Kamis, 19 Juni 2014

PENDAFTARAN SEBAGAI KEPASTIAN HUKUM DALAM PENGELOLAN TANAH WAKAF












PENDAFTARAN SEBAGAI KEPASTIAN                     HUKUM DALAM PENGELOLAN TANAH WAKAF 
Oleh:
Abdul Jabar*


Abstrak
Pendaftaran tanah wakaf  merupakan hal yang perlu dan harus dilakukan demi untuk memperoleh sertifikan dan kepastian hukum dalam pengelolaan tanah wakaf, sertifikat akan memberikan kepastian berkenaan dengan jenis, subyek dan obyeknya. Sertifikat dapat dijadikan sebagai alat bukti yang kuat apabila obyek atas tanah tersebut dikemudian hari menjadi sengketa dan juga status tanah tersebut akan  memperoleh kepastian hukum. Dalam pelaksanaan pendaftaran tanah wakaf sistem pendaftaran tanah yang dianut adalah sistem pendaftaran publikasi negatif, sistem ini masih sangat  rawan dari gugatan dan pembatalan oleh  pihak lain
Kata Kunci :   Pendaftaran, Kepastian hukum, Pengelolaan, Tanah Wakaf

Pendahuluan
Sejarah menunjukkan bahwa tanah memiliki hubungan dan arti yang sangat penting bagi kehidupan umat manusia, maka tidak berlebihan bila dikatakan bahwa seluruh kehidupan umat manusia selalu berhubungan dengan yang namanya tanah, manusia berasal dari tanah, lahir juga diatas tanah, bertempat tinggal, bekerja mencari nafkah bahkan ketika meninggalpun akan terus berhubungan dan berurusan dengan  masalah tanah. Hal ini menunjukkan bahwa tanah merupakan hal yang perlu dijadikan sebagai obyek pengetahuan.
 Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria ( LN 1960 No. 104 ) memberikan pengaturan secara khusus mengenai wakaf atas tanah yang diatur  dalam ketetuan Pasal 5. Pasal ini mengatur mengenai kewajiban-kewajiban pembentuk undang-undang untuk mengindahkan unsur-unsur dalam hukum Agama. Dalam Bab XI tentang hak milik untuk keperluan suci dan social,  pada Pasal 49 ditegaskan bahwa perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan Pemerintah. Makna dan fungsi juga ditegaskan dalam Pasal 5 Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tantang Wakaf  dimana dalam ketentuan tersebut ditegaskan bahwa wakaf memiliki fungsi untuk memwujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk mewujudkan kepentingan umum.
Sejak Islam datang ke Indonesia, perwakafan diatur menurut hukum Islam. Pada tahun 1905  ada Edaran Pemerintah Kolonial Belanda berupa Beijblad, yang disusul dengan beijblad-beijblad tahun 193, 1934 dan 1935 yang menentukan agar perwakafan tanah harus memberitahukan kepada pemerintah agar wakaf tidak terkena rencana perubahan yang akan dibuat pada masa sesudahnya. Dengan pemberitahuan tersebut pemerintah dapat menunjuk tanah yang diwakafkan supaya tidak terkena gusuran atau kepentingan pemerintah lainya sehingga wakaf dapat berfungsi untuk selama-lamanya[1]. Peraturan yang dikeluarkan pemerintah Belanda tersebut tidak menggubah (memperbaiki) ketentuan perwakafan dalam kitab-kitab fikih, sehingga setelah meninggalnya wakif muncul beberapa pengaruh yang dapat mengubah status wakaf. [2]
Kata wakaf (al-waqf) secara harfiah adalah sinonim dari kata al-habsu yang berarti menahan, menghentikan atau berdiam di tempat. Menurut istilah, wakaf adalah menahan pokok (modal) dan menjalankan (memanfaatkan) hasil, yakni menahan harta dan men-tasharruf-kan manfaatnya untuk jalan Allah.[3] Sedangkan dalam KHI mendifinisikan wakaf sebagai perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam hal ini ditegaskan dalam Pasal 215 ayat 1 KHI. Dalam kaitan dengan wakaf atas tanah pegertian wakaf tersebut diatas mengandung makna bahwa hak atas tanah tersebut menjadi bersifat abadi semata-mata untuk kepentingan Agama atau dengan kata lain hak  atas tanah wakaf tersebut  secara hukum tidak bisa beralih atau dialihkan lagi karena tanah wakaf tersebut sudah menjadi milik Agama / Allah.
Dalam pelaksanaan perwakafan tanah hak milik di Indonesia yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan tanah Hak milik, salah satu pertimbangan untuk mengeluarkan peraturan pemerintah tersebut adalah bahwa wakaf merupakan suatu lembaga keagamaan yang dapat dipergunakan sebagai salah satu sarana guna pengembangan kehidupan keagamaan, khususnya bagi umat yang beragama Islam  dalam rangka mencapai kesejahteraan sprituil dan materiil menuju masyarakat adil dan makmur yang berdasarkan Pancasila.
Terkait dengan pendaftaran tanah wakaf  sesuai dengan ketentuan Pasal 14 ayat 1 huruf b dan Pasal 49 ayat 3 UU No. 5 Tahun 1960,  maka dipandang perlu untuk mengatur tata cara dan pelaksanaan pendaftaran perwakafan tanah hak milik dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah hak milik beserta aturan pelaksanaanya lebih lanjut mengatur mengenai prosedur perwakafan tanah hak milik termasuk didalamnya kewajiban untuk mendaftarkan.
Lembaga wakaf yang disebut dalam istilah Belanda vrome stichtig telah diterima (gerecipieerd) di banyak daerah di nusantara.[4]  Kajian yuridis dalam tulisan ini diharapkan dapat memberikan suatu konstribusi guna peyempurnaan peraturan wakaf atas tanah, khusus dalam aspek pendaftaran dan pengelolaan tanah wakaf, bertitik tolak dari latar belakang permasalahan diatas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah apakah pendaftaran tanah wakaf dapat memberikan kepastian hukum secara mutlak dalam pegelolaan tanah wakaf ?

Pendaftaran Tanah Wakaf
Pada tanggal 24 September 1960 telah diundangkan Undang-undang Pokok-Agraria, yaitu undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria  (lembaran Negara Tahun 1960 No.104) dan Tambahan Lembaran Negara No. 2043. Undang-undang ini merupakan merupakan pengganti hukum Agraria warisan pemerintah Belanda.
Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria tersebut mempunyai tujuan (a) meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum Agraria nasional yang merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagian dan keadilan bagi Negara dan rakyat terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur (b) meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan dan  (c) meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum  mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Secara tegas Undang-undang No. 5 Tahun 1960  tentang Undang-undang Pokok Agraria (LN 1960 No.104) ini memberikan pengaturan khusus akan masalah wakaf tanah yang diatur di dalam Pasal mengenai kewajiban pembentuk undang-undang untuk mengindahkan unsur-unsur yang berdasaran pada hukum Agama yang diatur di dalam Bab XI tentang hak atas tanah untuk keperluan suci dan social, pada Pasal 49 ditegaskan bahwa (1); hak milik atas tanah badan-badan keagamaan dan social sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan diakui dan dilindungi (2); Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan social (3) untuk memperoleh peribadatan dan keperluan suci lainya sebagai dimaksud dalam pasal 14  dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dengan hak pakai (4) Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Wakaf merupakan lembaga khas dalam hukum Islam yang berkembang di Indonesia dan diatur dalam berbagai bentuk Peraturan sejak Jaman Hindia Belanda hingga sekarang, dengan adanya pengaturan mengenai wakaf melalui hukum positif tersebut maka wakaf yang merupakan lembaga keagamaan yang berpedoman pada hukum Islam semata, akan tetapi kedudukannya sekarang sudah ditingkatkan sebagai suatu lembaga formal didalam hukum agrarian nasional. Dengan demikian segala sesuatunya harus memenuhi segala macam persyaratan formal yang telah ditentukan dalam berbagai peraturan tentang perwakafan berdasarkan hukum formal.
Namun harus diakui walaupun persyaratan-persyaratan formal sudah dipenuhi akan tetapi masalah- masalah perwakafan masih sering ditemui selama ini utamanya yang berkaitan dengan (a) kurangnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya pencatatan perwakafan, (b) pelaksanaan perwakafan tidak di administrasikan dengan baik (c) terjadi penyerobotan tanah wakaf oleh oknum yang tidak bertanggung jawab (d) terjadinya perselisihan  antara ahli waris wakif dengan nadzir (e) terjadinya penggusuran tanah wakaf yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[5]
Dalam konsideran undang-undang No 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria dibawah kata berpendapat dikemukakan bahwa perlu adanya hukum Agraria yang menjamin kepastian hukum hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat. Hal yang sama disebutkan pula dalam penjelasan umum UUPA angka 1 mengenai tujuan pokok UUPA. Berbicara mengenai kepastian hukum dalam pendaftaran tanah menurut konsep hukum agraria, menurut Boedi Harsono pendaftaran tanah yang diperintahkan oleh UUPA tidak menggunakan sistem publikasi positif yang kebenaran data yang disajikan dijamin oleh Negara melainkan menggunakan sistem publikasi negatif. [6]
Selesainya pendaftran tanah maka akan menghasilkan sertifikat hak atas tanah, terbitnya sertifikat hak atas tanah menurut Mochtar Wahid, maka kepastian berkenaan dengan jenis hak atas tanahnya,  subyek hak dan obyek haknya menjadi nyata oleh karena itu dibandingkan dengan alat bukti tulis lainya sertifikat merupakan tanda bukti yang kuat artinya harus dianggap benar sampai dibuktikan sebaliknya dipengadilan dengan bukti yang lain. [7] Sistem publikasi negatif yang dianut oleh UUPA sebenarnya tidak memberikan kepastian hukum bagi pemegang hak, sehingga keberadaan dari hak atas tanah, dalam hal ini adalah tanah wakaf  masih terbuka lebar untuk digugat dan dibatal.
Akan tetapi pedaftaran tetap merupakan hal yang penting hal ini diperkuat dengan perintah pasal 19 UUPA yang menegaskan bahwa:
1.            untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah
2.            pendaftaran tanah tersebut diatur dalam ayat 1 pasal ini meliputi (a) pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah (b) pendaftaran hak-hak atas taah dan peralihan hak-hak tersebut, dan (c) pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang merupakan alat pembuktian yag kuat.
3.            pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingata keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas  social ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraanya menurut pertimbangan Menteri Agraria
4.            dalam peraturan pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran dimaksud dalam ayat 1 diatas, dengan ketentuan bahwa rakya yang tidak mampu dibebaskan dari biaya-biaya tersebut.
Inti dari ketentuan Pasal 19  UUPA ialah guna menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah yang meliputi (a) pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah; (b) pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut (c) Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat bukti yang kuat.
Menurut ketentuan PP No. 24 Tahun 1997 pendaftran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun, termasuk pemberian surat-surat tanda bukti haknya, yang disebut sertifikat, bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya, serta hak–hak tertentu yang membebaninya.
Pasal 3 PP No. 24 Tahun 1997 mengatur lebih lanjut ketentuan-ketentuan yang ada dalam Pasal 19 ayat 1 UUPA yakni;
a.       untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan
b.      guna menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemeritah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun yang sudah terdaftar
c.       untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan
Ketentuan PP No. 24 Tahun 1997 telah memperkaya ketentuan Pasal 19 UUPA, yaitu;
a.       dengan diterbitkannya sertifikat hak atas tanah maka pemilik sertifikat hak atas tanah akan mendapat kepastian hukum dan perlindungan hukum
b.      Kantor Pertanahan sebagai kantor di garis depan di zaman informasi ini haruslah terpelihara dengan baik setiap iformasi yang diperlukan untuk suatu bidang tanah, baik untuk pemerintah sendiri sehingga apat merencanakan pembangunan Negara dan juga masyarakat sendiri informasi itu sangat penting untuk dapat memutuskan sesutau yang diperlukan. Dimana terlihat tanah, yaitu data fisik dan yuridisnya termasuk untuk satuan rumah susun. Informasi tersebut bersifat terbuka untuk umum artinya dapa diberikan informasi apa saja yang diperlukan atas sebidang tanah/bangunan yang ada
c.       Sehingga untuk itu perlulah tertib administrasi pertanahan dijadiakan suatu hal yang wajar
Pada Pasal 9 PP No. 24 Tahun 1997 ditegaskan bahwa obyek pendaftaran tanah yang harus didaftarakan adalah;
a.       Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai
b.      Tanah hak pengelolaan
c.       Tanah wakaf
d.      Hak milik atas satuan rumah susun
e.       Hak tanggungan
f.        Tanah Negara ( pendaftaranya dilakukan dengan cara membukukan bidang tanah yang merupakan tanah Negara dalam daftar tanah
Dengan adanya pelaksanaan pendaftaran hak atas tanah maka pihak-pihak yang mempunyai tanah akan dengan mudah dapat membuktikan hak atas tanahnya atau dengan kata lain pelaksanaan pendaftaran hak atas tanah akan memberikan kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah, disamping itu bagi pihak lain yang menghendaki informasi mengenai tanah yang sudah didaftar dengan seluk beluknya yang berkaitan dengan tanah, yang bersangkutan akan dengan mudah mengetahuinya karena di Kantor Pertanahan  data tersebut terbuka untuk umum berdasakan asas Openbaarheid dalam pelaksanaan pendaftaran tanah.
Keharusan untuk pendaftaran tanah wakaf sebenarnya telah ada sejak tahun 1905 yang mengharuskaun tanah wakaf didaftarkan di tiap-tiap kabupaten, sampai pada tahun 1931  peraturan ini tidak banyak dijalankan oleh para Bupati bahkan sampai tahun 1935, peraturan penaftaran wakaf belum berjalan dengan sesuai dengan harapan, oleh karena masih dihadapkan beberapa hambatan, antara pemerintah Kolonial Belanda dengan penduduk Indonesia yang beragama Islam.[8] Pendaftaran tanah wakaf ini di samping untuk mendapatkan kepastian hukum juga harus diberlakukan secara sempurna terhadap fakta normatif yang banyak terjadi seperti terlantarnya harta wakaf atau pengelolaan harta wakaf yang tidak layak hukum,  seperti halnya pihak Nadzir yang merubah peruntukan atau status tanah wakaf tanpa alasan yang meyakinkan.

Pelaksanaan Perwakafan Tanah
Menurut ketentuan Pasal 6 Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, wakaf dapat dilaksanakan apabila telah memenuhi unsusr-unsur tentang wakaf, unsur-unsur tersebut yaitu  (a)  adanya wakif, (b) adanya Nazhir ) (c) adanya harta benda wakaf (d) adanya ikrar wakaf (e) perutukan harta benda wakaf (f) jangka waktu wakaf. Unsur-unsur tersebut bersifat komulatif artinya wakaf dapat dilaksanakan apabila semua unsur-unsur tersebut terpenuhi, kalau tidak maka pelaksanaan wakaf  batal secara hukum.
Dalam Pelaksanaan perwakafan tanah, calon/Pihak yang hendak mewakafkan tanah harus datang dihadapan Pejabat pembuat Akta Ikrar Waka (PPAIW) untuk melaksanakan ikrar wakaf (Pasal 1 ayat 1  PP No 28 Tahun 1977 jis) Untuk mewakafan tanah hak milik calon wakif harus mengikrarkan secara lisan, jelas dan tegas kepada Nadzir yang telah diserahkan dihadapan PPAIW yang mewilayahi tanah wakaf dan dihadiri saksi-saksi dan selanjutnya  menuangkannya dalam bentuk tertulis menurut bentuk W 1. Sedangkan bagi mereka yang tidak mampu menyatakan kehendaknya secara lisan dapat menyatakan dengan isyarat.
Menurut Zamakhsyari Dhofier pengikraran wakaf berarti menjadikan obyek wakaf sebagai milik Tuhan yang harus dipakai seamata-mata untuk tujuan keagamaan [9].  Isi dan bentuk Ikra Wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama (Pasal 9 (3) PP 28 Tahun 1977, Bentuk dan isi ikrar wakaf telah ditentukan dalam peraturan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam taggal 18 April 1978 No. Kep/D/75/78.  Sementara untuk Calon Wakif yang tidak dapat datang dihadapan PPAIW  dapat membuat ikrar wakaf secara tertulis dengan persetujuan Kandepag yang mewilayahi tanah wakaf serta diketahui saksi-saksi (Pasal 5 ayat 2 PP No. 28 Tahun 1977 jis Pasal 2 Pemenag No. 1 Tahun 1978).  Dalam pelaksanaan ikrar wakaf tanah ada dua macam akta ikrar wakaf  pertama,  akta ikrar wakaf dimana pelaksanaan wakaf tanah langsung dilakukan oleh pihak pemilik hak atas tanah dan yang kedua, akta ikrar wakaf pengganti yaitu  pelaksanaan wakaf atas tanah dilakukan oleh pihak ahli waris dari pemilik tanah.
Pada penjelasan Pasal 9 PP No 28 Tahun 1977 ditegaskan bahwa pasal ini mengharuskan adanya perwakafan dilakukan secara tertulis tidak cukup hanya dengan ikrar wakaf lisan saja. Tujuannya adalah untuk memperoleh bukti yang otentiek yang dapat dipergunakan untuk berbagai persoalan seperti untuk bahan pendaftaran pada Kantor Sub Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya dan untuk keperluan penyelesaian sengketa dikemudian hari tentang tanah yang telah diwakafkan.
Untuk keperluan kelancaran dalam proses perwakafan seseorang yang hendak mewakafkan tanah harus membawa serta tanda-tanda bukti pemilikan berupa sertifikat / kitir tanah )  dan surat-surat lain yang menjelaskan tidak adanya halangan untuk melakukan perwakafan atas tanah milik tersebut. Untuk keperluan tersebut maka diperlukan pejabat-pejabat yang khusus melaksanakan pembuatan aktanya. Demikian pula mengenai bentuk dan isi ikrar wakaf perlu dibuat secara seragam (penjelasan Pasal 9 PP 28 Tahun 1977). Pasal 9 PP 20 Tahun 1977 menegaskan bahwa pelaksanaan ikrar dan pembuatan Akta Ikrar Wakaf dianggap syah jika dihadiri dan disaksikan sekurang-kurangnya 2 saksi ( dua ) orang yang telah dewasa, sehat akalnya dan oleh hukum tidak terlarang untuk melakukan perbuatan hukum (Pasal 4 Permenag No. 1 Tahun 1978) dan ini sudah merupakan persyaratan hukum formal secara umum. Setelah ada ikrar wakaf, PPAIW akan membuat Akta Ikrar Wakar menurut bentuk W 2 rangkap 3 (tiga) dan salinannya menurut bentuk W.2.a rangkap 4 (empat). Tanah yang hendak diwakafkan baik seluruhnya ataupun sebagian harus merupakan tanah hak milik  dan harus bebas dari beban ikatan, jaminan, sitaan atau sengketa atau dengan kata lain harus terlebih dahulu bebas dari persoalan hukum.
Pasal 9 ayat 5 PP No 28 Tahun 1977 ditegaskan bahwa dalam melaksanakan ikrar seperti yang dimaksud ayat 1 pihak yang mewakafakan tanah diharuskan membawa serta dan menyerahkan kepada Pejabat tersebut dalam ayat 2 berupa surat-surat sebagai berikut: (a) sertifikat hak milik atau tanda bukti pemilikan tanah lainya (b) surat keterangan dari Kepala Desa yang diperkuat oleh Kepala Kecamatan setempat yang menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak tersangkut sesuatu sengketa (c) Surat keterangan pendaftaran tanah (d) Izin dari Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq Kepala Sub Direktorat Agraria setempat (Pasal 9 ayat 5).
Apabila akta ikrar wakaf telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan, maka Pejabat Pembuat Akta Ikra Wakaf atas nama Nadzir yang bersagkutan, diharuskan mengajukan permohonan kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq Kepala Sub Direktorat Agraria setempat untuk mendaftar perwakafan tanah milik yang bersangkutan menurut ketentuan Pasal 10 PP 28 Tahun 1977. Permohonan harus disampaikan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 3 bulan sejak dibuatnya akta ikrar wakaf (Pasal 3 Permedagri No. 6 Tahun 1977. Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq. Kepala Sub Direktorat Agraria setempat, setelah menerima permohonan tersebut dalam ayat 1 mencatat perwakafan tanah milik yang bersangkutan dalam buku tanah dan sertifikatnya.
Jika tanah milik yang diwakafkan belum mempunyai sertifikat maka pencatatan yang dimaksud dalam ayat 2 dilakukan setelah tanah tersebut dibuat sertifikatnya, setelah dilakukan pencatatan perwakafan tanah milik dalam buku tanah dan sertifikatnya, maka Nadzir yang bersangkutan wajib melapornya kepada orang yang mau mendaftarkanya, maka Kepala Desa tempat tanah tersebut harus mendaftarkanya kepada KUA setempat. Pelaksanaan Pendaftaran harus disertai (a) surat keterangan tentang tanah atau surat keterangan Kepala Desa tentang perwakafan, tanah tersebut (b) dua orang yang menyaksikan ikrar wakaf atau saksi-saksi istifadhah (yang mengetahui atau mendengar tentang perwakafan).
Kepala KUA selaku Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf harus (a) meneliti keadaan tanah wakaf; (b) meneliti dan mengesahkan Nadzir (c) meneliti saksi-saksi ( d ) menerima penyaksian tanah wakaf (e) membuat akta pengganti akta ikrar wakaf (f) membuat salinan akta pengganti akta ikrar wakaf (g) menyampaikan akta pengganti ikrar wakaf lembar kedua kepada  Bupati / Walikotamadya Kepala Daerah cq Kepala sub Direkorat Agraria setempat sebagai lampiran perohonan pendaftaran (h) mengirimkan akta pengganti akta ikrar wakaf lembar ke tiga kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tanah wakaf (i) menyampaikan salinan akta pengganti akta ikrar wakaf lembar pertama kapada wakif atau ahli warisnya.
Untuk biaya administrasi dan pencatatan tanah wakaf untuk penyelesaian administrasi perwakafan tanah di KUA Kecamatan termasuk formulir tidak dikenakan, kecuali bea meteri menurut ketentuan yang berlaku. Untuk penyelesaian pendaftaran dan perwkafan tanah di Kantor Sub. Direktorat  Agraria tidak dikenakan biaya, kecuali biaya pengukuran dan biaya meterei menurut ketentuan yang berlaku.

Pengelolan Tanah  Wakaf
 Pengaturan khusus akan masalah wakaf dalam UUPA dalam hal mengenai kewajiban-kewajiban pembentuk undang-undang untuk mengindahkan unsur-unsur yang berdasarkan pada hukum agama. Dan dalam Bab XI tentang Hak Milik untuk Keperluan suci dan sosial  pada Pasal 49. Pasal ini memberikan tempat khusus bagi hak-hak yang bersangkutan dengan kegiatan-kegiatan keagamaan,dan juga memberikan ketegasan terhadap soal-soal yang bersangkutan dengan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainya.
Dengan dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 38 Thaun 1963 tentang penunjukan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, diatur badan-badan hukum yang dapat memiliki tanah sebagai realisasi pasal 21 ayat 2 UUPA, dalam PP tersebut ditegaskan penentuan mengenai tanah wakaf menjadi kompetensi Departemaen Agraria dan Departemen Agama. Untuk itu dalam lingkungan Departemen Agama telah dibentuk Lembaga Perecana dan Bimbingan Wakaf / Zakat, juga telah dikeluarkan Edaran Menteri Agama No. S/I/7103,  yang ditujukan kepada semua Partai ormas Islam, Pondok Pesanteren, Badan Wakaf, Perguruan Tinggi Islam serta Badan Keagamaan Islam Lainyabahwa badan–badan hukum yang ingin memiliki hak milik tanah hendaknya mengajukan permohonan kepada Menteri Agraria, memlalui Menteri Agraria c.q. Lembaga Perencanan dan Bimbingan Wakaf.
Apabila telah dilakukan pendaftaran tanah wakaf, aspek penting lainnya ialah aspek pengelolaan tanah, mengkaji pengelolaan tanah wakaf dalam hukum Agraria Nasional, tidak bisa melepaskan diri dari mengkaji pengelolanya sendiri, pengelola tanah wakaf yang disebut dengan istilah Nadzir. Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 menegaskan bahwa fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf. Dengan kekalnya harta wakaf maka manfaat tanah yang diwakafkan agar dapat dinikmati untuk selama-lamanya. Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan untuk tanah Milik telah terjadi suatu perubahan di bidang perwakafan tanah, yakni perwakafan tanah milik diatur, ditertibkan dan diarahkan sehingga benar-benar memenuhi hakekat wakaf adalah pendekatan kepada tuhan (qurbah).[10] Sedangkan aspek terpenting dari pengelolaan wakaf ialah peran serta Nadzir sebagai top manajer yang menentukan, mengendalikan  manajerial perwakafan sehingga berdaya guna dan behasil guna, mengingat kedudukan penting dari Nadzir, PP No 28 Tahun 1977 menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai Nadzir.

Susuan Nadzir
            Nadzir ada yang terdiri dari perorangan dan ada yang berbentuk Badan Hukum, Nadzir perorangan, adalah Nadzir yang terdiri dari perorangan harus merupakan suatu kelompok atau suatu pengurus sekurangkurag 3 (tiga) orang, salah seorang diantaranya menjadi ketua. Jumlah Nadzir perorangan dalam suatu Desa ditetapkan satu Nadzir,  jumlah Nadzir dalam suatu Kecamatan ditetapkan sebanyak-banyaknya sejumlah desa yang terdapat di Kecamata tersebut, sedangkan apabila Nadzir Badan Hukum, jumlah Nadzir yang berbentuk Badan Hukum ditentukan sebanyak-banyaknya sejumlah Badan Hukum yang ada di Kecamatan tersebut.

Syarat-syarat Nadzir
Nadzir perorangan harus terdiri dari orang-orang yang memenuhi syarat sebagai berikut (a) warga Negara Republik Indonesia, (b) Beragama Islam (c) sudah dewasa (d) sehat jasmani dan rohani (e) tidak berada dibawah pengampuan(f) bertempat tinggal di Kecamatan tempat letaknya tanah yang diwakafkan sedangkan Nadzir Badan hukum harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut (a) badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, (b) mempunyai perwakilan di Kecamatan tempat letaknya tanah yang di wakafkan (c) Badan Hukum yang tujuan dan alamat usahanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluaan  umum lainnya, sesuai dengan ajaran Agama Islam.
Berdasarkan adanya berbagai persyaratan yang ditetapkan untuk menjadi Nadzir dalam PP ini adalah dimaksudkan agar pengurus dan pengelolan wakaf baik yang terdiri dari kelompok perorangan maupun suatu badan hukum dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Nadzir perorangan maupun Nadzir Badan Hukum harus didaftarkan pada KUA Kecamatan setempat guna untuk mendapatkan pengesahan (Pasal 6 ayat 3 PP No. 28 Tahun 1977). Hal ini guna menghindari kemungkinan adanya penyimpangan terhadap perwakafan tanah milik dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.
Pasal 7 Peraturan No. 28 Tahun 1977 menentukan tugas dan kewajiban Nadzir yang meliputi (1) Nadzir berkewajiban utuk mengurus dan mengawasi kekayaan wakaf serta hasilnya menurut ketentuan-ketentuan yang diatur lebih lanjut oleh Menteri Agraria sesuai dengan tujuan wakaf (2) Nadzir berkewajiban membuat laporan-laporan secara berkala atas semua hal yang menyangkut kekayaan wakaf (3) tata cara pembuatan laporan diatur lebih lanjut oleh Menteri Agraria.
Pasal 10 Peraturan Menteri Agrari No 1 Tahun 1978 lebih rinci lagi menentukan :
1.      Nadzir berkewajiban mengurus dan mengawasi harta kekayaa wakaf dan hasilnya meliputi (a) menyimpan lembar salinan akta ikrar wakaf (b) memelihara tanah wakaf (c) memanfaatkan tanah wakaf (d) memanfaatkan dan berusaha meningkatkan hasil wakaf (e) menyelenggarakan pembukuan/administrasi yang meliputi (1) buku catatan tentang keadaan tanah wakaf (2) buku catatan tentang pengelolaan dari hasil tanah wakaf (3) buku catatan tentang penggunaan hasil tanah wakaf
2.      Nadzir berkewajiban melaporkan  (a) hasil pencatatan perwkafan tanah ilik dalam buku tanah dan sertifikatnya kepada Kepala KUA (b) perubahan status tanah milik yang telah diwakafkan dan perubahan penggunaannya akibat ketentuan Pasal 12  dan 13  peraturan ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 11 ayat 3 Peraturan Pemerintah (c) Pelaksanaan kewajiban tersebut dalam ayat 1 Pasal ini kepada kepala KUA tiap satu tahu sekali yaitu tiap akhir bulan Desember.
3.      Nadzir berkewajiban pula untuk melaporkan adanya seorang anggota Nadzir yang berhenti dari jabatanya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 ayat 2 peraturan ini.
4.      Bilamana jumlah anggota Nadzir kelompok karena berhentinya salah seorang anggota atau lebih berakibat idak memenuhi syarat sebagaimana yang diatur dalam pasal 8 ayat 1 peraturan ini anggota Nadzir lainnya berkewajiban mengusulkan penggantinya utuk disahkan oleh Pejabat Pembuat akta ikrar wakaf.
Jadi secara terinci Nadzir mempunyai kewajiban mengurus dan mengawasi harta kekayaan wakaf dan hasilnya. Dalam mengurus dan mengawasi harta kekayaan wakaf, Nadzir wajib (a) menyimpan dengan baik lembaran kedua salinan akta ikrar wakaf (b) memelihara  dan memanfaatkan tanah wakaf serta berusaha meningkatkan hasilnya; dan (c) menggunakan hasil-hasil wakaf sesuai dengan ikrar wakaf. Untuk mengerjakan pengurusan dan pengawasan harta kekayaan wakaf, Nadzir wajib menyelenggarakan pembukuan;
1.      Buku catatan keadaan tanah wakaf, menurut W. 6
2.      Buku catatan tentang pengeolaa dan hasil tanah wakaf menurut bentuk W.6. a
3.      Membuat laporan hasil pencatatan tanah wakaf yang diurusnya dan penggunaan dari hasil-hasil tanah wakaf pada akhir bulan Desember setiap tahun kepada KUA setempat yang merupakan rekapitulasi dari bentuk W. 6., W.6.a dan W.^.b
4.      Memberikan laporan perubahan anggota Nadzir, apabila ada salah seorang anggota Nadzir (a) meninggal dunia (b) mengundurkan diri (c) melakukan tindak pidana kejahatan yang berhubungan dengan jabatannya sebagai Nadzir, (d) tidak memenuhi syarat lagi (e) tidak dapat lagi melakuakan kewajiban . Mengusulkan pengganti apabila jumlah anggota perorangan menjadi kura dari 3 (tiga) orang
5.      Mengajukan permohonan kepada Kanwil Departemen Agama cq Kepala Bidang Urusan Agama Islam melalui Kepala KUA dan Kantor Departemen Agama apabila diperlukan perubahan penggunaan tanah wakaf karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif atau oleh karena kepentingan umum;
6.      Mengajukan permohonan / perubahan status tanah wakaf kepada Menteri Agama melalui kepala KUA , Kandepag dan Kanwil Depag dengan memberikan keterangan seperlunya tentang tanah penggantinya, apabila kepentingan umum menghendakinya;
7.      Melaporkan kepada Bupati/Walikota Kepala Daerah cq Kepala sub Direktorat Agraria setempat, apabila terjadi perubahan status tanah wakaf atau perubahan penggunaannya untuk mendapatkan penyelesaian lebih lanjut;
8.      Melaporkan kepada Kepala KUA tetang hasil pencatatan tanah wakaf yang diurusinya; (a) pencatatan tanah wakaf oleh Kepala sub Direktorat Agrara setempat; (b) pencatatan tanah wakaf pengganti, dalam hal perubahan status tanah wakaf oleh Kepala Subdit Agraria setempat (c) pencatatan perubahan penggunaan tanah wakaf oleh Kepala Sub Direktorat Agraria setempat
Di samping kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Nadzir, Pasal 8 PP No. 28 Tahun 1977 menegaskan bahwa Nadzir berhak mendapatkan dan menikmati penghasilan dan fasilitas yang besar dan macamnya ditentukan lebih lanjut oleh Menteri Agama. Ketentuan dalam Pasal ini memberikan dasar bagi penetapan suatu penghasilan dan pemberian fasilitas kepada Nadzir. Dengan telah diberiknya imbalan yang pantas terhadap kebutuhan ini maka diharapkan dapat dihindari penyimpangan dari penggunaan obyek wakaf (penjelasan Pasal 8)
Pengaturan lebih lanjut mengenai hak Nadzir diatur dalam Pasal 11 Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978  yaitu (1) Nadzir berhak menerima penghasilan dari hasil tanah wakaf yang besarnya ditetapka oleh Kepala Kandepag cq. Kepala Seksi dengan ketentuan tidak melebihi sepuluh persen dari hasil bersih wakaf (2) Nadzir dalam menunaikan tugasnya berhak menggunakan fasilitas sepanjang diperlukan dari tanah wakaf atau hasilnya yang jenis dan jumlahnya ditetapkan oleh Kepala Kandepag cq Kepala Seksi.

Penutup
Untuk memberikan kepastian hukum dan ketertiban perwakafan tanah milik maka tanah wakaf wajib didaftarkan menurut peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 (LN 1997- 59; TLN- 3696) tentang Pendaftaran tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 9. Dengan Pendaftaran tanah yang telah diwakafkan tersebut maka tanah wakaf akan dibukukan dalam buku tanah yang selanjutnya akan diterbitkan sertifikat sebagai tanda bukti adanya tanah wakaf, hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum, sedangkan sertifikat yang diperoleh setalah pendaftaran tersebut merupakan alat bukti yang kuat dan lebih luas daya pembuktiannya. Namun disisi lain, karena sistem pendaftaran tanah yang dianut adalah sistem publikasi negative, sehingga kepastian hukum dengan sistem ini ternyata hanya  menghasilkan kepastian hukum  yang relatif artinya sertifikat sebagai tanda bukti hak yang kuat tidak memberikan jaminan kepastian hukum yang mutlak dan pasti karena tetap terbuka untuk digugat dan dibatalkan.
Aspek penting lainnya ialah aspek pengelolaan tanah, mengkaji pengelolaan tanah wakaf dalam hukum Agraria Nasional, tidak bisa melepaskan diri dari mengkaji pengelolanya sendiri, pengelola tanah wakaf disebut dengan istilah Nadzir. Pasal 2 Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977 menegaskan bahwa fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf. Dengan kekalnya harta wakaf maka manfaat tanah yang diwakafkan dapat dinikmati untuk selama-lamanya. Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan untuk tanah milik maka telah terjadi suatu perubahan di bidang perwakafan tanah, yakni perwakafan tanah milik diatur, ditertibkan dan diarahkan sehingga benar-benar memenuhi hakekat dan tujuan perwakafan.








Daftar Pustaka

Coulson, Noel J, 1987, Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah (The History of Islamic law) diterjemahkan oleh Hamid Ahmad, cetakan pertama, Jakarta: P3M.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, 1994, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Cetakan Keenam Jakarta, LP3ES
Direktor Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1997/1998, Analisa Hukum Islam Bidang Wakaf, Jakarta.
Djanika, Rahmat, Wakaf Tanah di Jawa Timur (Studi  Diachronqe), Jurnal Sunan Ampel No. I – II.
Haar, B Ter,  Asas- Asas dan Susunan Hukum Adat ( Beginselen en Stelsel van Adatrecht ) cetakan Kedelapan, Jakarta: Pradyan Paramita.
Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia, 2003, Sejarah Pembentukan Undang-undang Agraria, Isi dan Pelaksanaanya, edisi Revisi, Jakarta.
Jazuni, 2006, Hukum Islam di Indonesia, Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam dan Penerapan, Jakarta: Haniya Press.
Peraturan Perundang-Undangan Pertanahan Bidang Pendaftaran Tanah, Departememen Dalam Negeri Direktorat Jenderla Agraria, Direktorat Pendaftaran Tanah, Jakarta.
Wahid, Mochtar, 2008, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah, Jakarta: Penerbit Republika.





*Abdul Jabar adalah Dosen pada  Fakultas Hukum Univ.Islam Jember.

[1]Jazuni, Hukum Islam di Indonesia, Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam dan penerapan, (Jakarta: Hanya Press, 2006), hal. 265
[2]Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam,  Analisa Hukum Islam Bidang Wakaf,  (Jakarta. 1997/1998),  hal. 60-61
[3]Ibid
[4]B.Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat ( Beginselen en Stelsel van Adatrecht ) cetakan kedelapan ( Jakarta: Pradyan Paramita, t.t), hal. 161.
[5]Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam  Departemen Agama, Op Cit. hal. 96.
[6]Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Agraria, Isi dan Pelaksanaanya, edisi Revisi, (Jakarta: Djambatan, 2003), hal. 480-481.
[7]Muchatar Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik atas Tanah, (Jakarta: Penerbit Republika, 2008), hal. 71-72.
[8]Rahmat Djanika, Wakaf tanah di Jawa Timur ( Studi  Diachronqe ), Jurnal Sunan Ampel No. I-II, 1984, hal. 5.
[9]Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, cetakan keenam, ( Jakarta: LP3S, 1994),  hal.102.
[10]Noel  J Coulso, Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah ( The History of Islamic Law ), diterjemahkan oleh Hamid Ahmad, cetakan pertama ( Jakarta : P3M, 1987 ) h.198

Tidak ada komentar:

Posting Komentar