THALAQ (Syarat, Hukum dan Macamnya)
I. PENDAHULUAN
Suatu perkawinan dimaksudkan untuk membina hubungan yang
harmonis antara suami istri, namun kenyataan membuktikan, bahwa untuk
memelihara keharmonisan dan kelestarian bersama suami istri bukanlah perkara
yang mudah dilaksanakan bahkan dalam hal perkara yang mudah dilaksanakan bahkan
dalam hal kasih sayang pun sulit untuk diwujudkan dikarenakan faktor-faktor
psikologis, biologis, ekonomis, perbedaan kecenderungan pandangan hidup
tersebut.[1]
Pada dasarnya pergaulan suami istri merupakan
persenyawaan jiwa raga dan cipta rasa, maka antara suami istri diwajibkan
bergaul dengan sebaik-baiknya. Firman Allah :
وَعَاشِرُوهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً
وَيَجْعَلَ اللهُ فِيهِ خَيْراً كَثِيراً {النساء : 19}
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian
bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Oleh
karena itu, apabila adanya suatu perselisihan yang terjadi antara suami istri
wajib diusahakan dengan cara musyawarah dan mufakat. Apabila perselisihan /
krisis rumah tangga tersebut sedemikian memuncak dan tidak mungkin untuk dapat
diselesaikan maka cara yang harus ditempuh dengan cerai / diceraikan dan suatu
perkawinan dapat berakhir karena terjadinya thalaq yang dijatuhkan oleh suami
terhadap istri.
II.
PEMBAHASAN
a.
Pengertian Thalaq
Kata
“thalaq” dalam bahasa Arab berasal dari kata thalaqa-yathalaqu-thalaqa
yang bermakna melepas/mengurai tali pengikat, baik tali itu bersifat kongkrit
maupun abstrak, kata thalaq merupakan isim masdar dari kata thalaqa-yathaliqu-thathqar
yang bermakna “irsai” dan “tarku” yaitu melepaskan dan meninggalkan.[2]
Al-Jaziri
dalam kitabnya al-fiqh alal madzahibil arba’ah memberikan definisinya :
اَطَّلاَ قُ اِزْ لَةُ النِّكَاحِ اَوْ
نُقْصَانِ حَلِّهِ بِلَفْظٍ مَخْصُوْصٍ.
“Thalaq ialah
menghilangkan ikatan perkawinan / mengurangi pelepasan ikatannya dengan
mempergunakan kata-kata tertentu”
Dalam istilah
agama, “thalaq” artinya melepaskan ikatan perkawinan / bubarnya hubungan
perkawinan.[3]
حُلُّ رَابِطَةٍ
الزَّاوَاجِ وَاِنْهَاءُ الْعَلاَ قَةِ الزَّوْجِيَّةِ
“Thalaq ialah melepas
tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri”.
b.
Syarat-syarat Thalaq
1.
Suami
a)
Berakal
b) Baligh
c) Atas kemauan sendiri, karena bila atas kehendak orang
lain tidak sah. Rasulullah bersabda :
اِنَّ اللهَ وَضَحَ
عَنْ اُمَّتِىالْخَطَاءَ وَالنِّسْيَانَ وَمَااسْتُكْرِ هُوَاعَلَيْهِ
“Sesungguhnya Allah melepaskan dari
umatku tanggung jawab dosa silap, lupa dan suatu yang dipaksakan kepadanya”
2. Istri
a) Masih dalam lindungan suami
c. Hukum-hukum Thalaq
Dalam kehidupan suami istri tidak sepantasnya mereka
berusaha memutuskan / merusak tali perkawinan. Meskipun suami diberi hak
menjatuhkan thalaq tanpa alasan / sebab termasuk perbuatan tercela dan benci
Allah. Rasulullah bersabda:
اَبْغَضُ
الْحَـلاَلِ اِلَى اللهِ الطَّلاَقُ
“Perkara halal yang paling dibenci Allah ialah
menjatuhkan thalaq”
Dan seseorang yang berusaha merusak tali hubungan suami
istri dipandang keluar dari rel kebijaksanaan hukum Islam dan tidak sepantasnya
ia menanamkan seorang muslim.
لَيْسَ مِنَّا مَنْ
خَبَّبَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا
“Bukanlah termasuk
golonganku orang merongrong hubungan seorang suami istri”
Dalam hukum thalaq, para fuqaha
berbeda-beda pendapat mengenai hukum asalnya, yaitu pendapat yang menetapkan
bahwa suami diharamkan menjatuhkan thalaq kecuali karena darurat (terpaksa).
Adapun sebab-sebab dan alasan-alasan untuk jatuhnya thalaq yang menyebabkan
kedudukannya menjadi wajib, haram, sunnah dan makruh.
1.
Thalaq menjadi wajib bagi suami atas permintaan istri, dalam hal ini suami
tidak mampu menunaikan hak-hak istri, serta menunaikan kewajibannya sebagai
suami.
Menurut
H. Sulaiman Rasyid bahwa thalaq menjadi wajib apabila terjadi perselisihan
antara suami istri dengan 2 hakam yang mengutus perkara keduanya sudah
memandang perlu supaya keduanya cerai.
2.
Thalaq menjadi sunnah apabila suami istri tidak sanggup membayar kewajiban
(nafkah) dengan cukup / si istri rusak moralnya (tidak menjaga kehormatan
dirinya), seperti berbuat zina, melanggar larangan agama / meninggalkan
kewajiban agama seperti shalat, puasa.
3. Haram (bid’ah) jika istri dalam keadaan haid dan suami
berlaku serong, baik dengan bekas istrinya ataupun dengan wanita lain.
Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa thalaq diharamkan bila
tidak ada keperluan untuk itu dikarenakan thalaq yang demikian dapat
menimbulkan mudharat.
4. Mubah, hukum ini dibolehkan ketika ada keperluan
seperti jeleknya perilaku istri, buruknya sikap istri terhadap suami, suami
menderita karena tingkah laku istri dan suami tidak mencapai tujuan perkawinan
karena istri.
5. Makruh, dikarenakan thalaq itu menghilangkan
perkawinan yang di dalamnya terkandung kemaslahatan-kemaslahatan yang sunnahkan
dan makruh merupakan hukum asal dari thalaq tersebut.[5]
d. Macam-macam
Thalaq
1.
Ta’liq thalaq
Menta’liqkan
thalaq sama hukumnya dengan thalaq tunai, yaitu makruh (menurut hukum asal).
Tetapi kalau adanya ta’liq itu akan membawa kepada kerusakan sudah tentu
hukumnya menjadi terlarang.
2.
Khulu’ (thalaq tebus)
Khulu’
adalah thalaq yang diucapkan oleh suami dengan pembayaran dari pihak istri
kepada suami, thalaq ini biasanya dilakukan atas kehendak istri dan dapat
dilakukan sewaktu suci maupun haid.
Khulu’
dapat mengakibatkan bekas suami tidak dapat rujuk kembali dan tidak boleh
menambah thalaq sewaktu iddah, hanya diperbolehkan kawin kembali melalui aqad
baru.
Beberapa
hukum tentang khulu’ diantaranya wajib apabila atas permintaan istri
dikarenakan suami tidak mau memberi nafkah batin terhadap istri, haram jika
hanya untuk menyengsarakan istri dan anak-anaknya. Mubah ketika istri ada
keperluan yang membolehkan istri menempuh jalan lain, makruh hukumnya jika
tidak ada keperluan untuk itu dan dapat menjadi sunnah bila dimaksudkan untuk
mencapai kemaslahatan yang lebih memadai bagi keduanya. Menurut Imam Syafi’i
asal hukum khulu’ adalah makruh dan dapat menjadi sunnah hukumnya bila si istri
tidak baik dalam bergaul bagi si suami.[6]
3.
Fasakh
Dalam
putusnya perkawinan sebab fasakh bahwa hukum Islam mewajibkan suami untuk
menunaikan hak-hak istri dan memelihara istri dengan sebaik-baiknya, tidak
boleh menganiaya istri dan menimbulkan kemudlaratan terhadapnya.
Pada
fuqaha menetapkan jika dalam kehidupan suami istri menimbulkan sikap
kemudlaratan pada salah satu pihak, maka pihak yang menderita dapat memutuskan
perkawinan melalui hakim untuk menfasahkan perkawinan atas dasar pengaduan
pihak yang menderita.
a) Tidak adanya nafkah bagi istri
b) Terjadinya cacat / penyakit pada salah satu pihak
c) Penderitaan yang menimpa istri
4. Syiqaq
Syiqaq adalah krisis memuncak antara suami istri dengan
adanya pertentangan pendapat dan pertengkaran yang tidak mungkin bisa untuk
dipertemukan dan kedua belah pihak tidak dapat mengatasinya. Firman
Allah SWT
وَإِنْ خِفْتُمْ
شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُواْ حَكَماً مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَماً مِّنْ
أَهْلِهَا إِن يُرِيدَا إِصْلاَحاً يُوَفِّقِ اللهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللهَ كَانَ
عَلِيماً خَبِيراً {النساء : 35}
“Dan jika kamu
khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari
keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan
perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Kedudukan cerai
karena syiqaq bersifat ba’in (bekas suami istri hanya dapat kembali dengan akad
baru).
5. Li’an
Kata li’an adalah masdar dari kata laa’ana-yulaa’inu-li’aana
dari kata al-la’nu yang bermakna jauh, laknat / kutukan, sedangkan menurut
istilah ialah sumpah yang diucapkan oleh suami ketika ia menuduh istrinya
berbuat zina dengan 4 kali kesaksian bahwa ia termasuk orang yang benar dalam
tuduhannya, kemudian pada sumpah kesaksian ke lima disertai pernyataan ia
bersedia menerima laknat Allah jika ia berdusta dalam tuduhannya itu.
Dengan terjadinya sumpah li’an terjadilah perceraian
antara suami istri dan tidak boleh terjadi perkawinan kembali untuk selamanya. Hadits
Nabi
اَلْمُتَلاَ
عِنَانِ اِذَا تَضَرَّقَا لاَ يَجْتَمِعَانِ اَبَدًا
“Suami istri yang telah saling berli’an
itu setelah bercerai tidak boleh berkumpul untuk selamanya”.
III.
KESIMPULAN
Dalam
suatu perkawinan apabila ada permasalahan / perselisihan wajib diusahakan
dengan cara musyawarah dan mufakat, bila masih bertambah memuncak maka cara
yang harus ditempuh melalui cerai / thalaq.
Thalaq
adalah melepas tali perkawinan / mengakhiri hubungan suami istri hukum-hukumnya
yaitu wajib, sunnah, haram, mubah dan yang terakhir makruh yang merupakan hukum
asal thalaq. Sebab-sebabnya seperti ta’liq thalaq, khulu’, fasakh, syiqoq dan
li’an.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Murni Djamal, MA., Ilmu Fiqh II, Jakarta :
Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi.
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah VIII, Bandung: PT.
al-Ma’arif, 1983.
Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh II, Yogyakarta: PT.
Dana Bhakti Wakaf, 1995.
H. Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar
Baru, 1981.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar