CORAK
PEMIKIRAN TASAWUF
SYEKH
ABDUR RO’UF AS-SINGKILI
DAN
SYEKH
SITI JENAR
Untuk Memenuhi
Tugas Mata Kuliah Tasawuf
Dosen Pengampu: Nur Yasin, S.HI.
Oleh:
JEFRI
IRAWAN SUSIANTO
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM BUSTANUL ULUM
Jl. Doktren No.
26 Krai-Yosowilangun-Lumajang
Tahun Akademik
2013/2014
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................... 1
C. Tujuan ............................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................. 2
A. Syekh Abdur Ro’uf
As-Singkili......................................................
2
B. Syekh Siti Jenar ............................................................................... 2
BAB III KESIMPULAN ............................................................................... 5
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 6
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Sejarah Islam dan berbagai
cabangnya, termasuk sejarah tasawuf dan pengikutnya sangat penting untuk
diperkenalkan dan dibahas, diantaranya adalah mengenai tokoh-tokoh dari ajaran
tasawuf di Indonesia ini. Tasawuf terus mengalami
perkembangan dan memberi pengaruh penting di Indonesia. Sejak permulaan sejarah
Islam di wilayah tersebut hingga hari ini. Akan tetapi, selama beberapa abad
permulaan sejarah itu terutama pada abad ke-10 H/ 16 M dan ke-11H/ 17 M tasawuf memainkan
terbesar dan paling menentukan dalam membentuk pandangan religius, spiritual,
dan intelektual di kepulauan Indonesia.[1]
Pada masa itu tasawuf memainkan peranan
penting dalam proses islamisasi di Indonesia dan kepulauan di sekitarnya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana corak pemikiran tasawuf Syekh Abdur Ro’uf As-Singkili?
2.
Bagaimana corak pemikiran tasawuf Syekh Siti Jenar?
C.
Tujuan
Adapun maksud dan tujuan dari
pembuatan makalah ini, yaitu agar mahasiswa dapat menjelaskan corak pemikiran
tasawuf Syekh Abdur Ro’uf As-Singkili dan Syekh Siti Jenar
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Syekh Abdur Ro’uf As-Singkili
Nama lengkap beliau adalah Abdul
Rauf Al-Jawi Al-Fansuri Al-Singkil. Tahun kelahirannya tidak diketahi pasti ada yang menyebutkan tahun
kelahirannya 1024 H/1615 M.[2] Ia menerima bai’at tarekat
Syathariyyah. Abdur Rauf adalah ulama yang berupaya mendamaikan ajaran martabat
alam tujuh yang dikenal di Aceh sebagai paham wahdatul
wujud/wujudiyyah (pantheisme) dengan paham sunnah.
Pemikiran tasawuf As-Singkili dapat
dilihat antara lain pada persoalan merekonsiliasi antara tasawuf dan syariat.
Ajaran tasawufnya mirip dengan tasawuf Hamzah Fansuri dengan Ar-Raniri yaitu
menganut paham satu-satunya wujud hakiki yakni Allah. Sedangakan alam ciptaanya
bukanwujud hakiki tetapi bayangan dari hakiki. Menurutnya jelaslah alam
berbeda dengan Allah. Beliau juga mempunyai pemikiran tentang zikir, zikir
menurut pandngannya usaha melepaskn diri dari lalai dan lupa.
Ajaran tasawuf As-Singkili yang
lain bertalian dengan martabat perwujudan. Menurutnya ada tiga martabat
perwujudan. Pertama, ahadiyah atau la ta’ayyun (waktu itu masih
merupakan hakikat yang ghaib). Kedua, martabat wahdah atau ta’ayun
awwal (sudah tercipta hakikat muhammadiyyah sangat potensial bagi
terciptanya alam). Ketiga, martabat wahdiyyah atau ta’ayyun tsani
disebut juga a’ayan al-tsabilah dan dari sinilah alam tercipta.
B.
Syekh Siti Jenar
Asal-usul dan sejarah hidup Syekh Siti
Jenar sulit dilacak. Ada beberapa versi tentang kisah hidupnya, salah satunya
adalah kisah tentang Sunan Bonang yang mengajari ilmu ghaib kepada Sunan
Kalijaga.
Ketika sedang khusyuk mengajarkan ilmunya, Sunan Bonang merasa bahwa perahu tersebut bocor. Kemudian mereka menepi untuk mengambil tanah liat dan dengan kekuatan ilmunya Sunan Bonang menembel bagian yang bocor tadi. Rupanya tanpa sepengetahuan beliau di dalam tanah liat tersebut.
Sunan Bonang merasa ada satu makhluk yang telah ikut mendengarkan ajarannya. Dengan karamahnya, Sunan Bonang lalu merubah bentuk asli dari cacing itu. Berubahlah cacing tadi menjadi sosok laki-laki yang kemudian diberi nama Siti Jenar. Siti berarti tanah dan Jenar berarti merah.
Ketika sedang khusyuk mengajarkan ilmunya, Sunan Bonang merasa bahwa perahu tersebut bocor. Kemudian mereka menepi untuk mengambil tanah liat dan dengan kekuatan ilmunya Sunan Bonang menembel bagian yang bocor tadi. Rupanya tanpa sepengetahuan beliau di dalam tanah liat tersebut.
Sunan Bonang merasa ada satu makhluk yang telah ikut mendengarkan ajarannya. Dengan karamahnya, Sunan Bonang lalu merubah bentuk asli dari cacing itu. Berubahlah cacing tadi menjadi sosok laki-laki yang kemudian diberi nama Siti Jenar. Siti berarti tanah dan Jenar berarti merah.
Pada mulanya Sunan Bonang merasa marah
pada Siti, karena dinilai telah lancang. Namun akhirnya beliau mau mengajak
Siti bergabung dengan para wali
lainnya, karena dinilai memiliki pengetahuan agama yang lebih. Kisah ini lebih
berbau mitos dan tampak dibesar-besarkan. Versi lain mengatakan
bahwa Siti Jenar sebenarnya bukan bukan orang Jawa, tetapi dari Malaka. Ada pula yang mengatakan bahwa Siti Jenar
adalah putra bangsawnan Cirebon. Dan versi terakhir barangkali lebih masuk
akal, Siti Jenar adalah rakyat biasa namun ia memiliki kemampuan intelektual
yang tinggi. Meskipun cerdas dan bahkan melebihi para Sunan, ia tetap tidak
bisa disejajarkan dengan para Sunan tersebut karena ia berasal dari kaum Sudra.
Inilah yang membuatnya berontak, melawan aturan keningratan agama, dan
timbul sebagai
simbol anti kemapanan.
Yang disampaikan dalam ajaran Syekh Siti
Jenar adalah ajaran ingsun
yang radikal, yang
mengajarkan kesamaan tuntas antara pembicara dan Allah. Siti Jenar terus
menamakan badan materiial (jism) Allah yang sebenarnya tidak ada. Para
wali menolak pendapat itu dan menganggap Siti Jenar seorang yang menyimpang
dari kebenaran. Sunan Giri ketua Muktamar, menyatakan bahwa hanya Allah-lah yang berhak atas
gelar prabu satmata (Yang Maha Tahu) yang dituntut oleh Siti Jenar, tak
seorangpun sama dengan Allah.
Lalu Siti Jenar diusir dari Giri, selanjutnya Siti Jenar membuka padepokan sendiri di Krendhasawa (dekat Cirebon) dan mengajarkan ilmunya kepada orang-orang di sekitarnya. Ajaran yang disampaikan Siti Jenar dianggap sesat oleh para wali, karena dinilai telah menyimpang dari akidah. Hal tersebut ditambah dengan sikap muridnya yang suka membuat keributan di tempat-tempat umum.
Lalu Siti Jenar diusir dari Giri, selanjutnya Siti Jenar membuka padepokan sendiri di Krendhasawa (dekat Cirebon) dan mengajarkan ilmunya kepada orang-orang di sekitarnya. Ajaran yang disampaikan Siti Jenar dianggap sesat oleh para wali, karena dinilai telah menyimpang dari akidah. Hal tersebut ditambah dengan sikap muridnya yang suka membuat keributan di tempat-tempat umum.
Terasa perbedaan jelas antara ajaran
Syekh Siti Jenar dan ajaran para
wali lainnya. Syekh Siti Jenar dituduh menyebarkan ajaran esoteris
kepada rakyat jelata dan atas dasar itu ia
ditindak, ini tidak berarti bahwa ajaran itu sama dengan ajaran para wali
lainnya. Sekalipun salah seorang wali dikemudian hari dibujuk dan mengakui
bahwa Siti Jenar memang benar, tetapi bahwa itu semua tidak boleh disebarluaskan,
karena itu bertentangan dengan perintah raja, maka ia terus ditegur.[3]
Akhirnya wali songo membujuk Sultan
Demak Bintoro agar menjatuhkan hukuman mati bagi Syekh Siti Jenar. Akhirnya
Siti Jenar pun dijatuhi hukuman mati, dan para wali sendiri yang bertindak
melakukan eksekusi tersebut. Karena bagaimanapun juga, Siti Jenar dianggap masyarakat
waktu itu sebagai wali.
Namun Siti Jenar lebih memilih caranya
sendiri untuk mati. Ia telah memiliki ilmu yang sempurna tentang kematian
hingga ia mematikan dirinya sendiri atas kehendak Tuhan. Kejadian itu membuat
takjub para wali dan membuatnya sadar bahwa yang diajarkan Syekh Siti Jenar
selama ini benar adanya. Mereka secara sportif mau belajar tentang ilmu
kesempurnaan makrifat
dari Siti Jenar ini. Salah satunya adalah Sunan Kudus yang belajar pada Ki
Ageng Pengging alias Ki Kebo Kenanga salah seorang murid sekaligus teman Siti
Jenar.[4]
BAB
III
KESIMPULAN
Pemikiran
tasawuf As-Singkili dapat dilihat antara lain pada persoalan merekonsiliasi
antara tasawuf dan syariat. Ajaran tasawufnya mirip dengan tasawuf Hamzah
Fansuri dengan Ar-Raniri yaitu menganut paham satu-satunya wujud hakiki yakni
Allah. Sedangakan alam ciptaanya bukanwujud hakiki tetapi bayangan dari
hakiki. Menurutnya jelaslah alam berbeda dengan Allah. Beliau juga mempunyai
pemikiran tentang zikir, zikir menurut pandngannya usaha melepaskn diri dari
lalai dan lupa.
Yang disampaikan
dalam ajaran Syekh Siti Jenar adalah ajaran ingsun
yang radikal, yang
mengajarkan kesamaan tuntas antara pembicara dan Allah. Siti Jenar terus
menamakan badan materiial (jism) Allah yang sebenarnya tidak ada
DAFTAR PUSATAKA
Abdullah, Nawash. 1999, Perkembangan Ilmu
Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara,
Surabaya: Al-Ikhlas.
Fathurrahman, Oman.
1999, Tanbih Al-Masyi: Menyoal
Wahdatul Wujud: Kasus Abdur Rauf Singkel di Aceh Abad 17, Bandung: Mizan.
Nassr, Sayyid
Husein, 2003, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam
Manifestasi, penterj. Tim Penerjemah Mizan, Bandung:
Mizan Media Utama.
Wahyudi, Agus,
2006, Inti Ajaran Makrifat Islam-Jawa:
Menggali Ajaran Syekh Siti Jenar dan Wali Songo dalam Perspektif Tasawuf,
Yogyakarta: Pustaka Dian.
Zoet Mulder, P.J.,
1990, Manunggaling Kawula Gusti, Pantheisme dan Monoisme dalam Sastra Suluk
Jawa, penterj. Dick Hartoko, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
[1] Abdullah, Nawash, Perkembangan Ilmu
Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1999), 80
[2] Fathurrahman, Oman, Tanbih Al-Masyi: Menyoal Wahdatul
Wujud: Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad 17, (Bandung: Mizan, 1999), 268
[3] Wahyudi, Agus, Inti Ajaran Makrifat Islam-Jawa:
Menggali Ajaran Syekh Siti Jenar dan Wali Songo dalam Perspektif Tasawuf, (Yogyakarta: Pustaka
Dian, 2006), 45
[4] Nassr, Sayyid Husein, Ensiklopedi Tematis
Spiirtualitas Islam Manifestasi, penterj. Tim Penerjemah Mizan, (Bandung: Mizan Media
Utama, 2003), 25
Tidak ada komentar:
Posting Komentar