Kamis, 19 Juni 2014

KEDUDUKAN WAKAF BERDASARKAN HUKUM ISLAM DAN PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA



         KEDUDUKAN WAKAF BERDASARKAN HUKUM ISLAM
DAN PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA
 (SUATU ANALISIS)*
oleh : Asri Wijayanti

ABSTRAK

Wakaf merupakan salah satu lembaga hukum yang berasal dari hukum Islam. Wakaf dilakukan oleh umat Islam dalam rangka melaksanakan ibadah untuk Allah. Pelaksanaan wakaf harus memenuhi rukun dan syaratnya wakaf. Rukun wakaf ada empat yaitu adanya wakif, harta yang akan diwakafkan, tempat dimana benda akan diwakafkan dan akad. Benda wakaf berdasarkan hukum Islam meliputi semua harta yang dimiliki oleh wakif.
Perkembangan wakaf di Indonesia dimulai dari adanya wakaf yang telah ada pada masyarakat hukum adat. Pemerintah melalui PP No. 28 Tahun 1977 telah mengatur tentang perwakafan yang dibatasi hanya tanah hak milik saja serta harus melalui prosedur dengan akta ikrar wakaf yang nantinya sertipikat hak milik diubah menjadi sertipikat wakaf.
Pengaturan wakaf dalam PP No. 28 Tahun 1977 ternyata masih belum memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga kemudian keluarlah Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang KHI, dimana obyek wakaf meliputi benda bergerak atau tidak bergerak. Sayangnya kedudukan Inpres No. 1 Tahun 1991 dipertanyakan kedudukannya apabila ditinjau dari TAP MPR-RI No. III/MPR/2000. Oleh karena itu perlu segera dibentuk peraturan yang mengatur tentang wakaf dalam undang-undang, supaya dapat tercapai kepastian hukumnya.
Pemikiran kearah pengaturan wakaf dalam bentuk undang-undang ada empat. Pertama wakif tidak hanya dibatasi pada orang yang mempunyai tanah hak milik, tetapi apapun bentuk harta milik wakif baik benda bergerak atau tidak dapat diwakafkan. Kedua nadzir seharusnya mendapat imbalan untuk pengurusan benda wakaf sebesar x % untuk mendorongnya bekerja secara professional mengoptimalkan hasil wakaf. Ketiga obyek wakaf meliputi semua harta milik wakif baik yang sudah ada atau yang akan ada asalkan sudah pasti. Keempat prosedur wakaf apabila menyangkut hak milik atas tanah dapat tetap melalui prosedur PP No. 28 Tahun 1977 tetapi untuk yang lainnya dapat pelaksanaan akad wakaf dilakukan dihadapan notaris.

Kata kunci : wakaf, obyek hukum wakaf, nadzir, kepastian hukum

I     PENDAHULUAN
Wakaf merupakan salah satu lembaga hukum Islam. Hukum Islam adalah suatu sistim hukum yang mendasarkan pada ajaran agama Islam. Agama Islam merupakan ajaran agama yang sempurna. Mengatur seluruh kehidupan alam seisinya, termasuk mengatur kehidupan manusia. Dalam menjalani kehidupannya manusia dapat memiliki harta, tetapi kepemilikan harta itu tidak mutlak. Harta adalah milik Allah SWT dan dititipkan kepada manusia yang dikehendaki-NYA. Harta yang dimiliki oleh umat Islam sebagian adalah hak dari manusia yang lemah. Oleh karena  itu Islam mengajarkan memberikan sedekah, zakat dan wakaf terhadap harta yang dimiliki untuk kepentingan agama.
Di Indonesia mayoritas penduduknya beragama Islam, sehingga wakaf sudah dikenal sejak lama. Menurut Hazairin wakaf merupakan suatu perbuatan hukum rangkap.
Perkembangan di Indonesia wakaf yang ada mengalami penyimpangan baik peruntukan, maupun pengurusan sehingga banyak menimbulkan sengketa antara ahli waris dari wakif dan  atau ahli waris nadzir. Hal ini mendorong terbentuknya Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977.
Dalam praktek adanya PP No. 28 tahun 1977 tidak dapat efektif karena disebagian masyarakat ada yang enggan untuk mewakafkan tanahnya karena bebarapa alasan. Seiring dengan adanya Peradilan Agama yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dibutuhkan suatu pedoman untuk menyelesaikan sengketa tentang wakaf yang dirasa oleh hakim Pengadilan Agama masih kurang apabila hanya mendasarkan ketentuan dari PP No. 28 Tahun 1977. Untuk itu ditetapkanlah Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
Timbul pertanyaan kemudian bagaimanakah kedudukan KHI dalam tata tertib peraturan perundang-undangan RI ?, Dimanakah letak Instruksi Presiden?. Bagaimanakah kekuatan mengikatnya serta apakah dapat Inpres mengesampingkan PP?, dan akhirnya perlukah segera dibentuk Undang-Undang tentang wakaf ?

II     KEDUDUKAN WAKAF BERDASARKAN HUKUM ISLAM

Wakaf merupakan salah satu bentuk dari lembaga hukum Islam. Oleh karena itu ketentuan tentang wakaf juga bersumber dari ketentuan ajaran agama Islam.
Wakaf berasal dari kata waqafa artinya berhenti, atau diam ditempat atau tetap berdiri atau penahanan [1]. Pengertian wakaf pernah disabdakan oleh  Rasulullah yaitu : "sesungguhnya harta wakaf itu tidak boleh dijual belikan dan dialihkan serta diwarisi, dan bersedekahlah dengannya kepada fakir miskin serta sanak keluarga dan orang-orang yang berada dibawah tanggunganmu, tidaklah mengapa bagi yang mengurusinya untuk memakan hasilnya dengan alakadarnya serta tidak pula menjadikannya milik pribadinya."[2]
 Sejalan dengan hal itu maka muncul beberapa batasan pengertian tentang wakaf.  Abu Hanifah merumuskan wakaf sebagai penahanan pokok sesuatu harta dalam tangan pemilikan wakaf dan penggunaan hasil barang itu yang dapat disebutkan ariah atau commodate loan untuk tujuan- tujuan amal saleh.[3] Selain itu ada pendapat lain dari Naziroeddin Rachmat ,
Yang dimaksud dengan harta wakaf ialah suatu barang yang sementara asalnya (zatnya) tetap, selalu berbuah, yang dapat dipetik hasilnya dan yang empunya sendiri sudah menyerahkan kekuasaannya terhadap barang itu dengan syarat dan ketentuan bahwa hasilnya akan dipergunakan untuk keperluan amal kebajikan yang diperintahkan syariat[4]

Dari batasan pengertian di atas dapat diketahui bahwa wakaf pada dasarnya adalah penahanan pokok untuk selama-lamanya atas harta untuk kepentingan agama
Dasar hukum dari kewajiban melakukan wakaf di dalam hukum Islam disebut sebagai dalil diantaranya adalah  QS. Al Imron ayat 92 yang terjemahannya adalah tidaklah akan tercapai oleh kamu kebaikan, sebelum kamu sanggup membelanjakan sebagian daripada brang yang kamu sayangi.
Selain itu terdapat hadis riwayat jamaah Ahli Hadist kecuali Buchori dan Ibnu Majah : Bahwa Nabi berkata : Bila mati anak Adam, terputuslah segala amalnya, kecuali tiga macam, yaitu : sedekah yang terus menerus, ilmu yang dipergunakan, atau anaknya yang saleh yang selalu mendoakannya.
Dari ketentuan itu dapat diketahui bahwa betapa pentingnya bersodakoh atau membelanjakan sebagian harta . Apabila sedekah dilakukan terus menerus, yaitu wakaf maka pahala tidak akan terputus meskipun telah mati. Itulah keutamaan melakukan wakaf.
Wakaf yang dilakukan oleh seseorang harus memenuhi rukun dan syaratnya wakaf. Rukun adalah sesuatu yang wajib ada akan adanya wakaf. Apabila tidak ada salah satu dari rukun maka wakaf tidak akan pernah ada. Keberadaan rukun bersifat kumulatif artinya tidak ada salah satu dari rukun berakibat wakaf tidak sah.
Rukun wakaf ada empat, yaitu :
1.      Ada orang yang berwakaf (wakif).
2.      Ada sesuatu atau harta yang akan diwakafkan (mauquf).
3.      Ada tempat kemana diwakafkan harta itu (al mauquf alaihi).
4.      Ada aqad sebagai pernyataan timbang terima harta wakaf itu dari tangan si wakif  kepada orang atau tempat berwakaf.

Sedangkan syarat wakaf adalah :
1.      wakaf itu mesti berkekalan dan terus menerus, artinya tidak boleh dibatasi dengan sesuatu jangka waktu.
2.      wakaf itu mesti dilakukan secara tunai, karena berwakaf berarti memindahkan hak milik pada waktu terjadi wakaf itu.
3.      hendaklah wakaf itu disebutkan dengan terang kepada siapa diwakafkan.[5]

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa untuk dapat dikatakan telah ada perwakafan maka harus dipenuhinya empat rukun secara kumulatif yaitu adanya wakif, nadzir, obyek wakaf (harta) dan akad wakaf. Sedangkan untuk syarat adanya wakaf yaitu wakaf harus dilakukan selama-lamanya, secara tunai dan terang
Seorang yang akan berwakaf  haruslah atas kehendaknya sendiri dan benar-benar merupakan niatnya untuk melakukan ibadah atas nama Allah atau hanya mengharap keridhoan Allah semata. Atas setiap manusia yang menafkahkan sebagian rezeki yang dikaruniakan Allah  untuk kebaikan , maka Allah berjanji akan membalas perbuatan itu berlipat-lipat.
Nadzir atau pihak yang akan melakukan pengurusan atas harta wakaf haruslah menjalankan tugasnya dengan penuh amanah. Oleh karena itu pemilihan nadzir dapat ditentukan oleh wakif dengan pertimbangan bahwa nadzir yang telah ditunjuk dapat melaksanakan kepercayaan wakif untuk mengurus harta wakaf dengan penuh amanah.
Obyek wakaf menurut hukum Islam adalah semua harta yang menjadi milik si wakif secara keseluruhan. Harta itu tidak dibatasi jenisnya apakah benda bergerak  atau tidak bergerak. Dapat berupa tanah atau harta lainnya yang bukan tanah. Asalkan kepemilikan secara mutlak adalah milik wakif.
Di dalam hukum Islam seseorang yang akan berwakaf tidak rumit dalam melakukannya atau prosedur yang harus dilalui hanya sederhana, yaitu si wakif melakukan akad wakaf kepada nadzir dengan disaksikan minimal oleh 2 orang saksi yang adil. Akad wakaf itu dapat dilakukan hanya dengan secara lisan.
Apabila wakaf telah dilakukan dengan benar memenuhi ketentuan rukun dan syaratnya wakaf, maka wakaf itu menjadi sah. Akibat hukumnya benda wakaf akan beralih fungsinya untuk kepentingan Allah SWT atau untuk ibadah. Tidak dibatasi jenis hartanya, sehingga apapun harta yang dimiliki oleh wakif secara keseluruhan dapat diwakafkan.



III    WAKAF DALAM PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA
Memang benar wakaf berasal dari lembaga hukum Islam, tetapi kenyataannya di Indonesia juga telah dijumpai tanah wakaf. Di dalam masyarakat hukum adat juga dikenal tentang wakaf, misalnya di suku badui di Cibeo (Banten Selatan) dikenal huma serang, di Lombok dikenal Tanah pareman [6].
Pengertian wakaf menurut hukum adat dapat disebutkan pendapat dari Koesoema Atmadja ,
wakaf adalah :   Suatu perbuatan hukum dengan mana perbuatan suatu barang / barang keadaan telah telah dikeluarkan/ diambil kegunaannya dalam lalu lintas masyarakat semula, guna kepentingan seseorang/ orang tertentu atau guna seseorang maksudnya / tujuan / barang tersebut sudah berada dalam tangan yang mati [7]

Menurut Ter Haar wakaf merupakan suatu perbuatan hukum yang rangkap maksudnya adalah :
Perbuatan itu disatu pihak adalah perbuatan mengenai tanah atau benda yang menyebabkan obyek itu mendapat kedudukan hukum yang khusus tetapi dilain pihak seraya itu perbuatan itu menimbulkan suatu badan dalam hukum adat ialah suatu badan hukum yang sanggup ikut serta dalam kehidupan hukum sebagai subyek hukum.[8]

Selanjutnya wakaf yang telah memasuki kehidupan masyarakat Indonesia dalam perkembangannya banyak terjadi penyimpangan. Penyimpangan itu disebabkan oleh penyelewengan harta wakaf oleh nadzir atau keturunan nadzir dengan mendaku kepemilikan harta wakaf. Selain itu penyimpangan juga dapat terjadi dalam bentuk penyimpangan kegunaan atau fungsi wakaf.
Oleh karena itu pemerintah membuat suatu peraturan tentang wakaf yang bertujuan untuk mengamankan harta wakaf serta mendorong masyarakat Indonesia untuk melakukan wakaf sebagai perwujudan dari melaksanakan ibadah karena Allah.
Langkah konkrit itu adalah dengan disahkannya Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik. Sayangnya PP No. 28 Tahun 1977 ini hanya membatasi obyek wakaf hanya pada tanah hak milik saja, tidak mencakup harta lainnya yang dimiliki oleh wakif. Adapun prosedur yang dilakukan tidak cukup akad wakaf dilakukan secara lisan saja. Untuk menjamin kepastian hukum PP No. 28 Tahun 1977 mengharuskan wakaf dilakukan secara lisan dan tertulis  dihadapan pejabat pembuat akta ikrar wakaf untuk selanjutnya dibuat akta ikrar wakaf. Dengan mendasarkan akta ikrar wakaf maka tanah hak milik diajukan perubahannya ke Badan Pertanahan Nasional setelah memenuhi syarat administrasinya untuk diubah menjadi sertipikat wakaf.
Kenyataan yang ada di masyarakat, terdapat tanah wakaf yang belum mendapatkan sertipikat wakaf, meskipun akta ikrar wakaf telah diperoleh, misalnya di wilayah Malang.  Dibawah ini akan disajikan data perwakafan tanah yang ada di wilayah Malang sampai akhir Desember 2001. 


DATA TANAH WAKAF TAHUN 2001
KEADAAN 31 DESEMBER 2001
No
Kabupaten
/ Kota
JML. TANAH
WAKAF
BARU BER
AIW / APAIW
PROSES BPN
BELUM DIPROSES
KET.
BID.
LUAS
(M2)
BID.
LUAS
(M2)
BID.
LUAS
BIDANG
LUAS
( M2)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

MALANG
904
466.831,63
136
36.268,36
-
-
32
180.750


Sumber :         Departemen Agama    RI  Tahun 2002          

            Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa data tanah wakaf tahun 2001 sampai tanggal 31 Desember 2001  terdapat 904 bidang tanah wakaf dengan luas tanah 466.831,63 m2. Dari jumlah itu terdapat 136 bidang tanah wakaf yang baru berdasarkan akta ikrar wakaf (seluas 36.268,36 m2) serta 32 bidang tanah wakaf yang belum diproses BPH (seluas 180,750 m2). Dari jumlah itu dapat diketahui bahwa terdapat 736 bidang tanah wakaf dengan luas 430.382,52 m2 yang sudah mempunyai sertipikat wakaf . Apabila dinyatakan dalam presentase terdapat 18,58% yang masih belum mempunyai sertipikat wakaf. Sedangkan tanah wakaf yang sudah bersertipikat di wilayah malang sebesar 82,42 %. Jumlah itu menunjukkan bahwa masyarakat Malang telah mematuhi ketentuan PP No. 28 Tahun 1977 dalam hal melakukan perwakafan tanah miliknya.
 Selain itu di wilayah Surabaya Timur dijumpai masyarakat yang membangun tempat ibadah di halaman rumah, yang juga untuk umum tetapi mereka enggan mengganggap itu sebagai benda wakaf . Hal ini dikarenakan mereka masih ragu apabila dikemudian hari mereka membutuhkan lagi tanah wakaf itu.
Adanya ketentuan PP No. 28 Tahun 1977 ternyata dirasa masih kurang setelah melihat kebutuhan masyarakat. Terlebih setelah dibentuknya Pengadilan Agama berdasarkan Undang-Undang No 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama . Salah satu kekuasaan Pengadilan Agama berdasarkan ketentuan pasal 49 UU No. 8 Tahun 1989 disebutkan bahwa Pengadilan Agama berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang  wakaf.
Keadaan pada permulaan terbentuknya Pengadilan Agama, hakim PA sangat membutuhkan adanya pedoman disamping PP No. 28 Tahun 1977. Mengingat untuk menjadi hakim di Pengadilan Agama salah satu syaratnya adalah seorang sarjana hukum (lulusan fakultas hukum) bukan seorang sarjana syariah (lulusan fakultas syariah). Seorang sarjana hukum tentulah minim pengetahuannya di bidang hukum Islam dibandingkan dengan mereka yang lulusan fakultas syariah.
Untuk mengatasi hal ini disahkanlah kemudian Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.  Salah satunya juga mengatur tentang perwakafan. Sebelum tahun 2000. Kompilasi Hukum Islam (KHI) dapat berfungsi sebagai sumber hukum yang mengikat bagi hakim di PA. Keberadaan KHI  dapat ditafsirkan sebagai pelaksanaan dari TAP MPRS NO. XX/MPRS/1966 tentang  Memorandum DPRGR mengenai sumber tertib hukum RI dan Tata urutan peraturan perundangan RI. Adapun yang dimaksud dengan sumber tertib hukum peraturan perundangan RI berdasarkan TAP MPRS NO. XX/MPRS/1966 adalah  UUD 1945, Ketetapan MPR, UU / Perpu, PP, Kepres, Peraturan- peraturan pelaksana lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan lain-lainnya. Berdasarkan ketentuan itu dapat diketahui bahwa penempatan KHI dalam Inpres No 1 Tahun 1991 dapat dimasukkan sebagai salah satu bentuk peraturan lainnya. Akibatnya KHI sebelum tahun 2000 dapat sebagai sumber hukum yang mengikat bagi hakim PA.
Setelah adanya TAP MPR-RI No. III/MPR-RI/2000 tentang sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan. Adapun tata urutan peraturan perundangan RI meliputi UUD 1945, Ketetapan MPR, UU, Perpu, PP, Kepres. Dari ketentuan itu diketahui bahwa tidak disebutkan Instruksi Presiden sebagai salah satu sumber tertib peraturan perundangan RI. Akibat hukum dari adanya ketentuan TAP MPR-RI NO III/MPR/2000 adalah KHI yang semula sebagai sumber tertib hukum sekarang bukanlah sebagai sumber hukum melainkan hanya berfungsi sebagai kitab hukum yang tidak mempunyai kekuatan mengikat bagi hakim PA.
Obyek hukum wakaf berdasarkan ketentuan KHI meliputi benda bergerak dan tidak bergerak. Hal ini dapat diketahui berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 4   KHI tentang pengertian benda wakaf adalah segala benda baik bergerak atau tidak bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam. Sayangnya perluasan obyek hukum itu hanyalah merupakan wacana sehingga untuk saat ini perlu sekali segera dibentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang wakaf dalam bentuk undang-undang.

IV  PEMIKIRAN WAKAF KEARAH UNDANG-UNDANG

Penempatan wakaf sangat diperlukan dalam bentuk undang-undang daripada dalam bentuk peraturan pemerintah, karena lebih terjamin kepastian hukum dan perlindungan hukumnya.
Pemikiran ke arah perkembangan wakaf menjadi suatu undang-undang, perlu adanya perbaikan dalam hal siapa saja yang dapat sebagai wakif, bagaimana kriteria wakif  yang baik dan apa saja hak- hak dan kewajibannya, apa saja yang dapat sebagai obyek wakaf dan bagamaina prosedurnya.
 Pemikiran  mengenai yang dapat menjadi wakif  adalah perlu adanya perluasan siapa saja yang dapat menjadi wakif. Selama ini berdasarkan PP No. 28 Tahun 1977 wakif hanya dibatasi pada orang , orang-orang, atau badan hukum yang memiliki tanah hak milik. Obyek wakaf hanya dibatasi pada benda tetap yang berupa tanah hak milik saja. Untuk memberikan dorongan bagai umat Isalam untuk mewujudkan pelaksanaan ibadah kepada ALLAH melalui wakaf maka tidak perlulah seseorang itu menunggu mempunyai tanah hak milik. Cukup apabila seseorang itu memiliki harta baik benda tetap atau benda tidak tetap, asalkan benda itu merupakan harta milik wakif secara keseluruhan dan adanya niat wakif untuk mewakafkan hartanya itu secara kekal atau terus menerus.
Terhadap hal ini ada pemikiran dari KH. Sechul Hadi Permono mengenai seorang wakif dapat mewakafkan hartanya misalnya tanah hak miliknya untuk jangka waktu tertentu, tujuannya untuk memanfaatkan lahan tidur. Sebagaimana pengertian wakaf menurutnya yaitu : perbuatan hukum seesorang atau sekelompok orang atau badan hukum untuk memisahkan sebagian dari harta miliknya dan melembagakannya guna kepentingan ibadah atau kepentingan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam dan perundang-undangan yang berlaku [9].
Berkaitan dengan hal itu tidaklah tepat pengertian wakaf untuk harta yang penyerahannya untuk jangka waktu tertentu. Sebab syarat adanya wakaf adalah seseorang itu menyerahkan hartanya untuk kepentingan ALLAH semata dan bersifat kekal atau untuk selama-lamanya. Apabila harta itu diperluas tidak hanya tanah hak milik saja itu benar asalkan tetap harta itu merupakan milik wakif secara keseluruhan. Apabila tentang lamanya atau waktu wakaf yang dibatasi sekehendak wakif maka hal itu bukanlah memenuhi unsur wakaf dan hanya dapat disebut sebagai sedekah.
Selanjutnya pemikiran kedua mengenai perbaikan wakaf dalam suatu undang-undang adalah mengenai harta wakaf. Hukum Islam tidak membatasi obyek hukum wakaf hanya pada tanah hak milik saja. Keberadaan PP No. 28 tahun 1977 memang hanya dibatasi pada tanah hak milik saja. Hal ini untuk memudahkan pemantauan dan menyelamatkan harta wakaf benda tetap untuk publik. Hal itu tidak berarti wakaf hanya dapat dilaksanakan untuk benda yang berupa tanah hak milik saja, karena Inpres No 1 Tahun 1991 membuka perluasan obyek wakaf meliputi benda bergerak atau tidak bergerak milik wakaf. Sayangnya keberadaan obyek wakaf berdasarkan Inpres No. 1 Tahun 1991 ini secara formalitas bukan merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-undangan berdasarkan ketentuan TAP MPR-RI NO. III/MPR/2000 dan hanya berfungsi sebagai kitab hukum saja.
Oleh karena itu perlu penekanan secara yuridis tentang benda apa saja yang dapat diwakafkan ke dalam undnag-undang wakaf nantinya. Sebagai bahan pertimbangan obyek wakaf perlu penekanan pada substansi benda wakaf atau unsure pokok benda wakaf yaitu harus berhenti atau penahanan pokoknya .  Perdebatan tentang unsur kekal dari benda wakaf tampak antara madzab Syafi’I  dan Hanafi dengan madzab Maliki .
Imam Syafi'i misalnya, sangat menekankan wakaf pada fixed asset (harta tetap) sehingga menjadikannya sebagai syarat sah wakaf. Mengingat di Indonesia secara fikih kebanyakan adalah pengikut mazhab Syafi'i, maka bentuk wakaf yang lazim kita dapatkan berupa tanah, masjid, madrasah, dan aset tetap lainnya.
Di lain pihak, Imam Maliki mengartikan ''keabadian'' lebih pada nature barang yang diwakafkan, baik itu aset tetap maupun aset bergerak. Untuk aset tetap, seperti tanah, unsur keabadian terpenuhi karena memang tanah dapat dipakai selama tidak ada longsor atau bencana alam yang menghilangkan fisik tanah tersebut, demikian juga halnya dengan masjid atau madrasah. Selain itu Imam Maliki memperluas lahan wakaf mencakup barang-barang bergerak lainnya, seperti wakaf susu sapi atau wakaf buah tanaman tertentu. Yang menjadi substansi adalah sapi dan pohon, sementara yang diambil manfaatnya adalah susu dan buah. Ia membuka luas kesempatan untuk memberikan wakaf dalam jenis aset apa pun, termasuk aset yang paling likuid yaitu uang tunai (cash waqf).[10]

Dari uraian di atas dapat dipikirkan adanya perluasan mengenai obyek hukum wakaf. Dapat berupa uang yang dimiliki oleh wakif berapapun jumlahnya yang dikelola dan dikumpulkan  oleh suatu badan baik badan bentukan pemerintah atau badan sosial  yang nantinya dapat dibelikan sebuah lahan misalnya dibelikan tanah hak milik yang nantinya dapat diubah menjadi tanah wakaf. Seperti yang telah dilakukan oleh persyarikatan Muhammadiyah di Kalimantan Selatan telah menguasai/memiliki 323 persil tanah dengan luas 606.198,45 m2 [11]. Diantara tanah wakaf itu ada yang pembeliannya melalui pengumpulan uang dari sumbangan masyarakat untuk lahan pekuburan, dimana yang memberikan sumbangan mendapat imbalan berupa hak berkubur di atas tanah itu untuk dirinya sendiri atau keluarganya.[12].
Bentuk benda yang dapat diwakafkan dapat pula berupa suatu benda yang pasti akan ada dikemudian hari misalnya keuntungan menjalankan usaha milik sesorang. Hal ini sebenarnya sudah pernah dilakukan pada masa lalu yaitu
sudah dipraktekkan sejak awal abad kedua hijriyah. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa Imam az Zuhri (wafat 124 H) salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar tadwin al hadits memfatwakan, dianjurkan wakaf dinar dan dirham untuk pembangunan sarana dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam. Adapun caranya adalah dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf.[13]

Selanjutnya apabila dikaji, terdapat manfaat yang lebioh besar apabila wakaf dilakukan dalam bentuk uang, yaitu :
Pertama, wakaf uang jumlahnya bisa bervariasi sehingga seseorang yang memiliki dana terbatas sudah bisa mulai memberikan dana wakafnya tanpa harus menunggu menjadi tuan tanah terlebih dahulu.
Kedua, melalui wakaf uang, aset-aset wakaf yang berupa tanah-tanah kosong bisa mulai dimanfaatkan dengan pembangunan gedung atau diolah untuk lahan pertanian.
Ketiga, dana wakaf tunai juga bisa membantu sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam yang cash flow-nya terkadang kembang-kempis dan menggaji civitas akademika alakadarnya.
Keempat, pada gilirannya, insya Allah, umat Islam dapat lebih mandiri dalam mengembangkan dunia pendidikan tanpa harus terlalu tergantung pada anggaran pendidikan negara yang memang semakin lama semakin terbatas.[14]

Selanjutnya benda wakaf apabila dikelola dengan baik misalnya dipikirkan perlunya pengembangan obyek wakaf ke arah usaha yang produktif maka akan dapat diupayakan dapat mendapatkan keuntungan, misalnya untuk dana pendidikan.
Seperti kita ketahui anggaran pendidikan Indonesia tahun 2002
pemerintah telah berupaya maksimal mengalokasikan Rp 11,6 triliun rupiah atau sekitar 24,5 persen dari total anggaran pembangunan, untuk anggaran pendidikan, kebudayaan nasional, pemuda dan olah raga. Jumlah itu ternyata sangat sedikit apabila dibandingkan dengan  anggaran pendidikan negara-negara maju yang mencapai 7 persen dari Gross Domestic Product (GDP), sementara itu, di negara negara berkembang 2,5 persen. Khusus Indonesia, anggaran pendidikan kita baru mencapai 1 persen dari GDP.
Sebagai bahan pertimbangan terdapat lembaga Islam terkemuka seperti al-Azhar University Cairo, Universitas Zaituniyyah di Tunis, dan ribuan Madaris Imam Lisesi di Turki. Universitas Nizamiyyah di Baghdad mampu bertahan berabad-abad lamanya, dan memberikan beasiswa kepada jutaan mahasiswa selama lebih dari 1.000 tahun dari seluruh penjuru dunia. Lembaga pendidikan ini bukanlah yang fully profit oriented. Mereka adalah lembaga pendidikan yang lebih bercorak sosial. Sumber pendanaan mereka adalah berasal dari keberhasilan mengembangkan cash waqf sebagai sumber dana untuk pengembangan dan operasional pendidikan. [15]

Selanjutnya pemikiran ketiga mengenai perbaikan wakaf ke arah undang-undang adalah perbaikan mengenai nadzir. Selama ini nadzir bekerja hanya berdasarkan keikhlasan atau hanya berdasarkan ibadah lillahitaallah. Hal ini membawa akibat potensi kerja nadzir tidak professional, hanya menjalankan tugas rutinitas tanpa memikirkan adanya pengembangan bagaimana mengelola wakaf supaya lebih mendatangkan keuntungnan yang natinya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pengembangan islam. Perlu dipikirkan pemberian imbalan hasil jerih payah nadzir sebagai penghasilan. Seperti yang telah dilakukan di negara Turki, misalnya, badan pengelola wakaf mendapatkan alokasi 5 persen dari net income wakaf. Angka yang sama juga diterima Kantor Administrasi Wakaf Bangladesh. Sementara itu, The Central Waqf Council India mendapatkan sekitar 6 persen dari net income pengelolaan dana wakaf.[16]
Keberadaan nadzir memang harus betul-betul amanah, apabila benda wakaf yang dikelola sangat besar nilainya dan diselewengkan, maka akan membuat nadzir itu menjadi kaya raya. Hal ini seperti adanya harta wakaf yang berupa Auqaf Ashy, Bait Ashy, atau Daar Ashy  di kawasan Qasyasyisah di Makkah Almukaromah yang berjumlah 21 dari wakif yang bernama Haji Bugag Aceh  yang diselewengkan oleh nadzirnya. Jika rumah itu dijual semuanya atau sewanya dikembalikan kepada rakyat rakyat Aceh maka empat juta rakyat akan dapat hidup makmur.[17]

Selanjutnya untuk pemikiran wakaf kearah undang-undang yang keempat adalah tentang prosedur. Hukum Islam hanya mensyaratkan adanya akad wakaf dari wakif kepada nadzir, dapat dilakukan secara lisan asalkan disaksikan oleh dua orang. PP No. 28 Tahun 1977 mengatur prosedur wakaf harus dilakukan secara tertulis antara wakif kepada nadzir dengan disaksikan oleh PPAIW untuk dibuatkan Akta Ikrar Wakaf, yang nantinya akta ikrar wakaf itu nantinya akan diganti menjadi sertipikat wakaf (yang semula dari sertipikat hak milik).
Sebagai perbaikan mengingat obyek wakaf dapat berupa benda tetap dan benda tidak tetap, maka untuk benda tetap dapat dilaksanakan sesuai prosedur PP No. 28 Tahun 1977 sedangkan untuk yang lainnya dapat ditentukan minimal nilai harta wakaf  sebesar X rupiah dilaksanakan didepan notaries dan dibawah nilai nominal x rupiah dilakukan tanpa harus dilakukan dihadapan notaris.

V   KESIMPULAN
Wakaf merupakan salah satu lembaga hukum Islam Pelaksanaanya di Indonesia mengalami perkembangan. Secara yuridis terdapat peraturan yang mengatur tentang wakaf, yaitu PP No. 28 Tahun 1977 dan Inpres No. 1 Tahun 1991. Peraturan itu belum memenuhi kebutuhan masyarakat, perlu segera dibuat undang-undang tentang wakaf yang memberikan kepastian hukum.
Terdapat pemikiran ke arah perbaikan peraturan tentang wakaf yaitu  tentang siapa wakif yang pada dasarnya orang yang memiliki harta yang akan diwakafkan secara kekal.Obyek wakaf perlu diperluas menjadi benda bergerak atau tidak bergerak atau yang sudah ada atau yang akan ada. Misalnya wakaf uang atau wakaf keuntungan usaha. Selanjutnya tentang nadzir perlu diberi kepastian imbalan pengurusan x % dari perolehan keuntungan wakaf untuk mendorong cara kerjanya lebih professional. Selain itu perlu diatur prosedur wakaf yang dibedakan berdasarkan jenis bendanya. Misalnya untuk wakaf tanah perlu prosedur seperti PP No. 28 Tahun 1977. Tetapi untuk bentuk obyek wakaf yang lainnya dengan batas X rupiah untuk kepastian hukumnya dapat dibuat dalam bentuk akta notaries.


DAFTAR RUJUKAN

Abdurrahman, 1990, Masalah perwakafan tanah milik dan kedudukan tanah wakaf di negara kita, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Adijani al-Alabij,1992, Perwakafan Tanah di Indonesia dalam teori dan praktek, Rajawali Pers, Jakarta.

Muhammad Syafi’I Antonio, 2002,  Cash waqf dan Anggaran pendidikan umat, www.alislam.or.id.

Sechul Hadi Permono, “Hukum Waris, Wasiat, Hibah dan Wakaf kaitannya dengan penyusunan RUU tentang Hukum Terapan Peradilan Agama”, Makalah disampaikan dalam debat publik RUU tentang Hukum Terapan Peradilan Agama Depag RI di Garden Palace Hotel, Surabaya, 25 September 2002.

Tamaddun, 2002, Bait Al Ashy, Rumah Wakaf Aceh di Tanah Suci Mekkah, www.alislam.or.id.


Undang-Undang 1945

TAP MPRS NO. XX/MPRS/1966

TAP MPR-RI NO. III/MPR-RI/2000

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria

Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Hak Milik

Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam


* Dimuat dalam jurnal Prespektif Hukum. Vol.3 No. 1
[1] Abdurrahman, 1990, Masalah perwakafan tanah milik dan kedudukan tanah wakaf di negara kita, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 5.
[2]Tamaddun, 2002, Bait Al Ashy, Rumah Wakaf Aceh di Tanah Suci Mekkah, www.al islam.or.id
[3] Ibid., hal. 6.
[4] Ibid.
[5] Ibid., hal. 9.
[6] Ibid., hal 14.
[7] Ibid. hal. 15.
[8] Ibid.
[9] KH. Sechul Hadi Permono, Hukum Waris, Wasiat, Hibah dan Wakaf kaitannya dengan penyusunan RUU tentang Hukum Terapan Peradilan Agama, Makalah disampaikan dalam debat publik RUU tentang Hukum Terapan Peradilan Agama Depag RI di Garden Palace Hotel, Surabaya, 25 September 2002.
[10] Muhammad Syafi’I Antonio, 2002,  Cash waqf dan Anggaran pendidikan umat, www.alislam.or.id.
[11] Adijani al-Alabij,1992, Perwakafan Tanah di Indonesia dalam teori dan praktek, Rajawali Pers, Jakarta,  hal 91.
[12] Ibid , hal. 97
[13] Muhammad Syafi’I Antonio. Op.cit
[14] Ibid.
[15] Ibid
[16]Ibid..
[17] Tamaddun, op.cit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar