secara lisan saja. Untuk menjamin
kepastian hukum PP No. 28 Tahun 1977 mengharuskan wakaf dilakukan secara lisan
dan tertulis dihadapan pejabat pembuat
akta ikrar wakaf untuk selanjutnya dibuat akta ikrar wakaf. Dengan mendasarkan
akta ikrar wakaf maka tanah hak milik diajukan perubahannya ke Badan Pertanahan
Nasional setelah memenuhi syarat administrasinya untuk diubah menjadi
sertipikat wakaf.
3. Sejarah Wakaf
Setelah kita memahami
bagaimana wakaf berkembang dalam masyarakat , maka kita akan membahas mengenai
tentang sejarah perwakafan yang ada
1. Perwakafan pada
masa Rasullah
Sejarah perwakafan pada
masa Rasullah adalah adanya riwayat tentang Umar bin Khattab yang mendapatkan
sebidang tanah di Khaibar. Lantas Umarpun bertanya pada Rasullah tentang apa
yang akan ia perbuat terhadap tanah tersebut. Lalu Rasullah pun menjawab “Jika engkau mau, tahanlah tanahmu itu dan
engkau sedekahkan”.
Dari riwayat diatas
dapat dilihat bahwa sejarah perwakafan pada masa Rasullah sudah ada. Dan
Rasullahpun hanya menyampaikan tentang apa yang harus sahabat lakukan dari
kelebihan harta yang dapat.
2. Sejarah perwakafan di Indonesia
Di Negara Indonesia,
sejarah perwakafannya dimulai saat agama Islam sudah masuk dan berkembang di
bumi nusantara ini. Dari ajaran Islam ini ada satu ajaran yang membahas tentang
masalah harta yang di berikan kepada orang lain untuk digunakan demi
kepentingan umat Islam. Ajaran tersebut adalah ajaran mengenai wakaf dan sampai
sekarang ini perwakafan ini tetap ada dan melekat dalam kehidupan bermasyarakat
Indonesia.
Ketika penjajah
(Belanda, Portugis, Jepang) masuk di negeri Indonesia
mereka tidak terlalu mempermasalahkan tentang perwakafan yang ada di Indonesia ini.
Akan tetapi mereka hanya saja mengatur tentang sengketa perwakafan yang terjadi.
Diantara peraturan yang ada di Indonesia
tentang sengketa perwakafan. Antara lain :
1. Surat
Edaran Sekretaris Gubernumen tanggal 31
Januari 1905 (Bijblad 1905, No. 6619), yang mewajibkan kepada para Bupati untuk
membuat daftar yang memuat segala keterangan untuk benda-benda yang bergerak
yang oleh pemiliknya ditarik dari peredaran umum, baik dengan nama wakaf atau
dengan nama lain.
2. Surat
Edaran Sekretaris Gubernumen tanggal 4
April 1931 (Bijblad 1934, No. 13390), yang memberikan wewenang kepada Bupati
untuk memimpin dan menyelesaikan perkara jika terjadi sengketa mengenai tanah
wakaf, atas permintaan para pihak yang bersengketa .
3. Surat
Edaran Sekretaris Gubernumen tanggal 27
Mei 1935 (Bijblad No. 13480), berisi tata cara para perwakafan, yaitu perlunya
perwakafan diketahui oleh Bupati untuk diregistrasi dan diteliti tentang
keabsahannya.
Dari
sejarah perwakafan diatas, jelaslah bahwa konsep wakaf yang ada di Indonesia sudah diatur dalam UU yang ada sebelum
UU RI yang mengatur kembali tentang tata cara perwakafan
yang ada di Indonesia.[13]
4. Pelaksanaan Perwakafan Tanah
Menurut
ketentuan Pasal 6 Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, wakaf dapat
dilaksanakan apabila telah memenuhi unsusr-unsur tentang wakaf, unsur-unsur
tersebut yaitu (a) adanya wakif, (b) adanya Nazhir ) (c) adanya
harta benda wakaf (d) adanya ikrar wakaf (e) perutukan harta benda wakaf (f)
jangka waktu wakaf. Unsur-unsur tersebut bersifat komulatif artinya wakaf dapat
dilaksanakan apabila semua unsur-unsur tersebut terpenuhi, kalau tidak maka
pelaksanaan wakaf batal secara hukum.
Dalam Pelaksanaan
perwakafan tanah, calon/Pihak yang hendak mewakafkan tanah harus datang
dihadapan Pejabat pembuat Akta Ikrar Waka (PPAIW)
untuk melaksanakan ikrar wakaf (Pasal 1 ayat 1
PP No 28 Tahun 1977 jis) Untuk mewakafan tanah hak milik calon wakif
harus mengikrarkan secara lisan, jelas dan tegas kepada Nadzir yang telah
diserahkan dihadapan PPAIW yang mewilayahi tanah wakaf dan dihadiri saksi-saksi
dan selanjutnya menuangkannya dalam bentuk
tertulis menurut bentuk W 1. Sedangkan bagi mereka yang tidak mampu menyatakan
kehendaknya secara lisan dapat menyatakan dengan isyarat.
Menurut
Zamakhsyari Dhofier pengikraran wakaf berarti menjadikan obyek wakaf sebagai
milik Tuhan yang harus dipakai seamata-mata untuk tujuan keagamaan [14]. Isi dan bentuk Ikra Wakaf ditetapkan oleh
Menteri Agama (Pasal 9 (3) PP 28 Tahun 1977, Bentuk dan isi ikrar wakaf telah
ditentukan dalam peraturan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
taggal 18 April 1978 No. Kep/D/75/78.
Sementara untuk Calon Wakif yang tidak dapat datang dihadapan PPAIW dapat membuat ikrar wakaf secara tertulis
dengan persetujuan Kandepag yang mewilayahi tanah wakaf serta diketahui
saksi-saksi (Pasal 5 ayat 2 PP No. 28 Tahun 1977 jis Pasal 2 Pemenag No. 1
Tahun 1978). Dalam pelaksanaan ikrar
wakaf tanah ada dua macam akta ikrar wakaf
pertama, akta ikrar wakaf dimana pelaksanaan wakaf
tanah langsung dilakukan oleh pihak pemilik hak atas tanah dan yang kedua, akta ikrar wakaf pengganti yaitu pelaksanaan wakaf atas tanah dilakukan oleh
pihak ahli waris dari pemilik tanah.
Pada
penjelasan Pasal 9 PP No 28 Tahun 1977 ditegaskan bahwa pasal ini mengharuskan
adanya perwakafan dilakukan secara tertulis tidak cukup hanya dengan ikrar
wakaf lisan saja. Tujuannya adalah untuk memperoleh bukti yang otentiek yang
dapat dipergunakan untuk berbagai persoalan seperti untuk bahan pendaftaran
pada Kantor Sub Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya dan untuk keperluan
penyelesaian sengketa dikemudian hari tentang tanah yang telah diwakafkan.
Untuk
keperluan kelancaran dalam proses perwakafan seseorang yang hendak mewakafkan
tanah harus membawa serta tanda-tanda bukti pemilikan berupa sertifikat / kitir
tanah ) dan surat-surat lain yang
menjelaskan tidak adanya halangan untuk melakukan perwakafan atas tanah milik
tersebut. Untuk keperluan tersebut maka diperlukan pejabat-pejabat yang khusus
melaksanakan pembuatan aktanya. Demikian pula mengenai bentuk dan isi ikrar
wakaf perlu dibuat secara seragam (penjelasan
Pasal 9 PP 28 Tahun 1977). Pasal 9 PP 20 Tahun 1977 menegaskan bahwa
pelaksanaan ikrar dan pembuatan Akta Ikrar Wakaf dianggap syah jika dihadiri
dan disaksikan sekurang-kurangnya 2 saksi ( dua ) orang yang telah dewasa,
sehat akalnya dan oleh hukum tidak terlarang untuk melakukan perbuatan hukum
(Pasal 4 Permenag No. 1 Tahun 1978) dan ini sudah merupakan persyaratan hukum
formal secara umum. Setelah ada ikrar wakaf, PPAIW akan membuat Akta Ikrar
Wakar menurut bentuk W 2 rangkap 3 (tiga) dan salinannya menurut bentuk W.2.a
rangkap 4 (empat). Tanah yang hendak diwakafkan baik seluruhnya ataupun
sebagian harus merupakan tanah hak milik
dan harus bebas dari beban ikatan, jaminan, sitaan atau sengketa atau
dengan kata lain harus terlebih dahulu bebas dari persoalan hukum.
Pasal
9 ayat 5 PP No 28 Tahun 1977 ditegaskan bahwa dalam melaksanakan ikrar seperti
yang dimaksud ayat 1 pihak yang mewakafakan tanah diharuskan membawa serta dan
menyerahkan kepada Pejabat tersebut dalam ayat 2 berupa surat-surat sebagai berikut:
(a) sertifikat hak milik atau tanda bukti pemilikan tanah lainya (b) surat
keterangan dari Kepala Desa yang diperkuat oleh Kepala Kecamatan setempat yang
menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak tersangkut sesuatu sengketa (c)
Surat keterangan pendaftaran tanah (d) Izin dari Bupati/Walikotamadya Kepala
Daerah cq Kepala Sub Direktorat Agraria setempat (Pasal 9 ayat 5).
Apabila
akta ikrar wakaf telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan, maka Pejabat
Pembuat Akta Ikra Wakaf atas nama Nadzir yang bersagkutan, diharuskan
mengajukan permohonan kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq Kepala Sub
Direktorat Agraria setempat untuk mendaftar perwakafan tanah milik yang
bersangkutan menurut ketentuan Pasal 10 PP 28 Tahun 1977. Permohonan harus disampaikan
selambat-lambatnya dalam jangka waktu 3 bulan sejak dibuatnya akta ikrar wakaf
(Pasal 3 Permedagri No. 6 Tahun 1977. Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq.
Kepala Sub Direktorat Agraria setempat, setelah menerima permohonan tersebut
dalam ayat 1 mencatat perwakafan tanah milik yang bersangkutan dalam buku tanah
dan sertifikatnya.
Jika
tanah milik yang diwakafkan belum mempunyai sertifikat maka pencatatan yang
dimaksud dalam ayat 2 dilakukan setelah tanah tersebut dibuat sertifikatnya,
setelah dilakukan pencatatan perwakafan tanah milik dalam buku tanah dan
sertifikatnya, maka Nadzir yang bersangkutan wajib melapornya kepada orang yang
mau mendaftarkanya, maka Kepala Desa tempat tanah tersebut harus mendaftarkanya
kepada KUA setempat. Pelaksanaan Pendaftaran harus disertai (a) surat
keterangan tentang tanah atau surat keterangan Kepala Desa tentang perwakafan,
tanah tersebut (b) dua orang yang menyaksikan ikrar wakaf atau saksi-saksi
istifadhah (yang mengetahui atau
mendengar tentang perwakafan).
Kepala
KUA selaku Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf harus (a) meneliti keadaan tanah
wakaf; (b) meneliti dan mengesahkan Nadzir (c) meneliti saksi-saksi ( d )
menerima penyaksian tanah wakaf (e) membuat akta pengganti akta ikrar wakaf (f)
membuat salinan akta pengganti akta ikrar wakaf (g) menyampaikan akta pengganti
ikrar wakaf lembar kedua kepada Bupati /
Walikotamadya Kepala Daerah cq Kepala sub Direkorat Agraria setempat sebagai
lampiran perohonan pendaftaran (h) mengirimkan akta pengganti akta ikrar wakaf
lembar ke tiga kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tanah wakaf (i)
menyampaikan salinan akta pengganti akta ikrar wakaf lembar pertama kapada
wakif atau ahli warisnya.
Untuk
biaya administrasi dan pencatatan tanah wakaf untuk penyelesaian administrasi perwakafan
tanah di KUA Kecamatan termasuk formulir tidak dikenakan, kecuali bea meteri
menurut ketentuan yang berlaku. Untuk penyelesaian pendaftaran dan perwkafan
tanah di Kantor Sub. Direktorat Agraria
tidak dikenakan biaya, kecuali biaya pengukuran dan biaya meterei menurut
ketentuan yang berlaku.
5. Pengelolan Tanah Wakaf
Pengaturan khusus akan
masalah wakaf dalam UUPA dalam hal mengenai kewajiban-kewajiban pembentuk
undang-undang untuk mengindahkan unsur-unsur yang berdasarkan pada hukum agama.
Dan dalam Bab XI tentang Hak Milik untuk Keperluan suci dan sosial pada Pasal 49. Pasal ini memberikan tempat
khusus bagi hak-hak yang bersangkutan dengan kegiatan-kegiatan keagamaan,dan
juga memberikan ketegasan terhadap soal-soal yang bersangkutan dengan peribadatan
dan keperluan-keperluan suci lainya.
Dengan dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 38 Thaun 1963 tentang
penunjukan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, diatur
badan-badan hukum yang dapat memiliki tanah sebagai realisasi pasal 21 ayat 2
UUPA, dalam PP tersebut ditegaskan penentuan mengenai tanah wakaf menjadi
kompetensi Departemaen Agraria dan Departemen Agama. Untuk itu dalam lingkungan
Departemen Agama telah dibentuk Lembaga Perecana dan Bimbingan Wakaf / Zakat,
juga telah dikeluarkan Edaran Menteri Agama No. S/I/7103, yang ditujukan kepada semua Partai ormas
Islam, Pondok Pesanteren, Badan Wakaf, Perguruan Tinggi Islam serta Badan
Keagamaan Islam Lainyabahwa badan–badan hukum yang ingin memiliki hak milik
tanah hendaknya mengajukan permohonan kepada Menteri Agraria, memlalui Menteri
Agraria c.q. Lembaga Perencanan dan Bimbingan Wakaf.
Apabila
telah dilakukan pendaftaran tanah wakaf, aspek penting lainnya ialah aspek
pengelolaan tanah, mengkaji pengelolaan tanah wakaf dalam hukum Agraria
Nasional, tidak bisa melepaskan diri dari mengkaji pengelolanya sendiri,
pengelola tanah wakaf yang disebut dengan istilah Nadzir. Pasal 2 Peraturan
Pemerintah No. 28 Tahun 1977 menegaskan bahwa fungsi wakaf adalah mengekalkan
manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf. Dengan kekalnya harta wakaf
maka manfaat tanah yang diwakafkan agar dapat dinikmati untuk selama-lamanya.
Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan
untuk tanah Milik telah terjadi suatu perubahan di bidang perwakafan tanah,
yakni perwakafan tanah milik diatur, ditertibkan dan diarahkan sehingga
benar-benar memenuhi hakekat wakaf adalah pendekatan kepada tuhan (qurbah).[15]
Sedangkan aspek terpenting dari pengelolaan wakaf ialah peran serta Nadzir
sebagai top manajer yang menentukan, mengendalikan manajerial perwakafan sehingga berdaya guna
dan behasil guna, mengingat kedudukan penting dari Nadzir, PP No 28 Tahun 1977
menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai Nadzir.
6. Susunan
Nadzir
Nadzir ada yang terdiri dari
perorangan dan ada yang berbentuk Badan Hukum, Nadzir perorangan, adalah Nadzir
yang terdiri dari perorangan harus merupakan suatu kelompok atau suatu pengurus
sekurangkurag 3 (tiga) orang, salah seorang diantaranya menjadi ketua. Jumlah
Nadzir perorangan dalam suatu Desa ditetapkan satu Nadzir, jumlah Nadzir dalam suatu Kecamatan
ditetapkan sebanyak-banyaknya sejumlah desa yang terdapat di Kecamata tersebut,
sedangkan apabila Nadzir Badan Hukum, jumlah Nadzir yang berbentuk Badan Hukum
ditentukan sebanyak-banyaknya sejumlah Badan Hukum yang ada di Kecamatan
tersebut.
7. Syarat-syarat Nadzir
Nadzir perorangan harus
terdiri dari orang-orang yang memenuhi syarat sebagai berikut (a) warga Negara
Republik Indonesia, (b) Beragama Islam (c) sudah dewasa (d) sehat jasmani dan
rohani (e) tidak berada dibawah pengampuan(f) bertempat tinggal di Kecamatan
tempat letaknya tanah yang diwakafkan sedangkan Nadzir Badan hukum harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut (a) badan hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia, (b) mempunyai perwakilan di Kecamatan tempat
letaknya tanah yang di wakafkan (c) Badan Hukum yang tujuan dan alamat usahanya
untuk kepentingan peribadatan atau keperluaan
umum lainnya, sesuai dengan ajaran Agama Islam.
Berdasarkan
adanya berbagai persyaratan yang ditetapkan untuk menjadi Nadzir dalam PP ini
adalah dimaksudkan agar pengurus dan pengelolan wakaf baik yang terdiri dari
kelompok perorangan maupun suatu badan hukum dapat menjalankan fungsinya dengan
baik. Nadzir perorangan maupun Nadzir Badan Hukum harus didaftarkan pada KUA
Kecamatan setempat guna untuk mendapatkan pengesahan (Pasal 6 ayat 3 PP No. 28
Tahun 1977). Hal ini guna menghindari kemungkinan adanya penyimpangan terhadap
perwakafan tanah milik dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.
Pasal 7 Peraturan No. 28
Tahun 1977 menentukan tugas dan kewajiban Nadzir yang meliputi (1) Nadzir
berkewajiban utuk mengurus dan mengawasi kekayaan wakaf serta hasilnya menurut
ketentuan-ketentuan yang diatur lebih lanjut oleh Menteri Agraria sesuai dengan
tujuan wakaf (2) Nadzir berkewajiban membuat laporan-laporan secara berkala
atas semua hal yang menyangkut kekayaan wakaf (3) tata cara pembuatan laporan
diatur lebih lanjut oleh Menteri Agraria.
Pasal 10
Peraturan Menteri Agrari No 1 Tahun 1978 lebih rinci lagi menentukan :
1. Nadzir berkewajiban
mengurus dan mengawasi harta kekayaa wakaf dan hasilnya meliputi (a) menyimpan
lembar salinan akta ikrar wakaf (b) memelihara tanah wakaf (c) memanfaatkan
tanah wakaf (d) memanfaatkan dan berusaha meningkatkan hasil wakaf (e)
menyelenggarakan pembukuan/administrasi yang meliputi (1) buku catatan tentang
keadaan tanah wakaf (2) buku catatan tentang pengelolaan dari hasil tanah wakaf
(3) buku catatan tentang penggunaan hasil tanah wakaf.
2.
Nadzir
berkewajiban melaporkan (a) hasil
pencatatan perwkafan tanah ilik dalam buku tanah dan sertifikatnya kepada
Kepala KUA (b) perubahan status tanah milik yang telah diwakafkan dan perubahan
penggunaannya akibat ketentuan Pasal 12
dan 13 peraturan ini sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 11 ayat 3 Peraturan Pemerintah (c) Pelaksanaan
kewajiban tersebut dalam ayat 1 Pasal ini kepada kepala KUA tiap satu tahu
sekali yaitu tiap akhir bulan Desember.
3.
Nadzir
berkewajiban pula untuk melaporkan adanya seorang anggota Nadzir yang berhenti
dari jabatanya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 ayat 2 peraturan ini.
4.
Bilamana
jumlah anggota Nadzir kelompok karena berhentinya salah seorang anggota atau
lebih berakibat idak memenuhi syarat sebagaimana yang diatur dalam pasal 8 ayat
1 peraturan ini anggota Nadzir lainnya berkewajiban mengusulkan penggantinya
utuk disahkan oleh Pejabat Pembuat akta ikrar wakaf.
Jadi secara terinci
Nadzir mempunyai kewajiban mengurus dan mengawasi harta kekayaan wakaf dan
hasilnya. Dalam mengurus dan mengawasi harta kekayaan wakaf, Nadzir wajib (a)
menyimpan dengan baik lembaran kedua salinan akta ikrar wakaf (b)
memelihara dan memanfaatkan tanah wakaf
serta berusaha meningkatkan hasilnya; dan (c) menggunakan hasil-hasil wakaf
sesuai dengan ikrar wakaf. Untuk mengerjakan pengurusan dan pengawasan harta
kekayaan wakaf, Nadzir wajib menyelenggarakan pembukuan;
1.
Buku
catatan keadaan tanah wakaf, menurut W. 6
2.
Buku
catatan tentang pengeolaa dan hasil tanah wakaf menurut bentuk W.6. a
3.
Membuat
laporan hasil pencatatan tanah wakaf yang diurusnya dan penggunaan dari
hasil-hasil tanah wakaf pada akhir bulan Desember setiap tahun kepada KUA
setempat yang merupakan rekapitulasi dari bentuk W. 6., W.6.a dan W.^.b
4.
Memberikan
laporan perubahan anggota Nadzir, apabila ada salah seorang anggota Nadzir (a)
meninggal dunia (b) mengundurkan diri (c) melakukan tindak pidana kejahatan
yang berhubungan dengan jabatannya sebagai Nadzir, (d) tidak memenuhi syarat
lagi (e) tidak dapat lagi melakuakan kewajiban . Mengusulkan pengganti apabila
jumlah anggota perorangan menjadi kura dari 3 (tiga) orang
5.
Mengajukan
permohonan kepada Kanwil Departemen Agama cq Kepala Bidang Urusan Agama Islam
melalui Kepala KUA dan Kantor Departemen Agama apabila diperlukan perubahan
penggunaan tanah wakaf karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti
diikrarkan oleh wakif atau oleh karena kepentingan umum;
6.
Mengajukan
permohonan / perubahan status tanah wakaf kepada Menteri Agama melalui kepala
KUA , Kandepag dan Kanwil Depag dengan memberikan keterangan seperlunya tentang
tanah penggantinya, apabila kepentingan umum menghendakinya;
7.
Melaporkan
kepada Bupati/Walikota Kepala Daerah cq Kepala sub Direktorat Agraria setempat,
apabila terjadi perubahan status tanah wakaf atau perubahan penggunaannya untuk
mendapatkan penyelesaian lebih lanjut;
8.
Melaporkan
kepada Kepala KUA tetang hasil pencatatan tanah wakaf yang diurusinya; (a)
pencatatan tanah wakaf oleh Kepala sub Direktorat Agrara setempat; (b)
pencatatan tanah wakaf pengganti, dalam hal perubahan status tanah wakaf oleh
Kepala Subdit Agraria setempat (c) pencatatan perubahan penggunaan tanah wakaf
oleh Kepala Sub Direktorat Agraria setempat
Di samping kewajiban
yang harus dilaksanakan oleh Nadzir, Pasal 8 PP No. 28 Tahun 1977 menegaskan
bahwa Nadzir berhak mendapatkan dan menikmati penghasilan dan fasilitas yang
besar dan macamnya ditentukan lebih lanjut oleh Menteri Agama. Ketentuan dalam
Pasal ini memberikan dasar bagi penetapan suatu penghasilan dan pemberian fasilitas
kepada Nadzir. Dengan telah diberiknya imbalan yang pantas terhadap kebutuhan
ini maka diharapkan dapat dihindari penyimpangan dari penggunaan obyek wakaf (penjelasan Pasal 8)
F.
Metode
Penelitian
1. Penentuan Fokus dan Desain Penelitian
Fokus utama dalam penelitian ini adalah problem tanah
wakaf masjid yang dialami Ta’mir masjid dalam kasus pembangunan masjid di
perumahan. Kasus Pembangunan masjid di perumahan sendiri sebenarnya terjadi baik di Kabupaten
Jember maupun di luar Jember, akan tetapi penelitian ini lebih difokuskan pada
problem yang terjadi pada perumahan Kelurahan Tegal Besar Kecamatan Kaliwates.
Peneliti ingin secara lebih dekat mengamati problem tanah wakaf masjid yang
dialami ta’mir masjid dan ingin menyajikannya secara apa adanya tanpa ada
rekayasa, untuk itulah digunakan pendekatan desain kualitatif (qualitative design). Penelitian
kualitatif sendiri didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan
data diskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan orang-orang dan perilaku
yang diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh).
Selanjutnya penelitian kualitatif di atas dilakukan
dengan pendekatan studi kasus (case study), sebab berangkat dari studi
yang mendalam terhadap kasus-kasus tertentu dari korban trafiking, dan
diharapkan penelitian terhadap kasus yang spesifik itu dapat memberikan
gambaran secara luas tentang trafiking itu sendiri.[16]
2.
Penentuan
Lokasi Penelitian
Penelitian
ini mengambil lokasi di Kelurahan Tegal Besar Kecamatan Kaliwates Kabupaten
Jember. Pemilihan lokasi ini didasarkan pada beberapa pertimbangan diantaranya
adalah kenyataan banyaknya problem tanah wakaf masjid di perumahan -perumahan
yang ada di Kelurahan Tegal Besar.. Berdasarkan observasi awal, Kelurahan Tegal
Besar ini merupakan kelurahan terbesar perumahannya di Kabupaten Jember. Ada sebelas perumahan di daerah ini yang mengalami problem tanah
wakaf masjid.
3. Teknik Pengumpulan Data
Guna menjaring data tentang problem
tanah wakaf masjid ini maka penelitian dilakukan secara serkuler dengan
menggunakan tiga pendekatan yaitu: (1) wawancara mendalam (indept interviewing), (2) pengamatan peran serta (participan observationt) dan (3)
dokumentasi. Penggunaan wawancara dalam penelitian ini antara lain untuk
menggali informasi sebanyak-banyaknya tentang bentuk-bentuk kekerasan yang
dialami oleh perempuan yang ditrafik. Untuk keperluan itu wawancara lebih
banyak dilakukan dengan ta’mir masjid dan pengurus Dewan Masjid Indonesia
Ranting Tegal Besar serta Kepala Kantor Urusan Agama ( KUA ) Kaliwates.
Dalam
penelitian ini pengamatan digunakan untuk meneliti keadaan obyektif tentang
wakaf tanah yang digunakan ta’mir masjid untuk membangun masjid. Pengamatan juga dilakukan untuk melihat lebih
dekat tentang problem dan kendala solusi yang dihadapi oleh ta’mir masjid.
Adapun dokumentasi dalam penelitian ini digunakan untuk meneliti kelengkapan
dokumen dari masjid yang ada di perumahan yang ada di Kelurahan Tegal Besar.
Dokumen tersebut antara lain: sertifikat tanah wakaf, Izin Mendirikan Bangunan
( IMB), NPWP, Surat HO dan sebagainya.
4.Penentuan Informan
Informan penelitian diambil dengan
menggunakan sampling Porposive dimana sampel diambil bukan tergantung
pada populasi, melainkan sesuai dengan tujuan penelitian. Adapun informan yang dimaksud adalah ta’mir-ta’mir
masjid yang ada di perumahan Tegal Besar . Dengan berbagai pertimbangan
diantaranya permintaan dari informan, maka identitas para informan nantinya
tidak akan diungkapkan secara sebenarnya, melainkan dengan nama samaran. Dengan
alasan khawatir menimbulkan fitnah.
5. Teknik Analisis Data
Sebagai penelitian studi kasus, maka
analisis datanya bersifat induktif.
Dengan demikian peneliti akan berusaha menggali kasus-kasus yang
beraneka ragam, yang kemudian dikumpulkan dan dihubungkan menjadi satu untuk
membangun suatu teori (grounded theory). Upaya untuk membangun teori
baru bersifat terbuka pada permulaan dan semakin terfokus pada bagian akhir
sehingga yang disajikan dalam bentuk funnel (cerobong).[17]
6.
Pengujian Kredibilitas,
Dependabilitas dan Konfirmabilitas Data
Pengujian
kredibilitas data dilakukan untuk mengetahui tingkat kepercayaan yang dicapai
dan menunjukkan derajat kepercayaan hasil-hasil penemuan dengan jalan
pembuktian oleh peneliti pada kenyataan ganda yang sedang diteliti. Adapun
teknik pemeriksaan kredibilitas data yang digunakan antara lain melalui diskusi
dengan teman sejawat (peerdebriefing), selain itu peneliti akan
melakukan perpanjangan keikutsertaan yang juga didukung oleh ketekunan
pengamatan. Agar data yang diperoleh lebih absah lagi peneliti akan melakukan
pengecekan ulang baik metode maupun sumber penelitian dengan triangulasi.
Keseluruhan dari proses penelitian juga akan didukung dengan reverensi yang mencukupi. Sedangkan pengujian
dependabilitas, dan konfirmabilitas data dilakukan dengan cara audit oleh dewan
pakar.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, 1990, Masalah perwakafan tanah milik dan
kedudukan tanah wakaf di negara kita, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 5.
Bogdan,
R.C., and Biklen, S.K. (1982). Qualitative Research for Education an
Introduction to Theori and Methods. London: Allyn and Bacon. Inc
Danim,
Sudarwan. (2002). Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia.
Direktorat
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam, Analisa Hukum Islam Bidang Wakaf,
(Jakarta. 1997/1998)
Jazuni, Hukum Islam di Indonesia,
Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam dan penerapan, (Jakarta: Hanya Press, 2006)
Noel
J Coulso, Hukum Islam dalam
Perspektif Sejarah ( The History of Islamic Law ), diterjemahkan oleh Hamid
Ahmad, cetakan pertama ( Jakarta : P3M, 1987 )
Sholeh Hayat dkk , Buku Panduan Wakaf Nahdlatul Ulama, Lajnah
Auqof NU Jawa Timur 2002
Sudarsono,
Heri. 2007. Bank dan Lembaga Keungan Syari’ah Deskripsi dan Ilustrasi. Yogyakarta: Ekonisia.
Tamaddun, 2002, Bait Al Ashy, Rumah Wakaf Aceh di Tanah
Suci Mekkah,
www.al-islam.or.id
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan
Hidup Kyai, cetakan keenam, ( Jakarta: LP3S, 1994)
Calon Peserta
PPS – S.3 IAIN Sunan Ampel Surabaya
HM. Syamsudini, M.Ag
[1] Sholeh Hayat dkk , Buku
Panduan Wakaf Nahdlatul Ulama, Lajnah Auqof NU Jawa Timur 2002, hal 1
[2]Jazuni, Hukum Islam di Indonesia,
Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam dan penerapan, (Jakarta: Hanya Press, 2006), hal. 265
[3]Direktorat
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam, Analisa Hukum Islam Bidang Wakaf,
(Jakarta. 1997/1998), hal. 60-61
[4]Ibid
[5] Abdurrahman, 1990, Masalah perwakafan tanah milik dan kedudukan
tanah wakaf di negara kita, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 5.
[7] Ibid., hal. 6.
[8] Ibid.
[9] Ibid., hal. 9.
[10] Ibid., hal 14.
[11] Ibid. hal. 15.
[12] Ibid.
[13] Sudarsono, Heri. 2007. Bank dan Lembaga Keungan Syari’ah Deskripsi dan
Ilustrasi. Yogyakarta: Ekonisia. hal 261
[14]Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan
Hidup Kyai, cetakan keenam, ( Jakarta: LP3S, 1994), hal.102.
[15]Noel J Coulso, Hukum
Islam dalam Perspektif Sejarah ( The History of Islamic Law ),
diterjemahkan oleh Hamid Ahmad, cetakan pertama ( Jakarta : P3M, 1987 ) h.198
[16] Danim, Sudarwan. (2002). Menjadi Peneliti Kualitatif.
Bandung:
Pustaka Setia.hal. 55
[17] Bogdan, R.C., and Biklen, S.K. (1982). Qualitative Research for
Education an Introduction to Theori and Methods. London: Allyn and Bacon. Inc.hal 59
Tidak ada komentar:
Posting Komentar