PROBLEMA WAKAF MASJID
PERUMAHAN DI INDONESIA
( Telaah Ulang tentang Wakaf dalam
Prespektif Hukum Islam )
A. Iftitah
Amal mulya mewakafkan harta
benda untuk kepentingan sosial telah berkembang sejak zaman sahabat Rasulullah.
Sebuah tindakan pelepasan hak milik untuk kepentingan umum tersebut dilakukan
oleh sahabat Nabi, sekaligus sebagai percontohan yang layak ditiru oleh umat
Islam.
Sahabat Umar bin Khattab
menyerahkan hartanya yang berbentuk tanah yang sangat luas yang dikenal dengan
sebutan “ Tanah Tamagh” di daerah Bairuha yang terletak dibagian
Khaibar. Tanah tersebut sangat produktif untuk tanaman kurma dan hasilnya untuk
kepentingan social umat Islam di zaman itu, termasuk untuk membangun sebuah
masjid.
Dampak positif amal sosial
wakaf yang dilakukan oleh sahabat Umar bin Khattab tersebut, telah memberikan
contoh dan dorongan bagi sahabat Nabi yang lain. Dizaman itu tercatat sekitar
80 orang sahabat yang rela melepas hakmiliknya dan diserahkan kepada nadzir
dalam bentuk wakaf yang bersifat permanen. Antara lain sahabat Ustman bin Affan
mewakafkan bangunan rumahnya di kota Madinah, sahabat Khalid bin Walid yang
mewakafkan baju perisai perang untuk kepentingan sosial. Selain itu ada wakaf
yang pernah dilakukan kolektif oleh Bani Hajjar berbentuk sebuah bangunan
masjid dan kuda tunggangan untuk perang.
Jenis barang yang diwakafkan
para sahabat Rasul berkembang dan bervariasi sesuai dengan tingkat kemempuan
ekonominya. Ada yang berbentuk hambal untuk Masjid dan lampu penerangan untuk
Masjid.
Sejak itulah amal sosial
mewakafkan harta benda untuk kepentingan pengembangan syariat Islam terus
dibudayakan sebagai bagian tradisi Islam yang positif dan dilindungi sebagai
aturan hukum yang bersifat nasional.
Dalam al.quran masalah wakaf
secara umum bisa dipersepsikan dalam surat al. hajj ayat 77, Al. Baqarah ayat
267 dan surat Ali Imran 92. Sedangkan hadist menjelaskan dalam 45 unit hadits
yang terbagi dalam 6 tema wakaf dan diperkuat oleh praktek amaliyah wakaf oleh
kalangan sahabat Nabi.[1]
Sejak
Islam datang ke Indonesia, perwakafan diatur menurut hukum Islam. Pada tahun
1905 ada Edaran Pemerintah Kolonial
Belanda berupa Beijblad, yang disusul
dengan beijblad-beijblad tahun 193,
1934 dan 1935 yang menentukan agar perwakafan tanah harus memberitahukan kepada
pemerintah agar wakaf tidak terkena rencana perubahan yang akan dibuat pada
masa sesudahnya. Dengan pemberitahuan tersebut pemerintah dapat menunjuk tanah
yang diwakafkan supaya tidak terkena gusuran atau kepentingan pemerintah lainya
sehingga wakaf dapat berfungsi untuk selama-lamanya[2]. Peraturan yang dikeluarkan pemerintah
Belanda tersebut tidak menggubah (memperbaiki)
ketentuan perwakafan dalam kitab-kitab fikih, sehingga setelah meninggalnya
wakif muncul beberapa pengaruh yang dapat mengubah status wakaf. [3]
Aset wakaf di Indonesia terbilang besar.
Berdasarkan data yang ada di Departemen Agama, jumlah tanah wakaf di Indonesia
sebanyak 430,766 lokasi dengan luas mencapai 1,615,791,832.27 meter persegi
yang tersebar lebih dari 366.595 lokasi di seluruh Indonesia.[4]
Dilihat dari sumber daya alam atau tanahnya (resources capital) jumlah
harta wakaf di Indonesia
merupakan jumlah harta wakaf terbesar di seluruh dunia. Ini merupakan tantangan
bagi umat Islam Indonesia
untuk memfungsikan harta wakaf tersebut secara maksimal sehingga tanah-tanah
tersebut mampu mensejahterakan umat Islam di Indonesia sesuai dengan fungsi dan
tujuan ajaran wakaf yang sebenarnya. Sayangnya, potensi itu masih belum dimanfaatkan secara optimal, karena
berbagai faktor. Maka, langkah yang tak bisa ditawar lagi yaitu memberdayakan
potensinya dengan memproduktifkan aset-aset wakaf tersebut. Jika bangsa ini
mampu mengoptimalkan potensi wakaf yang begitu besar itu, tentu kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat lebih terjamin.
Perwakafan di Indonesia jauh
tertinggal dibanding negara-negara yang mayoritas berpenduduk Islam lain,
seperti Mesir,[5]
Aljazair, Arab Saudi,[6]
Kuwait, dan Turki.[7]
Mereka jauh-jauh hari sudah mengelola wakaf ke arah produktif. Bahkan, di
negara yang penduduk muslimnya minor, pengembangan wakaf juga tak kalah
produktif. Singapura misalnya, aset wakafnya, jika dikruskan, berjumlah S$ 250
juta. Untuk mengelolanya, Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS) membuat anak
perusahaan bernama Wakaf Real Estate Singapura (WAREES).
Kalau mereka bisa, mengapa
Indonesia yang merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia ini tak
mampu. Penulis yakin, masyarakat Islam Indonesia mampu melakukan, bahkan lebih
dari itu, jika benar-benar serius menangani hal ini. Apalagi, pemberdayaan
wakaf di Indonesia kini sudah diakomodir secara formal oleh peraturan
perundangan yang sangat progresif dalam mengakomodir hukum fiqh yaitu UU No. 41
tahun 2004 tentang wakaf dan PP No. 42 tahun 2006 tentang pedoman
pelaksanaannya. Kalau begitu, sekarang tinggal action saja, tak perlu
banyak berwacana. Kalau dulu, banyak orang berdiskusi dan berharap adanya
lembaga khusus yang menangani perwakafan di Indonesia, kini BWI sudah berdiri
(sejak 2007). Tinggal bagaimana memaksimalkan lembaga independen amanat
undang-undang itu. (Bab VI, pasal 7, UU No. 41 tahun 2004).
Persoalannya, masih muncul
perbedaan faham di tengah masyarakat tentang pengelolaan wakaf ke arah
produktif, oleh karena itu perlu adanya persamaan faham tentang apa dan
bagaimana memberdayakan potensi perwakafan di Indonesia menuju yang lebih
produktif dengan menggali berbagai kemungkinan jalan ke arah itu. Tulisan ini
berupaya memberikan kontribusi untuk menjawab persoalan tersebut.
B. Pengertian dan Landasan Hukum Wakaf
B.1. Pengertian
Wakaf secara
etimologi adalah al-habs[8]
(menahan)”. Ia merupakan kata yang berbentuk masdar (gerund) dari
ungkapan waqfu al-syai’ yang pada dasarnya berarti menahan sesuatu.
Dengan demikian, pengertian wakaf secara bahasa adalah menyerahkan tanah untuk
orang-orang miskin untuk ditahan. Diartikan demikian karena barang milik itu
dipegang dan ditahan orang lain, seperti menahan hewan ternak, tanah dan segala
sesuatu.[9]
Secara
gramatikal, penggunaan kata “auqafa” yang digabungkan dengan kata-kata
segala jenis barang termasuk ungkapan yang tidak lazim (jelek). Yang benar
adalah dengan menggunakan kata kerja “waqaftu” tanpa memakai hamzah (auqaftu).
Adapun yang semakna dengan kata “habistu” adalah seperti ungkapan “waqaftu
al-syai’ aqifuhu waqfan”.[10]
Para ulama
berbeda pendapat dalam memberi pengertian wakaf, sebagaimana tercantum
buku-buku fiqh. Perbedaan tersebut membawa akibat yang berbeda pada hukum yang
ditimbulkan. Definisi wakaf menurut ahli fiqh adalah sebagai berikut.
Pertama,
Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda (al-‘ain) milik
wakif dan menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang
diinginkan untuk tujuan kebajikan.[11]
Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahwa kedudukan harta wakaf masih tetap
tertahan atau terhenti di tangan wakif itu sendiri. Dengan
artian, wakif masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala
perwakafan hanya terjadi ke atas manfaat harta tersebut, bukan termasuk aset
hartanya.
Kedua, Malikiyah berpendapat, wakaf adalah
menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki (walaupun pemilikannya dengan cara
sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan satu akad (shighat)
dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan wakif.[12]
Definisi wakaf tersebut hanya
menentukan pemberian wakaf kepada orang atau tempat yang berhak saja.
Ketiga,
Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa memberi manfaat
serta kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan
yang dimiliki oleh wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh
syariah.[13] Menurut
Syaikh Syihabuddin al-Qalyubi, wakaf adalah habsul mali yumkinu al-intifa’u
bihi ma’a baqa’I ainihi ‘ala mashrafin mubahin (menahan harta yang bisa
diambil manfaatnya dengan menjaga bentuk aslinya untuk disalurkan kepaa jalan
yang dibolehkan).[14]
Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal materi
bendanya (al-‘ain), dalam arti harta yang tidak mudah rusak atau musnah
serta dapat diambil manfaatnya secara berterusan.
Keempat,
Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal
harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan.[15]
Demikianlah pengertian wakaf menurut para ulama ahli
fiqih.
Sedangkan dalam konteks perundangan di Indonesia,
nampaknya wakaf dimaknai secara spesifik dengan menemukan titik temu dari
berbagai pendapat ulama tersebut. Hal ini dapat terlihat dalam rumusan
pengertian wakaf dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf, wakaf
diartikan dengan perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka
waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syariah.[16]
Rumusan dalam UU wakaf tersebut, jelas sekali merangkum berbagai pendapat para
ulama fiqh tersebut di atas tentang makna wakaf, sehingga makna wakaf dalam
konteks Indonesia
lebih luas dan lebih komplit.
Dari beberapa definisi wakaf tersebut,
dapat disimpulkan bahwa wakaf bertujuan untuk memberikan manfaat atau faedah
harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan dipergunakan sesuai dengan
ajaran syariah Islam. Hal ini sesuai dengan fungsi wakaf yang disebutkan pasal
5 UU No. 41 tahun 2004 yang menyatakan wakaf berfungsi untuk mewujudkan potensi
dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk
memajukan kesejahteraan umum.
B.2. Wakaf
Menurut Al-Quran dan Hadis serta Hukum Positif.
Secara umum
tidak terdapat ayat al-Quran yang menerangkan konsep wakaf secara konkrit
tekstual. Wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang
digunakan para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada
keumuman ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah.
Di antara ayat-ayat tersebut antara lain:
مثل الذين ينفقون أموالهم في سبيل الله كمثل حبة أنبتت
سبع سنابل في كل سنبلة مئة حبة والله يضاعف لمن يشاء والله واسع عليم
.الذين ينفقون أموالهم في سبيل
الله ثم لا يتبعون ما أنفقوا منا ولا أذى لهم أجرهم عند ربهم ولا خوف عليهم ولا هم
يحزنون
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan
oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan
sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji.
Allah melipat gandakan
(ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya)
lagi Maha Mengetahui. Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah,
kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan
menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima),
mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Q.S.
al-Baqarah (2): 261-262).
يا أيها الذين آمنوا أنفقوا من طيبات ما كسبتم ومما
أخرجنا لكم من الأرض ولا تيمموا الخبيث منه تنفقون ولستم بآخذيه إلا أن تغمضوا فيه
واعلموا أن الله غني حميد
“Hai orang-orang yang beriman,
nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan
sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu
memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri
tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan
ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Q.S. al-Baqarah (2):
267).
لن تنالوا البر حتى تنفقوا مما تحبون وما تنفقوا من شيء
فإن الله به عليم
“Kamu
sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu
menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu
nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya” (Q.S. Ali Imran (3):
92)
Ayat-ayat
tersebut di atas menjelaskan tentang anjuran untuk menginfakkan harta yang
diperoleh untuk mendapatkan pahala dan kebaikan. Di samping itu, ayat 261 surat
al-Baqarah telah menyebutkan pahala yang berlipat ganda yang akan diperoleh
orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah.
Di antara hadis
yang menjadi dasar dan dalil wakaf adalah hadis yang menceritakan tentang kisah
Umar bin al-Khaththab ketika memperoleh tanah di Khaibar. Setelah ia meminta
petunjuk Nabi tentang tanah tersebut, Nabi menganjurkan untuk menahan
asal tanah dan menyedekahkan hasilnya. Hadis tentang
hal ini adalah
عن عبد الله بن عمر أن عمر رضي
الله عنه أتى النبي صلى الله عليه وسلم وكان قد ملك مائة سهم من خيبر فقال قد أصبت
مالا لم أصب مثله وقد أردت أن أتقرب به إلى الله تعالى فقال حبس الأصل وسبل الثمرة
“Dari Abdullah bin Umar bahwa sesungguhnya
Umar bin Khattab mendatangi Nabi SAW, (pada waktu itu) Umar baru saja
memperoleh 100 kavling tanah Khaibar (yang terkenal subur), maka Umar berkata,
‘Saya telah memiliki harta yang tidak pernah saya miliki sebelumnya dan saya
benar-benar ingin mendekatikan diri kepada Allah SWT melalui harta ini.’ Maka Rasulullah SAW bersabda, ‘Tahanlah
asal harta tersebut dan alirkan manfaatnya’. (H.R. al-Bukhari, Muslim,
al-Tarmidzi, dan al Nasa’i).
Hadis lain yang menjelaskan wakaf adalah
hadis yang diceritakan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah sebagai berikut:
اذا مات الانسان انقطع عمله الا من ثلاث صدقة جارية أو
علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له
“Apabila seorang manusia itu
meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali dari tiga sumber,
yaitu sedekah jariah (wakaf), ilmu pengetahuan yang bisa diambil
manfaatnya, dan anak soleh yang mendoakannya.” (H.R. Muslim, al-Tirmidzi,
al-Nasa’ i, dan Abu Daud).
Selain dasar dari al-Quran dan Hadis di
atas, para ulama sepakat (ijma’) menerima wakaf sebagai satu amal jariah yang
disyariatkan dalam Islam. Tidak
ada orang yang dapat menafikan dan menolak amalan wakaf dalam Islam karena
wakaf telah menjadi amalan yang senantiasa dijalankan dan diamalkan oleh para
sahabat Nabi dan kaum Muslimin sejak masa awal Islam hingga sekarang.[17]
Dalam konteks negara Indonesia, praktik wakaf sudah dilaksanakan oleh
masyarakat muslim Indonesia sejak sebelum merdeka. Pemerintah
Indonesia
pun telah menetapkan Undang-undang khusus yang mengatur tentang perwakafan di
Indonesia, yaitu Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Untuk melengkapi Undang-undang tersebut,
pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006
tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 tahun 2004.
Sebelum itu,
telah ada berbagai peraturan yang mengatur tentang wakaf.[18]
Peraturan yang mengatur tentang wakaf adalah UU No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, khususnya pasal 5, 14 (1), dan 49, PP No.
28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, Peraturan Menteri No. 1 Tahun
1978 tentang Peraturan Pelaksanaan PP No. 28 Tahun 1977, Intruksi Bersama Menag
RI dan Kepala BPN No. 4 Tahun 1990 tentang Sertifikat Tanah Wakaf, Badan
Pertanahan Nasional No. 630.1-2782 tantang Pelaksanaan Penyertifikatan Tanah
Wakaf, Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang KHI, SK Direktorat BI No. 32/34/KEP/DIR
tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah (pasal 29 ayat 2 berbunyi: bank
dapat bertindak sebagai lembaga baitul mal, yaitu menerim dana yang berasal
dari zakat, infaq, shadaqah, wakaf, hibah, atau dana sosial lainnya dan
menyalurkannya kepada yang berhak dalam bentuk santunan dan atau pinjaman
kebajikan [qard al-hasan]), SK Direktorat BI No. 32/36/KEP/DIR tentang
Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah (pasal 28 berbunyi: BPRS
dapat bertindak sebagai lembaga baitul mal, yaitu menerim dana yang berasal
dari zakat, infaq, shadaqah, wakaf, hibah, atau dana social lainnya dan
menyalurkannya kepada yang berhak dalam bentuk santunan dan atau pinjaman
kebajikan [qard al-hasan]).[19]
C. Syarat dan Rukun Wakaf dalam Konteks Fiqh Indonesia
Rukun wakaf dalam hukum fiqh ada empat
yaitu: (1) orang yang berwakaf (al-waqif). (2) benda yang diwakafkan (al-mauquf).
(3) orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf ‘alaihi/nadzir). (4)
lafadz atau ikrar wakaf (sighah). Sedangkan dalam UU Wakaf Pasal 6 yang
merupakan fiqh Indonesia yang telah diundangkan, selain 4 rukun tersebut, wakaf
dilaksanakan dengan memenuhi 6 unsur, yaitu 4 unsur tersebut ditambah dengan
dua unsur lain yaitu: peruntukan harta benda wakaf dan jangka waktu wakaf.
Dalam konteks
ini, wakif meliputi perseorangan, organisasi, maupun badan hukum. Wakif
perseorangan dapat melakukan wakaf apabila memenuhi persyaratan: dewasa,
berakal sehat, tidak terhalang melakukan perbuatan hukum, dan merupakan pemilik
sah harta benda wakaf. Wakif organisasi dan badan hukum dapat melakukan wakaf
apabila memenuhi ketentuan organisasi atau badan hukum untuk mewakafkan harta
benda wakaf milik organisasi atau badan hukum sesuai dengan anggaran dasar
organisasi atau badan hukum yang bersangkutan.[20]
Adapun pihak
nazhir bisa dilakukan oleh perseorangan, organisasi, atau badan hukum. Syarat
nazhir perseorangan adalah warga negara Indonesia, beragama Islam dewasa,
amanah, mampu secara jasmani dan rohani, dan tidak terhalang melakukan
perbuatan hukum. Organisasi atau badan hokum yang bisa menjadi nazhir harus
memenuhi persyaratan yaitu pengurus organisasi atau badan hukum yang
bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan sebagaimana tersebut di
atas, organisasi atau badan hukum itu bergerak di bidang sosial, pendidikan,
kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam, badan hukum itu dibentuk sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Tugas nazhir
adalah melakukan pengadministrasian harta benda wakaf, mengelola dan
mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan
peruntukannya, mengawasi dan melindungi harta benda wakaf, melaporkan
pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia. Dalam melaksanakan tugas
tersebut, nazhir dapat menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan
pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10% (sepuluh
persen).[21] Syarat-syarat
harta yang diwakafkan (al-mauquf) harus memenuhi beberapa persyaratan,
yaitu: al-mauquf harus barang yang berharga, al-mauquf harus
diketahui kadarnya, al-mauquf dimiliki oleh wakif secara sah, al-mauquf
harus berdiri sendiri, tidak melekat kepada harta lain (mufarrazan). Harta
benda wakaf bisa berbentuk benda tidak bergerak ataupun benda bergerak. Yang
termasuk benda tidak bergerak antara lain:
a. hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar;
b. bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana
dimaksud pada huruf a;
c. tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;
d. hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
e. benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan yang dimaksud benda bergerak adalah harta benda yang tidak bisa
habis karena dikonsumsi, antara lain:
a. uang;
b. logam mulia;
c. surat berharga;
d. kendaraan;
e. hak atas kekayaan intelektual;
f. hak sewa; dan
g. benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan
perundangundangan yang berlaku.[22]
Berdasarkan paparan tersebut, dapat ditegaskan bahwa pemahaman tentang
benda wakaf hanya sebatas benda tak bergerak, seperti tanah adalah kurang
tepat. Karena wakaf juga bisa berupa benda bergerak, antara lain uang, logam
mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, dan hak sewa,
sebagaimana tercermin dalam Bab II, Pasal 16, UU No. 41 tahun 2004, dan juga
sejalan dengan fatwa MUI ihwal bolehnya wakaf uang.
Syarat-syarat shigah berkaitan dengan ikrar wakaf, yaitu harus memuat nama
dan identitas Wakif, nama dan identitas Nazhir, keterangan harta benda wakaf,
dan peruntukan harta benda wakaf, serta jangka waktu wakaf.
Pada prinsipnya, dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda
wakaf hanya dapat diperuntukan bagi:
a. sarana dan kegiatan ibadah;
b. sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan;
c. bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, bea siswa;
d. kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/atau
e. kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan
syariah dan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan paparan tersebut, dapat
ditegaskan bahwa pemahaman tentang pemanfaatan harta benda wakaf yang selama
ini masih terbatas digunakan untuk tujuan ibadah saja (yang berwujud misalnya:
pembangunan masjid, komplek kuburan, panti asuhan, dan pendidikan) adalah
kurang tepat. Nilai ibadah itu tidak harus berwujud langsung seperti itu. Bisa
saja, di atas lahan wakaf dibangun pusat perbelanjaan, yang keuntungannya nanti
dialokasikan untuk beasiswa anak-anak yang tidak mampu, layanan kesehatan
gratis, atau riset ilmu pengetahuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Ini juga bagian dari ibadah.
D. Sejarah dan Perkembangan wakaf di Indonesia
Perilaku sejenis
wakaf telah dikenal umat manusia sebelum Islam datang. Umat manusia
–terlepas dari agama dan kepercayaan yang mereka anut—sesungguhnya telah
mengenal beberapa bentuk praktik pendayagunaan harta benda, yang substansinya
tidak jauh berbeda dengan wakaf dalam Islam. Hal ini disebabkan pada dasarnya,
umat manusia sudah menyembah Tuhan melalui ritual keagamaan sesuai kepercayaan
mereka. Hal inilah yang kemudian menjadi faktor pendorong bagi setiap umat
beragama untuk mendirikan bangunan peribadatannya masing-masing.[23]
Mereka yang memiliki kepedulian serta perhatian terhadap kelangsungan agamanya
rela melepaskan sebagian tanahnya atau menyumbangkan sebagian harta miliknya
untuk kepentingan rumah peribadatan. Contoh yang paling
nyata dari adanya praktik wakaf sebelum Islam adalah dibangunnya al-Ka’bah
al-Musyarrafah oleh Nabi Ibrahim as. Hanya saja, dalam perjalanan waktu,
Ka’bah pernah digunakan sebagai tempat penyembahan berhala, padahal sebelumnya
adalah tempat beribadah kepada Allah Swt.[24]
Jika praktik wakaf telah dikenal sebelum
Islam, maka yang membedakannya dengan wakaf dalam Islam adalah bahwa praktik
wakaf yang diamalkan masyarakat jahiliyah dilakukan semata-mata hanya untuk
mencari prestise (kebanggan). Sedangkan dalam Islam bertujuan untuk mencari ridla Allah dan sebagai sarana mendekatkan diri kepada-Nya.[25]
Dalam sejarah Islam, wakaf dikenal sejak
masa Rasulullah SAW karena wakaf disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah. Ada dua pendapat yang
berkembang di kalangan ahli yurisprudensi Islam (fuqaha’) tentang siapa
yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf. Menurut sebagian pendapat ulama
mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah SAW
yaitu wakaf tanah milik Nabi SAW untuk dibangun masjid.[26] Sebagian
ulama menyatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf adalah Umar
bin Khatab. Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar ra,
sebagaimana telah dikemukakan di atas.
Praktek
wakaf juga berkembang luas pada masa dinasti Umayah dan dinasti Abbasiyah dan
dinasti sesudahnya, banyak orang berduyun-duyun untuk melaksanakan wakaf, dan
wakaf tidak hanya untuk orang-orang fakir dan miskin saja, tetapi wakaf menjadi
modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar
gaji para statnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa.
Antusiasme masyarakat kepada pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara
untuk mengatur pengelolaan wakaf sebagai sektor untuk membangun solidaritas
sosial dan ekonomi masyarakat.
Di Indonesia,
kegiatan wakaf dikenal seiring dengan perkembangan dakwah Islam di Nusantara.
Di samping melakukan dakwah Islam, para ulama juga sekaligus memperkenalkan
ajaran wakaf. Hal ini terbukti dari banyaknya masjid-masjid yang bersejarah
dibangun di atas tanah wakaf. Ajaran wakaf ini terus berkembang di bumi
Nusantara, baik pada masa dakwah pra kolonial, masa kolonial, maupun pasca
kolonial pada masa Indonesia merdeka.
Hal ini terlihat
dari kenyataan bahwa lembaga wakaf yang berasal dari agama Islam ini telah
diterima (diresepsi) menjadi hukum adat bangsa Indonesia sendiri. Masa
pemerintahan kolonial merupakan momentum kegiatan wakaf. Karena pada masa itu,
perkembangan organisasi keagamaan, sekolah, madrasah, pondok pesantren, masjid,
semuanya merupakan swadaya dan berdiri di atas tanah wakaf. Namun, perkembangan
wakaf kemudian hari tak mengalami perubahan yang berarti. Kegiatan wakaf
dilakukan terbatas untuk kegiatan keagamaan, seperti pembangunan masjid,
mushalla, langgar, madrasah, perkuburan, sehingga kegiatan wakaf di Indonesia
kurang bermanfaat secara ekonomis bagi rakyat banyak.
Walaupun
beberapa aturan telah dibuat oleh pemerintah terkait dengan mekanisme wakaf,
seperti PP Nomor 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik, akan tetapi PP
ini hanya mengatur wakaf pertanahan saja. Ini berarti tak jauh beda dengan
model wakaf pada periode awal, identik dengan wakaf tanah, dan kegunaannya pun
terbatas pada kegiatan sosial keagamaan, seperti masjid, kuburan, madrasah, dan
lain-lain.
