Minggu, 15 Juni 2014

KESALEHAN INDIVIDUAL DAN SOSIAL SEBAGAI PENANGKAL PERILAKU KORUPSI



KESALEHAN INDIVIDUAL DAN SOSIAL SEBAGAI PENANGKAL PERILAKU KORUPSI
Jum'at, 22 September 2006 16:54 WIB

اَ لْحَمْدُ ِلله ِاَّلذِيْ اَنْعَمَناَ بِنِعْمَةِ اْلإ ِ يْمَانِ وَاْلإِسْلاَمِ وَ بِشَرِيْعَةِ نَبِيِّنَامُحَمَّدٍ صَلىَّ الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَه إلاَّ الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ . اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَىسَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النَِّبيِّّ اْلأُ مِّيِّ وَ عَلَى آلِهِ وَ صَحْبِهِ وَجَمِيْعِ أُمَّتِهِ وسَلَّمَ. أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ بِسْمِ اللهِ الَّرْحمنِ الَّرحِيْمِ هُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلاَ ئِفَ فِي ْالأَ رْضِ فَمَنْ كَفَرَ فَعَلَيْهِ كُفْرُهُ وَلاَ يَزِيْدُ الْكَافِرِيْنَ كُفْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ إِلاَّ مَقْتًا وَلاَ يَزِيدُ الْكَافِرِينَ كُفْرُهُمْ إِلاَّ خَسَارًا. أَمَّابَعْدُ ،  فَيَاعِبَادَالله أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَ ىاللهِ فَقَدْ فَازَ اْلمُتَّقُوْنَ.
Hadirin jama’ah Jum’at yang dimulyakan Allah Swt. 
Segala puji dan syukur bagi Allah Swt., Tuhan yang telah senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya bagi seluruh makhluk-Nya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw., keluarga, sahabat, serta umatnya yang setia mengikuti ajarannya.
Dalam kesempatan khutbah kali ini, khatib berwasiat kepada diri sendiri maupun jama’ah sekalian, marilah kita senantiasa meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Allah Swt. Takwa dalam pengertian yang seluas-luasnya, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, sosial kemasyarakatan, maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hadirin jama’ah Jum’at yang dimulyakan Allah Swt. 
 Allah Swt. berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإ ِنْسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ.


Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. Adz-Dzâriyât [51]: 56)
Ayat tersebut memberi pengertian bahwa, satu-satunya tujuan diciptakannya jin maupun manusia adalah beribadah kepada Allah. Ibadah yang dimaksud di sini adalah ibadah dalam pengertian yang seluas-luasnya. Kata ibâdah yang berarti menyembah mempunyai akar yang sama dengan kata ‘abdun yang berarti hamba atau budak. Oleh karena itu, ibadah berarti pengabdian total kepada Allah Swt. Ibadah merupakan ekspresi ketaatan manusia terhadap Penciptanya dalam seluruh aspek kehidupannya.
Manusia adalah hamba Allah (‘abd Allâh). Dalam posisi ini, maka seluruh gerak dan langkah kehidupan manusia seharusnya semata-mata diorientasikan untuk mengikuti segenap perintah-Nya, dan menjauhi segala larangan-Nya. Dalam ayat lain, Allah Swt. berfirman:
...اعْبُدُوا الله َ وَاتَّقُوهُ ذَالِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ.
 Sembahlah olehmu Allah dan bertakwalah kepada-Nya. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (QS. Al-‘Ankabût [29]: 16)
Sementara itu, dalam pengertian yang lebih khusus, kata ‘ibâdah dipahami sebagai ritualitas atau amalan-amalan keagamaan yang didasarkan  pada ketentuan-ketentuan syari’at. Dengan kata lain, hubungan antara hamba (‘abdun) dan Allah Swt. (al-Khâliq) dalam hal ini diwujudkan melalui ritualitas (‘ubûdiyyah) yang mengacu pada ketentuan-ketentuan syari’at. Dalam sebuah kaidah ushul fiqh dinyatakan, bahwa segala praktek ritual (‘ubûdiyyah) pada dasarnya dilarang dikerjakan (harâm), kecuali dengan mengacu pada ketentuan-ketentuan al-Qur'an dan as-Sunnah. Artinya, manusia tidak diperkenankan membuat cara-cara ritual baru dalam beribadah kepada Allah Swt. Penambahan atau pengurangan terhadap tata cara peribadatan merupakan bentuk penyimpangan keagamaan atau bid’ah. Pengertian semacam ini adalah pengertian ibadah ritual atau yang disebut ibadah makhdlah, seperti ketentuan shalat dan haji.
Akan tetapi, apakah yang disebut ibadah terbatas pada praktek ritual? Tentu saja tidak. Sebab jika demikian, agama akan mengalami penyempitan makna. Padahal, agama menyatakan bahwa semua perbuatan manusia, baik perbuatan dalam konteks individual maupun kolektif akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Manusia bahkan harus mengorientasikan seluruh aktifitasnya sebagai bentuk ibadah kepada Allah. Oleh sebab itu, ibadah tidak terbatas pada shalat atau haji, tetapi mencakup seluruh perbuatan manusia.  
Hadirin jama’ah Jum’at yang dimulyakan Allah Swt. 
Imam al-Ghazali (450 H - 505 H) adalah ulama tasawuf besar yang dijuluki ‘hujjatu l-islâm’. Semasa hidupnya ia banyak menulis karya yang menjelaskan makna ibadah. Banyak orang menyebutnya sebagai ilmuwan yang menjembatani dimensi syari’at dengan dimensi tasawuf. Karya-karyanya monumentalnya, seperti Ihyâ` ‘Ulûmi d-dîn, al-Adabu fî d-Dîn, Bidâyah al-Hidâyah dan lain-lain, secara luas mengkaji makna yang terkandung dalam praktek-praktek ibadah ritual, serta memberi gambaran yang jelas tentang makna ibadah dalam arti luas.
Bentuk ritual ibadah seberapapun individualnya ia dipraktekkan selalu berkaitan dengan aspek-aspek moral dan etika yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Artinya meskipun ibadah ritual pada dasarnya bersifat individual, ia mengandung prinsip dan pesan moral yang harus diimplementasikan dalam kehidupan manusia secara keseluruhan, tidak saja dalam diri pribadinya tetapi juga dalam kehidupan sosialnya.
Islam hadir ke dunia ini bukan untuk menyuruh umatnya untuk hidup mengucilkan diri di balik tembok-tembok suci peribadatan dalam rangka menjalankan ritualitas ibadah formal semata-mata. Sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatal li l-‘âlamîn), Islam mengajak pemeluknya untuk mampu menjalankan peran-peran kemanusiaan secara luas. Oleh sebab itu, di samping sebagai hamba Allah (‘abdu llâh), manusia juga mendapatkan tugas mulia dari Allah Swt., yaitu sebagai khalîfah atau pengatur kehidupan di muka bumi. Dalam hal ini Allah berfirman:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَ ئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي ْالأَرْضِ خَلِيْفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَتَعْلَمُونَ.
 Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". (Qs. Al-Baqarah [2]: 30)
Dalam ayat lain ditegaskan,
هُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلاَ ئِفَ فِي ْالأَ رْضِ فَمَنْ كَفَرَ فَعَلَيْهِ كُفْرُهُ وَلاَ يَزِيْدُ الْكَافِرِيْنَ كُفْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ إِلاَّ مَقْتًا وَلاَ يَزِيدُ الْكَافِرِينَ كُفْرُهُمْ إِلاَّ خَسَارًا.
 Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barangsiapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka. (QS. Fâthir [35]: 39)
Dalam kapasitasnya sebagai khalifah, manusia diberi mandat dan kekuasaan oleh Allah Swt. untuk mengelola, mengurus, merawat dan melestarikan bumi berikut isinya. Manusia diberi kekuasaan untuk memanfaatkan bumi dan segala isinya untuk kemaslahatan umat manusia. Pada saat itulah, manusia seharusnya menciptakan pola hubungan yang harmonis, baik antar-sesama manusia maupun dengan makluk-makhluk lainnya. Keharmonisan hubungan antar sesama manusia dilakukan dalam berbagai aspek kehidupan, baik secara sosial, politik, ekonomi, budaya dan sebagainya, bahkan hubungan antara manusia dengan alam semesta, seperti tumbuh-tumbuhan, hewan, gunung-gunung, planet-planet luar angkasa dan lain-lain. Kesemuanya itu merupakan bentuk ibadah. Inilah makna yang terkandung dalam kalimat iftitâh shalat kita:
إِنَّ صَلاَ تِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لله ِرَبِّ الْعَالَمِينَ.
 “…Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam…” (QS. Al-An’âm [6]: 162)
            Dengan menyadari bahwa ibadah tidak terbatas pada amalan-amalan ritual, maka seseorang akan selalu mempergunakan hati dan pikirannya dalam pergaulan (mu’âmalah) di dunia ini. Ia tidak akan berbuat kezaliman terhadap sesamanya, baik kezaliman fisik, psikis, ataupun kezaliman dengan cara merampas hak orang lain, termasuk dengan cara korupsi. Ibadah ritual sebanyak apapun tidak akan berarti apa-apa jika orang yang melakukannya tidak mampu menjaga dirinya dengan baik tindakan-tindakan sosialnya. Orang yang rajin melakukan shalat, berkali-kali haji, dengan memenuhi ketentuan pelaksanaannya secara fiqih belumlah bisa disebut pribadi yang saleh jika ia masih gemar memakan harta haram, menyakiti orang lain, dan berbuat kezaliman-kezaliman di muka bumi.
Di sinilah kita bisa memahami bahwa beragama dalam konteks yang lebih luas, adalah menjaga hablum mina llâh dan habl mina n-nâs. Keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain, yang harus bermuara pada pencapaian keridlaan Allah Swt.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar