Kamis, 19 Juni 2014

PROBLEMA WAKAF MASJID PERUMAHAN DI INDONESIA ( Telaah Ulang tentang Wakaf dalam Prespektif Hukum Islam )



PROBLEMA WAKAF MASJID  PERUMAHAN DI INDONESIA
( Telaah Ulang tentang Wakaf dalam Prespektif Hukum Islam )

A.    Iftitah
Amal mulya mewakafkan harta benda untuk kepentingan sosial telah berkembang sejak zaman sahabat Rasulullah. Sebuah tindakan pelepasan hak milik untuk kepentingan umum tersebut dilakukan oleh sahabat Nabi, sekaligus sebagai percontohan yang layak ditiru oleh umat Islam.
Sahabat Umar bin Khattab menyerahkan hartanya yang berbentuk tanah yang sangat luas yang dikenal dengan sebutan “ Tanah Tamagh” di daerah Bairuha yang terletak dibagian Khaibar. Tanah tersebut sangat produktif untuk tanaman kurma dan hasilnya untuk kepentingan social umat Islam di zaman itu, termasuk untuk membangun sebuah masjid.
Dampak positif amal sosial wakaf yang dilakukan oleh sahabat Umar bin Khattab tersebut, telah memberikan contoh dan dorongan bagi sahabat Nabi yang lain. Dizaman itu tercatat sekitar 80 orang sahabat yang rela melepas hakmiliknya dan diserahkan kepada nadzir dalam bentuk wakaf yang bersifat permanen. Antara lain sahabat Ustman bin Affan mewakafkan bangunan rumahnya di kota Madinah, sahabat Khalid bin Walid yang mewakafkan baju perisai perang untuk kepentingan sosial. Selain itu ada wakaf yang pernah dilakukan kolektif oleh Bani Hajjar berbentuk sebuah bangunan masjid dan kuda tunggangan untuk perang.
Jenis barang yang diwakafkan para sahabat Rasul berkembang dan bervariasi sesuai dengan tingkat kemempuan ekonominya. Ada yang berbentuk hambal untuk Masjid dan lampu penerangan untuk Masjid.
Sejak itulah amal sosial mewakafkan harta benda untuk kepentingan pengembangan syariat Islam terus dibudayakan sebagai bagian tradisi Islam yang positif dan dilindungi sebagai aturan hukum yang bersifat nasional.



Dalam al.quran masalah wakaf secara umum bisa dipersepsikan dalam surat al. hajj ayat 77, Al. Baqarah ayat 267 dan surat Ali Imran 92. Sedangkan hadist menjelaskan dalam 45 unit hadits yang terbagi dalam 6 tema wakaf dan diperkuat oleh praktek amaliyah wakaf oleh kalangan sahabat Nabi.[1]
Sejak Islam datang ke Indonesia, perwakafan diatur menurut hukum Islam. Pada tahun 1905  ada Edaran Pemerintah Kolonial Belanda berupa Beijblad, yang disusul dengan beijblad-beijblad tahun 193, 1934 dan 1935 yang menentukan agar perwakafan tanah harus memberitahukan kepada pemerintah agar wakaf tidak terkena rencana perubahan yang akan dibuat pada masa sesudahnya. Dengan pemberitahuan tersebut pemerintah dapat menunjuk tanah yang diwakafkan supaya tidak terkena gusuran atau kepentingan pemerintah lainya sehingga wakaf dapat berfungsi untuk selama-lamanya[2]. Peraturan yang dikeluarkan pemerintah Belanda tersebut tidak menggubah (memperbaiki) ketentuan perwakafan dalam kitab-kitab fikih, sehingga setelah meninggalnya wakif muncul beberapa pengaruh yang dapat mengubah status wakaf. [3]
Aset wakaf di Indonesia terbilang besar. Berdasarkan data yang ada di Departemen Agama, jumlah tanah wakaf di Indonesia sebanyak 430,766 lokasi dengan luas mencapai 1,615,791,832.27 meter persegi yang tersebar lebih dari 366.595 lokasi di seluruh Indonesia.[4] Dilihat dari sumber daya alam atau tanahnya (resources capital) jumlah harta wakaf di Indonesia merupakan jumlah harta wakaf terbesar di seluruh dunia. Ini merupakan tantangan bagi umat Islam Indonesia untuk memfungsikan harta wakaf tersebut secara maksimal sehingga tanah-tanah tersebut mampu mensejahterakan umat Islam di Indonesia sesuai dengan fungsi dan tujuan ajaran wakaf yang sebenarnya. Sayangnya, potensi itu masih belum dimanfaatkan secara optimal, karena berbagai faktor. Maka, langkah yang tak bisa ditawar lagi yaitu memberdayakan potensinya dengan memproduktifkan aset-aset wakaf tersebut. Jika bangsa ini mampu mengoptimalkan potensi wakaf yang begitu besar itu, tentu kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat lebih terjamin.
Perwakafan di Indonesia jauh tertinggal dibanding negara-negara yang mayoritas berpenduduk Islam lain, seperti Mesir,[5] Aljazair, Arab Saudi,[6] Kuwait, dan Turki.[7] Mereka jauh-jauh hari sudah mengelola wakaf ke arah produktif. Bahkan, di negara yang penduduk muslimnya minor, pengembangan wakaf juga tak kalah produktif. Singapura misalnya, aset wakafnya, jika dikruskan, berjumlah S$ 250 juta. Untuk mengelolanya, Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS) membuat anak perusahaan bernama Wakaf Real Estate Singapura (WAREES).
Kalau mereka bisa, mengapa Indonesia yang merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia ini tak mampu. Penulis yakin, masyarakat Islam Indonesia mampu melakukan, bahkan lebih dari itu, jika benar-benar serius menangani hal ini. Apalagi, pemberdayaan wakaf di Indonesia kini sudah diakomodir secara formal oleh peraturan perundangan yang sangat progresif dalam mengakomodir hukum fiqh yaitu UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf dan PP No. 42 tahun 2006 tentang pedoman pelaksanaannya. Kalau begitu, sekarang tinggal action saja, tak perlu banyak berwacana. Kalau dulu, banyak orang berdiskusi dan berharap adanya lembaga khusus yang menangani perwakafan di Indonesia, kini BWI sudah berdiri (sejak 2007). Tinggal bagaimana memaksimalkan lembaga independen amanat undang-undang itu. (Bab VI, pasal 7, UU No. 41 tahun 2004).
Persoalannya, masih muncul perbedaan faham di tengah masyarakat tentang pengelolaan wakaf ke arah produktif, oleh karena itu perlu adanya persamaan faham tentang apa dan bagaimana memberdayakan potensi perwakafan di Indonesia menuju yang lebih produktif dengan menggali berbagai kemungkinan jalan ke arah itu. Tulisan ini berupaya memberikan kontribusi untuk menjawab persoalan tersebut.
B. Pengertian dan Landasan Hukum Wakaf
B.1. Pengertian
Wakaf secara etimologi adalah al-habs[8] (menahan)”. Ia merupakan kata yang berbentuk masdar (gerund) dari ungkapan waqfu al-syai’ yang pada dasarnya berarti menahan sesuatu. Dengan demikian, pengertian wakaf secara bahasa adalah menyerahkan tanah untuk orang-orang miskin untuk ditahan. Diartikan demikian karena barang milik itu dipegang dan ditahan orang lain, seperti menahan hewan ternak, tanah dan segala sesuatu.[9]
Secara gramatikal, penggunaan kata “auqafa” yang digabungkan dengan kata-kata segala jenis barang termasuk ungkapan yang tidak lazim (jelek). Yang benar adalah dengan menggunakan kata kerja “waqaftu” tanpa memakai hamzah (auqaftu). Adapun yang semakna dengan kata “habistu” adalah seperti ungkapan “waqaftu al-syai’ aqifuhu waqfan”.[10]
Para ulama berbeda pendapat dalam memberi pengertian wakaf, sebagaimana tercantum buku-buku fiqh. Perbedaan tersebut membawa akibat yang berbeda pada hukum yang ditimbulkan. Definisi wakaf menurut ahli fiqh adalah sebagai berikut.
Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda (al-‘ain) milik wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan kebajikan.[11] Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahwa kedudukan harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan wakif itu sendiri. Dengan artian, wakif masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk aset hartanya.
Kedua, Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan wakif.[12] Definisi wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang berhak saja.
Ketiga, Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah.[13] Menurut Syaikh Syihabuddin al-Qalyubi, wakaf adalah habsul mali yumkinu al-intifa’u bihi ma’a baqa’I ainihi ‘ala mashrafin mubahin (menahan harta yang bisa diambil manfaatnya dengan menjaga bentuk aslinya untuk disalurkan kepaa jalan yang dibolehkan).[14] Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal materi bendanya (al-‘ain), dalam arti harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan.
Keempat, Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan.[15] Demikianlah pengertian wakaf menurut para ulama ahli fiqih.
Sedangkan dalam konteks perundangan di Indonesia, nampaknya wakaf dimaknai secara spesifik dengan menemukan titik temu dari berbagai pendapat ulama tersebut. Hal ini dapat terlihat dalam rumusan pengertian wakaf dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf, wakaf diartikan dengan perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.[16] Rumusan dalam UU wakaf tersebut, jelas sekali merangkum berbagai pendapat para ulama fiqh tersebut di atas tentang makna wakaf, sehingga makna wakaf dalam konteks Indonesia lebih luas dan lebih komplit.
Dari beberapa definisi wakaf tersebut, dapat disimpulkan bahwa wakaf bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan ajaran syariah Islam. Hal ini sesuai dengan fungsi wakaf yang disebutkan pasal 5 UU No. 41 tahun 2004 yang menyatakan wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
B.2. Wakaf Menurut Al-Quran dan Hadis serta Hukum Positif.
Secara umum tidak terdapat ayat al-Quran yang menerangkan konsep wakaf secara konkrit tekstual.  Wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah. Di antara ayat-ayat tersebut antara lain: 
مثل الذين ينفقون أموالهم في سبيل الله كمثل حبة أنبتت سبع سنابل في كل سنبلة مئة حبة والله يضاعف لمن يشاء والله واسع عليم .الذين ينفقون أموالهم في سبيل الله ثم لا يتبعون ما أنفقوا منا ولا أذى لهم أجرهم عند ربهم ولا خوف عليهم ولا هم يحزنون
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Q.S. al-Baqarah (2): 261-262).
يا أيها الذين آمنوا أنفقوا من طيبات ما كسبتم ومما أخرجنا لكم من الأرض ولا تيمموا الخبيث منه تنفقون ولستم بآخذيه إلا أن تغمضوا فيه واعلموا أن الله غني حميد
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Q.S. al-Baqarah (2): 267). 
لن تنالوا البر حتى تنفقوا مما تحبون وما تنفقوا من شيء فإن الله به عليم
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya” (Q.S. Ali Imran (3): 92) 
Ayat-ayat tersebut di atas menjelaskan tentang anjuran untuk menginfakkan harta yang diperoleh untuk mendapatkan pahala dan kebaikan. Di samping itu, ayat 261 surat al-Baqarah telah menyebutkan pahala yang berlipat ganda yang akan diperoleh orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah.
Di antara hadis yang menjadi dasar dan dalil wakaf adalah hadis yang menceritakan tentang kisah Umar bin al-Khaththab ketika memperoleh tanah di Khaibar. Setelah ia meminta petunjuk Nabi tentang tanah tersebut, Nabi  menganjurkan untuk menahan asal tanah dan menyedekahkan hasilnya. Hadis tentang hal ini adalah
عن عبد الله بن عمر أن عمر رضي الله عنه أتى النبي صلى الله عليه وسلم وكان قد ملك مائة سهم من خيبر فقال قد أصبت مالا لم أصب مثله وقد أردت أن أتقرب به إلى الله تعالى فقال حبس الأصل وسبل الثمرة
“Dari Abdullah bin Umar bahwa sesungguhnya Umar bin Khattab mendatangi Nabi SAW, (pada waktu itu) Umar baru saja memperoleh 100 kavling tanah Khaibar (yang terkenal subur), maka Umar berkata, ‘Saya telah memiliki harta yang tidak pernah saya miliki sebelumnya dan saya benar-benar ingin mendekatikan diri kepada Allah SWT melalui harta ini.’ Maka Rasulullah SAW bersabda, ‘Tahanlah asal harta tersebut dan alirkan manfaatnya’. (H.R. al-Bukhari, Muslim, al-Tarmidzi, dan al Nasa’i).
Hadis lain yang menjelaskan wakaf adalah hadis yang diceritakan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah sebagai berikut:

اذا مات الانسان انقطع عمله الا من ثلاث صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له
 “Apabila seorang manusia itu meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali dari tiga sumber, yaitu sedekah jariah (wakaf), ilmu pengetahuan yang bisa diambil manfaatnya,  dan anak soleh yang mendoakannya.” (H.R. Muslim, al-Tirmidzi, al-Nasa’ i, dan Abu Daud).
Selain dasar dari al-Quran dan Hadis di atas, para ulama sepakat (ijma’) menerima wakaf sebagai satu amal jariah yang disyariatkan dalam Islam. Tidak ada orang yang dapat menafikan dan menolak amalan wakaf dalam Islam karena wakaf telah menjadi amalan yang senantiasa dijalankan dan diamalkan oleh para sahabat Nabi dan kaum Muslimin sejak masa awal Islam hingga sekarang.[17] Dalam konteks negara Indonesia, praktik wakaf sudah dilaksanakan oleh masyarakat muslim Indonesia sejak sebelum merdeka. Pemerintah Indonesia pun telah menetapkan Undang-undang khusus yang mengatur tentang perwakafan di Indonesia, yaitu Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Untuk melengkapi Undang-undang tersebut, pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 tahun 2004.
Sebelum itu, telah ada berbagai peraturan yang mengatur tentang wakaf.[18] Peraturan yang mengatur tentang wakaf adalah UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, khususnya pasal 5, 14 (1), dan 49, PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, Peraturan Menteri No. 1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan PP No. 28 Tahun 1977, Intruksi Bersama Menag RI dan Kepala BPN No. 4 Tahun 1990 tentang Sertifikat Tanah Wakaf, Badan Pertanahan Nasional No. 630.1-2782 tantang Pelaksanaan Penyertifikatan Tanah Wakaf, Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang KHI, SK Direktorat BI No. 32/34/KEP/DIR tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah (pasal 29 ayat 2 berbunyi: bank dapat bertindak sebagai lembaga baitul mal, yaitu menerim dana yang berasal dari zakat, infaq, shadaqah, wakaf, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada yang berhak dalam bentuk santunan dan atau pinjaman kebajikan [qard al-hasan]), SK Direktorat BI No. 32/36/KEP/DIR tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah (pasal 28 berbunyi: BPRS dapat bertindak sebagai lembaga baitul mal, yaitu menerim dana yang berasal dari zakat, infaq, shadaqah, wakaf, hibah, atau dana social lainnya dan menyalurkannya kepada yang berhak dalam bentuk santunan dan atau pinjaman kebajikan [qard al-hasan]).[19]

C. Syarat dan Rukun Wakaf dalam Konteks Fiqh Indonesia
Rukun wakaf dalam hukum fiqh ada empat yaitu: (1) orang yang berwakaf (al-waqif). (2) benda yang diwakafkan (al-mauquf). (3) orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf ‘alaihi/nadzir). (4) lafadz atau ikrar wakaf (sighah). Sedangkan dalam UU Wakaf Pasal 6 yang merupakan fiqh Indonesia yang telah diundangkan, selain 4 rukun tersebut, wakaf dilaksanakan dengan memenuhi 6 unsur, yaitu 4 unsur tersebut ditambah dengan dua unsur lain yaitu: peruntukan harta benda wakaf dan jangka waktu wakaf.
Dalam konteks ini, wakif meliputi perseorangan, organisasi, maupun badan hukum. Wakif perseorangan dapat melakukan wakaf apabila memenuhi persyaratan: dewasa, berakal sehat, tidak terhalang melakukan perbuatan hukum, dan merupakan pemilik sah harta benda wakaf. Wakif organisasi dan badan hukum dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan organisasi atau badan hukum untuk mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi atau badan hukum sesuai dengan anggaran dasar organisasi atau badan hukum yang bersangkutan.[20]
Adapun pihak nazhir bisa dilakukan oleh perseorangan, organisasi, atau badan hukum. Syarat nazhir perseorangan adalah warga negara Indonesia, beragama Islam dewasa, amanah, mampu secara jasmani dan rohani, dan tidak terhalang melakukan perbuatan hukum. Organisasi atau badan hokum yang bisa menjadi nazhir harus memenuhi persyaratan yaitu pengurus organisasi atau badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan sebagaimana tersebut di atas, organisasi atau badan hukum itu bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam, badan hukum itu  dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Tugas nazhir adalah melakukan pengadministrasian harta benda wakaf, mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya, mengawasi dan melindungi harta benda wakaf, melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia. Dalam melaksanakan tugas tersebut, nazhir dapat menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10% (sepuluh persen).[21] Syarat-syarat harta yang diwakafkan (al-mauquf) harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu: al-mauquf harus barang yang berharga, al-mauquf harus diketahui kadarnya, al-mauquf dimiliki oleh wakif secara sah, al-mauquf harus berdiri sendiri, tidak melekat kepada harta lain (mufarrazan). Harta benda wakaf bisa berbentuk benda tidak bergerak ataupun benda bergerak. Yang termasuk benda tidak bergerak antara lain:
a. hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar;
b. bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;
d. hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e. benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan yang dimaksud benda bergerak adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, antara lain:
a. uang;
b. logam mulia;
c. surat berharga;
d. kendaraan;
e. hak atas kekayaan intelektual;
f. hak sewa; dan
g. benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundangundangan yang berlaku.[22]
Berdasarkan paparan tersebut, dapat ditegaskan bahwa pemahaman tentang benda wakaf hanya sebatas benda tak bergerak, seperti tanah adalah kurang tepat. Karena wakaf juga bisa berupa benda bergerak, antara lain uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, dan hak sewa, sebagaimana tercermin dalam Bab II, Pasal 16, UU No. 41 tahun 2004, dan juga sejalan dengan fatwa MUI ihwal bolehnya wakaf uang.
Syarat-syarat shigah berkaitan dengan ikrar wakaf, yaitu harus memuat nama dan identitas Wakif, nama dan identitas Nazhir, keterangan harta benda wakaf, dan peruntukan harta benda wakaf, serta jangka waktu wakaf.
Pada prinsipnya, dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya dapat diperuntukan bagi:
a. sarana dan kegiatan ibadah;
b. sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan;
c. bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, bea siswa;
d. kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/atau
e. kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan paparan tersebut, dapat ditegaskan bahwa pemahaman tentang pemanfaatan harta benda wakaf yang selama ini masih terbatas digunakan untuk tujuan ibadah saja (yang berwujud misalnya: pembangunan masjid, komplek kuburan, panti asuhan, dan pendidikan) adalah kurang tepat. Nilai ibadah itu tidak harus berwujud langsung seperti itu. Bisa saja, di atas lahan wakaf dibangun pusat perbelanjaan, yang keuntungannya nanti dialokasikan untuk beasiswa anak-anak yang tidak mampu, layanan kesehatan gratis, atau riset ilmu pengetahuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ini juga bagian dari ibadah.

D. Sejarah dan Perkembangan wakaf di Indonesia
Perilaku sejenis wakaf telah dikenal umat manusia sebelum Islam datang.  Umat manusia –terlepas dari agama dan kepercayaan yang mereka anut—sesungguhnya telah mengenal beberapa bentuk praktik pendayagunaan harta benda, yang substansinya tidak jauh berbeda dengan wakaf dalam Islam. Hal ini disebabkan pada dasarnya, umat manusia sudah menyembah Tuhan melalui ritual keagamaan sesuai kepercayaan mereka. Hal inilah yang kemudian menjadi faktor pendorong bagi setiap umat beragama untuk mendirikan bangunan peribadatannya masing-masing.[23] Mereka yang memiliki kepedulian serta perhatian terhadap kelangsungan agamanya rela melepaskan sebagian tanahnya atau menyumbangkan sebagian harta miliknya untuk kepentingan rumah peribadatan. Contoh yang paling nyata dari adanya praktik wakaf sebelum Islam adalah dibangunnya al-Ka’bah al-Musyarrafah oleh Nabi Ibrahim as. Hanya saja, dalam perjalanan waktu, Ka’bah pernah digunakan sebagai tempat penyembahan berhala, padahal sebelumnya adalah tempat beribadah kepada Allah Swt.[24]
Jika praktik wakaf telah dikenal sebelum Islam, maka yang membedakannya dengan wakaf dalam Islam adalah bahwa praktik wakaf yang diamalkan masyarakat jahiliyah dilakukan semata-mata hanya untuk mencari prestise (kebanggan). Sedangkan dalam Islam bertujuan untuk mencari ridla Allah dan sebagai sarana mendekatkan diri kepada-Nya.[25]
Dalam sejarah Islam, wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW karena wakaf disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah. Ada dua pendapat yang berkembang di kalangan ahli yurisprudensi Islam (fuqaha’) tentang siapa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf. Menurut sebagian pendapat ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah SAW yaitu wakaf tanah milik Nabi SAW untuk dibangun masjid.[26] Sebagian ulama menyatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf adalah Umar bin Khatab. Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar ra, sebagaimana telah dikemukakan di atas.
 Praktek wakaf juga berkembang luas pada masa dinasti Umayah dan dinasti Abbasiyah dan dinasti sesudahnya, banyak orang berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf, dan wakaf tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para statnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa. Antusiasme masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara untuk mengatur pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk membangun solidaritas sosial dan ekonomi masyarakat. 
Di Indonesia, kegiatan wakaf dikenal seiring dengan perkembangan dakwah Islam di Nusantara. Di samping melakukan dakwah Islam, para ulama juga sekaligus memperkenalkan ajaran wakaf. Hal ini terbukti dari banyaknya masjid-masjid yang bersejarah dibangun di atas tanah wakaf. Ajaran wakaf ini terus berkembang di bumi Nusantara, baik pada masa dakwah pra kolonial, masa kolonial, maupun pasca kolonial pada masa Indonesia merdeka.
Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa lembaga wakaf yang berasal dari agama Islam ini telah diterima (diresepsi) menjadi hukum adat bangsa Indonesia sendiri. Masa pemerintahan kolonial merupakan momentum kegiatan wakaf. Karena pada masa itu, perkembangan organisasi keagamaan, sekolah, madrasah, pondok pesantren, masjid, semuanya merupakan swadaya dan berdiri di atas tanah wakaf. Namun, perkembangan wakaf kemudian hari tak mengalami perubahan yang berarti. Kegiatan wakaf dilakukan terbatas untuk kegiatan keagamaan, seperti pembangunan masjid, mushalla, langgar, madrasah, perkuburan, sehingga kegiatan wakaf di Indonesia kurang bermanfaat secara ekonomis bagi rakyat banyak.
Walaupun beberapa aturan telah dibuat oleh pemerintah terkait dengan mekanisme wakaf, seperti PP Nomor 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik, akan tetapi PP ini hanya mengatur wakaf pertanahan saja. Ini berarti tak jauh beda dengan model wakaf pada periode awal, identik dengan wakaf tanah, dan kegunaannya pun terbatas pada kegiatan sosial keagamaan, seperti masjid, kuburan, madrasah, dan lain-lain.
Karena minimnya regulasi yang mengatur tentang perwakafan, maka tidaklah heran jika perkembangan wakaf di Indonesia mengalami stagnasi. Stagnasi perkembangan wakaf di Indonesia mulai mengalami dinamisasi ketika pada tahun 2001, beberapa praktisi ekonomi Islam mulai mengusung paradigma baru ke tengah masyarakat mengenai konsep baru pengelolaan wakaf tunai untuk peningkatan kesejahteraan umat. Ternyata konsep tersebut menarik dan mampu memberikan energi untuk menggerakkan kemandegan perkembangan wakaf. Kemudian pada tahun 2002, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyambut konsep tersebut dengan mengeluarkan fatwa yang membolehkan wakaf uang (waqf al-nuqud).
Fatwa MUI tersebut kemudian diperkuat oleh hadirnya UU No. 41/2004 tentang wakaf yang menyebutkan bahwa wakaf tidak hanya benda tidak bererak, tetapi juga dapat berupa benda bergerak, seperti uang.  Selain itu, diatur pula kebijakan perwakafan di Indonesia, mulai dari pembentukan nazhir sampai dengan pengelolaan harta wakaf. Untuk dapat menjalankan fungsinya, UU ini masih memerlukan perangkat lain yaitu Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri Agama tentang Wakaf Uang  yang akan menjadi juklak dalam implementasinya, serta adanya Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang akan berfungsi sebagai sentral nazhir wakaf. Setelah melalui proses panjang, pada penghujung tahun 2006 terbitlah PP No. 42/2006 tentang Pelaksanaan UU Wakaf. Setelah itu, pada juli 2007 keluar Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 75/M tahun 2007 yang memutuskan dan mengangkat keanggotaan BWI periode 2007-2010.[27]
Dengan demikian, ternyata dalam perjalanan sejarahnya, wakaf terus berkembang dan insyaAllah akan selalu berkembang bersamaan dengan laju perubahan zaman dengan berbagai inovasi-inovasi yang relevan dengan tetap mengedepankan dan berpandukan prinsip Syariah. Lahirnya UU wakaf berikut peraturan turunannya merupakan titik tolak peningkatan pemberdayaan potensi wakaf di Indonesia ke arah yang lebih produktif dalam bingkai fiqh Indonesia.

E. Faktor Penghambat Pemberdayaan Wakaf di Indonesia
Menurut Uswatun,[28] terdapat beberapa faktor yang menyebabkan wakaf di Indonesia belum berperan dalam memberdayakan ekonomi umat:
1.   Masalah Pemahaman Masyarakat tentang Hukum Wakaf.

Selama ini, umat Islam masih banyak yang beranggapan bahwa aset wakaf itu hanya boleh digunakan untuk tujuan ibadah saja. Misalnya, pembangunan masjid, komplek kuburan, panti asuhan, dan pendidikan. Padahal, nilai ibadah itu tidak harus berwujud langsung seperti itu. Bisa saja, di atas lahan wakaf dibangun pusat perbelanjaan, yang keuntungannya nanti dialokasikan untuk beasiswa anak-anak yang tidak mampu, layanan kesehatan gratis, atau riset ilmu pengetahuan. Ini juga bagian dari ibadah.
Selain itu, pemahaman ihwal benda wakaf juga masih sempit. Harta yang bisa diwakafkan masih dipahami sebatas benda tak bergerak, seperti tanah. Padahal wakaf juga bisa berupa benda bergerak, antara lain uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, dan hak sewa. Ini sebagaimana tercermin dalam Bab II, Pasal 16, UU No. 41 tahun 2004, dan juga sejalan dengan fatwa MUI ihwal bolehnya wakaf uang.[29]

2. Pengelolaan dan Manajemen Wakaf.
Saat ini pengelolaan dan manajemen wakaf di Indonesia masih  memprihatinkan. Sebagai akibatnya cukup banyak harta wakaf terlantar dalam pengelolaannya, bahkan ada harta wakaf yang hilang. Salah satu penyebabnya adalah umat Islam pada umumnya hanya mewakafkan tanah dan bangunan sekolah, dalam hal ini wakif kurang memikirkan biaya operasional sekolah, dan nazhirnya kurang profesional. Oleh karena itu, kajian mengenai manajemen pengelolaan wakaf sangat penting. Kurang berperannya wakaf dalam memberdayakan ekonomi umat di Indonesia karena wakaf tidak dikelola secara produktif. Untuk mengatasi masalah ini, wakaf harus dikelola secara produktif dengan menggunakan manajemen modern. Untuk mengelola wakaf secara produktif, ada beberapa hal yang perlu dilakukan sebelumnya. Selain memahami konsepsi fikih wakaf dan peraturan perundang-undangan, nazhir harus profesional dalam mengembangkan harta yang dikelolanya, apalagi jika harta wakaf tersebut berupa uang. Di samping itu, untuk mengembangkan wakaf secara nasional, diperlukan badan khusus yang menkoordinasi dan  melakukan pembinaan nazhir. Pada saat di Indonesia sudah dibentuk Badan Wakaf Indonesia.

3. Benda yang Diwakafkan dan Nazhir (pengelola wakaf).
Pada umumnya tanah yang diwakafkan umat Islam di Indonesia hanyalah cukup untuk membangun masjid atau mushalla, sehingga sulit untuk dikembangkan. Memang ada beberapa tanah wakaf yang cukup luas, tetapi nazhir tidak profesional. Di Indonesia masih sedikit orang yang mewakafkan harta selain tanah (benda tidak bergerak), padahal dalam fikih, harta yang boleh diwakafkan sangat beragam termasuk surat berharga dan  uang. Dalam perwakafan, salah satu unsur yang amat penting adalah nazhir. Berfungsi atau tidaknya wakaf sangat tergantung pada kemampuan nazhir. Di berbagai negara yang wakafnya dapat berkembang dan berfungsi untuk memberdayakan ekonomi umat, wakaf dikelola oleh nazhir yang profesional. Di Indonesia masih sedikit nazhir yang profesional, bahkan ada beberapa nazhir yang kurang memahami hukum wakaf, termasuk kurang memahami hak dan kewajibannya. Dengan demikian, wakaf yang diharapkan dapat memberi kesejahteraan pada umat, tetapi sebaliknya justru biaya pengelolaannya terus-menerus tergantung pada zakat, infaq dan shadaqah dari masyarakat. Di samping itu, dalam berbagai kasus ada sebagian nazhir yang kurang memegang amanah, seperti melakukan penyimpangan dalam pengelolaan, kurang melindungi harta wakaf, dan kecurangan-kecurangan lain, sehingga memungkinkan  wakaf  tersebut  berpindah tangan. Untuk mengatasi masalah ini, hendaknya calon wakif sebelum berwakaf memperhatikan lebih dahulu apa yang diperlukan masyarakat, dan dalam memilih nazhir sebaiknya mempertimbangkan kompetensinya.[30]



[1] Sholeh Hayat dkk , Buku Panduan Wakaf Nahdlatul Ulama, Lajnah Auqof NU Jawa Timur 2002, hal 1
[2]Jazuni, Hukum Islam di Indonesia, Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam dan penerapan, (Jakarta: Hanya Press, 2006), hal. 265
[3]Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam,  Analisa Hukum Islam Bidang Wakaf,  (Jakarta. 1997/1998),  hal. 60-61
[4] Direktorat Pemberdayaan Wakaf, “Data Luas dan Lokasi Tanah Wakaf Nasional Sampai Dengan Tahun 2008”, Jakarta, 22 April 2008.
[5] Mesir adalah salah satu negara yang memiliki harta wakaf cukup banyak karena sejak masuknya Islam di Mesir, pemerintahnya selalu mengembangkan harta wakaf. Salah satu di antara harta wakaf yang sangat besar dan cukup dikenal di dunia Islam adalah Universitas  al-Azhar yang sampai sekarang masih diminati oleh mahasiswa dari seluruh dunia. Universitas ini didirikan pada masa Khilafah Fathimiyyah. Perkembangan pengelolaan wakaf di Mesir sejak awal memang sangat mengagumkan, bahkan keberhasilannya dijadikan contoh bagi pengembangan wakaf di negara-negara lain. Wakaf di Mesir dikelola oleh Badan Wakaf Mesir yang berada di bawah Wizaratul Auqaf (Kementerian Wakaf). Salah satu di antara  kemajuan yang telah  dicapai  oleh  Badan Wakaf Mesir adalah berperannya harta wakaf  dalam meningkatkan ekonomi masyarakat. Hal ini disebabkan benda yang diwakafkan beragam, baik berupa benda tidak bergerak maupun benda bergerak, yang dikelola secara baik dan benar. Pengelolaannya dilakukan dengan cara menginvestasikan harta wakaf di bank Islam (jika berupa uang) dan berbagai perusahaan, seperti perusahan besi dan baja. Untuk menyempurnakan  pengembangan wakaf,  Badan Wakaf membeli saham dan obligasi dari perusahaan-perusahaan  penting. Hasil pengembangan wakaf yang ditanamkan di berbagai perusahaan tersebut di samping untuk mendirikan tempat-tempat ibadah dan lembaga-lembaga pendidikan, juga dimanfaatkan untuk membantu  kehidupan masyarakat (fakir miskin, anak yatim, dan para pedagang kecil), kesehatan masyarakat (men­dirikan rumah sakit dan menyediakan obat-obatan bagi masyarakat), pengem­bangan  ilmu  pengetahuan  dalam  berbagai  bidang, dan berbagai pelatihan. Dengan dikembangkannya wakaf secara produktif, wakaf di Mesir dapat dijadikan salah satu lembaga yang diandalkan pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan umat. Sebagaimana diungkap Uswatun dengan mengutip dari Tarikh al-Daulah al-Islamiyyah dan Idarah wa Tasmir Mumta­lakat al-Auqaf.
[6] Saudi Arabia juga mempunyai semacam Badan Wakaf yang diberi nama Majelis Tinggi Wakaf. Majelis Tinggi Wakaf ada di bawah Kementerian Haji dan Wakaf. Majelis Tinggi Wakaf ini diatur dengan Ketetapan No. 574 tanggal 16 Rajab 1386 sesuai dengan Surat Keputusan Kerajaan No. M/35, tanggal 18 Rajab 1386. Adapun wewenang Majelis Tinggi Wakaf antara lain mengembangkan wakaf secara produktif dan mendistribusikan hasil pengembangan wakaf kepada mereka yang berhak. Sehubungan dengan hal itu, Majelis Tinggi Wakaf juga mempunyai wewenang untuk membuat program pengembangan wakaf, pendataan terhadap aset wakaf serta memikirkan cara pengelolaannya, menentukan langkah-langkah penanaman Modal, dan langkah-langkah pengembangan wakaf produktif lainnya, serta mempublikasikan hasil pengembangan wakaf kepada masyarakat. Lihat Uswatun Hasanah, Wakaf Produktif Untuk Kesejahteraan dalam Perspektif Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta: Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar di Universitas Indonesia, 6 April 2009), hal. 32.
[7] Di Turki, wakaf dikelola oleh Direktorat Jenderal Wakaf. Dalam mengembangkan wakaf, pengelola melakukan investasi di berbagai perusahaan, antara lain: Ayvalik and Aydem Olive Oil Corporation; Tasdelen Healthy Water Corporation; Auqaf Guraba Hospital; Taksim Hotel (Sheraton); Turkish Is Bank; Aydin Textile Industry; Black Sea Copper Industry; Contruction and Export/Import Corporation; Turkish Auqaf Bank. Hasil pengelolaan wakaf itu kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat, dan kepentingan sosial lainnya. Uswatun Hasanah, Ibid., hal. 11.
[8] Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, jil. 11. (Kairo: al-Dar al-Misriyyah li al-Ta’lif wa al-Tarjamah, 1954), hal. 276.
[9] Muhammad Abid Abdullah al-Kabisi, Ahkam al-Waqf fi al-Syariah al-Islamiyah. (Baghdad: Mathba’ah al-Irsyad, 1977). Alih bahasa Ahrul Sani Faturrahman dkk, judul Indonesia: Hukum Wakaf, (Jakarta: DD Republika dan IIMan, 2004), hal. 37
[10] Sebagaimana dijelaskan al-Kabisi dengan merujuk kepada kamus al-Muhid dan Lisan al-Arab.
[11] Al-Imam Kamal al-Din Ibn ‘Abd al-Rahid al-Sirasi Ibn al-Humam, Sharh Fath al-Qadir, jil. 6. (Beirut: Dar al- Kutub al-‘Ilmiyyah, 1970), hal. 203.
[12] Syams al-Din al-Syaikh Muhammad al-Dasuqi, Hasyiyah al-Dasuqi ‘ala al-Syarh al-Kabir, juz 2. (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), hal. 187
[13] Muhammad al-Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 2. (Kairo: Syarikah Maktabah wa Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Awladih, 1958), hal. 376.
[14] Sebagaimana dikutip al-Kabisi dengan merujuk pada karya al-Qalyubi, Hasyiyatu al-Qalyubi ala syarh al-muhalla li al-Minhaj.
[15] Ibn Qudamah, Al-Mughni Wa al-Syarh al-Kabir, jil. 6. (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 1972), hal. 185.

[16] Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf pasal 1 ayat 1.
[17] Wakaf disyariatkan pada tahun ke-2 Hijriyah. Sebagian ulama berpendapat bahwa pelaksanaan wakaf pertama dilakukan oleh Umar ibn Khaththab terhadap tanahnya yang terletak di Khaibar, sebagian lain berpendapat bahwa pelaksanaan wakaf pertama dilakukan oleh Rasulullah SAW untuk dibangun masjid. Ismail bin Umar bin Kasir, Tafsir Ibnu Katsir, (Riyad: Dar al-Salam, 2001), Juz I, hal. 381; Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr, 1983); Imam Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam. (Bandung: Maktabah Dahlan, tt.), hal. 87.

[18] Lihat DEPAG RI, Peraturan Perundangan Perwakafan. (Jakarta: DEPAG RI, 2006)
[19] Elsi Kartika Sari, Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf. (Jakarta: Grasindo, 2006), hlm. 57-59.
[20] UU wakaf bagian keempat
[21] UU wakaf bagian kelima, pasal 9-12
[22] Bagian keenam pasal 15-16.
[23] Al-Kabisi, op.cit., hal. 13.
[24] Ibid., hal. 14
[25] Sebagaimana dikutip Al-Kabisi dari Syarh Minah al-Jalil ala Mukhtashar Khalil, karya Muhammad Ahmad Alisy, Mesir: Penerbit al-Kubra, 1294H, jilid 3, h. 35. Sebagaimana dikutip Al-Kabisi dari Syarh Minah al-Jalil ala Mukhtashar Khalil, karya Muhammad Ahmad Alisy, Mesir: Penerbit al-Kubra, 1294H, jilid 3, h. 35.
[26] Lihat Habib Ahmed, Role of Zakah and Awqaf in Poverty Alleviation. (Jeddah: IRTI, 2004), hal. 30
[27] Tholhah Hasan (2009),Perkembangan Kebijakan Wakaf di Indonesia”, dalam Republika, Rabu, 22 April 2009, accessed 3 Juli 2009.
[28] Uswatun, op.cit., hal. 17-18.
[29] Abdullah Ubaid Matraji (Staf Divisi Humas Badan Wakaf Indonesia), Republika Newsroom, Kamis, 05 Februari 2009, accessed 3 Juli 2009.
[30] Uswatun Hasanah, op.cit., hal. 18

Tidak ada komentar:

Posting Komentar