Jumat, 25 April 2014

KITAB NIKAH DAN HUBUNGAN SUAMI ISTRI



KITAB NIKAH DAN HUBUNGAN SUAMI ISTRI
Pengertian nikah
Nikah adalah berpasangan, berhubungan, dan mengawini. Dalam al-Qur'an disebutkan: “Dan kami kawinkan mereka dengan bidadari-bidadari.”[1] Maksudnya adalah kami jadikan mereka berpasang-pasangan.
Setiap sesuatu adalah pasangan bagi kawannya. Maka dia adalah istri atau suaminya. Dikatakan: Aku telah mengawinkan untaku (zawwajtu al-ibila) artinya adalah aku menjadikannya berpasang-pasangan. Firman Allah swt yang berbunyi: “Dan apabila ruh-ruh dipertemukan.”[2] Artinya setiap golongan dipasangkan dengan padanannya atau dipasangakan dengan perbuatannya. Firman Allah swt: “Atau dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan.”[3] Artinya menjadikan mereka saling berpasangan. Dalam mengomentari firman Allah swt yang berbunyi: “Kumpulkanlah orang-orang zalim bersama teman sejawat mereka.”[4]
Teman sejawat dalam ayat di atas adalah pasangan dan padanannya yang telah menyuguhkan kedzaliman dan menghiasinya untuk mereka. Nu’man bin al-Basyit ra berkata: Maksud dari ayat ini adalah pasangan mereka, yang menyerupai mereka, dan semisal dengan mereka. Demikian pula dengan pendapat Ibnu Abbas, Sa’id bin Jabir, ‘Ikrimah, Mujahid, al-Sadyi, Abu Shaleh, Abu al-‘Aliyah, dan Zaid bin Salim.
Dari Nu’man, dia berkata “Aku mendengar Umar berkata: “Ayat yang berbunyi: “Kumpulkanlah orang-orang zalim bersama teman sejawat mereka,”[5] Maksudnya adalah yang menyerupai mereka. Jadi, pelaku riba akan didatangkan dengan para pelaku riba lainnya. Penzina akan didatangkan dengan pezina lainnya, demikian pula dengan peminum khamr juga akan didatangakan dengan peminum khamr lainnya.”
Suatu kaum saling mengawini: artinya sebagian mereka mengawini yang lainnya. Dikatakan pula bahwa laki-laki dan perempuan adalah pasangan suami istri, karena mereka berdua telah disesuaikan dengan aqad nikah.[6]
Masuk dalam kategori ini adalah berpasangannya laki-laki dan perempuan, berhubungan untuk kesenangan, dan bersenang-senang untuk mendapatkan keturunan. Dan sudah menjadi biasa menggunakan kata zawaj dalam pengertian ini sehingga dapat dipahami. Di antaranya adalah firman Allah swt yang berbunyi: “Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya, kami kawinkan kamu dengan dia.”[7]
Kata nikah juga dipergunakan untuk menunjukkan arti perkawinan. Dan kata ini banyak ditemukan dalam bahasa al-Qur'an. Di antaranya adalah firman Allah swt yang berbunyi: “Dan janganlah kamu berketetapan hati untuk melakukan aqad nikah, sebelum habis masa iddahnya.”[8] Artinya adalah aqad nikah. Ada juga firman Allah swt yang berbunyi: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman.”[9] Artinya adalah jangan menikahi wanita-wanita musyrik.[10] Demikian pula dengan firman Allah swt yang berbunyi: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu.”[11]
Maksud dari ayat yang terakhir adalah: Seorang anak dilarang menikahi wanita yang telah dinikahi oleh ayahnya. Sedangkan arti dari aqad nikah menurut madzhab Hanafi adalah kesepakatan positif dengan tujuan untuk memiliki kesenangan terhadap wanita. Dan yang benar adalah persetujuan dengan tujuan untuk menghalalkan kesenangan setiap pasangan. Dan kesenangannya adalah untuk mendapatkan keturunan berdasarakan anjuran syara’.
Dari Sahl bin Saad ra, dia berkata: “Suatu ketika, seorang wanita mendatangi Rasulullah saw seraya berkata: Wahai Rasulullah! Aku telah datang untuk meyerahkan diriku kepadamu. Lalu Rasulullah saw memandang kepadanya sambil mendongak kepadanya dan memerhatikannya dengan teliti. Kemudian beliau mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika wanita itu mendapati Rasulullah saw diam tanpa memberi keputusan, perempuan itu segera duduk. Lalu bangkitlah seorang Sahabat dan berkata: Wahai Rasulullah! Sekiranya kamu tidak ingin menikahinya, maka nikahkanlah aku dengannya. Selanjutnya Rasulullah saw bertanya: Apakah engkau memiliki sesuatu yang bisa dijadikan maskawin?” Sahabat menjawab: Tidak ada! Kemudian Rasulullah saw bersabda: Pulanglah menemui keluargamu untuk mencari sesuatu yang bisa dijadikan maskawin. Lantas Sahabat tersebut pulang, kemudian kembali menemui Rasulullah saw dan berkata: Demi Allah! Aku tidak menjumpai apa-apa yang bisa dijadikan maskawin. Maka Rasulullah saw bersabda: Carilah walaupun hanya sebuah cincin dari besi. Lalu Sahabat tersebut pulang dan datang kembali serta berkata: Wahai Rasulullah! Demi Allah, aku tidak menjumpai apa-apa walaupun sebuah cincin dari besi, tetapi aku memiliki sarungku ini.” Sahabat Sahl mengatakan bahwa sahabat tersebut tidak mempunyai pakaian yang menutup bahagian atas badan dan hanya memiliki separuh badannya saja. Kemudian Rasulullah saw bersabda: Apa yang akan engkau perbuat dengan kain sarungmu itu, sekiranya engkau memakai kain sarung itu, maka wanita itu tidak dapat memakainya walaupun sedikit. Namun apabila dia memakai kain sarung tersebut, maka engkau tidak mempunyai apa-apa untuk dipakai. Akhirnya sahabat duduk sekian lama kemudian bangun. Rasulullah saw memandangnya pergi dari tempat itu. Setelah itu Rasulullah saw memerintahkan supaya sahabat yang tadi dipanggil. Ketika sahabat tersebut datang, Rasulullah saw bertanya: Apakah yang engkau miliki dari al-Quran?” Sahabat tersebut menjawab: Aku hafal surat itu dan surat ini. Sahabat tersebut menghitungnya.” Selanjutnya Rasulullah saw bersabda: Apakah engkau membacanya dengan hafalan?” Sahabat tersebut menjawab: Ya! Maka Rasulullah saw bersabda: Pergilah! Sesungguhnya aku telah menikahkan engkau dengannya dengan  maskawin berupa hafalan al-Quran-mu.”[12]
Bahkan dalam beberapa hadis Nabi Muhammad saw menunjukkan bahwa maskawin atau mahar yang sedikit adalah penyebab pernikahan yang berkah dan kehidupan yang penuh dengan berkah dan kebahagiaan.
Dari Aisyah ra bahwa Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya paling besarnya berkah dalam pernikahan adalah paling mudahnya beban dalam pernikahan itu sendiri.”[13]
Dari ‘Uqah bin ‘Amir, dia berkata bahwa Nabi Muhammad saw bersabda kepada seorang pemuda: “Apakah engkau rela jika aku nikahkan dengan fulanah?” Pemuda tersebut menjawab: “Ia.” Kemudian Nabi Muhammad saw berkata kepada fulanah: “Apakah engkau rela jika aku nikahkan engkau dengan fulan?” Wanita tersebut menjawab: “Ia.” Maka Nabi Muhammad saw menikahkah mereka berdua dan pemuda tersebut menggaulinya tanpa membayar maskawin atau maharnya dan tidak memberi sesuatu padanya. Pemuda tersebut adalah orang yang menyaksikan perang Hudaibiyan dan orang yang menyaksikan perang Hudaibiyah biasanya memiliki panah yang digunakan di perang Khaibar. Ketika wanita tersebut meninggal dunia, pemuda tersebut berkata: “Sesungguhnya Rasulullah saw telah menikahkan aku dengan fulanah dan aku tidak menunaikan maskawin atau maharku dan tidak pula memberinya sesuatu dan aku meminta persaksian kalian bahwa aku telah memberi maskawin atau maharnya berupa anak panah di perang Khaibar dan dia mengambil anak panah tersebut serta menjualnya seharga seratus ribu.”
Abu Daud berkata: “Umar bin al-Khattab telah menambah redaksi hadisnya sehingga hadisnya lebih sempurna di awal hadis. Rasulullah saw bersabda: “Sebaik-baiknya mahar perniakahan adalah yang paling meringankan.”[14]
Demikianlah Islam menekankan kemudahan dalam pernikahan dan tidak berlebih-lebihan dalam memberikan mahar serta menghilangkan segala sesuatu yang dapat merintangi jalannnya pernikahan. Islam juga menjelaskan kebaikan demi kebaikan dalam mencari ciptaan yang baik, sifat-sifat terpuji, dan tabiat mulia yang terdapat pada masing-masing pasangan sehingga pergaulan yang baik di antara mereka berdua menjadi langgeng dan abadi. Bahkan sampai terbentuknya keluarga muslimah dengan dasar kerelaan, mawaddah wa rahmah. Dan hal ini adalah pondamen yang kuat dalam membangun komunitas muslim yang terdiri dari putra-putri dari keluarga yang bahagia, saling mencintai, dan saling mengikat dengan pelajaran-pelajaran Islam serta akhlak dan adab-adab keislaman.
Meminang (Khitbah)
Khitbah merupakan pertemuan awal, langkah awal dan perjanjian untuk menikah. Biasanya, khitbah  ini dimulai dengan seorang pemuda yang meminta untuk diterima menjadi pasangan bagi seorang pemudi yang disukainya dan hatinya menjadi tenang bahwa pemudi tersebut akan menjadi pasangan yang sesuai untuknya. Dari sana, kemudian kedua belah pihak mulai menyempurnakan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pelaksanaan pernikahan, seperti mahar atau maskawin, penundaan mahar atau maskawi, harta benda atau perkakas rumah, dan sebagainya. Sebab itulah, maka khitbah dalam batasannya tidak dianggap sebagai akad nikah. Jika seorang pemuda telah meminta untuk menikah pada seorang pemudi yang disukainya dan permintaan tersebut diterima, barangkali kedua belah pihak membacakan surat al-Fatihah, atau pelamar memberikan hadiah pertunangan kepada gadis yang dilamar. Di antara hak setiap orang yang dilamar adalah menyendiri dari pasangannya dan mempertimbangkan lamaran karena beberapa sebab yang beragam. Dan barangkali hal itu adalah posisi untuk menjelaskan ciri-ciri akad nikah dari sekian akad yang mengharuskan pelakukan hanya melakukan ijab dan qabul.
Dari al-Mughirah bin Syu’bah bahwa dia telah melamar seorang wanita Anshar. Maka Rasulullah saw bersabda kepadanya: “Pergi dan lihatlah karena hal itu lebih pantas untuk dilakukan oleh kalian berdua.”
Syarat-syarat pinangan
Dalam meminang seorang wanita, terdapat beberapa syarat yang harus ada pada yang dilamar, yaitu:
1.        Tidak boleh ada penghalang yang dapat merintangi jalannya pernikahan dengan wanita yang dilamar pada waktu itu. Di antaranya wanita yang dilamar adalah muhrimnya seumur hidup, seperti bibinya dari pihak ayah, bibinya dari pihak ibu, saudaranya sekandung, atau saudaranya sesusuan. Apabila hal itu terjadi, maka pada waktu itu juga, lamarannya menjadi haram selama-lamanya. Atau wanita yang dilamar adalah muhrinya karena suatu sebab, seperti saudara istrinya, atau istri orang lain, atau sedang melakukan iddah sehabis thalak atau ditinggal mati suaminya, maka pada waktu itu juga, lamarannya menjadi haram hingga sebab keharamannya berlalu.
Hal itu dikarenakan khitbah adalah perantara untuk menikah. Jika pernikahan tersebut dilarang dan diharamkan, maka segala sesuatu yang menjadi perantara padanya juga dilarang dan diharamkan.
Sedangkan melamar wanita yang telah diperistrikan oleh orang lain atau melamar wanita yang sedang menjalani masa iddahnya dapat menimbulkan permusuhan dengan pihak lain yang lebih berhak. permusuhan, kedengkian dan prasangka yang buruk itu dapat mempengaruhi pada wanita atau orang yang dilamarnya.
Namun bagi wanita yang telah ditinggal mati oleh suaminya, maka para ahli fikih telah membolehkan melamar dengan cara sindiran, bukan dengan cara terang-terangan. Hal itu berdasarkan firman Allah swt yang berbunyi:
Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan keinginan mengawini mereka dalam hatimu. Allah swt mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka. Pada waktu itu janganlah kamu melakukan perjanjian untuk menikah dengan mereka secara rahasia. Kecuali sekedar mengucapkan perkataan yang ma’ruf. Dan janganlah kamu berketetapan hati untuk melakukan akad nikah sebelum habis masa iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah swt mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepada-Nya dan ketahuilah bahwa Allah swt maha pengampun lagi maha penyantun.”[15]
Berdasarkan ayat di atas, maka cukup jelas bahwa maksud dari wanita itu adalah para wanita yang telah ditinggal mati oleh suaminya, karena ayat sebelumnya terdapat firman Allah swt yang berbunyi: “Dan orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istrinya, hendaklah para istri itu menangguhkan dirinya (beriddah) selama empat bulan sepuluh hari.”[16]
Sesungguhnya melamar dengan ungkapan yang mengandung unsur kebohongan terhadap wanita yang menjalani masa iddah karena ditinggal mati oleh suaminya diperbolehkan, karena masa iddahnya akan berakhir dengan melahirkan bayinya atau menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh hari. Setelah berakhir masa iddahnya, maka dia tidak menerima tawaran bohong untuk menikah karena dia sudah tidak memiliki suami yang merasa terganggu oleh lamarannya.
Sindiran untuk meminang dapat berupa ungkapan apa saja yang tidak jelas dan mengindikasikan kepada keinginan untuk menikahinya, seperti perkataan: Banyak sekali orang yang memandangimu, menyukaimu, dan menginginkanmu. Sesunguhnya terdapat orang-orang yang membahasmu karena menyukaimu. Siapakah yang akan mendapatkan orang sepertimu?[17]
Sedangkan wanita yang menjalani masa iddah karena thalaq bain seperti thalak tiga, maka diperbolehkan melakukan sindiran untuk meminangnya namun tidak diperbolehkan secara terang-terangan. Hal ini merupakan analogi terhadap wanita yang telah ditinggal mati oleh suaminya, karena pernikahan di antara mereka berdua telah terputus untuk melakukan rujuk. Hal itu disebabkan oleh Nabi Muhammad saw yang telah bersabda kepada Fatimah binti Qays ketika dicerai oleh suaminya, Abu Amr bin Hafs dengan thalak ketiganya. Maka Nabi Muhammad saw menyuruh Fatimah untuk menjalani masa iddahnya di rumah Ibnu Abu Maktum seraya bersabda: “Apabila engkah telah halal, maka hendaknya engkau mengabariku.” Ketika selesai masa iddahnya, maka Usamah bin Zaid melamarnya dan Rasulullah saw menikahkan Fatimah kepadanya.[18] Demikianlah, sesungguhnya Rasulullah saw telah menyindir Fatimah binti Qais untuk menikah dan dia masih dalam masa iddahnya ketika beliau mengucapkan: “Apabila engkah telah halal, maka hendaknya engkau mengabariku.” Maksudnya adalah apabila masa iddahmu telah berakhir dan sudah halal untuk menikah, maka kabarilah aku.
Dan sepadan dengan hukum ini adalah wanita yang menjalani masa iddahnya karena batalnya pernikahan sebab dirinya haram untuk dinikahi oleh suaminya, seperti rusaknya pernikahan karena satu susuan atau li’an, atau sebagainya dari segala sebab yang menyebabkan ketidak halalannya untuk sang suami sebelumnya. Dengan begitu, maka diperbolehkan melakukan sindiran untuk meminangnya pada masa haidnya.[19]
Sedangkan lafadz-lafadz yang jelas dan terang-terangan dalam melakukan khitbah atau pinangan adalah: “Nikahlah denganku jika engkau telah halal atau selesai masa iddahmu,” atau “aku akan menikahimu jika telah selesai masa iddahmu,” dan yang menyerupainya dari segala bentuk kata sindiran dan menjelaskan bahwa ia adalah pinangan dan tidak mengindikasikan pada yang lainnya.[20]
2.        Tidak dipinang oleh laki-laki yang lain. Hal ini berdasarkan hadis Ibnu Umar dari Nabi Muhammad saw, bahwa beliau bersabda: “Janganlah kalian menjual barang yang telah kalian jual kepada orang lain, dan janganlah kalian meminang atas pinangan orang lain.”[21] Dalam riwayat yang lain disebutkan: “Janganlah seorang pemuda menjual barang yang telah dijual kepada saudaranya, dan janganlah meminang atas pinangan saudaranya kecuali telah mendapatkan idzin darinya.”
Imam al-Nawawi berkata: Hadis ini jelas-jelas mengharamkan seseorang meminang atas pinangan saudaranya. Para ulama juga sepakat atas pengharamannya apabila bagi pelamar atau peminang telah memperjelas ijabahnya, dan dia tidak memberi idzin dan tidak pula meninggalkannya. Seandainya seseorang meminang atas pinangan saudaranya dan menikah, maka hal itu adalah perbuatan maksiat, namun pernikahannya sah dan tidak rusak. Inilah madzhab kami dan madzhab ulama jumhur. Namun Abu Daud berkata bahwa pernikahan yang seperti itu menjadi rusak atau batal. Dan dari Imam Malik terdapat dua riwayat seperti pendapat dua madzhab yang sebelumnya. Di samping itu, golongan ulama dari madzhab Imam Malik ini mengatakan bahwa pernikahan tersebut menjadi rusak atau batal sebelum sang suami menyetubuhi istrinya, tetapi tidak rusak atau batal apabila telah bersetubuh.
Apabia telah mendapatkan ijabah namun tidak memperjelasnya, maka dalam larangan meminang atas pinangan saudaranya yang lain terdapat dua pendapat bagi Imam Syafi’i. Keduanya sah dan tidak diharamkan. Sebagian pengikut madzhab Maliki berpendapat bahwa hal itu tidak diharamkan hingga mereka rela untuk menikah dan menyebut mahar. Mereka beralasan dengan apa yang telah kami sebutkan bahwa pengharaman tersebut terjadi apabila telah dicapai ijabah berdasarkan hadis Fatimah binti Qays bahwa dia berkata: “Abu Jahm dan Mu’awiyah telah meminangku dan Nabi Muhammad saw tidak mengingkari pinangan yang satu atas yang lainnya, bahkan beliau meminangnya untuk Usamah.” Namun dalil ini telah ditolak dengan ungkapan: “Bisa jadi peminang yang kedua tidak mengetahui pinangan yang pertama. Sedangkan Nabi Muhammad saw meminangnya untuk Usamah tidak untuk dirinya sendiri. Dan mereka sepakat bahwa apabila seseorang meninggalkan pinangan karena tidak menyukainya dan mengijinkannya untuk orang lain, maka pinangannya boleh dilakukan di atas pinangan saudaranya yang. Hal ini telah dijelaskan dalam hadis tersebut.
Sabda Nabi Muhammad saw: “Atas pinangan saudaranya,” menurut al-Khattabi dan yang lainnya adalah: Pada hakikatnya adalah pengkhususan pengharaman jika peminang adalah orang Islam. Namun jika pelamar adalah orang kafir, maka pinangan tersebut tidak diharamkan. Al-Auza’i juga berpendapat demikian. Jumhur ulama berpendapat bahwa pinangan atas pinangan orang kafir juga diharamkan. Berkenaan dengan hadis di atas, mereka menjawab bahwa pensyaratan dengan “saudaranya” keluar dari kebiasaan umum, maka tidak ada pemahaman yang diterapkan dengannya. Hal ini seperti dalam firman Allah swt yang berbunyi: “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan.”[22] Dan firman Allah swt yang berbunyi: “Dan anak-anak yang ada dalam pemeliharaanmu dari istri-istrimu.”[23] Dan ketahuilah bahwa kebenaran yang ditentukan oleh hadis dan keumumannya adalah tidak adanya perbedaan antara peminang yang fasik dan tidak fasik.
Ibnu Qasim al-Maliki berkata: Diperbolehkan meminang atas pinangan orang yang fasiq. Kata khitbah yang berarti pinangan, dalam hal ini kesemuanya menggunakan harakat kasrah. Sedangkan penggunaannya dengan harakat dhammah, yaitu khutbah shalat jum’at atau khuhtbah shalat ‘id (hari raya), atau khutbah haji, dan sebagainya. Dan yang dibacakan ketika akad nikah adalah khutbah nikah dengan mendammahkannya.
Andaikan larangan meminang atas pinangan saudaranya berdasarkan keumuman dhzahiriyahnya, niscaya kita akan mengharamkan untuk mengajukan pinangan seseorang pada seorang wanita yang telah didahului oeh laki-laki lainnya yang mengungkapkan keinginan untuk meminangnya—dan tidak wajib memintanya setelah melakukan khitbah—karena hal itu akan menyebabkan bencana pada wanita yang hendak dipinangnya dan pada orang berikutnya yang ingin meminangnya. Hal itu dikarenakan wanita yang terpinang tersebut haram untuk didahului oleh orang lain yang menginginkannya, walaupun pada diri mereka terdapat keutamaan dan kelebihan daripada orang yang lebih dulu meminangnya. Atau orang yang melihat wanita yang seandainya dia harus memilihnya sebagaimana diharamkannya orang yang lebih utama untuk mendahului pinangannya hingga mendapatkan idzin dari orang yang lebih dulu meminangnya. Dan hal ini tidaklah disyariatkan oleh  hukum-hukum syariat Islam.
Bahkan sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah swt: “Allah swt tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni’mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”[24]
Mengenai hal ini, Imam Malik berkata: Penafsiran terhadap sabda Nabi Muhammad saw sebagaimana yang kita lihat; “Jangalah salah seorang dari kalian meminang atas pinangan saudaranya,” yaitu seseorang meminang wanita dan membiarkannya, mereka berdua telah sepakat terhadap satu mahar atau maskawin yang telah diketahui dan keduanya telah saling rela bahwa hal itu telah diyaratkan padanya untuk sang wanita. Maka di sanalah larangan bagi seseorang untuk meminang atas pinangan saudaranya. Dan tidak bermaksud apabila seorang laki-laki meminang seorang wanita dan tidak ada kesepakatan antara mereka berdua serta tidak meninggalkan wanita itu pada sang lelaki agar tidak dipinang oleh orang lain. Karena hal ini termasuk pada bab fasad atau kejahatan yang masuk pada manusia.
Dan kita melihat Ibnu Qudamah menjelaskan bahaya yang terjadi pada wanita yang dipinang dan tidak ada kesepakatan atas kejelasan peminangnya seraya berkata: Sesungguhnya andaikan seseorang berkeinginan untuk mencegah seorang wanita dari menikah, maka dia dapat mencegahnya dengan cara meminangnya.[25]

Membatalkan pinangan

Pinangan sebagaimana yang telah kami sebutkan adalah perjanjian untuk menikah, bukan pernikahan itu sendiri. Dari sana, maka membatalkan pinangan bisa sempurna ketika salah satu dari kedua belah pihak atau kedua-duanya tidak merasakan kesepakatan sebagaimana yang diminta untuk menyempurnakan perangkat pernikahan. Meninggalkannya salah satu pihak terhadap pihak yang lain diperkenankan secara syar’i, dengan pertimbangan bahwa pinangan tidak dianggap sebagai akad dalam pandangan syara’. Bahkan ia hanyalah sebuah perjanjian untuk menikah. Sebab itu pula, maka pembatalannya tidak mengharuskan peminang atau yang dipinang untuk melakukan sesuatu yang sistematis sebagaimana dalam mengakhiri akad pernikahan.
Hanya saja yang kita ketahui dalam kehidupan kita saat ini adalah bahwa khitbah biasanya mengharuskan memberi hadiah kepada wanita yang dipinang, biasanya disebut dengan cincin tunangan. Terkadang beberapa pelamar membayar sebagian atau seluruh maharnya dengan maksud untuk menegaskan kepemilikannya terhadap wanita yang dipinangnya, atau memenuhi perlengkapan pengantin. Bisa jadi wanita yang dipinangnya menghadiahi kepada calon suaminya beberapa hadiah yang sama. Lalu bagaimana hukum Islam tentang hadiah ini yang saling ditukarkan oleh kedua belah pihak sebagai penyeimbang dalam pinangan?
Jawaban terhadap pertanyan ini terdapat dua sisi:

Sisi pertama, dikhususkan dengan mahar

Apabila peminang telah menyerahkan sebagian atau seluruh maharnya kepada wanita pinangannya, maka dia mendapatkan sebagian nilai dari harga mahar yang telah dibayarkan untuk pinangan, karena mahar atau maskawin adalah bagian dari syarat dan ornamen akad nikah. Di samping itu, karena pernikahan itu belum sempurna, maka wanita tersebut tidak berhak untuk memiliki mahar, baik sebagian maupun seluruhnya. Dan wanita tersebut harus mengembalikan mahar dengan bentuknya yang semula jika dia belum menghabiskannya atau mahar tersebut telah berubah karena telah dipakai atau disimpan di sisi wanita yang dipinang. Contohnya adalah menyimpan sebagian perlengkapan pengantin yang telah dipersiapkan, atau menggunakan kendaraan yang telah diberikan kepadanya sebagai bentuk dari seluruh mahar atau sebagiannya saja.
Sebagian ulama fikih dari madzhab Hanafi berpendapat tentang tiadanya hak bagi peminang untuk meminta kekurangan mahar karena telah terpakai. Hal itu disebabkan wanita yang dipinang memiliki kuasa untuk memakainya karena dia adalah pemilik ketika menggunakannya. Apabila sang pemilik dengan kuasanya membelanjakan sesuatu yang dimilikinya, maka tidaklah layak untuk mengembalikan sesuatu yang telah berkurang karena telah dipakai oleh pemiliknya.
Namun apabila mahar yang diberikannya telah habis,  maka peminang berhak untuk mendapatkan ganti rugi atas barang yang telah habis atau harga yang setara dengannya, karena dia telah menyerahkan mahar dengan cara berunding dengan maksud sebagai jaminan untuk menikah. Apabila pernikahan tidak terjadi, maka boleh bagi peminang untuk mengambil apa yang telah diberikannya sebagai jaminan.
Dan tidak diragukan lagi bahwa setiap sesuatu yang telah diberikan oleh peminang kepada wanita pinangannya dianggap sebagai mahar atau maskawin pernikahan, apabila mereka berdua telah menganggapnya demikian. Hal itu seperti cincin tunangan jika mereka berdua telah sepakat bahwa ia adalah bagian dari mahar.
Apabila persepsi mereka berdua tentang mahar yang diberikan berbeda, seperti peminang mengklaim bahwa apa yang telah diberikannya adalah mahar, namun wanita yang dipinang mengklaim bahwa apa yang telah diberikan kepadanya adalah hadiah pertunangannya, maka hal itu membutuhkan bantuan saksi jika memang ada. Namun jika tidak terdapat saksi atau jalan keputusan, maka peminang setelah diambil sumpahnya bisa meminta wujud mahar yang telah diberikan jika memang ada, atau harganya jika wujud mahar tersebut telah habis. Imam Nawawi dan Imam  Syafi’i berkata: “Seandainya mereka berdua sepakat untuk menerima harta, kemudian peminang berkata: “Aku membayarnya sebagai mahar.” Namun wanita yang dipinangnya berkata: “Tidak, ia hanyalah hadiah.” Jika mereka berdua sepakat bahwa pemberian itu diucapkan  kemudian mereka berselisih, apakah peminang akan berkata: “Ambillah ia sebagai mahar.” Ataukah wanita itu akan mengatakan: “Apakah ia hadiah?” Maka pendapat yang diambil adalah berdasakan perkatannya yang disumpah. Jika mereka berdua sepakat bahwa pemberian itu tidak diungkapkan dengan ucapan dan keduanya berselisih tentang niatnya, maka pendapat yang diambil adalah ucapan peminang dengan disumpah pula. Namun ada yang berpendapat bahwa hal itu tidak perlu disumpah, baik pemberian itu berupa mahar maupun tidak, makanan maupun tidak.” Ibnu al-Hammam al-Hanafi berkata: Barang siapa yang telah memberikan sesuatu kepada wanita pinangannya dan wanita tersebut berkata: “Itu adalah hadiah,” namun peminang berkata: “Ia adalah bagian dari mahar,” maka perkataan yang diambil adalah perkataan laki-laki yang meminang, karena dia adalah orang yang memiliki dan lebih mengetahui terhadap aspek kepemilikannya.[26]

Sisi kedua: berkaitan dengan hadiah

Para ulama telah berbeda pendapat tentang hukum hadiah yang diberikan oleh peminang kepada wanita pinangannya pada masa peminangan. Di bawah ini, kita jabarkan pendapat mereka sebagaimana dalam madzhab yang empat.
Imam Hanafi berpendapat bahwa jika hadiah tersebut masih berwujud, maka peminang berhak untuk memilikinya kembali, seperti gelang, cincin, kalung batu permata, jam tangan dan sebagainya.
Namun jika hadiah telah rusak atau habis, maka peminang tidak berhak untuk meminta gantinya atau harga yang senilai dengannya. Hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa hadian yang diberikan oleh peminang kepada wanita yang dipinangnya adalah sebuah hibah. Maka hadiah dihukumi sebagai sebuah hibah dan hukum hibah tersebut adalah bahwa apabila hibah tersebut telah rusak atau habis, maka hal itu menjadi terhalang untuk kembali lagi, artinya dilarang untuk diminta, baik dengan menggantinya atau dengan harga yang senilai dengannya.
Ibnu Abidin—salah satu ulama yang masyhur dalam madzhab Hanafi—telah menjelaskan bahwa apabila hadiah itu masih berwujud, maka untuk mengambil hak peminang dengan meminta kembali barang yang telah dihadiahkan kepada wanita pinangannya terdapat syarat yang harus diupenuhi, yaitu harus berdasarkan kerelaan orang-orang yang memiliki kebijakan atau melalui jalur hukum.
 Oleh karena itu, maka disyaratkan pula tiadanya penghalang yang dapat mencegah barang tersebut kembali, seperti apabila peminang benar-benar telah memberinya hadiah baju atau kain namun wanita pinangannya telah mewarnai dengan menter atau menjahitnya, maka peminang tidak berhak untuk mengambilnya kembali.[27]
Pemaparan di atas menjelaskan tentang madzhab Hanafi yang menegaskan bahwa hadiah pinangan adalah bagian dari hibah. Menurut mereka, diperbolehkan mengembalikan hibah kecuali apabila terdapat penghalang yang dapat mencegah proses pengembalian tersebut. Hal itu seperti rusak atau habisnya hadiah yang diberikan, seperti pemberian hadiah berupa jam tangan namun jam tersebut hilang, atau seperti hadiah berupa makanan yang telah habis dimakan.[28]
Sedangkan menurut madzhab Maliki adalah bahwa hadiah yang telah diberikan pada masa pinangan tidak perlu dikembalikan sebagai kesepadanan dari pinangan, baik kesepadanan itu menurut wanita yang dipinangnnya atau menurut laki-laki yang meminangnya, dan apakah hadiah itu masih dalam bentuknya atau tidak.
Sebagian ulama dari madzhab Maliki telah melakukan perincian dalam menghukuminya, yaitu:
Apabila kesepadanan pinangan itu dari pihak wanita yang dipinang, maka bagi laki-laki yang meminangnya masih berhak untuk mendapatkan kembali hadiah yang diberikannya, karena dia telah memberikannya disebabkan oleh pernikahan, dan pernikahan itu masih belum sempurna sehingga wanita yang dipinang tidak berhak untuk memiliki hadiah tersebut, kecuali jika mereka berdua telah membuat kesepakatan untuk tidak mengembalikan hadiah jika pernikahan tersebut gagal dilangsungkan, atau di sana terdapat kebiasaan masyarakat yang menuntut untuk menerapkan syarat tersebut, karena orang-orang Islam juga menganut syarat-syarat mereka. Dan diwajibkan melaksanakan syarat tertentu dan kebiasaan masyarakat seperti syarat yang telah disepakati.
Apabila kesepadanan pinangan dari pihak laki-laki yang meminang, maka dia tidak berhak untuk mengambil kembali hadiah yang diberikannya, walaupun hadiah itu masih dalam bentuknya yang semula pada wanita yang dipinangnya.
Demikian pandangan kami tentang madzhab Maliki yang sepakat bahwa gagalnya pernikahan jika dari pihak peminang, maka dia tidak berhak untuk mengambil kembali hadiahnya. Namun apabila gagalnya pernikahan tersebut dari pihak wanita yang dipinang, maka sebagain dari madzhab Maliki ini berpendapat terhadap tidak adanya hak pengembalian hadiah kepada peminang, dan hal ini adalah asal madzhab. Kemudian terdapat sebagian madzhab Maliki ini bependapat bahwa bagi peminang dalam hal ini memiliki hak pengembalian hadiah. Pendapat terakhir ini telah diperkuat oleh Imam Ahmad al-Dardir dan lainnya dari ulama madzhab Maliki. Dan pendapat ini telah difatwakan oleh Imam Ahmad al-Dardir sendiri.[29]
Madzhab Syafi’i telah berpendapat bahwa sesuatu yang telah diberikan oleh peminang kepada wanita pinangannya setelah ada jawaban terhadap pinangannya dan sebelum dilakukannya akad nikah, adakalanya telah bermaksud memberikannya sebatas hadiah tanpa ada maksud lain seperti untuk menikahinya, atau tidak bermaksud untuk memberinya sebagai hadiah tetapi dengan tujuan untuk menikahinya, maka dalam hal itu terdapat hak pengembalian dari apa yang telah mereka berikan. Jadi, sama saja apakah mereka yang menolak pinangan tersebut atau mereka membenci pinangan tersebut, maka kesepadanan itu dari pihak laki-laki.
Penyebab hal itu menurut fikih madzhab Syafi’i adalah bahwa pinangan tidak menjelaskan apakah sesuatu yang diberikan kepada mereka adalah hadiah, dan dirinya tidak bersikap ramah terhadapnya kecuali atas dasar bahwa pernikahannya akan sempurna. Rasulullah saw telah menjelaskan bahwa harta orang Islam tidak dihalalkan kecuali setelah pemiliknya berbaik hati, beliau bersabda: “Tidak dihalalkan harta saudaraya bagi siapapun kecuali apa yang telah diberikan kepadanya dari keramahan dirinya.” Sebab itulah, maka Hujjah al-Islam, Abu Hamid al-Ghazali sebagai salah satu ulama termasyhur dalam madzhab Syafi’i  berkata: Sesungguhnya barangsiapa yang mendatangi suatu kaum tanpa ada undangan dari mereka dan mereka menjamunya dengan sesuatu sebagai rasa malu terhadapnya, maka dia tidak boleh memakannya.” Selanjutnya Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa keterpaksaan itu terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
Terpaksa karena sombong dan terpaksa karena malu
Terpkasa karena sombong adalah seseorang yang telah mengambil hartanya dengan cara sombong, memaksa, dan mengalahkan. Sedangkan terpaksa karena malu adalah seseorang telah mengambil harta karena malu dari temannya.
Imam al-Ghazali berkata: Keduanya adalah haram. Tidak ada perbedaan antara kebencian mengambil harta dengan kekacauan yang dilakukan secara terang-terangan dan dengan cara mengambil dengan kekacauan secara tersembunyi. Sedangkan maksud al-Ghazali dengan kekacauan secara tersembunyi ini adalah rasa malu.
Al-Rafi’i—bagian dari pembesar ulama madzhab Syafi’i—berkata: Di setiap tempat terdapat sesuatu untuk manusia dengan maksud untuk mendapatkan keinginan atau gantinya. Namun apabila dia tidak menghasilkannya, maka dia tidak boleh memakannya. Atas dasar itulah, maka apabila seseorang meminang perempuan dan dari pihak perempuan menerimanya kemudian orang yang meminang memberi sesuatu tanpa menjelaskan bahwa ia adalah hadiah dan bermaksud untuk menikahinya. Apabila pihak perempuan tidak menikahkannya, maka pemberian itu tetap menjadi milik mereka.
Inilah hukum dalam madzhab Syafi’i karena dia tidak bermaksud untuk menjadikannya sebatas hadiah bahkan sebaliknya dengan tujuan untuk bisa menikahinya. Apabila peminang ketika mengirim sesuatu kepada pinangannya dengan niat bahwa apa yang telah dikirimkan kepada pinangannya hanyalah sebatas hadiah, artinya tidak bermaksud agar mereka menikahkannya, maka kita dapat menemukan hukum dalam madzhab Syafi’i bahwa peminang tidak boleh mengambil kembali hadiah yang telah diberikan untuk mereka karena akan berdosa jika dia meminta apa yang telah diberikan olehnya. Hal ini berdasarkan niatnya sebagaimana yang telah diajarkan oleh Allah swt. Namun semua itu apabila terjadi sebelum akad nikah. Sebaliknya, apabila peminang telah mengirim hadiah kepada mereka setelah akad nikah dan jelas bahwa hal itu adalah hadiah, maka seketika itu pula, dia tidak memiliki hak pengembalian dari mereka, karena ia telah memperbolehkan kepada mereka untuk menghabiskan hartanya  tanpa harus mengganti. Maka dia tidak akan memintanya, seperti apabila seseorang menyuguhkan makanan kepada tamunya seraya berkata: Makanlah. Apabila tuan rumah meminta ganti kepada tamunya setelah perjamuan, maka tamunya tidak layak untuk menggantinya.[30]
Sedangkan menurut madzhab Hambali adalah bahwa apabila keluarga wanita yang dipinang  telah menjanjikan kepada peminang bahwa mereka akan mengakadnya untuk putrinya dan tidak menepati janjinya, maka bagi peminang adalah hak untuk meminta kembali sesuatu yang telah dihadiahkan kepada wanita yang dipinangnya, karena dia telah memberikan hadiah untuk mendapatkan akad tetapi mereka mencegah terjadinya akad dengan sebab yang mereka buat.
Apabila penyebabnya adalah kematian wanita yang dipinang setelah terjadinya kesepakatan menikah antara peminang, wanita yang dipinang dan pihak keluarga wanita pinangan, padahal peminang telah memberi beberapa hadiah kepada wanita pinangannya dan wanita itu mati sebelum terjadinya akad nikah, maka dia tidak memiliki hak untuk meminta kembali sesuatu yang telah dihadiahkan kepada wanita pinangannya.
Illat hukum ini adalah bahwa gagalnya akad nikah tidak disebabkan oleh pihak mereka. Maka kematian tidak bisa diganti dengan lainnya.
Demikian juga ketika laki-laki yang meminang meninggal dunia setelah dia memberi hadiah kepada wanita pinangannya dan belum dilakukan akad nikah, maka bagi ahli warisnya tidak memiliki hak untuk meminta kepada wanita pinangan dan keluarganya agar hadiahnya dikembalikan.
Inilah hukum tentang hadiah yang diberikan kepada perempuan, kemudian terjadi kepadanan dalam menyempurnakan pernikahan dan tidak membuahkan akad, atau terjadi kematian sebelum dilangsungkan akad nikah.[31]
Inilah pendapat para ahli fiqih dari madzhab yang empat tentang hadiah. Setiap pendapat dari beberapa pendapat yang telah dipaparkan  layak untuk diterima. Namun alasan dari setiap pendapat ini bukan berarti sudah memiliki kepastian dalam kebenarannya, karena ia hanyalah sebuah dugaan semata.

­Akad nikah: arti, rukun, dan syaratnya

Akad nikah adalah perkawinan manusia sebagai seruan lahiriah dan telah dianjurkan oleh agama. Ia berkaitan dengan kemaslahatan manusia, baik individu maupun komunal. Tidak selayaknya—dalam Islam—terdapat hiburan yang sesaat dan persahabatan yang buruk, tidak tegak di atas pondasi, dan tidak diikat dengan tali pengikat. Sebaliknya,  ia mengharuskan bisa mendapatkan anak yang disepakati dan diridhai oleh kedua pasangan dengan perkawinan yang abadi. Dan mereka berdua saling berjanji untuk melaksanakan hak-hak yang telah diwajibkan oleh Allah swt kepada mereka berdua. Kesepakatan ini disebut dengan akad nikah.
Dari Uqbah bin Amir dari Nabi Muhammad saw, beliau bersabda: Syarat yang paling berhak untuk kamu sempurnakan adalah perkara yang menyebabkan kemaluan wanita menjadi halal untuk kamu.”[32]
Kata akad menurut bahasa memiliki arti perjanjian dan menyerahkan tanggungjawab. Inilah makna yang diharapkan ketika keinginan kedua belah pihak yang mengadakan pernikahan untuk menegakkan jalinan syar’iyah antara keduanya atas dasar keteguhan yang kuat dengan sesuatu yang mengiringinya berupa hukum dan tanggungjawab. Sedangkan menurut istilah adalah kesepakatan  dengan tujuan untuk menghalalkan kenikmatan masing-masing suami istri dari pasangannya. Dan kesenangannya ini untuk mendapatkan keturunan berdasarkan syariat Islam. Allah swt berfirman: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”[33] Dalam ayat yang lain Allah swt juga berfirman: “Allah swt menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu.”[34]

Rukun akad nikah

Ahli fikih berbeda pendapat tentang rukun-rukun akad nikah. Beberapa perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:
Madzhab Hanafi dan sebagian ulama dari madzhab Hambali berpendapat bahwa rukun akad nikah adalah sighat akad saja, yaitu ijab dan qabul, sebagaimana sighat akad lainnya. Sedangkan menurut madzhab Syafi’i adalah bahwa rukun akad nikah adalah sighat ijab dan qabul, suami istri, wali, dan saksi.
Menurut madzhab Maliki, rukun akad nikah adalah sighat, wali, suami istri, dan mahar. Namun sebagian dari madzhab Maliki ini berpendapat bahwa rukun akad nikah itu ada tiga, yaitu: sighat, suami istri, dan wali. Perselisihan ulama tentang jumlah rukun akad nikah merujuk pada beberapa sebab, diantaranya adalah bahwa ulama berselisih tentang persoalan yang mengharuskan adanya akad nikah. Oleh sebab itu kita jumpai bahwa mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali misalnya, menganggap bahwa wali adalah suatu keharusan dalam akad nikah. Waktu itu juga mazhab Hanafi tidak menganggap wali sebagai suatu keharusan dalam akad nikah, namun dia menganggapnya sebagai rukun di dalamnya, karena menurut mereka diperbolehkan bagi wanita untuk menjadi wali akad nikah untuk dirinya sendiri dan orang lain.
Di antara sebab perselisihan mereka yang lain adalah terkadang bagi sebagiaan perkara yang bukan bagian dari hakikatnya memiliki kepentingan khusus daripada yang lainnya sehingga ia menjadi seperti yang lain. Kemudian ulama menyebutnya sebagai rukun majazi padahal secara hakiki ia bukan bagian dari rukun karena keluar dari hakikatnya, seperti adanya dua orang saksi. Maka madhab Hanafi dan selain mereka menganggap bahwa dua orang saksi adalah salah satu syarat sahnya akad nikah. Namun mazhab Syafi’i atau pembesar mazhab mereka beranggapan bahwa dua orang saksi adalah salah satu rukun pernikahan, karena bagi dua orang saksi terdapat kepentingan khusus apabila dihubungkan pada akad nikah.
Atas dasar inilah, maka rukun akad nikah yang disyariatkan adalah sighat akad dan sepasang suami istri. Ketika eksistensi sigath secara sar’i membutuhkan sepasang suami istri, maka mayoritas ahli fiqih meringkas jumlah rukun pernikahan pada sigath. Sedangkan sigath akad nikah ini sebagaimana dalam  sigath lainnya, yaitu terdiri dari ijab dan qabul.
Ijab adalah ibarat yang muncul pertama kali dari salah seorang yang melakukan akad yang menginginkan terjalinnya ikatan dan penyatuannya.
Sedangkan qabul adalah ibarat yang muncul dari pihak kedua yang melakukan akad dengan bermaksud untuk mengungkapkan kesepakatan tentang ijab.
Denga penyatuan keinginan atas makna yang dituju, maka akad menjadi terlaksana.Namun menurut madhab Maliki, ijab adalah sesuatu yang muncul dari wali perempuan atau wakilnya, baik dengan mendahului atau mengakhiri. Sedangkan qabul adalah sesuatu yang diungkapkan oleh suami, atau wali atau wakilnya.[35]

Syarat-syarat akad nikah

Sebelumnya telah kami sebutkan bahwa akad nikah dalam Islam adalah menjalin hubungan antara suami istri dengan kalimat Allah swt dan berdasarkan sunnah Rasulullah saw. Pernikahan tidak akan sempurna kecuali apabila rukun-rukun dan syarat-syaratnya menjadi sempurna. Dan telah diketahui bahwa rukun adalah sesuatu yang bergantung padanya dengan anggapan bahwa ia adalah bagian yang mendasar dan termasuk dalam hakikatnya. Sedangkan pada pembahasan sebelumnya kita juga telah membatasi rukun akad nikah dan pendapat para ulama tentangnya.
Adapun syarat, maka menjadi keharusan untuk merealisasikannya hingga akad nikah menjadi sah namun ia tidak diibaratkan sebagai bagian dari sesuatu dan tidak pula termasuk dalam hakikatnya.
Di antara syarat akad nikah adalah syarat persidangan atau pengakadan dan syarat sahnya akad nikah.
Adapun syarat persidangan atau pengakadan adalah syarat di mana akad nikah tidak akan sah kecuali dengan sempurnanya syarat tersebut. Apabila syarat tersebut tidak ada, maka  akad nikah dianggap batal.
Sedangkan syarat sahnya akad nikah adalah syarat yang apabila terdapat dalam akad maka akan diketahui bahwa hal itu adalah sebuah akad dan terdiri dari beberapa aturan syarat. Apabila syarat tersebut tidak ada, maka akad nikah dianggap rusak.
Beberapa syarat akad nikah lainnya adalah: syarat pelaksanaan, syarat ketetapan, dan syarat perundang-undangan.
Seluruh syarat ini telah diformat untuk menjaga, melindungi dan mempertahankan hak-hak pasangan suami istri, sehingga pernikahan menjadi aman dari camrur tangan penguasa dan pemahaman yang barangkali membekas dalam perlakukan dan tingkah laku manusia. Karena jika pernikahan adalah ikatan mulia antara laki-laki dan perempuan, maka wajib dijaga dengan pagar yang terbuat dari syarat yang dapat menjaga tujuannya dan tetap atas pandangan yang agung. Di bawah ini adalah penjelasan terperinci tentang syarat-syarat tersebut dan beberapa hal yang tidak terdiri dari syarat tersebut.

Syarat pengakatan akad atau persidangan

Syarat pengakatan atau persidangan terbagi ke dalam beberapa syarat, yaitu syarat yang lazim dalam sighat, syarat yang lazim bagi orang-orang yang mengakad, dan syarat yang lazim bagi suami istri. Apabila syarat tidak ada, maka akad tersebut menjadi gagal.

Syarat pengakadan dalam sighat
Pembahasan yang telah lalu telah kami tunjukkan bahwa sighat dianggap sebagai rukun akad pernikahan menurut madzhab Hanafi dan sebagian mazhab Hambali. Sigaht ini diekspresikan dalam ijab dan qabul. Dengan adanya ikatan dari keduanya, maka terjadilah akad nikah. Begitu pula, Makna yang dimaksud menjadi terlaksana, yaitu menumbuhkan jalinan antara laki-laki dan perempuan pada waktu itu juga dan belum terjadi sebelumnya. pengakadan atau persidangan dalam sighat meliputi beberapa hal, yaitu:
Syarat pertama:
Harus dengan lafadz yang berfungsi pada makna pernikahan, kesenangan, mendapatkan keturunan, dan menunjukkan kerelaan pada waktu itu juga.
Dari syarat ini tampak adanya kebutuhan untuk menjadikan materi lafadz yang digunakan dalam sighat adalah yang memberi faedah kepada makna perkawinan untuk mendapatkan kesenangan dan keturunan, karena setiap akad ditegakkan atas dasar materi yang digunakan dalam mengarangnya dan menunjukkan kepada makna yang dimaksud. Hal itu dikarenakan ibrah dalam akad untuk makna, tidak untuk lafadz dan mabni.
Para ahli fikih telah sepakat bahwa pernikahan diakad dengan salah satu lafadz yang dibuat untuknya, baik secara bahasa maupun syariat. Keduanya adalah lafadz perkawinan (al-zawaj) dan pernikahan (al-nikah) dan segala kalimat yang menjadi derivasi dari keduanya.
Menurut madzhab Syafi’i dan Hambali, pernikahan tidak diakad dengan selain kedua lafadz di atas dan derivasi darinya. Hal itu disebabkan oleh urgennya akad nikah dan hubungannya dengan tabiat, nasab, warisah, dan sebagainya. Maka ia menjadi layak apabila lafadz yang digunakan dalam mewujudkannya adalah lafadz khusus, bukan lafadz perumpamaan atau majazi.
Madzhab Hanafiyah berpendapat bahwa akad nikah bisa sempurna dengan lafadz apa saja yang dapat menunjukkan terhadap makna pernikahan, baik lafadz itu adalah lafadz hakiki maupun majazi, selagi qarinah yang ada menunjukkan bahwa majaz yang dimaksud adalah perkawinan antara kedua belah pihak, dan di sana tidak terdapat sesuatu yang menafikan antara makna yang hakiki dengan makna yang majazi.
Sedangkan pendapat madzhab Maliki tidak jauh berbeda dengan madzhab Hanafi. Mereka sepakat atas kebolehan melakukan akad nikah dengan lafadz hibah apabila bersamaan dengan penyebutan mahar. Hal ini sebagaimana mereka berpendapat terhadap kebolehan melakukan akad dengan lafadz apa saja yang dapat menunjukkan kepemilikan abadi, seperti penjualan dan pemberian. Sedangkan kepemilikan apabila disertai dengan penyebutan mahar juga seperti itu, karena dengan penyebutan mahar maka terdapat qarinah yang jelas bahwa yang dimaksud adalah pernikahan.
Sedangkan lafadz yang layak untuk diucapkan dalam qabul adalah setiap lafadz yang mengarah kepada maknanya, seperti qabiltu dan zawwajtu.

Syarat kedua:

Pendengaran setiap orang yang melakukan akad adalah perkataan yang lainnya beserta pemahaman yang dimaksud secara global. Tidak disyaratkan adanya pemahaman mufradatnya dan susunannya secara terperinci. Pada saat itu, syarat ini mengharuskan adanya orang yang melakukan akad di majlis pengakadan dan merasakan adanya pembicaraan dan pendengaran, sehingga salah satu keduanya dapat menyempurnakannya dengan ucapan ijab dan lainnya mendengarkannya, kemudian  yang lainnya menyempurnakannya dengan ucapan ijab dan yang lain mendengarkannya juga. Dengan begitu, maka akad nikah menjadi sempurna.
Sedangkan apabila salah satu keduanya tidak hadir dan mengirimkan surat yang menjelaskan permintaannya untuk menikah (ijab) dengan penjelasan sejelas-jelasnya, dan pihak yang lain memahami maksud dari surat yang tertulis atau lisan itu, maka perkataannya untuk menikah dapat menyempurnakan akad nikah. Demikian pula persoalan bagi orang yang bisu atau tuli, maka isyarat yang bisa dipahami adalah cukup dengan menunjukkan bukti-bukti yang mengarah kepada ijab dan qabul. Hal itu dengan mempertimbangkan tidak adanya kemampuan pada salah satu keduanya untuk mendengar atau mendengarkan, dan hal itu adalah perbuatan udzur yang jelas dan tidak mencegah terhadap penyempurnaan akad.
Syarat ketiga:
Berada dalam satu majlis ketika melaksanakan ijab dan qabul sehingga setiap orang yang melakukan akad menjadi tenang untuk menyempurnakan akad dengan menjalin ijab dan qabul. Karena dengan berlainannya majlis qabul dari majlis ijab disinyalir tidak adanya kesepakatan untuk menyempurnakan pernikahan bagi mereka berdua atau salah satu dari keduanya. Seandainya qabul dapat sempurna dalam majlis yang lain, maka akad tidak dilangsungkan apabila ijab yang lalu tidak disepakati pada waktunya, sehingga tidak ada jalinan antara qabul dan ijab dan tidak ada hubungan antara keduanya.
Syarat keempat:
Kesepakatan qabul untuk ijab walaupun dengan embel-embel. Seandainya wali dari pihak wanita berkata: Aku nikahkan anak putriku yang bernama Laila denganmu. Kemudian calon suami berkata: aku terima untuk menikahi Fatimah, maka pernikahan itu tidak diakad karena adanya perbedaan antara qabul dengan ijab tentang sesuatu yang diakad.
Seandainya wali berkata: Aku nikahkan engkau dengan Fatimah dengan mahar seribu, kemudian calon suami berkata: Aku terima nikahnya dengan delapan ratus. Atau calon suami berkata: Nikahkanlah denganku putrimu Fatimah dengan mahar seribu, kemudian wali berkata: Aku nikahkan engkau dengannya dengan mahar dua ribu, maka pernikahan tidak terakad, karena perbedaan qabul dan ijab dalam mahar. Sedangkan mahar, walaupun tidak termasuk bagian rukun pernikahan, apabila ia disebutkan dalam akad maka ia dianggap sebagai rukun karena adanya kerelaan untuk menerimanya.

Syarat perakadan bagi orang yang mengakad

Disyaratkan bagi orang yang mengakad harus tamyiz. Jadi, seandainya dia gila atau anak kecil yang tidak tamyiz, maka dia tidak bisa melaksanakan tugas tersebut, karena dia tidak mengetahui dampak dari tingkah laku dan tidak ada maksud terhadap makna pembicaraannya, sehingga pernikahan tidak diakad dengan ibarahnya.
Syarat perakadan bagi pasangan suami istri.
Bagi mereka berdua diysratakan adanya kepastian dengan isyarat, atau dengan penyebutan yang menafikan kebodohan. Al-Nawawi berkata: Disyaratkan bagi setiap pasangan suami istri adanya kepastian. Seandainya sang wali berkata: Aku nikahkan engkau dengan salah satu putriku, atau aku nikahkan engkau dengan salah satu dari kedua putriku, atau salah satu putramu, maka akad nikahnya tidak sah.
Calon suami jangan melakukan akad dengan wanita yang dia ketahui bahwa ia adalah muhrim baginya. Seandainya dia lakukan, maka akad nikah menjadi batal.
Calon suami harus beragama Islam, jika calon istrinya adalah seorang wanita muslimah. Seandainya mengakad laki-laki non-Islam terhadap wanita muslimah, maka akadnya menjadi batal.

Syarat sahnya akad

Syarat sahnya akad adalah syarat yang keberadaannya dituntut oleh akad nikah. Apabila syarat tersebut sempurna, maka sempurna pula pengaruh syariat terhadap akad. Apabila syarat darinya tidak ada, maka akad pernikahan menjadi rusak. Sedangkan akad yang rusak tidak dapat menghalalkan seorang wanita untuk laki-laki. Namun apabila pengaruh syariat masuk ke dalamnya, maka pengaruh syariat memiliki akibat, yaitu: kewajiban membayar mahar untuk istri, adanya iddah bagi calon istri, dan kepastian nasab bagi anak-anaknya. Dengan anggapan  bahwa apabila salah satu syarat pengakadan tidak ada, maka akad menjadi batal dengan artian bahwa seorang wanita tidak dihalalkan untuk laki-laki. Pengaruh syariat yang telah kami isyaratkan dalam akad yang rusak tidak berpengaruh pada akad tersebut sebagai hasil tiadanya syarat dari syarat sahnya akad.
Syarat sahnya pernikahan, yaitu:
Syarat sahnya pernikahan terdiri dari syarat sahnya dalam sighat, dan syarat sahnya dalam pasangan suami istri.
Sedangkan syarat sahnya dalam mengungkapkan sighat terdiri dari tiga hal, yaitu:
Syarat pertama, sighat harus terlaksana
Hal itu harus menunjukkan realisasi maknanya dan akibat dari pengaruhnya pada waktu itu juga tanpa harus menyandarkannya pada masa mendatang dan tidak pula menggantungkannya terhadap syarat yang tidak terjadi pada waktu itu. Hal itu seperti perkataan laki-laki kepada seorang wanita: aku menikahimu dengan mahar sekian, kemudian wanitanya berkata: aku menerima. Dengan begitu, maka pengaruh akad berakibat padanya sejak permulaannya kapan dia menepati setiap syarat yang disandarkan kepada sighat pada masa mendatang.
Apabila disandarkan kepada sighat akad pada zaman mendatang, maka akad tidak dilakukan dan hal itu dengan menjadikan masa mendatang sebagai permulaan bagi ketetapan hukum akad dan akibat dari pengaruhnya. Hal itu seperti seorang pemuda yang mengatakan kepada wanitanya: Aku menikahimu minggu depan atau awal bulan depan, kemudian wanitanya mengatakan: Aku terima nikahmu.
Pernikahan tersebut tidak dibenarkan karena menggunakan sighat seperti itu, baik ketika mengucapkannya atau ketika menepati janji yang telah diucapkan pada masa mendatang, karena akad nikah—dengan urgensitasnya—menuntut agar supaya orang yang melakukan akad tidak mendahulukan akad kecuali ketika masing-masing dari mereka berdua telah merasakan ketenangan dan sempurnanya kerelaan. Untuk kasus di atas, penyandaran akad pada masa mendatang menunjukkan tidak adanya ketenangan dan keraguan untuk menjalin hubungan dengan pasangannya, dan hal itu telah menyalahi tujuan baik dari pernikahan. Di samping itu, bahwa akad nikah adalah bagian dari akad kepemilikan dan para ahli fikih telah menetapkan bahwa setiap akad mengindikasikan kepemilikan pada saat itu juga dan tidak diperbolehkan untuk menangguhkannya pada masa mendatang.[36]
Syarat kedua, sighat harus bersifat abadi
Sighat yang diungkapkan harus bersifat abadi dengan artian tidak dibatasi oleh waktu, karena asal dalam pernikahan adalah bermaksud dengan pergaulan abadi. Apabila membatasi pernikahan dengan waktu tertentu,  maka sighat yang diwaktukan terdapat dua macam, yaitu: pertama, pernikahan yang bermasa dan sighat di dalamnya menggunakan lafadz yang sah seperti zawaj atau nikah. Dan hal itu dengan menghadirkan dua orang saksi kemudian calon suami berkata kepada istrinya:
Aku menikahimu selama satu bulan atau satu tahun atau selama aku bermukim di negeri ini. Kemudian istrinya berkata: aku terima. Jumhur ulama berpendapat bahwa akad nikah seperti ini tidaklah sah karena tiadanya salah satu syarat dari syarat sahnya akad, yaitu menggunakan sighat yang abadi.
Diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa dia berkata: Apabila menyebutkan waktu yang tidak bisa dipastikan apakah mereka berdua masih bisa hidup atau tidak, seperti seratus tahun atau lebih, maka nikahnya sah, karena hal itu memiliki artian abadi dan ibrah dalam akad yang mengacu pada makna, bukan pada lafadz. Namun ulama lain dari madzhab Hanafi berpendapat bahwa hal itu juga dianggap menggunakan waktu; karena pengabadian bagian dari syarat nikah, maka perwaktuan dapat membatalkannya, baik dengan waktu yang panjang maupun singkat.[37]
Kedua, pernikahan mut’ah. Sighat dalam nikah ini dengan menggunakan lafadz mut’ah. Dalam nikah ini juga sama, yaitu dengan menentukan waktu atau tidak, dan dengan menghadirkan saksi atau tidak. Contohnya adalah dengan perkataan laki-laki kepada perempuan: aku akan bersenang-senang denganmu selama satu bulan atau satu tahun atau selama tinggal bersamamu. Kemudian wanita itu berkata: aku terima. Maka nikah yang bermasa adalah batil, baik mengikatnya dengan waktu yang sudah diketahui atau tidak, dan hal itu adalah nikah mut’ah.[38]  Pernikahan mut’ah adalah pernikahan yang batil menurut jumhur umat Islam dari kalangan ahl sunah dan tidak ada yang memperbolehkannya kecuali syiah Imamiyah. Pada pembahasan berikutnya akan kami gambarkan pendapat mereka, dan kami jelaskan kepalsuan dan kebatilan mereka setelah menyelesaikan pembahasan tentang syarat sahnya nikah ini.
Syarat ketiga, menyempurnakan sighat dengan menghadirkan dua orang saksi
Hal itu untuk menjaga hak-hak setiap pasangan suami istri di hadapan pasangannya jika seandainya di antara mereka berdua terjadi perselisihan dan salah satu dari mereka mengingkari pernikahannya. Di samping itu, maksud hakiki dalam pernikahan adalah penyiaran dan pengumuman sekiranya diketahui bahwa fulanah adalah istri dari si fulan. Dari Aisyah ra, dia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “Umumkanlah pernikahan ini dan siarkanlah di masjid-masjid dan tabuhlah rebana untuknya.” Abu Isa berkata: Ini adalah hadis gharib hasan dalam babnya. Isa bin Maimun al-Anshari telah melemahkan hadis ini. Dan Isa bin Maimun ini adalah perawi yang telah meriwayatkan hadis dari Ibnu Abu Nahih al-Tafsir, seorang perawi yang stiqah.[39] Dengan adanya hal itu, maka di antara manusia tidak ada yang menduga dalam kaitannya dengan tabiat mereka dan bisa jadi dugaan dan buruk sangka terjadi apabila siaran untuk menikah tidak sempurna. Dan paling rendahnya pengumuman adalah dengan hadirnya dua orang saksi.
Al-Daruqutni telah meriwayatkan hadis dari Nabi Muhammad saw bahwa beliau bersabda: “Tidak ada pernikahan kecuali dengan persaksian.” Dari Aisyah ra bahwa Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil. Dan pernikahan yang tidak mengacu pada cara seperti itu adalah batil.[40]
Dari Abu Hurairah dari Nabi Muhammad saw bersabda: Seorang gadis tidaklah dinikahkan kecuali dimintai izin darinya dan seorang janda tidak dinikahkan hingga dimintai pendapat darinya.” Kemudian Rasulullah saw ditanya: “Wahai Rasulullah saw! Bagaimana bentuk izin yang dimaksud?” beliau bersabda: “Yaitu dengan berdiam diri.” Sebagian orang mengatakan bahwa jika seorang gadis tidak dimintai izin dan tidak menikah kemudian seorang laki-laki memperdayanya dengan menghadirkan dua orang saksi palsu yang menyatakan bahwa laki-laki tersebut telah menikahi gadis itu dengan kerelaan dari sang wanita, kemudian hakim menetapkan pernikahannya padahal sang suami mengetahui bahwa saksi tersebut adalah bohong, maka laki-laki tersebut boleh menyetubuhinya dan ia dianggap pernikahan yang sah.[41]
Adapun syarat adil bagi dua orang saksi, maka mayoritas ulama dari madzhab Syafi’i dan Maliki telah menekankannya, beitu pula dengan riwayat dari Imam Ahmad yang berkaitan dengan hadis Nabi Muhammad saw yang berbunyi: “Tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil.” Sedangkan urgensi dari akad nikah yang tidak layak untuk disempurnakan dengan adanya dua orang saksi yang fasik, maka persaksiannya tidak diterima. Apabila madzhab Maliki telah memperbolehkan persaksian untuk menutupi keadaan yang ada, maka kita telah mendapatinya juga pada sebagian ulama madzhab Syafi’i. Kecuali madzhab Hanafi, mereka tidak mensyaratkan adanya keadilan pada dua orang saksi dengan pertimbangan bahwa persaksian dalam hal itu dimaksudkan untuk pengumuman, dan hal ini bisa terealisasi dengan adil atau fasiknya saksi, terlebih lagi bahwa orang fasik pada hakikatnya bisa mengurusi perwalian untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain. Lalu bagaimana mungkin persaksiannya tidak diterima dalam suatu akad nikah.
Sedangkan syarat adanya kekebasan (bukan budak) pada dua orang saksi menurut madzhab Syafi’i dan disepakati pula oleh madzhab Hanafi adalah karena dalam akad nikah terdapat kepentiangan dan urgensi dalam kehidupan yang mengharuskan adanya saksi. Dan Imam Ahmad berbeda dengan mereka seraya meriwayatkan bahwa persaksian budak sahaya diperbolehkan selama dia bisa dipercaya, jujur dan bertakwa.

Syarat sahnya dalam pasangan suami istri

1.        Tidak ada sebab yang mengharamkan pernikahan antara suami istri dengan pengharaman yang abadi atau waktu tertentu. Hal itu seperti menikahi saudarinya atau ponakannya baik dari nasab maupun susuan. Apabila penyebab pengharaman ini tidak diketahui oleh mereka dan akad nikah telah sempurna, maka pernikahannya dianggap rusak. Namun apabila mereka mengetahuinya bahwa calon istrinya adalah muhrim baginya, maka akad nikahnya adalah sesat.
2.        Kcocokan antara suami dan istri apabila salah satu dari keduanya tidak terdapat kemampuan, dan yang menikahinya bukan asal atau furu’nya yang diketahui sebelum akad dengan pilihan yang baik, atau keduanya tidak diketahui pada waktu itu. Contoh dalam hal itu adalah apabila yang menikahinya adalah saudaranya atau pamannya atau yang menikahinya adalah asal atau furu’nya yang telah diketahui sebelum akad dengan buruknya pilihan.
Dan yang berhubungan dengan syarat ini adalah tidak mengurangi mahar dari mahar mistil. Kecocokan telah dianggap sebagai syarat sahnya pernikahan bagi orang yang tidak memiliki kemampuan, baik laki-laki maupun perempuan karena kemaslahatan setiap pasangan—dalam kondisi seperti ini—tergantung pada kecocokan yang ada.
3.        Calon suami hendaknya sepadan dengan calon istri. Apabila wanita yang baligh dan berakal menikahkan dirinya padahal dia memiliki wali dari pihak ayah dan sebelum dilangsungkannya akad mereka tidak rela karena tidak adanya kecocokan, karena para wali merasa bangga dengan kekeluargaan yang mulia dan mengagungkan kekeluargaan yang jelas. Sedangkan hak keduanya untuk menikah telah digugurkan oleh kerelaannya tanpa adanya kecocokan.[42] Jika wanita itu menikahkan dirinya tanpa adanya kecocokan, maka pernikahannya menjadi rusak, walaupun sang wali memperbolehkannya setelah terjadinya akad nikah. Pernikahan yang telah diakad dengan cara yang rusak tidak akan berubah menjadi sah dengan adanya kebolehan, karena pengaruh dari kebolehan adalah dalam kebenaran, bukan dalam kerusakan.[43]

Syarat pelaksanaan

Yaitu syarat yang menjadikan akad terlaksana dengan kesempurnaan syarat tersebut. Akad yang terlaksana adalah akad yang mana pengaruh syariatnya memiliki dampak pada pelaksanaannya. Oleh karena itu, maka orang yang mengakad haruslah orang yang memiliki hak dalam menguasai akad tersebut. Dan orang yang mengakad ini harus menyenpurnakan syarat-syaratnya agar akadnya menjadi terlaksanan. Apabila syaratnya tidak ada, maka akad tergantung pada kebolehan orang yang memiliki hak untuk memperbolehkan. Syarat-syarat ini terdiri dari beberapa hal, yaitu:
Syarat pertama, orang yang mengakad harus baligh
Jika seorang anak kecil yang tamyiz menikahkan dirinya, maka pelaksanaan akad nikah tergantung kebolehan walinya. Karena pernikahan dimaksudkan untuk kemaslahatan, dan kemaslahatan itu terkadang menjadi samar bagi seorang anak kecil walaupun sudah tamyiz. Hal itu disebabkan oleh sedikitnya pengalaman dalam kehidupan dan kurangnya pengetahuan tentang suatu hukum.
 Demikian pula disyaratkan bagi orang yang mengakad agar berakal dan merdeka. Jika dia kurang waras namun ketidak warasannya tidak sampai mencapai batasan gila dan masih dalam tingkatan anak kecil yang tamyiz, maka akadnya menjadi sah tetapi masih tergantung pada kebolehan walinya. Demikian pula jika dia adalah seorang budak, karena akad nikahnya budak tergantung kebolehan tuannya. Jika tuannya membolehkannya, maka akad nikah dilaksanakan, namun jika tidak, maka akad nikahya batal.
Syarat kedua, orang yang mengakad bukan wali jauh (wali al-ab’ad)
Jika di sana masih terdapat wali yang paling dekat (wali al-aqrab). Jika hal itu terjadi, maka akad nikah tergantung padakebolehan wali yang paling dekat. Jika paman menjadi wali dalam akad nikah padahal di sana terdapat saudara kandungnya, maka akad nikah tersebut tergantung pada kebolehan saudara kandungnya. Karena yang berhak mengadakan akad nikah ini adalah saudara kandung, bukan pamannya. Maka pada waktu itu juga, akad nikah tergantung kebolehan orang yang berkah mengadakannya.
Syarat ketiga, orang yang mengakad bukan orang yang mendapatkan mandat namun menyalahi aturan orang yang memberi mandat.
Jika dia telah menyalahi aturan orang yang memberi mandat, maka akad nikah tergantung kebolehan orang yang memberi mandat. Jika seandainya seseorang memberi manda pada orang lain agar dia menikahkan dirinya dengan wanita tertentu atau dengan mahar tertentu, kemudian orang yang mendapatkan mandat ini menikahkannya dengan wanita lain atau dengan mahar yang lebih banyak, maka akad nikahnya tidak terlaksana kecuali apabila orang yang memberi mandat telah membolehkannya dalam dua hal, karena orang yang mendapatkan mandat telah menyalahi aturan pertama dari orang yang memberi mandat dalam persoalan calon istri, dan telah menyalahi aturan kedua dari orang yang memberi mandat dalam persoalan mahar.
Syarat keempat, orang yang mengakad bukan orang yang mencampuri urusan orang lain (fudhuli)
Orang yang mencampuri urusan orang lain (fudhuli) adalah orang yang melakukan akad nikah untuk orang lain yang bukan urusannya (tidak menjadi wali untuk mereka). Jika orang yang turut campur ini (fudhuli) melakukan akad nikah untuk yang lainnya,  maka akad nikah tersebut tergantung kebolehan orang yang diakad, terlebih lagi jika orang yang turut campur (fudhuli) ini menjadi wali pada salah satu pihak yang diakad.
Apabila dia menjadi wali pada pihak yang diakad dan mencampuri urusan kedua belah pihak atau salah satu pihak, maka akad nikah dihentikan dan menjadi rusak bagi kedua belah pihak, karena tidak adanya penyatuan keinginan dalam makna yang dimaksud.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa akad nikahnya orang yang fudhuli adalah batal, walaupun orang yang lebih berhak melakukannya telah memberinya izin, karena maksud yang dituju adalah pengaruh yang membekas padanya, dan orang yang mencampuri urusan orang lain tidak bisa memberi kesan terhadap pengaruh akad, sehingga dia tidak boleh melakukan akad.
Namun madzhab Hanafi menolak pendapat ini karena tidak ada bahaya dalam menggantungkan akad pada kebolehan orang yang memiliki hak untuk memboehkannya, bahkan di sana terdapat ketetapan manfaat apabila di sana terlihat adanya manfaat. Kapanpun membolehkannya, maka pengaruhnya berkesan padanya sebagaimana ia berkesan pada akad yang dilaksanakan.

Syarat ketetapan[44]

Syarat ketetapan (paten) adalah syarat yang menentukan akad nikah agar menjadi tetap atau paten dan tidak ada seorangpun dari kedua pasangan atau lainnya untuk merusak akad nikah tersebut dengan alasan tidak adanya penerimaan (qabul) yang sempurna ketika mengadakannya. Jika seorang bisa merusaknya, maka akad nikah tersebut tidak tetap atau paten.
Jumhur ulama fiqih berpendapat bahwa akad nikah tidak menerima pilihan bersyarat (khiyar al-syarth) sebagaimana ia tidak menerima pilihan yang bergantung pada mimpi. Madzhab Hambali percaya kepada syarat yang tidak dilarang oleh syariat. Jika salah seorang dari pasangan calon suami istri mensyaratkan adanya suatu sifat pada pasangannya dan terbukti bahwa syarat tersebut tidak ada ketika akad nikah, seperti keperawanan, atau mensyaratkan pada pasangannya agar menunaikan suatu pekerjaan yang bermanfaat untuknya namun dia tidak menunaikannya, seperti syarat belum menikah—maka bagi orang yang mengajukan syarat terdapat hak untuk merusak akad nikah demi kemaslahatannya.

Wanita-wanita yang muhrim

Hukum paling mencuat ke permukaan yang telah dikandung oleh al-Qur'an adalah hukum-hukum yang berkaitan dengan wanita muslimah. Di antaranya adalah ketentuan wanita yang dilarang untuk dinikahi apabila tanda-tandanya menjadi jelas. Allah swt berfirman: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci oleh Allah swt dan seburuk-buruknya jalan yang ditempuh. Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang ada dalam peliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu dan sudah kamu ceraikan, maka tidak berdosa jika kamu mengawininya, dan diharamkan bagi kamu istri-istri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan dalam perkawinan dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah swt maha pengampun lagi maha penyayang. Dan diharamkan pula bagi kamu mengawini wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki. Allah swt telah menetapkan hukum itu sebagai ketetapannya atas kamu dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian.”[45]
Di antaranya juga firman Allah swt yang berbunyi: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak wanita yang mu’min lebih baik daripada wanita yang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita-wanita mu’min sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu.”[46]
Allah swt berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji keimanan mereka. Allah swt lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka benar-benar beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada suami-suami mereka dari orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.”[47]
Allah swt juga telah berfirman: “Dan tidak boleh kamu menyakiti hati Rasulullah saw dan tidak pula mengawini istri-istrinya selama-lamanya sesudah dia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar dosanya di sisi Allah swt.”[48]
Di samping itu, sunnah Nabi Muhammad saw juga mengandung beberapa hukum yang mengharamkan sebagian wanita yang tidak dijelaskan oleh nash dalam ayat-ayat al-Qur'an. Kesemuanya itu menyeru pada kita untuk merenungkan ayat-ayat tersebut dan hadis-hadis yang memungkinkan untuk merenungkan rahasia yang tersembunyi tentang keharaman orang yang dilarang oleh Allah swt dan Rasulullah saw untuk dinikahi.

Hikmah larangan menikah dengan beberapa wanita

Kita perhatikan dalam ayat al-Qur'an pada pembahasan sebelumnya, bahwa ia mengandung pengharaman beberapa wanita yang digambarkan dengan kekerabatan nasab atau kekerabatan dari susuan atau kekerabatan dari jalinan kekeluargaan. Tidak diragukan lagi bahwa kekerabatan yang berhubungan di antara manusia mengajak pada jalinan yang kuat, hubungan yang menyenangkan, banyaknya membaur, saling mengasihi, belas kasihan, tolong menolong, dan berbuat baik di antara mereka. Di sana juga bisa menjadin hubungan kekerabatan yang dapat mengangkat perasaan manusia mencapai derajat keagungan, kemuliaan, dan kemampuan. Contoh dari perasaan manusiawi ini dan makna-makna penciptaan yang luhur, tidak layak apabila terlihat dalam kebingungan dan kekacauan serta tidak dibenarkan untuk menghasilkan keadaan yang berbahaya, atau emosi khusus. Dari sini, Allah swt telah mengharamkan pernikahan di antara orang yang memiliki hubungan kekerabatan yang dekat atau yang menyerupai mereka dalam hubungan dan jalian yang kuat, karena hubungan antara sepasang suami istri mengharuskan kewibawaan dan kesopanan setelahnya. Bahkan barangkali menuntut pengorbanan dan kehinaan yang terkadang di antara sepasang suami istri terjadi perdebatan dan tindakan yang sampai pada tingkat perbedaan dan perselisihan yang tidak terpuji di antara sesama kerabat. Barangkali perselisihan antara pasangan suami istri bisa sampai—terkadang—pada jalur yang tidak mungkin menebusnya atas dasar perbedaan di antara mereka kecuali dengan memutus hubungan antara keduanya dan dengan cara perceraian. Cara seperti itu adalah bentuk dari perpisahan yang bisa merembet—biasanya—pada permusuhan dan kebencian antara kedua belah pihak. Setelah itu tidak mudah untuk mendamaikan kembali keretakan yang telah dihasilkan antara keduanya. Hal ini adalah sisi yang tidak layak untuk dihadapi oleh hubungan-hubungan kekerabatan yang dekat atau oleh orang yang setingkat dengan mereka dalam keteguhan hati dan tambahan cinta. Oleh sebab itu, menjadi keharusan untuk melingkupi hubungan kekerabatan mereka dengan pagar yang dapat menjaganya dari ketegangan hubungan pernikahan dan macam-macam perselisihan yang terkadang dihasilkan oleh pasangan suami istri. Dan hendaknya melindungi ibu atau saudara-saudara perempuan dari hal-hal yang seperti itu dengan cara penghormatan, kecintaan dan kasih sayang yang berangkat dari nurani yang sehat dan ajaran samawi (Islam). Oleh sebab itu, kita banyak menjumpai wanita-wanita yang diharamkan dalam Islam juga diharamkan pada masa jahiliyah.

Macam-macam pengharaman

Pertama, pengharaman abadi. Pengharaman abadi adalah pengharaman yang sebab atau tempat bergantung dari ketetapannya adalah hubungan manusiawi yang paten dan tidak menerima perubahan, seperti bentuk peribuan, persaudaraan dan sebagainya.
Kedua, pengharaman yang berwaktu, yaitu pengharaman yang sebab dan tempat bergantung dari ketetapannya adalah sifat yang menerima penafian, seperti kemusyrikan bagi wanita musyrik, menikahi wanita yang bersuami, adanya masa iddah bagi wanita yang sedang menjalani masa iddahnya, dan sebagainya... Di bawah ini adalah penjabaran dari dua macam pengharaman di atas.

Pertama, pengharaman abadi

Penyebab dari pengharaman abadi terbatas pada tiga macam hubungan, yaitu:
1.        Hubungan nasab, yaitu hubungan yang muncul disebabkan oleh faktor melahirkan.
2.        Hubungan susuan, yaitu hubungan yang muncul disebabkan oleh faktor wanita yang menyusui anak lain.
3.        Hubungan kekeluargaan, yaitu hubungan yang mucnul disebabkan oleh faktor adanya pernikahan.[49]

1. Wanita yang diharamkan sebab nasab

Dalam al-Qur'an terdapat ayat yang membatasi wanita-wanita yang diharamkan karena adanya hubungan nasab. Hal itu adalah firman Allah swt yang berbunyi: “Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan.” [50]
Ayat ini menjelaskan bahwa wanita yang diharamkan karena faktor nasab ini ada empat macam, yaitu:
1.      Asal dari para ibu dan seterusnya ke atas. Maksud dari asal di sini adalah ibu dari seorang laki-laki dan ibunya ibu (nenek) dan seterusnya ke atas. Ibunya ayah, ibunya kakek dari ayah atau ibu dan seterusnya ke atas.
Dalil dari pengharaman pernikahan dari ibu ini jelas terdapat dalam nash al-Qur'an, yaitu firman Allah swt yang berbunyi: “Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu.” [51]
Sedangkan pengharaman para nenek, maka berdasarkan perumpamaan dari lafadz ibu (um) yang dimaksudkan pada asalnya. Hal itu kita dapatkan dengan jelas dalam firman Allah swt yang berbunyi: “Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat itulah ummul kitab,”[52] yaitu asal atau pokok-pokoknya. Begitu pula firman Allah swt yang berbunyi: “Dan di sisinya terdapat ummul kitab.”[53]
Di samping itu, Allah swt telah mengharamkan saudara-saudara ayah yang perempuan (bibi) dan saudara-saudara ibu yang perempuan (bibi) dengan ayat al-Qur'an yang mulia, yaitu firman Allah swt yang berbunyi: “Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan.” [54]
Saudara-saudara ayah dan ibu yang perempuan adalah anak-anak dari nenek. Maka nenek diharamkan untuk dinikahi dan mereka lebih dekat dengan dalil ayat al-Qur'an atau menjadi qiyas ula atau qiyas jali. Hal itu adalah bukti perkataan atas orang yang diam dan lebih utama dalam hukum daripada orang yang mengatakan. Hal itu seperti dalil dalam firman Allah swt tentang penjagaan kedua orang tua dan tidak boleh menyakitinya dengan firmannya yang berbunyi: “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya dengan perkataan “ah" dan janganlah kamu membentak mereka.”[55] Maka mencaci atau memukul keduanya adalah perbuatan haram yang lebih utama.
2.    Cabang dari anak-anak dan seterusnya ke bawah. Maksud dengan cabang adalah anak perempuan dan keturunannya, serta cucu perempuan dari anak laki-laki dan keturunannya. Hal itu dikarenakan ayat al-Qur'an telah menegaskan tentang keharaman anak kandung dalam firman Allah swt: “Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan.” [56]
Sedangkan pengharaman yang lainnya dari cabang yang ada adalah dari ayat al-Qur'an dengan gambaran bahwa yang dimaksud dengan anak perempuan adalah setiap cabang atau keturunan dengan jenis kelamin perempuan. Atau pengharamannya karena adanya ijma’ atau adanya dalil ayat al-Qur'an, karena ayat al-Qur'an telah menegaskan tentang pengharaman atas perempuan dari saudara laki-laki dan perempuan dari saudara perempuan. Dan tidak diragukan lagi bahwa cucu perempuan dari anak lak-laki dan cucu perempuan dari anak perempuan—dan seterusnya—adalah lebih kuat kekeluargaannya daripada anak perempuan dari saudara laki-laki dan anak perempuan dari saudara perempuan. Maka pengharaman anak perempuan dari anak laki-laki (cucu) dan anak perempuan dari anak perempuan (cucu) adalah lebih utama.
Mengenai hal ini, ulama ahli fiqih telah memaparkan tentang anak zina, apakah ia diharamkan untuk ayahnya atau tidak.
Ulama telah berbeda pendapat tentang persoalan ini dengan pembahasan sebagai berikut:
Pendapat pertama, anak zina diharamkan untuk ayahnya, karena dia adalah anaknya yang sebenarnya dan telah diciptakan dari air maninya dan kenyataan yang terjadi tidak diangkat. Oleh sebab itu pula, maka anak zina juga diharamkan untuk menikahi ibunya berdasarkan kesepakatan ulama. Kemudian anak zina yang perempuan juga anak dari ayahnya dalam artian bahasanya. Ayat al-Qur'an dengan jelas menerangkan tentang keharaman anak perempuan: “Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan.”[57] Hal ini adalah pendapat madzhab Hanafi dan Imam Ahmad bin Hanbal serta Imam Malik dalam salah satu pendapatnya yang telah diriwayatkan dari Ibnu al-Qasim.
Di antara yang memperkuat pendapat mereka adalah riwayat seorang sahabat yang berkata: “Wahai Rasulullah saw. Sesungguhnya aku telah menzinahi seorang perempuan pada asa jahiliyah. Apakah aku boleh menikahi putrinya? Rasulullah saw bersabda: “Aku tidak tahu hal itu dan tidak baik bagi seseorang untuk menikahi wanita yang telah lahir dari anaknya berdasarkan apa yang telah muncul darinya.”
Pendapat kedua, anak zina bukanlah muhrim untuk ayahnya, karena peranakan dibuat atas dasar hukum, yaitu peranakan secara syariah, bukan peranakan secara hakiki. Di sini, hal itu dinafikan karena anak zina tidak dinasabkan pada orang yang melakukan zina berdasarkan sabda Nabi Muhammad saw: “Anak berdasarkan tempat tidur dan orang yang berzina hanya mendapatkan kecelakaan.” Jadi, selama nasabnya tidak ditetapkan kepada ayahnya, maka keharamannya juga tidak ditetapkan untuknya. Hal ini seperti kehormatan yang berlaku pada setiap hak, karena wanitanya dianggap sebagai orang asing dari orang yang melakukan zina, maka dia tidak diharuskan untuk memberi nafkah, tidak halal untuk bertatapan dengannya, tidak ada kuasa atasnya, dan tidak ada pewarisan antara mereka berdua. Pernyataan ini adalah pendapat dari Imam Syafi’i.
Kami melihat bahwa jumhur ulama mengharamkan anak zina terhadap ayahnya dan hal itu lebih kami terima. Karena ia sesuai dengan beberapa tabiat yang dikukuhkan bahwa ia adalah anaknya secara hakiki walaupun tidak dinasabkan secara syariat. Terlebih lagi adalah bahwa mengambil pendapat yang terakhir ini lebih berhati-hati karena kesalahan dalam mengharamkan lebih ringan daripada kesalahan dalam menghalalkannya.
3.    Cabang dari orang tua dan seterusnya ke bawah. Maksud dari hal itu adalah saudara, baik saudara kandung, saudara seayah, maupun saudara seibu, dan juga mencakup semua keturunan dari mereka, baik anak perempuan maupun anak perempuan dari anaknya mereka. Hal itu seperti anak perempuan dari saudara laki-laki dan anak perempuan dari anak perempuannya saudara laki-laki dan seterusnya ke bawah. Anak perempuan dari anak laki-lakinya saudara laki-laki dan seterusnya ke bawah. Demikian pula dengan anak perempuan saudara laki-laki, anak perempuan dari anak perempuannya saudara perempuan dan seterusnya ke bawah. Serta anak perempuan dari anak laki-lakinya saudara perempuan dan seterusnya ke bawah.
Dalil atas pengharaman mereka semua adalah firman Allah swt yang berbunyi: “Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan.” [58] Maka pengharaman di sini adalah berdasarkan berdasarkan keumuman ayat. Hal itu telah paten berdasarkan kesepakatan ulama, demikian pula hal-hal yang berkaitan dengan tingkatan pertama dari anak perempuan dari saudara laki-laki dan anak perempuan dari saudara perempuan.
4.    Tingkatan pertama dari cabang kakek dan seterusnya ke atas serta nenek dan seterusnya ke atas. Maksud dari hal itu adalah saudara perempuan dari ayah (bibi) dan saudara perempuan dari ibu (bibi). Dalil tentang hal itu adalah keumuman ayat al-Qur'an yang berbunyi: “Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan. [59] Maka ayat yang umum mencakup saudara perempuan dari ayah, baik sekandung dengan ayah, seayah dengan ayah, atau seibu dengan ayah. Bibi dari ibu juga demikian. Jika setiap laki-laki yang dijadikan nasabmu (ayah), maka saudara perempuannya adalah bibimu dan setiap perempuan yang dijadikan nasabmu (ibu), maka saudara perempunnya adalah bibimu.
Sedangkan anak perempuannya saudara perempuan ayah dan anak perempuannya saudara perempuan ibu, bukanlah wanita yang diharamkan untuk laki-laki. Demikian pula dengan anak perempuan saudara laki-laki ayah (paman) dan anak perempuan saudara laki-laki ibu (paman dari pihak ibu), karena mereka tidak disebutkan dalam wanita-wanita yang diharamkan untuk dinikahi dan bukan pada tingkatan pertama dari cabang kakek. Maka mereka masuk dalam kategori orang yang dihalalkan oleh Allah swt berdasarkan firman-Nya yang berbunyi: “Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian.”[60] Terlebih lagi terdapat ayat al-Qur'an yang jelas-jelas menghalalkannya, yaitu dalam firman Allah swt yang berbunyi: “Wahai Nabi, sesungguhnya kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah swt untukmu, dan demikian pula anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu, anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu.”[61] Dan setiap apa yang telah dihalalkan oleh Allah swt untuk Rasulullah saw menjadi halal pula untuk umatnya selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya untuk Rasulullah saw dengan penghalalan tersebut.
Kesimpulan: ayat al-Qur'an telah mengharamkan wanita berdasarkan nasabnya sebanyak tujuh orang, yaitu: ibu, anak perempuan, saudara perempuan, saudara ayah yang perempuan (bibi dari ayah), saudara ibu yang perempuan (bibi dari ibu), anak perempuan dari saudara laki-laki (ponakan), dan anak perempuan saudara dari perempuan (ponakan). Dan telah ditetapkan perkataan Ibnu Abbas: Telah diharamkan wanita berdasarkan nasab dan kekeluargaan sebanyak tujuh golongan, dan beliau membaca firman Allah swt yang berbunyi: “Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan...”[62] Dan seterusnya.

2. Wanita yang diharamkan sebab susuan

Ayat-ayat al-Qur'an telah menjelaskan beberapa wanita yang diharamkan karena adanya faktor dari seorang wanita yang menyusuinya anak yang bukan kandungannya. Hal itu seperti dalam firman Allah swt yang berbunyi: “Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan. [63] Rasulullah saw telah menyamakan pengharaman wanita yang disebabkan oleh penyusuan dengan pengharaman wanita yang disebabkan oleh faktor berupa hubungan kekeluargaan dan nasab. Telah diriwayatkan bahwa ketika Rasulullah saw berkeinginan untuk menikahi putri pamannya, Hamzah, beliau bersabda: “Sesungguhnya dia tidak halal bagiku. Dia adalah putri saudariku sepersusuan. Diharamkan dalam sepersusuan sebagai diharamkan dalam nasab.”
Dari Aisyah ra bahwa dia telah disusui oleh istri Abu al-Qu’ais. Kemudian saudara Abu al-Qui’ais mendatangi Aisyah dengan perasaan gembira setelah turunnya ayat hijab dan meminta izin pada Aisyah untuk menemuinya. Namun Aisyah tidak mengizinkannya seraya berkata: “Sesungguhnya istri saudaranya telah menyusuiku, namun aku tidak akan mengizinkannya sampai aku meminta izin kepada Rasulullah saw.” Ketika hal itu diceritakan kepada Rasulullah saw, maka beliau bersabda: “Hendaklah engkau mengizinkannya karena dia adalah pamanmu. Niscaya engkau akan selamat.”
Berdasarkan ayat al-Qur'an dan hadis Nabi Muhammad saw di atas, maka menjadi jelas bagi kita bahwa wanita yang diharamkan untuk dinikahi karena faktor susuan terdiri dari empat golongan, sebagaimana yang terjadi pada keharaman wanita yang disebabkan oleh faktor nasab, yaitu:
1.        Ibu susuan dan seterusnya ke atas. Maksud dari hal itu adalah ibu yang telah menyusui, ibunya ibu yang telah menyusui, baik dari segi nasab maupun dari segi susuan. Begitu juga dengan ayah dan kakek susuan, baik dari segi nasab maupun susuan.
Imam al-Qurthubi berkata: Apabila seorang wanita telah menyusui seorang anak, maka wanita itu diharamkan bagi anak tersebut karena dia adalah ibunya, begitu pula dengan ibunya ibu yang menyusui, karena dia adalah neneknya.
2.        Anak perempuan dari susuan dan seterusnya ke bawah. Dia adalah anak yang disusui dengan air susu yang menetes dari istrinya seorang laki-laki untuk menyusui anak kandungnya. Dan anak perempuan dari anak perempuan susuan, baik anak dari segi nasab atau susuan dan seterusnya ke bawah. Begitu pula dengan anak perempuan dari anak laki-lakinya.
3.        Cabang dari kedua orang tua yang menyusui. Maksudnya adalah saudara-saudara sepersusuan dan anak-anak dari saudara-saudara sepersusuan dan seterusnya ke bawah. Begitu pula dengan anak perempuan dari saudara laki-laki sepersusuan dan anak perempuan dari mereka dan seterusnya ke bawah.
4.        Tingkatan pertama dari cabang kakek atau nenek sepersusuan. Maksudnya adalah saudara perempuan dari ayah sepersusuan dan saudara perempuan dari ibu sepersusuan. Sedangkan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ayah sepersusuan dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibu sepersusuan, maka tidak diharamkan untuknya secara susuan sebagaimana tidak diharamkannya pula secara nasab.

Bagaimana mengetahui kekerabatan sepersusuan yang diharamkan?

Kekerabatan sepersusuan yang diharamkan, dapat diketahui dengan menetapkan pemutusan susuan dari keluarganya yang senasab dan menitipkannya kepada keluarga sepersusuan, dengan anggapan bahwa dia adalah anak bagi suami dan istri yang menyusui dengan memberikan susu yang menetes demi anak kandungnya sendiri. Setelah itu, kemudian dikaitkan kepada setiap cabangnya. Maka setiap hubungan menjadi tetap baginya atau bagi cabangnya dengan posisi yang baru. Hal itulah yang menjadi dasar pengharaman atau penghalalannya sebab susuan. Sedangkan hubungan keluarga yang menyusui dengan keluarga yang senasab, maka tidak ada kaitannya dengan pengharaman dan penghalalan. Sebab itulah, maka bagi kerabatnya yang senasab tidak ditetapkan selain cabangnya seperti yang telah ditetapkan baginya cabang dari sepersusuan.

Kapan susuan menjadi haram?
Penyusuan adalah menyedotnya seorang bayi terhadap air susu dari puting anak adam dalam waktu tertentu selama masa menyusui. Pengharamannya tergantung pada sampainya air susu ke perut bayi dengan tujuan makan yang dapat menambah daging dan membentuk tulang. Seandainya orang yang menyusui merasa ragu apakah air susunya telah sampai ke perut bayi, maka bayi itu tidak dianggap sebagai anak susuannya yang muhrim. Seandainya air susu sampai ke perut bagi dari jalur selain mulut atau hidung, dengan cara meneteskan atau mengucurkan air susu pada telinga atau menyuntiknya dengan air susu, maka keharamannya tidak berlaku.
Adapun masa menyusui, maka para ahli fikih telah berbeda pendapat tentangnya, sebagaimana dalam pemaparan berikut:
1.        Imam Malik, Syafi’i, Ahmad, Muhammad Husain al-Syaibani, Abu Yusuf dari madzhab Hanafi, dan jumhur ulama pengikut madzhab Dzahiriyah berpendapat bahwa masa menyusui adalah dua tahun, berdasarkan firman Allah swt yang berbunyi: “Para ibu hendaklah mengusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi mereka yang ingin menyempurnakan penyusuan.”[64] Perumpamaan dari kata “menyempurnakan” menunjukkan bahwa ia bukan setelah sempurnanya sesuatu. Hal itu seperti yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa dia berkata: “Tidak ada penyusuan setelah dua tahun.”
Demikianlah, maka masa penyapihan tidak berpengaruh pada kehalalan dan keharaman. Seandainya penyusuan itu terjadi setelah dua tahun—walaupun sebelum masa penyapihan—maka tidak terjadi keharaman. Apabila terjadi sebelum berakhirnya masa dua tahun—walaupun setelah masa penyapihan—maka keharaman berlaku.
2.        Al-Zuhri, al-Hasan, Qatadah, dan al-Auza’i berpendapat bahwa sepersusuan yang diharamkan adalah selama bayi yang menyusu dengan sengaja makan dari susuannya. Seandainya masa penyapihan telah selesai dan merasa cukup dengan asupan yang lain walaupun sebelum dua tahun, maka keharamannya tidak ditetapkan dalam penyusuan ketika itu juga, karena tiadanya realisasi masa penyapihan yang diharamkan dan hal itu diketahui dengan gemuknya lambung atau susu yang menjadi daging dan tulang. Tentang hal itu, mereka beralasan dengan hadis yang telah diriwayatkan oleh al-Turmudzi dari Ummu Salamah ummul mukminin ra bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: “Tidak diharamkan dari susuan kecuali apabila lambungnya telah menggemuk dan terjadi sebelum masa penyapihan.” Begitu pula yang telah diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: “Tidak diharamkan dari susuan kecuali setelah dagingnya bertambah dan tulangnya terbentuk.”

Kadar penyusuan yang dapat mengharamkan

Para ahli fikih telah berbeda pendapat tentang kadar menyusui yang dapat menjadi penyebab dalam pengharaman. Hal itu sebagaimana penjabaran berikut ini:
1.        Madzhab Hanafi, Maliki dan Ahmad bin Hambal menyatakan dalam satu pendapatnya, bahkan sebagian sahabat dan tabi’in juga berpendapat bahwa penyusuan dapat menetapkan pengharaman selama syarat yang telah kami sebutkan terlaksana dan tidak ada perbedaan antara sedikit atau banyaknya menyusui. Hal itu disebabkan oleh adanya ayat al-Qur'an dan hadis Nabi Muhammad saw yang telah kita riwayatkan  sebelumnya yang tidak menentukan kadar tertentu dalam penyusuan.
2.        Madzhab Syafi’i dan yang tampak dari madzhab Ahmad bin Hambal, Ibnu Hazm dan Ibnu al-Qayyim menyatakan pendapatnya, bahkan mereka telah meriwayatkan dari sebagian sahabat dan tabi’in seraya berkata: Tidak diharamkan sebab susuan kecuali dengan lima kali susuan yang terpisah-pisah dan mengenyangkan. Hal ini berdasarkan riwayat dari Aisyah ra: “Lima susuan yang mengenyangkan dapat mengharamkan mereka.” Karena pengharamannya tergantung pada tumbuhnya daging dan terbentuknya tulang, maka ia tidak akan terjadi kecuali dengan lima kali susuan dalam sehari penuh.
Pendapat itu diperkuat dengan kenyataan diturunkannya ayat al-Qur'an tentang pengharaman yang disebabkan oleh sepersusuan dan fenomena orang-orang Arab yang telah menyusukan anak-anak mereka dengan mengutus anak-anak mereka agar bermukim dengan orang yang menyusuinya dan bersama dalam kehidupannya. Anak-anak tersebut membaur dengan seluruh keluarga sepersusuannya dan menjalin hubungan di antara mereka sehingga bayi yang disusui merasakan bahwa wanita yang menyusuinya adalah ibunya dan suami dari ibu yang menyusuinya adalah ayahnya serta anak-anak dari wanita yang menyusuinya adalah saudara-saudaranya. Dan untuk sekali susuan atau dua kali susuan tidak dapat berpengaruh atau memberi kesan yang seperti itu.[65]
Dengan apa penyusuan ditetapkan?
Penegasan susuan yang dapat mengharamkan wanita untuk dinikahi membutuhkan cara yang lebih dikenal dengan penetapan susuan, yaitu dengan cara ikrar (pengakuan) atau dengan adanya saksi.
Apabila seorang suami mengakui anak susuannya seraya berkata: Ini adalah anak perempuanku sepersusuan, atau seseorang berkata: Ini adalah ibuku atau saudaraku sepersusuan, maka mereka diharamkan untuknya selama dia berketetapan hati terhadap pengakuannya. Selanjutnya hakim harus memisah antara dia dengan istrinya apabila keduanya tidak mau berpisah berdasarkan keinginan diri sendiri.
Namun menurut madzhab Hanafi, mereka berdua tidak perlu dipisah apabila dia berupah pikiran dalam pengakuannya, karena persoalan sepersusuan adalah sesuatu yang samar, maka dimaafkan apabila terdapat pertentangan.
Sedangkan menurut madzhab Maliki dan Syafi’i, maka mereka berdua tidak perlu menerima pengakuan yang sama. Sebab itu pula, mereka memisahkan antara dia dengan istrinya berdasarkan pengakuannya yang pertama, karena orang yang melakukan pengakuan biasanya bimbang dalam pengakuannya.
Apabila seorang istri mengakui bahwa antara dirinya dengan suaminya adalah sepersusuan, maka pengakuannya tidak perlu digubris apabila suaminya mengingkari terhadap pengakuannya dan dia tidak membenarkan pengakuan istrinya. Karena pada waktu itu, dimungkinkan istrinya berkeinginan untuk membebaskan diri dari jalinan pernikahan dengan cara tersebut. Tetapi apabila suami membenarkan pengakuannya, maka istrinya menjadi haram untuknya dan mereka berdua harus berpisah atau hakim menceraikan keduanya.
Apabila bukan pasangan suami istri dan seorang wanita mengakui bahwa dirinya adalah sepersusuan dengan seorang laki-laki, maka wanita itu tidak halal baginya dan setiap orang yang diharamkan sebab sepersusuan diharamkan untuk wanita tersebut sebagaimana yang telah kami paparkan sebelumnya.
Apabial sepasang suami istri mengakui secara bersamaan bahwa mereka berdua adalah sepersusuan dan masing-masing dari mereka membenarkan pengakuannya, maka mereka berdua wajib berpisah atau bercerai. Apabila tidak bercerai, maka hakim wajib menceraikan mereka berdua.
Persaksian saksi dan terdapat perbedaan pendapat tentangnya
Dikatakan: persaksian seorang wanita yang diketahui keadilannya dapat diterima. Hal itu telah diriwayatkan dari Ustman, Ibnu Abbas, al-Zuhri, al-Hasan, Ishaq, al-Auza’i, Abu Hanifah, dan Ahmad. Dan telah diriwayatkan dari Malik tentang persaksian tersebut dengan syarat orang yang menyusui telah tersebar kabarnya sebelum terjadinya persaksian.
Dikatakan: persaksian wanita yang kurang dari dua orang tidak diterima. Hal itu adalah pendapat madzhab Muthraf dan Ibnu al-Majisyun serta beberapa jamaah dari sahabat. Telah diriwayatkan dari Malik dan Ibnu al-Qasim bahwa mereka berdua juga telah mensyaratkan tersebarnya kabar tentang orang yang menyusui tersebut.
Dikatakan: Tidak diterima persaksian wanita yang kurang dari empat orang. Maka kamu dapat mengatakan bahwa setiap dua orang wanita menduduki posisi seorang laki-laki. Hal itu telah diriwayatkan dari Syafi’i dan Atha’.
Menurut mereka, persaksian seorang wanita dapat diterima karena menyusui adalah sesuatu yang tidak dapat diperhatikan dengan seksama oleh orang lain.
Madzhab Hanafi berpendapat bahwa penyusuan tidak dapat ditetapkan dengan persaksian seorang wanita, bahkan harus terdapat saksi dari dua orang laki-laki yang adil, atau seorang laki-laki dan dua orang wanita yang adil, sebagaimana keputusan dari pembatalan kepemilikan suami dalam pernikahan. Namun tidak disyaratkan pendakwaan terlebih dahulu, karena ia termasuk hak-hak Allah swt yang mana pendakwanya dianggap sebagai saksi di dalamnya. Sedangkan pendapat yang menyatakan bahwa menyusui adalah sesuatu yang tidak dapat diperhatikan secara seksama oleh seorang laki-laki adalah pernyataan yang ditolak karena laki-laki yang muhrim dengan mereka dapat memperhatikannya dengan seksama.
Mereka berpendapat: Apabila telah bersaksi dengan adanya susuan dari satu orang wanita, maka yang utama adalah memisahkan istrinya sebagai bentuk dari kewaspadaan.
Kapanpun susuan ini ditetapkan, maka keharamannya menjadi tetap pula. Maka tidaklah sah bagi seseorang yang wanitanya telah diharamkan untuk menikah dengannya. Apabila mereka berdua adalah sepasang suami istri, maka bagi keduanya diwajibkan untuk berpisah atau bercerai, karena akad nikah telah rusak. Apabila mereka berdua tidak bercerai, maka hakim harus menceraikan mereka berdua.[66]

3. Wanita yang diharamkan sebab hubungan kekeluargaan

Sesungguhnya kekeluargaan dan kekerabatan muncul sebagai hasil dari pernikahan. Kekerabatan ini terdiri dari—biasanya—hubungan hangat antara sepasang suami istri dan kekerabatan dari dua buah keluarga, sehingga percampuran antara mereka berdua menjadi suatu keharusan. Dari sini, maka Islam menekankan agar hubungan ini dikelilingi oleh pagar yang dapat melindungi akhlak dan menjaga agama mereka.
Dari sini, maka Islam telah mengharamkan beberapa golongan wanita yang disebabkan oleh hubungan kekeluargaan, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh beberapa ayat al-Qur'an dalam Surat al-Nisa’ dengan firman Allah swt yang berbunyi: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci oleh Allah swt dan seburuk-buruknya jalan yang ditempuh.[67] Dan dalam firman Allah swt yang berbunyi: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci oleh Allah swt dan seburuk-buruknya jalan yang ditempuh. Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang ada dalam peliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri atau setubuhi, tetapi jika kamu belum campur atau bersetubuh dengan istrimu itu dan sudah kamu ceraikan, maka tidak berdosa jika kamu mengawininya, dan diharamkan bagi kamu istri-istri anak kandungmu (menantu).[68]
Demikianlah, kita dapat melihat bahwa wanita-wanita yang diharamkan sebab adanya hubungan kekeluargaan terdiri dari empat golongan juga. Hal itu akan diperjelas sebagaimana dalam pemaparan berikut ini:
1.        Istri ayah atau ibu tiri
Maksud dari ayah adalah setiap asal (nenek moyang) orang tua yang laki-laki. Hal itu mencakup ayah dan kakek dari pihak ayah atau ayah dan kakek dari pihak ibu dan seterusnya ke atas.
Kata kawin ditafsirkan dengan menikah sebagaimana dalam firman Allah swt yang berbunyi: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu.”[69] Dengan begitu, maka arti ayat menjadi janganlah kamu menikahi wanita yang telah dinikahi oleh ayah-ayahmu. Pernikahan tersebut menjadi sempurna dengan cara melakukan akad nikah antara ayah dengan wanitanya dengan akad yang benar. Karena itu, maka wanita tersebut menjadi haram untuk keturunan ayah walaupun ayahnya belum menyetubuhi wanita tersebut.
Tidak diragukan lagi bahwa keharaman istri ayah yang telah disetubui cukup jelas dalam ayat al-Qur'an dengan dalil keharamannya. Sedangkan istri kakek juga diharamkan berdasarkan ijma’ ulama atau dengan dalil ayat al-Qur'an, jika kita menganggap bahwa ayah adalah setiap laki-laki yang menjadi asalnya. Di samping itu, ayat al-Qur'an telah menggunakan kata ayah (ab) untuk menunjuk kepada kakek. Hal itu sebagaimana firman Allah swt yang berbunyi: “Dan aku mengikuti agama bapak-bapakku (ayah-ayahku) yaitu Ibrahim, Ishak dan Ya’kub.”[70] Dan firman Allah swt yang berbunyi: “Wahai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu (ayahmu) dari surga.”[71]
Tidak termasuk dalam pengharaman ini, asal dan cabang dari wanita yang menjadi istri ayah. Allah swt telah mengharamkan menikahi istri ayah dan istri kakek, karena adanya hubungan sejak lahir antara ayah dan anak, yaitu hubungan penuaan dan perimbangan hubungan dalam penghormatan dan pemuliaan. Lalu bagaimana mungkin anak tersebut berkeinginan untuk menikahi wanita yang telah dicerai oleh ayahnya dan pernah dalam posisi ibunya ketika menjadi istri bagi ayahnya. Tingkah laku seperti ini dapat memperburuk hubungan yang baik antara ayah dan anak. Karena makna baik inilah, maka ayat al-Qur'an telah menggambarkan bahwa pernikahan yang pernah terjadi pada masa jahiliyah adalah perbuatan yang keji dan dibenci oleh Allah swt dan jalan yang buruk. Allah swt berfirman: “Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci oleh Allah swt dan seburuk-buruknya jalan yang ditempuh.[72] Para sahabat juga telah menyampaikan bahwa ayat tersebut adalah larangan untuk menikah seperti pernikahan ayah-ayah mereka yang keji. Mereka juga memberi bukti terhadap larangan menikahnya seorang anak terhadap wanita yang dihalalkan untuk ayahnya. Di dunia arab terdapat beberapa kabilah yang telah membiasakan anak-anaknya untuk mewarisi istri-istri ayahnya. Cerita ini sudah menjadi tradisi bagi orang-orang Anshar dan menjadi kebolehan bagi suku Quraish selama saling merelakan. Tidakkah kamu melihat bahwa ‘Amr bin Umayyah telah mewarisi istri ayahnya setelah ayahnya meninggal dunia. Kemudian wanita itu melahirkan anak dari ayah Amr bin Umayyah yang bernama Musafir dan Abu Muthi’ dan dari Umayyah melahirkan anak bernama Abu al-‘Aish dan anak-anak lainnya. Maka anak-anak Umayyah adalah saudara Musafir dan Mu’ith dan mereka adalah paman bagi Umayyah dan saudara-saudaranya. Kasus lain adalah Shafwan bin Umayyah bin Khalaf yang menikahi wanita dan sebelumnya ayahnya pernah menikahinya, yaitu Fakhitah binti al-Aswad bin al-Muthallib bin Asad. Kemudian Umayyah mati terbunuh. Maka al-As’asy bin Suwar berkata: Abu Qais meninggal dunia padahal dia adalah pemuka Anshar. Kemudian putranya, Qais meminang istri ayahnya. Maka istri ayahnya berkata: Sesungguhnya aku menganggapmu sebagai anak. Maka dia mendatangi dan mengabarinya. Kemudian turun ayat al-Qur'an tersebut.[73]
Demikianlah, orang-orang Arab telah menyebut anak laki-laki dari istri ayahnya dengan sebutan maqta, karena posisi istri ayah menempati posisi ibu dan menikahi ibu adalah perbuatan terburuk bagi orang-orang Arab. Ketika pernikahan tersebut menyerupai hal itu, maka menurut mereka keburukan itu tidak berdosa. Kemudian Allah swt menjelaskan bahwa penikahan ini selamanya adalah perbuatan keji dan buruk. Selanjutnya Allah swt menjelaskan bahwa pernikahan itu—setelah adanya pelarangan—adalah perbuatan keji dalam Islam dan dibenci oleh Allah swt.
Al-Barra’ telah meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw telah mengutus Abu Burdah kepada seorang pemuda yang menjadi suami dari istri ayahnya agar Abu Burdah membunuhnya dan mengambil hartanya.
2.        Ibu dari istri atau mertua
Maksud dari ibu di sini adalah setiap asal (nenek moyang) yang perempuan. Termasuk didalamnya, ibu dari istri, begitu pula ibu dari ibunya istri, ibu ayahnya, ibu kakeknya dari pihak ayah atau ibu kakeknya dari pihak ibu dan seterusnya ke atas. Dalam pengharaman ibu istri (mertua perempuan) terhadap suami (menantu laki-laki) terdapat dua pendapat:
Pendapat pertama, bagi suaminya anak (menantu laki-laki), haram diharamkan menikahi setiap wanita yang telah disebutkan di atas selama pernikahannya dilakukan dengan akad yang benar. Hal itu adalah pendapat jumhur ulama, para sahabat dan ahli fikih. Dalam pengharaman ibu istri ini tidak disyaratkan adanya keharusan suami telah bersetubuh dengan istrinya, berdasarkan hadis yang telah diriwayatkan oleh ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi Muhammad saw, bahwa beliau bersabda: “Apabila seorang laki-laki telah menikahi seorang perempuan, maka dia tidak halal untuk menikahi ibunya istri, baik dia telah menyetubuhinya atau tidak.”
Pernah suatu ketika, Abdullah bin Mas’ud berfatwa tentang kebolehan menikahi ibu dari seorang istri apabila dia telah menceraikan anaknya sebelum menyetubuhinya. Peristiwa itu terjadi ketika Abdullah bin Mas’ud berada di Kufah. Kemudian dia berkeinginan untuk pergi ke Madinah. Maka di sana, dia berhadapan dengan orang-orang yang menentang fatwanya. Ketika kembali ke Kufah, Abdullah bin Mas’ud tidak langsung menuju rumahnya, tetapi langsung menuju rumah seorang pemuda yang menikahi mertuanya dan mengetuk pintunya. Selanjutnya Abdullah menyuruh pemuda tersebut untuk menceraikan istrinya yang pernah menjadi ibu dari istri sebelumnya. Di samping itu, catatan menyetubuhi atau mencampuri istri dalam ayat: “Ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang ada dalam peliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri atau setubuhi, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu,”[74] hendaknya merujukkannya pada kata raba’ib (anak-anak istrimu atau anak tiri), bukan pada ibu istrimu (mertua). Hal itu disebabkan oleh susunan kalimat dlam ayat tersebut adalah susunan bebas (jumlah al-mustaqillah), dan dalil yang ada tidak menunjukkan kembalinya syarat “yang telah kamu campuri atau setubuhi” pada ibu istrimu, sehingga wajib menyatakan ketetapannya dalam keumumannya.
Pendapat kedua: pendapat ini adalah pendapat mayoritas sahabat, di antara mereka adalah Ali, Zaid, Ibnu Umar, Ibnu Zubair, dan Jabir. Riwayat muncul dari Ibnu Abbas, bahwa ibu dari istri tidak diharamkan untuk suami anaknya kecuali apabila dia telah menyetubuhi anaknya. Alasan mereka adalah bahwa Allah swt telah menyebutkan dua hukum, yaitu firman Allah swt yang berbunyi: “Ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang ada dalam peliharaanmu.[75] Kemudian Allah swt menyebutkan syarat Dari istri yang telah kamu campuri atau setubuhi.”[76] Maka wajib menjadikan syarat tersebut diterapkan dalam dua jumlah secara bersamaan.[77]
3.        Istri anak atau menantu
Yang dimaksud dengan anak di sini adalah setiap cabang atau keturunan laki-laki. Hal itu mencakup anak langsung, anaknya anak laki-laki, anaknya anak perempuan, dan seterusnya ke bawah. Seorang wanita dapat menjadi istri bagi siapapun juga hanya dengan pelaksanaan akad nikah dengannya. Dengan pelaksanaan akad nikah ini, maka sang istri menjadi haram untuk dinikahi oleh moyangnya, walaupun suaminya belum menyetubuhinya. Hal ini sebagaimana pengharaman menikah dengan istri ayah dapat terjadi dengan adanya akad nikah. Hal itu disebabkan oleh keumuman ayat yang berbunyi: “Dan diharamkan bagi kamu istri-istri anak kandungmu (menantu),”[78] yang mencakup istri anak, baik telah disetubuhinya maupun tidak.[79]
Tidak termasuk dalam kategori pengharaman ini adalah nenek moyang dan keturunan menantu.[80]
Maka tidak diragukan lagi bahwa pengharaman istri anak kandung untuk ayahnya dikembalikan pada hubungan antara ayah dan anak sebagai hubungan cinta dan kasih sayang, dan tidak layak untuk merusak hubungan baik antara keduanya dengan keinginan seorang ayah untuk menikahi istri anaknya setelah dia bercerai dengan anaknya.
4.        Anak tiri
Yang dimaksud dengan anak tiri (rabibah) adalah anak perempuannya istri yang dihasilkan dari laki-laki lain.[81] Ayat al-Qur'an telah mencatat pengharamannya dalam firman Allah swt yang berbunyi: “Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang ada dalam peliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri atau setubuhi.[82]
Termasuk dalam kategori anak tiri adalah anak perempuannya istri, anak perempuan dari anak perempuannya istri, anak perempuan dari anak laki-lakinya istri, dan seterusnya ke bawah.
Diharamkannya anak perempuan istri karena pemeliharaan dan kasih sayangnya anak-anak tersebut bertumpu pada suami ibu sebagai tanggungjawab dan kewajiban yang harus dilaksanakan tidak ubahnya terhadap anak kandungnya sendiri. Terlebih lagi akan kebutuhan mereka untuk berkumpul dengan ibu dan bergaul dengan suami ibu. Dan cukup jelas bahwa ayat al-Qur'an mensyaratkan pengharaman anak tiri ini dengan menyetubuhinya suami terhadap istri yang telah menjadi ibu dari anak tirinya.
Menurut madzhab Hanafi, forplay atau pemanasan awal dalam bersenggama dianggap sama dengan menyetubuhi istri yang mengharamkan anak tiri terhadap suami ibunya. Dalil tentang penghalalan anak tiri dari istri yang belum disetubuhi adalah firman Allah swt yang berbunyi: “Tetapi jika kamu belum campur atau bersetubuh dengan istrimu itu dan sudah kamu ceraikan, maka tidak berdosa jika kamu untuk mengawininya.[83]
Demikianlah, catatan tentang menyetubuhinya “yang telah kamu campuri atau setubuhi” dimaksudkan untuk menceraikan istri yang belum disetubuhi oleh seorang laki-laki sehingga anak perempuannya sang istri menjadi halal untuknya. Sebab itulah, maka para ahli fikih berkata: menyetubuhi ibunya dapat mengharamkan anak perempuannya.
Sedangkan firman Allah swt yang berbunyi: “Yang ada dalam peliharaanmu,”[84] bukan syarat untuk mengeluarkannya menurut jumhur fuqaha’. Bahkan ia menjadi peringatan terhadap keikut sertaan anak tiri bersama-sama anak kandungnya sebagai suatu kebiasaan masyarakat. Terkadang anak tiri tersebut mondar mandir ke rumah bibinya atau neneknya dan tinggal di sana. Hal itu mengindikasikan bahwa pergaulan yang baik dapat meningkatkan kondisi kejiwaan anak. Hal itu adalah syarat yang menjadi penyebabnya di samping adanya ancaman kemiskinan, sebagaimana dalam firman Allah swt yang berbunyi: “Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan.”[85] Oleh sebab itu, maka untuk menjelaskan kehalalannya cukup dengan meniadakan persetubuhan. Maka Allah swt berfirman: “Tetapi jika kamu belum campur atau bersetubuh dengan istrimu itu dan sudah kamu ceraikan, maka tidak berdosa jika kamu untuk mengawininya.[86] Dan ayat ini tidak mengatakan: Jika kamu belum campur atau bersetubuh dengan istrimu itu, atau mereka tidak ada dalam pemeliharaanmu. Ada pendapat yang Dinisbatkan kepada Ali ra bahwa anak tiri tidak diharamkan untuk suami ibunya kecuali apabila anak tiri tersebut tinggal bersama ibunya. Apabila dia tidak tinggal bersama ibunya, maka suami ibunya boleh mengawininya apabila dia telah menceraikan ibunya. Hal itu adalah pendapat dari madzhab Dzahiriyah.[87] Malik bin Uwais bin al-Hadstan telah meriwayatkan dari Ali ra bahwa dia berkata: “Apabila anak tiri tidak dalam pemeliharan suami ibunya namun dia berada di negara lain, kemudian suami ibunya menceraikan ibunya setelah dia menyetubuhinya, maka dia masih boleh menikahi anak tirinya.” Telah diriwayatkan bahwa Ali ra berpendapat seperti itu dengan alasan adanya firman Allah swt yang berbunyi: “Anak-anak istrimu yang ada dalam peliharaanmu,”[88] sebagai syarat bahwa keberadaan anak tiri adalah keberadaannya dalam pemeliharaan suami ibunya. Jika dia tidak berada dalam pengawasan dan pemeliharaannya, maka syarat menjadi hilang dan wajib untuk tidak menetapkan keharamannya.[89]
Tidak diragukan lagi bahwa kami lebih cenderung pada pendapat jumhur fuqaha’ yang telah kami paparkan di atas, yaitu diharamkan bagi seorang laki-laki untuk menikahi anak tirinya apabila dia telah menyetubuhi ibu dari anak tiri tersebut, baik anak tiri tersebut tinggal bersamanya atau berada di negara lain. Hal itu disebabkan oleh pendapat yang telah disepakati, bahwa: Apabila suatu dalil bertentangan antara yang mengharamkan dan yang menghalalkan dalam persoalan kemaluan, maka kami memenangkan dalil yang mengharamkannya.

Kedua, pengharaman yang berwaktu

Pengharaman yang berwaktu adalah pengharaman yang penyebabnya sewaktu-waktu bisa hilang. Pengharamannya ini tetap berlaku dengan ketetapan penyebabnya. Apabila penyebabnya hilang, maka pengharaman ditiadakan dan wanita tersebut menjadi halal untuk dinikahi.
Pengharaman yang berwaktu terdiri dari beberapa keadaan sebagai berikut:
1.    Adanya hak orang lain terhadap seorang wanita (Istri orang lain)
2.    Wanita yang memeluk agama samawi
3.    Wanita yang dithalak tiga
4.    Mengumpulkan dua orang muhrim, dan
5.    Mengumpulkan lebih dari empat orang istri
Perincian dari pendapat tersebut dapat dijabarkan dalam pembahasan di bawah ini:

Adanya hak orang lain terhadap seorang wanita (Istri orang lain)

            Yang dimaksud dengan adanya hak orang lain terhadap seorang wanita adalah adanya ikatan dengan laki-laki lain apabila telah menjadi istrinya dengan akad yang sah, baik masih menjadi istrinya atau masih berada dalam masa iddah karena dicerai atau ditinggal mati oleh suaminya, atau dalam masa iddah yang masuk kategori nikah yang rusak, atau dalam masa iddah karena persetubuhan yang meragukan.
Wanita yang telah menikah dengan akad yang sah dan pernikahannya masih berjalan, maka ia diharamkan untuk selain suaminya. Dalil tentang hal itu adalah firman Allah swt yang berbunyi: “Dan diharamkan juga kamu mengawini wanita yang bersuami.”[90] Maka firman-Nya “Wanita yang bersuami,” diathafkan kepada firman-Nya yang berbunyi: “Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu.”[91] Maksud dengan muhshanat dalam ayat di atas adalah wanita yang memiliki suami, baik suaminya adalah seorang muslim atau tidak. Maka diharamkan untuk menikahinya, sebagai penjagaan terhadap hak orang lain, menjaga nasab, melindungi anak-anak dari kehilangan orang tua, merealisasikan tujuan asal dari pernikahan, yaitu kecintaan, belas asih dan kasih sayang, dan memuliakan keturunan dalam bentuknya yang mulia, cocok untuk manusia dan sesuai dengan kesempurnaan yang telah diatur oleh Allah swt.[92]
Apabila pernikahan dengan wanita yang bersuami adalah perbuatan haram, maka diharamkan pula pernikahan seorang wanita yang masih berada dalam haknya orang lain, karena dicerai atau ditinggal mati oleh suaminya. Hal itu berdasarkan firman Allah swt yang berbunyi: “Wanita-wanita yang dithalak hendaknya menahan diri (menunggu) selama tiga kali sucian.[93] Dan firman Allah swt yang berbunyi: “Orang-orang  yang meninggal dunia di antara kamu dengan meninggalkan istri-istrinya, maka hendaklah istri-istrinya itu menangguhkan dirinya (beriddah) selama empat bulan sepuluh hari.[94] Islam telah memberi kesempatan untuk menyucikan rahim seorang wanita, mencegah terjadinya percampuran nasab, dan menjaga kondisi wanita yang telah ditinggal mati atau dicerai oleh suaminya. Oleh sebab itu, Allah swt berfirman tentang larangan manusia untuk menikahi istri orang lain ketika dia berada dalam masa iddahnya, yaitu firman-Nya yang berbunyi: “Dan janganlah kamu berketetapan hati untuk melakukan akad nikah sebelum habis masa iddahnya.”[95] Artinya janganlah kalian menerima akad nikahnya seorang wanita hingga dia menyelesaikan masa iddahnya.
Para fuqaha’ telah menghubungkan antara masa iddahnya wanita yang dithalak dengan masa iddahnya wanita yang telah disetubuhi oleh suaminya dalam nikah yang rusak, serta masa iddahnya wanita yang disetubuhi dengan persetubuhan syubhat, karena keturunan dalam keadaan itu memiliki ketetapan nasab.

Menikah dengan wanita yang menjalani masa iddah

Hak seorang suami adalah menikahi istrinya pada masa iddahnya dari thalak raj’i. Hal itu karena tiadanya sebab pengharaman.
Sedangkan apabila wanita itu menjalani masa iddah dari laki-laki lain, maka tidak ada perbedaan di antara fuqaha’ tentang rusaknya akad nikah. Apabila melangsungkan akad nikah dengan wanita yang beriddah kemudian menyetubuhinya sebelum berakhirnya masa iddah, maka terdapat perbedaan riwayat tentang hal itu, yaitu:
Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab telah mendengar berita tentang seorang pemuda dari Bani Staqif yang menikahi seorang wanita dari Bani Quraish dan wanita tersebut sedang menjalani masa iddahnya. Maka Umar bin Khattab mengutus seseorang kepada mereka berdua agar bercerai dan memberi sangsi terhadap mereka seraya berkata: “Janganlah kamu menikahinya selama-lamanya,” dan menjadikan maharnya menjadi hak Bait al-Mal. Peristiwa tersebut akhirnya tersiar di kalangan masyarakat. Selanjutnya berita itu sampai pada Ali ra. Kemudian Ali berkata: "Semoga Allah swt mengasihi Amir al-Mu’minin. Apa hubungannya antara mahar dengan Bait al-Mal? Sesungguhnya mereka berdua adalah orang yang bodoh. Maka selayaknya bagi Imam untuk mengembalikannya pada Sunnah.” Kemudian Ali ditanya: “Lalu apa pendapatmu tentang mereka berdua?” Ali berkata: “Wanita itu tetap mendapatkan maharnya sebab dia telah menghalalkan kemaluannya. Kemudian mereka berdua bercerai, dan tidak ada sangsi untuk mereka berdua. Hendaknya wanita itu menyempurnakan masa iddahnya yang pertama kemudian menyempurnakan masa iddahnya yang kedua. Selanjutnya laki-laki tadi bisa menjadi peminangnya.”
Pendapat Ali ini sampai pada Umar, maka dia berkata: “Wahai umat manusia, kembalikanlah orang-orang yang bodoh itu pada Sunnah.”
Sebab itulah, maka Abu Hanifah dan pengikutnya, serta Syafi’i berpendapat tentang kewajiban memisah antara mereka berdua, dan laki-laki tadi halal atau diperbolehkan untuk menikahinya setelah wanita tersebut menyelesaikan masa iddahnya. Hal ini berdasarkan kesepakatan Umar bin Khattab dan Ali ra. Di samping itu, menyetubuhinya laki-laki terhadap wanita tersebut—walaupun diharamkan—tidak layak untuk menjadi sebab pengharaman abadinya terhadap laki-laki tadi. Terlebih lagi perbuatannya disebabkan oleh kebodohannya sebagaimana yang telah dikutip dari pendapat Ali ra.
Malik, al-Auza’i, al-Laits bin Sa’ad juga berpendapat tentang kewajiban memisah antara mereka berdua, dan wanita itu tidak dihalalkan untuk laki-laki tadi selama-lamanya. Hal ini berdasarkan pendapat yang telah disampaikan oleh Umar ra, dan seakan-akan pendapat Ali tidak sampai pada mereka, atau mereka tidak menukil pendapat Ali ra.

Pernikahan orang yang berzina

Apabila orang yang berzina ingin menikah dengan wanita yang berzina dengannya, maka hukum pernikahannya adalah sah. Orang yang berzina tetap harus menyetubuhinya walaupun kehamilannya telah tampak. Hal itu disebabkan tidak adanya dalil yang mengharamkannya dan tiadanya kehormatan bagi air mani yang dihasilkan dari perbuatan zina. Pendapat ini berasal dari Abu Hanifah dan Syafi’i.
Menurut Imam Malik, laki-laki yang berzina itu tidak boleh menikahi wanita yang berzina dengannya hingga wanita tersebut menyucikan dirinya dari air mani yang kotor. Pernikahan memiliki kehormatan dan kehormatannya adalah tidak menuangkan air maninya pada air mani hasil perzinahan, sehingga sesuatu yang halal dengan yang haram akan tercampur aduk dan air yang hina dengan air yang mulia menjadi tercampur pula.
Apabila laki-laki lain yang tidak melakukan perbuatan zina berkeinginan untuk menikahi wanita yang berzina sebelum kehamilannya tampak, maka dia dapat menikahinya dan menyetubuhinya berdasarkan pendapat Abu Hanifah dan Imam Syafi’i tanpa harus melalui masa iddah bagi wanita tersebut.
Muhammad bin al-Hasan dari madzhab Hanafi berkata: Sesungguhnya sah menikah dengan wanita yang melakukan perbuatan zina namun dimakruhkan melakukan persetubuhan dengannya hingga dia bersuci dari haidnya. Hal itu dilakukan karena dikhawatirkan bahwa wanita tersebut telah hamil dari hasil perzinahannya.
Imam Malik dan Ahmad berkata: Sesungguhnya tidak diperbolehkan melakukan akad nikah dengan wanita yang hamil karena perbuatan zina, kecuali setelah dia menyelesaikan masa iddahnya, karena iddah tersebut untuk mengetahui kebersihan rahim. Apabila pernikahannya dilaksanakan sebelum menjalani masa iddah, maka dikhawatirkan wanita tersebut telah hamil sehingga pernikahannya menjadi batal dan tidak sah karena bisa termasuk persetubuhan syubhat.
Menurut Abu Hanifah, Muhammad, dan Syafi’i, apabila pernikahannya setelah kehamilannya tampak, maka bagi orang yang tidak melakukan perbuatan zina bisa melakukan akad nikah dengannya. Namun diharamkan mengorbankan kehamilannya hingga dia melahirkan. Hal itu berdasarkan hadis yang telah diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw, bahwa beliau bersabda: “Tidak dihalalkan bagi seseorang yang beriman kepada Allah swt dan hari akhir untuk menuangkan air maninya di atas air mani orang lain.”
Malik, Ahmad, Abu Yusuf dan Zafar menyatakan bahwa melakukan akad nikah dengan wanita yang hamil karena perbuatan zina adalah tidak sah. Namun larangan tersebut bukan sebagai penghormatan terhadap orang yang berzina, tetapi sebagai penghormatan terhadap bayi yang dikandung, karena dia tidak memiliki dosa dan tidak layak mendapatkan siksa. Oleh sebab itu, maka tidak diperbolehkan menggugurkan bayinya berdasarkan kesepakatan ulama dan tidak dihalalkan menikahi ibunya hingga dia melahirkan kandungannya.[96]
Ibnu al-Qayyim meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw telah memisah antara laki-laki dengan perempuan yang ketahuan hamil sebab perbuatan zina.[97]

Wanita yang dithalak tiga

Allah swt telah mengharamkan seseorang untuk melanjutan pernikahan atau kembali pada pernikahan antara laki-laki dan perempuan yang telah dithalak tiga, kecuali setelah laki-laki lain menikahi istrinya dengan pernikahan yang sesungguhnya. Kemudian suami yang kedua ini menceraikannya atau meninggal dunia, maka pada waktu itu pula, suami yang pertama diperbolehkan kembali menikahinya setelah berakhirnya masa iddah. Mengenai hal ini, Allah swt berfirman: “Thalak yang dapat dirujuki dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah swt. Jika kamu khawatir bahwa keduanya suami istri tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah swt, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah swt, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah swt, mereka itulah orang-orang yang dzalim. Kemudian jika suami menthalaknya sesudah thalak kedua, maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah swt. Itulah hukum-hukum Allah swt.[98]
Sunnah Nabi Muhammad saw juga telah memperkuat hukum tersebut dan menjelaskan bahwa pernikahan wanita yang dithalak tiga harus berupa pernikahan yang sesungguhnya dan dapat melakukan persetubuhan yang sebenarnya dengan wanita tersebut. Telah diriwayatkan dari Aisyah ra, bahwa dia berkata: Istri Rifaah al-Quradzi telah mendatangi Nabi Muhammad saw seraya berkata: Aku pernah menjadi istri Rifaah tetapi dia telah menceraikan aku sebanyak tiga kali. Kemudian aku menikah dengan Abdurrahman bin al-Zubair. Tetapi apa yang aku rasakan bersamanya seperti bulu-bulu kain, yaitu tidak bahagia bersamanya. Rasulullah saw tersenyum dan bersabda: Apakah engkau ingin kembali bersama Rifaah? Tetapi kamu tidak boleh bersamanya sehingga kamu merasakan kenikmatan berjimak dengan Abdullah dan dia merasakan kelezatan jimak bersama kamu. Ketika itu Abu Bakar bersama Rasulullah saw dan Khalid bin Sa’id bin Ash berada di pintu menunggu untuk diberi izin masuk, lalu Khalid berkata kepada Abu Bakar: Wahai Abu Bakar! Apakah kamu mendengar apa yang dia tanyakan kepada Rasulullah saw?”[99]
Tidak diragukan lagi bahwa illat dari pengharaman wanita yang dithalak tiga dalam aspek ini adalah mengajak pada para suami agar tidak tergesa-gesa menceraikan istrinya dengan sekali cerai yang diikuti dengan thalak yang lainnya, apabila mengharuskannya melakkan hal itu. Kemudian apabila keharusan akhir terulang untuk yang kedua kalinya, maka hal itu berbahaya dalam mendidik dan menghukum istri dan dalam mengarungi kehidupan mereka berdua sebagai sepasang suami istri. Apabil tidak ada keharusan untuk melakukan thalak yang ketiga, maka hal itu—pada dasarnya—tidak akan terjadi kecuali apabila hubungan suami istri sudah tidak bisa dilanjutkan. Namun kebolehan kembali pada istri yang dithalak tiga setelah wanitanya menikah dengan laki-laki lain dan suami berikutnya menceraikannya atau suaminya meninggal dunia, maka hal itu akan menjadikannya sebagai pelajaran berharga bagi masing-masing suami istri. Barangkali ketika mengingat kebaikan-kebaikan dari masing-masing pasangannya, maka mereka berdua merasakan bahwa yang terbaik adalah kembali kepada pasangannya. Dengan begitu, maka dimungkinkan untuk mengabadikan sesuatu yang baru antara mereka berdua setelah mengetahui kadar pasangan dan kebaikannya.
Sedangkan yang menjadi toleransi manusia atau yang menjadi perlindungan darinya setelah melakukan thalak tiga, adalah suami muhallil. Sesungguhnya pernikahan yang berwaktu tidak diridhai oleh Allah swt dan Rasul-Nya dan wanita itu tetap tidak dihalalkan bagi suaminya yang pertama. Cukuplah bagi kita untuk mengetahui gambaran Rasulullah saw tentang orang-orang yang berlindung kepada pernikahan muhallil dalam sabdanya: “Sudikah kalian jika aku kabari tentang kambing hitam yang dipinjam?” Mereka berkata: “Ia wahai Rasulullah saw.” Kemudian Rasulullah saw bersabda: “Dia adalah muhallil. Allah swt telah melaknat muhallil dan orang yang dihalalkan.”[100]

Mengumpulkan dua orang muhrim

Diharamkan bagi seorang laki-laki untuk mengumpulkan dua orang wanita yang memiliki hubungan kekerabatan, apabila seandainya salah satu dari keduanya adalah laki-laki, maka mereka dilarang untuk menikah—pendapat ini berdasarkan pendapat para imam yang empat. Para fuqaha’ telah mendapati bahwa setiap ayat yang mengharamkan pengumpulan dua orang muhrim dengan pertimbangan bahwa antara keduanya berasal dari kerabat yang dekat dan tidak diperbolehkan untuk menyambungnya dalam pernikahan dan dilarang untuk memutusnya dalam kekerabatan. Di antaranya adalah firman Allah swt yang berbunyi: “Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang ada dalam peliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu dan sudah kamu ceraikan, maka tidak berdosa jika kamu mengawininya, dan diharamkan bagi kamu istri-istri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan dalam perkawinan dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau.”[101] Dan sabda Nabi Muhammad saw yang berbunyi: “Salah seorang dari kalian dilarang menikahi seorang wanita berikut saudara perempuannya ayah (bibi dari pihak ayah), atau bersama saudara perempuannya ibu (bibi dari pihak ibu), atau bersama putri dari saudaranya yang perempuan, atau bersama putri dari saudaranya yang laki-laki. Jika kalian melakukan hal itu, maka kalian telah memutus hubungan silaturrahmi di antara kalian.” Begitu pula sabda Nabi Muhammad saw: “Janganlah kalian mengumpulkan anak-anak perempuan kalian dengan saudara-saudara perempuan kalian.”
Apabila kita menerapkan kaidah yang telah ditetapkan oleh para fuqaha’, maka kita akan mendapatkan dua orang saudara perempuan, jika salah satu dari keduanya dijadikan laki-laki, maka dia akan menjadi saudara bagi yang lainnya dan diharamkan bagi laki-laki tersebut untuk menikahi saudara perempuannya. Demikian pula saudara perempuan ayahnya (bibi), apabila wanita tadi dijadikan laki-laki, maka dia menjadi anak saudara bagi bibinya dan dia diharamkan untuk menikahi bibinya. Seandainya bibinya tadi dijadikan laki-laki, maka dia menjadi saudara laki-laki ayahnya (paman) bagi putri saudaranya dan dia diharamkan untuk menikahinya. Demikian pula dengan seorang wanita bersama saudara perempuan dari ibunya (bibi dari pihak ibu).
Tidak ada perbedaan antara dua orang wanita yang muhrim baik yang disebabkan oleh nasab atau susuan pada waktu itu juga. Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim telah memperbolehkan dua orang muhrim yang disebabkan oleh faktor susuan karena tidak adanya dalil nash yang mengharamkannya.
Menurut madzhab Hanafi, sebagaimana tidak sahnya pernikahan seorang muslim dengan saudara perempuan istrinya yang berada dalam penjagaannya, maka tidak sah pula menikahi saudara perempuan istrinya yang telah dicerai dengan thalak raj’i atau ba’in selama mantan istrinya masih menjalani masa iddahnya. Hal itu dikarenakan mantan istri masih termasuk istrinya dari segi hukum.
Malik, Syafi’i, dan Dzahiriyah berpendapat bahwa pengharaman mengumpulkan dua orang wanita yang muhrim terjadi ketika berlangsungnya pernikahan yang hakiki atau dalam masa iddah raj’i.
Sedangkan apabila thalaknya berupa thalak ba’in, baik dengan thalak ba’in kecil (sughra) atau thalak ba’in besar (kubra), maka pernikahannya telah terputus. Apabila seseorang menikahi saudara perempuan dari istrinya yang dithalak ba’in dan sedang menjalani masa iddahnya, maka tidak boleh mengumpulkan dua wanita muhrim, sebagai pendapat yang berbeda dengan pendapat madzhab Hanafi.
Jumhur fuqaha’ menyatakan bahwa keharaman mengumpulkan dua wanita muhrim dalam satu pernikahan bukan suatu ketetapan penuh kecuali apabila pengharaman tersebut dari dua sisi. Para fuqaha’ memperbolehkan untuk mengumpulkan dua orang wanita yang muhrim apabila pengharamannya hanya terjadi dari satu sisi saja sebagaimana mengumpulkan seorang anak perempuan bersama istri ayahnya dari anak perempuan tersebut. Karena jika seandainya anak perempuan tersebut adalah laki-laki, maka dia tidak dihalalkan untuk menikahi istri ayahnya, tetapi jika seandainya istri ayahnya adalah seorang laki-laki, maka dia diperbolehkan untuk menikah dengan anak perempuan tersebut.
Maka pengharaman yang berasal dari satu sisi diperbolehkan untuk mengumpulkan dua wanita yang muhrim.
Zafar telah meriwayatkan bahwa kapanpun pengharaman ditetapkan dari salah satu sisi, maka mengumpulkan dua wanita muhrim tersebut hukumnya adalah haram.
Namun perbuatan ulama salaf telah memperkuat pendapat para imam. Abdullah bin Ja’far telah mengumpulkan istri Ali ra dengan anak perempuannya dan tidak seorangpun yang membantahnya.[102]
Mengumpulkan lebih dari empat orang istri
Diharamkan bagi seorang muslim untuk mengumpulkan (poligami) lebih dari empat orang istri sebagai penerapan terhadap firman Allah swt yang berbunyi: “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim yang sudah baligh harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan menukar dan memakan itu, adalah dosa yang besar. Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.[103] Sebab turunnya ayat ini adalah apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Syihab seraya berkata: ‘Urwah bin al-Zubair telah mengabariku bahwa dia telah bertanya kepada Aisyah tentang firman Allah swt yang berbunyi: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim.” Maka Aisyah berkata: Wahai putra saudariku, anak yatim ini berada dalam pemeliharaan walinya. Anak yatim itu ikut serta dengannya, tetapi harta serta kecantikannya telah memikat walinya. Kemudian walinya ingin menikahinya tanpa harus berbuat adil dalam maharnya. Maka dia memberi sesuatu kepada anak yatim tersebut seperti yang telah diberikan oleh orang lain. Oleh sebab itu, mereka dilarang untuk menikahi anak yatim kecuali apabila mereka berbuat adil terhadap mereka dan menyampaikan kepada para anak yatim tentang tingginya sunnah mereka dalam mahar. Di samping itu, para wali diperintahkan untuk menikahi wanita yang disenanginya selain anak-anak yatim.
‘Urwah berkata: Aisyah mengatakan bahwa orang-orang telah meminta fatwa kepada Rasulullah saw setelah turunnya ayat tersebut. Maka Allah swt menurunkan ayat al-Qur'an yang berbunyi: “Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang para wanita.[104] Selanjutnya Aisyah berkata: Demikian pula dengan firman Allah swt yang berbunyi: “Sedangkan kamu ingin menikahi mereka.[105] Artinya sebagai keinginan kalian terhadap anak wanita yatim ketika kalian mengatakan bahwa mereka memiliki kekayaan dan kecantikan yang sedikit sebagaimana yang telah dikatakan oleh Aisyah: Maka mereka dilarang untuk menikahi anak-anak yatim kecuali dengan bersikap adil sebagaimana keinginan mereka untuk menikahi anak-anak yatim ketika mereka tidak memiliki kekayaan dan kecantikan.
Ibnu Kastir berkata tentang penafsiran firman Allah swt yang berbunyi: “Dua, tiga, atau empat,” yaitu: Nikahilah wanita yang kalian kehendaki selain anak-anak wanita yatim. Jika kalian mau bisa dua orang, dan jika kalian mau bisa empat orang. Hal itu seperti firman Allah swt yang berbunyi: “Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan untuk mengurus berbagai macam urusan yang mempunyai sayap, masing-masing ada yang dua, tiga, dan empat.[106] Artinya, di antara para malaikat ada yang memiliki dua buah sayap, ada yang memiliki tiga buah sayap, dan ada pula yang memiliki empat buah sayap. Selain itu, kenyataan itu tidak dinafikan untuk para malaikat karena adanya dalil yang menunjukkannya, berbeda dengan seorang pemuda yang memiliki keterbatasan hingga empat. Dari ayat ini, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Ibnu Abbas dan jumhur ulama, karena posisinya adalah posisi pemberian dan pembolehan, maka seandainya ada, niscaya diperbolehkan mengumpulkan lebih dari empat orang istri karena ada penyebutannya.
Syafi’i berkata: Hadis Rasulullah saw telah menunjukkan kejelasan ayat yang telah diturunkan oleh Allah swt bahwa tidak diperbolehkan bagi seseorang selain Rasulullah saw untuk mengumpulkan lebih dari empat orang istri.
Beberapa hadis yang menunjukkan hal itu adalah hadis yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Umar bahwa Ghailan bin Salamah memiliki beberapa orang istri. Kemudian Ghailan masuk Islam dan para istrinya juga ikut masuk Islam. Kemudian Nabi Muhammad saw menyuruhnya untuk memilih empat orang istri saja di antara mereka. Demikian hadis yang telah diriwayatkan oleh al-Nasa’i dalam Sunannya.
Maka maksud dari dalil ini adalah: seandainya diperbolehkan mengumpulkan lebih dari empat orang istri, niscara Rasulullah saw memperkenankan seluruh istri untuk tinggal bersamanya ditambah lagi para istri tersebut telah masuk Islam bersama Ghailan. Ketika Rasulullah saw menyuruhnya untuk mempertahankan empat orang istri saja dan menceraikan yang lainnya, maka hal itu menunjukkan tidak bolehnya memiliki lebih dari empat orang istri sekaligus. Apabila hal ini berlaku pada kasus yang telah dan sedang terjadi, maka tidak melakukannya sejak awal adalah cara yang lebih utama dan lebih pantas.
Yang turut memperkuat hadis Ghailan adalah hadis yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Umar dari Naufal bin Mu’awiyah al-Daili ra seraya berkata: “Aku telah memeluk agama Islam dan aku memiliki lima orang istri. Maka Rasulullah saw bersabda kepadaku: “Pilihlah empat orang istri yang kamu sukai dan ceraikanlah sisanya.”[107]
Pemahaman terhadap ayat al-Qur'an dan hadis yang disandarkan kepada Rasulullah saw ini memperkuat bahwa batas maksimal yang bisa ditoleransi bagi seorang laki-laki adalah memiliki empat orang istri. Hal itu menunjukkan kenyataan bahwa apa yang mereka lakukan adalah pemahaman mereka terhadap ayat al-Qur'an dengan makna lainnya yang keliru. Di antara mereka ada yang berpendapat tentang kebolehan menyatukan lebih dari empat orang istri tanpa memberi batasan tertentu. Mereka beralasan bahwa pengkhususan terhadap beberapa bilangan untuk para laki-laki tidak menafikan ketetapan hukum untuk yang tersisa. Sedangkan dengan keumuman yang terdapat dalam firman Allah swt yang berbunyi: “Maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi,”[108] maka hal itu adalah seperti perkataanmu: Ambillah air di lautan sesukamu, baik sebanyak satu desa, dua desa, atau tiga desa.
Hal itu sebagaimana mereka beralasan bahwa Rasulullah saw telah menikah lebih dari empat orang istri. Oleh sebab itu, maka menikah sebanyak empat orang istri dianggap mengikuti sunnah Rasulullah saw. Selanjutnya Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang tidak mengikuti sunnahku, maka dia tidak termasuk golonganku.” Maka dzahir hadis tersebut adalah celaan terhadap orang yang meninggalkan pernikahan lebih dari empat orang istri. Dengan begitu, maka tidak ada batas minimal untuk menetapkan asal kebolehannya.[109]
Madzhab Dzahiri dan Rafidhah berpendapat tentang kebolehan mengumpulkan sembilan orang istri. Alasan mereka adalah bahwa huruf wawu dalam ayat itu adalah wawu mutlak. Maka firman Allah swt yang berbunyi: “Dua, tiga, atau empat.” Berfungsi untuk menghalalkan pengumpulan istri, yaitu sebanyak sembilan orang istri. Sebagian mereka telah berpegang teguh dengan perbuatan Nabi Muhammad saw yang mengumpulkan lebih dari empat orang istri hingga menjadi sembilan orang istri, karena beliau meninggal dengan sembilan orang istri dan yang menjadi asal adalah—menurut mereka—tidak adanya pengkhususan kecuali dengan adanya dalil.
Aliran Khawarij dan beberapa kelompok dari aliran Rafidhah berpendapat bahwa jumlah yang ditolerir adalah delapan belas istri, karena firman Allah swt yang berbunyi mastna tidak hanya mengibaratkan bilangan dua, tetapi dua-dua. Begitu pula dengan stulasa dan ruba’, maka jumlahnya adalah sembilan. Di antara mereka telah berpijak pada perbuatan Nabi Muhammad saw yang mengumpulkan istri lebih dari empat orang wanita hingga sembilan orang wanita, karena beliau meninggal dengan sembilan orang istri dan yang menjadi asal adalah—menurut mereka—tidak adanya pengkhususan kecuali dengan adanya dalil.
Aliran Khawarij dan beberapa kelompok dari aliran Rafidhah berpendapat bahwa jumlah yang ditolerir adalah delapan belas istri, karena firman Allah swt yang berbunyi mastna tidak hanya mengibaratkan bilangan dua, tetapi dua-dua. Begitu pula dengan stulasa dan ruba’, sehingga mengumpulkan istri yang ditolerir dalam menikahinya adalah delapan belas orang.[110]
Pendapat seperti ini telah muncul dipermulaan dan ia tidak membutuhkan diskusi yang panjang, karena ayat al-Qur'an setelah menyebutkan sebab turunnya ayat, ia cukup jelas menentukan bahwa laki-laki yang mengasuh anak-anak perempuan yatim dan takut untuk tidak bisa memberinya mahar mistil, maka dia hendaknya berpaling kepada wanita yang lain. Pemalingan kepada wanita lain disebabkan banyaknya para wanita dan Allah swt tidak akan mempersulit untuknya. Mengenai hal itu, terdapat hadis yang telah diriwayatkan oleh Aisyah yang menceritakan bahwa seorang pemuda mengasuh anak perempuan yatim yang selanjutnya dinikahinya. Anak yatim itu memiliki kekayaan yang melimpah dan sifat dermawan yang menjadi pemikat hati laki-laki tersebut. Namun dia tidak memberi mahar apapun kepada anak tersebut, maka turunlah ayat al-Qur'an yang berbunyi: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim.”[111] Padahal wanita itu adalah partnernya dalam kedermawanan dan kekayaan.[112]
Dari sini, maka maksud yang dituju adalah toleransi menikah dengan dua orang istri, atau tiga orang istri, atau empat orang istri. Namun jika takut tidak dapat berbuat adil di antara mereka, maka cukup menikah dengan seorang istri saja.
Sedangkan apa yang telah ditoleransikan untuk Rasulullah saw adalah suatu kekhususan untuknya, karena dia memiliki tujuan untuk mendirikan negara, membentuk umat, dan menyebarkan agama baru, yang menuntutnya untuk memperluas kawanan hubungan kekeluargaan dan kesukuan yang dapat memberi akses pada tujuannya agar bisa sampai pada derajat yang tinggi dan tercapainya target yang dituju. Di samping itu, pernikahan Nabi Muhammad saw berdasarkan aspek kemasyarakatan dan kemanusiaan yang penjelasannya membutuhkan kepada hadis yang lebih spesifik tentang poligaminya Rasulullah saw.
Menurut hemat penulis, sangat disayangkan bahwa umat manusia di masa kita ini pada umumnya dan para wanita dengan sifat kewanitaannya, melihat bahwa orang yang menikah lebih dari satu orang istri (poligami) telah melakukan perbuatan buruk dan kebohongan.
Sebenarnya, poligami adalah solusi bagi kesulitan-kesulitan masyarakat yang menggambarkan bahwa masyarakat hari ini banyak terdiri dari perawan tua karena membludaknya populasi wanita. Di samping itu, mereka terpaksa untuk mengurusi beberapa kebiasaan dari para wanita yang belum menikah sehingga mereka bebas di kerumunan masyarakat dan menebar kebejatan dan kerusakan.
Ketika umur dunia semakin tua, maka seruan untuk melakukan poligami adalah sasaran yang tepat karena beragamnya persoalan. Terlebih lagi dengan bertambahnya populasi wanita dalam jumlah yang banyak daripada jumlah laki-laki.
Dari Anas bin Malik, dia berkata: “Aku akan meriwayatkan sebuah hadis yang tidak diriwayatkan oleh orang lain setelahku. Aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda: Di antara tanda-tanda hari Kiyamat adalah terhapusnya ilmu pengetahuan, munculnya kejahilan, perzinaan yang dilakukan secara terang-terangan, banyaknya jumlah perempuan, dan sedikitnya jumlah laki-laki sehingga lima puluh orang perempuan dipimpin oleh satu orang laki-laki.[113]
Dari Abu Musa ra, dia berkata: Dari Nabi Muhammad saw bahawa beliau telah bersabda: Umat manusia akan didatangi oleh suatu zaman di mana seorang lelaki berjalan ke sana kemari membawa sedekah emas tetapi tidak ada seorang pun yang ingin menerimanya. Dan terlihat juga seorang lelaki yang diikuti oleh empat puluh orang wanita yang berlindung di bawahnya karena minimnya jumlah laki-laki dan jumlah wanita yang sangat banyak.[114]
Etika poligami
Bagi seorang suami, apabila dia menikahi lebih dari seorang istri, maka dia harus bersikap adil di antara istri-istrinya berdasarkan kadar kemampuannya. Jangan pula berbuat dzalim karena dalam hal itu terdapat penganiayaan dan penghinaan terhadap sebagian istri. Di samping itu, jadikanlah pada diri Nabi Muhammad saw sebagai suri tauladan bagi kita.
Dari Aisyah, dia berkata: “Ketika Nabi Muhammad saw mulai lemah dan sakitnya semakin parah, maka beliau meminta idzin pada istri-istrinya agar supaya dirawat di rumahku. Maka mereka memberi idzin pada beliau. Kemudian beliau pergi dengan dipapah oleh dua orang pemuda dengan kaki beliau yang tertatih-tatih di atas tanah. Yaitu di papah di samping Ibnu Abbas dan seorang lelaki lainnya.”[115]
Dari Aisyah bahwa apabila Nabi Muhammad saw hendak bepergian, maka beliau mengundi di antara istri-istrinya.[116]
Dari Anas ra, jika aku berkehendak, maka aku akan berkata: Nabi Muhammad saw telah bersabda, tetapi kenyataannya beliau telah bersabda: “Apabila seseorang menikah dengan seorang perawan, maka dia tinggal bersamanya selama tujuh hari, dan apabila dia menikah dengan seorang janda, maka dia tinggal bersamanya selama tiga hari.”[117]
Keagungan hak-hak sepasang suami istri
Hak suami terhadap istrinya
Dari al-Hushain bin Mihshan bahwa bibinya mendatangi Nabi Muhammad saw karena ada kebutuhan sehingga kebutuhannya terpenuhi. Kemudian Nabi Muhammad saw bersabda kepadanya: “Apakah engkah memiliki suami?” Dia menjawab: ”Ia.” Nabi Muhammad saw bersabda: “Bagaimana engkau memperlakukannya?” Dia menjawab: “Aku tidak mmperdulikannya kecuali apa yang tidak bisa aku lakukan.” Kemudian Nabi Muhammad saw bersabda: “Maka lihatlah di mana posisimu dari dirinya, karena sesungguhnya dia adalah surga dan nerakamu.”[118]
Dari Mu’adz bin Jabal bahwa ketika dia kembali dari Yaman, dia berkata: “Wahai Rasulullah saw, aku mendapati orang-orang di Yaman bersujud pada yang lainnya, tidakkah kami juga bersujud padamu?” Maka beliau bersabda: “Seandainya aku menyuruh manusia untuk bersujud pada manusia yang lain, niscaya aku akan menyuruh seorang wanita agar bersujud pada suaminya.”[119]
Penjagaan seorang istri terhadap rumah suaminya
Kalimat berupa “penjagaan seorang istri terhadap rumah suaminya” mengandung makna yang cukup banyak dan sulit untuk merincinya di sini. Namun kami akan meringkas maknanya sehingga kami dapat mengatakan: Hendaknya sang istri tinggal di rumah suaminya dengan melaksanakan segala sesuatu yang disukai oleh ssuaminya dan menjauhi segala sesuatu yang dibenci oleh suaminya.
Dari Ibnu Umar ra bahwa dia telah mendengar Rasulullah saw bersabda: “Masing-masing dari kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan dia bertanggung jawab atas yang dipimpinnnya. Seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan bertanggung jawab atasnya. Dan seorang pembantu adalah pemelihara dari kekayaan tuannya dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnnya.” Aku pikir beliau juga telah bersabda: “Dan seorang laki-laki adalah pemimpin atas kekayaan ayahnya dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnnya. Maka masing-masing dari kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya.”[120]
Dari Uqbah bin Amir ra, dia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: Hindarkanlah diri kalian dari masuk menemui wanita yang bukan mahramnya. Seorang sahabat Ansar bertanya: Wahai Rasulullah! Bagaimana kalau ipar? Rasulullah saw bersabda: Ipar adalah kematian (lebih merisaukan).”[121]
Dari Abdullah bin Amr bin Ash bahwa seorang pemuda dari Bani Hasyim mendatangi Asma’ binti Umaish. Kemudian Abu Bakar al-Shiddiq mendatanginya dan waktu itu Asma’ adalah istrinya. Maka dia melihat mereka dan tidak menyukainya. Kemudian dia menceritakan hal itu kepada Rasulullah saw, maka beliau bersabda: “Aku tidak melihatnya kecuali kebaikan.” Selanjutnya Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah swt telah membersihkannya dari hal itu.” Kemudian Rasulullah saw berdiri di atas mimbar seraya bersabda: “Setelah hari ini, janganlah seorang laki-laki mendatangi wanita yang suaminya sedang tidak ada kecuali bersama seorang lagi atau dua orang lainnya .”[122]
Menjaga kekayaan suami
Bagi seorang istri, hendaknya dia menjaga kekayaan suaminya. Maka dia jangan membelanjakan kekayaan tersebut tidak pada tempatnya dan tidak pada sesuatu yang tidak diridhai oleh suaminya. Jangan pula mengambilnya melebihi kebutuhannya dan kebutuhan rumah tangganya. Apabila dengan sengaja melakukan hal itu, maka dia telah sesat dan berbuat jahat. Namun apabila sang suami adalah orang yang kikir, atau memberi pada istri kurang dari kebutuhan semestinya, maka sang istri boleh mengambilnya namun tetap berdasarkan kebutuhannya pula.
Dari Aisyah ra, dia berkata bahwa Hindun bintu Utbah bin Rabi’ah datang seraya berkata: “Wahai Rasulullah saw, demi Allah swt, tidak ada orang yang berkemah di muka bumi ini yang lebih aku cintai daripada mereka yang telah melecehkan orang-orang yang berkemah dari golonganmu. Dan hari ini, tidak ada orang yang berkemah menjadi orang yang aku cintai daripada orang-orang yang telah memuliakan orang-orang yang berkemah dari golonganmu. Selanjutnya dia berkata: “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah pemuda yang kikir. Lalu apakah aku berdosa jika aku memberi makan orang-orang yang masih dari keluarga kami?” Rasulullah saw bersabda: “Kamu tidak berdosa jika memberinya makan dengan cara yang baik.”[123]
Dari Abu Umamah al-Bahili, dia berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw ketika melaksanakan haji wada’ bersabda: “Janganlah seorang wanita menafkahkan sesuatu dari rumah suaminya kecuali dengan seidzin suaminya. Kemudian beliau ditanya: “Wahai Rasulullah saw, apakah makanan juga?” maka beliau bersabda: “Itu adalah kekayaan kita paling utama.”[124]
Walaupun Islam telah menjadikan seorang wanita dapat memiliki kekayaannya secara khusus dan memperbolehkan baginya untuk menjadi orang yang kaya dan bebas dari suaminya, namun Islam telah menyarankan para istri agar supaya hal itu berdasarkan kerelaan suaminya. Caranya dengan mengikut sertakan sang suami dalam kegiatan dan niat dari perbuatannya, seperti menyedekahkan hartanya atau memberikan hartanya sebagai hadiah, atau dengan niat yang lainnya.
Apa yang telah dianjurkan oleh Islam ini pada dasarnya hanyalah untuk memperkuat hubungan kekeluargaan dan harmonisasi di antara sepasang suami istri. Dari sana, maka membelanjakannya seorang istri terhadap harta kekayaannya tanpa seidzin suami menurut pandangan Islam dibenarkan namun hukumnya makruh, karena ia dapat membahayakan hubungan dari pasangan suami istri.
Dari ‘Amr bin Syu’aib bahwa ayahnya telah mengabarinya dari Abdullah bin ‘Amr bahwa Rasulullah saw telah bersabda: “Tidak diperbolehkan bagi seorang istri untuk memberikan sesuatu kecuali setelah mendapatkan idzin dari suaminya.”[125]
Dari Abdullah bin Yahya, seorang pemuda dari putra Ka’ab bin Malik, dari ayahnya dari kakeknya bahwa neneknya, yaitu Khairah, istri dari Ka’ab bin Malik, telah mendatangi Rasulullah saw dengan membawa intan permata seraya berkata: “Sesungguhnya aku bersedekah dengan intan permata ini.” Maka Rasulullah saw bersabda: “Seorang wanita tidak diperbolehkan untuk bersedekah dengan hartanya kecuali dengan seidzin suaminya. Lalu apakah engkau telah meminta idzin kepada Ka’ab?” Dia menjawab: “Ia.” Kemudian Rasulullah saw mengirim seseorang untuk mendatangi Ka’ab bin Malik, suami dari wanita tadi, seraya berkata: “Apakah engkau telah mengidzinkan Khairah untuk bersedekah dengan intan permatanya?” Maka dia menjawab: “Ia.” Akhirnya Rasulullah saw menerima sedekah intan permata tersebut dari Khairah.”[126]
Berhiasnya seorang istri untuk suaminya
Dari Jabir, dia berkata: “Rasulullah saw telah bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian pulang pada malam hari, maka janganlah menyetubuhi istrinya  sehingga seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya menjalani masa iddahnya dan seorang istri yang acak-acakan menyisir rambutnya terlebih dahulu.”[127]
Dari Hakim bin Mu’awiyah dari ayahnya dari Nabi Muhammad saw, bahwa beliau bersabda: “Seorang pemuda bertanya padanya: “Apa hak seorang istri terhadap suaminya?” Beliau bersabda: “Memberinya makan apabila engkau telah makan, memberinya pakaian apabila engkau telah berpakaian, jangan memukul wajah, jangan menjelek-jelekkannya, dan janganlah meng-hijr-nya kecuali di dalam sebuah rumah.”[128]
Dari ‘Aun bin Juhaifah dari ayahnya, dia berkata bahwa Nabi Muhammad saw telah mempersaudarakan antara Salman dan Abu Darda’. Kemudian Salman mengunjungi Abu Darda’ dan melihat Ummu Darda’ berpakaian lusuh. Maka Salman berkata: “Ada apa denganmu?” Ummu Darda’ berkata: “Saudaramu, Abu Darda’, sudah tidak butuh lagi dengan kehidupan duniawi.” Setelah Abu Darda’ datang, dia langsung menyajikan makanan untuk Salman. Selanjutnya dia berkata: “Makanlah.” Salman menjawab: “Aku sedang berpuasa.” Kemudian Abu Darda’ berkata: “Aku tidak akan makan sehingga kamu makan.” Akhirnya Salman-pun memakannya. Ketika telah larut malam, maka Abu Darda’ beranjak pergi seraya berkata: “Tidurlah.” Maka Salman-pun tidur. Kemudian Abu Darda’ beranjak pergi seraya berkata lagi: “Tidurlah.” Ketika dipenghujung malam, Salman berkata: “Bangunlah sekarang dan hendaklah kalian berdua melaksanakan shalat.” Selanjutnya Salman berkata: “Sesunguhnya Tuhanmu punya hak atasmu, dirimu punya hak atasmu dan bagi keluargamu juga punya hak atamu, maka berikanlah setiap hak itu kepada masing-masing yang berhak memilikinya.” Maka Abu Darda’ mendatangi Nabi Muhammad saw kemudian menceritakan peristiwa itu. Akhirnya Nabi Muhammad saw bersabda: “Salam sudah benar.”[129]
Jangan meletakkan pakaian di tempat yang bukan rumah suaminya
Dari Abu al-Malih al-Hudzali bahwa para wanita dari penduduk Himsh atau penduduk Syam telah mendatangi Aisyah, maka Aisyah berkata: “Apakah golongan kalian yang telah membiarkan para wanita mendatangi kamar mandi umum? Sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada bagi seorang wanita yang telah meletakkan pakaiannya di tempat yang bukan rumah suaminya kecuali dia telah membuka aib antara dirinya dengan Tuhannya.”[130]
Dari Ali bahwa Fatimah ra mengeluh sambil menggiling tepung. Waktu itu beliau mendengar bahwa Nabi Muhammad saw telah mendapatkan seorang tawanan yang boleh dijadikan pelayan rumah tangga. Maka Fatimah pergi menemui Nabi Muhammad saw untuk meminta pelayan rumah tangga tersebut, namun dia tidak menjumpai Nabi Muhammad saw, tetapi berjumpa dengan Aisyah dan menceritakan maksud kedatangannya. Ketika Rasulullah saw pulang, maka Aisyah terus menceritakannya kepada Nabi Muhammad saw. Selanjutnya Nabi Muhammad saw pergi menemui kami. Waktu itu kami sedang berada di tempat tidur, maka kami bangkit untuk menemui beliau, namun beliau bersabda: Tetaplah di tempat kalian. Ternyata aku merasakan dinginnya kaki beliau di dadaku. Selanjutnya beliau bersabda: “Mahukah kalian jika aku ajarkan sesuatu yang lebih baik dari permintaan kalian?” Apabila kalian berada di tempat tidur masing-masing, hendaklah membaca takbir اللَّÙ‡ُ اَÙƒْبَر sebanyak tiga puluh empat kali, membaca tasbih سُبْØ­َانَ اللَّÙ‡ sebanyak tiga puluh tiga kali, dan membaca tahmid الحَÙ…ْدُ Ù„ِÙ„َّÙ‡ sebanyak tiga puluh tiga kali. Sesungguhnya semuanya itu adalah lebih baik bagi kalian daripada seorang pelayan rumah tangga.”[131]
Dari Asma' binti Abu Bakar ra, dia berkata: “Al-Zubair telah mengawiniku. Dia tidak memiliki harta atau budak dan apa-apa pun di bumi ini kecuali keringat dan kudanya. Oleh sebab itu, akulah yang memberinya makan, memberinya air minum, menjahit timbanya dan membuat adunan rotinya. Namun aku tidak bisa membuat roti dengan baik sehingga tetanggaku, yaitu wanita Ansar membantu untuk membuatkan roti untukku, mereka adalah para wanita yang tulus. Aku biasanya memindahkan biji kurma dari tanah al-Zubair yang diberi oleh Rasulullah saw dengan menjunjung biji kurma itu di atas kepalaku. Tanah itu jauhnya kira-kira dua pertiga farsakh,. Pada suatu hari aku datang dengan membawa biji kurma di atas kepalaku, lalu aku bertemu dengan Rasulullah saw bersama beberapa orang sahabat dari golongana Anshar. Selanjutnya beliau memanggilku, kemudian mengucapkan: Ikh, ikh,” (ucapan untuk memberhentikan unta). Beliau bermaksud agar supaya aku mau membonceng pada beliau di belakangnya. Tetapi aku merasa malu untuk berjalan bersama para lelaki dan aku teringat al-Zubair dan kecemburuannya karena dia adalah seorang pencemburu. Maka Rasulullah saw mengetahui bahwa aku merasa malu sehingga beliau pergi berlalu. Kemudian aku mendatangi al-Zubair seraya berkata: “Aku bertemu dengan Rasulullah saw sedangkan aku memikul biji kurma di kepala dan beliau bersama para sahabat. Maka beliau menghentikan untanya agar aku ikut mengendarainya. Namun aku merasa malu padanya dan aku mengetahui kecemburuanmu.” Kemudian al-Zubair berkata: Demi Allah! Engkau menjunjung biji kurma di atas kepalamu adalah lebih berat daripada engkau menunggang bersama Rasulullah saw. Sesudah itu, Abu Bakar mengantarkan seorang pelayan yang dapat menggantikan aku mengurusi kuda, seakan-akan dia membebaskanku.”[132]
Dari Ayyub Ibnu Abu Malikah bahwa Asma’ telah berkata: “Aku pernah mengabdikan diriku pada al-Zubair sebagai pembantu rumah tangga, dan dia memiliki kuda dan aku mengurusnya. Maka tidak ada pengabdian yang memberatkan bagiku kecuali mengurusi kudanya. Aku telah merumput untuk kudanya, menjaganya, dan mengurusinya. Selanjutnya Ayyub berkata: “Kemudian dia mendapatkan pembantu, yaitu seorang tawanan yang telah mendatangi Nabi Muhammad saw, kemudian beliau memberikannya pada Asma’. Selanjutnys Asma’ berkata: “Cukuplah bagiku untuk mengurusi kuda tersebut dan terbebas dari pembiayaan.”[133]
Kepatuhan kepada suami selagi bukan dalam maksiat
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw pernah ditanya: “Wanita mana yang lebih baik?” Maka beliau bersabda: “Yaitu wanita yang membahagiakan suami ketika dia melihatnya, mematuhi suami ketika dia menyuruhnya, dan tidak berbeda pendapat dengan suami tentang sesuatu yang tidak disukai oleh suaminya, baik yang berkenaan untuk dirinya sendiri maupun untuk harta sang suami.”[134]
Dari Aisyah bahwa seorang perempuan dari Anshar telah menikahkan putrinya namun rambut di kepala putrinya rontok. Maka dia mendatangi Nabi Muhammad saw dan menceritakan peristiwa tersebut. Kemudian dia berkata: “Sesungguhnya suaminya telah menyuruhku untuk menyambung rambutnya.” Maka Nabi Muhammad saw bersabda: “Jangan. Sesungguhnya orang yang menyambung rambut benar-benar dilaknat.”[135]
Dari Qais bin Thalq bin Ali, dia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “Apabila seorang laki-laki memanggil istrinya karena suatu kebutuhan, maka hendaknya wanita tersebut mendatangi suaminya walaupun dia berada di depan tungku.”[136]
Dari Mu’adz bin Jabal dari Nabi Muhammad saw, beliau bersabda: “Janganlah seorang istri mengganggu suaminya selama di dunia karena istrinya yang berada di Hur al-‘ain akan berkata: “Janganlah engkau mengganggunya, niscaya Allah swt akan mencelakakanmu, karena dia adalah orang yang akan memasukkanmu ke surga dan dia hampir memisahkanmu dengan kami.”[137]
Dari Qais bin Sa’ad, dia berkata: “Aku sedang kebingungan, lalu aku melihat mereka sedang bersujud pada pemimpin mereka. Maka aku berkata: “Rasulullah saw lebih berhak untuk disujudi.” Selanjutnya dia berkata: “kemudian aku mendatangi Nabi Muhammad saw dan berkata: “Aku sedang kebingungan, lalu aku melihat mereka sedang bersujud pada pemimpin mereka. Padahal engkau wahai Rasulullah saw, adalah lebih berhak apabila kami bersujud padamu.” Rasulullah saw bersabda: “Apakah engkau juga berpikiran jika engkau melewati kuburanku, maka engkau juga akan bersujud?” Aku berkata: “Tidak.” Maka Rasulullah saw bersabda: “Maka janganlah kalian lakukan hal itu. Seandainya aku menyuruh seseorang untuk bersujud pada orang lain, niscaya aku akan menyuruh para wanita untuk bersujud pada suami mereka berdasarkan beberapa hak suami yang telah dijadikan oleh Allah swt atas istri-istri mereka.”[138]
Dari Ibnu Abbas dari Rasulullah saw, beliau bersabda: “Terdapat tiga orang  yang shalatnya tidak terangkat melebihi sejengkal dari kepalanya, yaitu laki-laki yang memimpin suatu kaum namun mereka membencinya, perempuan yang tidur pada malam hari namun suaminya murka padanya, dan dua orang bersaudara yang saling bermusuhan.”[139]
Dari Abu Hurairah, dia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “Apabila seorang suami mengajak istrinya untuk bersetubuh kemudian sang istri menolak ajakan suaminya sehingga pada malam itu sang suami marah pada istrinya, maka para malaikat melaknatnya hingga menjelang pagi hari.” Waqi’ berkata: “Sang suami murka.”[140]
Jangan melaksanakan puasa sunnah ketika suami ada bersamanya kecuali mendapatkan idzin darinya.
Dari Abu Hurairah dari Nabi Muhammad saw, beliau bersabda: “Janganlah seorang istri melaksanakan ibadah puasa apabila suaminya ada bersamanya kecuali apabila telah mendapatkan idzin darinya.”[141]
Hak-hak istri atas suaminya
Dari Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash ra, dia berkata: “Rasulullah saw mendatangiku, kemudian menyebutkan hadits, yaitu: “Sesungguhnya bagi istrimu terdapat hak atasmu, sesungguhnya bagi istrimu terdapat hak atasmu.” Kemudian aku bertanya: “Lalu apa itu puasa Daud?” Beliau bersabda: “Yaitu puasa setengah masa (dahr).”[142]
Menyertai dalam pekerjaan
Dari Ummu Salamah ra, dia berkata: Ketika aku sedang berbaring bersama Rasulullah saw dalam satu selimut, tiba-tiba aku haid, lantas aku keluar secara perlahan-lahan untuk mengambil pakaian khusus semasa haid. Rasulullah saw bertanya kepadaku: Apakah kamu sedang haid?” Aku menjawab: Ya. Kemudian beliau memanggilku, maka aku berbaring lagi bersama beliau dalam satu selimut. Ummu Salamah melanjutkan perrkataannya bahwa Nabi Muhammad saw pernah memeluknya ketika beliau sedang berpuasa dan aku mandi bersama Rasulullah saw dengan menggunakan air bekas janabah.”[143]
Dari Abu Hurairah ra, dia berkata bahwa Rasulullah saw pernah bersabda: “Aku berwasiat kepada kalian tentang wanita, karena sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk. Sesungguhnya paling bengkoknya tulang rusuk adalah paling atasnya. Jika engkau mencoba untuk meluruskannya, maka engkau akan mematahkannya. Tetapi jika engkau membiarkannya saja, maka ia akan tetap dalam keadaan bengkok. Maka berwasiatlah kalian tentang wanita.”[144]
Dari Aisyah ra, dia berkata bahwa pada suatu hari Rasulullah saw bersabda: “Wahai Aisyah, ini Jibril mengucapkan salam padamu.” Maka aku berkata: “Wa ‘alaihissalam wa rahmatullah wa barakatuh, engkau dapat melihat apa yang tidak dapat aku lihat dan engkau memiliki maksud dengan Rasulullah saw.”[145]
Dari Anas ra, dia berkata: Rasulullah saw pernah dalam suatu perjalanan berkata kepada seorang pelayan berkulit hitam bernama Anjasyah yang sedang memandu kendaraan yang dinaiki oleh istri-istri Nabi. Kemudian Rasulullah saw bersabda kepadanya: Wahai Anjasyah! Perlahanlah dalam berkendaraan. Berlaku lembutlah kepada kaum wanita.”[146]
Dari Aisyah, dia berkata: “Pada hari raya, orang Habasyah datang menari-nari di masjid, maka Nabi Muhammad saw memanggilku, kemudian aku meletakkan kepalaku pada pundaknya sehingga aku dapat melihat permainan mereka sampai aku berpaling dari memandangi mereka.”[147]
Tidak melakukan pemukulan yang menyakitkan
Dari Abdullah bin Zam'ah ra, dia berkata: Rasulullah saw berkhutbah kemudian menyebutkan tentang wanita dan memberi nasihat kepada sahabat mengenai mereka seraya bersabda: Mengapa ada di antara kalian yang memukul isterinya seperti memukul seorang budak padahal ada kemungkinan dia akan menyetubuhinya di penghujung malamnya.”[148]
Dari Abdullah bin Abdullah bin Umar bin Iyas bin Abdulah bin Abu Dzubab, dia berkata bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: “Janganlah kalian memukul hamba-hamba Allah swt.” Kemudian Umar mendatangi Nabi Muhammad saw seraya berkata: “Wahai Rasulullah saw, para wanita telah berbuat berani pada suami mereka, maka suruhlah mereka untuk memukulnya. Akhirnya para wanita itu dipukuli. Kemudian beberapa wanita dalam jumlah yang cukup banyak mengitari keluarga Nabi Muhammad saw. Ketika menjelang pagi, berkata: “Tadi malam, tujuh puluh wanita telah mengitari keluarga Muhammad saw, masing-masing dari mereka mengadukan suaminya, maka kalian tidak akan menemukan pilihan lain untuk mereka.”[149]
Memberi nafkah
Dari Umar ra, dia berkata: Harta benda Bani Nadhir termasuk di antara pemberian Allah swt kepada Rasul-Nya, yaitu hasil rampasan orang-orang Islam yang dihasilkan tanpa harus berperang. Harta rampasan tersebut khusus untuk Nabi Muhammad saw guna menafkahi isteri-isterinya selama satu tahun. Selebihnya dibelanjakan untuk membeli perlengkapan perang dan persenjataan yang akan digunakan di jalan Allah swt.”[150]
Dari Aisyah ra, dia berkata bahwa Hindun bintu Utbah bin Rabi’ah datang seraya berkata: “Wahai Rasulullah saw, demi Allah swt, tidak ada orang yang berkemah di muka bumi ini yang lebih aku cintai daripada mereka yang telah melecehkan orang-orang yang berkemah dari golonganmu. Dan hari ini, tidak ada orang yang berkemah menjadi orang yang aku cintai daripada orang-orang yang telah memuliakan orang-orang yang berkemah dari golonganmu.” Selanjutnya dia berkata: “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah pemuda yang kikir. Lalu apakah aku berdosa jika aku memberi makan orang-orang yang masih dari keluarga kami?” Rasulullah saw bersabda: “Kamu tidak berdosa jika memberinya makan dengan cara yang baik.”[151]
Dari Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya, dia berkata: “Aku berkata: “Wahai Nabi Allah, kami tidak menggauli istri-istri kami namun kami tidak bernadzar tentangnya.” Kemudian Nabi Muhammad saw bersabda: “Ladangmu, datangilah ladangmu dari mana saja yang kamu sukai tanpa harus memukul wajah, jangan menjelek-jelekkan, jangan pula meng-hijr-nya kecuali di dalam rumah, dan berilah dia makan apabila engkau telah makan dan berilah dia pakaian apabila engkau telah berpakaian. Bagaimana mungkin, padahal sebagian dari kalian telah mendatangi sebagian yang lain, kecuali dengan sesuatu yang telah dipastikan baginya.”[152]
Etika bersenggama bagi pasangan suami istri
Doa yang diucapkan ketika berjima’
Dari Ibnu Abbas ra, dia berkata: Rasulullah saw pernah bersabda: Seandainya salah seorang di antara kalian ingin bersetubuh dengan istrinya, maka hendaklah dia membaca doa: “Bismi Allah Allahumma jannibna al-syaithan wa jannib al-syaithan ma razaqtana, (Dengan nama Allah, Wahai Tuhanku! Jauhilah kami dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari apa yang telah Engkau kurniakan kepada kami). Seandainya hubungan kelamin itu ditakdirkan dengan mendapatkan seorang anak, maka anak itu tidak akan diganggu oleh syaitan untuk selamanya.”[153]
Affan telah bercerita kepada kami bahwa Wuhaid telah bercerita kepada kami bahwa Abdullah bin Ustman bin Justaim bin Abd al-Rahman bin Sabith berkata: “Aku mendatangi Hafsah  putri Abd al-Rahman lalu aku berkata: “Aku ingin bertanya padamu tentang suatu hal, namun aku malu untuk menanyakannya.” Maka dia berkata: “Janganlah kamu merasa malu wahai putra saudaraku.” Dia berkata: “Yaitu pertanyaan tentang wanita yang disetubuhi dari arah belakang.” Maka Hafsah berkata: “Ummu Salamah telah bercerita kepadaku bahwa orang-orang Anshar tidak menyetubuhi para wanita dari arah belakang, dan orang-orang Yahudi berkata bahwa barang siapa yang menyetubuhi istrinya dari belakangnya, maka anaknya bisa menjadi juling. Ketika orang-orang Muhajirin tiba di Madinah, maka mereka menikahi para wanita Anshar. Kemudian mereka menyetubuhinya dari belakang, namun para wanita itu menolak untuk memenuhi permintaan suaminya seraya berkata kepada suaminya: “Janganlah kamu melakukan hal itu sehingga bertanya kepada Rasulullah saw.” Kemudian wanita Anshar tersebut mendatangi Ummu Salamah dan menceritakan hal tersebut.” Ummu salamah berkata: “Duduklah dulu sampai Rasulullah saw datang.” Ketika Rasulullah saw datang, wanita Anshar tersebut merasa lalu untuk menanyakannya, lalu dia keluar. Akhirnya Ummu Salamah menceritakannya kepada Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah saw bersabda: “Panggillah wanita Anshar tadi.” Maka wanita tersebut dipanggil. Selanjutnya Rasulullah saw membacakan ayat tersebut: “Istri-istrimu adalah seperti tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.”[154] Sebagai satu keputusan.”[155]
Yang diperbolehkan bagi suami ketika istrinya sedang haid
Dari Harm bin Hakim dari pamannya bahwa dia bertanya kepada Rasulullah saw: “Apa yang boleh aku perbuat pada istriku ketika dia sedang haid?” Rasulullah saw bersabda: “Kamu hanya boleh melakukan sesuatu pada bagian tubuh dari sarung ke atas.”[156]
Dari Zaid bin Aslam, dia berkata: “Apa yang boleh aku perbuat pada istriku ketika dia sedang haid?” Rasulullah saw bersabda: “Hendaknya sang istri megencangkan sarungnya kemudian terserah kamu untuk berbuat di atasnya.”[157]
Dari Anas bahwa orang-orang Yahudi apabila istrinya sedang haid, maka mereka tidak memberinya makan, dan tidak pula berkumpul bersama mereka dalam satu rumah. Kemudian sahabat Nabi bertanya kepada Nabi Muhammad saw. Maka Allah swt menurunkan ayat al-Qur'an yang berbunyi: “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah kotoran..” Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita yang sedang haidh.”[158] Hingga akhir ayat. Selanjutnya Rasulullah saw bersabda: “Berbuatlah segala sesuatu kecuali berjimak.”[159]
Melakukan ‘azl
Dari Abu Sa’id al-Khudri, dia berkata: “Perbuatan ‘azl telah diceritakan kepada Nabi Muhammad saw. Maka Nabi Muhammad saw bersabda: “Apa yang terjadi pada kalian?” Mereka berkata: “Seorang pemuda memiliki istri yang sedang menyusui lalu dia menyetubuhinya namun istrinya tidak ingin hamil. Ada pula seorang pemuda yang memiliki budak perempuan dan dia menyetubuhinya namun budak tersebut tidak ingin hamil.” Rasulullah saw bersabda: “Jangan, kalian jangan sampai melakukannya, karena hal itu adalah sebuah takdir.” Ibnu ‘Auf berkata: “Kemudian aku menceritakannya kepada al-Hasan, maka dia berkata: “Demi Allah swt, seakan-akan ini adalah larangan.”[160]
Dari Jabir ra, dia berkata: Kami melakukan a'zal pada masa Nabi Muhammad saw ketika itu al-Quran diturunkan.”[161]
Larangan menyebar berita yang terjadi di antara sepasang suami istri
Dari Abd al-Rahman bin Sa’ad, dia berkata: “Aku mendengar Abu Sa’id al-Khudri berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya paling buruknya kedudukan manusia di sisi Allah swt pada hari kiamat adalah seorang pemuda yang memberitahukan rahasianya kepada istrinya dan istrinya memberitahukan rahasianya kepada suaminya kemudian suaminya menyebarkan rahasia istrinya.”[162]
Hadis Ummu Zar’in: contoh teladan bagi kehidupan sepasang suami istri
Dari Aisyah ra, dia berkata: Sebelas orang wanita telah bersepakat untuk menceritakan perihal suami mereka. Wanita pertama berkata: Suamiku seperti daging unta yang busuk yang berada di puncak bukit yang tinggi dan tidak dapat didaki. Dia tidak berlemak dan mudah untuk bergerak. Wanita kedua berkata: Aku tidak boleh menceritakan mengenai suamiku. Aku takut dan aku tidak boleh memberitahu mengenainya. Sekiranya aku memberitahu mengenainya, berarti aku membuka aibnya. Wanita ketiga berkata: Suamiku telah membuat persyaratan; seandainya aku menceritakannya, maka aku akan dicerainya dan seandainya aku diam diri tidak bercerita, maka aku akan dikasihi. Wanita ke empat berkata: Suamiku seperti cuaca di Negeri Tihamah, tidak panas dan tidak sejuk, tidak menakutkan dan tidak menjemukan. Wanita kelima berkata: Suamiku, ketika memasuki rumah seperti macam kumbang, tetapi apabila keluar rumah seperti seekor singa. Dia tidak akan bertanya persoalan-persoalan yang bukan urusannya. Wanita keenam berkata: Apabila suamiku makan, dia akan menghabiskan makanannya. Seandainya dia minum, maka dia akan menghabiskan minumannya. Seandainya dia tidur, maka dia akan berselimut dan tidak memasukkan telapak tangannya karena dia tahu kesulitannya. Wanita ketujuh berkata: Suamiku adalah seorang lelaki yang lemah syahwat. Walaupun telah berobat tetapi belum juga sembuh. Di samping itu dia ringan tangan. Wanita kedelapan berkata: Sentuhan suamiku seperti sentukan kelincin dan aromanya seperti aroma pohon Zarnab. Wanita kesembilan berkata: Suamiku adalah seorang yang mulia, seorang yang pemberani, dermawan, dan rumahnya berdampingan dengan tempat permainan. Wanita kesepuluh berkata: Suamiku adalah seorang pembesar dan banyak memiliki harta, beliau memiliki banyak unta. Sebahagian besar unta-untanya pula dibiarkan di halaman rumah namun untanya sedikit yang hamil. Seandainya unta-unta itu mendengar tiupan seruling mereka mengetahui bahwa mereka akan disembelih. Wanita kesebelas berkata: Suamiku bernama Abu Zar'in. Tahukah kamu siapakah Abu Zar'in? Dia yang telah memberiku anting-anting pada sepasang telingaku. Dialah yang memberiku makanan-makanan berlemak sehingga aku kelihatan sehat. Dia suka memujiku, dia mengambilku dari keluarga susah dan menjadikanku sebagai salah seorang anggota keluarga yang kaya. Dia tidak pernah mencaciku, sehingga aku dapat tidur dengan nyenyak sampai pagi hari dan aku dapat minum dengan tenang. Di samping itu bagaimana dengan Ummu Abu Zar'in. Tahukah kamu siapa Ummu Abu Zar'in? Dia memiliki harta simpanan dan rumahnya sangat luas. Maka bagaimana pula Ibnu Abu Zar'in. Tahukah kamu siapakah Ibnu Abu Zar'in? Tempat tidurnya seperti pelepah tamar. Dia merasa kenyang dengan makan sebelah kaki kambing. Maka bagaimana pula Anak perempuan Abu Zar'in. Tahukah kamu siapakah anak perempuan Abu Zar'in? Dia sangat mentaati kedua orang tuanya. Tubuhnya montok dan sering menasihati tetangganya. Maka bagaimana pula pelayan Abu Zar'in, tahukah kamu siapakah pelayan Abu Zar'in? Dia tidak pernah menyebarkan rahasia kami dan sangat jujur sekalipun dalam soal makanan. Dia tidak pernah membiarkan rumahku kotor. Setelah itu dia berkata: Satu hari Abu Zar'in keluar dengan membawa wadah dari kulit yang diisi dengan susu. Dia menemui seorang wanita yang mempunyai dua orang anak. Kedua anaknya itu seperti dua ekor macan kumbang. Mereka bermain dengan dua biji buah delima di bawah pinggang ibunya. Kemudian dia menceraikan aku dan mengawini wanita itu. Setelah itu aku kawin dengan seorang lelaki yang baik dan kaya. Tunggangannya adalah seekor kuda terpilih. Dia membawa aku ke kandang yang penuh dengan binatang ternak. Kemudian dia berkata: Makanlah wahai Ummu Zar'in dan istirahatlah supaya hilang rasa lelahmu. Selanjutnya dia berkata: Seandainya aku kumpulkan pemberiannya dengan pemberian Abu Zar'in, niscaya pemberiannya tidak akan sama dengan pemberian Abu Zar'in yang paling sedikit sekalupun. Aisyah ra berkata: Rasulullah saw bersabda kepadaku: Hubunganku denganmu seperti hubungan Abu Zar'in dengan Ummu Zar'in.”
Abu Abdullah berkata bahwa Sa’id bin Salamah berkata dari Hisyam: “Janganlah kamu menganiaya kami.” Abu Abdullah dan sebagian ulama berkata: “Maka penolakan untuk menggunakan huruf mim adalah lebih benar.”
Ulama berkata: “Dalam hadis Ummu Zar’in ini terdapat beberapa faedah, di antaranya: Anjuran untuk berbuat baik kepada keluarga; kebolehan untuk memberi kabar tentang umat terdahulu; perumpamaan terhadap sesuatu tidak mengharuskan keberadaannya sepadan dalam segala hal; kinayah atau kiasan pengucapan thalak tidak menimbulkan terjadinya thalak kecuali apabila disertai dengan niat, karena Nabi Muhammad saw telah bersabda kepada Aisyah: “Hubunganku denganmu seperti hubungan Abu Zar'in dengan Ummu Zar'in,” sedangkan perbuatan Abu Zar’in di antaranya adalah menceraikan istrinya, Ummu Zar’in, sebagaimana pada pemaparan sebelumnya. Namun perceraian ini tidak terjadi pada Nabi Muhammad saw walaupun dengan cara menyerupai Abu Zar’in karena beliau tidak berniat untuk menceraikan istrinya.
Al-Marizi berkata bahwa sebagian ulama telah berkata: “Bahwa dalam hadis ini para wanita telah menceritakan kepada teman-temannya perihal keburukan suami mereka. Maka hal itu bukanlah suatu perbuatan ghibah karena mereka tidak memberitahukan perihal inisial dan nama mereka. Sesungguhnya ghibah yang diharamkan adalah menyebutkan seseorang dengan inisial mereka atau menyebutkan suatu kelompok dengan inisial mereka pula.
Selanjutnya al-Marizi berkata: Sesungguhnya kewaspadaan ini dibutuhkan karena jika seandainya Nabi Muhammad saw mendengar seorang wanita membuka aib suaminya dan suaminya tidak diketahui identitasnya, maka beliau memberi ketetapan terhadap hal itu. Sedangkan dalam peristiwa ini, sesungguhnya Aisyah telah menceritakan beberapa wanita yang tidak diketahui identitasnya. Akan tetapi jika seandainya seorang wanita pada hari ini telah menceritakan sifat-sifat yang tidak disukai dari suaminya dan suaminya sudah dikenal oleh para pendengar, maka hal itu adalah ghibah yang diharamkan. Namun apabila tidak diketahui dan pendengar tidak dapat mengenalnya setelah pembicaaan berlalu, maka hal itu tidak berdosa menurut ulama sebagaimana yang telah kami paparkan sebelumnya. Al-Marizi telah menjadikannya sebagaimana orang yang mengatakan: “Di antara orang alim terdapat orang yang minum dan mencuri.”
Selanjutnya al-Marizi mengatakan bahwa apa yang telah dikatakan oleh orang yang menceritakan mengenai hal itu terdapat beberapa kemungkinan. Al-Qadhi ‘Iyadh mengatakan bahwa orang yang mengatakan mengenai hal itu benar adanya, karena apabila identitasnya tidak diketahui oleh para pendengar dan orang yang mendapatkan informasi mengenainya, maka hal itu tidak termasuk perbuatan ghibah, karena dia tidak merugikan dengan menegaskan identitasnya. Selanjutnya Al-Qadhi ‘Iyadh berkata: “Ibrahim telah berkata: “Tidak termasuk perbuatan ghibah selagi dia tidak menyebutkan nama suaminya, atau mengabarinya dengan sesuatu yang dapat dipahami. Sedangkan identitas para wanita itu beserta para suaminya tidak diketahui, dan agama Islam belum memutuskan untuk mereka sehingga mereka dihukumi dengan perbuatan ghibah jika seandainya identitasnya diketahui. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang identitasnya tidak diketahui? Hanya Allah swt yang maha tahu.



[1] QS. Al-Dukhan : 54 dan al-Thur : 20.
[2] QS. Al-Takwir : 7.
[3] QS. Al- Syura : 50.
[4] QS. Al- Shaffat : 22.
[5] QS. Al- Shaffat : 22.
[6] Tafsir Ibnu Kastir, 7,6/6.
[7] QS. Al-Ahzab : 37.
[8] QS. Al-Baqarah : 235.
[9] QS. Al-Baqarah : 221.
[10] Lihat dalam al-Zawaj fi al-Syari’ah al-Islamiyah, h. 7.
[11] QS. Al-Nisa’ : 22.
[12] Muttafaq ‘alaih. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab Fadhail al-Qur'an (5030), Imam Muslim (1425), Abu Daud dalam Kitab al-NIkah (1889), al-Turmudzi dalam Kitab al-Nikah (1114), al-Nasa’i dalam Kitab al-NIkah (3280), Malik dalam Kitab al-NIkah (1118), al-Darimi dalam Kitab al-Nikah (2201), dan Imam Ahmad (22292).
[13] Kualitas hadis ini adalah lemah (dhaif) sekali.. Telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad seorang diri (22292).
Menurut hemat penulis, illat dalam sanad hadis ini adalah ‘Amr bin Maimun yang telah distiqahkan oleh Abu Daud al-Sajastani. Sedangkan al-Bukhari berkata bahwa dia adalah pengingkar hadis.
[14] Kualitas hadis ini adalah hasan. Telah diriwayatkan oleh Abu Daud seorang diri dalam Kitab al-NIkah (2117).
[15] QS. Al-Baqarah : 235.
[16] QS. Al-Baqarah : 234.
[17] Lihat dalam al-Um, 5/32, Raudhal al-Thalibin, 7/31, dan Tafsir Ibnu Kastir, 1/422.
[18] Tafsir Ibnu Kastir, 1/422.
[19] Lihat dalam Dirasat fi Ahkam al-Usrah, h. 192.
[20] Lihat dalam al-Um 5/32.
[21] Muttafaq ‘alaih. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab al-Buyu’ (2139), Imam Muslim dalam Kitab al-Nikah (1412), Abu Daud dalam Kitab al-Buyu’ (3436), al-Turmudzi dalam Kitab al-Buyu’ (1292), al-Nasa’i dalam Kitab al-NIkah (3243), dan Imam Ahmad (5998).
[22] QS. Al-An’am :  151.
[23] QS. Al-Nisa’ : 23.
[24] QS. Al-Maidah : 6.
[25] Al-Muwattha’ : 22 (28) Kitab al-Nikah (1) Bab Ma ja’a fi al-Khitbah wa al-Mughni 6/605.
[26] Lihat dalam Raudhah al-Thalibin, 7/330 dan Fath al-Qadir, 3/255-256.
                [27] Hasyiyah Ibnu Abidin, 2/153.
                [28] Hasyiyah Ibnu Abidin, 2/153.
[29] Mawahib al-Jalil bi Syarah Mukhtashar Khalil karya al-Khatib, 3/217-218, dan al-Syarah al-Kabir karya Ahmad al-Dardir, 2/195-196.
Menurut hemat penulis, hal ini mendekati pada keadilan dan ketenangan jjiwa, karena terdapat penjagaan dan pemeliharaan terhadap beberapa hak. Bahkan pinangan ini tidak menyusahkan sebagaimana banyak terjadi pada para wanita, seperti perampasan harta benda dan pembatalan peminangan karena sebab yang sepele.
[30] Al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah karya Ibnu Hajar al-Haisyami, 4/112.
[31] Lihat Kasyaf al-Qana’ kraya Manshur al-Bahati 5/153, dan al-Raudhah al-Murabba’ karya Mansur al-Bahuti 3/114.
[32] Kualitas hadis ini adalah sahih. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab al-Syuruth (2721), Imam Muslim dalam Kitab al-Nikah (1418), Abu Daud dalam Kitab al-NIkah (2139), al-Nasa’i dalam Kitab al-NIkah (3281), Ibnu Majah dalam Kitab al-NIkah (1954), al-Darimi dalam Kitab al-Nikah (2203), dan Imam Ahmad (16851).
[33] QS. Al-Rum : 21.
[34] QS. Al-Nakhl : 71. Dan untuk lebih jelasnya lihat dalam al-Zawaj fi Syari’ah al-Islamiyah, h. 33, dan Fi Ahkam al-Usrah, h. 229.
[35] Hasiyah al-Dasuki ala al-Syarah al-Kabir, 2/220.
[36] Lihat dalam al-Zawaj fi al-Syari’ah al-Islamiyah h. 42-43.
[37] Lihat dalam al-Mabsuth 5/153.
[38] Lihat dalam Raudhah al-Thalibin 7/42.
[39] Kualitas hadis ini adalah dhaif. Telah diriwayatkan oleh al-Turmudzi dalam Kitab al-Nikah (1089), dan Ibnu Majah (1895)
Menurut hemat penulis, ilat hadis ini bagi al-Turmudzi adalah perawi yang bernama Isa bin Maimun al-Anshari. Namun Abu Daud telah mensiqahkannya. Ibnu Mu’ayyan berkata : Pada dirinya tidak ada persoalan. Yahya bin Mu’ayyan berkata: Baginya tidak ada sesuatu. ‘Amr bin Fallas berkata: matruk al-hadis.
Sedangkan ilat hadis ini menurut Ibnu Majah adalah perawi yang bernama Khalid bin Iyas. al-Bukhari berkata: munkar al-hadis, baginya tidak ada apa-apa. Dan Yahya bin Mu’ayyan berkata: tidak ada apa-apa.
[40]  Telah diriwayatkan oleh al-Turmudzi dalam Kitab al-Nikah (3/441), dan dalam bab Ma Ja’a La Nikaha illa bi bayyinah wa Nasb al-Rayah (3/164).
[41]Muttafaq ‘alaih. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab al-Hail (6968), Abu Daud dalam Kitab al-Nikah (2092), al-Turmudzi dalam Kitab al-Nikah (1107), al-Nasa’i dalam Kitab al-Nikah (3265), Ibnu Majah dalam Kitab al-Nikah (1871), al-Darimi dalam Kitab al-Nikah (2186), dan Imam Ahmad (7091).
[42] Lihat dalam Fath al-Qadir, 2/391.
[43] Lebih jelasnya lihat al-Zauj fi al-Syari’ah al-Islamiyah, h. 72-73.
[44] Al-Zauj fi al-Syari’ah al-Islamiyah, h.  76-77.
[45] QS. Al-Nisa’ : 22-24.
[46] QS. Al-Baqarah : 221.
[47] QS. Al-Mumtahanah : 10.
[48] QS. Al-Ahzab : 53.
[49] Lihat dalam Al-Zauj fi al-Syari’ah al-Islamiyah, h. 85-86..
[50] QS. Al-Nisa’ : 23.
[51] QS. Al-Nisa’ : 23.
[52] QS. Ali Imran : 7.
[53] QS. Al-Ra’d : 39.
[54] QS. Al-Nisa’ : 23.
[55] QS. Al-Isra’ : 23.
[56] QS. Al-Nisa’ : 23.
[57] QS. Al-Nisa’ : 23.
[58] QS. Al-Nisa’ : 23.
[59] QS. Al-Nisa’ : 23.
[60] QS. Al-Nisa’ : 24.
[61] QS. Al-Ahzab : 50.
[62] QS. Al-Nisa’ : 22.
[63] QS. Al-Nisa’ : 23.
[64] QS. Al-Baqarah : 233.
[65] Lihat dalam al_Zawaj fi al-Syari’Allah swt al-Islamiyah, h. 92.
[66] Lihat dalam al_Zawaj fi al-Syari’Allah swt al-Islamiyah, h. 93-94.
[67] QS. Al-Nisa’ : 22.
[68] QS. Al-Nisa’ : 22-23.
[69] QS. Al-Nisa’ : 22.
[70] QS. Yusuf : 38.
[71] QS. Al-A’raf : 27.
[72] QS. Al-Nisa’ : 22.
[73] Lihat dalam Tafsir al-Qurthubi, 5/103-104.
[74] QS. Al-Nisa’ : 23.
[75] QS. Al-Nisa’ : 23.
[76] QS. Al-Nisa’ : 23.
[77] Lihat dalam Tafsir al-Qurthubi, 5/107, Tafsir al-Razi, 10/31-33, dan al-Zawaj fi al-Syafi’ah al-Islamiyah, h. 96-97.
[78] QS. Al-Nisa’ : 23.
[79] Tafsir al-Fakhr al-Razi, 10/35.
[80] Lebih jelasnya lihat dalam al-Zawaj fi al-Syafi’ah al-Islamiyah, h. 95.
[81] Tafsir al-Fakhr al-Razi, 10/33.
[82] QS. Al-Nisa’ : 23.
[83] QS. Al-Nisa’ : 23.
[84] QS. Al-Nisa’ : 23.
[85] QS. Al-An’am : 151.
[86] QS. Al-Nisa’ : 23.
[87]  Lebih jelasnya lihat dalam al-Zawaj fi al-Syafi’ah al-Islamiyah, h. 98.
[88] QS. Al-Nisa’ : 23.
[89] Untuk lebih jelasnya lihat dalam Tafsir al-Fakhr al-Razi, 10/33.
[90] QS. Al-Nisa’ : 24.
[91] QS. Al-Nisa’ : 23.
[92] Lihat dalam Bada’i’ al-Shana’i’, 2/268.
[93] QS. Al-Baqarah : 228.
[94] QS. Al-Baqarah : 234.
[95] QS. Al-Baqarah : 235.
[96] Lebih jelasnya lihat dalam al-Zawaj fi al-Syafi’ah al-Islamiyah, h. 105.
[97] Lihat dalam Zad al-Ma’ad, 4/7.
[98] QS. Al-Baqarah : 229-230.
[99] Muttafaq ‘Alaih. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab al-Syahadat (52) dan dalam Kitab Syahadah al-Mukhtabi’ (3), Imam Muslim dalam Kitab al-NIkah (16), Bab La Tahillu al-Muthlaqah Stalastan Limuthlaqiha Hatta Tankiha Zaujan Ghairah wa Yuthiuha Stumma Yufaliquha wa Tanqadhi Iddataha (Wanita yang telah dithalak tiga tidak dihalalkan untuk suami yang menthalaknya hingga dia menikah dengan suami yang lain dan menyetubuhinya kemudian suami keduanya menceraikannya dan wanita itu menjalani masa iddahnya). Untuk lebih jelasnya lihat dalam al-Lu’lu’ wa al-Marjan, tentang hal-hal yang telah disepakati oleh dua Imam, Bukhari dan Muslim,  h. 335.
[100] Telah diriwayatkan oleh al-Turmudzi dan Ibnu Majah. Lihat lebih lanjut dalam Zad al-Ma’ad, 4/6.
[101] QS. Al-Nisa’ : 22-24.
[102] Lihat dalam Zad al-Ma’ad, 4/11, Ahkam al-Qur’an karya Ibnu ‘Arabi, 1/380, al-Zawaj fi al-Syafi’ah al-Islamiyah, h. 110-111, dan al-Ahwal al-Syahshiyah fi al-Tasyri’ al-Islami, h. 126-127.
[103] QS. Al-Nisa’ : 2-3.
[104] QS. Al-Nisa’ : 127.
[105] QS. Al-Nisa’ : 127.
[106] QS. Fathir : 1.
[107] Tafsir Ibnu Kastir, 2/184.
[108] QS. Al-Nisa’ : 3.
[109] Untuk lebih jelasnya lihat dalam Tafsir al-Fakhr al-Razi, 9/178.
[110] Untuk lebih jelasnya lihat dalam Tafsir Ibnu Kastir, 2/182.
[111] QS. Al-Nisa’ : 2.
[112] Kualitas hadis ini adalah sahih. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari, 3/125, dalam Kitab al-Tafsir (1), Bab Wain Khiftum anla Tuqsithu fi al-Yatama (Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim).
[113] Muttafaq ‘Alaih. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab al-‘Ilm (81), Imam Muslim dalam Kitab al-‘Ilm (2671), al-Turmudzi dalam Kitab al-Fitan (2205), Ibnu Majah dalam Kitab al-Fitan (4045), dan Ahmad (11533).
Dalam al-Fath, al-Hafidz berkata: Kata al-qaym dalam hadis di atas memiliki artian orang yang megurusi persoalan-persoalan mereka. Sedangkan huruf lam dalam hadis tersebut adalah untuk menepati janji sebagai pemberitahuan terhadap janji yang telah diberikan kepada laki-laki bahwa mereka adalah pemimpim para wanita. Sepertinya lima persoalan dari hari kiyamat ini dikhususkan pada laki-laki karena ia diketahui dapat merusak beberapa persoalan yang apabila menjaganya dapat menghasilkan kemaslahatan dunia dan akhirat, yaitu: Agama, karena dengan terhapusnya ilmu pengetahuan, maka ia dapat merusak agama. Akal, karena minuman yang memabukkan dapat merusaknya. Nasab atau keturunan, karena perzinahan dapat merusaknya. Jiwa dan harta benda, karena fitnah dapat merusaknya.
Al-Karmani berkata: Rusaknya persoalan tersebut mengarah pada runtuhnya ilmu pengetahuan, karena penciptaan tidak akan dibiarkan terlantar dan tidak ada nabi setelah Nabi kita Muhammad saw, maka hal itu menjadi pasti.
Al-Qurtubi dalam kitabnya, al-Mufhim, berkata: Dalam hadis ini terdapat petunjuk dari sekian petunjuk kenabian, karena ia telah mengabari persoalan yang akan terjadi dan ia telah terjadi, terlebih lagi pada zaman ini. Al-Qurtubi dalam al-Tadzkirah berkata: Kemungkinan yang dimaksud dengan pemimpin di sini adalah orang yang menjadi pemimpin mereka, baik bagi wanita yang telah disetubuhinya (istri) atau tidak. Hal itu juga dimungkinkan terjadi pada suatu masa yang tidak seorangpun menyebut kata Allah, Allah, dan seorang laki-laki menikahi wanita dalam jumlah yang tidak terhitung karena tidak mengetahui hukum syariat.
Menurut hemat penulis, pada saat ini, hal itu sudah dapat dijumpai pada beberapa pemimpin negara Turki dan negara lainnya padahal mereka mengaku beragama Islam. Dan hanya Allah swt dzat maha penolong.
                [114] Muttafaq ‘alaih. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab al-Zakat (1414), dan Imam Muslim dalam Kitab al-Zakat (1012).
[115] Muttafaq ‘Alaih. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab al-Wudhu’ (198), Imam Muslim dalam Kitab al-Shalah (418), Ibnu Majah dalam Kitab al-Jana’iz (1618), dan Ahmad (23583).
[116] Muttafaq ‘Alaih. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab al-NIkah (5211), Imam Muslim  (2445), Ibnu Majah dalam Kitab al-Nikah  (1970), al-Darimi dalam Kitab al-Nikah (2208), dan Ahmad (24313).
[117] Muttafaq ‘Alaih. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab al-Nikah (5213), Imam Muslim dalam Kitab al-Rada’ (1461), Abu Daud dalam Kitab al-Nikah (2124), al-Turmudzi dalam Kitab al-Nikah  (1139), Ibnu Majah dalam Kitab al-Nikah  (1916), Malik dalam Kitab al-Nikah  (1124), dan al-Darimi dalam Kitab al-Nikah (2209).
[118] Kualitas hadis ini adalah sahih. Telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad seorang diri (18524).
[119] Telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad seorang diri (21480).
[120] Muttafaq ‘Alaih. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab al-Jum’ah (893), Imam Muslim dalam Kitab al-Imarah (1829), Abu Daud dalam Kitab al-Kharaj (2928), al-Turmudzi dalam Kitab al-Jihad  (1139), dan Imam Ahmad (4481).
[121] Muttafaq ‘Alaih. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab al-Nikah (5232), Imam Muslim dalam Kitab al-Salam (2173), Turmudzi dalam Kitab al-Radha’ (1171), al-Darimi dalam Kitab al-Isti’dzan  (12642), dan Imam Ahmad (16896).
[122] Kualitas hadis ini adalah sahih. Telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitab al-Salam (2173), dan Imam Ahmad (6559).
[123]  Muttafaq ‘Alaih. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab al-Ahkam (7161), Imam Muslim dalam Kitab al-Aqdhiyah (1714), Abu Daud dalam Kitab al-Buyu’ (3532), al-Nasa’i dalam Kitab al-Adab al-Qadah  (5420), Ibnu Majah dalam Kitab al-Tijarat (2293), al-Darimi dalam Kitab al-Nikah (2259), dan Imam Ahmad (23597).
[124] Kualitas hadis ini adalah hasan. Telah diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Kitab al-Buyu' (3565), Turmudzi dalam Kitab al-Zakah (670), Ibnu Majah dalam Kitab al-Tijarat  (2295), dan Imam Ahmad (21791).
[125] Kualitas hadis ini adalah hasan. Telah diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Kitab al-Buyu' (3547), Nasa’i dalam Kitab al-‘Amra (3757), Ibnu Majah dalam Kitab al-Ahkam (2388), dan Imam Ahmad (7018).
[126] Kualitas hadis ini adalah dha’if. Telah diriwayatkan oleh Ibnu Majah seorang diri dalam Kitab al-Ahkam (2389).
Imam al-Bushiri dalam al-Zawa’id berkata: “Dalam sanadnya terdapat perawi yang bernama Yahya dan dia tidak dikenal di antara putra-putra Ka’ab sehingga kualitas sanadnya lemah.
[127] Muttafaq ‘Alaih. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab al-Nikah (5079), Imam Muslim dalam Kitab al-Imarah (715), Abu Daud dalam Kitab al-Jihad (2778), al-Darimi dalam Kitab al-Nikah (2217), dan Imam Ahmad (13772).
[128] Kualitas hadis ini adalah sahih. Telah diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Kitab al-Nikah (2142), Ibnu Majah dalam Kitab al-Nikah (1850), dan Imam Ahmad (19511).
[129] Kualitas hadis ini adalah sahih. Telah diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitab al-Shaum (1968), dan Turmudzi dalam Kitab al-Zuhud (2413).
[130]  Kualitas hadis ini adalah hasan. Telah diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Kitab al-Hamman (4110), Turmudzi dalam Kitab al-Adab (2803), Ibnu Majah dalam Kitab al-Adab  (3750), al-Darimi dalam Kitab al-Isti’dzan (2651), dan Imam Ahmad (24879).
[131] Muttafaq ‘Alaih. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab Fard al-Khums (3113), Imam Muslim dalam Kitab al-Dzikir wa al-Du’a (2727), Abu Daud dalam Kitab al-Adab (5062), dan Imam Ahmad (742).
[132] Muttafaq ‘Alaih. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab al-Nikah (5224), Imam Muslim dalam Kitab al-Salam (2182), dan Imam Ahmad (26397).
[133] Kualitas hadis ini adalah sahih. Telah diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitab al-Salam (2182), dan Ahmad (26432).
[134] Kualitas hadis ini adalah sahih. Telah diriwayatkan oleh al-Nasa’i dalam Kitab al-Nikah  (3231), dan Ahmad (7373).
[135] Muttafaq ‘Alaih. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab al-Nikah (5205), dan Imam Muslim dalam Kitab al-Libas wa al-Zinah (2123).
[136] Kualitas hadis ini adalah hasan. Telah diriwayatkan oleh al-Turmudzi seorang diri dalam Kitab al-Radha’ (1160).
[137] Kualitas hadis ini adalah hasan. Telah diriwayatkan oleh al-Turmudzi dalam Kitab al-Radha’ (1174), dan Ibnu Majah dalam Kitab al-Nikah (2014).
Menurut hemat penulis, hadis riwayat Isma’il bin ‘Iyas dalam hal ini tidak ada persoalan, karena dia adalah perawi yang jujur dalam meriwayatkan hadis dari penduduk Syam. Sedangkan Yahya bin Sa’ad dalam sanad hadis di sini yang mana Ibnu ‘Iyas telah meriwayatkan hadis darinya adalah Himshi, salah seorang penduduk Syam.
[138] Kualitas hadis ini adalah hasan. Telah diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Kitab al-Nikah (2140), dan al-Darimi dalam Kitab al-Salat (1463).
[139] Kualitas hadis ini adalah sahih. Telah diriwayatkan oleh Ibnu Majah seorang diri dalam Kitab Iqamah al-Salat wa al-Sunnah fiha (971).
[140] Kualitas hadis ini adalah sahih. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab Bad’u al-Khalq (3237), Imam Muslim dalam Kitab al-Nikah (1436), Abu Daud dalam Kitab al-Nikah (2141), al-Darimi dalam Kitab al-Nikah (2228), dan Imam Ahmad (9379).
[141] Muttafaq ‘Alaih. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab al-Nikah (5192), Imam Muslim dalam Kitab al-Zakah (1026), Abu Daud dalm Kitab al-Shaum (2458), Turmudzi dalam Kitab al-Shaum (782), Ibnu Majah dalam Kitab al-Shiyam (1761), al-Darimi dalam Kitab al-Shaum (1720), dan Imam Ahmad (10117).
[142] Muttafaq ‘Alaih. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab al-Shaum (1973), dan Imam Muslim dalam Kitab al-Shiyam (1159).
[143] Muttafaq ‘Alaih. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab al-Haidh (322), Imam Muslim dalam Kitab al-Haidh (296), al-Nasa’i dalam Kitab Taharah wa Sunanuha (283), Ibnu Majah dalam Kitab Taharah wa Sunanuha (637), al-Darimi dalam Kitab al-Taharah (1044), dan Imam Ahmad (25987).
[144] Muttafaq ‘Alaih. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab Ahadis al-Anbiya (3331), Imam Muslim dalam Kitab al-Radha’ (1468), Turmudzi dalam Kitab al-Thalaq (1188), al-Darimi dalam Kitab al-Nikah (2222), dan Imam Ahmad (9240).
[145] Muttafaq ‘Alaih. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab al-Manaqib (3768), dan Imam Muslim dalam Kitab al-Fadhail al-Sahabah (2447).
[146] Muttafaq ‘Alaih. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab al-Adab (6161), Imam Muslim dalam Kitab al-Fadhail (2323), dan Imam Ahmad (11630).
[147] Muttafaq ‘Alaih. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab al-Jum’ah (950), Imam Muslim dalam Kitab al-Salat al-‘Idain (892), dan Imam Ahmad (23775).
[148] Muttafaq ‘alaih. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab al-NIkah (5204), Imam Muslim dalam Kitab al-Jannah wa Shifah wa Na’imuha (855), Turmudzi dalam Kitab Tafsir al-Qur'an (3343), al-Darimi dalam Kitab al-Nikah (2220), dan Imam Ahmad (2220).
[149] Kualitas hadis ini adalah sahih. Telah diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Kitab al-Nikah (2146), dan Ibnu Majah dalam Kitab al-Nikah (2219).
[150] Muttafaq ‘alaih. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab al-Jihad wa al-Sair (2904), Imam Muslim dalam Kitab al-Jihad wa al-Sair (1757), Abu Daud dalam Kitab al-Kharaj wa al-Imarah wa al-Fai’ (2965), al-Turmudzi dalam Kitab al-Jihad wa al-Sair (1719), al-Nasa’i dalam Kitab al-Kharaj wa al-Fai’ (4140), dan Imam Ahmad (172).
[151]  Muttafaq ‘Alaih. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab al-Ahkam (7161), Imam Muslim dalam Kitab al-Aqdhiyah (1714), Abu Daud dalam Kitab al-Buyu’ (3532), al-Nasa’i dalam Kitab al-Adab al-Qadah  (5420), Ibnu Majah dalam Kitab al-Tijarat (2293), al-Darimi dalam Kitab al-Nikah (2259), dan Imam Ahmad (23597).
[152] Kualitas hadis ini adalah sahih. Telah diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Kitab al-Nikah (2142), Ibnu Majah dalam Kitab al-Nikah (1850), dan Imam Ahmad (2142).
[153]  Muttafaq ‘alaih. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab al-Wudhu’ (141), Imam Muslim dalam Kitab al-Nikah (1434), Abu Daud dalam Kitab al-Nikah (2161), Turmudzi dalam Kitab al-Nikah (1092), Ibnu Majah dalam Kitab al-Nikah (1919), al-Darimi dalam Kitab al-Nikah (2212), dan Imam Ahmad (1870).
[154] QS. al-Baqarah : 223.
[155]  Kualitas hadis ini adalah sahih. Telah diriwayatkan oleh al-Darimi dalam Kitab al-Taharah (1119), dan Imam Ahmad (26261).
[156]  Kualitas hadis ini adalah sahih. Telah diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Kitab al-Taharah (133).
[157] Kualitas hadis ini adalah sahih. Telah diriwayatkan oleh al-Darimi dalam Kitab al-Taharah (1032), dan Imam Malik dalam Kitab al-Taharah (126). 
[158] QS. al-Baqarah : 222.
[159] Kualitas hadis ini adalah sahih. Telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitab al-Haid (302), Abu Daud dalam Kitab al-Taharah (258), Turmudzi dalam Kitab al-Tafsir al-Qur'an (2977), al-Nasa’i dalam Kitab al-Taharah (288), Ibnu Majah dalam Kitab al-Taharah wa Sunanuha (644), dan al-Darimi dalam Kitab al-Taharah (1053).
[160] Muttafaq ‘alaih. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab al-Buyu’ (2229), Imam Muslim dalam Kitab al-Nikah (1438), Abu Daud dalam Kitab al-Nikah (2170), al-Nasa’i dalam Kitab al-Nikah (2227), Ibnu Majah dalam Kitab al-Nikah (1926), dan Imam Ahmad (10788).
[161] Muttafaq ‘alaih. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab al-Nikah (5209), Imam Muslim dalam Kitab al-Nikah (1440), Turmudzi dalam Kitab al-Nikah (1137), Ibnu Majah dalam Kitab al-Nikah (1927), dan Imam Ahmad (13906).
Al-Hafidz bin Hajar berkata: “Ibrahim bin Musa dalam riwayatnya telah menambahkan dari Sufyan bahwa dia telah mengatakan ketika meriwayatkan hadis tersebut, yaitu “seandainya diharamkan maka niscaya ayat al-Qur'an akan diturunkan untuknya.” Imam Muslim telah meriwayatkan tambahan redaksi tersebut dari Ishaq bin Rahwaih dari Sufyan kemudian dia menyebutkan hadisnya: “Kami melakukan ‘azal ketika al-Quran diturunkan.” Sufyan berkata: “Seandainya sesuatu telah melarangnya, niscya al-Qur'an akan melarangnya.” Maka hal ini sangatlah nampak bahwa Sufyan telah mengatakannya sebagai kesimpulan. Sedangkan pengarang kitab al-‘Umdah dan beberapa orang lainnya menduga bahwa tambahan redaksi hadis tersebut adalah redaksi hadis itu sendiri lalu dimasukkan ke dalamnya. Namun persoalannya tidaklah demikian, bahkan aku menelusurinya lebih lanjut pada beberapa sanad hadis sehingga aku menemukan bahwa kebanyakan riwayatnya yang dari Sufyan tidak menyebutkan tambahan redaksi tersebut. Ibnu Daqiq al-‘Id telah menjelaskan persoalan yang terdapat dalam kitab al-‘Umdah tersebut seraya berkata: “Adapun pembuktian Jabir dengan ketetapan dari Allah swt adalah sesuatu yang asing, dan dimungkinkan apabila pembuktian tersebut dengan menggunakan ketetapan (taqrir) dari Rasulullah saw. Hanya saja hal itu disyaratkan adanya sepengetahuannya Rasulullah saw tentang hal itu.” Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnu Daqiq. Untuk mengetahuinya adalah dengan perkataan sahabat Nabi Muhammad saw bahwa dia telah melakukan hal itu pada masa Nabi Muhammad saw. Namun persoalan yang populer dalam ilmu Ushul Fiqh dan Ulum al-Hadis adalah bahwa apabila sahabat telah menisbatkan hadis pada masa Nabi Muhammad saw, maka hadis itu dihukumi hadis marfu’ oleh mayoritas ulama, karena yang tampak adalah bahwa Nabi Muhammad saw mengetahui secara pasti terhadap hal itu dan membiarkannya sebagai sebuah ketetapan (taqrir) karena banyaknya kegelisahan mereka dalam bertanya kepada beliau tentang beberapa hukum. Apabila sahabat tidak menisbatkannya kepada Nabi Muhammad saw, maka hadis itu dihukumi marfu’ menurut publik. Maka sejak awal Jabir telah menegaskan kejadian ‘azl tersebut pada masa Nabi Muhammad saw dan beberapa jalur hadis juga telah diriwayatkannya untuk menjelaskan dengan pengetahuan yang sebenarnya tentang hal itu. Sedangkan yang tampak bagiku adalah bahwa apa yang menjadi kesimpulan baik oleh Jabir maupun Sufyan adalah bahwa dengan turunnya al-Qur'an yang ayatnya tidak dibaca, lebih umum dari pada orang yang beribadah dengan membaca al-Qur'an atau bacaan lainnya daripada yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad saw tersebut. Jika demikian, maka seakan-akan dia berkata: “Kami melakukannya pada masa Nabi Muhammad saw, jika seandainya hal itu adalah perbuatan haram, maka kami tidak akan dibiarkannya sebagai sebuah ketetapan (taqrir). Mengenai hal itu, terdapat isyarat dari perkataan Ibnu Umar: “Kami menjaga perkataan dan kegembiraan dengan istri-istri kami karena takut al-Qur'an diturunkan untuk kami pada masa Nabi Muhammad saw. Ketika Nabi Muhammad saw wafat, maka kami berbicara dan bergembira ria.” Telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Imam Muslim di samping juga dari jalur Abu al-Zubair dari Jabir seraya berkata: “Kami melakukan ‘azl pada masa Nabi Muhammad saw kemudian hal itu sampai pada beliau namun beliau tidak melarang kami.” Dari jalur lain, yaitu dari Abu al-Zubair dari Jabir bahwa seorang pemuda mendatangi Rasulullah saw seraya berkata: “Sesungguhnya aku memiliki budak dan aku bersenggama di atasnya namun aku tidak ingin dia hamil.” Maka Nabi Muhammad saw bersabda: “Lakukanlah ‘azl jika engkau mau, karena takdir juga akan menimpanya.” Maka tidak lama kemudian, pemuda itu mendatangi Nabi Muhammad saw seraya berkata: “Sesungguhnya budak itu telah hamil.” Nabi Muhammad saw bersabda: “Aku telah memberi tahumu.” Cerita ini sampai pada Imam Muslim dari jalur Sufyan bin ‘Uyaynah dengan sanad hadisnya yang lain sampai pada Jabir dan di akhir redaksinya menyebutkan: “Maka beliau bersabda: “Aku adalah hamba Allah swt dan rasul-Nya.” Imam Ahmad, Ibnu Majah dan Ibnu Abu Syaibah juga telah meriwayatkan dengan sanad hadis lainnya yang memenuhi persyaratan Imam Bukhari dan Imam Muslim secara maknawi. Maka dalam jalur periwayatan ini terdapat sesuatu yang tidak membutuhkan kepada penyimpulan, karena pada salah satu hadisnya terdapat penjelasan dengan pengetahuan yang sebenar-benarnya dari Nabi Muhammad saw dan pada hadis yang lain terdapat idzin diperbolehkannya melakukan hal tersebut dari Nabi Muhammad saw, walaupun kalimatnya mengisyaratkan bahwa ia berbeda dengan kalimat yang pertama.
[162]  Kualitas hadis ini adalah sahih. Telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitab al-Nikah (1437), Abu Daud dalam Kitab al-Adab (4870), dan Imam Ahmad (12258).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar