Kamis, 19 Juni 2014

Wakaf : solusi alternatif untuk pengentasan kemiskinan



Wakaf : solusi alternatif untuk pengentasan kemiskinan
Oleh : Abdul Haris

Iftitah
Kemiskinan merupakan problem rumit yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Untuk mengatasinya, bangsa ini disamping membutuhkan pejabat dan penyelenggara pemerintah yang bersih, juga membutuhkan dana dan anggaran yang cukup besar. Memang ada  klaim yang menegaskan bahwa pemerintah telah mampu menurunkan  angka kemiskinan, akan tetapi yang jelas sampai saat ini secara real kita belum merasakan dan  melihat adanya perubahan yang cukup signifikan tentang kesejahteraan masyarakat yang ada di sekitar kita. Tetangga kita yang dulunya miskin mayoritas masih tetap berstatus sebagai orang miskin dan jarang sekali yang berubah menjadi orang yang sejahtera dan berkecukupan.
Permasalahan kemiskinan oleh Islam  dipandang sebagai permasalahan yang serius, bahkan kemiskinan dapat menjerumuskan seseorang pada kekafiran. Karena demikian, maka program pengentasan kemiskinan bukanlah menjadi program yang hanya ditawarkan oleh pemerintah, akan tetapi juga merupakan program yang ditawarkan oleh agama kita. Kewajiban menunaikan zakat, anjuran untuk berinfak dan bershadaqah, adanya ketentuan tetang wasiat, qorban dan wakaf adalah bukti konkrit bahwa Islam merupakan agama yang sangat peduli terhadap kesejahteraan sosial. Ketika sampai saat ini masih dirasa bahwa justru yang banyak berada di garis kemiskinan adalah umat Islam, hal ini bukan disebabkan karena konsep Islam, akan tetapi lebih disebabkan karena aplikasi dan pengelolaan dari konsep Islam yang masih belum maksimal atau disalah-pahami.
Tulisan ini mencoba untuk mengungkap konsep wakaf menurut fiqh Islam dan peluangnya dalam rangka ikut serta menyelesaikan permasalahan kemiskinan yang terjadi di negara kita.
Pengertian Wakaf
Kata ”wakaf” berasal dari bahasa Arab, yaitu bentuk masdar dari ( وقف – يقف – وقفا  ) yang berarti : berhenti. Dari pengertian ini dapat diterjemahkan bahwa seorang yang mewakafkan hartanya harus menghentikan manfaat keuntungan harta tersebut untuk dinikmati dirinya sendiri dan diarahkan untuk amal kebaikan sesuai dengan tujuan wakaf ; atau dapat juga diterjemahkan bahwa seorang yang mewakafkan hartanya harus menghentikan segala aktifitas yang pada mulanya diperbolehkan terhadap harta tersebuat, seperti menjual, mewariskan, menghibahkan mentransaksikan dan lain sebagainya dan kemudian hanya khusus diperuntukkan pada hal-hal yang menjadi tujuan wakaf.
Sedangkan dari sisi istilah, minimal ada tiga definisi yang biasa  ditawarkan  oleh kalangan fuqaha’, yaitu :
·       التعريف الأول ـ لأبي حنيفة (1) : وهو حبس العين على حكم ملك الواقف، والتصدُّق بالمنفعة على جهة الخير. وبناء عليه لا يلزم زوال الموقوف عن ملك الواقف ويصح له الرجوع عنه، ويجوز بيعه؛ لأن الأصح عند أبي حنيفة أن الوقف جائز غير لازم كالعارية
Definisi pertama. Yaitu definisi yang ditawarkan oleh Abu hanifah. wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum tetap menjadi milik wakif  dan mensedakahkan manfaatnya untuk kebaikan. Berdasarkan definisi ini, kepemilikan harta wakaf tidak harus lepas dari orang yang mewakafkan. Seorang wakif juga diperbolehkan untuk menarik kembali, dan bahkan boleh menjualnya, karena menurut pendapat yang paling shahih dari Abu Hanifah bahwa wakaf itu termasuk dalam kategori akad jaiz, bukan lazim sebagaimana ariyah.”
