KITAB NIKAH DAN HUBUNGAN SUAMI
ISTRI
Pengertian nikah
Nikah adalah berpasangan, berhubungan, dan mengawini. Dalam
al-Qur'an disebutkan: “Dan kami kawinkan mereka dengan bidadari-bidadari.”[1]
Maksudnya adalah kami jadikan mereka berpasang-pasangan.
Setiap sesuatu adalah pasangan bagi kawannya. Maka dia adalah istri
atau suaminya. Dikatakan: Aku telah mengawinkan untaku (zawwajtu al-ibila)
artinya adalah aku menjadikannya berpasang-pasangan. Firman Allah swt yang
berbunyi: “Dan apabila ruh-ruh dipertemukan.”[2]
Artinya setiap golongan dipasangkan dengan padanannya atau dipasangakan dengan
perbuatannya. Firman Allah swt: “Atau dia menganugerahkan kedua jenis
laki-laki dan perempuan.”[3]
Artinya menjadikan mereka saling berpasangan. Dalam mengomentari firman Allah
swt yang berbunyi: “Kumpulkanlah orang-orang zalim bersama teman sejawat
mereka.”[4]
Teman sejawat dalam ayat di atas adalah pasangan dan padanannya yang
telah menyuguhkan kedzaliman dan menghiasinya untuk mereka. Nu’man bin
al-Basyit ra berkata: Maksud dari ayat ini adalah pasangan mereka, yang
menyerupai mereka, dan semisal dengan mereka. Demikian pula dengan pendapat
Ibnu Abbas, Sa’id bin Jabir, ‘Ikrimah, Mujahid, al-Sadyi, Abu Shaleh, Abu
al-‘Aliyah, dan Zaid bin Salim.
Dari Nu’man, dia berkata “Aku mendengar Umar berkata: “Ayat yang
berbunyi: “Kumpulkanlah orang-orang zalim bersama teman sejawat mereka,”[5]
Maksudnya adalah yang menyerupai mereka. Jadi, pelaku riba akan didatangkan dengan
para pelaku riba lainnya. Penzina akan didatangkan dengan pezina lainnya,
demikian pula dengan peminum khamr juga akan didatangakan dengan peminum khamr
lainnya.”
Suatu kaum saling mengawini: artinya sebagian mereka mengawini yang
lainnya. Dikatakan pula bahwa laki-laki dan perempuan adalah pasangan suami
istri, karena mereka berdua telah disesuaikan dengan aqad nikah.[6]
Masuk dalam kategori ini adalah berpasangannya laki-laki dan
perempuan, berhubungan untuk kesenangan, dan bersenang-senang untuk mendapatkan
keturunan. Dan sudah menjadi biasa menggunakan kata zawaj dalam
pengertian ini sehingga dapat dipahami. Di antaranya adalah firman Allah swt
yang berbunyi: “Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap
isterinya, kami kawinkan kamu dengan dia.”[7]
Kata nikah juga dipergunakan untuk menunjukkan arti perkawinan. Dan
kata ini banyak ditemukan dalam bahasa al-Qur'an. Di antaranya adalah firman
Allah swt yang berbunyi: “Dan janganlah kamu berketetapan hati untuk
melakukan aqad nikah, sebelum habis masa iddahnya.”[8]
Artinya adalah aqad nikah. Ada juga firman Allah swt yang berbunyi: “Dan
janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman.”[9]
Artinya adalah jangan menikahi wanita-wanita musyrik.[10]
Demikian pula dengan firman Allah swt yang berbunyi: “Dan janganlah kamu
kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu.”[11]
Maksud dari ayat yang terakhir adalah: Seorang anak dilarang
menikahi wanita yang telah dinikahi oleh ayahnya. Sedangkan arti dari aqad
nikah menurut madzhab Hanafi adalah kesepakatan positif dengan tujuan untuk
memiliki kesenangan terhadap wanita. Dan yang benar adalah persetujuan dengan
tujuan untuk menghalalkan kesenangan setiap pasangan. Dan kesenangannya adalah
untuk mendapatkan keturunan berdasarakan anjuran syara’.
Dari Sahl bin Saad ra, dia berkata: “Suatu ketika, seorang wanita mendatangi Rasulullah saw seraya berkata: “Wahai Rasulullah! Aku
telah datang untuk meyerahkan diriku kepadamu.” Lalu Rasulullah saw
memandang kepadanya sambil mendongak kepadanya dan memerhatikannya dengan teliti. Kemudian beliau mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika wanita itu mendapati Rasulullah saw diam tanpa memberi keputusan, perempuan
itu segera duduk. Lalu bangkitlah
seorang Sahabat dan berkata: “Wahai Rasulullah! Sekiranya kamu tidak ingin menikahinya, maka nikahkanlah aku dengannya. Selanjutnya Rasulullah saw bertanya: “Apakah engkau memiliki sesuatu yang bisa dijadikan maskawin?” Sahabat menjawab: “Tidak ada!” Kemudian Rasulullah saw bersabda: “Pulanglah menemui keluargamu untuk mencari sesuatu yang bisa dijadikan maskawin.” Lantas Sahabat tersebut pulang, kemudian kembali
menemui Rasulullah saw dan berkata: “Demi Allah! Aku tidak menjumpai apa-apa yang bisa dijadikan maskawin.” Maka Rasulullah saw bersabda: “Carilah walaupun hanya sebuah cincin dari besi.” Lalu Sahabat tersebut pulang dan datang kembali
serta berkata: “Wahai Rasulullah! Demi Allah, aku tidak menjumpai apa-apa walaupun sebuah cincin dari besi, tetapi aku memiliki sarungku ini.” Sahabat Sahl mengatakan
bahwa sahabat tersebut tidak mempunyai pakaian
yang menutup bahagian atas badan dan hanya memiliki separuh badannya saja. Kemudian
Rasulullah saw bersabda: “Apa yang akan engkau perbuat dengan kain sarungmu itu, sekiranya engkau
memakai kain sarung
itu, maka wanita itu tidak dapat memakainya
walaupun sedikit. Namun apabila dia memakai kain sarung tersebut, maka engkau tidak mempunyai apa-apa untuk dipakai.” Akhirnya
sahabat duduk sekian lama kemudian bangun.
Rasulullah saw memandangnya pergi dari tempat itu. Setelah itu Rasulullah
saw memerintahkan supaya sahabat yang tadi dipanggil. Ketika sahabat tersebut datang, Rasulullah saw bertanya: “Apakah yang engkau miliki dari al-Quran?” Sahabat tersebut menjawab: “Aku hafal surat itu dan surat ini.” Sahabat tersebut menghitungnya.” Selanjutnya
Rasulullah saw bersabda: “Apakah engkau membacanya dengan hafalan?” Sahabat tersebut menjawab: “Ya!” Maka Rasulullah saw bersabda: “Pergilah! Sesungguhnya aku telah menikahkan engkau dengannya dengan maskawin berupa hafalan al-Quran-mu.”[12]
Bahkan dalam beberapa hadis Nabi Muhammad saw menunjukkan bahwa
maskawin atau mahar yang sedikit adalah penyebab pernikahan yang berkah dan
kehidupan yang penuh dengan berkah dan kebahagiaan.
Dari Aisyah ra bahwa Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya paling
besarnya berkah dalam pernikahan adalah paling mudahnya beban dalam pernikahan
itu sendiri.”[13]
Dari ‘Uqah bin ‘Amir, dia berkata bahwa Nabi Muhammad saw bersabda
kepada seorang pemuda: “Apakah engkau rela jika aku nikahkan dengan fulanah?”
Pemuda tersebut menjawab: “Ia.” Kemudian Nabi Muhammad saw berkata kepada
fulanah: “Apakah engkau rela jika aku nikahkan engkau dengan fulan?” Wanita
tersebut menjawab: “Ia.” Maka Nabi Muhammad saw menikahkah mereka berdua dan
pemuda tersebut menggaulinya tanpa membayar maskawin atau maharnya dan tidak
memberi sesuatu padanya. Pemuda tersebut adalah orang yang menyaksikan perang
Hudaibiyan dan orang yang menyaksikan perang Hudaibiyah biasanya memiliki panah
yang digunakan di perang Khaibar. Ketika wanita tersebut meninggal dunia,
pemuda tersebut berkata: “Sesungguhnya Rasulullah saw telah menikahkan aku
dengan fulanah dan aku tidak menunaikan maskawin atau maharku dan tidak pula
memberinya sesuatu dan aku meminta persaksian kalian bahwa aku telah memberi
maskawin atau maharnya berupa anak panah di perang Khaibar dan dia mengambil
anak panah tersebut serta menjualnya seharga seratus ribu.”
Abu Daud berkata: “Umar bin al-Khattab telah menambah redaksi
hadisnya sehingga hadisnya lebih sempurna di awal hadis. Rasulullah saw
bersabda: “Sebaik-baiknya mahar perniakahan adalah yang paling meringankan.”[14]
Demikianlah Islam menekankan kemudahan dalam pernikahan dan tidak
berlebih-lebihan dalam memberikan mahar serta menghilangkan segala sesuatu yang
dapat merintangi jalannnya pernikahan. Islam juga menjelaskan kebaikan demi
kebaikan dalam mencari ciptaan yang baik, sifat-sifat terpuji, dan tabiat mulia
yang terdapat pada masing-masing pasangan sehingga pergaulan yang baik di
antara mereka berdua menjadi langgeng dan abadi. Bahkan sampai terbentuknya
keluarga muslimah dengan dasar kerelaan, mawaddah wa rahmah. Dan hal ini adalah
pondamen yang kuat dalam membangun komunitas muslim yang terdiri dari
putra-putri dari keluarga yang bahagia, saling mencintai, dan saling mengikat
dengan pelajaran-pelajaran Islam serta akhlak dan adab-adab keislaman.
Meminang (Khitbah)
Khitbah merupakan pertemuan awal, langkah awal dan perjanjian untuk
menikah. Biasanya, khitbah ini
dimulai dengan seorang pemuda yang meminta untuk diterima menjadi pasangan bagi
seorang pemudi yang disukainya dan hatinya menjadi tenang bahwa pemudi tersebut
akan menjadi pasangan yang sesuai untuknya. Dari sana, kemudian kedua belah
pihak mulai menyempurnakan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan
pelaksanaan pernikahan, seperti mahar atau maskawin, penundaan mahar atau
maskawi, harta benda atau perkakas rumah, dan sebagainya. Sebab itulah, maka khitbah
dalam batasannya tidak dianggap sebagai akad nikah. Jika seorang pemuda
telah meminta untuk menikah pada seorang pemudi yang disukainya dan permintaan
tersebut diterima, barangkali kedua belah pihak membacakan surat al-Fatihah,
atau pelamar memberikan hadiah pertunangan kepada gadis yang dilamar. Di antara
hak setiap orang yang dilamar adalah menyendiri dari pasangannya dan
mempertimbangkan lamaran karena beberapa sebab yang beragam. Dan barangkali hal
itu adalah posisi untuk menjelaskan ciri-ciri akad nikah dari sekian akad yang
mengharuskan pelakukan hanya melakukan ijab dan qabul.
Dari al-Mughirah bin Syu’bah bahwa dia telah melamar seorang wanita
Anshar. Maka Rasulullah saw bersabda kepadanya: “Pergi dan lihatlah karena hal
itu lebih pantas untuk dilakukan oleh kalian berdua.”
Syarat-syarat pinangan
Dalam meminang seorang wanita, terdapat beberapa syarat yang harus
ada pada yang dilamar, yaitu:
1.
Tidak boleh ada penghalang yang dapat merintangi
jalannya pernikahan dengan wanita yang dilamar pada waktu itu. Di antaranya
wanita yang dilamar adalah muhrimnya seumur hidup, seperti bibinya dari pihak
ayah, bibinya dari pihak ibu, saudaranya sekandung, atau saudaranya sesusuan.
Apabila hal itu terjadi, maka pada waktu itu juga, lamarannya menjadi haram
selama-lamanya. Atau wanita yang dilamar adalah muhrinya karena suatu sebab,
seperti saudara istrinya, atau istri orang lain, atau sedang melakukan iddah
sehabis thalak atau ditinggal mati suaminya, maka pada waktu itu juga,
lamarannya menjadi haram hingga sebab keharamannya berlalu.
Hal itu dikarenakan khitbah adalah perantara untuk menikah. Jika
pernikahan tersebut dilarang dan diharamkan, maka segala sesuatu yang menjadi
perantara padanya juga dilarang dan diharamkan.
Sedangkan melamar wanita yang telah diperistrikan oleh orang lain
atau melamar wanita yang sedang menjalani masa iddahnya dapat menimbulkan
permusuhan dengan pihak lain yang lebih berhak. permusuhan, kedengkian dan
prasangka yang buruk itu dapat mempengaruhi pada wanita atau orang yang
dilamarnya.
Namun bagi wanita yang telah ditinggal mati oleh suaminya, maka para
ahli fikih telah membolehkan melamar dengan cara sindiran, bukan dengan cara
terang-terangan. Hal itu berdasarkan firman Allah swt yang berbunyi:
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan
sindiran atau kamu menyembunyikan keinginan mengawini mereka dalam hatimu.
Allah swt mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka. Pada waktu itu
janganlah kamu melakukan perjanjian untuk menikah dengan mereka secara rahasia.
Kecuali sekedar mengucapkan perkataan yang ma’ruf. Dan janganlah kamu
berketetapan hati untuk melakukan akad nikah sebelum habis masa iddahnya. Dan
ketahuilah bahwasanya Allah swt mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka
takutlah kepada-Nya dan ketahuilah bahwa Allah swt maha pengampun lagi maha
penyantun.”[15]
Berdasarkan ayat di atas, maka cukup jelas bahwa maksud dari wanita
itu adalah para wanita yang telah ditinggal mati oleh suaminya, karena ayat
sebelumnya terdapat firman Allah swt yang berbunyi: “Dan orang-orang yang
meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istrinya, hendaklah para
istri itu menangguhkan dirinya (beriddah) selama empat bulan sepuluh hari.”[16]
Sesungguhnya melamar dengan ungkapan yang mengandung unsur
kebohongan terhadap wanita yang menjalani masa iddah karena ditinggal
mati oleh suaminya diperbolehkan, karena masa iddahnya akan berakhir dengan
melahirkan bayinya atau menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh
hari. Setelah berakhir masa iddahnya, maka dia tidak menerima tawaran bohong
untuk menikah karena dia sudah tidak memiliki suami yang merasa terganggu oleh
lamarannya.
Sindiran untuk meminang dapat berupa ungkapan apa saja yang tidak
jelas dan mengindikasikan kepada keinginan untuk menikahinya, seperti
perkataan: Banyak sekali orang yang memandangimu, menyukaimu, dan
menginginkanmu. Sesunguhnya terdapat orang-orang yang membahasmu karena
menyukaimu. Siapakah yang akan mendapatkan orang sepertimu?[17]
Sedangkan wanita yang menjalani masa iddah karena thalaq bain
seperti thalak tiga, maka diperbolehkan melakukan sindiran untuk meminangnya
namun tidak diperbolehkan secara terang-terangan. Hal ini merupakan analogi
terhadap wanita yang telah ditinggal mati oleh suaminya, karena pernikahan di
antara mereka berdua telah terputus untuk melakukan rujuk. Hal itu disebabkan
oleh Nabi Muhammad saw yang telah bersabda kepada Fatimah binti Qays ketika
dicerai oleh suaminya, Abu Amr bin Hafs dengan thalak ketiganya. Maka Nabi
Muhammad saw menyuruh Fatimah untuk menjalani masa iddahnya di rumah Ibnu Abu
Maktum seraya bersabda: “Apabila engkah telah halal, maka hendaknya engkau
mengabariku.” Ketika selesai masa iddahnya, maka Usamah bin Zaid melamarnya dan
Rasulullah saw menikahkan Fatimah kepadanya.[18]
Demikianlah, sesungguhnya Rasulullah saw telah menyindir Fatimah binti Qais
untuk menikah dan dia masih dalam masa iddahnya ketika beliau mengucapkan:
“Apabila engkah telah halal, maka hendaknya engkau mengabariku.” Maksudnya
adalah apabila masa iddahmu telah berakhir dan sudah halal untuk menikah, maka
kabarilah aku.
Dan sepadan dengan hukum ini adalah wanita yang menjalani masa
iddahnya karena batalnya pernikahan sebab dirinya haram untuk dinikahi oleh
suaminya, seperti rusaknya pernikahan karena satu susuan atau li’an, atau
sebagainya dari segala sebab yang menyebabkan ketidak halalannya untuk sang
suami sebelumnya. Dengan begitu, maka diperbolehkan melakukan sindiran untuk
meminangnya pada masa haidnya.[19]
Sedangkan lafadz-lafadz yang jelas dan terang-terangan dalam
melakukan khitbah atau pinangan adalah: “Nikahlah denganku jika engkau telah
halal atau selesai masa iddahmu,” atau “aku akan menikahimu jika telah selesai
masa iddahmu,” dan yang menyerupainya dari segala bentuk kata sindiran dan menjelaskan
bahwa ia adalah pinangan dan tidak mengindikasikan pada yang lainnya.[20]
2.
Tidak dipinang oleh laki-laki yang lain. Hal ini
berdasarkan hadis Ibnu Umar dari Nabi Muhammad saw, bahwa beliau bersabda:
“Janganlah kalian menjual barang yang telah kalian jual kepada orang lain, dan
janganlah kalian meminang atas pinangan orang lain.”[21]
Dalam riwayat yang lain disebutkan: “Janganlah seorang pemuda menjual barang
yang telah dijual kepada saudaranya, dan janganlah meminang atas pinangan
saudaranya kecuali telah mendapatkan idzin darinya.”
Imam al-Nawawi berkata: Hadis ini jelas-jelas mengharamkan seseorang
meminang atas pinangan saudaranya. Para ulama juga sepakat atas pengharamannya
apabila bagi pelamar atau peminang telah memperjelas ijabahnya, dan dia tidak
memberi idzin dan tidak pula meninggalkannya. Seandainya seseorang meminang
atas pinangan saudaranya dan menikah, maka hal itu adalah perbuatan maksiat,
namun pernikahannya sah dan tidak rusak. Inilah madzhab kami dan madzhab ulama
jumhur. Namun Abu Daud berkata bahwa pernikahan yang seperti itu menjadi rusak
atau batal. Dan dari Imam Malik terdapat dua riwayat seperti pendapat dua
madzhab yang sebelumnya. Di samping itu, golongan ulama dari madzhab Imam Malik
ini mengatakan bahwa pernikahan tersebut menjadi rusak atau batal sebelum sang
suami menyetubuhi istrinya, tetapi tidak rusak atau batal apabila telah
bersetubuh.
Apabia telah mendapatkan ijabah namun tidak memperjelasnya, maka
dalam larangan meminang atas pinangan saudaranya yang lain terdapat dua
pendapat bagi Imam Syafi’i. Keduanya sah dan tidak diharamkan. Sebagian
pengikut madzhab Maliki berpendapat bahwa hal itu tidak diharamkan hingga
mereka rela untuk menikah dan menyebut mahar. Mereka beralasan dengan apa yang
telah kami sebutkan bahwa pengharaman tersebut terjadi apabila telah dicapai
ijabah berdasarkan hadis Fatimah binti Qays bahwa dia berkata: “Abu Jahm dan
Mu’awiyah telah meminangku dan Nabi Muhammad saw tidak mengingkari pinangan
yang satu atas yang lainnya, bahkan beliau meminangnya untuk Usamah.” Namun
dalil ini telah ditolak dengan ungkapan: “Bisa jadi peminang yang kedua tidak
mengetahui pinangan yang pertama. Sedangkan Nabi Muhammad saw meminangnya untuk
Usamah tidak untuk dirinya sendiri. Dan mereka sepakat bahwa apabila seseorang
meninggalkan pinangan karena tidak menyukainya dan mengijinkannya untuk orang
lain, maka pinangannya boleh dilakukan di atas pinangan saudaranya yang. Hal
ini telah dijelaskan dalam hadis tersebut.
Sabda Nabi Muhammad saw: “Atas pinangan saudaranya,” menurut
al-Khattabi dan yang lainnya adalah: Pada hakikatnya adalah pengkhususan
pengharaman jika peminang adalah orang Islam. Namun jika pelamar adalah orang
kafir, maka pinangan tersebut tidak diharamkan. Al-Auza’i juga berpendapat
demikian. Jumhur ulama berpendapat bahwa pinangan atas pinangan orang kafir
juga diharamkan. Berkenaan dengan hadis di atas, mereka menjawab bahwa
pensyaratan dengan “saudaranya” keluar dari kebiasaan umum, maka tidak ada
pemahaman yang diterapkan dengannya. Hal ini seperti dalam firman Allah swt
yang berbunyi: “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut
kemiskinan.”[22]
Dan firman Allah swt yang berbunyi: “Dan anak-anak yang ada dalam
pemeliharaanmu dari istri-istrimu.”[23]
Dan ketahuilah bahwa kebenaran yang ditentukan oleh hadis dan keumumannya
adalah tidak adanya perbedaan antara peminang yang fasik dan tidak fasik.
Ibnu Qasim al-Maliki berkata: Diperbolehkan meminang atas pinangan
orang yang fasiq. Kata khitbah yang berarti pinangan, dalam hal ini
kesemuanya menggunakan harakat kasrah. Sedangkan penggunaannya dengan
harakat dhammah, yaitu khutbah shalat jum’at atau khuhtbah shalat ‘id
(hari raya), atau khutbah haji, dan sebagainya. Dan yang dibacakan ketika akad
nikah adalah khutbah nikah dengan mendammahkannya.
Andaikan larangan meminang atas pinangan saudaranya berdasarkan
keumuman dhzahiriyahnya, niscaya kita akan mengharamkan untuk mengajukan
pinangan seseorang pada seorang wanita yang telah didahului oeh laki-laki
lainnya yang mengungkapkan keinginan untuk meminangnya—dan tidak wajib
memintanya setelah melakukan khitbah—karena hal itu akan menyebabkan bencana
pada wanita yang hendak dipinangnya dan pada orang berikutnya yang ingin meminangnya.
Hal itu dikarenakan wanita yang terpinang tersebut haram untuk didahului oleh
orang lain yang menginginkannya, walaupun pada diri mereka terdapat keutamaan
dan kelebihan daripada orang yang lebih dulu meminangnya. Atau orang yang
melihat wanita yang seandainya dia harus memilihnya sebagaimana diharamkannya
orang yang lebih utama untuk mendahului pinangannya hingga mendapatkan idzin
dari orang yang lebih dulu meminangnya. Dan hal ini tidaklah disyariatkan
oleh hukum-hukum syariat Islam.
Bahkan sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah swt: “Allah
swt tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan ni’mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”[24]
Mengenai hal ini, Imam Malik berkata: Penafsiran terhadap sabda Nabi
Muhammad saw sebagaimana yang kita lihat; “Jangalah salah seorang dari kalian
meminang atas pinangan saudaranya,” yaitu seseorang meminang wanita dan
membiarkannya, mereka berdua telah sepakat terhadap satu mahar atau maskawin
yang telah diketahui dan keduanya telah saling rela bahwa hal itu telah
diyaratkan padanya untuk sang wanita. Maka di sanalah larangan bagi seseorang
untuk meminang atas pinangan saudaranya. Dan tidak bermaksud apabila seorang
laki-laki meminang seorang wanita dan tidak ada kesepakatan antara mereka
berdua serta tidak meninggalkan wanita itu pada sang lelaki agar tidak dipinang
oleh orang lain. Karena hal ini termasuk pada bab fasad atau kejahatan
yang masuk pada manusia.
Dan kita melihat Ibnu Qudamah menjelaskan bahaya yang terjadi pada
wanita yang dipinang dan tidak ada kesepakatan atas kejelasan peminangnya
seraya berkata: Sesungguhnya andaikan seseorang berkeinginan untuk mencegah
seorang wanita dari menikah, maka dia dapat mencegahnya dengan cara
meminangnya.[25]
Membatalkan pinangan
Pinangan sebagaimana yang telah kami sebutkan
adalah perjanjian untuk menikah, bukan pernikahan itu sendiri. Dari sana, maka
membatalkan pinangan bisa sempurna ketika salah satu dari kedua belah pihak
atau kedua-duanya tidak merasakan kesepakatan sebagaimana yang diminta untuk
menyempurnakan perangkat pernikahan. Meninggalkannya salah satu pihak terhadap
pihak yang lain diperkenankan secara syar’i, dengan pertimbangan bahwa pinangan
tidak dianggap sebagai akad dalam pandangan syara’. Bahkan ia hanyalah sebuah
perjanjian untuk menikah. Sebab itu pula, maka pembatalannya tidak mengharuskan
peminang atau yang dipinang untuk melakukan sesuatu yang sistematis sebagaimana
dalam mengakhiri akad pernikahan.
Hanya saja yang kita ketahui dalam kehidupan
kita saat ini adalah bahwa khitbah biasanya mengharuskan memberi hadiah
kepada wanita yang dipinang, biasanya disebut dengan cincin tunangan. Terkadang
beberapa pelamar membayar sebagian atau seluruh maharnya dengan maksud untuk
menegaskan kepemilikannya terhadap wanita yang dipinangnya, atau memenuhi
perlengkapan pengantin. Bisa jadi wanita yang dipinangnya menghadiahi kepada
calon suaminya beberapa hadiah yang sama. Lalu bagaimana hukum Islam tentang
hadiah ini yang saling ditukarkan oleh kedua belah pihak sebagai penyeimbang
dalam pinangan?
Jawaban terhadap pertanyan ini terdapat dua
sisi:
Sisi pertama, dikhususkan dengan mahar
Apabila peminang telah menyerahkan sebagian
atau seluruh maharnya kepada wanita pinangannya, maka dia mendapatkan sebagian
nilai dari harga mahar yang telah dibayarkan untuk pinangan, karena mahar atau
maskawin adalah bagian dari syarat dan ornamen akad nikah. Di samping itu,
karena pernikahan itu belum sempurna, maka wanita tersebut tidak berhak untuk
memiliki mahar, baik sebagian maupun seluruhnya. Dan wanita tersebut harus
mengembalikan mahar dengan bentuknya yang semula jika dia belum menghabiskannya
atau mahar tersebut telah berubah karena telah dipakai atau disimpan di sisi
wanita yang dipinang. Contohnya adalah menyimpan sebagian perlengkapan
pengantin yang telah dipersiapkan, atau menggunakan kendaraan yang telah
diberikan kepadanya sebagai bentuk dari seluruh mahar atau sebagiannya saja.
Sebagian ulama fikih dari madzhab Hanafi
berpendapat tentang tiadanya hak bagi peminang untuk meminta kekurangan mahar
karena telah terpakai. Hal itu disebabkan wanita yang dipinang memiliki kuasa
untuk memakainya karena dia adalah pemilik ketika menggunakannya. Apabila sang
pemilik dengan kuasanya membelanjakan sesuatu yang dimilikinya, maka tidaklah
layak untuk mengembalikan sesuatu yang telah berkurang karena telah dipakai
oleh pemiliknya.
Namun apabila mahar yang diberikannya telah
habis, maka peminang berhak untuk
mendapatkan ganti rugi atas barang yang telah habis atau harga yang setara
dengannya, karena dia telah menyerahkan mahar dengan cara berunding dengan
maksud sebagai jaminan untuk menikah. Apabila pernikahan tidak terjadi, maka
boleh bagi peminang untuk mengambil apa yang telah diberikannya sebagai
jaminan.
Dan tidak diragukan lagi bahwa setiap sesuatu
yang telah diberikan oleh peminang kepada wanita pinangannya dianggap sebagai
mahar atau maskawin pernikahan, apabila mereka berdua telah menganggapnya
demikian. Hal itu seperti cincin tunangan jika mereka berdua telah sepakat
bahwa ia adalah bagian dari mahar.
Apabila persepsi mereka berdua tentang mahar
yang diberikan berbeda, seperti peminang mengklaim bahwa apa yang telah
diberikannya adalah mahar, namun wanita yang dipinang mengklaim bahwa apa yang
telah diberikan kepadanya adalah hadiah pertunangannya, maka hal itu
membutuhkan bantuan saksi jika memang ada. Namun jika tidak terdapat saksi atau
jalan keputusan, maka peminang setelah diambil sumpahnya bisa meminta wujud
mahar yang telah diberikan jika memang ada, atau harganya jika wujud mahar
tersebut telah habis. Imam Nawawi dan Imam
Syafi’i berkata: “Seandainya mereka berdua sepakat untuk menerima harta,
kemudian peminang berkata: “Aku membayarnya sebagai mahar.” Namun wanita yang
dipinangnya berkata: “Tidak, ia hanyalah hadiah.” Jika mereka berdua sepakat
bahwa pemberian itu diucapkan kemudian
mereka berselisih, apakah peminang akan berkata: “Ambillah ia sebagai mahar.”
Ataukah wanita itu akan mengatakan: “Apakah ia hadiah?” Maka pendapat yang
diambil adalah berdasakan perkatannya yang disumpah. Jika mereka berdua sepakat
bahwa pemberian itu tidak diungkapkan dengan ucapan dan keduanya berselisih
tentang niatnya, maka pendapat yang diambil adalah ucapan peminang dengan
disumpah pula. Namun ada yang berpendapat bahwa hal itu tidak perlu disumpah,
baik pemberian itu berupa mahar maupun tidak, makanan maupun tidak.” Ibnu
al-Hammam al-Hanafi berkata: Barang siapa yang telah memberikan sesuatu kepada
wanita pinangannya dan wanita tersebut berkata: “Itu adalah hadiah,” namun
peminang berkata: “Ia adalah bagian dari mahar,” maka perkataan yang diambil
adalah perkataan laki-laki yang meminang, karena dia adalah orang yang memiliki
dan lebih mengetahui terhadap aspek kepemilikannya.[26]
Sisi kedua: berkaitan dengan hadiah
Para ulama telah berbeda pendapat tentang hukum
hadiah yang diberikan oleh peminang kepada wanita pinangannya pada masa
peminangan. Di bawah ini, kita jabarkan pendapat mereka sebagaimana dalam
madzhab yang empat.
Imam Hanafi berpendapat bahwa jika hadiah
tersebut masih berwujud, maka peminang berhak untuk memilikinya kembali,
seperti gelang, cincin, kalung batu permata, jam tangan dan sebagainya.
Namun jika hadiah telah rusak atau habis, maka
peminang tidak berhak untuk meminta gantinya atau harga yang senilai dengannya.
Hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa hadian yang diberikan oleh peminang
kepada wanita yang dipinangnya adalah sebuah hibah. Maka hadiah dihukumi
sebagai sebuah hibah dan hukum hibah tersebut adalah bahwa apabila hibah
tersebut telah rusak atau habis, maka hal itu menjadi terhalang untuk kembali
lagi, artinya dilarang untuk diminta, baik dengan menggantinya atau dengan
harga yang senilai dengannya.
Ibnu Abidin—salah satu ulama yang masyhur dalam
madzhab Hanafi—telah menjelaskan bahwa apabila hadiah itu masih berwujud, maka
untuk mengambil hak peminang dengan meminta kembali barang yang telah
dihadiahkan kepada wanita pinangannya terdapat syarat yang harus diupenuhi,
yaitu harus berdasarkan kerelaan orang-orang yang memiliki kebijakan atau
melalui jalur hukum.
Oleh
karena itu, maka disyaratkan pula tiadanya penghalang yang dapat mencegah
barang tersebut kembali, seperti apabila peminang benar-benar telah memberinya
hadiah baju atau kain namun wanita pinangannya telah mewarnai dengan menter
atau menjahitnya, maka peminang tidak berhak untuk mengambilnya kembali.[27]
Pemaparan di atas menjelaskan tentang madzhab
Hanafi yang menegaskan bahwa hadiah pinangan adalah bagian dari hibah. Menurut
mereka, diperbolehkan mengembalikan hibah kecuali apabila terdapat penghalang
yang dapat mencegah proses pengembalian tersebut. Hal itu seperti rusak atau
habisnya hadiah yang diberikan, seperti pemberian hadiah berupa jam tangan
namun jam tersebut hilang, atau seperti hadiah berupa makanan yang telah habis
dimakan.[28]
Sedangkan menurut madzhab Maliki adalah bahwa
hadiah yang telah diberikan pada masa pinangan tidak perlu dikembalikan sebagai
kesepadanan dari pinangan, baik kesepadanan itu menurut wanita yang
dipinangnnya atau menurut laki-laki yang meminangnya, dan apakah hadiah itu
masih dalam bentuknya atau tidak.
Sebagian ulama dari madzhab Maliki telah
melakukan perincian dalam menghukuminya, yaitu:
Apabila kesepadanan pinangan itu dari pihak
wanita yang dipinang, maka bagi laki-laki yang meminangnya masih berhak untuk
mendapatkan kembali hadiah yang diberikannya, karena dia telah memberikannya
disebabkan oleh pernikahan, dan pernikahan itu masih belum sempurna sehingga
wanita yang dipinang tidak berhak untuk memiliki hadiah tersebut, kecuali jika
mereka berdua telah membuat kesepakatan untuk tidak mengembalikan hadiah jika
pernikahan tersebut gagal dilangsungkan, atau di sana terdapat kebiasaan
masyarakat yang menuntut untuk menerapkan syarat tersebut, karena orang-orang
Islam juga menganut syarat-syarat mereka. Dan diwajibkan melaksanakan syarat
tertentu dan kebiasaan masyarakat seperti syarat yang telah disepakati.
Apabila kesepadanan pinangan dari pihak
laki-laki yang meminang, maka dia tidak berhak untuk mengambil kembali hadiah
yang diberikannya, walaupun hadiah itu masih dalam bentuknya yang semula pada
wanita yang dipinangnya.
Demikian pandangan kami tentang madzhab Maliki
yang sepakat bahwa gagalnya pernikahan jika dari pihak peminang, maka dia tidak
berhak untuk mengambil kembali hadiahnya. Namun apabila gagalnya pernikahan
tersebut dari pihak wanita yang dipinang, maka sebagain dari madzhab Maliki ini
berpendapat terhadap tidak adanya hak pengembalian hadiah kepada peminang, dan
hal ini adalah asal madzhab. Kemudian terdapat sebagian madzhab Maliki ini
bependapat bahwa bagi peminang dalam hal ini memiliki hak pengembalian hadiah.
Pendapat terakhir ini telah diperkuat oleh Imam Ahmad al-Dardir dan lainnya
dari ulama madzhab Maliki. Dan pendapat ini telah difatwakan oleh Imam Ahmad
al-Dardir sendiri.[29]
Madzhab Syafi’i telah berpendapat bahwa sesuatu
yang telah diberikan oleh peminang kepada wanita pinangannya setelah ada
jawaban terhadap pinangannya dan sebelum dilakukannya akad nikah, adakalanya
telah bermaksud memberikannya sebatas hadiah tanpa ada maksud lain seperti
untuk menikahinya, atau tidak bermaksud untuk memberinya sebagai hadiah tetapi
dengan tujuan untuk menikahinya, maka dalam hal itu terdapat hak pengembalian
dari apa yang telah mereka berikan. Jadi, sama saja apakah mereka yang menolak
pinangan tersebut atau mereka membenci pinangan tersebut, maka kesepadanan itu
dari pihak laki-laki.
Penyebab hal itu menurut fikih madzhab Syafi’i
adalah bahwa pinangan tidak menjelaskan apakah sesuatu yang diberikan kepada mereka
adalah hadiah, dan dirinya tidak bersikap ramah terhadapnya kecuali atas dasar
bahwa pernikahannya akan sempurna. Rasulullah saw telah menjelaskan bahwa harta
orang Islam tidak dihalalkan kecuali setelah pemiliknya berbaik hati, beliau
bersabda: “Tidak dihalalkan harta saudaraya bagi siapapun kecuali apa yang
telah diberikan kepadanya dari keramahan dirinya.” Sebab itulah, maka Hujjah
al-Islam, Abu Hamid al-Ghazali sebagai salah satu ulama termasyhur dalam
madzhab Syafi’i berkata: Sesungguhnya
barangsiapa yang mendatangi suatu kaum tanpa ada undangan dari mereka dan
mereka menjamunya dengan sesuatu sebagai rasa malu terhadapnya, maka dia tidak
boleh memakannya.” Selanjutnya Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa keterpaksaan
itu terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
Terpaksa karena sombong dan terpaksa karena
malu
Terpkasa karena sombong adalah seseorang yang
telah mengambil hartanya dengan cara sombong, memaksa, dan mengalahkan.
Sedangkan terpaksa karena malu adalah seseorang telah mengambil harta karena
malu dari temannya.
Imam al-Ghazali berkata: Keduanya adalah haram.
Tidak ada perbedaan antara kebencian mengambil harta dengan kekacauan yang
dilakukan secara terang-terangan dan dengan cara mengambil dengan kekacauan
secara tersembunyi. Sedangkan maksud al-Ghazali dengan kekacauan secara
tersembunyi ini adalah rasa malu.
Al-Rafi’i—bagian dari pembesar ulama madzhab
Syafi’i—berkata: Di setiap tempat terdapat sesuatu untuk manusia dengan maksud
untuk mendapatkan keinginan atau gantinya. Namun apabila dia tidak
menghasilkannya, maka dia tidak boleh memakannya. Atas dasar itulah, maka
apabila seseorang meminang perempuan dan dari pihak perempuan menerimanya
kemudian orang yang meminang memberi sesuatu tanpa menjelaskan bahwa ia adalah
hadiah dan bermaksud untuk menikahinya. Apabila pihak perempuan tidak
menikahkannya, maka pemberian itu tetap menjadi milik mereka.
Inilah hukum dalam madzhab Syafi’i karena dia
tidak bermaksud untuk menjadikannya sebatas hadiah bahkan sebaliknya dengan
tujuan untuk bisa menikahinya. Apabila peminang ketika mengirim sesuatu kepada
pinangannya dengan niat bahwa apa yang telah dikirimkan kepada pinangannya
hanyalah sebatas hadiah, artinya tidak bermaksud agar mereka menikahkannya,
maka kita dapat menemukan hukum dalam madzhab Syafi’i bahwa peminang tidak
boleh mengambil kembali hadiah yang telah diberikan untuk mereka karena akan
berdosa jika dia meminta apa yang telah diberikan olehnya. Hal ini berdasarkan
niatnya sebagaimana yang telah diajarkan oleh Allah swt. Namun semua itu apabila
terjadi sebelum akad nikah. Sebaliknya, apabila peminang telah mengirim hadiah
kepada mereka setelah akad nikah dan jelas bahwa hal itu adalah hadiah, maka
seketika itu pula, dia tidak memiliki hak pengembalian dari mereka, karena ia
telah memperbolehkan kepada mereka untuk menghabiskan hartanya tanpa harus mengganti. Maka dia tidak akan
memintanya, seperti apabila seseorang menyuguhkan makanan kepada tamunya seraya
berkata: Makanlah. Apabila tuan rumah meminta ganti kepada tamunya setelah
perjamuan, maka tamunya tidak layak untuk menggantinya.[30]
Sedangkan menurut madzhab Hambali adalah bahwa
apabila keluarga wanita yang dipinang
telah menjanjikan kepada peminang bahwa mereka akan mengakadnya untuk
putrinya dan tidak menepati janjinya, maka bagi peminang adalah hak untuk
meminta kembali sesuatu yang telah dihadiahkan kepada wanita yang dipinangnya,
karena dia telah memberikan hadiah untuk mendapatkan akad tetapi mereka
mencegah terjadinya akad dengan sebab yang mereka buat.
Apabila penyebabnya adalah kematian wanita yang
dipinang setelah terjadinya kesepakatan menikah antara peminang, wanita yang
dipinang dan pihak keluarga wanita pinangan, padahal peminang telah memberi
beberapa hadiah kepada wanita pinangannya dan wanita itu mati sebelum
terjadinya akad nikah, maka dia tidak memiliki hak untuk meminta kembali
sesuatu yang telah dihadiahkan kepada wanita pinangannya.
Illat hukum ini adalah
bahwa gagalnya akad nikah tidak disebabkan oleh pihak mereka. Maka kematian
tidak bisa diganti dengan lainnya.
Demikian juga ketika laki-laki yang meminang
meninggal dunia setelah dia memberi hadiah kepada wanita pinangannya dan belum
dilakukan akad nikah, maka bagi ahli warisnya tidak memiliki hak untuk meminta
kepada wanita pinangan dan keluarganya agar hadiahnya dikembalikan.
Inilah hukum tentang hadiah yang diberikan
kepada perempuan, kemudian terjadi kepadanan dalam menyempurnakan pernikahan
dan tidak membuahkan akad, atau terjadi kematian sebelum dilangsungkan akad
nikah.[31]
Inilah pendapat para ahli fiqih dari madzhab yang empat tentang
hadiah. Setiap pendapat dari beberapa pendapat yang telah dipaparkan layak untuk diterima. Namun alasan dari
setiap pendapat ini bukan berarti sudah memiliki kepastian dalam kebenarannya,
karena ia hanyalah sebuah dugaan semata.
Akad nikah: arti, rukun, dan syaratnya
Akad nikah adalah perkawinan manusia sebagai
seruan lahiriah dan telah dianjurkan oleh agama. Ia berkaitan dengan
kemaslahatan manusia, baik individu maupun komunal. Tidak selayaknya—dalam
Islam—terdapat hiburan yang sesaat dan persahabatan yang buruk, tidak tegak di
atas pondasi, dan tidak diikat dengan tali pengikat. Sebaliknya, ia mengharuskan bisa mendapatkan anak yang
disepakati dan diridhai oleh kedua pasangan dengan perkawinan yang abadi. Dan
mereka berdua saling berjanji untuk melaksanakan hak-hak yang telah diwajibkan
oleh Allah swt kepada mereka berdua. Kesepakatan ini disebut dengan akad nikah.
Dari Uqbah bin Amir dari Nabi Muhammad saw,
beliau
bersabda: “Syarat yang paling berhak untuk kamu
sempurnakan adalah perkara yang menyebabkan kemaluan wanita
menjadi halal untuk kamu.”[32]
Kata akad menurut bahasa memiliki arti
perjanjian dan menyerahkan tanggungjawab. Inilah makna yang diharapkan ketika
keinginan kedua belah pihak yang mengadakan pernikahan untuk menegakkan jalinan
syar’iyah antara keduanya atas dasar keteguhan yang kuat dengan sesuatu yang
mengiringinya berupa hukum dan tanggungjawab. Sedangkan menurut istilah adalah
kesepakatan dengan tujuan untuk
menghalalkan kenikmatan masing-masing suami istri dari pasangannya. Dan
kesenangannya ini untuk mendapatkan keturunan berdasarkan syariat Islam. Allah
swt berfirman: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah dia
menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berpikir.”[33]
Dalam ayat yang lain Allah swt juga berfirman: “Allah swt menjadikan bagi
kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri
kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu.”[34]
Rukun akad nikah
Ahli fikih berbeda pendapat tentang rukun-rukun
akad nikah. Beberapa perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:
Madzhab Hanafi dan sebagian ulama dari madzhab
Hambali berpendapat bahwa rukun akad nikah adalah sighat akad saja,
yaitu ijab dan qabul, sebagaimana sighat akad lainnya. Sedangkan menurut
madzhab Syafi’i adalah bahwa rukun akad nikah adalah sighat ijab dan
qabul, suami istri, wali, dan saksi.
Menurut madzhab Maliki, rukun akad nikah adalah
sighat, wali, suami istri, dan mahar. Namun sebagian dari madzhab Maliki
ini berpendapat bahwa rukun akad nikah itu ada tiga, yaitu: sighat,
suami istri, dan wali. Perselisihan ulama tentang jumlah rukun akad nikah
merujuk pada beberapa sebab, diantaranya adalah bahwa ulama berselisih tentang
persoalan yang mengharuskan adanya akad nikah. Oleh sebab itu kita jumpai bahwa
mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali misalnya, menganggap bahwa wali adalah
suatu keharusan dalam akad nikah. Waktu itu juga mazhab Hanafi tidak menganggap
wali sebagai suatu keharusan dalam akad nikah, namun dia menganggapnya sebagai
rukun di dalamnya, karena menurut mereka diperbolehkan bagi wanita untuk
menjadi wali akad nikah untuk dirinya sendiri dan orang lain.
Di antara sebab perselisihan mereka yang lain
adalah terkadang bagi sebagiaan perkara yang bukan bagian dari hakikatnya
memiliki kepentingan khusus daripada yang lainnya sehingga ia menjadi seperti
yang lain. Kemudian ulama menyebutnya sebagai rukun majazi padahal
secara hakiki ia bukan bagian dari rukun karena keluar dari hakikatnya,
seperti adanya dua orang saksi. Maka madhab Hanafi dan selain mereka menganggap
bahwa dua orang saksi adalah salah satu syarat sahnya akad nikah. Namun mazhab
Syafi’i atau pembesar mazhab mereka beranggapan bahwa dua orang saksi adalah
salah satu rukun pernikahan, karena bagi dua orang saksi terdapat kepentingan
khusus apabila dihubungkan pada akad nikah.
Atas dasar inilah, maka rukun akad nikah yang
disyariatkan adalah sighat akad dan sepasang suami istri. Ketika eksistensi
sigath secara sar’i membutuhkan sepasang suami istri, maka mayoritas
ahli fiqih meringkas jumlah rukun pernikahan pada sigath. Sedangkan sigath
akad nikah ini sebagaimana dalam sigath
lainnya, yaitu terdiri dari ijab dan qabul.
Ijab adalah ibarat yang muncul pertama kali
dari salah seorang yang melakukan akad yang menginginkan terjalinnya ikatan dan
penyatuannya.
Sedangkan qabul adalah ibarat yang muncul dari
pihak kedua yang melakukan akad dengan bermaksud untuk mengungkapkan
kesepakatan tentang ijab.
Denga penyatuan keinginan atas makna yang
dituju, maka akad menjadi terlaksana.Namun menurut madhab Maliki, ijab adalah
sesuatu yang muncul dari wali perempuan atau wakilnya, baik dengan mendahului
atau mengakhiri. Sedangkan qabul adalah sesuatu yang diungkapkan oleh suami,
atau wali atau wakilnya.[35]
Syarat-syarat akad nikah
Sebelumnya telah kami sebutkan bahwa akad nikah
dalam Islam adalah menjalin hubungan antara suami istri dengan kalimat Allah
swt dan berdasarkan sunnah Rasulullah saw. Pernikahan tidak akan sempurna
kecuali apabila rukun-rukun dan syarat-syaratnya menjadi sempurna. Dan telah
diketahui bahwa rukun adalah sesuatu yang bergantung padanya dengan anggapan
bahwa ia adalah bagian yang mendasar dan termasuk dalam hakikatnya. Sedangkan
pada pembahasan sebelumnya kita juga telah membatasi rukun akad nikah dan
pendapat para ulama tentangnya.
Adapun syarat, maka menjadi keharusan untuk
merealisasikannya hingga akad nikah menjadi sah namun ia tidak diibaratkan
sebagai bagian dari sesuatu dan tidak pula termasuk dalam hakikatnya.
Di antara syarat akad nikah adalah syarat
persidangan atau pengakadan dan syarat sahnya akad nikah.
Adapun syarat persidangan atau pengakadan
adalah syarat di mana akad nikah tidak akan sah kecuali dengan sempurnanya
syarat tersebut. Apabila syarat tersebut tidak ada, maka akad nikah dianggap batal.
Sedangkan syarat sahnya akad nikah adalah
syarat yang apabila terdapat dalam akad maka akan diketahui bahwa hal itu
adalah sebuah akad dan terdiri dari beberapa aturan syarat. Apabila syarat
tersebut tidak ada, maka akad nikah dianggap rusak.
Beberapa syarat akad nikah lainnya adalah:
syarat pelaksanaan, syarat ketetapan, dan syarat perundang-undangan.
Seluruh syarat ini telah diformat untuk menjaga, melindungi dan
mempertahankan hak-hak pasangan suami istri, sehingga pernikahan menjadi aman
dari camrur tangan penguasa dan pemahaman yang barangkali membekas dalam
perlakukan dan tingkah laku manusia. Karena jika pernikahan adalah ikatan mulia
antara laki-laki dan perempuan, maka wajib dijaga dengan pagar yang terbuat
dari syarat yang dapat menjaga tujuannya dan tetap atas pandangan yang agung.
Di bawah ini adalah penjelasan terperinci tentang syarat-syarat tersebut dan
beberapa hal yang tidak terdiri dari syarat tersebut.
Syarat pengakatan akad atau persidangan
Syarat pengakatan atau persidangan terbagi ke dalam beberapa syarat, yaitu syarat yang lazim dalam sighat, syarat yang lazim bagi orang-orang yang mengakad, dan syarat yang lazim bagi suami istri. Apabila syarat tidak ada, maka akad tersebut menjadi gagal.
Syarat pengakadan dalam sighat
Pembahasan yang telah lalu telah kami tunjukkan
bahwa sighat dianggap sebagai rukun akad pernikahan menurut madzhab
Hanafi dan sebagian mazhab Hambali. Sigaht ini diekspresikan dalam ijab
dan qabul. Dengan adanya ikatan dari keduanya, maka terjadilah akad nikah.
Begitu pula, Makna yang dimaksud menjadi terlaksana, yaitu menumbuhkan jalinan
antara laki-laki dan perempuan pada waktu itu juga dan belum terjadi
sebelumnya. pengakadan atau persidangan dalam sighat meliputi beberapa
hal, yaitu:
Syarat pertama:
Harus dengan lafadz yang berfungsi pada makna
pernikahan, kesenangan, mendapatkan keturunan, dan menunjukkan kerelaan pada
waktu itu juga.
Dari syarat ini tampak adanya kebutuhan untuk
menjadikan materi lafadz yang digunakan dalam sighat adalah yang memberi
faedah kepada makna perkawinan untuk mendapatkan kesenangan dan keturunan,
karena setiap akad ditegakkan atas dasar materi yang digunakan dalam
mengarangnya dan menunjukkan kepada makna yang dimaksud. Hal itu dikarenakan ibrah
dalam akad untuk makna, tidak untuk lafadz dan mabni.
Para ahli fikih telah sepakat bahwa pernikahan
diakad dengan salah satu lafadz yang dibuat untuknya, baik secara bahasa maupun
syariat. Keduanya adalah lafadz perkawinan (al-zawaj) dan pernikahan (al-nikah)
dan segala kalimat yang menjadi derivasi dari keduanya.
Menurut madzhab Syafi’i dan Hambali, pernikahan
tidak diakad dengan selain kedua lafadz di atas dan derivasi darinya. Hal itu
disebabkan oleh urgennya akad nikah dan hubungannya dengan tabiat, nasab,
warisah, dan sebagainya. Maka ia menjadi layak apabila lafadz yang digunakan
dalam mewujudkannya adalah lafadz khusus, bukan lafadz perumpamaan atau majazi.
Madzhab Hanafiyah berpendapat bahwa akad nikah
bisa sempurna dengan lafadz apa saja yang dapat menunjukkan terhadap makna
pernikahan, baik lafadz itu adalah lafadz hakiki maupun majazi,
selagi qarinah yang ada menunjukkan bahwa majaz yang dimaksud adalah
perkawinan antara kedua belah pihak, dan di sana tidak terdapat sesuatu yang
menafikan antara makna yang hakiki dengan makna yang majazi.
Sedangkan pendapat madzhab Maliki tidak jauh berbeda
dengan madzhab Hanafi. Mereka sepakat atas kebolehan melakukan akad nikah
dengan lafadz hibah apabila bersamaan dengan penyebutan mahar. Hal ini
sebagaimana mereka berpendapat terhadap kebolehan melakukan akad dengan lafadz
apa saja yang dapat menunjukkan kepemilikan abadi, seperti penjualan dan
pemberian. Sedangkan kepemilikan apabila disertai dengan penyebutan mahar juga
seperti itu, karena dengan penyebutan mahar maka terdapat qarinah yang
jelas bahwa yang dimaksud adalah pernikahan.
Sedangkan lafadz yang layak untuk diucapkan
dalam qabul adalah setiap lafadz yang mengarah kepada maknanya, seperti qabiltu
dan zawwajtu.
Syarat kedua:
Pendengaran setiap orang yang melakukan akad
adalah perkataan yang lainnya beserta pemahaman yang dimaksud secara global.
Tidak disyaratkan adanya pemahaman mufradatnya dan susunannya secara
terperinci. Pada saat itu, syarat ini mengharuskan adanya orang yang melakukan
akad di majlis pengakadan dan merasakan adanya pembicaraan dan pendengaran,
sehingga salah satu keduanya dapat menyempurnakannya dengan ucapan ijab dan
lainnya mendengarkannya, kemudian yang
lainnya menyempurnakannya dengan ucapan ijab dan yang lain mendengarkannya
juga. Dengan begitu, maka akad nikah menjadi sempurna.
Sedangkan apabila salah satu keduanya tidak
hadir dan mengirimkan surat yang menjelaskan permintaannya untuk menikah (ijab)
dengan penjelasan sejelas-jelasnya, dan pihak yang lain memahami maksud dari
surat yang tertulis atau lisan itu, maka perkataannya untuk menikah dapat
menyempurnakan akad nikah. Demikian pula persoalan bagi orang yang bisu atau
tuli, maka isyarat yang bisa dipahami adalah cukup dengan menunjukkan
bukti-bukti yang mengarah kepada ijab dan qabul. Hal itu dengan
mempertimbangkan tidak adanya kemampuan pada salah satu keduanya untuk
mendengar atau mendengarkan, dan hal itu adalah perbuatan udzur yang jelas dan
tidak mencegah terhadap penyempurnaan akad.
Syarat ketiga:
Berada dalam satu majlis ketika melaksanakan
ijab dan qabul sehingga setiap orang yang melakukan akad menjadi tenang untuk
menyempurnakan akad dengan menjalin ijab dan qabul. Karena dengan berlainannya
majlis qabul dari majlis ijab disinyalir tidak adanya kesepakatan untuk
menyempurnakan pernikahan bagi mereka berdua atau salah satu dari keduanya.
Seandainya qabul dapat sempurna dalam majlis yang lain, maka akad tidak
dilangsungkan apabila ijab yang lalu tidak disepakati pada waktunya, sehingga
tidak ada jalinan antara qabul dan ijab dan tidak ada hubungan antara keduanya.
Syarat keempat:
Kesepakatan qabul untuk ijab walaupun dengan
embel-embel. Seandainya wali dari pihak wanita berkata: Aku nikahkan anak
putriku yang bernama Laila denganmu. Kemudian calon suami berkata: aku terima
untuk menikahi Fatimah, maka pernikahan itu tidak diakad karena adanya
perbedaan antara qabul dengan ijab tentang sesuatu yang diakad.
Seandainya wali berkata: Aku nikahkan engkau
dengan Fatimah dengan mahar seribu, kemudian calon suami berkata: Aku terima
nikahnya dengan delapan ratus. Atau calon suami berkata: Nikahkanlah denganku
putrimu Fatimah dengan mahar seribu, kemudian wali berkata: Aku nikahkan engkau
dengannya dengan mahar dua ribu, maka pernikahan tidak terakad, karena
perbedaan qabul dan ijab dalam mahar. Sedangkan mahar, walaupun tidak termasuk
bagian rukun pernikahan, apabila ia disebutkan dalam akad maka ia dianggap
sebagai rukun karena adanya kerelaan untuk menerimanya.
Syarat perakadan bagi orang yang mengakad
Disyaratkan bagi orang yang mengakad harus
tamyiz. Jadi, seandainya dia gila atau anak kecil yang tidak tamyiz, maka dia
tidak bisa melaksanakan tugas tersebut, karena dia tidak mengetahui dampak dari
tingkah laku dan tidak ada maksud terhadap makna pembicaraannya, sehingga
pernikahan tidak diakad dengan ibarahnya.
Syarat perakadan bagi pasangan suami istri.
Bagi mereka berdua diysratakan adanya kepastian
dengan isyarat, atau dengan penyebutan yang menafikan kebodohan. Al-Nawawi
berkata: Disyaratkan bagi setiap pasangan suami istri adanya kepastian.
Seandainya sang wali berkata: Aku nikahkan engkau dengan salah satu putriku,
atau aku nikahkan engkau dengan salah satu dari kedua putriku, atau salah satu
putramu, maka akad nikahnya tidak sah.
Calon suami jangan melakukan akad dengan wanita
yang dia ketahui bahwa ia adalah muhrim baginya. Seandainya dia lakukan, maka
akad nikah menjadi batal.
Calon suami harus beragama Islam, jika calon
istrinya adalah seorang wanita muslimah. Seandainya mengakad laki-laki
non-Islam terhadap wanita muslimah, maka akadnya menjadi batal.
Syarat sahnya akad
Syarat sahnya akad adalah syarat yang
keberadaannya dituntut oleh akad nikah. Apabila syarat tersebut sempurna, maka
sempurna pula pengaruh syariat terhadap akad. Apabila syarat darinya tidak ada,
maka akad pernikahan menjadi rusak. Sedangkan akad yang rusak tidak dapat
menghalalkan seorang wanita untuk laki-laki. Namun apabila pengaruh syariat
masuk ke dalamnya, maka pengaruh syariat memiliki akibat, yaitu: kewajiban
membayar mahar untuk istri, adanya iddah bagi calon istri, dan kepastian nasab
bagi anak-anaknya. Dengan anggapan bahwa
apabila salah satu syarat pengakadan tidak ada, maka akad menjadi batal dengan
artian bahwa seorang wanita tidak dihalalkan untuk laki-laki. Pengaruh syariat
yang telah kami isyaratkan dalam akad yang rusak tidak berpengaruh pada akad
tersebut sebagai hasil tiadanya syarat dari syarat sahnya akad.
Syarat sahnya pernikahan, yaitu:
Syarat sahnya pernikahan terdiri dari syarat
sahnya dalam sighat, dan syarat sahnya dalam pasangan suami istri.
Sedangkan syarat sahnya dalam mengungkapkan sighat
terdiri dari tiga hal, yaitu:
Syarat pertama, sighat harus terlaksana
Hal itu harus menunjukkan realisasi maknanya
dan akibat dari pengaruhnya pada waktu itu juga tanpa harus menyandarkannya
pada masa mendatang dan tidak pula menggantungkannya terhadap syarat yang tidak
terjadi pada waktu itu. Hal itu seperti perkataan laki-laki kepada seorang
wanita: aku menikahimu dengan mahar sekian, kemudian wanitanya berkata: aku
menerima. Dengan begitu, maka pengaruh akad berakibat padanya sejak
permulaannya kapan dia menepati setiap syarat yang disandarkan kepada sighat
pada masa mendatang.
Apabila disandarkan kepada sighat akad
pada zaman mendatang, maka akad tidak dilakukan dan hal itu dengan menjadikan
masa mendatang sebagai permulaan bagi ketetapan hukum akad dan akibat dari
pengaruhnya. Hal itu seperti seorang pemuda yang mengatakan kepada wanitanya:
Aku menikahimu minggu depan atau awal bulan depan, kemudian wanitanya
mengatakan: Aku terima nikahmu.
Pernikahan tersebut tidak dibenarkan karena
menggunakan sighat seperti itu, baik ketika mengucapkannya atau ketika
menepati janji yang telah diucapkan pada masa mendatang, karena akad
nikah—dengan urgensitasnya—menuntut agar supaya orang yang melakukan akad tidak
mendahulukan akad kecuali ketika masing-masing dari mereka berdua telah
merasakan ketenangan dan sempurnanya kerelaan. Untuk kasus di atas, penyandaran
akad pada masa mendatang menunjukkan tidak adanya ketenangan dan keraguan untuk
menjalin hubungan dengan pasangannya, dan hal itu telah menyalahi tujuan baik
dari pernikahan. Di samping itu, bahwa akad nikah adalah bagian dari akad
kepemilikan dan para ahli fikih telah menetapkan bahwa setiap akad
mengindikasikan kepemilikan pada saat itu juga dan tidak diperbolehkan untuk
menangguhkannya pada masa mendatang.[36]
Syarat kedua, sighat harus bersifat
abadi
Sighat yang
diungkapkan harus bersifat abadi dengan artian tidak dibatasi oleh waktu,
karena asal dalam pernikahan adalah bermaksud dengan pergaulan abadi. Apabila
membatasi pernikahan dengan waktu tertentu,
maka sighat yang diwaktukan terdapat dua macam, yaitu: pertama,
pernikahan yang bermasa dan sighat di dalamnya menggunakan lafadz yang
sah seperti zawaj atau nikah. Dan hal itu dengan menghadirkan dua orang
saksi kemudian calon suami berkata kepada istrinya:
Aku menikahimu selama satu bulan atau satu
tahun atau selama aku bermukim di negeri ini. Kemudian istrinya berkata: aku
terima. Jumhur ulama berpendapat bahwa akad nikah seperti ini tidaklah sah
karena tiadanya salah satu syarat dari syarat sahnya akad, yaitu menggunakan sighat
yang abadi.
Diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa dia
berkata: Apabila menyebutkan waktu yang tidak bisa dipastikan apakah mereka
berdua masih bisa hidup atau tidak, seperti seratus tahun atau lebih, maka
nikahnya sah, karena hal itu memiliki artian abadi dan ibrah dalam akad yang mengacu
pada makna, bukan pada lafadz. Namun ulama lain dari madzhab Hanafi berpendapat
bahwa hal itu juga dianggap menggunakan waktu; karena pengabadian bagian dari
syarat nikah, maka perwaktuan dapat membatalkannya, baik dengan waktu yang
panjang maupun singkat.[37]
Kedua, pernikahan mut’ah. Sighat dalam
nikah ini dengan menggunakan lafadz mut’ah. Dalam nikah ini juga sama, yaitu
dengan menentukan waktu atau tidak, dan dengan menghadirkan saksi atau tidak.
Contohnya adalah dengan perkataan laki-laki kepada perempuan: aku akan
bersenang-senang denganmu selama satu bulan atau satu tahun atau selama tinggal
bersamamu. Kemudian wanita itu berkata: aku terima. Maka nikah yang bermasa
adalah batil, baik mengikatnya dengan waktu yang sudah diketahui atau tidak,
dan hal itu adalah nikah mut’ah.[38] Pernikahan mut’ah adalah pernikahan yang
batil menurut jumhur umat Islam dari kalangan ahl sunah dan tidak ada yang
memperbolehkannya kecuali syiah Imamiyah. Pada pembahasan berikutnya akan kami
gambarkan pendapat mereka, dan kami jelaskan kepalsuan dan kebatilan mereka
setelah menyelesaikan pembahasan tentang syarat sahnya nikah ini.
Syarat ketiga, menyempurnakan sighat
dengan menghadirkan dua orang saksi
Hal itu untuk menjaga hak-hak setiap pasangan
suami istri di hadapan pasangannya jika seandainya di antara mereka berdua
terjadi perselisihan dan salah satu dari mereka mengingkari pernikahannya. Di
samping itu, maksud hakiki dalam pernikahan adalah penyiaran dan pengumuman
sekiranya diketahui bahwa fulanah adalah istri dari si fulan. Dari Aisyah ra,
dia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “Umumkanlah pernikahan ini dan
siarkanlah di masjid-masjid dan tabuhlah rebana untuknya.” Abu Isa berkata: Ini
adalah hadis gharib hasan dalam babnya. Isa bin Maimun al-Anshari telah
melemahkan hadis ini. Dan Isa bin Maimun ini adalah perawi yang telah
meriwayatkan hadis dari Ibnu Abu Nahih al-Tafsir, seorang perawi yang stiqah.[39]
Dengan adanya hal itu, maka di antara manusia tidak ada yang menduga dalam
kaitannya dengan tabiat mereka dan bisa jadi dugaan dan buruk sangka terjadi
apabila siaran untuk menikah tidak sempurna. Dan paling rendahnya pengumuman
adalah dengan hadirnya dua orang saksi.
Al-Daruqutni telah meriwayatkan hadis dari Nabi
Muhammad saw bahwa beliau bersabda: “Tidak ada pernikahan kecuali dengan
persaksian.” Dari Aisyah ra bahwa Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada
pernikahan kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil. Dan
pernikahan yang tidak mengacu pada cara seperti itu adalah batil.[40]
Dari Abu Hurairah dari Nabi Muhammad saw
bersabda: Seorang gadis tidaklah dinikahkan kecuali dimintai izin darinya dan
seorang janda tidak dinikahkan hingga dimintai pendapat darinya.” Kemudian
Rasulullah saw ditanya: “Wahai Rasulullah saw! Bagaimana bentuk izin yang
dimaksud?” beliau bersabda: “Yaitu dengan berdiam diri.” Sebagian orang
mengatakan bahwa jika seorang gadis tidak dimintai izin dan tidak menikah
kemudian seorang laki-laki memperdayanya dengan menghadirkan dua orang saksi
palsu yang menyatakan bahwa laki-laki tersebut telah menikahi gadis itu dengan
kerelaan dari sang wanita, kemudian hakim menetapkan pernikahannya padahal sang
suami mengetahui bahwa saksi tersebut adalah bohong, maka laki-laki tersebut
boleh menyetubuhinya dan ia dianggap pernikahan yang sah.[41]
Adapun syarat adil bagi dua orang saksi, maka
mayoritas ulama dari madzhab Syafi’i dan Maliki telah menekankannya, beitu pula
dengan riwayat dari Imam Ahmad yang berkaitan dengan hadis Nabi Muhammad saw
yang berbunyi: “Tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya wali dan dua orang
saksi yang adil.” Sedangkan urgensi dari akad nikah yang tidak layak untuk
disempurnakan dengan adanya dua orang saksi yang fasik, maka persaksiannya
tidak diterima. Apabila madzhab Maliki telah memperbolehkan persaksian untuk
menutupi keadaan yang ada, maka kita telah mendapatinya juga pada sebagian
ulama madzhab Syafi’i. Kecuali madzhab Hanafi, mereka tidak mensyaratkan adanya
keadilan pada dua orang saksi dengan pertimbangan bahwa persaksian dalam hal
itu dimaksudkan untuk pengumuman, dan hal ini bisa terealisasi dengan adil atau
fasiknya saksi, terlebih lagi bahwa orang fasik pada hakikatnya bisa mengurusi
perwalian untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain. Lalu bagaimana mungkin
persaksiannya tidak diterima dalam suatu akad nikah.
Sedangkan syarat adanya kekebasan (bukan budak)
pada dua orang saksi menurut madzhab Syafi’i dan disepakati pula oleh madzhab
Hanafi adalah karena dalam akad nikah terdapat kepentiangan dan urgensi dalam
kehidupan yang mengharuskan adanya saksi. Dan Imam Ahmad berbeda dengan mereka
seraya meriwayatkan bahwa persaksian budak sahaya diperbolehkan selama dia bisa
dipercaya, jujur dan bertakwa.
Syarat sahnya dalam pasangan suami istri
1.
Tidak ada
sebab yang mengharamkan pernikahan antara suami istri dengan pengharaman yang
abadi atau waktu tertentu. Hal itu seperti menikahi saudarinya atau ponakannya
baik dari nasab maupun susuan. Apabila penyebab pengharaman ini tidak diketahui
oleh mereka dan akad nikah telah sempurna, maka pernikahannya dianggap rusak.
Namun apabila mereka mengetahuinya bahwa calon istrinya adalah muhrim baginya,
maka akad nikahnya adalah sesat.
2.
Kcocokan
antara suami dan istri apabila salah satu dari keduanya tidak terdapat
kemampuan, dan yang menikahinya bukan asal atau furu’nya yang diketahui sebelum
akad dengan pilihan yang baik, atau keduanya tidak diketahui pada waktu itu.
Contoh dalam hal itu adalah apabila yang menikahinya adalah saudaranya atau
pamannya atau yang menikahinya adalah asal atau furu’nya yang telah diketahui
sebelum akad dengan buruknya pilihan.
Dan yang berhubungan dengan syarat ini adalah
tidak mengurangi mahar dari mahar mistil. Kecocokan telah dianggap sebagai
syarat sahnya pernikahan bagi orang yang tidak memiliki kemampuan, baik
laki-laki maupun perempuan karena kemaslahatan setiap pasangan—dalam kondisi
seperti ini—tergantung pada kecocokan yang ada.
3.
Calon
suami hendaknya sepadan dengan calon istri. Apabila wanita yang baligh dan
berakal menikahkan dirinya padahal dia memiliki wali dari pihak ayah dan
sebelum dilangsungkannya akad mereka tidak rela karena tidak adanya kecocokan,
karena para wali merasa bangga dengan kekeluargaan yang mulia dan mengagungkan
kekeluargaan yang jelas. Sedangkan hak keduanya untuk menikah telah digugurkan
oleh kerelaannya tanpa adanya kecocokan.[42]
Jika wanita itu menikahkan dirinya tanpa adanya kecocokan, maka pernikahannya
menjadi rusak, walaupun sang wali memperbolehkannya setelah terjadinya akad
nikah. Pernikahan yang telah diakad dengan cara yang rusak tidak akan berubah
menjadi sah dengan adanya kebolehan, karena pengaruh dari kebolehan adalah
dalam kebenaran, bukan dalam kerusakan.[43]
Syarat pelaksanaan
Yaitu syarat yang menjadikan akad terlaksana
dengan kesempurnaan syarat tersebut. Akad yang terlaksana adalah akad yang mana
pengaruh syariatnya memiliki dampak pada pelaksanaannya. Oleh karena itu, maka
orang yang mengakad haruslah orang yang memiliki hak dalam menguasai akad
tersebut. Dan orang yang mengakad ini harus menyenpurnakan syarat-syaratnya
agar akadnya menjadi terlaksanan. Apabila syaratnya tidak ada, maka akad
tergantung pada kebolehan orang yang memiliki hak untuk memperbolehkan.
Syarat-syarat ini terdiri dari beberapa hal, yaitu:
Syarat pertama, orang yang mengakad
harus baligh
Jika seorang anak kecil yang
tamyiz menikahkan dirinya, maka pelaksanaan akad nikah tergantung kebolehan
walinya. Karena pernikahan dimaksudkan untuk kemaslahatan, dan kemaslahatan itu
terkadang menjadi samar bagi seorang anak kecil walaupun sudah tamyiz. Hal itu
disebabkan oleh sedikitnya pengalaman dalam kehidupan dan kurangnya pengetahuan
tentang suatu hukum.
Demikian pula disyaratkan
bagi orang yang mengakad agar berakal dan merdeka. Jika dia kurang waras namun
ketidak warasannya tidak sampai mencapai batasan gila dan masih dalam tingkatan
anak kecil yang tamyiz, maka akadnya menjadi sah tetapi masih tergantung pada
kebolehan walinya. Demikian pula jika dia adalah seorang budak, karena akad
nikahnya budak tergantung kebolehan tuannya. Jika tuannya membolehkannya, maka
akad nikah dilaksanakan, namun jika tidak, maka akad nikahya batal.
Syarat kedua, orang yang mengakad bukan
wali jauh (wali al-ab’ad)
Jika di sana masih terdapat wali yang paling
dekat (wali al-aqrab). Jika hal itu terjadi, maka akad nikah tergantung
padakebolehan wali yang paling dekat. Jika paman menjadi wali dalam akad nikah
padahal di sana terdapat saudara kandungnya, maka akad nikah tersebut
tergantung pada kebolehan saudara kandungnya. Karena yang berhak mengadakan
akad nikah ini adalah saudara kandung, bukan pamannya. Maka pada waktu itu
juga, akad nikah tergantung kebolehan orang yang berkah mengadakannya.
Syarat ketiga, orang yang mengakad bukan
orang yang mendapatkan mandat namun menyalahi aturan orang yang memberi mandat.
Jika dia telah menyalahi aturan orang yang
memberi mandat, maka akad nikah tergantung kebolehan orang yang memberi mandat.
Jika seandainya seseorang memberi manda pada orang lain agar dia menikahkan
dirinya dengan wanita tertentu atau dengan mahar tertentu, kemudian orang yang
mendapatkan mandat ini menikahkannya dengan wanita lain atau dengan mahar yang
lebih banyak, maka akad nikahnya tidak terlaksana kecuali apabila orang yang
memberi mandat telah membolehkannya dalam dua hal, karena orang yang
mendapatkan mandat telah menyalahi aturan pertama dari orang yang memberi
mandat dalam persoalan calon istri, dan telah menyalahi aturan kedua dari orang
yang memberi mandat dalam persoalan mahar.
Syarat keempat, orang yang mengakad
bukan orang yang mencampuri urusan orang lain (fudhuli)
Orang yang mencampuri urusan orang lain (fudhuli)
adalah orang yang melakukan akad nikah untuk orang lain yang bukan urusannya
(tidak menjadi wali untuk mereka). Jika orang yang turut campur ini (fudhuli)
melakukan akad nikah untuk yang lainnya,
maka akad nikah tersebut tergantung kebolehan orang yang diakad,
terlebih lagi jika orang yang turut campur (fudhuli) ini menjadi wali
pada salah satu pihak yang diakad.
Apabila dia menjadi wali pada pihak yang diakad
dan mencampuri urusan kedua belah pihak atau salah satu pihak, maka akad nikah
dihentikan dan menjadi rusak bagi kedua belah pihak, karena tidak adanya
penyatuan keinginan dalam makna yang dimaksud.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa akad nikahnya
orang yang fudhuli adalah batal, walaupun orang yang lebih berhak
melakukannya telah memberinya izin, karena maksud yang dituju adalah pengaruh
yang membekas padanya, dan orang yang mencampuri urusan orang lain tidak bisa
memberi kesan terhadap pengaruh akad, sehingga dia tidak boleh melakukan akad.
Namun madzhab Hanafi menolak pendapat ini
karena tidak ada bahaya dalam menggantungkan akad pada kebolehan orang yang
memiliki hak untuk memboehkannya, bahkan di sana terdapat ketetapan manfaat
apabila di sana terlihat adanya manfaat. Kapanpun membolehkannya, maka
pengaruhnya berkesan padanya sebagaimana ia berkesan pada akad yang
dilaksanakan.
Syarat ketetapan[44]
Syarat ketetapan (paten) adalah syarat yang
menentukan akad nikah agar menjadi tetap atau paten dan tidak ada seorangpun
dari kedua pasangan atau lainnya untuk merusak akad nikah tersebut dengan
alasan tidak adanya penerimaan (qabul) yang sempurna ketika
mengadakannya. Jika seorang bisa merusaknya, maka akad nikah tersebut tidak
tetap atau paten.
Jumhur ulama fiqih berpendapat bahwa akad nikah
tidak menerima pilihan bersyarat (khiyar al-syarth) sebagaimana ia tidak
menerima pilihan yang bergantung pada mimpi. Madzhab Hambali percaya kepada
syarat yang tidak dilarang oleh syariat. Jika salah seorang dari pasangan calon
suami istri mensyaratkan adanya suatu sifat pada pasangannya dan terbukti bahwa
syarat tersebut tidak ada ketika akad nikah, seperti keperawanan, atau
mensyaratkan pada pasangannya agar menunaikan suatu pekerjaan yang bermanfaat
untuknya namun dia tidak menunaikannya, seperti syarat belum menikah—maka bagi
orang yang mengajukan syarat terdapat hak untuk merusak akad nikah demi
kemaslahatannya.
Wanita-wanita yang muhrim
Hukum paling mencuat ke permukaan yang telah
dikandung oleh al-Qur'an adalah hukum-hukum yang berkaitan dengan wanita
muslimah. Di antaranya adalah ketentuan wanita yang dilarang untuk dinikahi
apabila tanda-tandanya menjadi jelas. Allah swt berfirman: “Dan janganlah
kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa
yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci oleh Allah
swt dan seburuk-buruknya jalan yang ditempuh. Diharamkan atas kamu mengawini
ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara
ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibu yang menyusui kamu, saudara perempuan
sepersusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang ada dalam
peliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur
dengan istrimu itu dan sudah kamu ceraikan, maka tidak berdosa jika kamu
mengawininya, dan diharamkan bagi kamu istri-istri anak kandungmu (menantu),
dan menghimpunkan dalam perkawinan dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang
telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah swt maha pengampun lagi maha
penyayang. Dan diharamkan pula bagi kamu mengawini wanita yang bersuami, kecuali
budak-budak yang kamu miliki. Allah swt telah menetapkan hukum itu sebagai
ketetapannya atas kamu dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian.”[45]
Di antaranya juga firman Allah swt yang
berbunyi: “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak wanita yang mu’min lebih baik daripada wanita yang
musyrik walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang
musyrik dengan wanita-wanita mu’min sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak
yang mu’min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu.”[46]
Allah swt berfirman: “Wahai orang-orang yang
beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman,
maka hendaklah kamu uji keimanan mereka. Allah swt lebih mengetahui tentang
keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka benar-benar
beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada suami-suami mereka dari
orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan
orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.”[47]
Allah swt juga telah berfirman: “Dan tidak
boleh kamu menyakiti hati Rasulullah saw dan tidak pula mengawini
istri-istrinya selama-lamanya sesudah dia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu
adalah amat besar dosanya di sisi Allah swt.”[48]
Di samping itu, sunnah Nabi Muhammad saw juga
mengandung beberapa hukum yang mengharamkan sebagian wanita yang tidak
dijelaskan oleh nash dalam ayat-ayat al-Qur'an. Kesemuanya itu menyeru pada
kita untuk merenungkan ayat-ayat tersebut dan hadis-hadis yang memungkinkan
untuk merenungkan rahasia yang tersembunyi tentang keharaman orang yang
dilarang oleh Allah swt dan Rasulullah saw untuk dinikahi.
Hikmah larangan menikah dengan beberapa wanita
Kita perhatikan dalam ayat al-Qur'an pada
pembahasan sebelumnya, bahwa ia mengandung pengharaman beberapa wanita yang
digambarkan dengan kekerabatan nasab atau kekerabatan dari susuan atau
kekerabatan dari jalinan kekeluargaan. Tidak diragukan lagi bahwa kekerabatan
yang berhubungan di antara manusia mengajak pada jalinan yang kuat, hubungan
yang menyenangkan, banyaknya membaur, saling mengasihi, belas kasihan, tolong
menolong, dan berbuat baik di antara mereka. Di sana juga bisa menjadin
hubungan kekerabatan yang dapat mengangkat perasaan manusia mencapai derajat
keagungan, kemuliaan, dan kemampuan. Contoh dari perasaan manusiawi ini dan
makna-makna penciptaan yang luhur, tidak layak apabila terlihat dalam
kebingungan dan kekacauan serta tidak dibenarkan untuk menghasilkan keadaan
yang berbahaya, atau emosi khusus. Dari sini, Allah swt telah mengharamkan
pernikahan di antara orang yang memiliki hubungan kekerabatan yang dekat atau
yang menyerupai mereka dalam hubungan dan jalian yang kuat, karena hubungan
antara sepasang suami istri mengharuskan kewibawaan dan kesopanan setelahnya.
Bahkan barangkali menuntut pengorbanan dan kehinaan yang terkadang di antara
sepasang suami istri terjadi perdebatan dan tindakan yang sampai pada tingkat
perbedaan dan perselisihan yang tidak terpuji di antara sesama kerabat.
Barangkali perselisihan antara pasangan suami istri bisa sampai—terkadang—pada
jalur yang tidak mungkin menebusnya atas dasar perbedaan di antara mereka
kecuali dengan memutus hubungan antara keduanya dan dengan cara perceraian.
Cara seperti itu adalah bentuk dari perpisahan yang bisa merembet—biasanya—pada
permusuhan dan kebencian antara kedua belah pihak. Setelah itu tidak mudah
untuk mendamaikan kembali keretakan yang telah dihasilkan antara keduanya. Hal
ini adalah sisi yang tidak layak untuk dihadapi oleh hubungan-hubungan
kekerabatan yang dekat atau oleh orang yang setingkat dengan mereka dalam
keteguhan hati dan tambahan cinta. Oleh sebab itu, menjadi keharusan untuk melingkupi
hubungan kekerabatan mereka dengan pagar yang dapat menjaganya dari ketegangan
hubungan pernikahan dan macam-macam perselisihan yang terkadang dihasilkan oleh
pasangan suami istri. Dan hendaknya melindungi ibu atau saudara-saudara
perempuan dari hal-hal yang seperti itu dengan cara penghormatan, kecintaan dan
kasih sayang yang berangkat dari nurani yang sehat dan ajaran samawi (Islam).
Oleh sebab itu, kita banyak menjumpai wanita-wanita yang diharamkan dalam Islam
juga diharamkan pada masa jahiliyah.
Macam-macam pengharaman
Pertama, pengharaman
abadi. Pengharaman abadi adalah pengharaman yang sebab atau tempat bergantung
dari ketetapannya adalah hubungan manusiawi yang paten dan tidak menerima
perubahan, seperti bentuk peribuan, persaudaraan dan sebagainya.
Kedua, pengharaman
yang berwaktu, yaitu pengharaman yang sebab dan tempat bergantung dari
ketetapannya adalah sifat yang menerima penafian, seperti kemusyrikan bagi
wanita musyrik, menikahi wanita yang bersuami, adanya masa iddah bagi
wanita yang sedang menjalani masa iddahnya, dan sebagainya... Di bawah ini
adalah penjabaran dari dua macam pengharaman di atas.
Pertama, pengharaman abadi
Penyebab dari pengharaman abadi terbatas pada
tiga macam hubungan, yaitu:
1.
Hubungan
nasab, yaitu hubungan yang muncul disebabkan oleh faktor melahirkan.
2.
Hubungan
susuan, yaitu hubungan yang muncul disebabkan oleh faktor wanita yang menyusui
anak lain.
3.
Hubungan
kekeluargaan, yaitu hubungan yang mucnul disebabkan oleh faktor adanya pernikahan.[49]
1. Wanita yang diharamkan sebab nasab
Dalam al-Qur'an terdapat
ayat yang membatasi wanita-wanita yang diharamkan karena adanya hubungan nasab.
Hal itu adalah firman Allah swt yang berbunyi: “Diharamkan atas kamu
mengawini ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang
perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang
perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan.” [50]
Ayat ini menjelaskan bahwa wanita yang diharamkan
karena faktor nasab ini ada empat macam, yaitu:
1.
Asal dari
para ibu dan seterusnya ke atas. Maksud dari asal di sini adalah ibu dari
seorang laki-laki dan ibunya ibu (nenek) dan seterusnya ke atas. Ibunya ayah,
ibunya kakek dari ayah atau ibu dan seterusnya ke atas.
Dalil dari pengharaman pernikahan dari ibu ini
jelas terdapat dalam nash al-Qur'an, yaitu firman Allah swt yang berbunyi: “Diharamkan
atas kamu mengawini ibu-ibumu.” [51]
Sedangkan pengharaman para nenek, maka
berdasarkan perumpamaan dari lafadz ibu (um) yang dimaksudkan pada
asalnya. Hal itu kita dapatkan dengan jelas dalam firman Allah swt yang
berbunyi: “Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat itulah ummul kitab,”[52]
yaitu asal atau pokok-pokoknya. Begitu pula firman Allah swt yang berbunyi: “Dan
di sisinya terdapat ummul kitab.”[53]
Di samping itu, Allah swt telah mengharamkan
saudara-saudara ayah yang perempuan (bibi) dan saudara-saudara ibu yang
perempuan (bibi) dengan ayat al-Qur'an yang mulia, yaitu firman Allah swt yang
berbunyi: “Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu, anak-anakmu yang
perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang
perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan.” [54]
Saudara-saudara ayah dan ibu yang perempuan
adalah anak-anak dari nenek. Maka nenek diharamkan untuk dinikahi dan mereka
lebih dekat dengan dalil ayat al-Qur'an atau menjadi qiyas ula atau
qiyas jali. Hal itu adalah bukti perkataan atas orang yang diam dan
lebih utama dalam hukum daripada orang yang mengatakan. Hal itu seperti dalil
dalam firman Allah swt tentang penjagaan kedua orang tua dan tidak boleh
menyakitinya dengan firmannya yang berbunyi: “Maka sekali-kali janganlah
kamu mengatakan kepada keduanya dengan perkataan “ah" dan janganlah kamu
membentak mereka.”[55]
Maka mencaci atau memukul keduanya adalah perbuatan haram yang lebih utama.
2. Cabang dari anak-anak dan seterusnya ke bawah. Maksud
dengan cabang adalah anak perempuan dan keturunannya, serta cucu perempuan dari
anak laki-laki dan keturunannya. Hal itu dikarenakan ayat al-Qur'an telah
menegaskan tentang keharaman anak kandung dalam firman Allah swt: “Diharamkan
atas kamu mengawini ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan.” [56]
Sedangkan pengharaman yang lainnya dari cabang
yang ada adalah dari ayat al-Qur'an dengan gambaran bahwa yang dimaksud dengan
anak perempuan adalah setiap cabang atau keturunan dengan jenis kelamin
perempuan. Atau pengharamannya karena adanya ijma’ atau adanya dalil ayat
al-Qur'an, karena ayat al-Qur'an telah menegaskan tentang pengharaman atas
perempuan dari saudara laki-laki dan perempuan dari saudara perempuan. Dan
tidak diragukan lagi bahwa cucu perempuan dari anak lak-laki dan cucu perempuan
dari anak perempuan—dan seterusnya—adalah lebih kuat kekeluargaannya daripada
anak perempuan dari saudara laki-laki dan anak perempuan dari saudara
perempuan. Maka pengharaman anak perempuan dari anak laki-laki (cucu) dan anak
perempuan dari anak perempuan (cucu) adalah lebih utama.
Mengenai hal ini, ulama ahli fiqih telah
memaparkan tentang anak zina, apakah ia diharamkan untuk ayahnya atau tidak.
Ulama telah berbeda pendapat tentang persoalan
ini dengan pembahasan sebagai berikut:
Pendapat pertama, anak zina diharamkan
untuk ayahnya, karena dia adalah anaknya yang sebenarnya dan telah diciptakan
dari air maninya dan kenyataan yang terjadi tidak diangkat. Oleh sebab itu
pula, maka anak zina juga diharamkan untuk menikahi ibunya berdasarkan
kesepakatan ulama. Kemudian anak zina yang perempuan juga anak dari ayahnya
dalam artian bahasanya. Ayat al-Qur'an dengan jelas menerangkan tentang
keharaman anak perempuan: “Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu,
anak-anakmu yang perempuan.”[57]
Hal ini adalah pendapat madzhab Hanafi dan Imam Ahmad bin Hanbal serta Imam
Malik dalam salah satu pendapatnya yang telah diriwayatkan dari Ibnu al-Qasim.
Di antara yang memperkuat pendapat mereka
adalah riwayat seorang sahabat yang berkata: “Wahai Rasulullah saw. Sesungguhnya
aku telah menzinahi seorang perempuan pada asa jahiliyah. Apakah aku boleh
menikahi putrinya? Rasulullah saw bersabda: “Aku tidak tahu hal itu dan tidak
baik bagi seseorang untuk menikahi wanita yang telah lahir dari anaknya
berdasarkan apa yang telah muncul darinya.”
Pendapat kedua, anak zina bukanlah
muhrim untuk ayahnya, karena peranakan dibuat atas dasar hukum, yaitu peranakan
secara syariah, bukan peranakan secara hakiki. Di sini, hal itu dinafikan
karena anak zina tidak dinasabkan pada orang yang melakukan zina berdasarkan
sabda Nabi Muhammad saw: “Anak berdasarkan tempat tidur dan orang yang berzina
hanya mendapatkan kecelakaan.” Jadi, selama nasabnya tidak ditetapkan kepada
ayahnya, maka keharamannya juga tidak ditetapkan untuknya. Hal ini seperti
kehormatan yang berlaku pada setiap hak, karena wanitanya dianggap sebagai
orang asing dari orang yang melakukan zina, maka dia tidak diharuskan untuk
memberi nafkah, tidak halal untuk bertatapan dengannya, tidak ada kuasa
atasnya, dan tidak ada pewarisan antara mereka berdua. Pernyataan ini adalah
pendapat dari Imam Syafi’i.
Kami melihat bahwa jumhur ulama mengharamkan
anak zina terhadap ayahnya dan hal itu lebih kami terima. Karena ia sesuai
dengan beberapa tabiat yang dikukuhkan bahwa ia adalah anaknya secara hakiki
walaupun tidak dinasabkan secara syariat. Terlebih lagi adalah bahwa mengambil
pendapat yang terakhir ini lebih berhati-hati karena kesalahan dalam
mengharamkan lebih ringan daripada kesalahan dalam menghalalkannya.
3.
Cabang dari orang tua dan
seterusnya ke bawah. Maksud dari hal itu adalah saudara, baik saudara kandung,
saudara seayah, maupun saudara seibu, dan juga mencakup semua keturunan dari
mereka, baik anak perempuan maupun anak perempuan dari anaknya mereka. Hal itu
seperti anak perempuan dari saudara laki-laki dan anak perempuan dari anak
perempuannya saudara laki-laki dan seterusnya ke bawah. Anak perempuan dari
anak laki-lakinya saudara laki-laki dan seterusnya ke bawah. Demikian pula
dengan anak perempuan saudara laki-laki, anak perempuan dari anak perempuannya
saudara perempuan dan seterusnya ke bawah. Serta anak perempuan dari anak
laki-lakinya saudara perempuan dan seterusnya ke bawah.
Dalil atas pengharaman mereka semua adalah
firman Allah swt yang berbunyi: “Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu,
anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara
ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan.” [58]
Maka pengharaman di sini adalah berdasarkan berdasarkan keumuman ayat. Hal itu
telah paten berdasarkan kesepakatan ulama, demikian pula hal-hal yang berkaitan
dengan tingkatan pertama dari anak perempuan dari saudara laki-laki dan anak
perempuan dari saudara perempuan.
4.
Tingkatan pertama dari
cabang kakek dan seterusnya ke atas serta nenek dan seterusnya ke atas. Maksud
dari hal itu adalah saudara perempuan dari ayah (bibi) dan saudara perempuan
dari ibu (bibi). Dalil tentang hal itu adalah keumuman ayat al-Qur'an yang
berbunyi: “Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu, anak-anakmu yang
perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang
perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan.” [59]
Maka ayat yang umum mencakup saudara perempuan dari ayah, baik sekandung dengan
ayah, seayah dengan ayah, atau seibu dengan ayah. Bibi dari ibu juga demikian.
Jika setiap laki-laki yang dijadikan nasabmu (ayah), maka saudara perempuannya
adalah bibimu dan setiap perempuan yang dijadikan nasabmu (ibu), maka saudara
perempunnya adalah bibimu.
Sedangkan anak perempuannya saudara perempuan
ayah dan anak perempuannya saudara perempuan ibu, bukanlah wanita yang
diharamkan untuk laki-laki. Demikian pula dengan anak perempuan saudara
laki-laki ayah (paman) dan anak perempuan saudara laki-laki ibu (paman dari
pihak ibu), karena mereka tidak disebutkan dalam wanita-wanita yang diharamkan
untuk dinikahi dan bukan pada tingkatan pertama dari cabang kakek. Maka mereka
masuk dalam kategori orang yang dihalalkan oleh Allah swt berdasarkan
firman-Nya yang berbunyi: “Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian.”[60]
Terlebih lagi terdapat ayat al-Qur'an yang jelas-jelas menghalalkannya, yaitu
dalam firman Allah swt yang berbunyi: “Wahai Nabi, sesungguhnya kami telah
menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan
hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam
peperangan yang dikaruniakan Allah swt untukmu, dan demikian pula anak-anak
perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara
perempuan bapakmu, anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu, anak perempuan
dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu.”[61]
Dan setiap apa yang telah dihalalkan oleh Allah swt untuk Rasulullah saw
menjadi halal pula untuk umatnya selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya
untuk Rasulullah saw dengan penghalalan tersebut.
Kesimpulan: ayat
al-Qur'an telah mengharamkan wanita berdasarkan nasabnya sebanyak tujuh orang,
yaitu: ibu, anak perempuan, saudara perempuan, saudara ayah yang perempuan
(bibi dari ayah), saudara ibu yang perempuan (bibi dari ibu), anak perempuan
dari saudara laki-laki (ponakan), dan anak perempuan saudara dari perempuan
(ponakan). Dan telah ditetapkan perkataan Ibnu Abbas: Telah diharamkan wanita
berdasarkan nasab dan kekeluargaan sebanyak tujuh golongan, dan beliau membaca
firman Allah swt yang berbunyi: “Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu,
anak-anakmu yang perempuan...”[62]
Dan seterusnya.
2. Wanita yang diharamkan sebab susuan
Ayat-ayat al-Qur'an telah
menjelaskan beberapa wanita yang diharamkan karena adanya faktor dari seorang
wanita yang menyusuinya anak yang bukan kandungannya. Hal itu seperti dalam
firman Allah swt yang berbunyi: “Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu, anak-anakmu
yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang
perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan, ibu-ibu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan.” [63]
Rasulullah saw telah menyamakan pengharaman wanita yang disebabkan oleh
penyusuan dengan pengharaman wanita yang disebabkan oleh faktor berupa hubungan
kekeluargaan dan nasab. Telah diriwayatkan bahwa ketika Rasulullah saw
berkeinginan untuk menikahi putri pamannya, Hamzah, beliau bersabda:
“Sesungguhnya dia tidak halal bagiku. Dia adalah putri saudariku sepersusuan.
Diharamkan dalam sepersusuan sebagai diharamkan dalam nasab.”
Dari Aisyah ra bahwa dia
telah disusui oleh istri Abu al-Qu’ais. Kemudian saudara Abu al-Qui’ais
mendatangi Aisyah dengan perasaan gembira setelah turunnya ayat hijab dan
meminta izin pada Aisyah untuk menemuinya. Namun Aisyah tidak mengizinkannya
seraya berkata: “Sesungguhnya istri saudaranya telah menyusuiku, namun aku
tidak akan mengizinkannya sampai aku meminta izin kepada Rasulullah saw.”
Ketika hal itu diceritakan kepada Rasulullah saw, maka beliau bersabda:
“Hendaklah engkau mengizinkannya karena dia adalah pamanmu. Niscaya engkau akan
selamat.”
Berdasarkan ayat al-Qur'an
dan hadis Nabi Muhammad saw di atas, maka menjadi jelas bagi kita bahwa wanita
yang diharamkan untuk dinikahi karena faktor susuan terdiri dari empat
golongan, sebagaimana yang terjadi pada keharaman wanita yang disebabkan oleh
faktor nasab, yaitu:
1.
Ibu
susuan dan seterusnya ke atas. Maksud dari hal itu adalah ibu yang telah
menyusui, ibunya ibu yang telah menyusui, baik dari segi nasab maupun dari segi
susuan. Begitu juga dengan ayah dan kakek susuan, baik dari segi nasab maupun
susuan.
Imam al-Qurthubi berkata: Apabila seorang
wanita telah menyusui seorang anak, maka wanita itu diharamkan bagi anak
tersebut karena dia adalah ibunya, begitu pula dengan ibunya ibu yang menyusui,
karena dia adalah neneknya.
2.
Anak
perempuan dari susuan dan seterusnya ke bawah. Dia adalah anak yang disusui
dengan air susu yang menetes dari istrinya seorang laki-laki untuk menyusui
anak kandungnya. Dan anak perempuan dari anak perempuan susuan, baik anak dari
segi nasab atau susuan dan seterusnya ke bawah. Begitu pula dengan anak
perempuan dari anak laki-lakinya.
3.
Cabang
dari kedua orang tua yang menyusui. Maksudnya adalah saudara-saudara
sepersusuan dan anak-anak dari saudara-saudara sepersusuan dan seterusnya ke
bawah. Begitu pula dengan anak perempuan dari saudara laki-laki sepersusuan dan
anak perempuan dari mereka dan seterusnya ke bawah.
4.
Tingkatan
pertama dari cabang kakek atau nenek sepersusuan. Maksudnya adalah saudara
perempuan dari ayah sepersusuan dan saudara perempuan dari ibu sepersusuan.
Sedangkan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ayah sepersusuan dan
anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibu sepersusuan, maka tidak
diharamkan untuknya secara susuan sebagaimana tidak diharamkannya pula secara
nasab.
Bagaimana mengetahui kekerabatan sepersusuan yang diharamkan?
Kekerabatan sepersusuan yang diharamkan, dapat diketahui dengan menetapkan pemutusan susuan dari keluarganya yang senasab dan menitipkannya kepada keluarga sepersusuan, dengan anggapan bahwa dia adalah anak bagi suami dan istri yang menyusui dengan memberikan susu yang menetes demi anak kandungnya sendiri. Setelah itu, kemudian dikaitkan kepada setiap cabangnya. Maka setiap hubungan menjadi tetap baginya atau bagi cabangnya dengan posisi yang baru. Hal itulah yang menjadi dasar pengharaman atau penghalalannya sebab susuan. Sedangkan hubungan keluarga yang menyusui dengan keluarga yang senasab, maka tidak ada kaitannya dengan pengharaman dan penghalalan. Sebab itulah, maka bagi kerabatnya yang senasab tidak ditetapkan selain cabangnya seperti yang telah ditetapkan baginya cabang dari sepersusuan.
Kapan susuan
menjadi haram?
Penyusuan adalah menyedotnya seorang bayi
terhadap air susu dari puting anak adam dalam waktu tertentu selama masa
menyusui. Pengharamannya tergantung pada sampainya air susu ke perut bayi
dengan tujuan makan yang dapat menambah daging dan membentuk tulang. Seandainya
orang yang menyusui merasa ragu apakah air susunya telah sampai ke perut bayi,
maka bayi itu tidak dianggap sebagai anak susuannya yang muhrim. Seandainya air
susu sampai ke perut bagi dari jalur selain mulut atau hidung, dengan cara
meneteskan atau mengucurkan air susu pada telinga atau menyuntiknya dengan air
susu, maka keharamannya tidak berlaku.
Adapun masa menyusui, maka para ahli fikih
telah berbeda pendapat tentangnya, sebagaimana dalam pemaparan berikut:
1.
Imam
Malik, Syafi’i, Ahmad, Muhammad Husain al-Syaibani, Abu Yusuf dari madzhab
Hanafi, dan jumhur ulama pengikut madzhab Dzahiriyah berpendapat bahwa masa
menyusui adalah dua tahun, berdasarkan firman Allah swt yang berbunyi: “Para
ibu hendaklah mengusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi mereka
yang ingin menyempurnakan penyusuan.”[64]
Perumpamaan dari kata “menyempurnakan” menunjukkan bahwa ia bukan setelah
sempurnanya sesuatu. Hal itu seperti yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abbas,
bahwa dia berkata: “Tidak ada penyusuan setelah dua tahun.”
Demikianlah, maka masa penyapihan tidak berpengaruh
pada kehalalan dan keharaman. Seandainya penyusuan itu terjadi setelah dua
tahun—walaupun sebelum masa penyapihan—maka tidak terjadi keharaman. Apabila
terjadi sebelum berakhirnya masa dua tahun—walaupun setelah masa
penyapihan—maka keharaman berlaku.
2.
Al-Zuhri,
al-Hasan, Qatadah, dan al-Auza’i berpendapat bahwa sepersusuan yang diharamkan
adalah selama bayi yang menyusu dengan sengaja makan dari susuannya. Seandainya
masa penyapihan telah selesai dan merasa cukup dengan asupan yang lain walaupun
sebelum dua tahun, maka keharamannya tidak ditetapkan dalam penyusuan ketika
itu juga, karena tiadanya realisasi masa penyapihan yang diharamkan dan hal itu
diketahui dengan gemuknya lambung atau susu yang menjadi daging dan tulang.
Tentang hal itu, mereka beralasan dengan hadis yang telah diriwayatkan oleh
al-Turmudzi dari Ummu Salamah ummul mukminin ra bahwa Nabi Muhammad saw
bersabda: “Tidak diharamkan dari susuan kecuali apabila lambungnya telah
menggemuk dan terjadi sebelum masa penyapihan.” Begitu pula yang telah
diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi Muhammad saw bersabda:
“Tidak diharamkan dari susuan kecuali setelah dagingnya bertambah dan tulangnya
terbentuk.”
Kadar penyusuan yang dapat mengharamkan
Para ahli fikih telah berbeda pendapat tentang kadar menyusui yang
dapat menjadi penyebab dalam pengharaman. Hal itu sebagaimana penjabaran
berikut ini:
1.
Madzhab
Hanafi, Maliki dan Ahmad bin Hambal menyatakan dalam satu pendapatnya, bahkan
sebagian sahabat dan tabi’in juga berpendapat bahwa penyusuan dapat menetapkan
pengharaman selama syarat yang telah kami sebutkan terlaksana dan tidak ada
perbedaan antara sedikit atau banyaknya menyusui. Hal itu disebabkan oleh
adanya ayat al-Qur'an dan hadis Nabi Muhammad saw yang telah kita riwayatkan sebelumnya yang tidak menentukan kadar
tertentu dalam penyusuan.
2.
Madzhab
Syafi’i dan yang tampak dari madzhab Ahmad bin Hambal, Ibnu Hazm dan Ibnu
al-Qayyim menyatakan pendapatnya, bahkan mereka telah meriwayatkan dari
sebagian sahabat dan tabi’in seraya berkata: Tidak diharamkan sebab susuan
kecuali dengan lima kali susuan yang terpisah-pisah dan mengenyangkan. Hal ini
berdasarkan riwayat dari Aisyah ra: “Lima susuan yang mengenyangkan dapat
mengharamkan mereka.” Karena pengharamannya tergantung pada tumbuhnya daging
dan terbentuknya tulang, maka ia tidak akan terjadi kecuali dengan lima kali
susuan dalam sehari penuh.
Pendapat itu diperkuat dengan kenyataan
diturunkannya ayat al-Qur'an tentang pengharaman yang disebabkan oleh
sepersusuan dan fenomena orang-orang Arab yang telah menyusukan anak-anak
mereka dengan mengutus anak-anak mereka agar bermukim dengan orang yang
menyusuinya dan bersama dalam kehidupannya. Anak-anak tersebut membaur dengan
seluruh keluarga sepersusuannya dan menjalin hubungan di antara mereka sehingga
bayi yang disusui merasakan bahwa wanita yang menyusuinya adalah ibunya dan
suami dari ibu yang menyusuinya adalah ayahnya serta anak-anak dari wanita yang
menyusuinya adalah saudara-saudaranya. Dan untuk sekali susuan atau dua kali
susuan tidak dapat berpengaruh atau memberi kesan yang seperti itu.[65]
Dengan apa penyusuan ditetapkan?
Penegasan susuan yang dapat mengharamkan wanita
untuk dinikahi membutuhkan cara yang lebih dikenal dengan penetapan susuan,
yaitu dengan cara ikrar (pengakuan) atau dengan adanya saksi.
Apabila seorang suami mengakui anak susuannya
seraya berkata: Ini adalah anak perempuanku sepersusuan, atau seseorang
berkata: Ini adalah ibuku atau saudaraku sepersusuan, maka mereka diharamkan
untuknya selama dia berketetapan hati terhadap pengakuannya. Selanjutnya hakim
harus memisah antara dia dengan istrinya apabila keduanya tidak mau berpisah
berdasarkan keinginan diri sendiri.
Namun menurut madzhab Hanafi, mereka berdua
tidak perlu dipisah apabila dia berupah pikiran dalam pengakuannya, karena
persoalan sepersusuan adalah sesuatu yang samar, maka dimaafkan apabila
terdapat pertentangan.
Sedangkan menurut madzhab Maliki dan Syafi’i, maka mereka berdua tidak
perlu menerima pengakuan yang sama. Sebab itu pula, mereka memisahkan antara
dia dengan istrinya berdasarkan pengakuannya yang pertama, karena orang yang
melakukan pengakuan biasanya bimbang dalam pengakuannya.
Apabila seorang istri mengakui bahwa antara dirinya dengan suaminya
adalah sepersusuan, maka pengakuannya tidak perlu digubris apabila suaminya
mengingkari terhadap pengakuannya dan dia tidak membenarkan pengakuan istrinya.
Karena pada waktu itu, dimungkinkan istrinya berkeinginan untuk membebaskan
diri dari jalinan pernikahan dengan cara tersebut. Tetapi apabila suami
membenarkan pengakuannya, maka istrinya menjadi haram untuknya dan mereka
berdua harus berpisah atau hakim menceraikan keduanya.
Apabila bukan pasangan suami istri dan seorang
wanita mengakui bahwa dirinya adalah sepersusuan dengan seorang laki-laki, maka
wanita itu tidak halal baginya dan setiap orang yang diharamkan sebab
sepersusuan diharamkan untuk wanita tersebut sebagaimana yang telah kami
paparkan sebelumnya.
Apabial sepasang suami istri mengakui secara
bersamaan bahwa mereka berdua adalah sepersusuan dan masing-masing dari mereka
membenarkan pengakuannya, maka mereka berdua wajib berpisah atau bercerai.
Apabila tidak bercerai, maka hakim wajib menceraikan mereka berdua.
Persaksian saksi dan terdapat perbedaan pendapat tentangnya
Dikatakan: persaksian seorang wanita yang
diketahui keadilannya dapat diterima. Hal itu telah diriwayatkan dari Ustman,
Ibnu Abbas, al-Zuhri, al-Hasan, Ishaq, al-Auza’i, Abu Hanifah, dan Ahmad. Dan
telah diriwayatkan dari Malik tentang persaksian tersebut dengan syarat orang
yang menyusui telah tersebar kabarnya sebelum terjadinya persaksian.
Dikatakan: persaksian wanita yang kurang dari
dua orang tidak diterima. Hal itu adalah pendapat madzhab Muthraf dan Ibnu
al-Majisyun serta beberapa jamaah dari sahabat. Telah diriwayatkan dari Malik
dan Ibnu al-Qasim bahwa mereka berdua juga telah mensyaratkan tersebarnya kabar
tentang orang yang menyusui tersebut.
Dikatakan: Tidak diterima persaksian wanita yang
kurang dari empat orang. Maka kamu dapat mengatakan bahwa setiap dua orang
wanita menduduki posisi seorang laki-laki. Hal itu telah diriwayatkan dari
Syafi’i dan Atha’.
Menurut mereka, persaksian seorang wanita dapat
diterima karena menyusui adalah sesuatu yang tidak dapat diperhatikan dengan
seksama oleh orang lain.
Madzhab Hanafi berpendapat bahwa penyusuan
tidak dapat ditetapkan dengan persaksian seorang wanita, bahkan harus terdapat
saksi dari dua orang laki-laki yang adil, atau seorang laki-laki dan dua orang
wanita yang adil, sebagaimana keputusan dari pembatalan kepemilikan suami dalam
pernikahan. Namun tidak disyaratkan pendakwaan terlebih dahulu, karena ia
termasuk hak-hak Allah swt yang mana pendakwanya dianggap sebagai saksi di
dalamnya. Sedangkan pendapat yang menyatakan bahwa menyusui adalah sesuatu yang
tidak dapat diperhatikan secara seksama oleh seorang laki-laki adalah
pernyataan yang ditolak karena laki-laki yang muhrim dengan mereka dapat
memperhatikannya dengan seksama.
Mereka berpendapat: Apabila telah bersaksi
dengan adanya susuan dari satu orang wanita, maka yang utama adalah memisahkan
istrinya sebagai bentuk dari kewaspadaan.
Kapanpun susuan ini ditetapkan, maka
keharamannya menjadi tetap pula. Maka tidaklah sah bagi seseorang yang wanitanya
telah diharamkan untuk menikah dengannya. Apabila mereka berdua adalah sepasang
suami istri, maka bagi keduanya diwajibkan untuk berpisah atau bercerai, karena
akad nikah telah rusak. Apabila mereka berdua tidak bercerai, maka hakim harus
menceraikan mereka berdua.[66]
3. Wanita yang diharamkan sebab hubungan kekeluargaan
Sesungguhnya kekeluargaan dan kekerabatan
muncul sebagai hasil dari pernikahan. Kekerabatan ini terdiri dari—biasanya—hubungan
hangat antara sepasang suami istri dan kekerabatan dari dua buah keluarga,
sehingga percampuran antara mereka berdua menjadi suatu keharusan. Dari sini,
maka Islam menekankan agar hubungan ini dikelilingi oleh pagar yang dapat
melindungi akhlak dan menjaga agama mereka.
Dari sini, maka Islam telah mengharamkan
beberapa golongan wanita yang disebabkan oleh hubungan kekeluargaan,
sebagaimana yang telah ditegaskan oleh beberapa ayat al-Qur'an dalam Surat
al-Nisa’ dengan firman Allah swt yang berbunyi: “Dan janganlah kamu kawini
wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah
lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci oleh Allah swt dan
seburuk-buruknya jalan yang ditempuh.”[67]
Dan dalam firman Allah swt yang berbunyi: “Dan janganlah kamu kawini
wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah
lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci oleh Allah swt dan
seburuk-buruknya jalan yang ditempuh. Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu,
anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara
ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibu yang menyusui kamu, saudara perempuan
sepersusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang ada dalam
peliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri atau setubuhi, tetapi jika kamu
belum campur atau bersetubuh dengan istrimu itu dan sudah kamu ceraikan, maka
tidak berdosa jika kamu mengawininya, dan diharamkan bagi kamu istri-istri anak
kandungmu (menantu).”[68]
Demikianlah, kita dapat melihat bahwa
wanita-wanita yang diharamkan sebab adanya hubungan kekeluargaan terdiri dari
empat golongan juga. Hal itu akan diperjelas sebagaimana dalam pemaparan
berikut ini:
1.
Istri
ayah atau ibu tiri
Maksud dari ayah adalah setiap asal (nenek
moyang) orang tua yang laki-laki. Hal itu mencakup ayah dan kakek dari pihak
ayah atau ayah dan kakek dari pihak ibu dan seterusnya ke atas.
Kata kawin ditafsirkan
dengan menikah sebagaimana dalam firman Allah swt yang berbunyi: “Dan
janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu.”[69]
Dengan begitu, maka arti ayat menjadi janganlah kamu menikahi wanita yang telah
dinikahi oleh ayah-ayahmu. Pernikahan tersebut menjadi sempurna dengan cara
melakukan akad nikah antara ayah dengan wanitanya dengan akad yang benar.
Karena itu, maka wanita tersebut menjadi haram untuk keturunan ayah walaupun
ayahnya belum menyetubuhi wanita tersebut.
Tidak diragukan lagi bahwa
keharaman istri ayah yang telah disetubui cukup jelas dalam ayat al-Qur'an
dengan dalil keharamannya. Sedangkan istri kakek juga diharamkan berdasarkan
ijma’ ulama atau dengan dalil ayat al-Qur'an, jika kita menganggap bahwa ayah
adalah setiap laki-laki yang menjadi asalnya. Di samping itu, ayat al-Qur'an
telah menggunakan kata ayah (ab) untuk menunjuk kepada kakek. Hal itu
sebagaimana firman Allah swt yang berbunyi: “Dan aku mengikuti agama
bapak-bapakku (ayah-ayahku) yaitu Ibrahim, Ishak dan Ya’kub.”[70]
Dan firman Allah swt yang berbunyi: “Wahai anak Adam, janganlah sekali-kali
kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu
bapakmu (ayahmu) dari surga.”[71]
Tidak termasuk dalam
pengharaman ini, asal dan cabang dari wanita yang menjadi istri ayah. Allah swt
telah mengharamkan menikahi istri ayah dan istri kakek, karena adanya hubungan
sejak lahir antara ayah dan anak, yaitu hubungan penuaan dan perimbangan
hubungan dalam penghormatan dan pemuliaan. Lalu bagaimana mungkin anak tersebut
berkeinginan untuk menikahi wanita yang telah dicerai oleh ayahnya dan pernah
dalam posisi ibunya ketika menjadi istri bagi ayahnya. Tingkah laku seperti ini
dapat memperburuk hubungan yang baik antara ayah dan anak. Karena makna baik
inilah, maka ayat al-Qur'an telah menggambarkan bahwa pernikahan yang pernah
terjadi pada masa jahiliyah adalah perbuatan yang keji dan dibenci oleh Allah
swt dan jalan yang buruk. Allah swt berfirman: “Sesungguhnya perbuatan itu
amat keji dan dibenci oleh Allah swt dan seburuk-buruknya jalan yang ditempuh.”[72]
Para sahabat juga telah menyampaikan bahwa ayat tersebut adalah larangan untuk
menikah seperti pernikahan ayah-ayah mereka yang keji. Mereka juga memberi
bukti terhadap larangan menikahnya seorang anak terhadap wanita yang dihalalkan
untuk ayahnya. Di dunia arab terdapat beberapa kabilah yang telah membiasakan
anak-anaknya untuk mewarisi istri-istri ayahnya. Cerita ini sudah menjadi
tradisi bagi orang-orang Anshar dan menjadi kebolehan bagi suku Quraish selama
saling merelakan. Tidakkah kamu melihat bahwa ‘Amr bin Umayyah telah mewarisi
istri ayahnya setelah ayahnya meninggal dunia. Kemudian wanita itu melahirkan
anak dari ayah Amr bin Umayyah yang bernama Musafir dan Abu Muthi’ dan dari
Umayyah melahirkan anak bernama Abu al-‘Aish dan anak-anak lainnya. Maka
anak-anak Umayyah adalah saudara Musafir dan Mu’ith dan mereka adalah paman
bagi Umayyah dan saudara-saudaranya. Kasus lain adalah Shafwan bin Umayyah bin
Khalaf yang menikahi wanita dan sebelumnya ayahnya pernah menikahinya, yaitu
Fakhitah binti al-Aswad bin al-Muthallib bin Asad. Kemudian Umayyah mati
terbunuh. Maka al-As’asy bin Suwar berkata: Abu Qais meninggal dunia padahal
dia adalah pemuka Anshar. Kemudian putranya, Qais meminang istri ayahnya. Maka
istri ayahnya berkata: Sesungguhnya aku menganggapmu sebagai anak. Maka dia
mendatangi dan mengabarinya. Kemudian turun ayat al-Qur'an tersebut.[73]
Demikianlah, orang-orang
Arab telah menyebut anak laki-laki dari istri ayahnya dengan sebutan maqta,
karena posisi istri ayah menempati posisi ibu dan menikahi ibu adalah perbuatan
terburuk bagi orang-orang Arab. Ketika pernikahan tersebut menyerupai hal itu,
maka menurut mereka keburukan itu tidak berdosa. Kemudian Allah swt menjelaskan
bahwa penikahan ini selamanya adalah perbuatan keji dan buruk. Selanjutnya
Allah swt menjelaskan bahwa pernikahan itu—setelah adanya pelarangan—adalah
perbuatan keji dalam Islam dan dibenci oleh Allah swt.
Al-Barra’ telah meriwayatkan
bahwa Nabi Muhammad saw telah mengutus Abu Burdah kepada seorang pemuda yang
menjadi suami dari istri ayahnya agar Abu Burdah membunuhnya dan mengambil
hartanya.
2.
Ibu dari
istri atau mertua
Maksud dari ibu di sini
adalah setiap asal (nenek moyang) yang perempuan. Termasuk didalamnya, ibu dari
istri, begitu pula ibu dari ibunya istri, ibu ayahnya, ibu kakeknya dari pihak
ayah atau ibu kakeknya dari pihak ibu dan seterusnya ke atas. Dalam pengharaman
ibu istri (mertua perempuan) terhadap suami (menantu laki-laki) terdapat dua
pendapat:
Pendapat pertama,
bagi suaminya anak (menantu laki-laki), haram diharamkan menikahi setiap wanita
yang telah disebutkan di atas selama pernikahannya dilakukan dengan akad yang
benar. Hal itu adalah pendapat jumhur ulama, para sahabat dan ahli fikih. Dalam
pengharaman ibu istri ini tidak disyaratkan adanya keharusan suami telah
bersetubuh dengan istrinya, berdasarkan hadis yang telah diriwayatkan oleh ‘Amr
bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi Muhammad saw, bahwa beliau
bersabda: “Apabila seorang laki-laki telah menikahi seorang perempuan, maka dia
tidak halal untuk menikahi ibunya istri, baik dia telah menyetubuhinya atau
tidak.”
Pernah suatu ketika, Abdullah
bin Mas’ud berfatwa tentang kebolehan menikahi ibu dari seorang istri apabila
dia telah menceraikan anaknya sebelum menyetubuhinya. Peristiwa itu terjadi
ketika Abdullah bin Mas’ud berada di Kufah. Kemudian dia berkeinginan untuk
pergi ke Madinah. Maka di sana, dia berhadapan dengan orang-orang yang
menentang fatwanya. Ketika kembali ke Kufah, Abdullah bin Mas’ud tidak langsung
menuju rumahnya, tetapi langsung menuju rumah seorang pemuda yang menikahi
mertuanya dan mengetuk pintunya. Selanjutnya Abdullah menyuruh pemuda tersebut
untuk menceraikan istrinya yang pernah menjadi ibu dari istri sebelumnya. Di
samping itu, catatan menyetubuhi atau mencampuri istri dalam ayat: “Ibu-ibu
istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang ada dalam peliharaanmu dari istri yang
telah kamu campuri atau setubuhi, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu
itu,”[74]
hendaknya merujukkannya pada kata raba’ib (anak-anak istrimu atau anak
tiri), bukan pada ibu istrimu (mertua). Hal itu disebabkan oleh susunan kalimat
dlam ayat tersebut adalah susunan bebas (jumlah al-mustaqillah), dan
dalil yang ada tidak menunjukkan kembalinya syarat “yang telah kamu campuri
atau setubuhi” pada ibu istrimu, sehingga wajib menyatakan ketetapannya dalam
keumumannya.
Pendapat kedua:
pendapat ini adalah pendapat mayoritas sahabat, di antara mereka adalah Ali,
Zaid, Ibnu Umar, Ibnu Zubair, dan Jabir. Riwayat muncul dari Ibnu Abbas, bahwa
ibu dari istri tidak diharamkan untuk suami anaknya kecuali apabila dia telah
menyetubuhi anaknya. Alasan mereka adalah bahwa Allah swt telah menyebutkan dua
hukum, yaitu firman Allah swt yang berbunyi: “Ibu-ibu istrimu (mertua),
anak-anak istrimu yang ada dalam peliharaanmu.”[75]
Kemudian Allah swt menyebutkan syarat “Dari istri yang telah kamu
campuri atau setubuhi.”[76]
Maka wajib menjadikan syarat tersebut diterapkan dalam dua jumlah secara
bersamaan.[77]
3.
Istri
anak atau menantu
Yang dimaksud dengan anak di
sini adalah setiap cabang atau keturunan laki-laki. Hal itu mencakup anak
langsung, anaknya anak laki-laki, anaknya anak perempuan, dan seterusnya ke
bawah. Seorang wanita dapat menjadi istri bagi siapapun juga hanya dengan
pelaksanaan akad nikah dengannya. Dengan pelaksanaan akad nikah ini, maka sang
istri menjadi haram untuk dinikahi oleh moyangnya, walaupun suaminya belum
menyetubuhinya. Hal ini sebagaimana pengharaman menikah dengan istri ayah dapat
terjadi dengan adanya akad nikah. Hal itu disebabkan oleh keumuman ayat yang
berbunyi: “Dan diharamkan bagi kamu istri-istri anak kandungmu (menantu),”[78]
yang mencakup istri anak, baik telah disetubuhinya maupun tidak.[79]
Tidak termasuk dalam
kategori pengharaman ini adalah nenek moyang dan keturunan menantu.[80]
Maka tidak diragukan lagi
bahwa pengharaman istri anak kandung untuk ayahnya dikembalikan pada hubungan
antara ayah dan anak sebagai hubungan cinta dan kasih sayang, dan tidak layak
untuk merusak hubungan baik antara keduanya dengan keinginan seorang ayah untuk
menikahi istri anaknya setelah dia bercerai dengan anaknya.
4.
Anak tiri
Yang dimaksud dengan anak
tiri (rabibah) adalah anak perempuannya istri yang dihasilkan dari
laki-laki lain.[81]
Ayat al-Qur'an telah mencatat pengharamannya dalam firman Allah swt yang
berbunyi: “Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu, anak-anakmu yang
perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara ayahmu yang
perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan, ibu-ibu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan,
ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang ada dalam peliharaanmu dari
istri yang telah kamu campuri atau setubuhi.”[82]
Termasuk dalam kategori anak
tiri adalah anak perempuannya istri, anak perempuan dari anak perempuannya
istri, anak perempuan dari anak laki-lakinya istri, dan seterusnya ke bawah.
Diharamkannya anak perempuan
istri karena pemeliharaan dan kasih sayangnya anak-anak tersebut bertumpu pada
suami ibu sebagai tanggungjawab dan kewajiban yang harus dilaksanakan tidak
ubahnya terhadap anak kandungnya sendiri. Terlebih lagi akan kebutuhan mereka
untuk berkumpul dengan ibu dan bergaul dengan suami ibu. Dan cukup jelas bahwa
ayat al-Qur'an mensyaratkan pengharaman anak tiri ini dengan menyetubuhinya
suami terhadap istri yang telah menjadi ibu dari anak tirinya.
Menurut madzhab Hanafi,
forplay atau pemanasan awal dalam bersenggama dianggap sama dengan menyetubuhi
istri yang mengharamkan anak tiri terhadap suami ibunya. Dalil tentang
penghalalan anak tiri dari istri yang belum disetubuhi adalah firman Allah swt
yang berbunyi: “Tetapi jika kamu belum campur atau bersetubuh dengan istrimu
itu dan sudah kamu ceraikan, maka tidak berdosa jika kamu untuk mengawininya.”[83]
Demikianlah, catatan tentang
menyetubuhinya “yang telah kamu campuri atau setubuhi” dimaksudkan untuk
menceraikan istri yang belum disetubuhi oleh seorang laki-laki sehingga anak
perempuannya sang istri menjadi halal untuknya. Sebab itulah, maka para ahli
fikih berkata: menyetubuhi ibunya dapat mengharamkan anak perempuannya.
Sedangkan firman Allah swt
yang berbunyi: “Yang ada dalam peliharaanmu,”[84]
bukan syarat untuk mengeluarkannya menurut jumhur fuqaha’. Bahkan ia menjadi
peringatan terhadap keikut sertaan anak tiri bersama-sama anak kandungnya
sebagai suatu kebiasaan masyarakat. Terkadang anak tiri tersebut mondar mandir
ke rumah bibinya atau neneknya dan tinggal di sana. Hal itu mengindikasikan
bahwa pergaulan yang baik dapat meningkatkan kondisi kejiwaan anak. Hal itu
adalah syarat yang menjadi penyebabnya di samping adanya ancaman kemiskinan,
sebagaimana dalam firman Allah swt yang berbunyi: “Dan janganlah kamu
membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan.”[85]
Oleh sebab itu, maka untuk menjelaskan kehalalannya cukup dengan meniadakan
persetubuhan. Maka Allah swt berfirman: “Tetapi jika kamu belum campur atau
bersetubuh dengan istrimu itu dan sudah kamu ceraikan, maka tidak berdosa jika
kamu untuk mengawininya.”[86]
Dan ayat ini tidak mengatakan: Jika kamu belum campur atau bersetubuh dengan
istrimu itu, atau mereka tidak ada dalam pemeliharaanmu. Ada pendapat yang
Dinisbatkan kepada Ali ra bahwa anak tiri tidak diharamkan untuk suami ibunya
kecuali apabila anak tiri tersebut tinggal bersama ibunya. Apabila dia tidak
tinggal bersama ibunya, maka suami ibunya boleh mengawininya apabila dia telah
menceraikan ibunya. Hal itu adalah pendapat dari madzhab Dzahiriyah.[87]
Malik bin Uwais bin al-Hadstan telah meriwayatkan dari Ali ra bahwa dia
berkata: “Apabila anak tiri tidak dalam pemeliharan suami ibunya namun dia
berada di negara lain, kemudian suami ibunya menceraikan ibunya setelah dia
menyetubuhinya, maka dia masih boleh menikahi anak tirinya.” Telah diriwayatkan
bahwa Ali ra berpendapat seperti itu dengan alasan adanya firman Allah swt yang
berbunyi: “Anak-anak istrimu yang ada dalam peliharaanmu,”[88]
sebagai syarat bahwa keberadaan anak tiri adalah keberadaannya dalam
pemeliharaan suami ibunya. Jika dia tidak berada dalam pengawasan dan
pemeliharaannya, maka syarat menjadi hilang dan wajib untuk tidak menetapkan
keharamannya.[89]
Tidak diragukan lagi bahwa
kami lebih cenderung pada pendapat jumhur fuqaha’ yang telah kami paparkan di
atas, yaitu diharamkan bagi seorang laki-laki untuk menikahi anak tirinya
apabila dia telah menyetubuhi ibu dari anak tiri tersebut, baik anak tiri
tersebut tinggal bersamanya atau berada di negara lain. Hal itu disebabkan oleh
pendapat yang telah disepakati, bahwa: Apabila suatu dalil bertentangan antara
yang mengharamkan dan yang menghalalkan dalam persoalan kemaluan, maka kami
memenangkan dalil yang mengharamkannya.
Kedua, pengharaman yang berwaktu
Pengharaman yang berwaktu adalah pengharaman
yang penyebabnya sewaktu-waktu bisa hilang. Pengharamannya ini tetap berlaku
dengan ketetapan penyebabnya. Apabila penyebabnya hilang, maka pengharaman
ditiadakan dan wanita tersebut menjadi halal untuk dinikahi.
Pengharaman yang berwaktu terdiri dari beberapa
keadaan sebagai berikut:
1.
Adanya
hak orang lain terhadap seorang wanita (Istri orang lain)
2.
Wanita
yang memeluk agama samawi
3.
Wanita
yang dithalak tiga
4.
Mengumpulkan
dua orang muhrim, dan
5.
Mengumpulkan
lebih dari empat orang istri
Perincian dari pendapat tersebut dapat
dijabarkan dalam pembahasan di bawah ini:
Adanya hak orang lain terhadap seorang wanita (Istri orang lain)
Yang dimaksud dengan adanya hak orang lain terhadap seorang wanita adalah adanya ikatan dengan laki-laki lain apabila telah menjadi istrinya dengan akad yang sah, baik masih menjadi istrinya atau masih berada dalam masa iddah karena dicerai atau ditinggal mati oleh suaminya, atau dalam masa iddah yang masuk kategori nikah yang rusak, atau dalam masa iddah karena persetubuhan yang meragukan.
Wanita yang telah menikah dengan akad yang sah
dan pernikahannya masih berjalan, maka ia diharamkan untuk selain suaminya.
Dalil tentang hal itu adalah firman Allah swt yang berbunyi: “Dan diharamkan
juga kamu mengawini wanita yang bersuami.”[90]
Maka firman-Nya “Wanita yang bersuami,” diathafkan kepada firman-Nya
yang berbunyi: “Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu.”[91]
Maksud dengan muhshanat dalam ayat di atas adalah wanita yang memiliki
suami, baik suaminya adalah seorang muslim atau tidak. Maka diharamkan untuk
menikahinya, sebagai penjagaan terhadap hak orang lain, menjaga nasab,
melindungi anak-anak dari kehilangan orang tua, merealisasikan tujuan asal dari
pernikahan, yaitu kecintaan, belas asih dan kasih sayang, dan memuliakan
keturunan dalam bentuknya yang mulia, cocok untuk manusia dan sesuai dengan
kesempurnaan yang telah diatur oleh Allah swt.[92]
Apabila pernikahan dengan wanita yang bersuami
adalah perbuatan haram, maka diharamkan pula pernikahan seorang wanita yang
masih berada dalam haknya orang lain, karena dicerai atau ditinggal mati oleh
suaminya. Hal itu berdasarkan firman Allah swt yang berbunyi: “Wanita-wanita
yang dithalak hendaknya menahan diri (menunggu) selama tiga kali sucian.”[93]
Dan firman Allah swt yang berbunyi: “Orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dengan
meninggalkan istri-istrinya, maka hendaklah istri-istrinya itu menangguhkan
dirinya (beriddah) selama empat bulan sepuluh hari.”[94]
Islam telah memberi kesempatan untuk menyucikan rahim seorang wanita, mencegah
terjadinya percampuran nasab, dan menjaga kondisi wanita yang telah ditinggal
mati atau dicerai oleh suaminya. Oleh sebab itu, Allah swt berfirman tentang
larangan manusia untuk menikahi istri orang lain ketika dia berada dalam masa
iddahnya, yaitu firman-Nya yang berbunyi: “Dan janganlah kamu berketetapan
hati untuk melakukan akad nikah sebelum habis masa iddahnya.”[95]
Artinya janganlah kalian menerima akad nikahnya seorang wanita hingga dia
menyelesaikan masa iddahnya.
Para fuqaha’ telah menghubungkan antara masa
iddahnya wanita yang dithalak dengan masa iddahnya wanita yang telah disetubuhi
oleh suaminya dalam nikah yang rusak, serta masa iddahnya wanita yang
disetubuhi dengan persetubuhan syubhat, karena keturunan dalam keadaan itu
memiliki ketetapan nasab.
Menikah dengan wanita yang menjalani masa iddah
Hak seorang suami adalah menikahi istrinya pada
masa iddahnya dari thalak raj’i. Hal itu karena tiadanya sebab
pengharaman.
Sedangkan apabila wanita itu menjalani masa
iddah dari laki-laki lain, maka tidak ada perbedaan di antara fuqaha’ tentang
rusaknya akad nikah. Apabila melangsungkan akad nikah dengan wanita yang
beriddah kemudian menyetubuhinya sebelum berakhirnya masa iddah, maka terdapat
perbedaan riwayat tentang hal itu, yaitu:
Diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab telah
mendengar berita tentang seorang pemuda dari Bani Staqif yang menikahi seorang
wanita dari Bani Quraish dan wanita tersebut sedang menjalani masa iddahnya.
Maka Umar bin Khattab mengutus seseorang kepada mereka berdua agar bercerai dan
memberi sangsi terhadap mereka seraya berkata: “Janganlah kamu menikahinya
selama-lamanya,” dan menjadikan maharnya menjadi hak Bait al-Mal. Peristiwa
tersebut akhirnya tersiar di kalangan masyarakat. Selanjutnya berita itu sampai
pada Ali ra. Kemudian Ali berkata: "Semoga Allah swt mengasihi Amir
al-Mu’minin. Apa hubungannya antara mahar dengan Bait al-Mal? Sesungguhnya
mereka berdua adalah orang yang bodoh. Maka selayaknya bagi Imam untuk
mengembalikannya pada Sunnah.” Kemudian Ali ditanya: “Lalu apa pendapatmu
tentang mereka berdua?” Ali berkata: “Wanita itu tetap mendapatkan maharnya
sebab dia telah menghalalkan kemaluannya. Kemudian mereka berdua bercerai, dan
tidak ada sangsi untuk mereka berdua. Hendaknya wanita itu menyempurnakan masa
iddahnya yang pertama kemudian menyempurnakan masa iddahnya yang kedua.
Selanjutnya laki-laki tadi bisa menjadi peminangnya.”
Pendapat Ali ini sampai pada Umar, maka dia
berkata: “Wahai umat manusia, kembalikanlah orang-orang yang bodoh itu pada
Sunnah.”
Sebab itulah, maka Abu Hanifah dan pengikutnya,
serta Syafi’i berpendapat tentang kewajiban memisah antara mereka berdua, dan
laki-laki tadi halal atau diperbolehkan untuk menikahinya setelah wanita
tersebut menyelesaikan masa iddahnya. Hal ini berdasarkan kesepakatan Umar bin
Khattab dan Ali ra. Di samping itu, menyetubuhinya laki-laki terhadap wanita
tersebut—walaupun diharamkan—tidak layak untuk menjadi sebab pengharaman
abadinya terhadap laki-laki tadi. Terlebih lagi perbuatannya disebabkan oleh
kebodohannya sebagaimana yang telah dikutip dari pendapat Ali ra.
Malik, al-Auza’i, al-Laits bin Sa’ad juga
berpendapat tentang kewajiban memisah antara mereka berdua, dan wanita itu
tidak dihalalkan untuk laki-laki tadi selama-lamanya. Hal ini berdasarkan
pendapat yang telah disampaikan oleh Umar ra, dan seakan-akan pendapat Ali
tidak sampai pada mereka, atau mereka tidak menukil pendapat Ali ra.
Pernikahan orang yang berzina
Apabila orang yang berzina ingin menikah dengan
wanita yang berzina dengannya, maka hukum pernikahannya adalah sah. Orang yang
berzina tetap harus menyetubuhinya walaupun kehamilannya telah tampak. Hal itu
disebabkan tidak adanya dalil yang mengharamkannya dan tiadanya kehormatan bagi
air mani yang dihasilkan dari perbuatan zina. Pendapat ini berasal dari Abu
Hanifah dan Syafi’i.
Menurut Imam Malik, laki-laki yang berzina itu
tidak boleh menikahi wanita yang berzina dengannya hingga wanita tersebut
menyucikan dirinya dari air mani yang kotor. Pernikahan memiliki kehormatan dan
kehormatannya adalah tidak menuangkan air maninya pada air mani hasil
perzinahan, sehingga sesuatu yang halal dengan yang haram akan tercampur aduk
dan air yang hina dengan air yang mulia menjadi tercampur pula.
Apabila laki-laki lain yang tidak melakukan
perbuatan zina berkeinginan untuk menikahi wanita yang berzina sebelum
kehamilannya tampak, maka dia dapat menikahinya dan menyetubuhinya berdasarkan
pendapat Abu Hanifah dan Imam Syafi’i tanpa harus melalui masa iddah bagi
wanita tersebut.
Muhammad bin al-Hasan dari madzhab Hanafi
berkata: Sesungguhnya sah menikah dengan wanita yang melakukan perbuatan zina
namun dimakruhkan melakukan persetubuhan dengannya hingga dia bersuci dari
haidnya. Hal itu dilakukan karena dikhawatirkan bahwa wanita tersebut telah
hamil dari hasil perzinahannya.
Imam Malik dan Ahmad berkata: Sesungguhnya
tidak diperbolehkan melakukan akad nikah dengan wanita yang hamil karena
perbuatan zina, kecuali setelah dia menyelesaikan masa iddahnya, karena iddah
tersebut untuk mengetahui kebersihan rahim. Apabila pernikahannya dilaksanakan
sebelum menjalani masa iddah, maka dikhawatirkan wanita tersebut telah hamil
sehingga pernikahannya menjadi batal dan tidak sah karena bisa termasuk
persetubuhan syubhat.
Menurut Abu Hanifah, Muhammad, dan Syafi’i,
apabila pernikahannya setelah kehamilannya tampak, maka bagi orang yang tidak
melakukan perbuatan zina bisa melakukan akad nikah dengannya. Namun diharamkan
mengorbankan kehamilannya hingga dia melahirkan. Hal itu berdasarkan hadis yang
telah diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw, bahwa beliau bersabda: “Tidak dihalalkan
bagi seseorang yang beriman kepada Allah swt dan hari akhir untuk menuangkan
air maninya di atas air mani orang lain.”
Malik, Ahmad, Abu Yusuf dan Zafar menyatakan
bahwa melakukan akad nikah dengan wanita yang hamil karena perbuatan zina
adalah tidak sah. Namun larangan tersebut bukan sebagai penghormatan terhadap
orang yang berzina, tetapi sebagai penghormatan terhadap bayi yang dikandung,
karena dia tidak memiliki dosa dan tidak layak mendapatkan siksa. Oleh sebab
itu, maka tidak diperbolehkan menggugurkan bayinya berdasarkan kesepakatan
ulama dan tidak dihalalkan menikahi ibunya hingga dia melahirkan kandungannya.[96]
Ibnu al-Qayyim meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad
saw telah memisah antara laki-laki dengan perempuan yang ketahuan hamil sebab
perbuatan zina.[97]
Wanita yang dithalak tiga
Allah swt telah mengharamkan seseorang untuk
melanjutan pernikahan atau kembali pada pernikahan antara laki-laki dan
perempuan yang telah dithalak tiga, kecuali setelah laki-laki lain menikahi
istrinya dengan pernikahan yang sesungguhnya. Kemudian suami yang kedua ini
menceraikannya atau meninggal dunia, maka pada waktu itu pula, suami yang
pertama diperbolehkan kembali menikahinya setelah berakhirnya masa iddah.
Mengenai hal ini, Allah swt berfirman: “Thalak yang dapat dirujuki dua kali.
Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan
cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah
kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah swt. Jika kamu khawatir bahwa keduanya suami
istri tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah swt, maka tidak ada dosa atas
keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.
Itulah hukum-hukum Allah swt, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa
yang melanggar hukum-hukum Allah swt, mereka itulah orang-orang yang dzalim.
Kemudian jika suami menthalaknya sesudah thalak kedua, maka perempuan itu tidak
halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami
yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami
pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah swt. Itulah hukum-hukum Allah swt.”[98]
Sunnah Nabi Muhammad saw juga telah memperkuat
hukum tersebut dan menjelaskan bahwa pernikahan wanita yang dithalak tiga harus
berupa pernikahan yang sesungguhnya dan dapat melakukan persetubuhan yang
sebenarnya dengan wanita tersebut. Telah diriwayatkan dari Aisyah ra, bahwa dia berkata:
“Istri
Rifaah al-Quradzi telah mendatangi Nabi
Muhammad saw seraya berkata: “Aku pernah menjadi istri
Rifaah tetapi dia telah menceraikan aku sebanyak tiga kali.
Kemudian aku menikah dengan Abdurrahman bin al-Zubair.
Tetapi apa yang aku rasakan bersamanya seperti bulu-bulu kain, yaitu
tidak bahagia bersamanya.” Rasulullah saw tersenyum dan bersabda: “Apakah engkau
ingin kembali bersama Rifaah? Tetapi kamu tidak boleh
bersamanya sehingga kamu merasakan kenikmatan berjimak dengan Abdullah dan
dia merasakan kelezatan jimak bersama kamu.”
Ketika itu Abu Bakar bersama Rasulullah saw dan Khalid bin Sa’id bin Ash berada
di pintu menunggu untuk diberi izin masuk, lalu Khalid berkata kepada Abu
Bakar: “Wahai Abu Bakar! Apakah
kamu mendengar apa yang dia tanyakan
kepada Rasulullah saw?”[99]
Tidak diragukan lagi bahwa illat dari
pengharaman wanita yang dithalak tiga dalam aspek ini adalah mengajak pada para
suami agar tidak tergesa-gesa menceraikan istrinya dengan sekali cerai yang
diikuti dengan thalak yang lainnya, apabila mengharuskannya melakkan hal itu.
Kemudian apabila keharusan akhir terulang untuk yang kedua kalinya, maka hal
itu berbahaya dalam mendidik dan menghukum istri dan dalam mengarungi kehidupan
mereka berdua sebagai sepasang suami istri. Apabil tidak ada keharusan untuk
melakukan thalak yang ketiga, maka hal itu—pada dasarnya—tidak akan terjadi
kecuali apabila hubungan suami istri sudah tidak bisa dilanjutkan. Namun
kebolehan kembali pada istri yang dithalak tiga setelah wanitanya menikah
dengan laki-laki lain dan suami berikutnya menceraikannya atau suaminya meninggal
dunia, maka hal itu akan menjadikannya sebagai pelajaran berharga bagi
masing-masing suami istri. Barangkali ketika mengingat kebaikan-kebaikan dari
masing-masing pasangannya, maka mereka berdua merasakan bahwa yang terbaik
adalah kembali kepada pasangannya. Dengan begitu, maka dimungkinkan untuk
mengabadikan sesuatu yang baru antara mereka berdua setelah mengetahui kadar
pasangan dan kebaikannya.
Sedangkan yang menjadi toleransi manusia atau
yang menjadi perlindungan darinya setelah melakukan thalak tiga, adalah suami muhallil.
Sesungguhnya pernikahan yang berwaktu tidak diridhai oleh Allah swt dan
Rasul-Nya dan wanita itu tetap tidak dihalalkan bagi suaminya yang pertama.
Cukuplah bagi kita untuk mengetahui gambaran Rasulullah saw tentang orang-orang
yang berlindung kepada pernikahan muhallil dalam sabdanya: “Sudikah
kalian jika aku kabari tentang kambing hitam yang dipinjam?” Mereka berkata:
“Ia wahai Rasulullah saw.” Kemudian Rasulullah saw bersabda: “Dia adalah muhallil.
Allah swt telah melaknat muhallil dan orang yang dihalalkan.”[100]
Mengumpulkan dua orang muhrim
Diharamkan
bagi seorang laki-laki untuk mengumpulkan dua orang wanita yang memiliki
hubungan kekerabatan, apabila seandainya salah satu dari keduanya adalah
laki-laki, maka mereka dilarang untuk menikah—pendapat ini berdasarkan pendapat
para imam yang empat. Para fuqaha’ telah mendapati bahwa setiap ayat yang
mengharamkan pengumpulan dua orang muhrim dengan pertimbangan bahwa antara
keduanya berasal dari kerabat yang dekat dan tidak diperbolehkan untuk
menyambungnya dalam pernikahan dan dilarang untuk memutusnya dalam kekerabatan.
Di antaranya adalah firman Allah swt yang berbunyi: “Diharamkan atas kamu
mengawini ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang
perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang
perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibu yang menyusui kamu,
saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang
ada dalam peliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu
belum campur dengan istrimu itu dan sudah kamu ceraikan, maka tidak berdosa
jika kamu mengawininya, dan diharamkan bagi kamu istri-istri anak kandungmu
(menantu), dan menghimpunkan dalam perkawinan dua perempuan yang bersaudara,
kecuali yang telah terjadi pada masa lampau.”[101]
Dan sabda Nabi Muhammad saw yang berbunyi: “Salah seorang dari kalian dilarang
menikahi seorang wanita berikut saudara perempuannya ayah (bibi dari pihak
ayah), atau bersama saudara perempuannya ibu (bibi dari pihak ibu), atau
bersama putri dari saudaranya yang perempuan, atau bersama putri dari
saudaranya yang laki-laki. Jika kalian melakukan hal itu, maka kalian telah
memutus hubungan silaturrahmi di antara kalian.” Begitu pula sabda Nabi
Muhammad saw: “Janganlah kalian mengumpulkan anak-anak perempuan kalian dengan
saudara-saudara perempuan kalian.”
Apabila
kita menerapkan kaidah yang telah ditetapkan oleh para fuqaha’, maka kita akan
mendapatkan dua orang saudara perempuan, jika salah satu dari keduanya
dijadikan laki-laki, maka dia akan menjadi saudara bagi yang lainnya dan
diharamkan bagi laki-laki tersebut untuk menikahi saudara perempuannya.
Demikian pula saudara perempuan ayahnya (bibi), apabila wanita tadi dijadikan
laki-laki, maka dia menjadi anak saudara bagi bibinya dan dia diharamkan untuk
menikahi bibinya. Seandainya bibinya tadi dijadikan laki-laki, maka dia menjadi
saudara laki-laki ayahnya (paman) bagi putri saudaranya dan dia diharamkan
untuk menikahinya. Demikian pula dengan seorang wanita bersama saudara
perempuan dari ibunya (bibi dari pihak ibu).
Tidak
ada perbedaan antara dua orang wanita yang muhrim baik yang disebabkan oleh
nasab atau susuan pada waktu itu juga. Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim telah
memperbolehkan dua orang muhrim yang disebabkan oleh faktor susuan karena tidak
adanya dalil nash yang mengharamkannya.
Menurut
madzhab Hanafi, sebagaimana tidak sahnya pernikahan seorang muslim dengan
saudara perempuan istrinya yang berada dalam penjagaannya, maka tidak sah pula
menikahi saudara perempuan istrinya yang telah dicerai dengan thalak raj’i atau
ba’in selama mantan istrinya masih menjalani masa iddahnya. Hal itu
dikarenakan mantan istri masih termasuk istrinya dari segi hukum.
Malik,
Syafi’i, dan Dzahiriyah berpendapat bahwa pengharaman mengumpulkan dua orang
wanita yang muhrim terjadi ketika berlangsungnya pernikahan yang hakiki atau
dalam masa iddah raj’i.
Sedangkan
apabila thalaknya berupa thalak ba’in, baik dengan thalak ba’in kecil
(sughra) atau thalak ba’in besar (kubra), maka pernikahannya
telah terputus. Apabila seseorang menikahi saudara perempuan dari istrinya yang
dithalak ba’in dan sedang menjalani masa iddahnya, maka tidak boleh
mengumpulkan dua wanita muhrim, sebagai pendapat yang berbeda dengan pendapat
madzhab Hanafi.
Jumhur fuqaha’
menyatakan bahwa keharaman mengumpulkan dua wanita muhrim dalam satu pernikahan
bukan suatu ketetapan penuh kecuali apabila pengharaman tersebut dari dua sisi.
Para fuqaha’ memperbolehkan untuk mengumpulkan dua orang wanita yang muhrim
apabila pengharamannya hanya terjadi dari satu sisi saja sebagaimana
mengumpulkan seorang anak perempuan bersama istri ayahnya dari anak perempuan
tersebut. Karena jika seandainya anak perempuan tersebut adalah laki-laki, maka
dia tidak dihalalkan untuk menikahi istri ayahnya, tetapi jika seandainya istri
ayahnya adalah seorang laki-laki, maka dia diperbolehkan untuk menikah dengan
anak perempuan tersebut.
Maka
pengharaman yang berasal dari satu sisi diperbolehkan untuk mengumpulkan dua
wanita yang muhrim.
Zafar
telah meriwayatkan bahwa kapanpun pengharaman ditetapkan dari salah satu sisi,
maka mengumpulkan dua wanita muhrim tersebut hukumnya adalah haram.
Namun
perbuatan ulama salaf telah memperkuat pendapat para imam. Abdullah bin Ja’far
telah mengumpulkan istri Ali ra dengan anak perempuannya dan tidak seorangpun
yang membantahnya.[102]
Mengumpulkan lebih dari empat orang istri
Diharamkan bagi seorang muslim untuk
mengumpulkan (poligami) lebih dari empat orang istri sebagai penerapan terhadap
firman Allah swt yang berbunyi: “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim yang
sudah baligh harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan
jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan
menukar dan memakan itu, adalah dosa yang besar. Dan jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bilamana kamu
mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi; dua, tiga,
atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
kawinilah seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”[103]
Sebab turunnya ayat ini adalah apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Syihab
seraya berkata: ‘Urwah bin al-Zubair telah mengabariku bahwa dia telah bertanya
kepada Aisyah tentang firman Allah swt yang berbunyi: “Dan jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim.” Maka
Aisyah berkata: Wahai putra saudariku, anak yatim ini berada dalam pemeliharaan
walinya. Anak yatim itu ikut serta dengannya, tetapi harta serta kecantikannya
telah memikat walinya. Kemudian walinya ingin menikahinya tanpa harus berbuat
adil dalam maharnya. Maka dia memberi sesuatu kepada anak yatim tersebut
seperti yang telah diberikan oleh orang lain. Oleh sebab itu, mereka dilarang
untuk menikahi anak yatim kecuali apabila mereka berbuat adil terhadap mereka
dan menyampaikan kepada para anak yatim tentang tingginya sunnah mereka dalam
mahar. Di samping itu, para wali diperintahkan untuk menikahi wanita yang
disenanginya selain anak-anak yatim.
‘Urwah berkata: Aisyah mengatakan bahwa
orang-orang telah meminta fatwa kepada Rasulullah saw setelah turunnya ayat
tersebut. Maka Allah swt menurunkan ayat al-Qur'an yang berbunyi: “Dan
mereka meminta fatwa kepadamu tentang para wanita.”[104]
Selanjutnya Aisyah berkata: Demikian pula dengan firman Allah swt yang
berbunyi: “Sedangkan kamu ingin menikahi mereka.”[105]
Artinya sebagai keinginan kalian terhadap anak wanita yatim ketika kalian
mengatakan bahwa mereka memiliki kekayaan dan kecantikan yang sedikit
sebagaimana yang telah dikatakan oleh Aisyah: Maka mereka dilarang untuk
menikahi anak-anak yatim kecuali dengan bersikap adil sebagaimana keinginan
mereka untuk menikahi anak-anak yatim ketika mereka tidak memiliki kekayaan dan
kecantikan.
Ibnu Kastir berkata tentang penafsiran firman
Allah swt yang berbunyi: “Dua, tiga, atau empat,” yaitu: Nikahilah
wanita yang kalian kehendaki selain anak-anak wanita yatim. Jika kalian mau
bisa dua orang, dan jika kalian mau bisa empat orang. Hal itu seperti firman
Allah swt yang berbunyi: “Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan
untuk mengurus berbagai macam urusan yang mempunyai sayap, masing-masing ada
yang dua, tiga, dan empat.”[106]
Artinya, di antara para malaikat ada yang memiliki dua buah sayap, ada yang
memiliki tiga buah sayap, dan ada pula yang memiliki empat buah sayap. Selain
itu, kenyataan itu tidak dinafikan untuk para malaikat karena adanya dalil yang
menunjukkannya, berbeda dengan seorang pemuda yang memiliki keterbatasan hingga
empat. Dari ayat ini, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Ibnu Abbas dan
jumhur ulama, karena posisinya adalah posisi pemberian dan pembolehan, maka
seandainya ada, niscaya diperbolehkan mengumpulkan lebih dari empat orang istri
karena ada penyebutannya.
Syafi’i berkata: Hadis Rasulullah saw telah
menunjukkan kejelasan ayat yang telah diturunkan oleh Allah swt bahwa tidak
diperbolehkan bagi seseorang selain Rasulullah saw untuk mengumpulkan lebih
dari empat orang istri.
Beberapa hadis yang menunjukkan hal itu adalah
hadis yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Umar bahwa Ghailan bin Salamah memiliki
beberapa orang istri. Kemudian Ghailan masuk Islam dan para istrinya juga ikut
masuk Islam. Kemudian Nabi Muhammad saw menyuruhnya untuk memilih empat orang
istri saja di antara mereka. Demikian hadis yang telah diriwayatkan oleh
al-Nasa’i dalam Sunannya.
Maka maksud dari dalil ini adalah: seandainya
diperbolehkan mengumpulkan lebih dari empat orang istri, niscara Rasulullah saw
memperkenankan seluruh istri untuk tinggal bersamanya ditambah lagi para istri
tersebut telah masuk Islam bersama Ghailan. Ketika Rasulullah saw menyuruhnya
untuk mempertahankan empat orang istri saja dan menceraikan yang lainnya, maka
hal itu menunjukkan tidak bolehnya memiliki lebih dari empat orang istri
sekaligus. Apabila hal ini berlaku pada kasus yang telah dan sedang terjadi,
maka tidak melakukannya sejak awal adalah cara yang lebih utama dan lebih
pantas.
Yang turut memperkuat hadis Ghailan adalah
hadis yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Umar dari Naufal bin Mu’awiyah al-Daili
ra seraya berkata: “Aku telah memeluk agama Islam dan aku memiliki lima orang
istri. Maka Rasulullah saw bersabda kepadaku: “Pilihlah empat orang istri yang
kamu sukai dan ceraikanlah sisanya.”[107]
Pemahaman terhadap ayat al-Qur'an dan hadis
yang disandarkan kepada Rasulullah saw ini memperkuat bahwa batas maksimal yang
bisa ditoleransi bagi seorang laki-laki adalah memiliki empat orang istri. Hal
itu menunjukkan kenyataan bahwa apa yang mereka lakukan adalah pemahaman mereka
terhadap ayat al-Qur'an dengan makna lainnya yang keliru. Di antara mereka ada
yang berpendapat tentang kebolehan menyatukan lebih dari empat orang istri
tanpa memberi batasan tertentu. Mereka beralasan bahwa pengkhususan terhadap
beberapa bilangan untuk para laki-laki tidak menafikan ketetapan hukum untuk
yang tersisa. Sedangkan dengan keumuman yang terdapat dalam firman Allah swt
yang berbunyi: “Maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi,”[108]
maka hal itu adalah seperti perkataanmu: Ambillah air di lautan sesukamu, baik
sebanyak satu desa, dua desa, atau tiga desa.
Hal itu sebagaimana mereka beralasan bahwa
Rasulullah saw telah menikah lebih dari empat orang istri. Oleh sebab itu, maka
menikah sebanyak empat orang istri dianggap mengikuti sunnah Rasulullah saw.
Selanjutnya Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang tidak mengikuti
sunnahku, maka dia tidak termasuk golonganku.” Maka dzahir hadis tersebut
adalah celaan terhadap orang yang meninggalkan pernikahan lebih dari empat
orang istri. Dengan begitu, maka tidak ada batas minimal untuk menetapkan asal
kebolehannya.[109]
Madzhab Dzahiri dan Rafidhah berpendapat
tentang kebolehan mengumpulkan sembilan orang istri. Alasan mereka adalah bahwa
huruf wawu dalam ayat itu adalah wawu mutlak. Maka firman Allah swt yang
berbunyi: “Dua, tiga, atau empat.” Berfungsi untuk menghalalkan pengumpulan
istri, yaitu sebanyak sembilan orang istri. Sebagian mereka telah berpegang
teguh dengan perbuatan Nabi Muhammad saw yang mengumpulkan lebih dari empat
orang istri hingga menjadi sembilan orang istri, karena beliau meninggal dengan
sembilan orang istri dan yang menjadi asal adalah—menurut mereka—tidak adanya
pengkhususan kecuali dengan adanya dalil.
Aliran Khawarij dan beberapa kelompok dari
aliran Rafidhah berpendapat bahwa jumlah yang ditolerir adalah delapan belas
istri, karena firman Allah swt yang berbunyi mastna tidak hanya
mengibaratkan bilangan dua, tetapi dua-dua. Begitu pula dengan stulasa dan
ruba’, maka jumlahnya adalah sembilan. Di antara mereka telah berpijak
pada perbuatan Nabi Muhammad saw yang mengumpulkan istri lebih dari empat orang
wanita hingga sembilan orang wanita, karena beliau meninggal dengan sembilan
orang istri dan yang menjadi asal adalah—menurut mereka—tidak adanya
pengkhususan kecuali dengan adanya dalil.
Aliran Khawarij dan beberapa kelompok dari
aliran Rafidhah berpendapat bahwa jumlah yang ditolerir adalah delapan belas
istri, karena firman Allah swt yang berbunyi mastna tidak hanya
mengibaratkan bilangan dua, tetapi dua-dua. Begitu pula dengan stulasa dan
ruba’, sehingga mengumpulkan istri yang ditolerir dalam menikahinya
adalah delapan belas orang.[110]
Pendapat seperti ini telah muncul dipermulaan
dan ia tidak membutuhkan diskusi yang panjang, karena ayat al-Qur'an setelah
menyebutkan sebab turunnya ayat, ia cukup jelas menentukan bahwa laki-laki yang
mengasuh anak-anak perempuan yatim dan takut untuk tidak bisa memberinya mahar mistil,
maka dia hendaknya berpaling kepada wanita yang lain. Pemalingan kepada wanita
lain disebabkan banyaknya para wanita dan Allah swt tidak akan mempersulit
untuknya. Mengenai hal itu, terdapat hadis yang telah diriwayatkan oleh Aisyah
yang menceritakan bahwa seorang pemuda mengasuh anak perempuan yatim yang
selanjutnya dinikahinya. Anak yatim itu memiliki kekayaan yang melimpah dan
sifat dermawan yang menjadi pemikat hati laki-laki tersebut. Namun dia tidak
memberi mahar apapun kepada anak tersebut, maka turunlah ayat al-Qur'an yang
berbunyi: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
hak-hak perempuan yatim.”[111]
Padahal wanita itu adalah partnernya dalam kedermawanan dan kekayaan.[112]
Dari sini, maka maksud yang dituju adalah toleransi
menikah dengan dua orang istri, atau tiga orang istri, atau empat orang istri.
Namun jika takut tidak dapat berbuat adil di antara mereka, maka cukup menikah
dengan seorang istri saja.
Sedangkan apa yang telah ditoleransikan untuk
Rasulullah saw adalah suatu kekhususan untuknya, karena dia memiliki tujuan
untuk mendirikan negara, membentuk umat, dan menyebarkan agama baru, yang
menuntutnya untuk memperluas kawanan hubungan kekeluargaan dan kesukuan yang
dapat memberi akses pada tujuannya agar bisa sampai pada derajat yang tinggi
dan tercapainya target yang dituju. Di samping itu, pernikahan Nabi Muhammad
saw berdasarkan aspek kemasyarakatan dan kemanusiaan yang penjelasannya
membutuhkan kepada hadis yang lebih spesifik tentang poligaminya Rasulullah saw.
Menurut hemat penulis, sangat disayangkan bahwa
umat manusia di masa kita ini pada umumnya dan para wanita dengan sifat
kewanitaannya, melihat bahwa orang yang menikah lebih dari satu orang istri
(poligami) telah melakukan perbuatan buruk dan kebohongan.
Sebenarnya, poligami adalah solusi bagi
kesulitan-kesulitan masyarakat yang menggambarkan bahwa masyarakat hari ini
banyak terdiri dari perawan tua karena membludaknya populasi wanita. Di samping
itu, mereka terpaksa untuk mengurusi beberapa kebiasaan dari para wanita yang
belum menikah sehingga mereka bebas di kerumunan masyarakat dan menebar
kebejatan dan kerusakan.
Ketika umur dunia semakin tua, maka seruan
untuk melakukan poligami adalah sasaran yang tepat karena beragamnya persoalan.
Terlebih lagi dengan bertambahnya populasi wanita dalam jumlah yang banyak
daripada jumlah laki-laki.
Dari Anas bin Malik, dia berkata: “Aku akan
meriwayatkan sebuah hadis yang tidak diriwayatkan oleh orang lain setelahku.
Aku pernah mendengar Rasulullah
saw bersabda: “Di antara tanda-tanda hari Kiyamat adalah terhapusnya
ilmu pengetahuan, munculnya kejahilan, perzinaan yang dilakukan
secara terang-terangan, banyaknya jumlah perempuan, dan sedikitnya
jumlah laki-laki sehingga lima puluh orang perempuan dipimpin oleh satu orang
laki-laki.[113]
Dari
Abu Musa ra, dia berkata: Dari Nabi Muhammad saw
bahawa beliau telah bersabda: “Umat manusia akan didatangi oleh suatu
zaman di mana seorang lelaki berjalan ke sana kemari membawa sedekah emas tetapi
tidak ada seorang pun yang ingin menerimanya. Dan terlihat juga seorang lelaki
yang diikuti oleh empat puluh orang wanita yang berlindung di bawahnya karena minimnya jumlah laki-laki dan jumlah wanita
yang sangat banyak.[114]
Etika poligami
Bagi seorang suami, apabila dia menikahi lebih dari seorang istri,
maka dia harus bersikap adil di antara istri-istrinya berdasarkan kadar
kemampuannya. Jangan pula berbuat dzalim karena dalam hal itu terdapat
penganiayaan dan penghinaan terhadap sebagian istri. Di samping itu, jadikanlah
pada diri Nabi Muhammad saw sebagai suri tauladan bagi kita.
Dari Aisyah, dia berkata: “Ketika Nabi Muhammad saw mulai lemah dan
sakitnya semakin parah, maka beliau meminta idzin pada istri-istrinya agar
supaya dirawat di rumahku. Maka mereka memberi idzin pada beliau. Kemudian
beliau pergi dengan dipapah oleh dua orang pemuda dengan kaki beliau yang
tertatih-tatih di atas tanah. Yaitu di papah di samping Ibnu Abbas dan seorang
lelaki lainnya.”[115]
Dari Aisyah bahwa apabila Nabi Muhammad saw hendak bepergian, maka
beliau mengundi di antara istri-istrinya.[116]
Dari Anas ra, jika aku berkehendak, maka aku akan berkata: Nabi
Muhammad saw telah bersabda, tetapi kenyataannya beliau telah bersabda:
“Apabila seseorang menikah dengan seorang perawan, maka dia tinggal bersamanya
selama tujuh hari, dan apabila dia menikah dengan seorang janda, maka dia
tinggal bersamanya selama tiga hari.”[117]
Keagungan hak-hak sepasang suami istri
Hak suami terhadap istrinya
Dari al-Hushain bin Mihshan bahwa bibinya mendatangi Nabi Muhammad
saw karena ada kebutuhan sehingga kebutuhannya terpenuhi. Kemudian Nabi
Muhammad saw bersabda kepadanya: “Apakah engkah memiliki suami?” Dia menjawab:
”Ia.” Nabi Muhammad saw bersabda: “Bagaimana engkau memperlakukannya?” Dia
menjawab: “Aku tidak mmperdulikannya kecuali apa yang tidak bisa aku lakukan.”
Kemudian Nabi Muhammad saw bersabda: “Maka lihatlah di mana posisimu dari
dirinya, karena sesungguhnya dia adalah surga dan nerakamu.”[118]
Dari Mu’adz bin Jabal bahwa ketika dia kembali dari Yaman, dia
berkata: “Wahai Rasulullah saw, aku mendapati orang-orang di Yaman bersujud
pada yang lainnya, tidakkah kami juga bersujud padamu?” Maka beliau bersabda:
“Seandainya aku menyuruh manusia untuk bersujud pada manusia yang lain, niscaya
aku akan menyuruh seorang wanita agar bersujud pada suaminya.”[119]
Penjagaan seorang istri terhadap rumah suaminya
Kalimat berupa “penjagaan seorang istri terhadap rumah suaminya”
mengandung makna yang cukup banyak dan sulit untuk merincinya di sini. Namun
kami akan meringkas maknanya sehingga kami dapat mengatakan: Hendaknya sang
istri tinggal di rumah suaminya dengan melaksanakan segala sesuatu yang disukai
oleh ssuaminya dan menjauhi segala sesuatu yang dibenci oleh suaminya.
Dari Ibnu Umar ra bahwa dia telah mendengar Rasulullah saw bersabda:
“Masing-masing dari kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap yang
dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas yang
dipimpinnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan dia
bertanggung jawab atas yang dipimpinnnya. Seorang wanita adalah pemimpin di
rumah suaminya dan bertanggung jawab atasnya. Dan seorang pembantu adalah pemelihara
dari kekayaan tuannya dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnnya.” Aku
pikir beliau juga telah bersabda: “Dan seorang laki-laki adalah pemimpin atas
kekayaan ayahnya dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnnya. Maka
masing-masing dari kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap apa
yang dipimpinnya.”[120]
Dari Uqbah bin ‘Amir ra, dia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “Hindarkanlah diri kalian dari masuk menemui wanita yang bukan mahramnya.
Seorang sahabat Ansar bertanya: “Wahai Rasulullah! Bagaimana kalau ipar? Rasulullah saw bersabda: “Ipar adalah kematian (lebih merisaukan).”[121]
Dari Abdullah bin Amr bin Ash bahwa seorang pemuda dari Bani Hasyim
mendatangi Asma’ binti Umaish. Kemudian Abu Bakar al-Shiddiq mendatanginya dan
waktu itu Asma’ adalah istrinya. Maka dia melihat mereka dan tidak menyukainya.
Kemudian dia menceritakan hal itu kepada Rasulullah saw, maka beliau bersabda:
“Aku tidak melihatnya kecuali kebaikan.” Selanjutnya Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah swt telah membersihkannya dari hal itu.” Kemudian
Rasulullah saw berdiri di atas mimbar seraya bersabda: “Setelah hari ini,
janganlah seorang laki-laki mendatangi wanita yang suaminya sedang tidak ada
kecuali bersama seorang lagi atau dua orang lainnya .”[122]
Menjaga kekayaan suami
Bagi seorang istri, hendaknya dia menjaga kekayaan suaminya. Maka
dia jangan membelanjakan kekayaan tersebut tidak pada tempatnya dan tidak pada
sesuatu yang tidak diridhai oleh suaminya. Jangan pula mengambilnya melebihi
kebutuhannya dan kebutuhan rumah tangganya. Apabila dengan sengaja melakukan
hal itu, maka dia telah sesat dan berbuat jahat. Namun apabila sang suami
adalah orang yang kikir, atau memberi pada istri kurang dari kebutuhan
semestinya, maka sang istri boleh mengambilnya namun tetap berdasarkan
kebutuhannya pula.
Dari Aisyah ra, dia berkata bahwa Hindun bintu Utbah bin Rabi’ah
datang seraya berkata: “Wahai Rasulullah saw, demi Allah swt, tidak ada orang
yang berkemah di muka bumi ini yang lebih aku cintai daripada mereka yang telah
melecehkan orang-orang yang berkemah dari golonganmu. Dan hari ini, tidak ada
orang yang berkemah menjadi orang yang aku cintai daripada orang-orang yang
telah memuliakan orang-orang yang berkemah dari golonganmu. Selanjutnya dia
berkata: “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah pemuda yang kikir. Lalu apakah aku
berdosa jika aku memberi makan orang-orang yang masih dari keluarga kami?”
Rasulullah saw bersabda: “Kamu tidak berdosa jika memberinya makan dengan cara
yang baik.”[123]
Dari Abu Umamah al-Bahili, dia berkata: “Aku mendengar Rasulullah
saw ketika melaksanakan haji wada’ bersabda: “Janganlah seorang wanita
menafkahkan sesuatu dari rumah suaminya kecuali dengan seidzin suaminya.
Kemudian beliau ditanya: “Wahai Rasulullah saw, apakah makanan juga?” maka
beliau bersabda: “Itu adalah kekayaan kita paling utama.”[124]
Walaupun Islam telah menjadikan seorang wanita dapat memiliki
kekayaannya secara khusus dan memperbolehkan baginya untuk menjadi orang yang
kaya dan bebas dari suaminya, namun Islam telah menyarankan para istri agar
supaya hal itu berdasarkan kerelaan suaminya. Caranya dengan mengikut sertakan
sang suami dalam kegiatan dan niat dari perbuatannya, seperti menyedekahkan
hartanya atau memberikan hartanya sebagai hadiah, atau dengan niat yang
lainnya.
Apa yang telah dianjurkan oleh Islam ini pada dasarnya hanyalah
untuk memperkuat hubungan kekeluargaan dan harmonisasi di antara sepasang suami
istri. Dari sana, maka membelanjakannya seorang istri terhadap harta
kekayaannya tanpa seidzin suami menurut pandangan Islam dibenarkan namun
hukumnya makruh, karena ia dapat membahayakan hubungan dari pasangan suami
istri.
Dari ‘Amr bin Syu’aib bahwa ayahnya telah mengabarinya dari Abdullah
bin ‘Amr bahwa Rasulullah saw telah bersabda: “Tidak diperbolehkan bagi seorang
istri untuk memberikan sesuatu kecuali setelah mendapatkan idzin dari
suaminya.”[125]
Dari Abdullah bin Yahya, seorang pemuda dari putra Ka’ab bin Malik,
dari ayahnya dari kakeknya bahwa neneknya, yaitu Khairah, istri dari Ka’ab bin
Malik, telah mendatangi Rasulullah saw dengan membawa intan permata seraya
berkata: “Sesungguhnya aku bersedekah dengan intan permata ini.” Maka
Rasulullah saw bersabda: “Seorang wanita tidak diperbolehkan untuk bersedekah
dengan hartanya kecuali dengan seidzin suaminya. Lalu apakah engkau telah
meminta idzin kepada Ka’ab?” Dia menjawab: “Ia.” Kemudian Rasulullah saw
mengirim seseorang untuk mendatangi Ka’ab bin Malik, suami dari wanita tadi, seraya
berkata: “Apakah engkau telah mengidzinkan Khairah untuk bersedekah dengan
intan permatanya?” Maka dia menjawab: “Ia.” Akhirnya Rasulullah saw menerima
sedekah intan permata tersebut dari Khairah.”[126]
Berhiasnya seorang istri untuk suaminya
Dari Jabir, dia berkata: “Rasulullah saw telah bersabda: “Apabila
salah seorang dari kalian pulang pada malam hari, maka janganlah menyetubuhi
istrinya sehingga seorang istri yang
ditinggal mati oleh suaminya menjalani masa iddahnya dan seorang istri yang
acak-acakan menyisir rambutnya terlebih dahulu.”[127]
Dari Hakim bin Mu’awiyah dari ayahnya dari Nabi Muhammad saw, bahwa
beliau bersabda: “Seorang pemuda bertanya padanya: “Apa hak seorang istri
terhadap suaminya?” Beliau bersabda: “Memberinya makan apabila engkau telah
makan, memberinya pakaian apabila engkau telah berpakaian, jangan memukul
wajah, jangan menjelek-jelekkannya, dan janganlah meng-hijr-nya kecuali
di dalam sebuah rumah.”[128]
Dari ‘Aun bin Juhaifah dari ayahnya, dia berkata bahwa Nabi Muhammad
saw telah mempersaudarakan antara Salman dan Abu Darda’. Kemudian Salman
mengunjungi Abu Darda’ dan melihat Ummu Darda’ berpakaian lusuh. Maka Salman
berkata: “Ada apa denganmu?” Ummu Darda’ berkata: “Saudaramu, Abu Darda’, sudah
tidak butuh lagi dengan kehidupan duniawi.” Setelah Abu Darda’ datang, dia
langsung menyajikan makanan untuk Salman. Selanjutnya dia berkata: “Makanlah.”
Salman menjawab: “Aku sedang berpuasa.” Kemudian Abu Darda’ berkata: “Aku tidak
akan makan sehingga kamu makan.” Akhirnya Salman-pun memakannya. Ketika telah
larut malam, maka Abu Darda’ beranjak pergi seraya berkata: “Tidurlah.” Maka
Salman-pun tidur. Kemudian Abu Darda’ beranjak pergi seraya berkata lagi:
“Tidurlah.” Ketika dipenghujung malam, Salman berkata: “Bangunlah sekarang dan
hendaklah kalian berdua melaksanakan shalat.” Selanjutnya Salman berkata:
“Sesunguhnya Tuhanmu punya hak atasmu, dirimu punya hak atasmu dan bagi
keluargamu juga punya hak atamu, maka berikanlah setiap hak itu kepada
masing-masing yang berhak memilikinya.” Maka Abu Darda’ mendatangi Nabi
Muhammad saw kemudian menceritakan peristiwa itu. Akhirnya Nabi Muhammad saw
bersabda: “Salam sudah benar.”[129]
Jangan meletakkan pakaian di tempat yang bukan
rumah suaminya
Dari Abu al-Malih al-Hudzali bahwa para wanita dari penduduk Himsh
atau penduduk Syam telah mendatangi Aisyah, maka Aisyah berkata: “Apakah
golongan kalian yang telah membiarkan para wanita mendatangi kamar mandi umum?
Sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada bagi
seorang wanita yang telah meletakkan pakaiannya di tempat yang bukan rumah
suaminya kecuali dia telah membuka aib antara dirinya dengan Tuhannya.”[130]
Dari Ali bahwa Fatimah ra mengeluh sambil menggiling tepung. Waktu itu beliau
mendengar bahwa Nabi Muhammad
saw telah mendapatkan seorang tawanan yang boleh dijadikan pelayan rumah tangga. Maka
Fatimah pergi menemui Nabi Muhammad saw untuk meminta
pelayan rumah tangga tersebut, namun dia tidak menjumpai Nabi Muhammad saw, tetapi berjumpa dengan Aisyah dan menceritakan
maksud kedatangannya. Ketika Rasulullah saw pulang, maka Aisyah terus menceritakannya kepada Nabi Muhammad saw. Selanjutnya Nabi Muhammad saw pergi menemui kami. Waktu itu kami sedang berada di tempat tidur, maka kami bangkit untuk menemui beliau, namun beliau bersabda: “Tetaplah di tempat kalian.” Ternyata aku merasakan dinginnya kaki beliau di dadaku. Selanjutnya
beliau bersabda: “Mahukah kalian jika aku ajarkan sesuatu yang
lebih baik dari permintaan kalian?” Apabila kalian berada di tempat tidur masing-masing, hendaklah
membaca takbir اللَّÙ‡ُ
اَÙƒْبَر sebanyak tiga puluh empat kali, membaca tasbih سُبْØَانَ اللَّÙ‡
sebanyak tiga puluh tiga kali, dan membaca tahmid الØَÙ…ْدُ Ù„ِÙ„َّÙ‡ sebanyak tiga puluh tiga kali. Sesungguhnya semuanya itu
adalah lebih baik bagi kalian daripada seorang pelayan rumah tangga.”[131]
Dari Asma' binti Abu Bakar
ra, dia berkata: “Al-Zubair telah mengawiniku. Dia tidak memiliki harta atau budak dan apa-apa pun di bumi ini kecuali keringat dan kudanya.
Oleh sebab itu, akulah yang memberinya makan, memberinya air minum, menjahit timbanya dan membuat adunan rotinya. Namun aku tidak bisa membuat roti dengan baik sehingga tetanggaku, yaitu wanita Ansar membantu untuk membuatkan roti untukku, mereka adalah para wanita yang tulus. Aku
biasanya memindahkan biji kurma dari tanah al-Zubair yang diberi oleh
Rasulullah saw dengan menjunjung biji kurma itu di atas kepalaku. Tanah itu jauhnya kira-kira dua
pertiga farsakh,. Pada suatu hari aku datang dengan membawa biji kurma di atas
kepalaku, lalu aku bertemu dengan Rasulullah saw bersama beberapa orang sahabat dari golongana Anshar. Selanjutnya
beliau memanggilku, kemudian mengucapkan: “Ikh, ikh,” (ucapan untuk memberhentikan unta). Beliau bermaksud agar supaya aku mau membonceng pada beliau di belakangnya.
Tetapi aku merasa malu untuk berjalan bersama para lelaki dan aku teringat al-Zubair dan kecemburuannya karena
dia adalah seorang pencemburu. Maka Rasulullah saw mengetahui
bahwa aku merasa malu sehingga beliau pergi berlalu. Kemudian aku mendatangi
al-Zubair seraya berkata: “Aku bertemu dengan Rasulullah saw sedangkan aku
memikul biji kurma di kepala dan beliau bersama para sahabat. Maka beliau
menghentikan untanya agar aku ikut mengendarainya. Namun aku merasa malu
padanya dan aku mengetahui kecemburuanmu.” Kemudian al-Zubair berkata: Demi Allah! Engkau menjunjung biji kurma di atas
kepalamu adalah lebih berat daripada engkau menunggang bersama Rasulullah saw.” Sesudah itu, Abu Bakar mengantarkan seorang pelayan yang dapat
menggantikan aku mengurusi kuda, seakan-akan dia membebaskanku.”[132]
Dari Ayyub Ibnu Abu Malikah bahwa Asma’ telah berkata: “Aku pernah
mengabdikan diriku pada al-Zubair sebagai pembantu rumah tangga, dan dia
memiliki kuda dan aku mengurusnya. Maka tidak ada pengabdian yang memberatkan
bagiku kecuali mengurusi kudanya. Aku telah merumput untuk kudanya, menjaganya,
dan mengurusinya. Selanjutnya Ayyub berkata: “Kemudian dia mendapatkan
pembantu, yaitu seorang tawanan yang telah mendatangi Nabi Muhammad saw,
kemudian beliau memberikannya pada Asma’. Selanjutnys Asma’ berkata: “Cukuplah
bagiku untuk mengurusi kuda tersebut dan terbebas dari pembiayaan.”[133]
Kepatuhan kepada suami selagi bukan dalam maksiat
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw pernah ditanya: “Wanita mana
yang lebih baik?” Maka beliau bersabda: “Yaitu wanita yang membahagiakan suami
ketika dia melihatnya, mematuhi suami ketika dia menyuruhnya, dan tidak berbeda
pendapat dengan suami tentang sesuatu yang tidak disukai oleh suaminya, baik
yang berkenaan untuk dirinya sendiri maupun untuk harta sang suami.”[134]
Dari Aisyah bahwa seorang perempuan dari Anshar telah menikahkan
putrinya namun rambut di kepala putrinya rontok. Maka dia mendatangi Nabi
Muhammad saw dan menceritakan peristiwa tersebut. Kemudian dia berkata:
“Sesungguhnya suaminya telah menyuruhku untuk menyambung rambutnya.” Maka Nabi
Muhammad saw bersabda: “Jangan. Sesungguhnya orang yang menyambung rambut benar-benar
dilaknat.”[135]
Dari Qais bin Thalq bin Ali, dia berkata bahwa Rasulullah saw
bersabda: “Apabila seorang laki-laki memanggil istrinya karena suatu kebutuhan,
maka hendaknya wanita tersebut mendatangi suaminya walaupun dia berada di depan
tungku.”[136]
Dari Mu’adz bin Jabal dari Nabi Muhammad saw, beliau bersabda:
“Janganlah seorang istri mengganggu suaminya selama di dunia karena istrinya
yang berada di Hur al-‘ain akan berkata: “Janganlah engkau mengganggunya,
niscaya Allah swt akan mencelakakanmu, karena dia adalah orang yang akan
memasukkanmu ke surga dan dia hampir memisahkanmu dengan kami.”[137]
Dari Qais bin Sa’ad, dia berkata: “Aku sedang kebingungan, lalu aku
melihat mereka sedang bersujud pada pemimpin mereka. Maka aku berkata:
“Rasulullah saw lebih berhak untuk disujudi.” Selanjutnya dia berkata:
“kemudian aku mendatangi Nabi Muhammad saw dan berkata: “Aku sedang
kebingungan, lalu aku melihat mereka sedang bersujud pada pemimpin mereka.
Padahal engkau wahai Rasulullah saw, adalah lebih berhak apabila kami bersujud
padamu.” Rasulullah saw bersabda: “Apakah engkau juga berpikiran jika engkau
melewati kuburanku, maka engkau juga akan bersujud?” Aku berkata: “Tidak.” Maka
Rasulullah saw bersabda: “Maka janganlah kalian lakukan hal itu. Seandainya aku
menyuruh seseorang untuk bersujud pada orang lain, niscaya aku akan menyuruh
para wanita untuk bersujud pada suami mereka berdasarkan beberapa hak suami
yang telah dijadikan oleh Allah swt atas istri-istri mereka.”[138]
Dari Ibnu Abbas dari Rasulullah saw, beliau bersabda: “Terdapat tiga
orang yang shalatnya tidak terangkat
melebihi sejengkal dari kepalanya, yaitu laki-laki yang memimpin suatu kaum
namun mereka membencinya, perempuan yang tidur pada malam hari namun suaminya
murka padanya, dan dua orang bersaudara yang saling bermusuhan.”[139]
Dari Abu Hurairah, dia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Apabila seorang suami mengajak istrinya untuk bersetubuh kemudian sang istri
menolak ajakan suaminya sehingga pada malam itu sang suami marah pada istrinya,
maka para malaikat melaknatnya hingga menjelang pagi hari.” Waqi’ berkata:
“Sang suami murka.”[140]
Jangan melaksanakan puasa sunnah ketika suami ada bersamanya kecuali
mendapatkan idzin darinya.
Dari Abu Hurairah dari Nabi Muhammad saw, beliau bersabda:
“Janganlah seorang istri melaksanakan ibadah puasa apabila suaminya ada
bersamanya kecuali apabila telah mendapatkan idzin darinya.”[141]
Hak-hak istri atas suaminya
Dari Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash ra, dia berkata: “Rasulullah saw
mendatangiku, kemudian menyebutkan hadits, yaitu: “Sesungguhnya bagi istrimu
terdapat hak atasmu, sesungguhnya bagi istrimu terdapat hak atasmu.” Kemudian
aku bertanya: “Lalu apa itu puasa Daud?” Beliau bersabda: “Yaitu puasa setengah
masa (dahr).”[142]
Menyertai dalam pekerjaan
Dari Ummu Salamah ra, dia berkata: “Ketika aku sedang berbaring bersama Rasulullah saw dalam satu
selimut, tiba-tiba aku haid, lantas aku keluar secara perlahan-lahan untuk
mengambil pakaian khusus semasa haid. Rasulullah saw bertanya kepadaku: “Apakah kamu sedang haid?” Aku menjawab: “Ya.” Kemudian
beliau memanggilku, maka aku berbaring lagi bersama
beliau dalam satu selimut.” Ummu Salamah melanjutkan perrkataannya bahwa Nabi Muhammad saw
pernah memeluknya ketika beliau sedang berpuasa dan aku mandi bersama Rasulullah saw dengan menggunakan air bekas janabah.”[143]
Dari Abu Hurairah ra, dia berkata
bahwa Rasulullah saw pernah bersabda: “Aku berwasiat kepada kalian
tentang wanita, karena sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk. Sesungguhnya paling bengkoknya tulang rusuk adalah paling atasnya. Jika engkau
mencoba untuk meluruskannya, maka engkau akan mematahkannya. Tetapi jika engkau membiarkannya saja, maka ia akan tetap dalam keadaan bengkok. Maka berwasiatlah kalian tentang
wanita.”[144]
Dari Aisyah ra, dia berkata bahwa pada suatu hari Rasulullah saw
bersabda: “Wahai Aisyah, ini Jibril mengucapkan salam padamu.” Maka aku
berkata: “Wa ‘alaihissalam wa rahmatullah wa barakatuh, engkau dapat
melihat apa yang tidak dapat aku lihat dan engkau memiliki maksud dengan
Rasulullah saw.”[145]
Dari Anas ra, dia berkata: “Rasulullah saw pernah dalam suatu perjalanan berkata kepada seorang pelayan berkulit
hitam bernama Anjasyah yang sedang memandu kendaraan yang dinaiki oleh
istri-istri Nabi. Kemudian Rasulullah saw bersabda
kepadanya: Wahai Anjasyah! Perlahanlah dalam berkendaraan. Berlaku lembutlah kepada kaum wanita.”[146]
Dari Aisyah, dia berkata: “Pada hari raya, orang Habasyah datang
menari-nari di masjid, maka Nabi Muhammad saw memanggilku, kemudian aku
meletakkan kepalaku pada pundaknya sehingga aku dapat melihat permainan mereka
sampai aku berpaling dari memandangi mereka.”[147]
Tidak melakukan pemukulan yang menyakitkan
Dari Abdullah bin Zam'ah
ra, dia berkata: “Rasulullah saw berkhutbah kemudian menyebutkan tentang wanita dan
memberi nasihat kepada
sahabat mengenai mereka seraya bersabda: “Mengapa ada di antara kalian yang memukul isterinya seperti memukul seorang
budak padahal ada kemungkinan dia akan menyetubuhinya di penghujung malamnya.”[148]
Dari Abdullah bin Abdullah bin Umar bin Iyas bin Abdulah bin Abu
Dzubab, dia berkata bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: “Janganlah kalian memukul
hamba-hamba Allah swt.” Kemudian Umar mendatangi Nabi Muhammad saw seraya
berkata: “Wahai Rasulullah saw, para wanita telah berbuat berani pada suami
mereka, maka suruhlah mereka untuk memukulnya. Akhirnya para wanita itu
dipukuli. Kemudian beberapa wanita dalam jumlah yang cukup banyak mengitari
keluarga Nabi Muhammad saw. Ketika menjelang pagi, berkata: “Tadi malam, tujuh
puluh wanita telah mengitari keluarga Muhammad saw, masing-masing dari mereka
mengadukan suaminya, maka kalian tidak akan menemukan pilihan lain untuk
mereka.”[149]
Memberi nafkah
Dari Umar ra, dia berkata: “Harta benda Bani Nadhir termasuk di antara pemberian Allah swt kepada Rasul-Nya, yaitu hasil rampasan orang-orang Islam yang dihasilkan tanpa harus
berperang. Harta rampasan tersebut khusus untuk Nabi Muhammad
saw guna menafkahi isteri-isterinya selama satu tahun.
Selebihnya dibelanjakan untuk membeli perlengkapan perang dan persenjataan yang akan digunakan di jalan Allah swt.”[150]
Dari Aisyah ra, dia berkata bahwa Hindun bintu Utbah bin Rabi’ah
datang seraya berkata: “Wahai Rasulullah saw, demi Allah swt, tidak ada orang
yang berkemah di muka bumi ini yang lebih aku cintai daripada mereka yang telah
melecehkan orang-orang yang berkemah dari golonganmu. Dan hari ini, tidak ada
orang yang berkemah menjadi orang yang aku cintai daripada orang-orang yang
telah memuliakan orang-orang yang berkemah dari golonganmu.” Selanjutnya dia berkata:
“Sesungguhnya Abu Sufyan adalah pemuda yang kikir. Lalu apakah aku berdosa jika
aku memberi makan orang-orang yang masih dari keluarga kami?” Rasulullah saw
bersabda: “Kamu tidak berdosa jika memberinya makan dengan cara yang baik.”[151]
Dari Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya, dia berkata: “Aku
berkata: “Wahai Nabi Allah, kami tidak menggauli istri-istri kami namun kami
tidak bernadzar tentangnya.” Kemudian Nabi Muhammad saw bersabda: “Ladangmu,
datangilah ladangmu dari mana saja yang kamu sukai tanpa harus memukul wajah,
jangan menjelek-jelekkan, jangan pula meng-hijr-nya kecuali di dalam
rumah, dan berilah dia makan apabila engkau telah makan dan berilah dia pakaian
apabila engkau telah berpakaian. Bagaimana mungkin, padahal sebagian dari
kalian telah mendatangi sebagian yang lain, kecuali dengan sesuatu yang telah
dipastikan baginya.”[152]
Etika bersenggama bagi pasangan suami istri
Doa yang diucapkan ketika berjima’
Dari Ibnu Abbas ra, dia berkata: “Rasulullah saw pernah bersabda: “Seandainya salah
seorang di antara kalian ingin bersetubuh dengan
istrinya, maka hendaklah dia membaca doa: “Bismi Allah Allahumma jannibna al-syaithan wa jannib
al-syaithan ma razaqtana, (Dengan nama Allah, Wahai Tuhanku! Jauhilah kami dari syaitan dan jauhkanlah syaitan
dari apa yang telah
Engkau kurniakan kepada kami).” Seandainya hubungan kelamin itu ditakdirkan dengan mendapatkan seorang anak, maka anak itu tidak akan diganggu oleh syaitan untuk
selamanya.”[153]
Affan telah bercerita kepada kami bahwa Wuhaid telah bercerita
kepada kami bahwa Abdullah bin Ustman bin Justaim bin Abd al-Rahman bin Sabith
berkata: “Aku mendatangi Hafsah putri
Abd al-Rahman lalu aku berkata: “Aku ingin bertanya padamu tentang suatu hal,
namun aku malu untuk menanyakannya.” Maka dia berkata: “Janganlah kamu merasa
malu wahai putra saudaraku.” Dia berkata: “Yaitu pertanyaan tentang wanita yang
disetubuhi dari arah belakang.” Maka Hafsah berkata: “Ummu Salamah telah
bercerita kepadaku bahwa orang-orang Anshar tidak menyetubuhi para wanita dari
arah belakang, dan orang-orang Yahudi berkata bahwa barang siapa yang
menyetubuhi istrinya dari belakangnya, maka anaknya bisa menjadi juling. Ketika
orang-orang Muhajirin tiba di Madinah, maka mereka menikahi para wanita Anshar.
Kemudian mereka menyetubuhinya dari belakang, namun para wanita itu menolak
untuk memenuhi permintaan suaminya seraya berkata kepada suaminya: “Janganlah
kamu melakukan hal itu sehingga bertanya kepada Rasulullah saw.” Kemudian
wanita Anshar tersebut mendatangi Ummu Salamah dan menceritakan hal tersebut.”
Ummu salamah berkata: “Duduklah dulu sampai Rasulullah saw datang.” Ketika
Rasulullah saw datang, wanita Anshar tersebut merasa lalu untuk menanyakannya,
lalu dia keluar. Akhirnya Ummu Salamah menceritakannya kepada Rasulullah saw.
Kemudian Rasulullah saw bersabda: “Panggillah wanita Anshar tadi.” Maka wanita
tersebut dipanggil. Selanjutnya Rasulullah saw membacakan ayat tersebut:
“Istri-istrimu adalah seperti tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah
tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.”[154]
Sebagai satu keputusan.”[155]
Yang diperbolehkan bagi suami ketika istrinya
sedang haid
Dari Harm bin Hakim dari pamannya bahwa dia bertanya kepada
Rasulullah saw: “Apa yang boleh aku perbuat pada istriku ketika dia sedang
haid?” Rasulullah saw bersabda: “Kamu hanya boleh melakukan sesuatu pada bagian
tubuh dari sarung ke atas.”[156]
Dari Zaid bin Aslam, dia berkata: “Apa yang boleh aku perbuat pada
istriku ketika dia sedang haid?” Rasulullah saw bersabda: “Hendaknya sang istri
megencangkan sarungnya kemudian terserah kamu untuk berbuat di atasnya.”[157]
Dari Anas bahwa orang-orang Yahudi apabila istrinya sedang haid,
maka mereka tidak memberinya makan, dan tidak pula berkumpul bersama mereka
dalam satu rumah. Kemudian sahabat Nabi bertanya kepada Nabi Muhammad saw. Maka
Allah swt menurunkan ayat al-Qur'an yang berbunyi: “Mereka bertanya kepadamu
tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah kotoran..” Oleh sebab itu
hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita yang sedang haidh.”[158]
Hingga akhir ayat. Selanjutnya Rasulullah saw bersabda: “Berbuatlah segala
sesuatu kecuali berjimak.”[159]
Melakukan ‘azl
Dari Abu Sa’id al-Khudri, dia berkata: “Perbuatan ‘azl telah
diceritakan kepada Nabi Muhammad saw. Maka Nabi Muhammad saw bersabda: “Apa
yang terjadi pada kalian?” Mereka berkata: “Seorang pemuda memiliki istri yang
sedang menyusui lalu dia menyetubuhinya namun istrinya tidak ingin hamil. Ada
pula seorang pemuda yang memiliki budak perempuan dan dia menyetubuhinya namun
budak tersebut tidak ingin hamil.” Rasulullah saw bersabda: “Jangan, kalian
jangan sampai melakukannya, karena hal itu adalah sebuah takdir.” Ibnu ‘Auf
berkata: “Kemudian aku menceritakannya kepada al-Hasan, maka dia berkata: “Demi
Allah swt, seakan-akan ini adalah larangan.”[160]
Dari Jabir ra, dia berkata: “Kami melakukan a'zal pada
masa Nabi Muhammad saw ketika itu al-Quran diturunkan.”[161]
Larangan menyebar berita yang terjadi di antara
sepasang suami istri
Dari Abd al-Rahman bin Sa’ad, dia berkata: “Aku mendengar Abu Sa’id
al-Khudri berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya paling buruknya
kedudukan manusia di sisi Allah swt pada hari kiamat adalah seorang pemuda yang
memberitahukan rahasianya kepada istrinya dan istrinya memberitahukan
rahasianya kepada suaminya kemudian suaminya menyebarkan rahasia istrinya.”[162]
Hadis Ummu Zar’in: contoh teladan bagi kehidupan
sepasang suami istri
Dari Aisyah ra, dia berkata: “Sebelas orang wanita telah bersepakat untuk menceritakan perihal
suami mereka. Wanita pertama berkata: “Suamiku seperti daging unta yang busuk yang berada
di puncak bukit yang tinggi dan tidak dapat didaki. Dia tidak berlemak dan mudah
untuk bergerak.” Wanita kedua berkata: “Aku tidak boleh menceritakan mengenai suamiku. Aku
takut dan aku tidak boleh memberitahu mengenainya. Sekiranya aku memberitahu
mengenainya, berarti aku membuka aibnya.” Wanita ketiga berkata: “Suamiku telah membuat persyaratan; seandainya aku menceritakannya, maka
aku akan dicerainya dan seandainya aku diam diri tidak bercerita, maka aku akan dikasihi.” Wanita ke empat berkata: “Suamiku seperti cuaca di Negeri Tihamah, tidak panas dan tidak
sejuk, tidak menakutkan dan tidak menjemukan.” Wanita kelima berkata: “Suamiku, ketika memasuki rumah seperti macam kumbang, tetapi apabila keluar rumah seperti seekor singa. Dia tidak akan bertanya persoalan-persoalan yang bukan urusannya.” Wanita keenam berkata: “Apabila suamiku makan, dia akan menghabiskan makanannya. Seandainya dia minum, maka dia akan menghabiskan minumannya. Seandainya dia tidur, maka dia akan berselimut dan tidak memasukkan telapak tangannya karena dia
tahu kesulitannya.” Wanita ketujuh berkata: “Suamiku adalah seorang lelaki yang lemah syahwat. Walaupun telah berobat tetapi belum juga
sembuh. Di samping itu dia ringan tangan.” Wanita kedelapan berkata: “Sentuhan suamiku seperti sentukan kelincin dan aromanya seperti aroma pohon Zarnab.” Wanita kesembilan berkata: “Suamiku adalah seorang yang mulia, seorang yang pemberani, dermawan, dan rumahnya berdampingan dengan tempat permainan.” Wanita kesepuluh berkata: “Suamiku adalah seorang pembesar dan
banyak memiliki harta, beliau memiliki banyak unta. Sebahagian besar
unta-untanya pula dibiarkan di halaman rumah namun untanya sedikit yang hamil. Seandainya unta-unta itu mendengar tiupan seruling mereka mengetahui bahwa
mereka akan disembelih.” Wanita kesebelas berkata: “Suamiku bernama Abu Zar'in. Tahukah kamu siapakah Abu Zar'in? Dia yang telah
memberiku anting-anting pada sepasang telingaku. Dialah yang memberiku makanan-makanan berlemak sehingga aku kelihatan sehat. Dia
suka memujiku, dia mengambilku dari keluarga
susah dan menjadikanku sebagai salah seorang anggota
keluarga yang kaya. Dia tidak pernah mencaciku, sehingga aku dapat tidur
dengan nyenyak sampai pagi hari dan aku dapat minum dengan tenang. Di samping itu bagaimana dengan Ummu Abu Zar'in. Tahukah
kamu siapa Ummu Abu Zar'in? Dia memiliki harta simpanan dan rumahnya sangat luas.
Maka bagaimana pula Ibnu Abu Zar'in. Tahukah kamu siapakah Ibnu Abu Zar'in? Tempat tidurnya seperti pelepah tamar. Dia merasa kenyang dengan makan sebelah kaki kambing. Maka bagaimana
pula Anak perempuan Abu Zar'in. Tahukah kamu siapakah anak perempuan Abu Zar'in? Dia sangat mentaati kedua orang tuanya. Tubuhnya montok dan sering menasihati tetangganya. Maka bagaimana pula pelayan Abu Zar'in, tahukah kamu siapakah pelayan Abu Zar'in? Dia tidak pernah menyebarkan rahasia kami dan sangat jujur sekalipun dalam soal
makanan. Dia tidak pernah membiarkan rumahku kotor. Setelah itu dia berkata: “Satu hari Abu Zar'in keluar dengan membawa wadah dari kulit yang diisi dengan susu. Dia menemui seorang wanita yang
mempunyai dua orang anak. Kedua anaknya itu seperti dua ekor macan kumbang. Mereka bermain dengan dua biji buah delima di bawah
pinggang ibunya. Kemudian
dia menceraikan aku dan mengawini wanita itu. Setelah itu aku
kawin dengan seorang lelaki yang baik dan kaya. Tunggangannya adalah seekor
kuda terpilih. Dia
membawa aku ke kandang yang penuh dengan binatang
ternak. Kemudian dia berkata: “Makanlah wahai Ummu Zar'in dan istirahatlah supaya hilang rasa lelahmu.” Selanjutnya dia berkata: “Seandainya aku kumpulkan pemberiannya dengan pemberian Abu Zar'in, niscaya pemberiannya tidak akan sama dengan pemberian Abu Zar'in yang
paling sedikit
sekalupun.” Aisyah ra berkata: “Rasulullah saw bersabda
kepadaku: “Hubunganku denganmu seperti hubungan Abu Zar'in dengan Ummu
Zar'in.”
Abu Abdullah berkata bahwa Sa’id bin Salamah berkata dari Hisyam:
“Janganlah kamu menganiaya kami.” Abu Abdullah dan sebagian ulama berkata:
“Maka penolakan untuk menggunakan huruf mim adalah lebih benar.”
Ulama berkata: “Dalam hadis Ummu Zar’in ini terdapat beberapa
faedah, di antaranya: Anjuran untuk berbuat baik kepada keluarga; kebolehan
untuk memberi kabar tentang umat terdahulu; perumpamaan terhadap sesuatu tidak
mengharuskan keberadaannya sepadan dalam segala hal; kinayah atau kiasan
pengucapan thalak tidak menimbulkan terjadinya thalak kecuali apabila disertai
dengan niat, karena Nabi Muhammad saw telah bersabda kepada Aisyah: “Hubunganku denganmu seperti hubungan Abu Zar'in dengan Ummu
Zar'in,”
sedangkan perbuatan Abu Zar’in di antaranya adalah menceraikan istrinya, Ummu
Zar’in, sebagaimana pada pemaparan sebelumnya. Namun perceraian ini tidak
terjadi pada Nabi Muhammad saw walaupun dengan cara menyerupai Abu Zar’in
karena beliau tidak berniat untuk menceraikan istrinya.
Al-Marizi berkata bahwa sebagian ulama telah berkata: “Bahwa dalam
hadis ini para wanita telah menceritakan kepada teman-temannya perihal
keburukan suami mereka. Maka hal itu bukanlah suatu perbuatan ghibah
karena mereka tidak memberitahukan perihal inisial dan nama mereka.
Sesungguhnya ghibah yang diharamkan adalah menyebutkan seseorang dengan
inisial mereka atau menyebutkan suatu kelompok dengan inisial mereka pula.
Selanjutnya al-Marizi berkata: Sesungguhnya kewaspadaan ini
dibutuhkan karena jika seandainya Nabi Muhammad saw mendengar seorang wanita
membuka aib suaminya dan suaminya tidak diketahui identitasnya, maka beliau
memberi ketetapan terhadap hal itu. Sedangkan dalam peristiwa ini, sesungguhnya
Aisyah telah menceritakan beberapa wanita yang tidak diketahui identitasnya.
Akan tetapi jika seandainya seorang wanita pada hari ini telah menceritakan
sifat-sifat yang tidak disukai dari suaminya dan suaminya sudah dikenal oleh
para pendengar, maka hal itu adalah ghibah yang diharamkan. Namun
apabila tidak diketahui dan pendengar tidak dapat mengenalnya setelah
pembicaaan berlalu, maka hal itu tidak berdosa menurut ulama sebagaimana yang
telah kami paparkan sebelumnya. Al-Marizi telah menjadikannya sebagaimana orang
yang mengatakan: “Di antara orang alim terdapat orang yang minum dan mencuri.”
Selanjutnya al-Marizi mengatakan bahwa apa yang telah dikatakan oleh
orang yang menceritakan mengenai hal itu terdapat beberapa kemungkinan.
Al-Qadhi ‘Iyadh mengatakan bahwa orang yang mengatakan mengenai hal itu benar
adanya, karena apabila identitasnya tidak diketahui oleh para pendengar dan
orang yang mendapatkan informasi mengenainya, maka hal itu tidak termasuk
perbuatan ghibah, karena dia tidak merugikan dengan menegaskan
identitasnya. Selanjutnya Al-Qadhi ‘Iyadh berkata: “Ibrahim telah berkata:
“Tidak termasuk perbuatan ghibah selagi dia tidak menyebutkan nama
suaminya, atau mengabarinya dengan sesuatu yang dapat dipahami. Sedangkan
identitas para wanita itu beserta para suaminya tidak diketahui, dan agama
Islam belum memutuskan untuk mereka sehingga mereka dihukumi dengan perbuatan ghibah
jika seandainya identitasnya diketahui. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang
identitasnya tidak diketahui? Hanya Allah swt yang maha tahu.
[1] QS. Al-Dukhan : 54 dan al-Thur : 20.
[2] QS. Al-Takwir : 7.
[3] QS. Al- Syura : 50.
[4] QS. Al- Shaffat : 22.
[5] QS. Al- Shaffat : 22.
[6] Tafsir Ibnu Kastir, 7,6/6.
[7] QS. Al-Ahzab : 37.
[8] QS. Al-Baqarah : 235.
[9] QS. Al-Baqarah : 221.
[10] Lihat dalam al-Zawaj fi al-Syari’ah
al-Islamiyah, h. 7.
[11] QS. Al-Nisa’ : 22.
[12] Muttafaq ‘alaih. Telah diriwayatkan oleh
al-Bukhari dalam Kitab Fadhail al-Qur'an (5030), Imam Muslim (1425), Abu
Daud dalam Kitab al-NIkah (1889), al-Turmudzi dalam Kitab al-Nikah (1114),
al-Nasa’i dalam Kitab al-NIkah (3280), Malik dalam Kitab al-NIkah (1118),
al-Darimi dalam Kitab al-Nikah (2201), dan Imam Ahmad (22292).
[13] Kualitas hadis ini adalah lemah (dhaif)
sekali.. Telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad seorang diri (22292).
Menurut hemat penulis, illat
dalam sanad hadis ini adalah ‘Amr bin Maimun yang telah distiqahkan oleh
Abu Daud al-Sajastani. Sedangkan al-Bukhari berkata bahwa dia adalah pengingkar
hadis.
[14] Kualitas hadis ini adalah hasan. Telah
diriwayatkan oleh Abu Daud seorang diri dalam Kitab al-NIkah (2117).
[15] QS. Al-Baqarah : 235.
[16] QS. Al-Baqarah : 234.
[17] Lihat dalam al-Um, 5/32, Raudhal
al-Thalibin, 7/31, dan Tafsir Ibnu Kastir, 1/422.
[18] Tafsir Ibnu Kastir, 1/422.
[19] Lihat dalam Dirasat fi Ahkam al-Usrah, h.
192.
[20] Lihat dalam al-Um 5/32.
[21] Muttafaq ‘alaih. Telah diriwayatkan oleh
al-Bukhari dalam Kitab al-Buyu’ (2139), Imam Muslim dalam Kitab
al-Nikah (1412), Abu Daud dalam Kitab al-Buyu’ (3436), al-Turmudzi
dalam Kitab al-Buyu’ (1292), al-Nasa’i dalam Kitab al-NIkah (3243),
dan Imam Ahmad (5998).
[22] QS. Al-An’am :
151.
[23] QS. Al-Nisa’ : 23.
[24] QS. Al-Maidah : 6.
[25] Al-Muwattha’ : 22 (28) Kitab al-Nikah
(1) Bab Ma ja’a fi al-Khitbah wa al-Mughni 6/605.
[26] Lihat dalam Raudhah al-Thalibin, 7/330
dan Fath al-Qadir, 3/255-256.
[29] Mawahib al-Jalil bi Syarah Mukhtashar Khalil karya
al-Khatib, 3/217-218, dan al-Syarah al-Kabir karya Ahmad
al-Dardir, 2/195-196.
Menurut hemat penulis,
hal ini mendekati pada keadilan dan ketenangan jjiwa, karena terdapat penjagaan
dan pemeliharaan terhadap beberapa hak. Bahkan pinangan ini tidak menyusahkan
sebagaimana banyak terjadi pada para wanita, seperti perampasan harta benda dan
pembatalan peminangan karena sebab yang sepele.
[30] Al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah karya Ibnu
Hajar al-Haisyami, 4/112.
[31] Lihat Kasyaf al-Qana’ kraya Manshur
al-Bahati 5/153, dan al-Raudhah al-Murabba’ karya Mansur al-Bahuti
3/114.
[32] Kualitas hadis ini adalah sahih. Telah
diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab al-Syuruth (2721), Imam Muslim
dalam Kitab al-Nikah (1418), Abu Daud dalam Kitab al-NIkah (2139),
al-Nasa’i dalam Kitab al-NIkah (3281), Ibnu Majah dalam Kitab
al-NIkah (1954), al-Darimi dalam Kitab al-Nikah (2203), dan Imam
Ahmad (16851).
[33] QS. Al-Rum : 21.
[34] QS. Al-Nakhl : 71. Dan untuk lebih jelasnya lihat
dalam al-Zawaj fi Syari’ah al-Islamiyah, h. 33, dan Fi Ahkam al-Usrah,
h. 229.
[35] Hasiyah al-Dasuki ala al-Syarah al-Kabir,
2/220.
[36] Lihat dalam al-Zawaj fi al-Syari’ah
al-Islamiyah h. 42-43.
[37] Lihat dalam al-Mabsuth 5/153.
[38] Lihat dalam Raudhah al-Thalibin 7/42.
[39] Kualitas hadis ini adalah dhaif. Telah diriwayatkan
oleh al-Turmudzi dalam Kitab al-Nikah (1089), dan Ibnu Majah (1895)
Menurut hemat penulis, ilat
hadis ini bagi al-Turmudzi adalah perawi yang bernama Isa bin Maimun
al-Anshari. Namun Abu Daud telah mensiqahkannya. Ibnu Mu’ayyan berkata :
Pada dirinya tidak ada persoalan. Yahya bin Mu’ayyan berkata: Baginya tidak ada
sesuatu. ‘Amr bin Fallas berkata: matruk al-hadis.
Sedangkan ilat hadis
ini menurut Ibnu Majah adalah perawi yang bernama Khalid bin Iyas. al-Bukhari
berkata: munkar al-hadis, baginya tidak ada apa-apa. Dan Yahya bin
Mu’ayyan berkata: tidak ada apa-apa.
[40] Telah
diriwayatkan oleh al-Turmudzi dalam Kitab al-Nikah (3/441), dan dalam bab
Ma Ja’a La Nikaha illa bi bayyinah wa Nasb al-Rayah (3/164).
[41]Muttafaq ‘alaih. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab
al-Hail (6968), Abu Daud dalam Kitab al-Nikah (2092), al-Turmudzi
dalam Kitab al-Nikah (1107), al-Nasa’i dalam Kitab al-Nikah (3265),
Ibnu Majah dalam Kitab al-Nikah (1871), al-Darimi dalam Kitab
al-Nikah (2186), dan Imam Ahmad (7091).
[42] Lihat dalam Fath al-Qadir, 2/391.
[43] Lebih jelasnya lihat al-Zauj fi al-Syari’ah
al-Islamiyah, h. 72-73.
[44] Al-Zauj fi al-Syari’ah al-Islamiyah, h. 76-77.
[45] QS. Al-Nisa’ : 22-24.
[46] QS. Al-Baqarah : 221.
[47] QS. Al-Mumtahanah : 10.
[48] QS. Al-Ahzab : 53.
[49] Lihat dalam Al-Zauj fi al-Syari’ah
al-Islamiyah, h. 85-86..
[50] QS. Al-Nisa’ : 23.
[51] QS. Al-Nisa’ : 23.
[52] QS. Ali Imran : 7.
[53] QS. Al-Ra’d : 39.
[54] QS. Al-Nisa’ : 23.
[55] QS. Al-Isra’ : 23.
[56] QS. Al-Nisa’ : 23.
[57] QS. Al-Nisa’ : 23.
[58] QS. Al-Nisa’ : 23.
[59] QS. Al-Nisa’ : 23.
[60] QS. Al-Nisa’ : 24.
[61] QS. Al-Ahzab : 50.
[62] QS. Al-Nisa’ : 22.
[63] QS. Al-Nisa’ : 23.
[64] QS. Al-Baqarah : 233.
[65] Lihat dalam al_Zawaj fi al-Syari’Allah swt
al-Islamiyah, h. 92.
[66] Lihat dalam al_Zawaj fi al-Syari’Allah swt
al-Islamiyah, h. 93-94.
[67] QS. Al-Nisa’ : 22.
[68] QS. Al-Nisa’ : 22-23.
[69] QS. Al-Nisa’ : 22.
[70] QS. Yusuf : 38.
[71] QS. Al-A’raf : 27.
[72] QS. Al-Nisa’ : 22.
[73] Lihat dalam Tafsir al-Qurthubi, 5/103-104.
[74] QS. Al-Nisa’ : 23.
[75] QS. Al-Nisa’ : 23.
[76] QS. Al-Nisa’ : 23.
[77] Lihat dalam Tafsir al-Qurthubi, 5/107, Tafsir
al-Razi, 10/31-33, dan al-Zawaj fi al-Syafi’ah al-Islamiyah, h. 96-97.
[78] QS. Al-Nisa’ : 23.
[79] Tafsir al-Fakhr al-Razi, 10/35.
[80] Lebih jelasnya lihat dalam al-Zawaj fi
al-Syafi’ah al-Islamiyah, h. 95.
[81] Tafsir al-Fakhr al-Razi, 10/33.
[82] QS. Al-Nisa’ : 23.
[83] QS. Al-Nisa’ : 23.
[84] QS. Al-Nisa’ : 23.
[85] QS. Al-An’am : 151.
[86] QS. Al-Nisa’ : 23.
[87] Lebih
jelasnya lihat dalam al-Zawaj fi al-Syafi’ah al-Islamiyah, h. 98.
[88] QS. Al-Nisa’ : 23.
[89] Untuk lebih jelasnya lihat dalam Tafsir
al-Fakhr al-Razi, 10/33.
[90] QS. Al-Nisa’ : 24.
[91] QS. Al-Nisa’ : 23.
[92] Lihat dalam Bada’i’ al-Shana’i’, 2/268.
[93] QS. Al-Baqarah : 228.
[94] QS. Al-Baqarah : 234.
[95] QS. Al-Baqarah : 235.
[96] Lebih jelasnya lihat dalam al-Zawaj fi
al-Syafi’ah al-Islamiyah, h. 105.
[97] Lihat dalam Zad al-Ma’ad, 4/7.
[98] QS. Al-Baqarah : 229-230.
[99] Muttafaq ‘Alaih. Telah diriwayatkan oleh
al-Bukhari dalam Kitab al-Syahadat (52) dan dalam Kitab Syahadah
al-Mukhtabi’ (3), Imam Muslim dalam Kitab al-NIkah (16), Bab La
Tahillu al-Muthlaqah Stalastan Limuthlaqiha Hatta Tankiha Zaujan Ghairah wa
Yuthiuha Stumma Yufaliquha wa Tanqadhi Iddataha (Wanita yang telah dithalak
tiga tidak dihalalkan untuk suami yang menthalaknya hingga dia menikah dengan
suami yang lain dan menyetubuhinya kemudian suami keduanya menceraikannya dan
wanita itu menjalani masa iddahnya). Untuk lebih jelasnya lihat dalam al-Lu’lu’
wa al-Marjan, tentang hal-hal yang telah disepakati oleh dua Imam, Bukhari
dan Muslim, h. 335.
[100] Telah diriwayatkan oleh al-Turmudzi dan Ibnu
Majah. Lihat lebih lanjut dalam Zad al-Ma’ad, 4/6.
[101] QS. Al-Nisa’ : 22-24.
[102] Lihat dalam Zad al-Ma’ad, 4/11, Ahkam
al-Qur’an karya Ibnu ‘Arabi, 1/380, al-Zawaj fi al-Syafi’ah al-Islamiyah,
h. 110-111, dan al-Ahwal al-Syahshiyah fi al-Tasyri’ al-Islami, h.
126-127.
[103] QS. Al-Nisa’ : 2-3.
[104] QS. Al-Nisa’ : 127.
[105] QS. Al-Nisa’ : 127.
[106] QS. Fathir : 1.
[107] Tafsir Ibnu Kastir, 2/184.
[108] QS. Al-Nisa’ : 3.
[109] Untuk lebih jelasnya lihat dalam Tafsir
al-Fakhr al-Razi, 9/178.
[110] Untuk lebih jelasnya lihat dalam Tafsir Ibnu
Kastir, 2/182.
[111] QS. Al-Nisa’ : 2.
[112] Kualitas hadis ini adalah sahih. Telah
diriwayatkan oleh al-Bukhari, 3/125, dalam Kitab al-Tafsir (1), Bab
Wain Khiftum anla Tuqsithu fi al-Yatama (Dan jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim).
[113] Muttafaq ‘Alaih. Telah diriwayatkan oleh
al-Bukhari dalam Kitab al-‘Ilm (81), Imam Muslim dalam Kitab al-‘Ilm (2671),
al-Turmudzi dalam Kitab al-Fitan (2205), Ibnu Majah dalam Kitab
al-Fitan (4045), dan Ahmad (11533).
Dalam al-Fath,
al-Hafidz berkata: Kata al-qaym dalam hadis di atas memiliki artian
orang yang megurusi persoalan-persoalan mereka. Sedangkan huruf lam
dalam hadis tersebut adalah untuk menepati janji sebagai pemberitahuan terhadap
janji yang telah diberikan kepada laki-laki bahwa mereka adalah pemimpim para
wanita. Sepertinya lima persoalan dari hari kiyamat ini dikhususkan pada
laki-laki karena ia diketahui dapat merusak beberapa persoalan yang apabila
menjaganya dapat menghasilkan kemaslahatan dunia dan akhirat, yaitu: Agama,
karena dengan terhapusnya ilmu pengetahuan, maka ia dapat merusak agama. Akal,
karena minuman yang memabukkan dapat merusaknya. Nasab atau keturunan, karena
perzinahan dapat merusaknya. Jiwa dan harta benda, karena fitnah dapat
merusaknya.
Al-Karmani berkata:
Rusaknya persoalan tersebut mengarah pada runtuhnya ilmu pengetahuan, karena
penciptaan tidak akan dibiarkan terlantar dan tidak ada nabi setelah Nabi kita
Muhammad saw, maka hal itu menjadi pasti.
Al-Qurtubi dalam
kitabnya, al-Mufhim, berkata: Dalam hadis ini terdapat petunjuk dari
sekian petunjuk kenabian, karena ia telah mengabari persoalan yang akan terjadi
dan ia telah terjadi, terlebih lagi pada zaman ini. Al-Qurtubi dalam al-Tadzkirah
berkata: Kemungkinan yang dimaksud dengan pemimpin di sini adalah orang yang
menjadi pemimpin mereka, baik bagi wanita yang telah disetubuhinya (istri) atau
tidak. Hal itu juga dimungkinkan terjadi pada suatu masa yang tidak seorangpun
menyebut kata Allah, Allah, dan seorang laki-laki menikahi wanita dalam jumlah
yang tidak terhitung karena tidak mengetahui hukum syariat.
Menurut hemat penulis,
pada saat ini, hal itu sudah dapat dijumpai pada beberapa pemimpin negara Turki
dan negara lainnya padahal mereka mengaku beragama Islam. Dan hanya Allah swt
dzat maha penolong.
[115] Muttafaq ‘Alaih. Telah diriwayatkan oleh
al-Bukhari dalam Kitab al-Wudhu’ (198), Imam Muslim dalam Kitab
al-Shalah (418), Ibnu Majah dalam Kitab al-Jana’iz (1618), dan Ahmad
(23583).
[116] Muttafaq ‘Alaih. Telah diriwayatkan oleh
al-Bukhari dalam Kitab al-NIkah (5211), Imam Muslim (2445), Ibnu Majah dalam Kitab
al-Nikah (1970), al-Darimi dalam Kitab
al-Nikah (2208), dan Ahmad (24313).
[117] Muttafaq ‘Alaih. Telah diriwayatkan oleh
al-Bukhari dalam Kitab al-Nikah (5213), Imam Muslim dalam Kitab
al-Rada’ (1461), Abu Daud dalam Kitab al-Nikah (2124), al-Turmudzi
dalam Kitab al-Nikah (1139), Ibnu
Majah dalam Kitab al-Nikah (1916),
Malik dalam Kitab al-Nikah (1124),
dan al-Darimi dalam Kitab al-Nikah (2209).
[118] Kualitas hadis ini adalah sahih. Telah
diriwayatkan oleh Imam Ahmad seorang diri (18524).
[119] Telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad seorang diri
(21480).
[120] Muttafaq ‘Alaih. Telah diriwayatkan oleh
al-Bukhari dalam Kitab al-Jum’ah (893), Imam Muslim dalam Kitab
al-Imarah (1829), Abu Daud dalam Kitab al-Kharaj (2928), al-Turmudzi
dalam Kitab al-Jihad (1139), dan
Imam Ahmad (4481).
[121] Muttafaq ‘Alaih. Telah diriwayatkan oleh
al-Bukhari dalam Kitab al-Nikah (5232), Imam Muslim dalam Kitab
al-Salam (2173), Turmudzi dalam Kitab al-Radha’ (1171), al-Darimi
dalam Kitab al-Isti’dzan (12642),
dan Imam Ahmad (16896).
[122] Kualitas hadis ini adalah sahih. Telah
diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitab al-Salam (2173), dan Imam
Ahmad (6559).
[123] Muttafaq
‘Alaih. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab al-Ahkam (7161),
Imam Muslim dalam Kitab al-Aqdhiyah (1714), Abu Daud dalam Kitab al-Buyu’
(3532), al-Nasa’i dalam Kitab al-Adab al-Qadah (5420), Ibnu Majah dalam Kitab
al-Tijarat (2293), al-Darimi dalam Kitab al-Nikah (2259), dan Imam
Ahmad (23597).
[124] Kualitas hadis ini adalah hasan. Telah
diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Kitab al-Buyu' (3565), Turmudzi dalam Kitab
al-Zakah (670), Ibnu Majah dalam Kitab al-Tijarat (2295), dan Imam Ahmad (21791).
[125] Kualitas hadis ini adalah hasan. Telah
diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Kitab al-Buyu' (3547), Nasa’i dalam Kitab
al-‘Amra (3757), Ibnu Majah dalam Kitab al-Ahkam (2388), dan Imam
Ahmad (7018).
[126] Kualitas hadis ini adalah dha’if. Telah
diriwayatkan oleh Ibnu Majah seorang diri dalam Kitab al-Ahkam (2389).
Imam al-Bushiri dalam al-Zawa’id
berkata: “Dalam sanadnya terdapat perawi yang bernama Yahya dan dia tidak
dikenal di antara putra-putra Ka’ab sehingga kualitas sanadnya lemah.
[127] Muttafaq ‘Alaih. Telah diriwayatkan oleh
al-Bukhari dalam Kitab al-Nikah (5079), Imam Muslim dalam Kitab
al-Imarah (715), Abu Daud dalam Kitab al-Jihad (2778), al-Darimi
dalam Kitab al-Nikah (2217), dan Imam Ahmad (13772).
[128] Kualitas hadis ini adalah sahih. Telah
diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Kitab al-Nikah (2142), Ibnu Majah dalam
Kitab al-Nikah (1850), dan Imam Ahmad (19511).
[129] Kualitas hadis ini adalah sahih. Telah
diriwayatkan oleh Bukhari dalam Kitab al-Shaum (1968), dan Turmudzi
dalam Kitab al-Zuhud (2413).
[130] Kualitas
hadis ini adalah hasan. Telah diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Kitab
al-Hamman (4110), Turmudzi dalam Kitab al-Adab (2803), Ibnu Majah
dalam Kitab al-Adab (3750),
al-Darimi dalam Kitab al-Isti’dzan (2651), dan Imam Ahmad (24879).
[131] Muttafaq ‘Alaih. Telah diriwayatkan oleh
al-Bukhari dalam Kitab Fard al-Khums (3113), Imam Muslim dalam Kitab
al-Dzikir wa al-Du’a (2727), Abu Daud dalam Kitab al-Adab (5062),
dan Imam Ahmad (742).
[132] Muttafaq ‘Alaih. Telah diriwayatkan oleh
al-Bukhari dalam Kitab al-Nikah (5224), Imam Muslim dalam Kitab
al-Salam (2182), dan Imam Ahmad (26397).
[133] Kualitas hadis ini adalah sahih. Telah
diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitab al-Salam (2182), dan Ahmad (26432).
[134] Kualitas hadis ini adalah sahih. Telah
diriwayatkan oleh al-Nasa’i dalam Kitab al-Nikah (3231), dan Ahmad (7373).
[135] Muttafaq ‘Alaih. Telah diriwayatkan oleh
al-Bukhari dalam Kitab al-Nikah (5205), dan Imam Muslim dalam Kitab
al-Libas wa al-Zinah (2123).
[136] Kualitas hadis ini adalah hasan. Telah
diriwayatkan oleh al-Turmudzi seorang diri dalam Kitab al-Radha’ (1160).
[137] Kualitas hadis ini adalah hasan. Telah
diriwayatkan oleh al-Turmudzi dalam Kitab al-Radha’ (1174), dan Ibnu
Majah dalam Kitab al-Nikah (2014).
Menurut hemat penulis,
hadis riwayat Isma’il bin ‘Iyas dalam hal ini tidak ada persoalan, karena dia
adalah perawi yang jujur dalam meriwayatkan hadis dari penduduk Syam. Sedangkan
Yahya bin Sa’ad dalam sanad hadis di sini yang mana Ibnu ‘Iyas telah meriwayatkan
hadis darinya adalah Himshi, salah seorang penduduk Syam.
[138] Kualitas hadis ini adalah hasan. Telah
diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Kitab al-Nikah (2140), dan al-Darimi
dalam Kitab al-Salat (1463).
[139] Kualitas hadis ini adalah sahih. Telah
diriwayatkan oleh Ibnu Majah seorang diri dalam Kitab Iqamah al-Salat wa
al-Sunnah fiha (971).
[140] Kualitas hadis ini adalah sahih. Telah
diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab Bad’u al-Khalq (3237), Imam
Muslim dalam Kitab al-Nikah (1436), Abu Daud dalam Kitab al-Nikah (2141),
al-Darimi dalam Kitab al-Nikah (2228), dan Imam Ahmad (9379).
[141] Muttafaq ‘Alaih. Telah diriwayatkan oleh
al-Bukhari dalam Kitab al-Nikah (5192), Imam Muslim dalam Kitab
al-Zakah (1026), Abu Daud dalm Kitab al-Shaum (2458), Turmudzi dalam
Kitab al-Shaum (782), Ibnu Majah dalam Kitab al-Shiyam (1761),
al-Darimi dalam Kitab al-Shaum (1720), dan Imam Ahmad (10117).
[142] Muttafaq ‘Alaih. Telah diriwayatkan oleh
al-Bukhari dalam Kitab al-Shaum (1973), dan Imam Muslim dalam Kitab
al-Shiyam (1159).
[143] Muttafaq ‘Alaih. Telah diriwayatkan oleh
al-Bukhari dalam Kitab al-Haidh (322), Imam Muslim dalam Kitab
al-Haidh (296), al-Nasa’i dalam Kitab Taharah wa Sunanuha (283),
Ibnu Majah dalam Kitab Taharah wa Sunanuha (637), al-Darimi dalam Kitab
al-Taharah (1044), dan Imam Ahmad (25987).
[144] Muttafaq ‘Alaih. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab
Ahadis al-Anbiya (3331), Imam Muslim dalam Kitab al-Radha’ (1468),
Turmudzi dalam Kitab al-Thalaq (1188), al-Darimi dalam Kitab al-Nikah
(2222), dan Imam Ahmad (9240).
[145] Muttafaq ‘Alaih. Telah diriwayatkan oleh
al-Bukhari dalam Kitab al-Manaqib (3768), dan Imam Muslim dalam Kitab
al-Fadhail al-Sahabah (2447).
[146] Muttafaq ‘Alaih. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab
al-Adab (6161), Imam Muslim dalam Kitab al-Fadhail (2323), dan Imam
Ahmad (11630).
[147] Muttafaq ‘Alaih. Telah diriwayatkan oleh
al-Bukhari dalam Kitab al-Jum’ah (950), Imam Muslim dalam Kitab
al-Salat al-‘Idain (892), dan Imam Ahmad (23775).
[148] Muttafaq ‘alaih. Telah diriwayatkan oleh
al-Bukhari dalam Kitab al-NIkah (5204), Imam Muslim dalam Kitab
al-Jannah wa Shifah wa Na’imuha (855), Turmudzi dalam Kitab Tafsir
al-Qur'an (3343), al-Darimi dalam Kitab al-Nikah (2220), dan Imam
Ahmad (2220).
[149] Kualitas hadis ini adalah sahih. Telah
diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Kitab al-Nikah (2146), dan Ibnu Majah
dalam Kitab al-Nikah (2219).
[150] Muttafaq ‘alaih. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab
al-Jihad wa al-Sair (2904), Imam Muslim dalam Kitab al-Jihad wa al-Sair (1757),
Abu Daud dalam Kitab al-Kharaj wa al-Imarah wa al-Fai’ (2965),
al-Turmudzi dalam Kitab al-Jihad wa al-Sair (1719), al-Nasa’i dalam Kitab
al-Kharaj wa al-Fai’ (4140), dan Imam Ahmad (172).
[151] Muttafaq
‘Alaih. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab al-Ahkam (7161),
Imam Muslim dalam Kitab al-Aqdhiyah (1714), Abu Daud dalam Kitab
al-Buyu’ (3532), al-Nasa’i dalam Kitab al-Adab al-Qadah (5420), Ibnu Majah dalam Kitab
al-Tijarat (2293), al-Darimi dalam Kitab al-Nikah (2259), dan Imam
Ahmad (23597).
[152] Kualitas hadis ini adalah sahih. Telah
diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Kitab al-Nikah (2142), Ibnu Majah dalam
Kitab al-Nikah (1850), dan Imam Ahmad (2142).
[153] Muttafaq
‘alaih. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Kitab al-Wudhu’ (141),
Imam Muslim dalam Kitab al-Nikah (1434), Abu Daud dalam Kitab
al-Nikah (2161), Turmudzi dalam Kitab al-Nikah (1092), Ibnu Majah dalam
Kitab al-Nikah (1919), al-Darimi dalam Kitab al-Nikah (2212), dan
Imam Ahmad (1870).
[154] QS. al-Baqarah : 223.
[155] Kualitas
hadis ini adalah sahih. Telah diriwayatkan oleh al-Darimi dalam Kitab
al-Taharah (1119), dan Imam Ahmad (26261).
[156] Kualitas
hadis ini adalah sahih. Telah diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Kitab
al-Taharah (133).
[157] Kualitas hadis ini adalah sahih. Telah
diriwayatkan oleh al-Darimi dalam Kitab al-Taharah (1032), dan Imam
Malik dalam Kitab al-Taharah (126).
[158] QS. al-Baqarah : 222.
[159] Kualitas hadis ini adalah sahih. Telah
diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitab al-Haid (302), Abu Daud dalam Kitab
al-Taharah (258), Turmudzi dalam Kitab al-Tafsir al-Qur'an (2977),
al-Nasa’i dalam Kitab al-Taharah (288), Ibnu Majah dalam Kitab
al-Taharah wa Sunanuha (644), dan al-Darimi dalam Kitab al-Taharah (1053).
[160] Muttafaq ‘alaih. Telah diriwayatkan oleh
al-Bukhari dalam Kitab al-Buyu’ (2229), Imam Muslim dalam Kitab
al-Nikah (1438), Abu Daud dalam Kitab al-Nikah (2170), al-Nasa’i
dalam Kitab al-Nikah (2227), Ibnu Majah dalam Kitab al-Nikah (1926),
dan Imam Ahmad (10788).
[161] Muttafaq ‘alaih. Telah diriwayatkan oleh
al-Bukhari dalam Kitab al-Nikah (5209), Imam Muslim dalam Kitab
al-Nikah (1440), Turmudzi dalam Kitab al-Nikah (1137), Ibnu Majah dalam
Kitab al-Nikah (1927), dan Imam Ahmad (13906).
Al-Hafidz bin Hajar
berkata: “Ibrahim bin Musa dalam riwayatnya telah menambahkan dari Sufyan bahwa
dia telah mengatakan ketika meriwayatkan hadis tersebut, yaitu “seandainya
diharamkan maka niscaya ayat al-Qur'an akan diturunkan untuknya.” Imam Muslim
telah meriwayatkan tambahan redaksi tersebut dari Ishaq bin Rahwaih dari Sufyan
kemudian dia menyebutkan hadisnya: “Kami melakukan ‘azal ketika al-Quran diturunkan.” Sufyan
berkata: “Seandainya sesuatu telah melarangnya, niscya al-Qur'an akan
melarangnya.” Maka hal ini sangatlah nampak bahwa Sufyan telah mengatakannya
sebagai kesimpulan. Sedangkan pengarang kitab al-‘Umdah dan beberapa
orang lainnya menduga bahwa tambahan redaksi hadis tersebut adalah redaksi
hadis itu sendiri lalu dimasukkan ke dalamnya. Namun persoalannya tidaklah
demikian, bahkan aku menelusurinya lebih lanjut pada beberapa sanad hadis
sehingga aku menemukan bahwa kebanyakan riwayatnya yang dari Sufyan tidak
menyebutkan tambahan redaksi tersebut. Ibnu Daqiq al-‘Id telah menjelaskan
persoalan yang terdapat dalam kitab al-‘Umdah tersebut seraya berkata:
“Adapun pembuktian Jabir dengan ketetapan dari Allah swt adalah sesuatu yang
asing, dan dimungkinkan apabila pembuktian tersebut dengan menggunakan
ketetapan (taqrir) dari Rasulullah saw. Hanya saja hal itu disyaratkan
adanya sepengetahuannya Rasulullah saw tentang hal itu.” Demikianlah yang
dikatakan oleh Ibnu Daqiq. Untuk mengetahuinya adalah dengan perkataan sahabat
Nabi Muhammad saw bahwa dia telah melakukan hal itu pada masa Nabi Muhammad
saw. Namun persoalan yang populer dalam ilmu Ushul Fiqh dan Ulum al-Hadis
adalah bahwa apabila sahabat telah menisbatkan hadis pada masa Nabi Muhammad
saw, maka hadis itu dihukumi hadis marfu’ oleh mayoritas ulama, karena
yang tampak adalah bahwa Nabi Muhammad saw mengetahui secara pasti terhadap hal
itu dan membiarkannya sebagai sebuah ketetapan (taqrir) karena banyaknya
kegelisahan mereka dalam bertanya kepada beliau tentang beberapa hukum. Apabila
sahabat tidak menisbatkannya kepada Nabi Muhammad saw, maka hadis itu dihukumi marfu’
menurut publik. Maka sejak awal Jabir telah menegaskan kejadian ‘azl tersebut
pada masa Nabi Muhammad saw dan beberapa jalur hadis juga telah diriwayatkannya
untuk menjelaskan dengan pengetahuan yang sebenarnya tentang hal itu. Sedangkan
yang tampak bagiku adalah bahwa apa yang menjadi kesimpulan baik oleh Jabir
maupun Sufyan adalah bahwa dengan turunnya al-Qur'an yang ayatnya tidak dibaca,
lebih umum dari pada orang yang beribadah dengan membaca al-Qur'an atau bacaan
lainnya daripada yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad saw tersebut. Jika
demikian, maka seakan-akan dia berkata: “Kami melakukannya pada masa Nabi
Muhammad saw, jika seandainya hal itu adalah perbuatan haram, maka kami tidak
akan dibiarkannya sebagai sebuah ketetapan (taqrir). Mengenai hal itu,
terdapat isyarat dari perkataan Ibnu Umar: “Kami menjaga perkataan dan
kegembiraan dengan istri-istri kami karena takut al-Qur'an diturunkan untuk
kami pada masa Nabi Muhammad saw. Ketika Nabi Muhammad saw wafat, maka kami
berbicara dan bergembira ria.” Telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Imam Muslim
di samping juga dari jalur Abu al-Zubair dari Jabir seraya berkata: “Kami
melakukan ‘azl pada masa Nabi Muhammad saw kemudian hal itu sampai pada
beliau namun beliau tidak melarang kami.” Dari jalur lain, yaitu dari Abu
al-Zubair dari Jabir bahwa seorang pemuda mendatangi Rasulullah saw seraya
berkata: “Sesungguhnya aku memiliki budak dan aku bersenggama di atasnya namun
aku tidak ingin dia hamil.” Maka Nabi Muhammad saw bersabda: “Lakukanlah ‘azl
jika engkau mau, karena takdir juga akan menimpanya.” Maka tidak lama
kemudian, pemuda itu mendatangi Nabi Muhammad saw seraya berkata: “Sesungguhnya
budak itu telah hamil.” Nabi Muhammad saw bersabda: “Aku telah memberi tahumu.”
Cerita ini sampai pada Imam Muslim dari jalur Sufyan bin ‘Uyaynah dengan sanad
hadisnya yang lain sampai pada Jabir dan di akhir redaksinya menyebutkan: “Maka
beliau bersabda: “Aku adalah hamba Allah swt dan rasul-Nya.” Imam Ahmad, Ibnu
Majah dan Ibnu Abu Syaibah juga telah meriwayatkan dengan sanad hadis lainnya
yang memenuhi persyaratan Imam Bukhari dan Imam Muslim secara maknawi. Maka
dalam jalur periwayatan ini terdapat sesuatu yang tidak membutuhkan kepada
penyimpulan, karena pada salah satu hadisnya terdapat penjelasan dengan
pengetahuan yang sebenar-benarnya dari Nabi Muhammad saw dan pada hadis yang lain
terdapat idzin diperbolehkannya melakukan hal tersebut dari Nabi Muhammad saw,
walaupun kalimatnya mengisyaratkan bahwa ia berbeda dengan kalimat yang
pertama.
[162] Kualitas
hadis ini adalah sahih. Telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitab
al-Nikah (1437), Abu Daud dalam Kitab al-Adab (4870), dan Imam Ahmad
(12258).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar