Wakaf : solusi alternatif untuk pengentasan
kemiskinan
Oleh : Abdul Haris
Iftitah
Kemiskinan merupakan problem rumit yang dihadapi
oleh bangsa Indonesia. Untuk mengatasinya, bangsa ini disamping membutuhkan
pejabat dan penyelenggara pemerintah yang bersih, juga membutuhkan dana dan
anggaran yang cukup besar. Memang ada
klaim yang menegaskan bahwa pemerintah telah mampu menurunkan angka kemiskinan, akan tetapi yang jelas
sampai saat ini secara real kita belum merasakan dan melihat adanya perubahan yang cukup
signifikan tentang kesejahteraan masyarakat yang ada di sekitar kita. Tetangga
kita yang dulunya miskin mayoritas masih tetap berstatus sebagai orang miskin
dan jarang sekali yang berubah menjadi orang yang sejahtera dan berkecukupan.
Permasalahan kemiskinan oleh Islam dipandang sebagai permasalahan yang serius,
bahkan kemiskinan dapat menjerumuskan seseorang pada kekafiran. Karena
demikian, maka program pengentasan kemiskinan bukanlah menjadi program yang hanya
ditawarkan oleh pemerintah, akan tetapi juga merupakan program yang ditawarkan
oleh agama kita. Kewajiban menunaikan zakat, anjuran untuk berinfak dan
bershadaqah, adanya ketentuan tetang wasiat, qorban dan wakaf adalah bukti
konkrit bahwa Islam merupakan agama yang sangat peduli terhadap kesejahteraan
sosial. Ketika sampai saat ini masih dirasa bahwa justru yang banyak berada di
garis kemiskinan adalah umat Islam, hal ini bukan disebabkan karena konsep
Islam, akan tetapi lebih disebabkan karena aplikasi dan pengelolaan dari konsep
Islam yang masih belum maksimal atau disalah-pahami.
Tulisan ini mencoba untuk mengungkap konsep wakaf
menurut fiqh Islam dan peluangnya dalam rangka ikut serta menyelesaikan
permasalahan kemiskinan yang terjadi di negara kita.
Pengertian Wakaf
Kata ”wakaf” berasal dari bahasa Arab, yaitu
bentuk masdar dari ( وقف – يقف – وقفا ) yang berarti : berhenti. Dari pengertian ini
dapat diterjemahkan bahwa seorang yang mewakafkan hartanya harus menghentikan
manfaat keuntungan harta tersebut untuk dinikmati dirinya sendiri dan diarahkan
untuk amal kebaikan sesuai dengan tujuan wakaf ; atau dapat juga diterjemahkan
bahwa seorang yang mewakafkan hartanya harus menghentikan segala aktifitas yang
pada mulanya diperbolehkan terhadap harta tersebuat, seperti menjual,
mewariskan, menghibahkan mentransaksikan dan lain sebagainya dan kemudian hanya
khusus diperuntukkan pada hal-hal yang menjadi tujuan wakaf.
Sedangkan dari sisi istilah, minimal ada tiga
definisi yang biasa ditawarkan oleh kalangan fuqaha’, yaitu :
· التعريف الأول ـ لأبي حنيفة
(1) : وهو حبس العين على حكم ملك الواقف، والتصدُّق بالمنفعة على جهة الخير. وبناء
عليه لا يلزم زوال الموقوف عن ملك الواقف ويصح له الرجوع عنه، ويجوز بيعه؛ لأن الأصح
عند أبي حنيفة أن الوقف جائز غير لازم كالعارية
“Definisi pertama. Yaitu
definisi yang ditawarkan oleh Abu hanifah. wakaf adalah menahan suatu benda yang
menurut hukum tetap menjadi milik wakif
dan mensedakahkan manfaatnya untuk kebaikan. Berdasarkan definisi ini,
kepemilikan harta wakaf tidak harus lepas dari orang yang mewakafkan. Seorang
wakif juga diperbolehkan untuk menarik kembali, dan bahkan boleh menjualnya,
karena menurut pendapat yang paling shahih dari Abu Hanifah bahwa wakaf itu
termasuk dalam kategori akad jaiz, bukan lazim sebagaimana ariyah.”
· التعريف الثاني ـ للجمهور وهم
الصاحبان وبرأيهما يفتى عند الحنفية، والشافعية والحنابلة في الأصح : وهو حبس مال يمكن
الانتفاع به، مع بقاء عينه، بقطع التصرف في رقبته من الواقف وغيره، على مصرف مباح موجود
ـ أو بصرف ريعه على جهة بر وخير ـ تقرباً إلى الله تعالى. وعليه يخرج المال عن ملك
الواقف، ويصير حبيساً على حكم ملك الله تعالى ، ويمتنع على الواقف تصرفه فيه، ويلزم
التبرع بريعه على جهة الوقف
“ definisi kedua menurut
jumhur. Mereka adalah dua sahabat (Abu Hanifah). Pendapat mereka ini menjadi
dasar fatwa bagi golongan Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah. Wakaf adalah
menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya sedangkan bendanya tidak terganggu dengan cara memutus
penggunaan barang tersebut, baik dari wakif atau yang lain untuk disalurkan
pada saluran yang ada dan mubah, atau dengan menyalurkan hasilnya untuk
kebaikan. Semua itu dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Berpijak
dari definisi ini harta benda yang diwakafkan keluar dari kepemilikan wakif dan
menjadi milik Allah. Wakif dilarang
menggunakannya dan harus mendistribusikan hasilnya untuk kebaikan”
·
التعريف الثالث ـ للمالكية : وهو جعل المالك منفعة مملوكة، ولو كان مملوكاً
بأجرة، أو جعل غلته كدراهم، لمستحق، بصيغة، مدة ما يراه المحبِّس. أي إن المالك يحبس
العين عن أي تصرف تمليكي، ويتبرع بريعها لجهة خيرية، تبرعاً لازماً، مع بقاء العين
على ملك الواقف، مدة معينة من الزمان، فلا يشترط فيه التأبيد.
”Definisi ketiga menurut kalangan
Malikiyah. Wakaf adalah perbuatan si
wakif yang menjadikan manfaat hartanya atau hasil dari benda yang diwakafkjan
(apabila yang diwakafkan berbentuk uang)
untuk digunakan oleh mustahiq (penerima wakaf) walaupun itu berbentuk
upah, dengan mengucapkan sighat wakaf untuk masa tertentu sesuai dengan
keinginan pemilik. Dengan kata lain pemilik harta menahan benda itu dari
penggunaan secara kepemilikan tapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk
tujuan kebaikan yang mengikat beserta tetapnya status benda pada kepemilikan
wakif selama masa tertentu. Wakaf tidak disyaratkan harus kekal.
Dalam konteks Indonesia nampaknya yang berlaku
adalah definisi yang ditawarkan oleh
jumhur, sebagaimana hal ini terekam dalam definisi yang ditawarkan oleh
Kompilasi Hukum Indonesia (KHI) yang berbunyi : wakaf adalah perbuatan hukum
seseorang atau kelompok orang atau badan
hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk
selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai
dengan ajaran Islam.
Dasar Hukum Wakaf
Sebuah keputusan hukum pasti didasarkan pada
sebuah dalil atau dasar hukum. Demikian juga halnya dengan wakaf. Dalil atau
dasar hukum yang biasa dijadikan sebagai pegangan dalam menjelaskan
permasalahan wakaf adalah :
- Al-Qur’an
o
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا
تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيم
“ Kamu sekali-kali tidak akan sampai
pada kebaikan sampai kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa
saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahui (QS, 3 : 92)
- Al-Hadits
o
حَدَّثَنَا الرَّبِيعُ بْنُ سُلَيْمَانَ الْمُؤَذِّنُ
حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ سُلَيْمَانَ يَعْنِي ابْنَ بِلَالٍ عَنْ الْعَلاَءِ بْنِ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ أُرَاهُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ
مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو
لَهُ
“ Apabila
manusia meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali tiga hal;
shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak yang shaleh yang mendoakannya”
o
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ
حَدَّثَنَا ابْنُ عَوْنٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
قَالَ أَصَابَ عُمَرُ بِخَيْبَرَ أَرْضًا
فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَصَبْتُ أَرْضًا لَمْ
أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ مِنْهُ فَكَيْفَ تَأْمُرُنِي بِهِ قَالَ إِنْ شِئْتَ
حَبَّسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا فَتَصَدَّقَ عُمَرُ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ أَصْلُهَا
وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ فِي الْفُقَرَاءِ وَالْقُرْبَى وَالرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ
اللَّهِ وَالضَّيْفِ وَابْنِ السَّبِيلِ لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ
مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ أَوْ يُطْعِمَ صَدِيقًا غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ فِيهِ
“ Sahabat
Umar r.a memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian beliau menghadap
rasulullah. Umar berkata : Saya mendapatkan sebidang tanah (di khaibar), saya
belum pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan
kepadaku ?” Rasulullah bersabda: “ bila engkau suka, kau tahan pokok tanah itu
dan engkau shadakahkan (hasilnya). Kemudian Umar melakukan shadakah kepada
orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian, sabilillah, tamu dan Ibnu sabil.
(tanah tersebut tidak dijual, tidak dihibahkan dan juga tidak diwariskan. Tidak
dilarang bagi yang menguasai tanah wakaf itu (yang mengurusi) makan dari
hasilnya dengan cara yang baik atau memberi makan orang lain dengan tanpa ada
niatan memilikinya.”
- Penegasan Ulama
o
ويلاحظ ان القليل من احكام
الوقف ثابت بالسنة ومعظم احكامه ثابت باجتهاد الفقهاء بالاعتماد على الاستحسان والاستصلاح
والعرف
“ Dapat disimpulkan bahwa hukum
wakaf yang didasarkan pada sunah sangat sedikit, sedangkan yang banyak
adalah diputuskan melalui ijtihad para
fuqaha dengan berpegang pada istihsan, istishlah dan urf”
Rukun dan
Syarat-Syarat Wakaf
Kendati para Imam Mujtahid berbeda
pendapat dalam memberikan pandangan terhadap institusi wakaf, namum semuanya
sependapat bahwa untuk mem-bentuk lembaga wakaf diperlukan rukun dan
syarat-syarat wakaf. Rukun artinya sudut, tiang penyangga yang merupakan sendi
utama atau unsur pokok dalam pembentukan suatu hal. Tanpa rukun tersebut
sesuatu itu tidak akan tegak berdiri. Begitu pula syarat-syarat yang menentukan
sah atau tidaknya suatu wakaf.
Khusus mengenai jumlah rukun
tersebut terdapat perbedaan pendapat antara Mazhab Hanafi dengan Jumhur Fuqaha.
Menurut ulama Mazhab Hanafi bahwa rukun wakaf itu hanya satu, yakni akad yang berupa ijab (penyataan dari wakif). Sedangkan
qabul (pernyataan menerima wakaf) tidak termasuk rukun bagi ulama mazhab
hanafi. Hal ini disebabkan karena akad wakaf tidak bersifat mengikat. Apabila
seseorang mengatakan; “saya mewakafkan harta ini kepada anda”, maka akad itu
sah dengan sendirinya dan orang yang diberi wakaf berhak atas harta itu.
Menurut jumhur ulama dari mazhab
Syafi’i, Maliki, dan Hambali rukun wakaf tersebut ada empat , yaitu : 1) adanya
wakif (orang yang berwakaf), 2) maukuf alaih (orang yang menerima
wakaf), 3) maukuf (benda yang diwakafkan) dan 4) Sighat.
Masing-masing dari rukun itu harus memenuhi
persyaratan tertentu pula. Untuk wakif, ada beberapa syarat, yaitu; 1). Wakif
harus orang yang merdeka dan pemilik penuh benda yang akan diwakafkan , 2).
Baligh, 3). Berakal, 4). Cerdas. Empat persyaratan ini apabila
disederhanakan dalam bahasa yang lebih
ringkas menjadi seorang wakif harus
memenuhi persyaratan “Shihhatu
Ibarah dan Ahliyatu-Tabarru”.
Rukun kedua dari wakaf setelah adanya wakif
ialah Maukuf alaih. Maukuf
alaih disyaratkan harus ada sewaktu penyerahan wakaf dan
harus ahli untuk memiliki harta yang diwakafkan (ahlan li al-tamalluk).
Keberadaan Maukuf alaih sewaktu
terjadinya ikrar wakaf menjadi persyaratan karena dalam pandangan fuqaha, tidak sah wakaf kepada orang yang
belum jelas orangnya atau terhadap orang yang belum lahir.
Rukun ketiga, ialah Maukuf (benda yang
diwakafkan) yang memiliki beberapa syarat, yakni; 1). Abadi untuk
selama-lamanya, maka tidak sah wakaf yang dibatasi oleh waktu tertentu, seperti mewakafkan harta kepada seseorang
selama satu tahun. Pendapat
ini berbeda dengan Imam Malik dan Abu Hanifah yang menyatakan boleh untuk waktu
tertentu dan benda itu tetap berada dalam milik si wakif, 2). Benda yang
diwakafkan harus tetap zatnya dan dapat dimanfaatkan untuk jangka lama, 3).
Jelas wujudnya dan bila tanah harus jelas batas-batasnya. Persyaratan ini
disederhanakan oleh Wahbah Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqhu al-Islami Wa Adillatuhu dengan
ungkapan bahwa benda yang diwakfkan harus berupa : كون الموقوف مالا متقوما مملوكا للواقف ملكا
تاما
Mayoritas ulama berpendapat bahwa benda yang
diwakafkan itu sifat zatnya harus kekal dan tahan lama, tidak cepat habis
seperti benda makanan. Jika diperhatikan, barangkali hal ini disebabkan contoh-contoh benda wakaf yang
terjadi pada masa Rasul pada umumnya adalah benda yang tahan lama dan kekal
zatnya. jadi, semua barang yang dapat diperjual-belikan dengan ciri-ciri
seperti di atas dapat diwakafkan tanpa
menghabiskan barangnya. Artinya tidak sah wakaf jika benda itu tidak dapat
diambil manfaatnya melainkan dengan merusaknya, seperti emas, perak, dan
makanan. Benda yang dilarang untuk diperjual-belikan seperti babi juga tidak
sah dijadikan sebagai benda wakaf.
Selain tiga rukun yang telah disebutkan, rukun
yang keempat adalah sighat. Sighat adalah pernyataan wakif
sebagai tanda penyerahan barang atau benda yang diwakafkan . Sighat dapat dilakukan dengan lisan maupun melalui
tulisan. Dengan pernyataan itu, maka terhapuslah hak wakif atas benda tersebut.
Harta yang diwakafkan seseorang atau kelompok
orang atau badan hukum berarti telah lepas hak miliknya dari benda tersebut dan
beralih menjadi kepunyaan Allah. Walaupun benda itu diambil manfaatnya untuk
kepentingan umum, namun benda yang diwakafkan itu harus tetap dan tidak bisa
dimiliki oleh siapapun.
Pengelola Wakaf
Berbicara mengenai pengelolaan wakaf di Indonesia, tidak bisa lepas dari
periodesasi pengelolaan wakaf secara umum. Paling tidak ada tiga periode besar
pengelolaan waqaf di Indonesia, yaitu :
Periode Tradisional
Dalam
periode ini, wakaf masih di tempatkan sebagai ajaran yang murni di masukkan
dalam kategori ibadah mahdhah (pokok). Yaitu, hampir semua benda-benda
wakaf diperuntukkan untuk kepentingan pembangunan fisik, seperti masjid,
musholla, pesantren, kuburan, yayasan dan sebagainya. Sehingga keberadaan wakaf
belum memberikan kontribusi sosial yang lebih luas karena hanya untuk
kepentingan yang bersifat konsumtif. Kondisi tersebut disebabkan oleh beberapa
aspek, diantaranya:
Ø Kebekuan paham terhadap konsep wakaf
Mayoritas paham umat Islam Indonesia menganut Mazhab Syafi’i yang lebih
banyak menempatkan konsep wakaf pada konteks ajaran yang bersifat statis.
Sehingga wakaf pada periode ini cenderung tidak berkembang, bahkan lebih banyak
menjadi beban Nazhirnya atau umat Islam yang lain. Paham-paham yang sangat
menonjol pada periode ini antara lain:
Pertama, ikrar wakaf. Kebiasaan masyarakat lebih banyak menggunakan pernyataan
lisan pada saat ingin mewakafkan sebagian hartanya tanpa menyertai dengan bukti
tertulis (sertifikat ikrar wakaf) , sehingga banyak harta wakaf yang hilang
karena tidak adanya bukti setelah dikelola oleh beberapa generasi.
Kedua, harta yang boleh diwakafkan lebih banyak pada benda-benda yang tidak
bergerak, sehingga peruntukannya tidak maksimal untuk kepentingan kebajikan.
Ketiga, boleh tidaknya tukar menukar harta wakaf. Dalam masalah ini,
mayoritas wakif dari umat Islam Indonesia berpegang pada pandangan
konservatifnya Asy-Syafi’i sendiri yang menyatakan bahwa harta wakaf tidak boleh
ditukar dengan alasan apapun. Dalam kasus masjid misalnya, Imam Syafi’i
menegaskan bahwa tidak boleh menjual masjid wakaf secara mutlak, sekalipun
masjid itu roboh. Dan ini mudah kita temukan bangunan-bangunan masjid tua di
sekitar kita yang nyaris roboh dan mengakibatkan orang malas pergi ke masjid
tersebut hanya karena para Nazhir wakaf mempertahankan pendapat Imam Syafi’i.
Ø Nazhir wakaf yang masih tradisional
Kebiasaan masyarakat kita yang ingin mewakafkan sebagian hartanya dengan
mempercayakan penuh kepada seseorang yang dianggap tokoh dalam masyarakat
sekitar, seperti kyai, ulama, ustadz, ajengan dan lain-lain untuk mengelola
harta wakaf sebagai Nazhir. Orang yang ingin mewakafkan harta (wakif) tidak
tahu persis kemampuan yang dimiliki Oleh Nazhir tersebut.
Dalam kenyataannya, banyak para Nazhir wakaf tersebut tidak mempunyai
kemampuan manajerial dalam pengelolaan tanah atau bangunan sehingga harta wakaf
tidak banyak manfaatnya bagi masyarakat sekitar. Pola pengelolaannya hanya
didasarkan pada instink ketokohan yang tidak didasarkan kepada visi
pemberdayaan yang memadai.
Ø Peraturan perundangan yang belum memadai
Peraturan perundang-undangan tentang wakaf di Indonesia memang masih
menjadi persoalan yang cukup lama belum terselesaikan secara baik. Karena wakaf
lebih banyak ditempatkan pada persoalan-persoalan yang terkait dengan tanah, sehingga
wakaf belum memberikan kesejahteraan secara lebih luas bagi kepentingan
masyarakat banyak.
Periode semi-profesional
Periode semi-profesional merupakan pola
pengelolaan wakaf yang kondisinya relatif sama dengan periode tradisioanal,
namun pada masa ini sudah mulai dikembangkan pola pembedayaan wakaf
secara produktif, meskipun belum maksimal. Sebagi contoh adalah pembangunan
masjid-masjid yang letaknya strategis dengan menambah bangunan gedung untuk
pertemuan, pernikahan, seminar dan acara lainnya seperti masjid Sunda Kelapa,
masjid Pondok Indah, masjid at-Taqwa Pasar Minggu, Masjid Ni’matul Ittihad
Pondok Pinang (semua terletak di jakarta) dan lain-lain.
Selain hal tersebut juga sudah mulai dikembangkan
pemberdayaan tanah-tanah wakaf untuk bidang pertanian, pendirian usaha-usaha
kecil seperti toko-toko ritel, koperasi, penggilingan padi, usaha bengkel dan
sebagainya yang hasilnya untuk kepentingan pengembangan di bidang pendidikan
(pondok pesantren) , meskipun pola pengelolaannya masih dikatakan tradisional.
Pola pemberdayaan seperti ini sudah dilakukan oleh Pondok Pesantren Modern
As-Salam Gontor, Ponorogo.Ada pula yang
secara khusus mengembangkan wakaf untuk kesehatan dan pendidikan seperti yang
dilakukan oleh Yayasan Wakaf Sultan Agung, Semarang. Ada lagi yang
memberdayakan wakaf dengan pola pengkajian dan penelitian secara intensif
terhadap pengembangan wacana pemikiran Islam modern seperti yang dilakukan oleh
Yayasan Wakaf Paramadina, dan seterusnya.
Namun, karena banyaknya kendala dalam pemberdayaan
wakaf secara agresif pada periode ini dan kita sekarang masih berada dalam
periode ini, maka pemberdayaan wakaf terlihat belum dinamis.
Periode Profesional
Yaitu sebuah kondisi dimana daya tarik wakaf sudah
mulai di lirik untuk di berdayakan secara profesional-produktif. Profesionalitas
yang dilakukan meliputi aspek: manajemen, SDM ke-Nazhiran, pola kemitraan
usaha, bentuk benda wakaf yang tidak hanya berupa harta tidak bergerak, akan
tetapi dapat juga yang lain seperti uang, saham dan surat berharga lainnya, dukungan
political will pemerintah secara penuh, seperti lahirnya Undang-undang No
41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Dalam periode ini, isu yang paling menonjol untuk
bisa mencapai pengelolaan wakaf secara profesional adalah munculnya gagasan
wakaf tunai yang digulirkan oleh tokoh ekonomi asal Bangladesh, Prof. M.A.
Mannan. Kemudian muncul pula gagasan wakaf investasi yang di Indonesia sudah dimulai
oleh Dompet Dhuafa Republik bekerja sama dengan Batasa (BTS) Capital beberapa
waktu yang lalu.
Semangat pemberdayaan potensi wakaf secara
profesional-produktif tersebut semata-mata untuk kepengtingan kesejahteraan
umat manusia, khususnya kaum muslimin Indonesia yang sampi saat ini masih dalam
keterpurukan ekonomi yang sangat menyedihkan, baik di bidang pendidikan, kesehatan,
teknologi maupun bidang sosial lainnya. Pada masa ini, kita mulai menapaki
jenjang periodesasi pemberdayaan wakaf secara total melibatkan seluruh potensi
keummatan dengan dukungan penuh, seperti lahirnya UU Wakaf baru, peran UU
Otonomi Daerah, peran Perda, kebijakan moneter nasinal, UU perpajakan dan lain
sebagainya.
Landasan yang digunakan untuk langkah-langkah
tersebut adalah bukti-bukti pemberdayaan wakaf yang sudah dilakukan oleh
negara-negara muslim, seperti Mesir, Turki, Arab Saudi, Yordania, Qatar,
Kuwait, Marokko, Bangladesh, Pakistan, Malaysia dan lain sebagainya. Bahkan di
sekitar Masjidil Haram dan Masjid Nabawi yang nota bene dulu adalah
tanah wakaf telah berdiri beberapa tempat-tempat usaha sebagai mesin ekonomi
yang maha dahsyat, seperti hotel, restoran, apartemen, pusat-pusat perniagaan,
perkantoran, Rumah sakit, pusat pemerintahan dan lain sebagainya. Hal ini
menunjukkan bahwa tanah-tanah wakaf harus diberdayakan untuk menggali potensi
ekonominya dalam rangka kesejahteraan masyarakat banyak. Potret nyata tersebut
sudah tidak bisa dibantah lagi bahwa tanah-tanah wakaf yang memiliki posisi
strategis harus diberdayakan ekonominya secara maksimal, kemudian hasilnya
digunakan sepenuhnya untuk kepentingan kesejahteraan umum.
Wakaf Sebagai Solusi Alternatif
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa problem
serius yang sedang dihadapi oleh bangsa ini adalah permasalahan kemiskinan.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mengentaskan
kemiskinan ini, namun demikian sampai sekarang nampaknya belum begitu terlihat
hasilnya, bahkan data-data yang ada semakin mengarah pada sebuah kesimpulan
bahwa bangsa ini tidak makin sejahtera, akan tetapi bertambah semakin miskin.
Dalam salah satu situs di internet ditegaskan
bahwa utang Indonesia bertambah dari 1.275 triliun pada bulan Desember 2003
menjadi 1.667 triliun pada bulan Januari 2009.
Kalau seandainya utang yang ada dibagi dengan penduduk Indonesia, maka
setiap orang memliki tanggungan utang 5,8 juta pada tahun 2004 dan menjadi
memiliki tanggungan utang 7,7 juta pada bulan Pebruari 2009. Realitas ini dapat
ini dapat disimpulkan bahwa kondisi perekonomian Indonesia sampai saat ini
masih belum sehat.
Menurut laporan majalah Tempo, pemerintah telah
menggelontorkan dana dan anggaran sebesar 3 triliun pada tahun 2007, 15 triliun
pada tahun 2008 dan 70 triliun pada tahun 2009 untuk pengentasan kemiskinan,
akan tetapi sampai sekarang dana dan anggaran yang sebesar itu masih belum
begitu berdampak pada perbaikan ekonomi. Hal ini salah satunya disebabkan
tingkat kebocoran anggaran di negeri tercinta ini masih terlalu tinggi, yaitu
berkisar antara 30-35 persen (kompas 14 April 2009)
Sebagai anak bangsa yang juga memiliki tanggung
jawab terhadap kesejahteraan bangsa ini, maka tidak sepatutnya apabila kita
hanya mengandalkan program pemerintah saja, lebih-lebih para penyelenggara
negara masih banyak yang kurang amanah dan kurang bersih. Harus ada solusi lain
yang memungkinkan dan dapat membantu negeri tercinta ini keluar dari krisis ekonomi
yang berkepanjangan. Sebagai umat Islam, kita yakin bahwa agama Islam adalah
agama yang banyak menawarkan solusi,
meskipun permasalahan itu langsung berkaitan dengan ekonomi. Salah satu yang
ditawarkan Islam dalam menyelesaikan masalah ekonomi adalah disyariatkannya
wakaf.
Diskripsi di atas dimaksudkan untuk menegaskan
bahwa gerakan pengentasan kemiskinan yang membutuhkan dana dan anggaran yang
cukup besar sulit dilakukan oleh pemerintah secara masive dan cepat,
karena beban dan tanggungan pemerintah untuk program-program yang lain juga
cukup menumpuk. Berdasarkan data yang
dirilis oleh Departemen Agama pada tahun 2003 diketahui bahwa nilai total harta
wakaf mencapai kurang-lebih 590 triliun. Karena merupakan harta wakaf, maka saat ini nilai asetnya
tidak mungkin berkurang, bahkan justru sangat mungkin mengalami penambahan.
Dalam konteks Indonesia, dimana kaum muslimin
merupakan kelompok mayoritas, wakaf akan
lebih mampu menjadi sumber untuk pengentasan kemiskinan yang cukup luar biasa
ketika wakaf tunai diberlakukan dan dikelola secara serius. Bisa dibayangkan,
jika 20
juta umat Islam Indonesia mau mengumpulkan wakaf tunai senilai Rp 100 ribu
setiap bulan, maka dana yang terkumpul berjumlah Rp 24 triliun setiap tahun. Jika 50 juta
orang yang berwakaf,
maka setiap tahun akan terkumpul dana wakaf sebesar Rp 60 triliun.
Kelebihan wakaf dibanding zakat adalah bahwa wakaf
bisa dilakukan oleh siapa saja, baik itu kaya atau miskin, sedangkan zakat
hanya wajib dilakukan oleh orang kaya saja yang hartanya sudah mencapai
nishabnya.
Dari analisis di atas dapat ditegaskan bahwa
secara konseptual, Islam telah memberikan solusi alternatif untuk
masalah-masalah sosial. Selanjutnya yang menjadi masalah adalah pengelolaan.
Sampai saat ini harus diakui bahwa
pengelolaan zakat, wakaf atau yang lain masih sangat acak dan semrawut dan
terkadang bertentangan dengan konsep yang ditawarkan oleh fiqh Islam dan jauh
dari profesional, sehingga sampai sekarang zakat dan wakaf masih terkesan
mandul.
والله اعلم بالصواب
Tidak ada komentar:
Posting Komentar