·       التعريف الثاني ـ للجمهور وهم الصاحبان وبرأيهما يفتى عند الحنفية، والشافعية والحنابلة في الأصح : وهو حبس مال يمكن الانتفاع به، مع بقاء عينه، بقطع التصرف في رقبته من الواقف وغيره، على مصرف مباح موجود ـ أو بصرف ريعه على جهة بر وخير ـ تقرباً إلى الله تعالى. وعليه يخرج المال عن ملك الواقف، ويصير حبيساً على حكم ملك الله تعالى ، ويمتنع على الواقف تصرفه فيه، ويلزم التبرع بريعه على جهة الوقف
“ definisi kedua menurut jumhur. Mereka adalah dua sahabat (Abu Hanifah). Pendapat mereka ini menjadi dasar fatwa bagi golongan Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah. Wakaf adalah menahan harta yang mungkin diambil manfaatnya sedangkan  bendanya tidak terganggu dengan cara memutus penggunaan barang tersebut, baik dari wakif atau yang lain untuk disalurkan pada saluran yang ada dan mubah, atau dengan menyalurkan hasilnya untuk kebaikan. Semua itu dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Berpijak dari definisi ini harta benda yang diwakafkan keluar dari kepemilikan wakif dan menjadi milik Allah. Wakif dilarang menggunakannya dan harus mendistribusikan hasilnya untuk kebaikan”
·       التعريف الثالث ـ للمالكية  : وهو جعل المالك منفعة مملوكة، ولو كان مملوكاً بأجرة، أو جعل غلته كدراهم، لمستحق، بصيغة، مدة ما يراه المحبِّس. أي إن المالك يحبس العين عن أي تصرف تمليكي، ويتبرع بريعها لجهة خيرية، تبرعاً لازماً، مع بقاء العين على ملك الواقف، مدة معينة من الزمان، فلا يشترط فيه التأبيد.
”Definisi ketiga menurut kalangan Malikiyah. Wakaf  adalah perbuatan si wakif yang menjadikan manfaat hartanya atau hasil dari benda yang diwakafkjan (apabila yang diwakafkan berbentuk uang)  untuk digunakan oleh mustahiq (penerima wakaf) walaupun itu berbentuk upah, dengan mengucapkan sighat wakaf untuk masa tertentu sesuai dengan keinginan pemilik. Dengan kata lain pemilik harta menahan benda itu dari penggunaan secara kepemilikan tapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan yang mengikat beserta tetapnya status benda pada kepemilikan wakif selama masa tertentu. Wakaf tidak disyaratkan harus kekal.  
Dalam konteks Indonesia nampaknya yang berlaku adalah definisi yang ditawarkan oleh  jumhur, sebagaimana hal ini terekam dalam definisi yang ditawarkan oleh Kompilasi Hukum Indonesia (KHI) yang berbunyi : wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang  atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
Dasar Hukum Wakaf
Sebuah keputusan hukum pasti didasarkan pada sebuah dalil atau dasar hukum. Demikian juga halnya dengan wakaf. Dalil atau dasar hukum yang biasa dijadikan sebagai pegangan dalam menjelaskan permasalahan wakaf adalah :
  • Al-Qur’an
o      لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيم
“ Kamu sekali-kali tidak akan sampai pada kebaikan sampai kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahui (QS, 3 : 92)


  • Al-Hadits
o      حَدَّثَنَا الرَّبِيعُ بْنُ سُلَيْمَانَ الْمُؤَذِّنُ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ سُلَيْمَانَ يَعْنِي ابْنَ بِلَالٍ عَنْ الْعَلاَءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أُرَاهُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“ Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali tiga hal; shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak yang shaleh yang mendoakannya”
o      حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ حَدَّثَنَا ابْنُ عَوْنٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أَصَابَ عُمَرُ بِخَيْبَرَ أَرْضًا فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَصَبْتُ أَرْضًا لَمْ أُصِبْ مَالًا قَطُّ أَنْفَسَ مِنْهُ فَكَيْفَ تَأْمُرُنِي بِهِ قَالَ إِنْ شِئْتَ حَبَّسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا فَتَصَدَّقَ عُمَرُ أَنَّهُ لَا يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلَا يُوهَبُ وَلَا يُورَثُ فِي الْفُقَرَاءِ وَالْقُرْبَى وَالرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالضَّيْفِ وَابْنِ السَّبِيلِ لَا جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ أَوْ يُطْعِمَ صَدِيقًا غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ فِيهِ
Sahabat Umar r.a memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian beliau menghadap rasulullah. Umar berkata : Saya mendapatkan sebidang tanah (di khaibar), saya belum pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku ?” Rasulullah bersabda: “ bila engkau suka, kau tahan pokok tanah itu dan engkau shadakahkan (hasilnya). Kemudian Umar melakukan shadakah kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian, sabilillah, tamu dan Ibnu sabil. (tanah tersebut tidak dijual, tidak dihibahkan dan juga tidak diwariskan. Tidak dilarang bagi yang menguasai tanah wakaf itu (yang mengurusi) makan dari hasilnya dengan cara yang baik atau memberi makan orang lain dengan tanpa ada niatan memilikinya.”
  • Penegasan Ulama
o      ويلاحظ ان القليل من احكام الوقف ثابت بالسنة ومعظم احكامه ثابت باجتهاد الفقهاء بالاعتماد على الاستحسان والاستصلاح والعرف
“ Dapat disimpulkan bahwa hukum wakaf yang didasarkan pada sunah sangat sedikit, sedangkan yang banyak adalah  diputuskan melalui ijtihad para fuqaha dengan berpegang pada istihsan, istishlah dan urf”
Rukun dan Syarat-Syarat Wakaf
Kendati para Imam Mujtahid berbeda pendapat dalam memberikan pandangan terhadap institusi wakaf, namum semuanya sependapat bahwa untuk mem-bentuk lembaga wakaf diperlukan rukun dan syarat-syarat wakaf. Rukun artinya sudut, tiang penyangga yang merupakan sendi utama atau unsur pokok dalam pembentukan suatu hal. Tanpa rukun tersebut sesuatu itu tidak akan tegak berdiri. Begitu pula syarat-syarat yang menentukan sah atau tidaknya suatu wakaf.
Khusus mengenai jumlah rukun tersebut terdapat perbedaan pendapat antara Mazhab Hanafi dengan Jumhur Fuqaha. Menurut ulama Mazhab Hanafi bahwa rukun wakaf itu hanya satu, yakni akad yang berupa ijab (penyataan dari wakif). Sedangkan qabul (pernyataan menerima wakaf) tidak termasuk rukun bagi ulama mazhab hanafi. Hal ini disebabkan karena akad wakaf tidak bersifat mengikat. Apabila seseorang mengatakan; “saya mewakafkan harta ini kepada anda”, maka akad itu sah dengan sendirinya dan orang yang diberi wakaf berhak atas harta itu.
Menurut jumhur ulama dari mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hambali rukun wakaf tersebut ada empat , yaitu : 1) adanya wakif (orang yang berwakaf), 2) maukuf alaih (orang yang menerima wakaf), 3) maukuf (benda yang diwakafkan) dan 4) Sighat.
Masing-masing dari rukun itu harus memenuhi persyaratan tertentu pula. Untuk wakif, ada beberapa syarat, yaitu; 1). Wakif harus orang yang merdeka dan pemilik penuh benda yang akan diwakafkan , 2). Baligh, 3). Berakal, 4). Cerdas. Empat persyaratan ini apabila disederhanakan  dalam bahasa yang lebih ringkas menjadi seorang wakif harus  memenuhi persyaratan  Shihhatu Ibarah dan Ahliyatu-Tabarru”.
Rukun kedua dari wakaf setelah adanya wakif ialah Maukuf alaih.  Maukuf alaih disyaratkan harus ada sewaktu penyerahan wakaf dan harus ahli untuk memiliki harta yang diwakafkan (ahlan li al-tamalluk). Keberadaan  Maukuf alaih sewaktu terjadinya ikrar wakaf menjadi persyaratan  karena dalam pandangan  fuqaha, tidak sah wakaf kepada orang yang belum jelas orangnya atau terhadap orang yang belum lahir.
Rukun ketiga, ialah Maukuf (benda yang diwakafkan) yang memiliki beberapa syarat, yakni; 1). Abadi untuk selama-lamanya, maka tidak sah wakaf yang dibatasi oleh waktu tertentu, seperti mewakafkan harta kepada seseorang selama satu tahun. Pendapat ini berbeda dengan Imam Malik dan Abu Hanifah yang menyatakan boleh untuk waktu tertentu dan benda itu tetap berada dalam milik si wakif, 2). Benda yang diwakafkan harus tetap zatnya dan dapat dimanfaatkan untuk jangka lama, 3). Jelas wujudnya dan bila tanah harus jelas batas-batasnya. Persyaratan ini disederhanakan oleh Wahbah Zuhaili dalam kitabnya  al-Fiqhu al-Islami Wa Adillatuhu dengan ungkapan bahwa benda yang diwakfkan harus berupa : كون الموقوف مالا متقوما مملوكا للواقف ملكا تاما
Mayoritas ulama berpendapat bahwa benda yang diwakafkan itu sifat zatnya harus kekal dan tahan lama, tidak cepat habis seperti benda makanan. Jika diperhatikan, barangkali hal ini  disebabkan contoh-contoh benda wakaf yang terjadi pada masa Rasul pada umumnya adalah benda yang tahan lama dan kekal zatnya. jadi, semua barang yang dapat diperjual-belikan dengan ciri-ciri seperti  di atas dapat diwakafkan tanpa menghabiskan barangnya. Artinya tidak sah wakaf jika benda itu tidak dapat diambil manfaatnya melainkan dengan merusaknya, seperti emas, perak, dan makanan. Benda yang dilarang untuk diperjual-belikan seperti babi juga tidak sah dijadikan sebagai benda wakaf.
Selain tiga rukun yang telah disebutkan, rukun yang keempat adalah sighat. Sighat adalah pernyataan wakif sebagai tanda penyerahan barang atau benda yang diwakafkan . Sighat  dapat dilakukan dengan lisan maupun melalui tulisan. Dengan pernyataan itu, maka terhapuslah hak wakif atas benda tersebut.
Harta yang diwakafkan seseorang atau kelompok orang atau badan hukum berarti telah lepas hak miliknya dari benda tersebut dan beralih menjadi kepunyaan Allah. Walaupun benda itu diambil manfaatnya untuk kepentingan umum, namun benda yang diwakafkan itu harus tetap dan tidak bisa dimiliki oleh siapapun.

 Pengelola Wakaf
Berbicara mengenai pengelolaan wakaf di Indonesia, tidak bisa lepas dari periodesasi pengelolaan wakaf secara umum. Paling tidak ada tiga periode besar pengelolaan waqaf di Indonesia, yaitu :
Periode Tradisional
  Dalam periode ini, wakaf masih di tempatkan sebagai ajaran yang murni di masukkan dalam kategori ibadah mahdhah (pokok). Yaitu, hampir semua benda-benda wakaf diperuntukkan untuk kepentingan pembangunan fisik, seperti masjid, musholla, pesantren, kuburan, yayasan dan sebagainya. Sehingga keberadaan wakaf belum memberikan kontribusi sosial yang lebih luas karena hanya untuk kepentingan yang bersifat konsumtif. Kondisi tersebut disebabkan oleh beberapa aspek, diantaranya:
Ø     Kebekuan paham terhadap konsep  wakaf
Mayoritas paham umat Islam Indonesia menganut Mazhab Syafi’i yang lebih banyak menempatkan konsep wakaf pada konteks ajaran yang bersifat statis. Sehingga wakaf pada periode ini cenderung tidak berkembang, bahkan lebih banyak menjadi beban Nazhirnya atau umat Islam yang lain. Paham-paham yang sangat menonjol pada periode ini  antara lain:
Pertama, ikrar wakaf. Kebiasaan masyarakat lebih banyak menggunakan pernyataan lisan pada saat ingin mewakafkan sebagian hartanya tanpa menyertai dengan bukti tertulis (sertifikat ikrar wakaf) , sehingga banyak harta wakaf yang hilang karena tidak adanya bukti setelah dikelola oleh beberapa generasi.
Kedua, harta yang boleh diwakafkan lebih banyak pada benda-benda yang tidak bergerak, sehingga peruntukannya tidak maksimal untuk kepentingan kebajikan. Ketiga, boleh tidaknya tukar menukar harta wakaf. Dalam masalah ini, mayoritas wakif dari umat Islam Indonesia berpegang pada pandangan konservatifnya Asy-Syafi’i sendiri yang menyatakan bahwa harta wakaf tidak boleh ditukar dengan alasan apapun. Dalam kasus masjid misalnya, Imam Syafi’i menegaskan bahwa tidak boleh menjual masjid wakaf secara mutlak, sekalipun masjid itu roboh. Dan ini mudah kita temukan bangunan-bangunan masjid tua di sekitar kita yang nyaris roboh dan mengakibatkan orang malas pergi ke masjid tersebut hanya karena para Nazhir wakaf mempertahankan pendapat Imam Syafi’i.
Ø     Nazhir wakaf yang masih tradisional
Kebiasaan masyarakat kita yang ingin mewakafkan sebagian hartanya dengan mempercayakan penuh kepada seseorang yang dianggap tokoh dalam masyarakat sekitar, seperti kyai, ulama, ustadz, ajengan dan lain-lain untuk mengelola harta wakaf sebagai Nazhir. Orang yang ingin mewakafkan harta (wakif) tidak tahu persis kemampuan yang dimiliki Oleh Nazhir tersebut.
Dalam kenyataannya, banyak para Nazhir wakaf tersebut tidak mempunyai kemampuan manajerial dalam pengelolaan tanah atau bangunan sehingga harta wakaf tidak banyak manfaatnya bagi masyarakat sekitar. Pola pengelolaannya hanya didasarkan pada instink ketokohan yang tidak didasarkan kepada visi pemberdayaan yang memadai.
Ø     Peraturan perundangan yang belum memadai
Peraturan perundang-undangan tentang wakaf di Indonesia memang masih menjadi persoalan yang cukup lama belum terselesaikan secara baik. Karena wakaf lebih banyak ditempatkan pada persoalan-persoalan yang terkait dengan tanah, sehingga wakaf belum memberikan kesejahteraan secara lebih luas bagi kepentingan masyarakat banyak.
 Periode semi-profesional
Periode semi-profesional merupakan pola pengelolaan wakaf yang kondisinya relatif sama dengan periode tradisioanal, namun pada masa ini sudah mulai                dikembangkan pola pembedayaan wakaf secara produktif, meskipun belum maksimal. Sebagi contoh adalah pembangunan masjid-masjid yang letaknya strategis dengan menambah bangunan gedung untuk pertemuan, pernikahan, seminar dan acara lainnya seperti masjid Sunda Kelapa, masjid Pondok Indah, masjid at-Taqwa Pasar Minggu, Masjid Ni’matul Ittihad Pondok Pinang (semua terletak di jakarta) dan lain-lain.
Selain hal tersebut juga sudah mulai dikembangkan pemberdayaan tanah-tanah wakaf untuk bidang pertanian, pendirian usaha-usaha kecil seperti toko-toko ritel, koperasi, penggilingan padi, usaha bengkel dan sebagainya yang hasilnya untuk kepentingan pengembangan di bidang pendidikan (pondok pesantren) , meskipun pola pengelolaannya masih dikatakan tradisional. Pola pemberdayaan seperti ini sudah dilakukan oleh Pondok Pesantren Modern As-Salam Gontor, Ponorogo.Ada pula  yang secara khusus mengembangkan wakaf untuk kesehatan dan pendidikan seperti yang dilakukan oleh Yayasan Wakaf Sultan Agung, Semarang. Ada lagi yang memberdayakan wakaf dengan pola pengkajian dan penelitian secara intensif terhadap pengembangan wacana pemikiran Islam modern seperti yang dilakukan oleh Yayasan Wakaf Paramadina, dan seterusnya.
Namun, karena banyaknya kendala dalam pemberdayaan wakaf secara agresif pada periode ini dan kita sekarang masih berada dalam periode ini, maka pemberdayaan wakaf terlihat belum dinamis.

 Periode Profesional
Yaitu sebuah kondisi dimana daya tarik wakaf sudah mulai di lirik untuk di berdayakan secara profesional-produktif. Profesionalitas yang dilakukan meliputi aspek: manajemen, SDM ke-Nazhiran, pola kemitraan usaha, bentuk benda wakaf yang tidak hanya berupa harta tidak bergerak, akan tetapi dapat juga yang lain seperti uang, saham dan surat berharga lainnya, dukungan political will pemerintah secara penuh, seperti lahirnya Undang-undang No 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Dalam periode ini, isu yang paling menonjol untuk bisa mencapai pengelolaan wakaf secara profesional adalah munculnya gagasan wakaf tunai yang digulirkan oleh tokoh ekonomi asal Bangladesh, Prof. M.A. Mannan. Kemudian muncul pula gagasan wakaf investasi yang di Indonesia sudah dimulai oleh Dompet Dhuafa Republik bekerja sama dengan Batasa (BTS) Capital beberapa waktu yang lalu.
Semangat pemberdayaan potensi wakaf secara profesional-produktif tersebut semata-mata untuk kepengtingan kesejahteraan umat manusia, khususnya kaum muslimin Indonesia yang sampi saat ini masih dalam keterpurukan ekonomi yang sangat menyedihkan, baik di bidang pendidikan, kesehatan, teknologi maupun bidang sosial lainnya. Pada masa ini, kita mulai menapaki jenjang periodesasi pemberdayaan wakaf secara total melibatkan seluruh potensi keummatan dengan dukungan penuh, seperti lahirnya UU Wakaf baru, peran UU Otonomi Daerah, peran Perda, kebijakan moneter nasinal, UU perpajakan dan lain sebagainya.
Landasan yang digunakan untuk langkah-langkah tersebut adalah bukti-bukti pemberdayaan wakaf yang sudah dilakukan oleh negara-negara muslim, seperti Mesir, Turki, Arab Saudi, Yordania, Qatar, Kuwait, Marokko, Bangladesh, Pakistan, Malaysia dan lain sebagainya. Bahkan di sekitar Masjidil Haram dan Masjid Nabawi yang nota bene dulu adalah tanah wakaf telah berdiri beberapa tempat-tempat usaha sebagai mesin ekonomi yang maha dahsyat, seperti hotel, restoran, apartemen, pusat-pusat perniagaan, perkantoran, Rumah sakit, pusat pemerintahan dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa tanah-tanah wakaf harus diberdayakan untuk menggali potensi ekonominya dalam rangka kesejahteraan masyarakat banyak. Potret nyata tersebut sudah tidak bisa dibantah lagi bahwa tanah-tanah wakaf yang memiliki posisi strategis harus diberdayakan ekonominya secara maksimal, kemudian hasilnya digunakan sepenuhnya untuk kepentingan kesejahteraan umum.
Wakaf Sebagai Solusi Alternatif
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa problem serius yang sedang dihadapi oleh bangsa ini adalah permasalahan kemiskinan. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mengentaskan kemiskinan ini, namun demikian sampai sekarang nampaknya belum begitu terlihat hasilnya, bahkan data-data yang ada semakin mengarah pada sebuah kesimpulan bahwa bangsa ini tidak makin sejahtera, akan tetapi bertambah semakin miskin.
Dalam salah satu situs di internet ditegaskan bahwa utang Indonesia bertambah dari 1.275 triliun pada bulan Desember 2003 menjadi 1.667 triliun pada bulan Januari 2009.  Kalau seandainya utang yang ada dibagi dengan penduduk Indonesia, maka setiap orang memliki tanggungan utang 5,8 juta pada tahun 2004 dan menjadi memiliki tanggungan utang 7,7 juta pada bulan Pebruari 2009. Realitas ini dapat ini dapat disimpulkan bahwa kondisi perekonomian Indonesia sampai saat ini masih belum sehat.
Menurut laporan majalah Tempo, pemerintah telah menggelontorkan dana dan anggaran sebesar 3 triliun pada tahun 2007, 15 triliun pada tahun 2008 dan 70 triliun pada tahun 2009 untuk pengentasan kemiskinan, akan tetapi sampai sekarang dana dan anggaran yang sebesar itu masih belum begitu berdampak pada perbaikan ekonomi. Hal ini salah satunya disebabkan tingkat kebocoran anggaran di negeri tercinta ini masih terlalu tinggi, yaitu berkisar antara 30-35 persen (kompas 14 April 2009)
Sebagai anak bangsa yang juga memiliki tanggung jawab terhadap kesejahteraan bangsa ini, maka tidak sepatutnya apabila kita hanya mengandalkan program pemerintah saja, lebih-lebih para penyelenggara negara masih banyak yang kurang amanah dan kurang bersih. Harus ada solusi lain yang memungkinkan dan dapat membantu negeri tercinta ini keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Sebagai umat Islam, kita yakin bahwa agama Islam adalah agama yang  banyak menawarkan solusi, meskipun permasalahan itu langsung berkaitan dengan ekonomi. Salah satu yang ditawarkan Islam dalam menyelesaikan masalah ekonomi adalah disyariatkannya wakaf.
Diskripsi di atas dimaksudkan untuk menegaskan bahwa gerakan pengentasan kemiskinan yang membutuhkan dana dan anggaran yang cukup besar sulit dilakukan oleh pemerintah secara masive dan cepat, karena beban dan tanggungan pemerintah untuk program-program yang lain juga cukup menumpuk. Berdasarkan  data yang dirilis oleh Departemen Agama pada tahun 2003 diketahui bahwa nilai total harta wakaf mencapai kurang-lebih 590 triliun. Karena merupakan  harta wakaf, maka saat ini nilai asetnya tidak mungkin berkurang, bahkan justru sangat mungkin mengalami penambahan.
Dalam konteks Indonesia, dimana kaum muslimin merupakan kelompok mayoritas, wakaf  akan lebih mampu menjadi sumber untuk pengentasan kemiskinan yang cukup luar biasa ketika wakaf tunai diberlakukan dan dikelola secara serius. Bisa dibayangkan, jika ‎‎20 juta umat Islam Indonesia mau mengumpulkan wakaf tunai senilai Rp 100 ribu setiap bulan, maka dana yang terkumpul berjumlah Rp 24 triliun setiap tahun. Jika 50 juta orang yang berwakaf, maka setiap tahun akan terkumpul dana wakaf sebesar Rp 60 triliun.
Kelebihan wakaf dibanding zakat adalah bahwa wakaf bisa dilakukan oleh siapa saja, baik itu kaya atau miskin, sedangkan zakat hanya wajib dilakukan oleh orang kaya saja yang hartanya sudah mencapai nishabnya.
Dari analisis di atas dapat ditegaskan bahwa secara konseptual, Islam telah memberikan solusi alternatif untuk masalah-masalah sosial. Selanjutnya yang menjadi masalah adalah pengelolaan. Sampai saat ini harus  diakui bahwa pengelolaan zakat, wakaf atau yang lain masih sangat acak dan semrawut dan terkadang bertentangan dengan konsep yang ditawarkan oleh fiqh Islam dan jauh dari profesional, sehingga sampai sekarang zakat dan wakaf masih terkesan mandul.

والله اعلم بالصواب

Tidak ada komentar:

Posting Komentar