WAKAF
DAN UPAYA MEMBERDAYAKAN POTENSINYA
SECARA
PRODUKTIF DI INDONESIA[1]
Abstract
The paper traces to describe the potency of wakaf and examine the
effort to empower the potency productively, especially by supporting cash waqf
and networking with Islamic financial institutions in Indonesia.
Wakaf is a voluntary charitable act that has wide economic implication. This
institution was able to solve problems of poverty and extend social services in
the classical times. The objective of the paper is to investigate how this
institution can be used in contemporary times to solve many economics problems
in muslim society, especially in Indonesia. It is believed that if
the potency of wakaf is empowered in many ways by productive method, it will
give more contribution to redistribute of assets and opportunities, capacity
building and wealth creation, and extending income support.
Kata
Kunci: wakaf produktif, cash wakaf, pemberdayaan, manajemen risiko. (productive
waqf, cash waqf, empowerment, risk management).
A. Pendahuluan
Aset
wakaf di Indonesia
terbilang besar. Berdasarkan data yang ada di Departemen Agama, jumlah tanah
wakaf di Indonesia sebanyak 430,766 lokasi dengan luas mencapai
1,615,791,832.27 meter persegi[3]
yang tersebar lebih dari 366.595 lokasi di seluruh Indonesia. Dilihat dari
sumber daya alam atau tanahnya (resources capital) jumlah harta wakaf
di Indonesia
merupakan jumlah harta wakaf terbesar di seluruh dunia. Ini merupakan tantangan
bagi umat Islam Indonesia
untuk memfungsikan harta wakaf tersebut secara maksimal sehingga tanah-tanah
tersebut mampu mensejahterakan umat Islam di Indonesia sesuai dengan fungsi dan
tujuan ajaran wakaf yang sebenarnya. Sayangnya, potensi itu masih belum dimanfaatkan secara optimal, karena
berbagai faktor. Maka, langkah yang tak bisa ditawar lagi yaitu memberdayakan
potensinya dengan memproduktifkan aset-aset wakaf tersebut. Jika bangsa ini
mampu mengoptimalkan potensi wakaf yang begitu besar itu, tentu kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat lebih terjamin.
Perwakafan di Indonesia jauh tertinggal dibanding
negara-negara yang mayoritas berpenduduk Islam lain, seperti Mesir,[4] Aljazair, Arab Saudi,[5] Kuwait, dan Turki.[6] Mereka jauh-jauh hari sudah mengelola wakaf ke
arah produktif. Bahkan, di negara yang penduduk muslimnya minor, pengembangan
wakaf juga tak kalah produktif. Singapura misalnya, aset wakafnya, jika
dikruskan, berjumlah S$ 250 juta. Untuk mengelolanya, Majelis Ugama Islam
Singapura (MUIS) membuat anak perusahaan bernama Wakaf Real Estate Singapura
(WAREES).
Kalau mereka bisa, mengapa Indonesia yang
merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia ini tak mampu. Penulis
yakin, masyarakat Islam Indonesia mampu melakukan, bahkan lebih dari itu, jika
benar-benar serius menangani hal ini. Apalagi, pemberdayaan wakaf di Indonesia
kini sudah diakomodir secara formal oleh peraturan perundangan yang sangat
progresif dalam mengakomodir hukum fiqh yaitu UU No. 41 tahun 2004 tentang
wakaf dan PP No. 42 tahun 2006 tentang pedoman pelaksanaannya. Kalau begitu,
sekarang tinggal action saja, tak perlu banyak berwacana. Kalau dulu,
banyak orang berdiskusi dan berharap adanya lembaga khusus yang menangani
perwakafan di Indonesia, kini BWI sudah berdiri (sejak 2007). Tinggal bagaimana
memaksimalkan lembaga independen amanat undang-undang itu. (Bab VI, pasal 7, UU
No. 41 tahun 2004).
Persoalannya, masih muncul perbedaan faham di
tengah masyarakat tentang pengelolaan wakaf ke arah produktif, oleh karena itu
perlu adanya persamaan faham tentang apa dan bagaimana memberdayakan potensi
perwakafan di Indonesia menuju yang lebih produktif dengan menggali berbagai
kemungkinan jalan ke arah itu. Tulisan ini berupaya memberikan kontribusi untuk
menjawab persoalan tersebut.
B. Pengertian dan Landasan Hukum Wakaf
B.1. Pengertian
Wakaf secara etimologi adalah al-habs[7] (menahan)”. Ia merupakan kata yang berbentuk
masdar (gerund) dari ungkapan waqfu al-syai’ yang pada
dasarnya berarti menahan sesuatu. Dengan demikian, pengertian wakaf secara
bahasa adalah menyerahkan tanah untuk orang-orang miskin untuk ditahan.
Diartikan demikian karena barang milik itu dipegang dan ditahan orang lain,
seperti menahan hewan ternak, tanah dan segala sesuatu.[8]
Secara gramatikal, penggunaan kata “auqafa”
yang digabungkan dengan kata-kata segala jenis barang termasuk ungkapan yang
tidak lazim (jelek). Yang benar adalah dengan menggunakan kata kerja “waqaftu”
tanpa memakai hamzah (auqaftu). Adapun yang semakna dengan kata “habistu”
adalah seperti ungkapan “waqaftu al-syai’ aqifuhu waqfan”.[9]
Para ulama berbeda pendapat dalam memberi
pengertian wakaf, sebagaimana tercantum buku-buku fiqh. Perbedaan tersebut
membawa akibat yang berbeda pada hukum yang ditimbulkan. Definisi wakaf menurut
ahli fiqh adalah sebagai berikut.
Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai
menahan materi benda (al-‘ain) milik wakif dan menyedekahkan atau
mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan.[10] Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahwa
kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan wakif itu
sendiri. Dengan artian, wakif masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya,
manakala perwakafan hanya terjadi ke atas manfaat harta tersebut, bukan
termasuk aset hartanya.
Kedua, Malikiyah berpendapat, wakaf adalah
menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara
sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat)
dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan wakif.[11] Definisi wakaf tersebut hanya menentukan
pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang berhak saja.
Ketiga, Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan
menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain)
dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh wakif untuk
diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah.[12] Menurut Syaikh Syihabuddin al-Qalyubi,
wakaf adalah habsul mali yumkinu al-intifa’u bihi ma’a baqa’I ainihi ‘ala
mashrafin mubahin (menahan harta yang bisa diambil manfaatnya dengan
menjaga bentuk aslinya untuk disalurkan kepaa jalan yang dibolehkan).[13] Golongan ini mensyaratkan harta yang
diwakafkan harus harta yang kekal materi bendanya (al-‘ain), dalam
arti harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya
secara berterusan.
Keempat, Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan
bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan
manfaat yang dihasilkan.[14] Demikianlah pengertian wakaf menurut para
ulama ahli fiqih.
Sedangkan dalam konteks perundangan di Indonesia,
nampaknya wakaf dimaknai secara spesifik dengan menemukan titik temu dari
berbagai pendapat ulama tersebut. Hal ini dapat terlihat dalam rumusan
pengertian wakaf dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf, wakaf
diartikan dengan perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka
waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syariah.[15] Rumusan dalam UU wakaf tersebut, jelas
sekali merangkum berbagai pendapat para ulama fiqh tersebut di atas tentang
makna wakaf, sehingga makna wakaf dalam konteks Indonesia lebih luas dan lebih
komplit.
Dari beberapa definisi wakaf tersebut, dapat
disimpulkan bahwa wakaf bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah harta
yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan ajaran
syariah Islam. Hal ini sesuai dengan fungsi wakaf yang disebutkan pasal 5 UU
No. 41 tahun 2004 yang menyatakan wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan
manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan
kesejahteraan umum.
B.2. Wakaf Menurut Al-Quran dan Hadis serta Hukum
Positif.
Secara umum tidak terdapat ayat al-Quran yang
menerangkan konsep wakaf secara konkrit tekstual. Wakaf termasuk infaq
fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para ulama dalam menerangkan
konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan
tentang infaq fi sabilillah. Di antara
ayat-ayat tersebut antara lain:
مثل الذين ينفقون
أموالهم في سبيل الله كمثل حبة أنبتت سبع سنابل في كل سنبلة مئة حبة والله يضاعف
لمن يشاء والله واسع عليم .الذين ينفقون أموالهم في سبيل الله ثم لا يتبعون ما أنفقوا
منا ولا أذى لهم أجرهم عند ربهم ولا خوف عليهم ولا هم يحزنون
“Perumpamaan
(nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada
tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah
Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. Orang-orang yang menafkahkan
hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang
dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak
menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan
mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih
hati. (Q.S. al-Baqarah (2): 261-262).
يا أيها الذين
آمنوا أنفقوا من طيبات ما كسبتم ومما أخرجنا لكم من الأرض ولا تيمموا الخبيث منه
تنفقون ولستم بآخذيه إلا أن تغمضوا فيه واعلموا أن الله غني حميد
“Hai
orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi
untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan
daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan
memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji.” (Q.S. al-Baqarah (2): 267).
لن تنالوا البر
حتى تنفقوا مما تحبون وما تنفقوا من شيء فإن الله به عليم
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan
(yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai.
Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya” (Q.S.
Ali Imran (3): 92)
Ayat-ayat tersebut di atas menjelaskan tentang
anjuran untuk menginfakkan harta yang diperoleh untuk mendapatkan pahala dan
kebaikan. Di samping itu, ayat 261 surat al-Baqarah telah menyebutkan pahala
yang berlipat ganda yang akan diperoleh orang yang menginfakkan hartanya di
jalan Allah.
Di antara hadis yang menjadi dasar dan dalil wakaf
adalah hadis yang menceritakan tentang kisah Umar bin al-Khaththab ketika
memperoleh tanah di Khaibar. Setelah ia meminta petunjuk Nabi tentang tanah
tersebut, Nabi menganjurkan untuk menahan asal tanah dan menyedekahkan
hasilnya. Hadis tentang hal ini adalah
عن عبد الله بن عمر أن عمر رضي
الله عنه أتى النبي صلى الله عليه وسلم وكان قد ملك مائة سهم من خيبر فقال قد أصبت
مالا لم أصب مثله وقد أردت أن أتقرب به إلى الله تعالى فقال حبس الأصل وسبل الثمرة
“Dari
Abdullah bin Umar bahwa sesungguhnya Umar bin Khattab mendatangi Nabi SAW,
(pada waktu itu) Umar baru saja memperoleh 100 kavling tanah Khaibar (yang
terkenal subur), maka Umar berkata, ‘Saya telah memiliki harta yang tidak
pernah saya miliki sebelumnya dan saya benar-benar ingin mendekatikan diri
kepada Allah SWT melalui harta ini.’ Maka Rasulullah SAW bersabda, ‘Tahanlah asal harta tersebut dan alirkan
manfaatnya’. (H.R. al-Bukhari, Muslim, al-Tarmidzi, dan al Nasa’i).
Hadis
lain yang menjelaskan wakaf adalah hadis yang diceritakan oleh Imam Muslim dari
Abu Hurairah sebagai berikut:
اذا مات الانسان
انقطع عمله الا من ثلاث صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له
“Apabila
seorang manusia itu meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali
dari tiga sumber, yaitu sedekah jariah (wakaf), ilmu pengetahuan yang bisa
diambil manfaatnya, dan anak soleh yang mendoakannya.” (H.R. Muslim,
al-Tirmidzi, al-Nasa’ i, dan Abu Daud).
Selain
dasar dari al-Quran dan Hadis di atas, para ulama sepakat (ijma’) menerima
wakaf sebagai satu amal jariah yang disyariatkan dalam Islam. Tidak ada orang yang dapat menafikan dan
menolak amalan wakaf dalam Islam karena wakaf telah menjadi amalan yang
senantiasa dijalankan dan diamalkan oleh para sahabat Nabi dan kaum Muslimin
sejak masa awal Islam hingga sekarang.[16]
Dalam konteks negara Indonesia, praktik wakaf
sudah dilaksanakan oleh masyarakat muslim Indonesia sejak sebelum merdeka.
Pemerintah Indonesia pun telah menetapkan Undang-undang khusus yang mengatur
tentang perwakafan di Indonesia, yaitu Undang-undang Nomor 41 tahun 2004
tentang Wakaf. Untuk melengkapi Undang-undang tersebut, pemerintah juga telah
menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan
Undang-undang Nomor 41 tahun 2004.
Sebelum itu, telah ada berbagai peraturan yang
mengatur tentang wakaf.[17] Peraturan yang mengatur tentang wakaf
adalah UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria,
khususnya pasal 5, 14 (1), dan 49, PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan
Tanah Milik, Peraturan Menteri No. 1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan
PP No. 28 Tahun 1977, Intruksi Bersama Menag RI dan Kepala BPN No. 4 Tahun 1990
tentang Sertifikat Tanah Wakaf, Badan Pertanahan Nasional No. 630.1-2782
tantang Pelaksanaan Penyertifikatan Tanah Wakaf, Inpres No. 1 Tahun 1991
tentang KHI, SK Direktorat BI No. 32/34/KEP/DIR tentang Bank Umum Berdasarkan
Prinsip Syariah (pasal 29 ayat 2 berbunyi: bank dapat bertindak sebagai lembaga
baitul mal, yaitu menerim dana yang berasal dari zakat, infaq, shadaqah, wakaf,
hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada yang berhak dalam
bentuk santunan dan atau pinjaman kebajikan [qard al-hasan]), SK
Direktorat BI No. 32/36/KEP/DIR tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan
Prinsip Syariah (pasal 28 berbunyi: BPRS dapat bertindak sebagai lembaga baitul
mal, yaitu menerim dana yang berasal dari zakat, infaq, shadaqah, wakaf, hibah,
atau dana social lainnya dan menyalurkannya kepada yang berhak dalam bentuk
santunan dan atau pinjaman kebajikan [qard al-hasan]).[18]
C. Syarat dan Rukun Wakaf dalam Konteks
Fiqh Indonesia
Rukun wakaf dalam hukum fiqh ada empat yaitu: (1)
orang yang berwakaf (al-waqif). (2) benda yang diwakafkan (al-mauquf).
(3) orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf ‘alaihi/nadzir). (4)
lafadz atau ikrar wakaf (sighah). Sedangkan dalam UU Wakaf Pasal 6
yang merupakan fiqh Indonesia yang telah diundangkan, selain 4 rukun tersebut,
wakaf dilaksanakan dengan memenuhi 6 unsur, yaitu 4 unsur tersebut ditambah
dengan dua unsur lain yaitu: peruntukan harta benda wakaf dan jangka waktu
wakaf.
Dalam konteks ini, wakif meliputi perseorangan,
organisasi, maupun badan hukum. Wakif perseorangan dapat melakukan wakaf
apabila memenuhi persyaratan: dewasa, berakal sehat, tidak terhalang melakukan
perbuatan hukum, dan merupakan pemilik sah harta benda wakaf. Wakif organisasi
dan badan hukum dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan organisasi
atau badan hukum untuk mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi atau badan
hukum sesuai dengan anggaran dasar organisasi atau badan hukum yang
bersangkutan.[19]
Adapun pihak nazhir bisa dilakukan oleh
perseorangan, organisasi, atau badan hukum. Syarat nazhir perseorangan adalah
warga negara Indonesia, beragama Islam dewasa, amanah, mampu secara jasmani dan
rohani, dan tidak terhalang melakukan perbuatan hukum. Organisasi atau badan
hokum yang bisa menjadi nazhir harus memenuhi persyaratan yaitu pengurus
organisasi atau badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir
perseorangan sebagaimana tersebut di atas, organisasi atau badan hukum itu
bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan
Islam, badan hukum itu dibentuk sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Tugas nazhir adalah melakukan pengadministrasian
harta benda wakaf, mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan
tujuan, fungsi, dan peruntukannya, mengawasi dan melindungi harta benda wakaf,
melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia. Dalam melaksanakan
tugas tersebut, nazhir dapat menerima imbalan dari hasil bersih atas
pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10%
(sepuluh persen).[20]
Syarat-syarat harta yang diwakafkan (al-mauquf)
harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu: al-mauquf harus barang
yang berharga, al-mauquf harus diketahui kadarnya, al-mauquf
dimiliki oleh wakif secara sah, al-mauquf harus berdiri sendiri, tidak
melekat kepada harta lain (mufarrazan). Harta benda wakaf bisa
berbentuk benda tidak bergerak ataupun benda bergerak. Yang termasuk benda
tidak bergerak antara lain:
a. hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar;
b. bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana
dimaksud pada huruf a;
c. tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;
d. hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
e. benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan yang dimaksud benda bergerak adalah harta benda yang tidak bisa
habis karena dikonsumsi, antara lain:
a. uang;
b. logam mulia;
c. surat berharga;
d. kendaraan;
e. hak atas kekayaan intelektual;
f. hak sewa; dan
g. benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan
perundangundangan yang berlaku.[21]
Berdasarkan paparan tersebut, dapat ditegaskan bahwa pemahaman tentang
benda wakaf hanya sebatas benda tak bergerak, seperti tanah adalah kurang
tepat. Karena wakaf juga bisa berupa benda bergerak, antara lain uang, logam
mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, dan hak sewa,
sebagaimana tercermin dalam Bab II, Pasal 16, UU No. 41 tahun 2004, dan juga
sejalan dengan fatwa MUI ihwal bolehnya wakaf uang.
Syarat-syarat shigah berkaitan dengan ikrar wakaf, yaitu harus memuat nama
dan identitas Wakif, nama dan identitas Nazhir, keterangan harta benda wakaf,
dan peruntukan harta benda wakaf, serta jangka waktu wakaf.
Pada prinsipnya, dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda
wakaf hanya dapat diperuntukan bagi:
a. sarana dan kegiatan ibadah;
b. sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan;
c. bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, bea siswa;
d. kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/atau
e. kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan
syariah dan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan
paparan tersebut, dapat ditegaskan bahwa pemahaman tentang pemanfaatan harta
benda wakaf yang selama ini masih terbatas digunakan untuk tujuan ibadah saja
(yang berwujud misalnya: pembangunan masjid, komplek kuburan, panti asuhan, dan
pendidikan) adalah kurang tepat. Nilai ibadah itu tidak harus berwujud langsung
seperti itu. Bisa saja, di atas lahan wakaf dibangun pusat perbelanjaan, yang
keuntungannya nanti dialokasikan untuk beasiswa anak-anak yang tidak mampu, layanan
kesehatan gratis, atau riset ilmu pengetahuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Ini juga bagian dari ibadah.
D. Sejarah dan Perkembangan wakaf di Indonesia
Perilaku sejenis wakaf telah dikenal umat manusia
sebelum Islam datang. Umat manusia –terlepas dari agama dan kepercayaan
yang mereka anut—sesungguhnya telah mengenal beberapa bentuk praktik
pendayagunaan harta benda, yang substansinya tidak jauh berbeda dengan wakaf
dalam Islam. Hal ini disebabkan pada dasarnya, umat manusia sudah menyembah
Tuhan melalui ritual keagamaan sesuai kepercayaan mereka. Hal inilah yang
kemudian menjadi faktor pendorong bagi setiap umat beragama untuk mendirikan
bangunan peribadatannya masing-masing.[22]
Mereka yang memiliki kepedulian serta perhatian
terhadap kelangsungan agamanya rela melepaskan sebagian tanahnya atau
menyumbangkan sebagian harta miliknya untuk kepentingan rumah peribadatan.
Contoh yang paling nyata dari adanya praktik wakaf sebelum Islam adalah
dibangunnya al-Ka’bah al-Musyarrafah oleh Nabi Ibrahim as. Hanya saja,
dalam perjalanan waktu, Ka’bah pernah digunakan sebagai tempat penyembahan
berhala, padahal sebelumnya adalah tempat beribadah kepada Allah Swt.[23]
Jika praktik wakaf telah dikenal sebelum Islam,
maka yang membedakannya dengan wakaf dalam Islam adalah bahwa praktik wakaf
yang diamalkan masyarakat jahiliyah dilakukan semata-mata hanya untuk mencari
prestise (kebanggan). Sedangkan dalam Islam bertujuan untuk mencari ridla Allah
dan sebagai sarana mendekatkan diri kepada-Nya.[24]
Dalam sejarah Islam, wakaf dikenal sejak masa
Rasulullah SAW karena wakaf disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah. Ada dua
pendapat yang berkembang di kalangan ahli yurisprudensi Islam (fuqaha’)
tentang siapa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf. Menurut sebagian
pendapat ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah
Rasulullah SAW yaitu wakaf tanah milik Nabi SAW untuk dibangun masjid.[25] Sebagian ulama menyatakan bahwa yang
pertama kali melaksanakan syariat wakaf adalah Umar bin Khatab. Pendapat ini
berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar ra, sebagaimana telah
dikemukakan di atas.
Praktek wakaf juga berkembang luas pada masa
dinasti Umayah dan dinasti Abbasiyah dan dinasti sesudahnya, banyak orang
berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf, dan wakaf tidak hanya untuk
orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun
lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para statnya, gaji
para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa. Antusiasme masyarakat
kepada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara untuk mengatur
pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk membangun solidaritas sosial dan ekonomi
masyarakat.
Di Indonesia, kegiatan wakaf dikenal seiring
dengan perkembangan dakwah Islam di Nusantara. Di samping melakukan dakwah
Islam, para ulama juga sekaligus memperkenalkan ajaran wakaf. Hal ini terbukti
dari banyaknya masjid-masjid yang bersejarah dibangun di atas tanah wakaf.
Ajaran wakaf ini terus berkembang di bumi Nusantara, baik pada masa dakwah pra
kolonial, masa kolonial, maupun pasca kolonial pada masa Indonesia merdeka.
Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa lembaga
wakaf yang berasal dari agama Islam ini telah diterima (diresepsi) menjadi
hukum adat bangsa Indonesia sendiri. Masa pemerintahan kolonial merupakan
momentum kegiatan wakaf. Karena pada masa itu, perkembangan organisasi
keagamaan, sekolah, madrasah, pondok pesantren, masjid, semuanya merupakan
swadaya dan berdiri di atas tanah wakaf. Namun, perkembangan wakaf kemudian
hari tak mengalami perubahan yang berarti. Kegiatan wakaf dilakukan terbatas
untuk kegiatan keagamaan, seperti pembangunan masjid, mushalla, langgar,
madrasah, perkuburan, sehingga kegiatan wakaf di Indonesia kurang bermanfaat
secara ekonomis bagi rakyat banyak.
Walaupun beberapa aturan telah dibuat oleh
pemerintah terkait dengan mekanisme wakaf, seperti PP Nomor 28 Tahun 1977
tentang perwakafan tanah milik, akan tetapi PP ini hanya mengatur wakaf
pertanahan saja. Ini berarti tak jauh beda dengan model wakaf pada periode
awal, identik dengan wakaf tanah, dan kegunaannya pun terbatas pada kegiatan
sosial keagamaan, seperti masjid, kuburan, madrasah, dan lain-lain.
Karena minimnya regulasi yang mengatur tentang perwakafan,
maka tidaklah heran jika perkembangan wakaf di Indonesia mengalami stagnasi.
Stagnasi perkembangan wakaf di Indonesia mulai mengalami dinamisasi ketika pada
tahun 2001, beberapa praktisi ekonomi Islam mulai mengusung paradigma baru ke
tengah masyarakat mengenai konsep baru pengelolaan wakaf tunai untuk
peningkatan kesejahteraan umat. Ternyata konsep tersebut menarik dan mampu
memberikan energi untuk menggerakkan kemandegan perkembangan wakaf. Kemudian
pada tahun 2002, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyambut konsep tersebut dengan
mengeluarkan fatwa yang membolehkan wakaf uang (waqf al-nuqud).
Fatwa MUI tersebut kemudian diperkuat oleh
hadirnya UU No. 41/2004 tentang wakaf yang menyebutkan bahwa wakaf tidak hanya
benda tidak bererak, tetapi juga dapat berupa benda bergerak, seperti
uang. Selain itu, diatur pula kebijakan perwakafan di Indonesia, mulai
dari pembentukan nazhir sampai dengan pengelolaan harta wakaf. Untuk dapat
menjalankan fungsinya, UU ini masih memerlukan perangkat lain yaitu Peraturan
Pemerintah dan Peraturan Menteri Agama tentang Wakaf Uang yang akan
menjadi juklak dalam implementasinya, serta adanya Badan Wakaf Indonesia (BWI)
yang akan berfungsi sebagai sentral nazhir wakaf. Setelah melalui proses
panjang, pada penghujung tahun 2006 terbitlah PP No. 42/2006 tentang
Pelaksanaan UU Wakaf. Setelah itu, pada juli 2007 keluar Keputusan Presiden
Republik Indonesia nomor 75/M tahun 2007 yang memutuskan dan mengangkat
keanggotaan BWI periode 2007-2010.[26]
Dengan demikian, ternyata dalam perjalanan
sejarahnya, wakaf terus berkembang dan insyaAllah akan selalu berkembang
bersamaan dengan laju perubahan zaman dengan berbagai inovasi-inovasi yang
relevan dengan tetap mengedepankan dan berpandukan prinsip Syariah. Lahirnya UU
wakaf berikut peraturan turunannya merupakan titik tolak peningkatan
pemberdayaan potensi wakaf di Indonesia ke arah yang lebih produktif dalam
bingkai fiqh Indonesia.
E.
Faktor Penghambat Pemberdayaan Wakaf di Indonesia
Menurut Uswatun,[27]
terdapat beberapa faktor yang menyebabkan wakaf di Indonesia belum berperan dalam
memberdayakan ekonomi umat:
1.
Masalah Pemahaman Masyarakat
tentang Hukum Wakaf.
Selama ini, umat Islam masih banyak yang beranggapan bahwa aset wakaf itu
hanya boleh digunakan untuk tujuan ibadah saja. Misalnya, pembangunan masjid,
komplek kuburan, panti asuhan, dan pendidikan. Padahal, nilai ibadah itu tidak
harus berwujud langsung seperti itu. Bisa saja, di atas lahan wakaf dibangun
pusat perbelanjaan, yang keuntungannya nanti dialokasikan untuk beasiswa
anak-anak yang tidak mampu, layanan kesehatan gratis, atau riset ilmu
pengetahuan. Ini juga bagian dari ibadah.
Selain itu, pemahaman ihwal benda wakaf juga masih sempit. Harta yang bisa
diwakafkan masih dipahami sebatas benda tak bergerak, seperti tanah. Padahal
wakaf juga bisa berupa benda bergerak, antara lain uang, logam mulia, surat
berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, dan hak sewa. Ini sebagaimana
tercermin dalam Bab II, Pasal 16, UU No. 41 tahun 2004, dan juga sejalan dengan
fatwa MUI ihwal bolehnya wakaf uang.[28]
2. Pengelolaan dan Manajemen Wakaf.
Saat ini pengelolaan dan manajemen wakaf di Indonesia masih
memprihatinkan. Sebagai akibatnya cukup banyak harta wakaf terlantar dalam
pengelolaannya, bahkan ada harta wakaf yang hilang. Salah satu penyebabnya
adalah umat Islam pada umumnya hanya mewakafkan tanah dan bangunan sekolah,
dalam hal ini wakif kurang memikirkan biaya operasional sekolah, dan nazhirnya
kurang profesional. Oleh karena itu, kajian mengenai manajemen pengelolaan
wakaf sangat penting. Kurang berperannya wakaf dalam memberdayakan ekonomi umat
di Indonesia karena wakaf tidak dikelola secara produktif. Untuk mengatasi
masalah ini, wakaf harus dikelola secara produktif dengan menggunakan manajemen
modern. Untuk mengelola wakaf secara produktif, ada beberapa hal yang perlu
dilakukan sebelumnya. Selain memahami konsepsi fikih wakaf dan peraturan
perundang-undangan, nazhir harus profesional dalam mengembangkan harta yang
dikelolanya, apalagi jika harta wakaf tersebut berupa uang. Di samping itu,
untuk mengembangkan wakaf secara nasional, diperlukan badan khusus yang
menkoordinasi dan melakukan pembinaan nazhir. Pada saat di Indonesia
sudah dibentuk Badan Wakaf Indonesia.
3. Benda yang Diwakafkan dan Nazhir (pengelola
wakaf).
Pada umumnya tanah yang diwakafkan umat Islam di Indonesia hanyalah cukup
untuk membangun masjid atau mushalla, sehingga sulit untuk dikembangkan. Memang
ada beberapa tanah wakaf yang cukup luas, tetapi nazhir tidak profesional. Di
Indonesia masih sedikit orang yang mewakafkan harta selain tanah (benda tidak
bergerak), padahal dalam fikih, harta yang boleh diwakafkan sangat beragam
termasuk surat berharga dan uang. Dalam perwakafan, salah satu unsur yang
amat penting adalah nazhir. Berfungsi atau tidaknya wakaf sangat tergantung pada
kemampuan nazhir. Di berbagai negara yang wakafnya dapat berkembang dan
berfungsi untuk memberdayakan ekonomi umat, wakaf dikelola oleh nazhir yang
profesional. Di Indonesia masih sedikit nazhir yang profesional, bahkan ada
beberapa nazhir yang kurang memahami hukum wakaf, termasuk kurang memahami hak
dan kewajibannya. Dengan demikian, wakaf yang diharapkan dapat memberi
kesejahteraan pada umat, tetapi sebaliknya justru biaya pengelolaannya
terus-menerus tergantung pada zakat, infaq dan shadaqah dari masyarakat. Di
samping itu, dalam berbagai kasus ada sebagian nazhir yang kurang memegang
amanah, seperti melakukan penyimpangan dalam pengelolaan, kurang melindungi
harta wakaf, dan kecurangan-kecurangan lain, sehingga memungkinkan
wakaf tersebut berpindah tangan. Untuk mengatasi masalah ini,
hendaknya calon wakif sebelum berwakaf memperhatikan lebih dahulu apa yang
diperlukan masyarakat, dan dalam memilih nazhir sebaiknya mempertimbangkan
kompetensinya.[29]
F. Pemberdayaan Wakaf Secara Produktif di Indonesia
Wakaf pada dasarnya adalah “economic corporation”, sehingga
wakaf merupakan kegiatan yang mengandung unsur investasi masa depan dan
mengembangkan harta produktif[30]
untuk generasi yang akan datang sesuai dengan tujuan wakaf, baik berupa
pelayanan maupun pemanfaatan hasilnya secara langsung.[31]
Bentuk-bentuk wakaf yang
sudah dikemukakan tersebut merupakan bagian atau unit dana investasi. Investasi
adalah landasan utama bagi pengembangan ekonomi. Investasi sendiri memiliki
arti mengarahkan sebagian dari harta yang dimiliki oleh seseorang untuk
membentuk modal produksi, yang mampu menghasilkan manfaat/barang dan dapat
digunakan untuk generasi mendatang. Investasi yang dimaksud berupa investasi
yang kepemilikan dan tujuannya mampu menghasilkan keuntungan yang direncanakan
secara ekonomi dan hasilnya disalurkan untuk mereka yang ditentukan oleh wakif
dalam ikrar wakaf. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa secara ekonomi, wakaf
(Islam) adalah membangun harta produktif melalui kegiatan investasi untuk
kepentingan mereka yang memerlukan yang telah ditetapkan dalam ikrar wakaf.
Dengan demikian, hasil atau produk harta wakaf dapat dibedakan menjadi dua
bagian. Pertama, wakaf langsung, yaitu harta wakaf yang menghasilkan pelayanan
berupa barang untuk dikonsumsi langsung oleh orang yang berhak atas wakaf,
seperti rumah sakit, sekolah, rumah yatim piatu, dan pemukiman. Kedua, wakaf
produktif, yaitu wakaf yang dikelola untuk tujuan investasi dan produksi barang
dan jasa pelayanan yang diperbolehkan menurut hukum Islam. Dalam bentuk ini,
modalnya (harta wakaf) diinvestasikan, kemudian hasil investasi tersebut
didistribusikan kepada mereka yang berhak.[32]
Wakaf merupakan salah satu
lembaga sosial ekonomi Islam yang potensinya belum sepenuhnya digali dan
dikembangkan. Akan tetapi akhir-akhir ini upaya untuk mengembangkan potensi
wakaf ini terus menerus dilakukan melalui berbagai pengkajian, baik dari segi
peranannya dalam sejarah, maupun kemungkinan peranannya di masa yang akan
datang. Cukup banyak pemikir-pemikir Islam khususnya pakar hukum Islam dan
ekonomi Islam, seperti Monzer Kahf, Khaled R. Al-Hajeri, dan Abdulkader
Thomas, M.A. Mannan, melakukan pengkajian tentang wakaf. Pengkajian tentang
wakaf ini tidak hanya terjadi di universitas-universitas Islam, tetapi juga di
Harvard University.
Jika para nazhir
(pengelola wakaf) di Indonesia mau dan mampu bercermin pada pengelolaan wakaf
yang sudah dilakukan oleh berbagai negara seperti Mesir, Bangladesh dan
lain-lain, insyaAllah hasil pengelolaan wakaf di Indonesia dapat dipergunakan
untuk mengatasi berbagai permasalahan sosial dan ekonomi yang ada saat ini dan
masih dihadapi oleh sebagian bangsa Indonesia, seperti kemiskinan,
pengangguran, dan masalah sosial lainnya. Apalagi jika wakaf yang diterapkan di
Indonesia tidak dibatasi pada benda tidak bergerak saja, tetapi juga benda
bergerak, termasuk uang.[33]
Pada tanggal 11 Mei 2002 Komisi Fatwa Majelis
Ulama Indonesia telah menetapkan fatwa tentang wakaf uang, yang isinya adalah
sebagai berikut.
1. Wakaf uang (Cash Wakaf/Waqf al-Nuqud)
adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum
dalam bentuk uang tunai.
2. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah
surat-surat berharga.
3. Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh).
4. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan
untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’i.
5. Nilai pokok wakaf uang harus dijamin
kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.
Dengan demikian, intinya wakaf uang atau kadang
disebut dengan wakaf tunai adalah wakaf berupa uang dalam bentuk rupiah yang
dapat dikelola secara produktif, hasilnya dimanfaatkan untuk mauquf ‘alaih.
Ini berarti bahwa uang yang diwakafkan tidak boleh diberikan langsung kepada mauquf
‘alaih, tetapi nazhir harus menginvestasikan lebih dulu, kemudian hasil
investasi itulah yang diberikan kepada mauquf ‘alaih.
Paling tidak, teridentifikasi ada empat manfaat utama dari wakaf uang
dewasa ini, yaitu:
1.
Wakaf uang jumlahnya bisa
bervariasi sehingga seseorang yang memiliki dana terbatas sudah bisa mulai
memberikan dana wakafnya tanpa harus menunggu menjadi tuan tanah terlebih
dahulu.
2.
Melalui wakaf tunai, asset
wakaf yang berupa tanah-tanah kosong dapat dimanfaatkan untuk pembangunan
gedung atau diolah lahan pertanian.
3.
Dana wakaf tunai juga bisa
membantu sebagai lembaga pendidikan Islam yang cash flownya terkadang kembang
kempis dan menggaji civitas akademika ala kadarnya.
4.
Pada gilirannya InsyaAllah
umat Islam dapat lebih mandiri dalam mengembangkan dunai pendidikan tanpa harus
selalu tergantung pada anggaran pendidikan Negara yang terbatas.[34]
Wakaf uang diharapkan dapat menjadi sarana bagi rekonstruksi sosial dan
pembangunan, di mana mayoritas penduduk dapat ikut berpartisipasi. Untuk
mewujudkan partisipasi tersebut, maka berbagai upaya pengenalan tentang arti
penting wakaf uang sebagai sarana mentransfer tabungan si kaya kepada para
usahawan (entrepreneurs) dan anggota masyarakat dalam mendanai
berbagai kegiatan di negara-negara Islam perlu dilakukan secara intensif.
Mengapa harus wakaf uang?[35]
1. Siapapun Bisa. Kini, orang yang ingin wakaf
tidak harus menunggu menjadi kaya. Minimal Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah),
anda sudah bisa menjadi wakif (orang yang berwakaf), dan mendapat Sertifikat
Wakaf Uang.
2. Jaringan Luas. Kapan pun dan di manapun
anda bisa setor wakaf uang. Mudah bukan? Sebab, BWI telah bekerjasama dengan
Lembaga Keuangan Syariah untuk memudahkan penyetoran.
3. Uang Tak Berkurang. Dana yang diwakafkan,
sepeser pun, tidak akan berkurang jumlahnya. Justru sebaliknya, dana itu akan
berkembang melalui investasi yan dijamin aman, dengan pengelolaan secara
amanah, bertangung jawab, professional, dan transparan.
4. Manfaat Berlipat. Hasil investasi dana
itu akan bermanfaat untuk peningkatan prasarana ibadah dan sosial, serta
kesejahteraan masyarakat (social benefit).
5. Investasi Akhirat. Manfaat yang berlipat
itu menjadi pahala wakif yang terus mengalir, meski sudah meninggal, sebagai
bekal di akhirat.
Wakaf uang membuka peluang yang unik untuk menciptakan investasi guna
memberikan pelayanan keagamaan, layanan pendidikan, dan layanan sosial.
Tabungan orang-orang kaya dapat dimanfaatkan dengan menukarkannya dengan Cash-Waqf
Certificate. Hasil pengembangan wakaf yang diperoleh dari sertifikat
tersebut dapat dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang bermacam-macam
seperti tujuan-tujuan wakaf itu sendiri. Kegunaan lain dari Cash-Waqf
Certificate adalah bahwa dia dapat mengubah kebiasaan lama di mana
kesempatan wakaf seolah-olah hanya untuk orang-orang kaya saja.
Mustafa Edwin Nasution pernah melakukan asumsi
bahwa jumlah penduduk Muslim kelas menengah di Indonesia sebanyak 10 juta jiwa
dengan rata-rata penghasilan perbulan antara Rp 500.000,00 (lima ratus ribu
rupiah) - Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) maka dapat dibuat
perhitungan sebagai berikut. [36]
Tabel
Potensi Wakaf Uang di Indonesia
Tingkat Penghasilan / bulan
|
Jumlah Muslim
|
Tarif Wakaf/bulan
|
Potensi Wakaf Tunai / bulan
|
Potensi Wakaf Tunai / tahun
|
Rp 500.000
|
4 juta
|
Rp 5000,-
|
Rp 20 Milyar
|
Rp 240 Milyar
|
Rp 1 juta –Rp 2 juta
|
3 juta
|
Rp 10.000
|
Rp 30 Milyar
|
Rp 360 Milyar
|
Rp 2 juta – Rp 5 juta
|
2 juta
|
Rp 50.000
|
Rp 100 Milyar
|
Rp 1,2 Triliun
|
Rp 5 juta- Rp 10 juta
|
1 juta
|
Rp 100.000
|
Rp 100 Milyar
|
Rp 1,2 Triliun
|
Total
|
Rp 3 Triliun
|
1. Apabila
umat Islam yang berpenghasilan Rp500.000,00 sejumlah 4 juta orang dan setiap
tahun masing-masing berwakaf sebanyak Rp60.000,00 maka setiap tahun terkumpul
Rp240.000.000.000,00.
2. Apabila
umat yang berpenghasilan Rp1.000.000,00 - Rp2.000.000,00 sejumlah 3 juta
orang dan setiap tahun masing-masing berwakaf Rp120.000,00 maka setiap tahun
terkumpul dana sebanyak Rp360.000.000.000,00.
3. Apabila
umat yang berpenghasilan Rp2.000.000,00 - Rp5.000.000,00 sejumlah 2 juta orang
dan setiap tahun masing-masing berwakaf Rp600.000,00 maka setiap tahun
terkumpul dana sebanyak Rp1.200.000.000.000,00.
4. Apabila
umaat yang berpenghasilan Rp5.000.000,00 - Rp10.000.000,00 sejumlah 1 juta
orang dan setiap tahun masing-masing berwakaf Rp1.200.000,00 maka setiap tahun
terkumpul dana sebanyak Rp1,200.000.000.000,00.
Dengan demikian wakaf yang terkumpul selama satu
tahun sejumlah Rp3.000.000.000.000,00. Berdasarkan contoh perhitungan di atas
maka terlihat bahwa keberhasilan lembaga untuk memobilisasi dana wakaf akan
sangat menentukan manfaat keberadaan lembaga wakaf. Yang menjadi masalah, uang
tersebut tidak dapat langsung diberikan kepada mauquf ‘alaih, tetapi
nazhir harus mengelola dan mengembangkannya terlebih dahulu. Yang harus
disampaikan kepada mauquf ‘alaih adalah hasil investasi dana Rp.3
triliun tersebut, sedangkan uang wakafnya sendiri tidak boleh berkurang sedikit
pun.
Dalam konteks pemanfaatan
cash waqf untuk dunia pendidikan, ada tiga filosofi dasar yang perlu ditekankan
yaitu:
1.
Alokasi cash waqf harus
dilihat dalam bingkai “proyek yang terintegrasi”, bukan bagian-bagian dari
biaya-biaya yang terpisah-pisah. Contoh adalah anggapan dana wakaf akan habis
bila dipakai untuk membayar gaji guru atau upah bangunan, sementara wakaf harus
abadi. Dengan bingkai proyek sesungguhnya dana wakaf akan dialokasikan untuk
program-program pendidikan dengan segala macam biaya yang terangkum di
dalamnya.
2.
Asas kesejahteraan nadzir. Sudah
terlalu lama, nadzir sering kali diposisikan kerja asal-asalan alias lillahi
ta’ala (dalam pengertian sisa-sisa waktu dan bukan perhatian utama) dan
wajib “berpuasa”. Sebagai akibatnya seringkali kinerja nadzir asal-asalan juga.
Sudah saatnya, menjadikan nazdir sebagai profesi yang memberikan harapan kepada
lulusan terbaik umat dan profesi memberikan kesejahteraan bukan saja di akhirat
tetapi juga di dunia. Di Turki, Badan pengelola wakaf mendapatkan alokasi 5%
dari net income wakaf. Di Bangladesh, kantor administrasi wakaf juga 5 %.
Sementara The central waqf Council India mendapatkan sekitar 6 % dari net
income pengelolaan dana wakaf. Di Indonesia, maksimal 10%.
3.
Asas transparansi dan
accountability di amna badan wakaf dan lembaga yang dibantunya harus malaporkan
setip tahun akan proses pengelolaan dana kepada umat Islam dalam audited
financial report termasuk kewajaran daripos biayanya.[37]
Tentu saja cara-cara pengembangan secara produktif
di atas mengandung risiko kerugian, bahkan kegagalan. Investasi dana wakaf di
instrumen-instrumen investasi Islami seperti obligasi syariah ataupun pada
saham-saham perusahaan Islami yang tergabung dalam Jakarta Islamic Index,
misalnya mengandung market risk, yakni turunnya market value dari investasi
tersebut. Penanaman modal langsung di sektor produksi, seperti agribisnis, real
estate, perindustrian, perdagangan dan pertambangan, masing-masing memiliki
karakteristik risiko yang berbeda, baik dari segi risiko usahanya maupun risiko
yang terkait dengan proses bisnis dan produksinya. Pertambangan, misalnya,
termasuk sektor yang berisiko tinggi, memerlukan investasi yang besar, namun
menjanjikan return yang seimbang dengan risikonya. Di sisi lain, real estate
sangat terkait dengan keadaan ekonomi makro nasional dan daya beli masyarakat.
Namun risiko bukan harus dihindari, justru harus dikelola agar potensi
pengembangan dapat direalisasikan dengan memeperhitungkan dan mengendalikan
risiko-risiko yang mungkin terjadi.
Dalam pasal 11, dinyatakan bahwa tugas nazhir juga
mencakup pengawasan dan perlindungan terhadap harta benda wakaf. Pengawasan dan
perlindungan terhadap harta benda wakaf dimaksudkan untuk menjaga berkurangnya
nilai harta benda wakaf, baik karena peristiwa-peristiwa force majeur
maupun karena kerugian/kegagalan investasi.
Oleh karena itu, nazhir selain memenuhi
syarat-syarat yang disebutkan dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Tentang
Wakaf, yaitu a. warga negara Indonesia; b. beragama Islam; c. dewasa; d.
amanah; e. mampu secara jasmani dan rohani; dan f. tidak terhalang melakukan
perbuatan hukum. Akan tetapi dalam pelaksanaannya nanti, supaya nazhir dapat
bekerja secara profesional dalam mengelola wakaf maka nazhir khususnya nazhir wakaf
uang juga harus memiliki berbagai kemampuan yang yang menunjang tugasnya[38] sebagai nazhir wakaf produktif, yakni:
1. memahami hukum wakaf dan peraturan
perUndang-Undangan yang terkait dengan masalah perwakafan. Seorang nadzir sudah
seharusnya memahami dengan baik hukum wakaf dan peraturan perUndang-Undangan
yang terkait dengan masalah perwakafan. Tanpa memahami hal-hal tersebut,
penulis yakin nazhir tersebut tidak akan mampu mengelola wakaf dengan baik dan
benar;
2. memahami pengetahuan mengenai ekonomi syari’ah dan
instrumen keuangan syariah. Wakaf adalah salah satu lembaga ekonomi Islam yang
sangat potensial untuk dikembangkan. Oleh karena itu sudah selayaknya seorang
nadzir khususnya nadzir wakaf uang dituntut memiliki dan memahami ekonomi
syariah dan instrumen keuangan syariah;
3. memahami praktik perwakafan khususnya praktif
wakaf uang di berbagai Negara. Dengan demikian yang bersangkutan mampu
melakukan inovasi dalam mengembangkan wakaf uang, sebagai contoh misalnya
praktik wakaf uang yang dilakukan di Bangladesh, Turki, dan lain-lain;
4. mengelola keuangan secara professional dan sesuai
dengan prinsip-prinsip syari’ah, seperti melakukan investasi dana wakaf.
Investasi ini dapat dapat berupa investasi jangka pendek, menengah maupun
jangka panjang;
5. melakukan administrasi rekening beneficiary.
Persyaratan ini memerlukan teknologi tinggi dan sumber daya manusia yang andal;[39]
6. mengakses ke calon wakif. Idealnya pengelola wakaf
uang adalah lembaga yang ada kemampuan melakukan akses terhadap calon wakif,
sehingga nadzir mampu mengumpulkan dana wakaf cukup banyak. Kondisi demikian
jelas akan sangat membantu terkumpulnya dana wakaf yang cukup besar sehingga
diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan umat;
7. melakukan distribusi hasil investasi dana wakaf.
Disamping mampu melakukan investasi, diharapkan nazhir juga mampu
mendistribusikan hasil investasi dana wakaf kepada mauquf ‘alaih.
Diharapkan pendistribusiannya tidak hanya bersifat konsumtif, tetapi dapat
memberdayakan mauquf ‘alaih;
Untuk meningkatkan kualitas nazhir
tersebut, maka pembinaan terhadap mereka perlu segera dilakukan. Untuk di
dalam Undang-Undang 41 Tahun 2004 tentang Wakaf diamanatkan perlunya dibentuk
Badan Wakaf Indonesia. Dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Tentang Wakaf
disebutkan bahwa dalam rangka memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional,
dibentuk Badan Wakaf Indonesia. Badan Wakaf Indonesia tersebut berkedudukan di
ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dapat membentuk perwakilan di
provinsi dan/atau kabupaten/kota sesuai dengan kebutuhan (Pasal 48). Dalam
Pasal 51 ayat (1) disebutkan bahwa Badan Wakaf Indonesia terdiri atas Badan
Pelaksana dan Dewan Pertimbangan. Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diangkat
untuk masa jabatan selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1
(satu) kali masa jabatan.
Dalam Pasal 57 ayat (1) disebutkan bahwa
untuk pertama kali pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diusulkan
kepada Presiden oleh Menteri (Menteri Agama). Alhamdulillah, setelah melalui
proses yang cukup panjang, pada akhirnya Menteri Agama Republik Indonesia telah
berhasil memilih calon anggota Badan Wakaf Indonesia untuk diusulkan kepada
Presiden. Pada tanggal 13 Juli 2007, Keputusan Presiden Republik Indonesia
tentang pengangkatan anggota Badan Wakaf Indonesia tersebut ditandatangani
Presiden Susilo Bambang Yudoyono.
Dengan demikian, pengelolaan risiko
pengelolaan dan pengembangan dana wakaf harus melibatkan proses manajemen
risiko yang ketat dan profesional di dalam tubuh BWI sendiri, sebelum
mendisimenasikan risk awareness dan risk conciousness serta mengaplikasikan
teknik manajemen risiko kepada perwakilan BWI di daerah maupun nazhir-nazhir di
seluruh Indonesia. Menjadi kewajiban BWI untuk memastikan bahwa pengelolaan dan
pengembangan dana wakaf telah melalui proses manajemen risiko yang baik.
Karena itu, yang perlu menjadi perhatian
utama bagi anggota BWI adalah merintis kerjasama dengan berbagai instansi, baik
pemerintah maupun swasta, organisasi masyarakat, para ahli, perguruan tinggi,
badan internasional dan lain-lain.
Nah, dalam konteks Indonesia, Lembaga Keuangan
Syariah idealnya harus mampu bermitra dengan para nazhir untuk mengembangkan
wakaf uang di Indonesia ke arah yang lebih produktif. Pada 9 September, Menag
Maftuh Basyuni memutuskan lima nama LKS Penerima Wakaf Uang (PWU), yaitu Bank
Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, Bank DKI Syariah, dan
Bank Mega Syariah. Ini momentum pengembangan wakaf produktif melalui instrumen
wakaf uang. Potensi wakaf uang terbilang besar.
Untuk mengoptimalkan potensi besar itu, LKS
berperan sebagai mitra kerja BWI dan para nazhir.[41] Dalam menggalang wakaf uang, LKS dipilih
sebagai mitra karena punya beberapa kelebihan. Pertama, jaringan kantor yang
membantu nazhir menghimpun wakaf uang. Luas jaringan ini mampu
menjangkau hampir seluruh wilayah Indonesia. Tingkat pertumbuhan jumlah kantor
LKS 2,1 persen per bulan. Ini faktor penting dalam memaksimalkan sosialisasi
dan penggalangan wakaf uang.
Kedua, jaringan delivery channel.
Jaringan ini meliputi ATM, EDC, phone banking, mobile banking, dan internet
banking. Efektivitas dan efisiensi jaringan ini patut dibanggakan. Banyak orang
berbondong-bondong mengunduh manfaat dan kemudahan dari kemajuan teknologi. Ini
pun ceruk strategis yang mesti dimanfaatkan untuk menjaring wakaf uang.
Ketiga, jaringan mitra atau aliansi. LKS telah
berjejaring dengan berbagai mitra terkait. Melalui jaringan itu, LKS bisa
memasuki kawasan Nusantara. Pengalaman LKS dalam bermitra menjadi faktor yang
akan selalu dipertimbangkan dalam mengoptimalkan penghimpunan wakaf uang.
Faktor itu juga memungkinkan membentuk database informasi mengenai
sektor usaha ataupun debitur yang akan dikembangkan.[42]
Selain menjaring wakaf uang, LKS juga dapat
berperan sebagai mitra dalam pengembangan aset wakaf ke arah yang lebih produktif.
Ada beberapa alternatif model kerja sama. Pertama, hukr atau sewa
berjangka panjang. Model ini memosisikan LKS sebagai pengendali atau manajer
yang menyewa tanah wakaf untuk periode jangka panjang. LKS mengambil tanggung
jawab konstruksi dan manajemen serta membayar ongkos sewa secara periodik
kepada nazhir.
Kedua, murabahah. Nazhir memosisikan
dirinya sebagai pengusaha pengendali proses investasi yang membeli berbagai
keperluan proyek wakaf, seperti material dan peralatan kepada LKS.
Pembayarannya dibayar kemudian, diambilkan dari pendapatan hasil pengembangan
wakaf.
Ketiga, mudharabah. Model ini dapat digunakan nazhir
sebagai mudharib dan menerima dana likuid dari LKS untuk mendirikan
bangunan di atas tanah wakaf. Manajemen akan tetap berada di tangan nazhir
dan tingkat bagi hasil diterapkan untuk menutup biaya usaha dalam manajemen
sebagaimana juga penggunaan tanahnya.
Tiga model di atas sebatas contoh yang dapat
dikembangkan lebih jauh. Pada intinya, nazhir mempunyai kapabilitas
dan jaringan yang luas untuk mengembangkan aset wakaf. Pengembangan aset atau
investasi ini untuk mengoptimalkan fungsi harta wakaf sebagai prasarana
menciptakan kesejahteraan sosial dan membangun peradaban umat, seperti
memajukan pendidikan, pengembangan rumah sakit, pemberdayaan ekonomi
masyarakat, dan penciptaan lapangan pekerjaan.
Fungsi ini diakui kurang maksimal sebab
pemanfaatan aset wakaf kebanyakan masih dikelola secara tidak profesional atau
konsumtif. Dengan terbitnya Keputusan Menteri Agama tentang nama-nama LKS PWU,
akan menggairahkan semangat nazhir mengembangkan harta wakaf ke
arah yang lebih produktif melalui wakaf uang yang bekerja sama dengan LKS.
Sudah saatnya nazhir mengubah paradigma
dalam pengelolaan aset wakaf dari menunggu bola menjadi menjemput bola, dari
meminta-minta menjadi menjalin mitra. Itulah yang disebut sebagai financial
engineering dalam makna pengembangan aset wakaf. Dengan begitu, diharapkan
tak ada lagi aset wakaf yang tidak produktif, apalagi telantar dan tak jelas
statusnya.[43]
Apalagi, pada 2008 lalu DPR telah mensahkan RUU
Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dan perbankan Syariah. Artinya, instrument
untuk mengembangkan produktifitas perwakafan di Indonesia kian terbuka lebar.
Tinggal kita selaku umat Islam di Indonesia, bisa memanfaatkan peluang atau
tidak.[44]
Di samping itu semua, wakaf juga harus dipromosikan dan service-nya
ditingkatkan Tujuan dari Promosi ini adalah memberitahukan, menyadarkan,
mengingatkan, mendorong dan memotivasi, menanamkan citra yang kuat dalam benak,
dan memudahkan dan malayani.
Adapun bentuk atau cara promosi yang dapat dilakukan meliputi beberapa hal, seperti sebagai berikut:
Adapun bentuk atau cara promosi yang dapat dilakukan meliputi beberapa hal, seperti sebagai berikut:
Surat, contohnya surat penawaran atau
ajakan/ dakwah untuk berwakaf.
Presentasi, baik pesentasi perorangan atau
kelompok/ lembaga.
Barang cetakan, seperti: brosur, leaflet,
poster dan flier
Perhatian, contohnya adalah: tampilan dan
informasi
Branding informasi ke masyarakat dengan
mengintegrasikan berbagai potensi media pada waktu bersamaan.
Penerbitan, seperti jenis media, sasaran
konsumen, pesan, buku, bulletin, majalah, Koran dll
Perhatian penulisan, seperti: informasi,
bentuk, lokasi, waktu dan gaya, mandiri dan kerja sama
Iklan, contohnya seperti: iklan dimedia
cetak, televisi, radio, internet, media pertemanan (facebook, twiter dan
lain-lain), dan media luar ruangan
Asesoris dan gift, seperti: Boolpoint,
sticker, gantungan kunci, pembatas buku, kaos, topi, kalender, buku agenda dan
lain-lain.
Event, contohnya adalah seperti seminar,
pelatihan, lomba, festival, malam amal atau kegiatan sosial lainnya.
Pengabdian kepada masyarakat, dan
lain-lain.
Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam promosi antara lain: sasaran
komunitas donatur yang dituju; daya jangkau alat promosi (coverage area);
ketepatan waktu penggunaan; kata-kata, gaya bahasa dan gambar yang digunakan;
biaya yang harus digunakan; dan daya pengaruh atau bentuk respon yang
diharapkan.
Sedangkan peningkatan pelayanan transaksi wakaf baik benda tidak bergerak
maupun benda bergerak termasuk wakaf uang dapat dicatat yang kemudian dibimbing
prosesinya melalui saluran yang ada (PPAIW/ Kantor KUA, Notaris, dan LKS-PWU
untuk wakaf uang). Pelayanan transaksi untuk sumbangan operasional pengelolaan
wakaf dapat dilakukan dengan berbagai pilihan yang cocok secara parsial atau
kombinasi dari daftar dibawah ini:
Bayar langsung
Transfer via rekening bank
Debet langsung setiap bulan dari rekening
donatur
Pembayaran via phone banking
Pembayaran via ATM
Pembayaran via kartu debet
Pembayaran via SMS
Pembayaran via internet
Pemotongan laba perusahaan
Pemotongan gaji pegawai
Penjualan merchandise
Sponsorship, dan lain-lain.[45]
Penutup
Perwakafan yang telah menjadi tradisi Islam sebagai instrumen
keuangan yang bersifat tabarru’ (kedemawanan) untuk tujuan ibadah dan
kepentingan kesejahteraan telah terbukti dalam sepanjang sejarah. Hanya saja
perwakafan di Indonesia masih belum maksimal dalam mencapai spirit
disyariatkannya wakaf, padahal potensi wakaf di Indonesia adalah luar biasa,
bahkan luas tanah wakaf di Indoensia adalah terluas di dunia. Hal ini banyak
faktor yang menyebabkan makna wakaf terdistorsi, di antaranya adalah pemahaman
masyarakat tentang wakaf, manajemen wakaf, harta yang diwakafkan dan nazhir.
Untuk itu, perlu perubahan paradigma perwakafan ke arah wakaf produktif dengan
mengoptimumkan potensi wakaf tunai dan kemudian memberdayakan semua asset wakaf
secara produktif agar dapat memberikan kontribusi yang optimal terhadap
peningkatan kualitas hidup umat Islam dalam mencapai falah di dunia dan
akhirat. Hal itu tentu harus melibatkan berbagai pihak, di antaranya LKS,
pemerintah (dalam hal ini BWI), nazhir professional, masyarakat pada umumnya,
dan lain-lain. Di samping itu, kegiatan promosi wakaf terutama untuk memberikan
pemahaman yang kontemporer tentang wakaf dan branding manajemen wakaf
professional perlu dilakukan terus menerus.
Referensi
Abdullah Ubaid Matraji (Staf Divisi Humas Badan Wakaf Indonesia),
Republika Newsroom, Kamis, 05 Februari 2009, accessed 3 Juli 2009.
Abu Su’ud Muhammad, Risalah fi Jawazi Waqf
al-Nuqud, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 1997)
Al-Imam Kamal al-Din Ibn ‘Abd al-Rahid al-Sirasi Ibn al-Humam, Sharh
Fath al-Qadir, jil. 6. (Beirut: Dar al- Kutub al-‘Ilmiyyah, 1970)
al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, juz IX,
tahqiq Mahmud Mathraji, (Beirut: Dar al-Fikr,1994)
DEPAG RI, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan
Wakaf. (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2006)
DEPAG RI, Peraturan Perundangan Perwakafan. (Jakarta:
DEPAG RI, 2006)
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, “Data Luas dan
Lokasi Tanah Wakaf Nasional Sampai Dengan Tahun 2008”, Jakarta, 22 April 2008.
Elsi Kartika Sari, Pengantar Hukum Zakat dan
Wakaf. (Jakarta: Grasindo, 2006)
Farid Wadjdy dan Mursyid, Wakaf dan
Kesejahteraan Umat (Filantropi Islam yang Hampir Terlupakan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007)
Habib Ahmed, Role of Zakah and Awqaf in Poverty Alleviation. (Jeddah: IRTI, 2004)
Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, jil.
11. (Kairo: al-Dar al-Misriyyah li al-Ta’lif wa al-Tarjamah, 1954)
Ibn Qudamah, Al-Mughni Wa al-Syarh al-Kabir,
jil. 6. (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1972)
Imam Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subul
al-Salam. (Bandung: Maktabah Dahlan, tt.)
Ismail bin Umar bin Kasir, Tafsir Ibnu Katsir,
(Riyad: Dar al-Salam, 2001)
Muhammad Abid Abdullah al-Kabisi, Ahkam
al-Waqf fi al-Syariah al-Islamiyah. (Baghdad: Mathba’ah al-Irsyad, 1977). Alih
bahasa Ahrul Sani Faturrahman dkk, judul Indonesia: Hukum Wakaf, (Jakarta: DD
Republika dan IIMan, 2004)
Muhammad Ahmad Alisy, Syarh Minah al-Jalil ala
Mukhtashar Khalil, (Mesir: Penerbit al-Kubra, 1294H)
Muhammad al-Khatib al-Syarbini, Mughni
al-Muhtaj, juz 2. (Kairo: Syarikah Maktabah wa Matba‘ah Mustafa al-Babi
al-Halabi wa Awladih, 1958)
Muhammad Syafii Antonio, “Cash Waqf dan Anggaran
Pendidikan”, dalam Kumpulan Hasil Seminar Perwakafan. (Jakarta: Depag
RI, 2004)
_______________, Kata pengantar Buku Kabisi, hal.
xiv-xv
Munzir Kahaf, Manajemen Wakaf Wakaf Produktif,
diterjemahkan oleh Muhyiddin Mas Rida, (Jakarta: Khlmifa, 2005)
Mustafa Edwin Nasution dan Uswatun Hasanah
(Editor), Wakaf Tunai Inovasi Finansial Islam, Peluang dan Tantangan dalam
Mewujudkan Kesejahteraan Umat (Jakarta: PKTTI-UI, 2005)
Padang Ekspres, Rabu, 28 Mei 2008 accessed 3 Juli
2009
PP Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 tentang
wakaf
Republika, 31 Oktober 2008 accessed 3 Juli 2009
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dar
al-Fikr, 1983)
Suparman IA, “Manajemen Fundraising dalam
Penghimpunan Harta Wakaf”, (dengan beberapa modifikasi oleh penulis) dalam www.bw-indonesia.net/ diakses 3 Juli 2009.
Syafi’i Antonio “Bank Syariah Sebagai Pengelola Dana Waqaf”, disampaikan
pada Workshop Internasional Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Wakaf
Produktif, diselenggarakan oleh DEPAG-IIIT, 7-8 Januari 2002.
Syams al-Din al-Syaikh Muhammad al-Dasuqi, Hasyiyah
al-Dasuqi ‘ala al-Syarh al-Kabir, juz 2. (Beirut: Dar al-Fikr, tt.)
Thalhah Hasan (Ketua Badan Pelaksana Badan Wakaf
Indonesia (BWI)) (2009), Peran LKS di Era Wakaf Produktif,
http://bw-indonesia.net/, Senin, 09 Maret 2009, accessed 10 Agustus 2009.
Tholhah Hasan (2009), “Perkembangan
Kebijakan Wakaf di Indonesia”, dalam Republika, Rabu,
22 April 2009, accessed 3 Juli 2009.
Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf
Uswatun Hasanah, Wakaf Produktif Untuk
Kesejahteraan dalam Perspektif Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta: Naskah
Pidato Pengukuhan Guru Besar di Universitas Indonesia, 6 April 2009)
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh
al-Islam wa Adillatuhu, juz VIII (Damaskus: Dar al-Fikr, 1985)
[1] Makalah ini merupakan bahan diskusi dalam diskusi ilmiah terbatas “hukum
Islam di Indonesia”, diselenggarakan oleh Program Pascasarjana FIAI Doktor
HUkum Islam di Kampus Magister Studi Islam, Jl. Demangan Baru 24 Yogyakarta,
pada tanggal 29 Juli 2009.
[2] Penulis adalah dosen
tetap UII yang saat ini diamanahi mengemban tugas sebagai ketua Program Studi
Ekonomi Islam FIAI UII, periode 2006-2010.
[3] Direktorat Pemberdayaan
Wakaf, “Data Luas dan Lokasi Tanah Wakaf Nasional Sampai Dengan Tahun 2008”,
Jakarta, 22 April 2008.
[4] Mesir adalah salah satu
negara yang memiliki harta wakaf cukup banyak karena sejak masuknya Islam di
Mesir, pemerintahnya selalu mengembangkan harta wakaf. Salah satu di antara
harta wakaf yang sangat besar dan cukup dikenal di dunia Islam adalah
Universitas al-Azhar yang sampai sekarang masih diminati oleh mahasiswa
dari seluruh dunia. Universitas ini didirikan pada masa Khilafah Fathimiyyah.
Perkembangan pengelolaan wakaf di Mesir sejak awal memang sangat mengagumkan,
bahkan keberhasilannya dijadikan contoh bagi pengembangan wakaf di
negara-negara lain. Wakaf di Mesir dikelola oleh Badan Wakaf Mesir yang berada
di bawah Wizaratul Auqaf (Kementerian Wakaf). Salah satu di antara
kemajuan yang telah dicapai oleh Badan Wakaf Mesir
adalah berperannya harta wakaf dalam meningkatkan ekonomi masyarakat. Hal
ini disebabkan benda yang diwakafkan beragam, baik berupa benda tidak bergerak
maupun benda bergerak, yang dikelola secara baik dan benar. Pengelolaannya
dilakukan dengan cara menginvestasikan harta wakaf di bank Islam (jika berupa
uang) dan berbagai perusahaan, seperti perusahan besi dan baja. Untuk
menyempurnakan pengembangan wakaf, Badan Wakaf membeli saham dan
obligasi dari perusahaan-perusahaan penting. Hasil pengembangan wakaf
yang ditanamkan di berbagai perusahaan tersebut di samping untuk mendirikan
tempat-tempat ibadah dan lembaga-lembaga pendidikan, juga dimanfaatkan untuk
membantu kehidupan masyarakat (fakir miskin, anak yatim, dan para
pedagang kecil), kesehatan masyarakat (mendirikan rumah sakit dan menyediakan
obat-obatan bagi masyarakat), pengembangan ilmu pengetahuan
dalam berbagai bidang, dan berbagai pelatihan. Dengan
dikembangkannya wakaf secara produktif, wakaf di Mesir dapat dijadikan salah
satu lembaga yang diandalkan pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan umat.
Sebagaimana diungkap Uswatun dengan mengutip dari Tarikh al-Daulah
al-Islamiyyah dan Idarah wa Tasmir Mumtalakat al-Auqaf.
[5] Saudi Arabia juga
mempunyai semacam Badan Wakaf yang diberi nama Majelis Tinggi Wakaf. Majelis
Tinggi Wakaf ada di bawah Kementerian Haji dan Wakaf. Majelis Tinggi Wakaf ini
diatur dengan Ketetapan No. 574 tanggal 16 Rajab 1386 sesuai dengan Surat
Keputusan Kerajaan No. M/35, tanggal 18 Rajab 1386. Adapun wewenang Majelis
Tinggi Wakaf antara lain mengembangkan wakaf secara produktif dan
mendistribusikan hasil pengembangan wakaf kepada mereka yang berhak. Sehubungan
dengan hal itu, Majelis Tinggi Wakaf juga mempunyai wewenang untuk membuat
program pengembangan wakaf, pendataan terhadap aset wakaf serta memikirkan cara
pengelolaannya, menentukan langkah-langkah penanaman Modal, dan
langkah-langkah pengembangan wakaf produktif lainnya, serta mempublikasikan
hasil pengembangan wakaf kepada masyarakat. Lihat Uswatun Hasanah, Wakaf
Produktif Untuk Kesejahteraan dalam Perspektif Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta:
Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar di Universitas Indonesia, 6 April 2009),
hal. 32.
[6] Di Turki, wakaf dikelola
oleh Direktorat Jenderal Wakaf. Dalam
mengembangkan wakaf, pengelola melakukan investasi di berbagai perusahaan,
antara lain: Ayvalik and Aydem Olive Oil Corporation; Tasdelen Healthy Water
Corporation; Auqaf Guraba Hospital; Taksim Hotel (Sheraton); Turkish Is Bank;
Aydin Textile Industry; Black Sea Copper Industry; Contruction and
Export/Import Corporation; Turkish Auqaf Bank. Hasil pengelolaan wakaf itu
kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan, kesehatan, pemberdayaan
ekonomi rakyat, dan kepentingan sosial lainnya. Uswatun Hasanah, Ibid.,
hal. 11.
[7] Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, jil. 11. (Kairo:
al-Dar al-Misriyyah li al-Ta’lif wa al-Tarjamah, 1954), hal. 276.
[8] Muhammad Abid Abdullah al-Kabisi, Ahkam al-Waqf
fi al-Syariah al-Islamiyah. (Baghdad: Mathba’ah al-Irsyad, 1977). Alih bahasa Ahrul Sani Faturrahman dkk,
judul Indonesia: Hukum
Wakaf, (Jakarta:
DD Republika dan IIMan, 2004), hal. 37
[10] Al-Imam Kamal al-Din Ibn
‘Abd al-Rahid al-Sirasi Ibn al-Humam, Sharh Fath al-Qadir, jil. 6.
(Beirut: Dar al- Kutub al-‘Ilmiyyah, 1970), hal. 203.
[11] Syams al-Din al-Syaikh
Muhammad al-Dasuqi, Hasyiyah al-Dasuqi ‘ala al-Syarh al-Kabir, juz 2.
(Beirut: Dar al-Fikr, tt.), hal. 187.
[12] Muhammad al-Khatib
al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 2. (Kairo: Syarikah Maktabah wa
Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Awladih, 1958), hal. 376.
[13] Sebagaimana dikutip
al-Kabisi dengan merujuk pada karya al-Qalyubi, Hasyiyatu al-Qalyubi ala syarh
al-muhalla li al-Minhaj.
[14] Ibn Qudamah,
Al-Mughni Wa al-Syarh al-Kabir, jil. 6. (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi,
1972), hal. 185.
[16] Wakaf disyariatkan pada
tahun ke-2 Hijriyah. Sebagian ulama berpendapat bahwa pelaksanaan wakaf pertama
dilakukan oleh Umar ibn Khaththab terhadap tanahnya yang terletak di Khaibar,
sebagian lain berpendapat bahwa pelaksanaan wakaf pertama dilakukan oleh
Rasulullah SAW untuk dibangun masjid. Ismail bin Umar bin Kasir, Tafsir
Ibnu Katsir, (Riyad: Dar al-Salam, 2001), Juz I, hal. 381; Sayyid Sabiq, Fiqh
al-Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr, 1983); Imam Muhammad bin Ismail al-Kahlani,
Subul al-Salam. (Bandung: Maktabah Dahlan, tt.), hal. 87.
[24] Sebagaimana dikutip Al-Kabisi dari Syarh Minah
al-Jalil ala Mukhtashar Khalil, karya Muhammad Ahmad Alisy, Mesir: Penerbit
al-Kubra, 1294H, jilid 3, h. 35.
[25] Lihat Habib Ahmed, Role of Zakah and Awqaf in
Poverty Alleviation. (Jeddah: IRTI, 2004), hal. 30
[26] Tholhah Hasan (2009), “Perkembangan
Kebijakan Wakaf di Indonesia”, dalam Republika, Rabu,
22 April 2009, accessed 3 Juli 2009.
[28] Abdullah Ubaid Matraji (Staf Divisi Humas Badan Wakaf
Indonesia),
Republika Newsroom, Kamis, 05 Februari 2009, accessed 3 Juli 2009.
[30] Diperlukan strategi
untuk “menyulap” aset wakaf agar bernilai produktif. Aset wakaf yang berupa
tanah, untuk memproduktifkan, bisa dilakukan dengan: lihat dulu lokasinya:
stategis atau tidak. Jika tidak, maka lebih baik ditukargulingkan. Setelah
dinilai strategis, tinggal melihat areanya di mana? Kalau tanah di pedesaan,
jenis usaha produktif yang cocok antara lain perkebunan, pertanian, dan
perikanan. Sedang tanah di perkotaan dapat dimanfaatkan dengan membangun pusat
perbelanjaan, apartemen, rumah sakit, atau pom bensin. Kalau lokasinya di
pantai? Bisa saja dikelola jadi obyek wisata, tambak ikan, atau bisa juga
perkebunan di rawa bakau. Aset wakaf yang berupa benda bergerak, uang. sebagai
modal, dan menyalurkan keuntungan pengelolaan untuk kesejahteraan masyarakat.
[31]Munzir Kahaf, Manajemen
Wakaf Wakaf Produktif, diterjemahkan oleh Muhyiddin Mas Rida, (Jakarta:
Khlmifa, 2005) hal. 59
[33] Terdapat beberapa pendapat yang
memperkuat tentang kebolehan wakaf uang, yaitu: (1) Diriwayatkan oleh
Imam Bukhari bahwa Imam az-Zuhri (wafat 124 H) salah seorang ulama terkemuka
dan peletak dasar tadwin al-hadis memfatwakan, dianjurkan wakaf dinar dan
dirham untuk pembagunan sarana dakwah, sosial dan pendidikan umat Islam. Adapun
caranya dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha kemudian
menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf. Lihat Abu
Su’ud Muhammad, Risalah fi Jawazi Waqf al-Nuqud, (Beirut: Dar Ibn
Hazm, 1997), hal. 20-21. (2) Mutaqaddimin dari ulama mazhab Hanafi
membolehkan wakaf uang dinar dan dirham sebagai pengecualian, atas dasar Istihsan
bi al-’Urfi, berdasarkan atsar Abdullah bin Mas’ud r.a: “Apa yang
dipandang baik oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah adalah baik, dan
apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah pun
buruk”. Lihat Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, juz
VIII (Damaskus: Dar al-Fikr, 1985), hal. 162. (3) pendapat sebagian ulama
mazhab al-Syafi’i: “Abu Tsyar meriwayatkan dari Imam al-Syafi’i tentang
kebolehan wakaf dinar dan dirham (uang)”. Lihat al-Mawardi, al-Hawi
al-Kabir, juz IX, tahqiq Mahmud Mathraji, (Beirut: Dar al-Fikr,1994), hal.
379.
[34] Syafii Antonio, “Cash Waqf dan Anggaran Pendidikan”, dalam Kumpulan
Hasil Seminar Perwakafan. (Jakarta: Depag RI, 2004), hal. 212.
[35] Alur wakaf uang: (1).
Wakif datang ke LKS-PWU (2). Mengisi akta Ikrar Wakaf (AIW) dan melampirkan
fotokopi kartu identitas diri yang berlaku (3). Wakif menyetor nominal wakaf
dan secara otomatis dana masuk ke rekening BWI (4). Wakif Mengucapkan Shighah
wakaf dan menandatangani AIW bersama dengan: (a) 2 orang saksi (b) pejabat bank
sebagai Pejabat Pembuat AIW (PPAIW) (5). LKS-PWU mencetak Sertifikat Wakaf Uang
(SWU) (6). LKS-PWU memberikan AIW dan SWU ke Wakif. Saat ini terdapat 5 Lembaga
Keuangan Syariah (LKS) Penerima Wakaf Uang (PWU), yaitu BSM, BMI, BSMI, BNI
Syariah, Bank DKI Syariah.
[36] Mustafa Edwin Nasution
dan Uswatun Hasanah (Editor), Wakaf Tunai Inovasi Finansial Islam, Peluang
dan Tantangan dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umat (Jakarta: PKTTI-UI, 2005),
hal. 43-44.
[38] Hal-hal lebih detil tentang nazhir, termasuk mekanisme
pemberhentiannya bisa dibaca lebih jelas di PP Nomor 42 Tahun 2006 Tentang
Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf bab II, pasal 2-14.
[39]Lihat juga: Muhammad Syafi’I Antonio “Bank Syariah
Sebagai Pengelola Dana Waqaf”, disampaikan pada Workshop Internasional
Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Wakaf Produktif, diselenggarakan
oleh DEPAG-IIIT, 7-8 Januari 2002.
[41] Alternatif peran
perbankan syariah dalam pengelolaan wakaf tunai adalah sebagai (1). Bank
Syariah sebagai Nadzir Penerima, Penyalur dan Pengelola Dana Dana Wakaf, (2).
Bank Syariah sebagai Nadzir Penerima dan Penyalur Dana Wakaf, (3).Bank Syariah
sebagai Pengelola (Fund Manager) Dana Wakaf, dan (4).Bank Syariah sebagai Kustodi.
Lihat Mustofa Edwin Nasution, op.cit., hal. 108-117.
[42] Thalhah Hasan (Ketua
Badan Pelaksana Badan Wakaf Indonesia (BWI)) (2009), Peran
LKS di Era Wakaf Produktif, http://bw-indonesia.net/, Senin, 09 Maret
2009, accessed 10 Agustus 2009. Lihat Pedoman pengelolaan wakaf produktif dalam
DEPAG RI, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf. (Jakarta:
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2006), hal. 105-126. Lihat juga Farid Wadjdy dan
Mursyid, Wakaf dan Kesejahteraan Umat (Filantropi Islam yang Hampir
Terlupakan. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 108-122.
[45] Suparman IA, “Manajemen Fundraising dalam Penghimpunan Harta Wakaf”,
(dengan beberapa modifikasi oleh penulis) dalam www.bw-indonesia.net/ diakses 3
Juli 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar