PENDAFTARAN SEBAGAI KEPASTIAN HUKUM DALAM PENGELOLAN
TANAH WAKAF
Oleh:
Abdul
Jabar*
Abstrak
Pendaftaran tanah wakaf merupakan
hal yang perlu dan harus dilakukan demi untuk memperoleh sertifikan dan kepastian
hukum dalam pengelolaan tanah wakaf, sertifikat akan memberikan kepastian
berkenaan dengan jenis, subyek dan obyeknya. Sertifikat dapat dijadikan sebagai
alat bukti yang kuat apabila obyek atas tanah tersebut dikemudian hari menjadi
sengketa dan juga status tanah tersebut akan memperoleh kepastian hukum. Dalam pelaksanaan
pendaftaran tanah wakaf sistem pendaftaran tanah yang dianut adalah sistem
pendaftaran publikasi negatif, sistem ini masih sangat rawan dari gugatan dan pembatalan oleh pihak lain
Kata
Kunci : Pendaftaran, Kepastian hukum,
Pengelolaan, Tanah Wakaf
Pendahuluan
Sejarah
menunjukkan bahwa tanah memiliki hubungan dan arti yang sangat penting bagi
kehidupan umat manusia, maka tidak berlebihan bila dikatakan bahwa seluruh
kehidupan umat manusia selalu berhubungan dengan yang namanya tanah, manusia berasal
dari tanah, lahir juga diatas tanah, bertempat tinggal, bekerja mencari nafkah
bahkan ketika meninggalpun akan terus berhubungan dan berurusan dengan masalah tanah. Hal ini menunjukkan bahwa tanah
merupakan hal yang perlu dijadikan sebagai obyek pengetahuan.
Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang
Undang-undang Pokok Agraria ( LN 1960 No.
104 ) memberikan pengaturan secara khusus mengenai wakaf atas tanah yang diatur dalam ketetuan Pasal 5. Pasal ini mengatur
mengenai kewajiban-kewajiban pembentuk undang-undang untuk mengindahkan
unsur-unsur dalam hukum Agama. Dalam Bab XI tentang hak milik untuk keperluan
suci dan social, pada Pasal 49
ditegaskan bahwa perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan
Pemerintah. Makna dan fungsi juga ditegaskan dalam Pasal 5 Undang-undang No. 41
Tahun 2004 tantang Wakaf dimana dalam
ketentuan tersebut ditegaskan bahwa wakaf memiliki fungsi untuk memwujudkan
potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan
untuk mewujudkan kepentingan umum.
Sejak Islam datang ke Indonesia, perwakafan diatur menurut
hukum Islam. Pada tahun 1905 ada Edaran
Pemerintah Kolonial Belanda berupa Beijblad,
yang disusul dengan beijblad-beijblad
tahun 193, 1934 dan 1935 yang menentukan agar perwakafan tanah harus
memberitahukan kepada pemerintah agar wakaf tidak terkena rencana perubahan
yang akan dibuat pada masa sesudahnya. Dengan pemberitahuan tersebut pemerintah
dapat menunjuk tanah yang diwakafkan supaya tidak terkena gusuran atau
kepentingan pemerintah lainya sehingga wakaf dapat berfungsi untuk selama-lamanya[1].
Peraturan yang dikeluarkan pemerintah Belanda tersebut tidak menggubah (memperbaiki) ketentuan perwakafan dalam
kitab-kitab fikih, sehingga setelah meninggalnya wakif muncul beberapa pengaruh
yang dapat mengubah status wakaf. [2]
Kata wakaf (al-waqf)
secara harfiah adalah sinonim dari kata al-habsu
yang berarti menahan, menghentikan atau berdiam di tempat. Menurut istilah,
wakaf adalah menahan pokok (modal)
dan menjalankan (memanfaatkan) hasil,
yakni menahan harta dan men-tasharruf-kan
manfaatnya untuk jalan Allah.[3] Sedangkan
dalam KHI mendifinisikan wakaf sebagai perbuatan hukum seseorang atau kelompok
orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan
melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan
umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam hal ini ditegaskan dalam Pasal
215 ayat 1 KHI. Dalam kaitan dengan wakaf atas tanah pegertian wakaf tersebut
diatas mengandung makna bahwa hak atas tanah tersebut menjadi bersifat abadi
semata-mata untuk kepentingan Agama atau dengan kata lain hak atas tanah wakaf tersebut secara hukum tidak bisa beralih atau
dialihkan lagi karena tanah wakaf tersebut sudah menjadi milik Agama / Allah.
Dalam
pelaksanaan perwakafan tanah hak milik di Indonesia yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan tanah Hak milik, salah satu
pertimbangan untuk mengeluarkan peraturan pemerintah tersebut adalah bahwa
wakaf merupakan suatu lembaga keagamaan yang dapat dipergunakan sebagai salah
satu sarana guna pengembangan kehidupan keagamaan, khususnya bagi umat yang
beragama Islam dalam rangka mencapai
kesejahteraan sprituil dan materiil menuju masyarakat adil dan makmur yang
berdasarkan Pancasila.
Terkait
dengan pendaftaran tanah wakaf sesuai
dengan ketentuan Pasal 14 ayat 1 huruf b dan Pasal 49 ayat 3 UU No. 5 Tahun
1960, maka dipandang perlu untuk
mengatur tata cara dan pelaksanaan pendaftaran perwakafan tanah hak milik
dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah hak milik beserta aturan pelaksanaanya lebih lanjut mengatur
mengenai prosedur perwakafan tanah hak milik termasuk didalamnya kewajiban untuk
mendaftarkan.
Lembaga wakaf yang disebut dalam istilah Belanda vrome stichtig telah diterima (gerecipieerd) di banyak daerah di
nusantara.[4] Kajian yuridis dalam tulisan ini diharapkan
dapat memberikan suatu konstribusi guna peyempurnaan peraturan wakaf atas
tanah, khusus dalam aspek pendaftaran dan pengelolaan tanah wakaf, bertitik
tolak dari latar belakang permasalahan diatas, maka permasalahan yang akan
dikaji dalam tulisan ini adalah apakah pendaftaran tanah wakaf dapat memberikan
kepastian hukum secara mutlak dalam pegelolaan tanah wakaf ?
Pendaftaran Tanah Wakaf
Pada tanggal 24 September 1960 telah diundangkan Undang-undang
Pokok-Agraria, yaitu undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang
Pokok Agraria (lembaran Negara Tahun 1960 No.104) dan Tambahan Lembaran Negara No.
2043. Undang-undang ini merupakan merupakan pengganti hukum Agraria warisan
pemerintah Belanda.
Undang-undang
No. 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria tersebut mempunyai tujuan
(a) meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum Agraria nasional yang
merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagian dan keadilan bagi Negara
dan rakyat terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur (b)
meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum
pertanahan dan (c) meletakkan dasar-dasar
untuk memberikan kepastian hukum
mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Secara
tegas Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang
Undang-undang Pokok Agraria (LN 1960
No.104) ini memberikan pengaturan khusus akan masalah wakaf tanah yang
diatur di dalam Pasal mengenai kewajiban pembentuk undang-undang untuk
mengindahkan unsur-unsur yang berdasaran pada hukum Agama yang diatur di dalam
Bab XI tentang hak atas tanah untuk keperluan suci dan social, pada Pasal 49
ditegaskan bahwa (1); hak milik atas tanah badan-badan keagamaan dan social
sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan diakui dan dilindungi
(2); Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk
bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan social (3) untuk memperoleh
peribadatan dan keperluan suci lainya sebagai dimaksud dalam pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung
oleh Negara dengan hak pakai (4) Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Wakaf
merupakan lembaga khas dalam hukum Islam yang berkembang di Indonesia dan
diatur dalam berbagai bentuk Peraturan sejak Jaman Hindia Belanda hingga
sekarang, dengan adanya pengaturan mengenai wakaf melalui hukum positif
tersebut maka wakaf yang merupakan lembaga keagamaan yang berpedoman pada hukum
Islam semata, akan tetapi kedudukannya sekarang sudah ditingkatkan sebagai
suatu lembaga formal didalam hukum agrarian nasional. Dengan demikian segala
sesuatunya harus memenuhi segala macam persyaratan formal yang telah ditentukan
dalam berbagai peraturan tentang perwakafan berdasarkan hukum formal.
Namun harus diakui walaupun persyaratan-persyaratan formal
sudah dipenuhi akan tetapi masalah- masalah perwakafan masih sering ditemui
selama ini utamanya yang berkaitan dengan (a) kurangnya kesadaran masyarakat
tentang pentingnya pencatatan perwakafan, (b) pelaksanaan perwakafan tidak di
administrasikan dengan baik (c) terjadi penyerobotan tanah wakaf oleh oknum
yang tidak bertanggung jawab (d) terjadinya perselisihan antara ahli waris wakif dengan nadzir (e)
terjadinya penggusuran tanah wakaf yang tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.[5]
Dalam konsideran undang-undang No 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang
Pokok Agraria dibawah kata berpendapat dikemukakan bahwa perlu adanya hukum
Agraria yang menjamin kepastian hukum hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat.
Hal yang sama disebutkan pula dalam penjelasan umum UUPA angka 1 mengenai
tujuan pokok UUPA. Berbicara mengenai kepastian hukum dalam pendaftaran tanah
menurut konsep hukum agraria, menurut Boedi Harsono pendaftaran tanah yang
diperintahkan oleh UUPA tidak menggunakan sistem publikasi positif yang
kebenaran data yang disajikan dijamin oleh Negara melainkan menggunakan sistem publikasi
negatif. [6]
Selesainya pendaftran tanah maka akan menghasilkan
sertifikat hak atas tanah, terbitnya sertifikat hak atas tanah menurut Mochtar
Wahid, maka kepastian berkenaan dengan jenis hak atas tanahnya, subyek hak dan obyek haknya menjadi nyata oleh
karena itu dibandingkan dengan alat bukti tulis lainya sertifikat merupakan
tanda bukti yang kuat artinya harus dianggap benar sampai dibuktikan sebaliknya
dipengadilan dengan bukti yang lain. [7] Sistem
publikasi negatif yang dianut oleh UUPA sebenarnya tidak memberikan kepastian
hukum bagi pemegang hak, sehingga keberadaan dari hak atas tanah, dalam hal ini
adalah tanah wakaf masih terbuka lebar
untuk digugat dan dibatal.
Akan tetapi pedaftaran tetap merupakan hal yang penting hal
ini diperkuat dengan perintah pasal 19 UUPA yang menegaskan bahwa:
1.
untuk menjamin kepastian hukum oleh
pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia
menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah
2.
pendaftaran tanah tersebut diatur dalam
ayat 1 pasal ini meliputi (a) pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah (b)
pendaftaran hak-hak atas taah dan peralihan hak-hak tersebut, dan (c) pemberian
surat-surat tanda bukti hak, yang merupakan alat pembuktian yag kuat.
3.
pendaftaran tanah diselenggarakan dengan
mengingata keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas social ekonomi serta kemungkinan
penyelenggaraanya menurut pertimbangan Menteri Agraria
4.
dalam peraturan pemerintah diatur
biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran dimaksud dalam ayat 1 diatas,
dengan ketentuan bahwa rakya yang tidak mampu dibebaskan dari biaya-biaya
tersebut.
Inti
dari ketentuan Pasal 19 UUPA ialah guna
menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah yang
meliputi (a) pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah; (b) pendaftaran hak-hak
atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut (c) Pemberian surat-surat tanda bukti
hak, yang berlaku sebagai alat bukti yang kuat.
Menurut
ketentuan PP No. 24 Tahun 1997 pendaftran tanah adalah rangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur,
meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan
data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang
tanah dan satuan rumah susun, termasuk pemberian surat-surat tanda bukti
haknya, yang disebut sertifikat, bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada
haknya, serta hak–hak tertentu yang membebaninya.
Pasal
3 PP No. 24 Tahun 1997 mengatur lebih lanjut ketentuan-ketentuan yang ada dalam
Pasal 19 ayat 1 UUPA yakni;
a. untuk
memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas
tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah
dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan
b. guna
menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemeritah
agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan
perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun yang sudah
terdaftar
c. untuk
terselenggaranya tertib administrasi pertanahan
Ketentuan
PP No. 24 Tahun 1997 telah memperkaya ketentuan Pasal 19 UUPA, yaitu;
a. dengan
diterbitkannya sertifikat hak atas tanah maka pemilik sertifikat hak atas tanah
akan mendapat kepastian hukum dan perlindungan hukum
b. Kantor
Pertanahan sebagai kantor di garis depan di zaman informasi ini haruslah
terpelihara dengan baik setiap iformasi yang diperlukan untuk suatu bidang
tanah, baik untuk pemerintah sendiri sehingga apat merencanakan pembangunan
Negara dan juga masyarakat sendiri informasi itu sangat penting untuk dapat
memutuskan sesutau yang diperlukan. Dimana terlihat tanah, yaitu data fisik dan
yuridisnya termasuk untuk satuan rumah susun. Informasi tersebut bersifat
terbuka untuk umum artinya dapa diberikan informasi apa saja yang diperlukan
atas sebidang tanah/bangunan yang ada
c. Sehingga
untuk itu perlulah tertib administrasi pertanahan dijadiakan suatu hal yang
wajar
Pada
Pasal 9 PP No. 24 Tahun 1997 ditegaskan bahwa obyek pendaftaran tanah yang
harus didaftarakan adalah;
a. Bidang-bidang
tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak
pakai
b. Tanah
hak pengelolaan
c. Tanah
wakaf
d. Hak
milik atas satuan rumah susun
e. Hak
tanggungan
f.
Tanah Negara ( pendaftaranya dilakukan
dengan cara membukukan bidang tanah yang merupakan tanah Negara dalam daftar
tanah
Dengan
adanya pelaksanaan pendaftaran hak atas tanah maka pihak-pihak yang mempunyai
tanah akan dengan mudah dapat membuktikan hak atas tanahnya atau dengan kata
lain pelaksanaan pendaftaran hak atas tanah akan memberikan kepastian hukum
bagi pemegang hak atas tanah, disamping itu bagi pihak lain yang menghendaki
informasi mengenai tanah yang sudah didaftar dengan seluk beluknya yang berkaitan
dengan tanah, yang bersangkutan akan dengan mudah mengetahuinya karena di
Kantor Pertanahan data tersebut terbuka
untuk umum berdasakan asas Openbaarheid
dalam pelaksanaan pendaftaran tanah.
Keharusan
untuk pendaftaran tanah wakaf sebenarnya telah ada sejak tahun 1905 yang
mengharuskaun tanah wakaf didaftarkan di tiap-tiap kabupaten, sampai pada tahun
1931 peraturan ini tidak banyak
dijalankan oleh para Bupati bahkan sampai tahun 1935, peraturan penaftaran
wakaf belum berjalan dengan sesuai dengan harapan, oleh karena masih dihadapkan
beberapa hambatan, antara pemerintah Kolonial Belanda dengan penduduk Indonesia
yang beragama Islam.[8] Pendaftaran
tanah wakaf ini di samping untuk mendapatkan kepastian hukum juga harus
diberlakukan secara sempurna terhadap fakta normatif yang banyak terjadi
seperti terlantarnya harta wakaf atau pengelolaan harta wakaf yang tidak layak
hukum, seperti halnya pihak Nadzir yang
merubah peruntukan atau status tanah wakaf tanpa alasan yang meyakinkan.
Pelaksanaan Perwakafan Tanah
Menurut ketentuan Pasal 6 Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf, wakaf dapat dilaksanakan apabila telah memenuhi unsusr-unsur tentang
wakaf, unsur-unsur tersebut yaitu (a) adanya wakif, (b) adanya Nazhir ) (c) adanya harta
benda wakaf (d) adanya ikrar wakaf (e) perutukan harta benda wakaf (f) jangka
waktu wakaf. Unsur-unsur tersebut bersifat komulatif artinya wakaf dapat
dilaksanakan apabila semua unsur-unsur tersebut terpenuhi, kalau tidak maka
pelaksanaan wakaf batal secara hukum.
Dalam
Pelaksanaan perwakafan tanah, calon/Pihak yang hendak mewakafkan tanah harus
datang dihadapan Pejabat pembuat Akta Ikrar Waka (PPAIW) untuk melaksanakan ikrar wakaf (Pasal 1 ayat 1 PP No 28 Tahun 1977 jis) Untuk mewakafan
tanah hak milik calon wakif harus mengikrarkan secara lisan, jelas dan tegas
kepada Nadzir yang telah diserahkan dihadapan PPAIW yang mewilayahi tanah wakaf
dan dihadiri saksi-saksi dan selanjutnya
menuangkannya dalam bentuk tertulis menurut bentuk W 1. Sedangkan bagi
mereka yang tidak mampu menyatakan kehendaknya secara lisan dapat menyatakan
dengan isyarat.
Menurut Zamakhsyari Dhofier pengikraran wakaf berarti
menjadikan obyek wakaf sebagai milik Tuhan yang harus dipakai seamata-mata
untuk tujuan keagamaan [9]. Isi dan bentuk Ikra Wakaf ditetapkan oleh
Menteri Agama (Pasal 9 (3) PP 28 Tahun 1977, Bentuk dan isi ikrar wakaf telah
ditentukan dalam peraturan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam taggal
18 April 1978 No. Kep/D/75/78. Sementara
untuk Calon Wakif yang tidak dapat datang dihadapan PPAIW dapat membuat ikrar wakaf secara tertulis
dengan persetujuan Kandepag yang mewilayahi tanah wakaf serta diketahui
saksi-saksi (Pasal 5 ayat 2 PP No. 28 Tahun 1977 jis Pasal 2 Pemenag No. 1
Tahun 1978). Dalam pelaksanaan ikrar
wakaf tanah ada dua macam akta ikrar wakaf pertama,
akta ikrar wakaf dimana pelaksanaan
wakaf tanah langsung dilakukan oleh pihak pemilik hak atas tanah dan yang kedua, akta ikrar wakaf pengganti yaitu
pelaksanaan wakaf atas tanah dilakukan
oleh pihak ahli waris dari pemilik tanah.
Pada penjelasan Pasal 9 PP No 28 Tahun 1977 ditegaskan
bahwa pasal ini mengharuskan adanya perwakafan dilakukan secara tertulis tidak
cukup hanya dengan ikrar wakaf lisan saja. Tujuannya adalah untuk memperoleh
bukti yang otentiek yang dapat dipergunakan untuk berbagai persoalan seperti
untuk bahan pendaftaran pada Kantor Sub Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya
dan untuk keperluan penyelesaian sengketa dikemudian hari tentang tanah yang
telah diwakafkan.
Untuk keperluan kelancaran dalam proses perwakafan seseorang
yang hendak mewakafkan tanah harus membawa serta tanda-tanda bukti pemilikan berupa
sertifikat / kitir tanah ) dan
surat-surat lain yang menjelaskan tidak adanya halangan untuk melakukan
perwakafan atas tanah milik tersebut. Untuk keperluan tersebut maka diperlukan
pejabat-pejabat yang khusus melaksanakan pembuatan aktanya. Demikian pula
mengenai bentuk dan isi ikrar wakaf perlu dibuat secara seragam (penjelasan Pasal 9 PP 28 Tahun 1977).
Pasal 9 PP 20 Tahun 1977 menegaskan bahwa pelaksanaan ikrar dan pembuatan Akta
Ikrar Wakaf dianggap syah jika dihadiri dan disaksikan sekurang-kurangnya 2
saksi ( dua ) orang yang telah dewasa, sehat akalnya dan oleh hukum tidak
terlarang untuk melakukan perbuatan hukum (Pasal 4 Permenag No. 1 Tahun 1978)
dan ini sudah merupakan persyaratan hukum formal secara umum. Setelah ada ikrar
wakaf, PPAIW akan membuat Akta Ikrar Wakar menurut bentuk W 2 rangkap 3 (tiga)
dan salinannya menurut bentuk W.2.a rangkap 4 (empat). Tanah yang hendak
diwakafkan baik seluruhnya ataupun sebagian harus merupakan tanah hak
milik dan harus bebas dari beban ikatan,
jaminan, sitaan atau sengketa atau dengan kata lain harus terlebih dahulu bebas
dari persoalan hukum.
Pasal 9 ayat 5 PP No 28 Tahun 1977 ditegaskan bahwa dalam
melaksanakan ikrar seperti yang dimaksud ayat 1 pihak yang mewakafakan tanah
diharuskan membawa serta dan menyerahkan kepada Pejabat tersebut dalam ayat 2 berupa
surat-surat sebagai berikut: (a) sertifikat hak milik atau tanda bukti
pemilikan tanah lainya (b) surat keterangan dari Kepala Desa yang diperkuat
oleh Kepala Kecamatan setempat yang menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan
tidak tersangkut sesuatu sengketa (c) Surat keterangan pendaftaran tanah (d)
Izin dari Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq Kepala Sub Direktorat Agraria
setempat (Pasal 9 ayat 5).
Apabila akta ikrar wakaf telah dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan, maka Pejabat Pembuat Akta Ikra Wakaf atas nama Nadzir yang
bersagkutan, diharuskan mengajukan permohonan kepada Bupati/Walikotamadya
Kepala Daerah cq Kepala Sub Direktorat Agraria setempat untuk mendaftar
perwakafan tanah milik yang bersangkutan menurut ketentuan Pasal 10 PP 28 Tahun
1977. Permohonan harus disampaikan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 3
bulan sejak dibuatnya akta ikrar wakaf (Pasal 3 Permedagri No. 6 Tahun 1977.
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq. Kepala Sub Direktorat Agraria setempat,
setelah menerima permohonan tersebut dalam ayat 1 mencatat perwakafan tanah
milik yang bersangkutan dalam buku tanah dan sertifikatnya.
Jika tanah milik yang diwakafkan belum mempunyai sertifikat
maka pencatatan yang dimaksud dalam ayat 2 dilakukan setelah tanah tersebut
dibuat sertifikatnya, setelah dilakukan pencatatan perwakafan tanah milik dalam
buku tanah dan sertifikatnya, maka Nadzir yang bersangkutan wajib melapornya
kepada orang yang mau mendaftarkanya, maka Kepala Desa tempat tanah tersebut
harus mendaftarkanya kepada KUA setempat. Pelaksanaan Pendaftaran harus
disertai (a) surat keterangan tentang tanah atau surat keterangan Kepala Desa
tentang perwakafan, tanah tersebut (b) dua orang yang menyaksikan ikrar wakaf
atau saksi-saksi istifadhah (yang
mengetahui atau mendengar tentang perwakafan).
Kepala KUA selaku Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf harus (a)
meneliti keadaan tanah wakaf; (b) meneliti dan mengesahkan Nadzir (c) meneliti
saksi-saksi ( d ) menerima penyaksian tanah wakaf (e) membuat akta pengganti
akta ikrar wakaf (f) membuat salinan akta pengganti akta ikrar wakaf (g)
menyampaikan akta pengganti ikrar wakaf lembar kedua kepada Bupati / Walikotamadya Kepala Daerah cq
Kepala sub Direkorat Agraria setempat sebagai lampiran perohonan pendaftaran (h)
mengirimkan akta pengganti akta ikrar wakaf lembar ke tiga kepada Pengadilan
Agama yang mewilayahi tanah wakaf (i) menyampaikan salinan akta pengganti akta
ikrar wakaf lembar pertama kapada wakif atau ahli warisnya.
Untuk biaya administrasi dan pencatatan tanah wakaf untuk
penyelesaian administrasi perwakafan tanah di KUA Kecamatan termasuk formulir
tidak dikenakan, kecuali bea meteri menurut ketentuan yang berlaku. Untuk
penyelesaian pendaftaran dan perwkafan tanah di Kantor Sub. Direktorat Agraria tidak dikenakan biaya, kecuali biaya
pengukuran dan biaya meterei menurut ketentuan yang berlaku.
Pengelolan Tanah Wakaf
Pengaturan
khusus akan masalah wakaf dalam UUPA dalam hal mengenai kewajiban-kewajiban
pembentuk undang-undang untuk mengindahkan unsur-unsur yang berdasarkan pada
hukum agama. Dan dalam Bab XI tentang Hak Milik untuk Keperluan suci dan sosial
pada Pasal 49. Pasal ini memberikan
tempat khusus bagi hak-hak yang bersangkutan dengan kegiatan-kegiatan
keagamaan,dan juga memberikan ketegasan terhadap soal-soal yang bersangkutan
dengan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainya.
Dengan dikeluarkan Peraturan Pemerintah
No. 38 Thaun 1963 tentang penunjukan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak
milik atas tanah, diatur badan-badan hukum yang dapat memiliki tanah sebagai
realisasi pasal 21 ayat 2 UUPA, dalam PP tersebut ditegaskan penentuan mengenai
tanah wakaf menjadi kompetensi Departemaen Agraria dan Departemen Agama. Untuk
itu dalam lingkungan Departemen Agama telah dibentuk Lembaga Perecana dan
Bimbingan Wakaf / Zakat, juga telah dikeluarkan Edaran Menteri Agama No.
S/I/7103, yang ditujukan kepada semua
Partai ormas Islam, Pondok Pesanteren, Badan Wakaf, Perguruan Tinggi Islam
serta Badan Keagamaan Islam Lainyabahwa badan–badan hukum yang ingin memiliki
hak milik tanah hendaknya mengajukan permohonan kepada Menteri Agraria,
memlalui Menteri Agraria c.q. Lembaga Perencanan dan Bimbingan Wakaf.
Apabila telah dilakukan pendaftaran tanah wakaf, aspek
penting lainnya ialah aspek pengelolaan tanah, mengkaji pengelolaan tanah wakaf
dalam hukum Agraria Nasional, tidak bisa melepaskan diri dari mengkaji pengelolanya
sendiri, pengelola tanah wakaf yang disebut dengan istilah Nadzir. Pasal 2
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 menegaskan bahwa fungsi wakaf adalah
mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf. Dengan kekalnya
harta wakaf maka manfaat tanah yang diwakafkan agar dapat dinikmati untuk
selama-lamanya. Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977
tentang Perwakafan untuk tanah Milik telah terjadi suatu perubahan di bidang
perwakafan tanah, yakni perwakafan tanah milik diatur, ditertibkan dan
diarahkan sehingga benar-benar memenuhi hakekat wakaf adalah pendekatan kepada
tuhan (qurbah).[10]
Sedangkan aspek terpenting dari pengelolaan wakaf ialah peran serta Nadzir
sebagai top manajer yang menentukan, mengendalikan manajerial perwakafan sehingga berdaya guna
dan behasil guna, mengingat kedudukan penting dari Nadzir, PP No 28 Tahun 1977
menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai Nadzir.
Susuan Nadzir
Nadzir
ada yang terdiri dari perorangan dan ada yang berbentuk Badan Hukum, Nadzir
perorangan, adalah Nadzir yang terdiri dari perorangan harus merupakan suatu
kelompok atau suatu pengurus sekurangkurag 3 (tiga) orang, salah seorang
diantaranya menjadi ketua. Jumlah Nadzir perorangan dalam suatu Desa ditetapkan
satu Nadzir, jumlah Nadzir dalam suatu
Kecamatan ditetapkan sebanyak-banyaknya sejumlah desa yang terdapat di Kecamata
tersebut, sedangkan apabila Nadzir Badan Hukum, jumlah Nadzir yang berbentuk
Badan Hukum ditentukan sebanyak-banyaknya sejumlah Badan Hukum yang ada di
Kecamatan tersebut.
Syarat-syarat Nadzir
Nadzir
perorangan harus terdiri dari orang-orang yang memenuhi syarat sebagai berikut
(a) warga Negara Republik Indonesia, (b) Beragama Islam (c) sudah dewasa (d)
sehat jasmani dan rohani (e) tidak berada dibawah pengampuan(f) bertempat
tinggal di Kecamatan tempat letaknya tanah yang diwakafkan sedangkan Nadzir
Badan hukum harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut (a) badan hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, (b) mempunyai perwakilan di Kecamatan
tempat letaknya tanah yang di wakafkan (c) Badan Hukum yang tujuan dan alamat
usahanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluaan umum lainnya, sesuai dengan ajaran Agama
Islam.
Berdasarkan adanya berbagai persyaratan yang ditetapkan untuk
menjadi Nadzir dalam PP ini adalah dimaksudkan agar pengurus dan pengelolan
wakaf baik yang terdiri dari kelompok perorangan maupun suatu badan hukum dapat
menjalankan fungsinya dengan baik. Nadzir perorangan maupun Nadzir Badan Hukum
harus didaftarkan pada KUA Kecamatan setempat guna untuk mendapatkan pengesahan
(Pasal 6 ayat 3 PP No. 28 Tahun 1977). Hal ini guna menghindari kemungkinan
adanya penyimpangan terhadap perwakafan tanah milik dari ketentuan-ketentuan
yang telah ditetapkan.
Pasal
7 Peraturan No. 28 Tahun 1977 menentukan tugas dan kewajiban Nadzir yang
meliputi (1) Nadzir berkewajiban utuk mengurus dan mengawasi kekayaan wakaf
serta hasilnya menurut ketentuan-ketentuan yang diatur lebih lanjut oleh
Menteri Agraria sesuai dengan tujuan wakaf (2) Nadzir berkewajiban membuat
laporan-laporan secara berkala atas semua hal yang menyangkut kekayaan wakaf (3)
tata cara pembuatan laporan diatur lebih lanjut oleh Menteri Agraria.
Pasal 10 Peraturan Menteri Agrari No 1 Tahun 1978 lebih
rinci lagi menentukan :
1. Nadzir berkewajiban mengurus dan mengawasi harta kekayaa wakaf dan hasilnya
meliputi (a) menyimpan lembar salinan akta ikrar wakaf (b) memelihara tanah
wakaf (c) memanfaatkan tanah wakaf (d) memanfaatkan dan berusaha meningkatkan
hasil wakaf (e) menyelenggarakan pembukuan/administrasi yang meliputi (1) buku
catatan tentang keadaan tanah wakaf (2) buku catatan tentang pengelolaan dari
hasil tanah wakaf (3) buku catatan tentang penggunaan hasil tanah wakaf
2. Nadzir
berkewajiban melaporkan (a) hasil
pencatatan perwkafan tanah ilik dalam buku tanah dan sertifikatnya kepada
Kepala KUA (b) perubahan status tanah milik yang telah diwakafkan dan perubahan
penggunaannya akibat ketentuan Pasal 12
dan 13 peraturan ini sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 11 ayat 3 Peraturan Pemerintah (c) Pelaksanaan
kewajiban tersebut dalam ayat 1 Pasal ini kepada kepala KUA tiap satu tahu
sekali yaitu tiap akhir bulan Desember.
3. Nadzir
berkewajiban pula untuk melaporkan adanya seorang anggota Nadzir yang berhenti
dari jabatanya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 ayat 2 peraturan ini.
4. Bilamana
jumlah anggota Nadzir kelompok karena berhentinya salah seorang anggota atau
lebih berakibat idak memenuhi syarat sebagaimana yang diatur dalam pasal 8 ayat
1 peraturan ini anggota Nadzir lainnya berkewajiban mengusulkan penggantinya
utuk disahkan oleh Pejabat Pembuat akta ikrar wakaf.
Jadi
secara terinci Nadzir mempunyai kewajiban mengurus dan mengawasi harta kekayaan
wakaf dan hasilnya. Dalam mengurus dan mengawasi harta kekayaan wakaf, Nadzir
wajib (a) menyimpan dengan baik lembaran kedua salinan akta ikrar wakaf (b)
memelihara dan memanfaatkan tanah wakaf
serta berusaha meningkatkan hasilnya; dan (c) menggunakan hasil-hasil wakaf
sesuai dengan ikrar wakaf. Untuk mengerjakan pengurusan dan pengawasan harta
kekayaan wakaf, Nadzir wajib menyelenggarakan pembukuan;
1. Buku
catatan keadaan tanah wakaf, menurut W. 6
2. Buku
catatan tentang pengeolaa dan hasil tanah wakaf menurut bentuk W.6. a
3. Membuat
laporan hasil pencatatan tanah wakaf yang diurusnya dan penggunaan dari
hasil-hasil tanah wakaf pada akhir bulan Desember setiap tahun kepada KUA
setempat yang merupakan rekapitulasi dari bentuk W. 6., W.6.a dan W.^.b
4. Memberikan
laporan perubahan anggota Nadzir, apabila ada salah seorang anggota Nadzir (a)
meninggal dunia (b) mengundurkan diri (c) melakukan tindak pidana kejahatan
yang berhubungan dengan jabatannya sebagai Nadzir, (d) tidak memenuhi syarat
lagi (e) tidak dapat lagi melakuakan kewajiban . Mengusulkan pengganti apabila
jumlah anggota perorangan menjadi kura dari 3 (tiga) orang
5. Mengajukan
permohonan kepada Kanwil Departemen Agama cq Kepala Bidang Urusan Agama Islam
melalui Kepala KUA dan Kantor Departemen Agama apabila diperlukan perubahan
penggunaan tanah wakaf karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti
diikrarkan oleh wakif atau oleh karena kepentingan umum;
6. Mengajukan
permohonan / perubahan status tanah wakaf kepada Menteri Agama melalui kepala
KUA , Kandepag dan Kanwil Depag dengan memberikan keterangan seperlunya tentang
tanah penggantinya, apabila kepentingan umum menghendakinya;
7. Melaporkan
kepada Bupati/Walikota Kepala Daerah cq Kepala sub Direktorat Agraria setempat,
apabila terjadi perubahan status tanah wakaf atau perubahan penggunaannya untuk
mendapatkan penyelesaian lebih lanjut;
8. Melaporkan
kepada Kepala KUA tetang hasil pencatatan tanah wakaf yang diurusinya; (a)
pencatatan tanah wakaf oleh Kepala sub Direktorat Agrara setempat; (b)
pencatatan tanah wakaf pengganti, dalam hal perubahan status tanah wakaf oleh Kepala
Subdit Agraria setempat (c) pencatatan perubahan penggunaan tanah wakaf oleh
Kepala Sub Direktorat Agraria setempat
Di
samping kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Nadzir, Pasal 8 PP No. 28 Tahun
1977 menegaskan bahwa Nadzir berhak mendapatkan dan menikmati penghasilan dan
fasilitas yang besar dan macamnya ditentukan lebih lanjut oleh Menteri Agama. Ketentuan
dalam Pasal ini memberikan dasar bagi penetapan suatu penghasilan dan pemberian
fasilitas kepada Nadzir. Dengan telah diberiknya imbalan yang pantas terhadap
kebutuhan ini maka diharapkan dapat dihindari penyimpangan dari penggunaan
obyek wakaf (penjelasan Pasal 8)
Pengaturan
lebih lanjut mengenai hak Nadzir diatur dalam Pasal 11 Peraturan Menteri Agama
No. 1 Tahun 1978 yaitu (1) Nadzir berhak
menerima penghasilan dari hasil tanah wakaf yang besarnya ditetapka oleh Kepala
Kandepag cq. Kepala Seksi dengan ketentuan tidak melebihi sepuluh persen dari
hasil bersih wakaf (2) Nadzir dalam menunaikan tugasnya berhak menggunakan
fasilitas sepanjang diperlukan dari tanah wakaf atau hasilnya yang jenis dan
jumlahnya ditetapkan oleh Kepala Kandepag cq Kepala Seksi.
Penutup
Untuk
memberikan kepastian hukum dan ketertiban perwakafan tanah milik maka tanah
wakaf wajib didaftarkan menurut peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 (LN 1997- 59; TLN- 3696) tentang
Pendaftaran tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 9. Dengan Pendaftaran tanah
yang telah diwakafkan tersebut maka tanah wakaf akan dibukukan dalam buku tanah
yang selanjutnya akan diterbitkan sertifikat sebagai tanda bukti adanya tanah
wakaf, hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum, sedangkan sertifikat
yang diperoleh setalah pendaftaran tersebut merupakan alat bukti yang kuat dan
lebih luas daya pembuktiannya. Namun disisi lain, karena sistem pendaftaran
tanah yang dianut adalah sistem publikasi negative, sehingga kepastian hukum
dengan sistem ini ternyata hanya
menghasilkan kepastian hukum yang
relatif artinya sertifikat sebagai tanda bukti hak yang kuat tidak memberikan
jaminan kepastian hukum yang mutlak dan pasti karena tetap terbuka untuk
digugat dan dibatalkan.
Aspek
penting lainnya ialah aspek pengelolaan tanah, mengkaji pengelolaan tanah wakaf
dalam hukum Agraria Nasional, tidak bisa melepaskan diri dari mengkaji
pengelolanya sendiri, pengelola tanah wakaf disebut dengan istilah Nadzir.
Pasal 2 Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977 menegaskan bahwa fungsi wakaf
adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf. Dengan
kekalnya harta wakaf maka manfaat tanah yang diwakafkan dapat dinikmati untuk
selama-lamanya. Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang
Perwakafan untuk tanah milik maka telah terjadi suatu perubahan di bidang
perwakafan tanah, yakni perwakafan tanah milik diatur, ditertibkan dan
diarahkan sehingga benar-benar memenuhi hakekat dan tujuan perwakafan.
Daftar Pustaka
Coulson, Noel J, 1987, Hukum Islam dalam Perspektif
Sejarah (The History of Islamic law)
diterjemahkan oleh Hamid Ahmad, cetakan pertama, Jakarta: P3M.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, 1994, Studi
tentang Pandangan Hidup Kyai, Cetakan Keenam Jakarta, LP3ES
Direktor Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1997/1998, Analisa Hukum Islam
Bidang Wakaf, Jakarta.
Djanika, Rahmat, Wakaf Tanah di Jawa Timur (Studi Diachronqe), Jurnal Sunan Ampel No. I –
II.
Haar, B Ter, Asas-
Asas dan Susunan Hukum Adat ( Beginselen en Stelsel van Adatrecht ) cetakan
Kedelapan, Jakarta: Pradyan Paramita.
Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia, 2003, Sejarah
Pembentukan Undang-undang Agraria, Isi dan Pelaksanaanya, edisi Revisi,
Jakarta.
Jazuni, 2006, Hukum Islam di Indonesia, Peradilan Agama,
Kompilasi Hukum Islam dan Penerapan, Jakarta: Haniya Press.
Peraturan Perundang-Undangan Pertanahan Bidang Pendaftaran
Tanah, Departememen Dalam Negeri Direktorat Jenderla Agraria, Direktorat
Pendaftaran Tanah, Jakarta.
Wahid, Mochtar, 2008, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik
Atas Tanah, Jakarta: Penerbit Republika.
*Abdul Jabar
adalah Dosen pada Fakultas Hukum Univ.Islam
Jember.
[1]Jazuni, Hukum Islam di Indonesia, Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam dan
penerapan, (Jakarta: Hanya Press, 2006), hal. 265
[2]Direktorat
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam, Analisa Hukum Islam Bidang Wakaf, (Jakarta. 1997/1998), hal. 60-61
[3]Ibid
[4]B.Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat ( Beginselen en Stelsel van Adatrecht )
cetakan kedelapan ( Jakarta: Pradyan Paramita, t.t), hal. 161.
[5]Direktorat Pembinaan Badan
Peradilan Agama Islam Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam Departemen Agama, Op Cit. hal. 96.
[6]Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan
Undang-undang Agraria, Isi dan Pelaksanaanya, edisi Revisi, (Jakarta: Djambatan,
2003), hal. 480-481.
[7]Muchatar Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik atas
Tanah, (Jakarta: Penerbit
Republika, 2008), hal. 71-72.
[8]Rahmat
Djanika, Wakaf tanah di Jawa Timur (
Studi Diachronqe ), Jurnal Sunan Ampel
No. I-II, 1984, hal. 5.
[9]Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan
Hidup Kyai, cetakan keenam, ( Jakarta: LP3S, 1994), hal.102.
[10]Noel J Coulso, Hukum
Islam dalam Perspektif Sejarah ( The History of Islamic Law ),
diterjemahkan oleh Hamid Ahmad, cetakan pertama ( Jakarta : P3M, 1987 ) h.198
Tidak ada komentar:
Posting Komentar