Karena minimnya
regulasi yang mengatur tentang perwakafan, maka tidaklah heran jika
perkembangan wakaf di Indonesia mengalami stagnasi. Stagnasi perkembangan wakaf
di Indonesia mulai mengalami dinamisasi ketika pada tahun 2001, beberapa
praktisi ekonomi Islam mulai mengusung paradigma baru ke tengah masyarakat
mengenai konsep baru pengelolaan wakaf tunai untuk peningkatan kesejahteraan
umat. Ternyata konsep tersebut menarik dan mampu memberikan energi untuk
menggerakkan kemandegan perkembangan wakaf. Kemudian pada tahun 2002, Majelis
Ulama Indonesia (MUI) menyambut konsep tersebut dengan mengeluarkan fatwa yang
membolehkan wakaf uang (waqf al-nuqud).
Fatwa MUI
tersebut kemudian diperkuat oleh hadirnya UU No. 41/2004 tentang wakaf yang
menyebutkan bahwa wakaf tidak hanya benda tidak bererak, tetapi juga dapat
berupa benda bergerak, seperti uang. Selain itu, diatur pula kebijakan
perwakafan di Indonesia, mulai dari pembentukan nazhir sampai dengan
pengelolaan harta wakaf. Untuk dapat menjalankan fungsinya, UU ini masih
memerlukan perangkat lain yaitu Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri
Agama tentang Wakaf Uang yang akan menjadi juklak dalam implementasinya,
serta adanya Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang akan berfungsi sebagai sentral
nazhir wakaf. Setelah melalui proses panjang, pada penghujung tahun 2006
terbitlah PP No. 42/2006 tentang Pelaksanaan UU Wakaf. Setelah itu, pada juli
2007 keluar Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 75/M tahun 2007 yang
memutuskan dan mengangkat keanggotaan BWI periode 2007-2010.[27]
Dengan demikian, ternyata dalam perjalanan
sejarahnya, wakaf terus berkembang dan insyaAllah akan selalu berkembang
bersamaan dengan laju perubahan zaman dengan berbagai inovasi-inovasi yang
relevan dengan tetap mengedepankan dan berpandukan prinsip Syariah. Lahirnya UU
wakaf berikut peraturan turunannya merupakan titik tolak peningkatan
pemberdayaan potensi wakaf di Indonesia
ke arah yang lebih produktif dalam bingkai fiqh Indonesia.
E. Faktor Penghambat
Pemberdayaan Wakaf di Indonesia
Menurut Uswatun,[28]
terdapat beberapa faktor yang menyebabkan wakaf di Indonesia belum berperan dalam
memberdayakan ekonomi umat:
1. Masalah Pemahaman Masyarakat tentang Hukum Wakaf.
Selama ini, umat Islam masih banyak yang
beranggapan bahwa aset wakaf itu hanya boleh digunakan untuk tujuan ibadah
saja. Misalnya, pembangunan masjid, komplek kuburan, panti asuhan, dan
pendidikan. Padahal, nilai ibadah itu tidak harus berwujud langsung seperti
itu. Bisa saja, di atas lahan wakaf dibangun pusat perbelanjaan, yang
keuntungannya nanti dialokasikan untuk beasiswa anak-anak yang tidak mampu,
layanan kesehatan gratis, atau riset ilmu pengetahuan. Ini juga bagian dari
ibadah.
Selain itu, pemahaman ihwal benda wakaf juga masih
sempit. Harta yang bisa diwakafkan masih dipahami sebatas benda tak bergerak,
seperti tanah. Padahal wakaf juga bisa berupa benda bergerak, antara lain uang,
logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, dan hak sewa.
Ini sebagaimana tercermin dalam Bab II, Pasal 16, UU No. 41 tahun 2004, dan
juga sejalan dengan fatwa MUI ihwal bolehnya wakaf uang.[29]
2. Pengelolaan dan Manajemen Wakaf.
Saat ini pengelolaan dan manajemen wakaf di
Indonesia masih memprihatinkan. Sebagai akibatnya cukup banyak harta
wakaf terlantar dalam pengelolaannya, bahkan ada harta wakaf yang hilang. Salah
satu penyebabnya adalah umat Islam pada umumnya hanya mewakafkan tanah dan
bangunan sekolah, dalam hal ini wakif kurang memikirkan biaya operasional
sekolah, dan nazhirnya kurang profesional. Oleh karena itu, kajian mengenai
manajemen pengelolaan wakaf sangat penting. Kurang berperannya wakaf dalam
memberdayakan ekonomi umat di Indonesia karena wakaf tidak dikelola secara
produktif. Untuk mengatasi masalah ini, wakaf harus dikelola secara produktif
dengan menggunakan manajemen modern. Untuk mengelola wakaf secara produktif,
ada beberapa hal yang perlu dilakukan sebelumnya. Selain memahami konsepsi
fikih wakaf dan peraturan perundang-undangan, nazhir harus profesional dalam
mengembangkan harta yang dikelolanya, apalagi jika harta wakaf tersebut berupa
uang. Di samping itu, untuk mengembangkan wakaf secara nasional, diperlukan
badan khusus yang menkoordinasi dan melakukan pembinaan nazhir. Pada saat
di Indonesia sudah dibentuk Badan Wakaf Indonesia.
3. Benda yang Diwakafkan dan Nazhir (pengelola wakaf).
Pada umumnya tanah yang diwakafkan umat Islam di
Indonesia hanyalah cukup untuk membangun masjid atau mushalla, sehingga sulit
untuk dikembangkan. Memang ada beberapa tanah wakaf yang cukup luas, tetapi
nazhir tidak profesional. Di Indonesia masih sedikit orang yang mewakafkan
harta selain tanah (benda tidak bergerak), padahal dalam fikih, harta yang
boleh diwakafkan sangat beragam termasuk surat berharga dan uang. Dalam
perwakafan, salah satu unsur yang amat penting adalah nazhir. Berfungsi atau
tidaknya wakaf sangat tergantung pada kemampuan nazhir. Di berbagai negara yang
wakafnya dapat berkembang dan berfungsi untuk memberdayakan ekonomi umat, wakaf
dikelola oleh nazhir yang profesional. Di Indonesia masih sedikit nazhir yang
profesional, bahkan ada beberapa nazhir yang kurang memahami hukum wakaf,
termasuk kurang memahami hak dan kewajibannya. Dengan demikian, wakaf yang
diharapkan dapat memberi kesejahteraan pada umat, tetapi sebaliknya justru
biaya pengelolaannya terus-menerus tergantung pada zakat, infaq dan shadaqah
dari masyarakat. Di samping itu, dalam berbagai kasus ada sebagian nazhir yang
kurang memegang amanah, seperti melakukan penyimpangan dalam pengelolaan,
kurang melindungi harta wakaf, dan kecurangan-kecurangan lain, sehingga memungkinkan
wakaf tersebut berpindah tangan. Untuk mengatasi masalah ini,
hendaknya calon wakif sebelum berwakaf memperhatikan lebih dahulu apa yang
diperlukan masyarakat, dan dalam memilih nazhir sebaiknya mempertimbangkan
kompetensinya.[30]
[1] Sholeh Hayat dkk , Buku
Panduan Wakaf Nahdlatul Ulama, Lajnah Auqof NU Jawa Timur 2002, hal 1
[2]Jazuni, Hukum Islam di Indonesia, Peradilan Agama,
Kompilasi Hukum Islam dan penerapan, (Jakarta: Hanya Press, 2006), hal. 265
[3]Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Analisa Hukum Islam Bidang Wakaf, (Jakarta. 1997/1998), hal. 60-61
[4] Direktorat Pemberdayaan Wakaf, “Data Luas dan Lokasi Tanah Wakaf Nasional
Sampai Dengan Tahun 2008”, Jakarta, 22 April 2008.
[5] Mesir adalah salah satu negara yang memiliki harta wakaf cukup banyak
karena sejak masuknya Islam di Mesir, pemerintahnya selalu mengembangkan harta
wakaf. Salah satu di antara harta wakaf yang sangat besar dan cukup dikenal di
dunia Islam adalah Universitas al-Azhar yang sampai sekarang masih
diminati oleh mahasiswa dari seluruh dunia. Universitas ini didirikan pada masa
Khilafah Fathimiyyah. Perkembangan pengelolaan wakaf di Mesir sejak awal memang
sangat mengagumkan, bahkan keberhasilannya dijadikan contoh bagi pengembangan
wakaf di negara-negara lain. Wakaf di Mesir dikelola oleh Badan Wakaf Mesir
yang berada di bawah Wizaratul Auqaf (Kementerian Wakaf). Salah satu
di antara kemajuan yang telah dicapai oleh Badan Wakaf
Mesir adalah berperannya harta wakaf dalam meningkatkan ekonomi
masyarakat. Hal ini disebabkan benda yang diwakafkan beragam, baik berupa benda
tidak bergerak maupun benda bergerak, yang dikelola secara baik dan benar.
Pengelolaannya dilakukan dengan cara menginvestasikan harta wakaf di bank Islam
(jika berupa uang) dan berbagai perusahaan, seperti perusahan besi dan baja.
Untuk menyempurnakan pengembangan wakaf, Badan Wakaf membeli saham
dan obligasi dari perusahaan-perusahaan penting. Hasil pengembangan wakaf
yang ditanamkan di berbagai perusahaan tersebut di samping untuk mendirikan
tempat-tempat ibadah dan lembaga-lembaga pendidikan, juga dimanfaatkan untuk
membantu kehidupan masyarakat (fakir miskin, anak yatim, dan para
pedagang kecil), kesehatan masyarakat (mendirikan rumah sakit dan menyediakan
obat-obatan bagi masyarakat), pengembangan ilmu pengetahuan
dalam berbagai bidang, dan berbagai pelatihan. Dengan
dikembangkannya wakaf secara produktif, wakaf di Mesir dapat dijadikan salah
satu lembaga yang diandalkan pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan umat.
Sebagaimana diungkap Uswatun dengan mengutip dari Tarikh al-Daulah
al-Islamiyyah dan Idarah wa Tasmir Mumtalakat al-Auqaf.
[6] Saudi Arabia juga
mempunyai semacam Badan Wakaf yang diberi nama Majelis Tinggi Wakaf. Majelis
Tinggi Wakaf ada di bawah Kementerian Haji dan Wakaf. Majelis Tinggi Wakaf ini
diatur dengan Ketetapan No. 574 tanggal 16 Rajab 1386 sesuai dengan Surat
Keputusan Kerajaan No. M/35, tanggal 18 Rajab 1386. Adapun wewenang Majelis
Tinggi Wakaf antara lain mengembangkan wakaf secara produktif dan
mendistribusikan hasil pengembangan wakaf kepada mereka yang berhak. Sehubungan
dengan hal itu, Majelis Tinggi Wakaf juga mempunyai wewenang untuk membuat
program pengembangan wakaf, pendataan terhadap aset wakaf serta memikirkan cara
pengelolaannya, menentukan langkah-langkah penanaman Modal, dan
langkah-langkah pengembangan wakaf produktif lainnya, serta mempublikasikan
hasil pengembangan wakaf kepada masyarakat. Lihat Uswatun Hasanah, Wakaf
Produktif Untuk Kesejahteraan dalam Perspektif Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta:
Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar di Universitas Indonesia, 6 April 2009),
hal. 32.
[7] Di Turki, wakaf dikelola oleh Direktorat
Jenderal Wakaf. Dalam mengembangkan wakaf, pengelola
melakukan investasi di berbagai perusahaan, antara lain: Ayvalik and Aydem
Olive Oil Corporation; Tasdelen Healthy Water Corporation; Auqaf Guraba
Hospital; Taksim Hotel (Sheraton); Turkish Is Bank; Aydin Textile Industry;
Black Sea Copper Industry; Contruction and Export/Import Corporation; Turkish
Auqaf Bank. Hasil pengelolaan wakaf itu kemudian dimanfaatkan untuk
kepentingan pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat, dan kepentingan
sosial lainnya. Uswatun Hasanah, Ibid., hal. 11.
[8] Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, jil.
11. (Kairo: al-Dar al-Misriyyah li al-Ta’lif wa al-Tarjamah, 1954), hal. 276.
[9] Muhammad Abid Abdullah al-Kabisi, Ahkam
al-Waqf fi al-Syariah al-Islamiyah. (Baghdad: Mathba’ah al-Irsyad, 1977). Alih bahasa Ahrul Sani Faturrahman dkk,
judul Indonesia: Hukum Wakaf, (Jakarta: DD Republika dan IIMan, 2004), hal. 37
[11] Al-Imam Kamal al-Din Ibn ‘Abd al-Rahid al-Sirasi Ibn al-Humam, Sharh
Fath al-Qadir, jil. 6. (Beirut: Dar al- Kutub al-‘Ilmiyyah, 1970), hal.
203.
[12] Syams al-Din al-Syaikh Muhammad al-Dasuqi, Hasyiyah al-Dasuqi ‘ala
al-Syarh al-Kabir, juz 2. (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), hal. 187
[13] Muhammad al-Khatib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 2.
(Kairo: Syarikah Maktabah wa Matba‘ah Mustafa al-Babi al-Halabi wa Awladih,
1958), hal. 376.
[14] Sebagaimana dikutip al-Kabisi dengan merujuk pada karya al-Qalyubi,
Hasyiyatu al-Qalyubi ala syarh al-muhalla li al-Minhaj.
[15] Ibn Qudamah, Al-Mughni
Wa al-Syarh al-Kabir, jil.
6. (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Arabi, 1972), hal. 185.
[16] Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf pasal 1 ayat 1.
[17] Wakaf disyariatkan pada tahun ke-2 Hijriyah. Sebagian ulama berpendapat
bahwa pelaksanaan wakaf pertama dilakukan oleh Umar ibn Khaththab terhadap
tanahnya yang terletak di Khaibar, sebagian lain berpendapat bahwa pelaksanaan
wakaf pertama dilakukan oleh Rasulullah SAW untuk dibangun masjid. Ismail bin
Umar bin Kasir, Tafsir Ibnu Katsir, (Riyad: Dar al-Salam, 2001), Juz
I, hal. 381; Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr, 1983);
Imam Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam. (Bandung:
Maktabah Dahlan, tt.), hal. 87.
[22] Bagian keenam pasal 15-16.
[23] Al-Kabisi, op.cit., hal. 13.
[24] Ibid., hal. 14
[25] Sebagaimana dikutip Al-Kabisi dari Syarh Minah al-Jalil ala
Mukhtashar Khalil, karya Muhammad Ahmad Alisy, Mesir: Penerbit al-Kubra, 1294H,
jilid 3, h. 35. Sebagaimana dikutip Al-Kabisi dari Syarh Minah al-Jalil ala
Mukhtashar Khalil, karya Muhammad Ahmad Alisy, Mesir: Penerbit al-Kubra, 1294H,
jilid 3, h. 35.
[26] Lihat Habib Ahmed, Role of Zakah and Awqaf in Poverty
Alleviation. (Jeddah: IRTI, 2004), hal. 30
[27] Tholhah Hasan (2009), “Perkembangan Kebijakan
Wakaf di Indonesia”, dalam Republika, Rabu, 22 April
2009, accessed 3 Juli 2009.
[28] Uswatun, op.cit., hal. 17-18.
[29] Abdullah Ubaid Matraji (Staf Divisi Humas Badan Wakaf Indonesia),
Republika Newsroom, Kamis, 05 Februari 2009, accessed 3 Juli 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar