HAKIKAT DARI TASAWUF
Dr. Yusuf Al-Qardhawi
Pertanyaan:
Apa sebenarnya arti kata
tasawuf hakikat dan hukumnya menurut Islam?
Apakah benar di antara
orang-orang ahli tasawuf ada yang tersesat dan menyimpang?
Jawab:
Arti tasawuf dalam agama ialah memperdalam
ke arah bagian rohaniah, ubudiah, dan perhatiannya tercurah seputar
permasalahan itu. Agama-agama di dunia ini banyak sekali yang menganut berbagai
macam tasawuf, di antaranya ada sebagian orang India yang amat fakir. Mereka
condong menyiksa diri sendiri demi membersihkan jiwa dan meningkatkan amal
ibadatnya. Dalam agama Kristen terdapat aliran tasawuf khususnya bagi para
pendeta. Di Yunani muncul aliran Ruwagiyin. Di Persia ada aliran yang bernama
Mani'; dan di negeri-negeri lainnya banyak aliran ekstrim di bidang rohaniah.
Kemudian Islam datang dengan membawa perimbangan yang paling baik di antara
kehidupan rohaniah dan jasmaniah serta penggunaan akal. Maka, insan itu
sebagaimana digambarkan oleh agama, yaitu terdiri dari tiga unsur: roh, akal
dan jasad. Masing-masing dari tiga unsur itu diberi hak sesuai dengan
kebutuhannya. Ketika Nabi saw. melihat salah satu sahabatnya berlebih-lebihan
dalam salah satu sisi, sahabat itu segera ditegur. Sebagaimana yang terjadi
pada Abdullah bin Amr bin Ash. Ia berpuasa terus menerus tidak pernah berbuka,
sepanjang malam beribadat, tidak pernah tidur, serta meninggalkan istri dan
kewajibannya. Lalu Nabi saw. menegurnya dengan sabdanya: "Wahai Abdullah,
sesungguhnya bagi dirimu ada hak (untuk tidur), bagi istri dan keluargamu ada
hak (untuk bergaul), dan bagi jasadmu ada hak. Maka, masing-masing ada
haknya." Ketika sebagian dari para sahabat Nabi saw. bertanya kepada
istri-istri Rasul saw. mengenai ibadat beliau yang luar biasa. Mereka (para
istri Rasulullah) menjawab, "Kami amat jauh daripada Nabi saw. yang
dosanya telah diampuni oleh Allah swt, baik dosa yang telah lampau maupun dosa
yang belum dilakukannya." Kemudian salah seorang di antara mereka berkata,
"Aku akan beribadat sepanjang malam." Sedang yang lainnya mengatakan,
"Aku tidak akan menikah." Kemudian hal itu sampai terdengar oleh
Rasulullah saw, lalu mereka dipanggil dan Rasulullah saw. berbicara di hadapan
mereka. Sabda beliau: "Sesungguhnya aku ini lebih mengetahui daripada kamu
akan makrifat Allah dan aku lebih takut kepada-Nya daripada kamu; tetapi aku
bangun, tidur, berpuasa, berbuka, menikah, dan sebagainya; semua itu adalah
sunnah Barangsiapa yang tidak senang dengan sunnahku ini, maka ia tidak
termasuk golonganku." Karenanya, Islam melarang melakukan hal-hal yang
berlebih-lebihan dan mengharuskan mengisi tiap-tiap waktu luang dengan hal-hal
yang membawa manfaat, serta menghayati setiap bagian dalam hidup ini. Munculnya
sufi-sufi di saat kaum Muslimin umumnya terpengaruh pada dunia yang datang
kepada mereka, dan terbawa pada pola pikir yang mendasarkan semua masalah
dengan pertimbangan logika. Hal itu terjadi setelah masuknya negara-negara lain
di bawah kekuasaan mereka. Berkembangnya ekonomi dan bertambahnya pendapatan
masyarakat, mengakibatkan mereka terseret jauh dari apa yang dikehendaki oleh
Islam yang sebenarnya (jauh dari tuntutan Islam). Iman dan ilmu agama menjadi
falsafah dan ilmu kalam (perdebatan); dan banyak dari ulama-ulama fiqih yang
tidak lagi memperhatikan hakikat dari segi ibadat rohani. Mereka hanya
memperhatikan dari segi lahirnya saja. Sekarang ini, muncul golongan sufi yang
dapat mengisi kekosongan pada jiwa masyarakat dengan akhlak dan sifat-sifat
yang luhur serta ikhlas. Hakikat dari Islam dan iman, semuanya hampir menjadi
perhatian dan kegiatan dari kaum sufi. Mereka para tokoh sufi sangat
berhati-hati dalam meniti jalan di atas garis yang telah ditetapkan oleh
Al-Qur,an dan As-Sunnah. Bersih dari berbagai pikiran dan praktik yang
menyimpang, baik dalam ibadat atau pikirannya. Banyak orang yang masuk Islam
karena pengaruh mereka, banyak orang yang durhaka dan lalim kembali bertobat
karena jasa mereka. Dan tidak sedikit yang mewariskan pada dunia Islam, yang
berupa kekayaan besar dari peradaban dan ilmu, terutama di bidang makrifat, akhlak
dan pengalaman-pengalaman di alam rohani, semua itu tidak dapat diingkari.
Tetapi, banyak pula di antara orang-orang sufi itu terlampau mendalami tasawuf
hingga ada yang menyimpang dari jalan yang lurus dan mempraktikkan teori di
luar Islam, ini yang dinamakan Sathahat orang-orang sufi; atau perasaan yang
halus dijadikan sumber hukum mereka. Pandangan mereka dalam masalah pendidikan,
di antaranya ialah seorang murid di hadapan gurunya harus tunduk patuh ibarat
mayat di tengah-tengah orang yang memandikannya. Banyak dari golongan Ahlus
Sunnah dan ulama salaf yang menjalankan tasawuf, sebagaimana diajarkan oleh
Al-Qur'an; dan banyak pula yang berusaha meluruskan dan mempertimbangkannya
dengan timbangan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Di antaranya ialah Al-Imam Ibnul
Qayyim yang menulis sebuah buku yang berjudul: "Madaarijus-Saalikin ilaa
Manaazilus-Saairiin," yang artinya "Tangga bagi Perjalanan Menuju ke
Tempat Tujuan." Dalam buku tersebut diterangkan mengenai ilmu tasawuf,
terutama di bidang akhlak, sebagaimana buku kecil karangan Syaikhul Islam
Ismail Al-Harawi Al-Hanbali, yang menafsirkan dari Surat Al-Fatihah,
"Iyyaaka na'budu waiyyaaka nastaiin." Kitab tersebut adalah kitab
yang paling baik bagi pembaca yang ingin mengetahui masalah tasawuf secara
mendalam. Sesungguhnya, tiap-tiap manusia boleh memakai pandangannya dan boleh
tidak memakainya, kecuali ketetapan dan hukum-hukum dari kitab Al-Qur'an dan
Sunnah Rasulullah saw. Kita dapat mengambil dari ilmu para sufi pada bagian
yang murni dan jelas, misalnya ketaatan kepada Allah swt, cinta kepada sesama
makhluk, makrifat akan kekurangan yang ada pada diri sendiri, mengetahui tipu
muslihat dari setan dan pencegahannya, serta perhatian mereka dalam
meningkatkan jiwa ke tingkat yang murni. Disamping itu, menjauhi hal-hal yang
menyimpang dan terlampau berlebih-lebihan, sebagaimana diterangkan oleh tokoh
sufi yang terkenal, yaitu Al-Imam Al-Ghazali. Melalui ulama ini, dapat kami
ketahui tentang banyak hal, terutama ilmu akhlak, penyakit jiwa dan
pengobatannya.
Pertanyaan:
Kapan lahir dan
berkembangnya ilmu tasawuf, dan apa pula keistimewaanya?
Apa alasan orang-orang yang
menolaknya dan bagaimana dalilnya bagi orang-orang yang memujinya?
Jawab:
Masalah tasawuf ini pernah
dibahas, tetapi ada baiknya untuk diulang kembali, sebab masalah ini amat
penting untuk menyatakan suatu hakikat dan kebenaran yang hilang di antara
orang-orang yang mencela dan memuji tasawuf tersebut secara menyeluruh. Dengan
penjelasan yang lebih luas ini, sekiranya dapat membuka tabir yang menyelimuti
bagian yang cerah ini, sebagai teladan bagi orang yang hendak meninjau ke arah
itu, misalnya ahli suluk yang berjalan ke arah Allah. Di zaman para sahabat
Nabi saw, kaum Muslimin serta pengikutnya mempelajari tasawuf, agama Islam dan
hukum-hukum Islam secara keseluruhan, tanpa kecuali. Tiada satu bagian pun yang
tidak dipelajari dan dipraktekkan, baik lahir maupun batin; urusan dunia maupun
akhirat; masalah pribadi maupun kemasyarakatan, bahkan masalah yang ada
hubungannya dengan penggunaan akal, perkembangan jiwa dan jasmani, mendapat
perhatian pula. Timbulnya perubahan dan adanya kesulitan dalam kehidupan baru
yang dihadapinya adalah akibat pengaruh yang ditimbulkan dari dalam dan luar.
Dan juga adanya bangsa-bangsa yang berbeda paham dan alirannya dalam masyarakat
yang semakin hari kian bertambah besar. Dalam hal ini, terdapat orang-orang
yang perhatiannya dibatasi pada bagian akal, yaitu Ahlulkalam, Mu'tazilah. Ada
yang perhatiannya dibatasi pada bagian lahirnya (luarnya) atau hukum-hukumnya saja,
yaitu ahli fiqih. Ada pula orang-orang yang perhatiannya pada materi dan
foya-foya, misalnya orang-orang kaya, dan sebagainya. Maka, pada saat itu,
timbullah orang-orang sufi yang perhatiannya terbatas pada bagian ubudiah saja,
terutama pada bagian peningkatan dan penghayatan jiwa untuk mendapatkan
keridhaan Allah dan keselamatan dari kemurkaan-Nya. Demi tercapainya tujuan
tersebut, maka diharuskan zuhud atau hidup sederhana dan mengurangi hawa nafsu.
Ini diambil dari pengertian syariat dan takwa kepada Allah. Disamping itu,
kemudian timbul hal baru, yaitu cinta kepada Allah (mahabatullah). Sebagaimana
Siti Rabi'ah Al-Adawiyah, Abu Yazid Al-Basthami, dan Sulaiman Ad-Darani, mereka
adalah tokoh-tokoh sufi. Mereka berpendapat sebagai berikut: "Bahwa ketaatan
dan kewajiban bukan karena takut pada neraka, dan bukan keinginan akan surga
dan kenikmatannya, tetapi demi cintanya kepada Allah dan mencari keridhaan-Nya,
supaya dekat dengan-Nya." Dalam syairnya, Siti Rabi'ah Al-Adawiyah telah
berkata: "Semua orang yang menyembah Allah karena takut akan neraka dan
ingin menikmati surga. Kalau aku tidak demikian, aku menyembah Allah, karena
aku cinta kepada Allah dan ingin ridhaNya." Kemudian pandangan mereka itu
berubah, dari pendidikan akhlak dan latihan jiwa, berubah menjadi paham-paham
baru atas Islam yang menyimpang, yaitu filsafat; dan yang paling menonjol ialah
Al-Ghaulu bil Hulul wa Wahdatul-Wujud (paham bersatunya hamba dengan Allah).
Paham ini juga yang dianut oleh Al-Hallaj, seorang tokoh sufi, sehingga dihukum
mati tahun 309 H. karena ia berkata, "Saya adalah Tuhan." Paham Hulul
berarti Allah bersemayam di dalam makhluk-Nya, sama dengan paham kaum Nasrani
terhadap Isa Al-Masih. Banyak di kalangan para sufi sendiri yang menolak paham
Al-Hallaj itu. Dan hal ini juga yang menyebabkan kemarahan para fuqaha
khususnya dan kaum Muslimin pada umumnya. Filsafat ini sangat berbahaya, karena
dapat menghilangkan rasa tanggung jawab dan beranggapan bahwa semua manusia
sama, baik yang jahat maupun yang baik; dan yang bertauhid maupun yang tidak,
semua makhluk menjadi tempat bagi Tajalli (kasyaf) Al-Haq, yaitu Allah. Dalam
keadaan yang demikian, tentu timbul asumsi yang bermacam-macam, ada yang
menilai masalah tasawuf tersebut secara amat fanatik dengan memuji mereka dan
menganggap semua ajarannya itu baik sekali. Ada pula yang mencelanya,
menganggap semua ajaran mereka tidak benar, dan beranggapan aliran tasawuf itu
diambil dari agama Masehi, agama Budha, dan lain-lainnya. Secara obyektif bahwa
tasawuf itu dapat dikatakan sebagai berikut: "Tasawuf ada dalam Islam dan
mempunyai dasar yang mendalam. Tidak dapat diingkari dan disembunyikan, dapat
dilihat dan dibaca dalam Al-Qur'an, Sunnah Rasul saw. dan para sahabatnya yang
mempunyai sifat-sifat zuhud (tidak mau atau menjauhi hubudunya), tidak suka
hidup mewah, sebagaimana sikap khalifah Umar r.a, Ali r.a, Abu Darda', Salman
Al-Farisi, Abu Dzar r.a. dan lainnya." Banyak ayat Al-Qur'an yang
menganjurkan agar mawas diri dari godaan yang berupa kesenangan atau fitnah
dunia. Tetapi hendaknya selalu bergerak menuju ke jalan yang diridhai oleh
Allah swt. dan berlomba-lomba memohon ampunan Allah swt, surga-Nya dan takutlah
akan azab neraka. Dalam Al-Qur,an dan hadis Nabi saw. juga telah diterangkan
mengenai cinta Allah kepada hamba-hamba-Nya dan cinta hambaNya kepada Allah.
Sebagaimana disebutkan dalam ayat Al-Qur,an: "Adapun orang-orang yang
beriman cintanya sangat besar kepada Allah ..." (Q.s. Al-Baqarah: 165).
"... Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya ..." (Q.s.
Al-Maidah: 54). "Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berjihad di
jalan Allah dalam barisan yang teratur (tidak tercerai-berai) ..." (Q.s.
Ash-Shaff: 4). Diterangkan pula dalam Al-Qur'an dan hadis mengenai masalah
zuhud, tawakal, tobat, syukur, sabar, yakin, takwa, muraqabah (mawas diri), dan
lain-lainnya dari maqam-maqam yang suci dalam agama. Tidak ada golongan lain
yang memberi perhatian penuh dalam menafsirkan, membahas dengan teliti dan
terinci, serta membagi segi-segi utamanya maqam ini selain para sufi. Merekalah
yang paling mahir dan mengetahui akan penyakit jiwa, sifat-sifatnya dan
kekurangan yang ada pada manusia, mereka ini ahli dalam ilmu pendidikan yang
dinamakan Suluk. Tetapi, tasawuf tidak berhenti hingga di sini saja dalam
peranannya di masa permulaan, yaitu adanya kemauan dalam melaksanakan akhlak
yang luhur dan hakikat dari ibadat yang murni semata untuk Allah swt.
Sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauzi, yaitu: "Ilmu
tasawuf itu, kemudian akan meningkat ke bidang makrifat perkenalan, setelah itu
ke arah khasab ungkapan dan karunia Allah. Hal ini diperoleh melalui
pembersihan hati nurani. Akhirnya, dengan ditingkatkannya hal-hal ini,
timbullah penyimpangan, tanpa dirasakan oleh sebagian ahli sufi." Di
antara yang tampak dari penyimpangan sebagian orang-orang sufi adalah sebagai
berikut: 1. Dijadikannya wijid (perasaan) dan ilham sebagai ukuran untuk dasar
pengetahuan dan lain-lain; juga dapat dijadikan ukuran untuk membedakan antara
yang benar dan salah. Sehingga sebagian ada yang berkata, "Aku diberi tahu
oleh hati dari Tuhanku (Allah)." Berbeda dengan ungkapan dari ahli sunnah
bahwa apabila mereka meriwayatkan ini dari si Fulan, si Fulan sampai kepada
Rasulullah saw. 2. Dibedakannya antara syariat dan hakikat, antara hukum Islam
dan yang bebas dari hukumnya. 3. Dikuasai oleh paham Jabariah dan Salabiah,
sehingga dapat mempengaruhi iman dan akidah mereka, dimana manusia mutlak
dikendalikannya. Maka tidak perlu lagi melawan dan selalu bersikap pasif, tidak
aktif. Tidak dihargainya dunia dan perkembangannya. Apa yang ada di dunia
dianggapnya sepele, padahal ayat Al-Qur,an telah menyatakan: "... dan
janganlah kamu melupakan akan nasibmu (kebahagiaanmu) dari (kenikmatan) dunia
..." (Q.s. Al-Qashash: 77). Pikiran dan teori di atas telah tersebar dan
dipraktekkan dimana-mana, dengan dasar dan paham bahwa hal ini bagian dari
Islam, ditetapkan oleh Islam, dan ada sebagian, terutama dari golongan
intelektual, keduanya belum mengerti benar akan hal itu karena tidak
mempelajarinya. Sekali lagi kita tandaskan, bahwa orang sufi dahulu, selalu
menyuruh jangan sampai menyimpang dari garis syariat dan hukum-hukumnya. Ibnul
Qayyim berkata mengenai keterangan dari tokoh-tokoh sufi, "Tokoh-tokoh
sufi dan guru besar mereka, Al-Junaid bin Muhammad (297 H.), berkata, 'Semua
jalan tertutup bagi manusia, kecuali jalan yang dilalui Nabi saw.'"
Al-Junaid pun berkata: "Barangsiapa yang tidak hafal Al-Qur'an dan menulis
hadis-hadis Nabi saw. maka tidak boleh dijadikan panutan dan ditiru, karena ilmu
kita (tasawuf) terikat pada kitab Al-Qur'an dan As-Sunnah." Abu Khafs
berkata: "Barangsiapa yang tidak menimbang amal dan segala sesuatu dengan
timbangan Al-Kitab dan As-Sunnah, serta tidak menuduh perasaannya (tidak
membenarkan wijid-nya), maka mereka itu tidak termasuk golongan kaum
tasawuf." Abu Yazid Al-Basthami berkata: "Janganlah kamu menilai dan
tertipu dengan kekuatan-kekuatan yang luar biasa, tetapi yang harus dinilai
adalah ketaatan dan ketakwaan seseorang pada agama dan syariat pelaksanaannya."
Kiranya keterangan yang paling tepat mengenai tasawuf dan para sufi adalah
sebagaimana yang diuraikan oleh Al-Imam Ibnu Taimiyah dalam menjawab atas
pertanyaan, "Bagaimana pandangan ahli agama mengenai tasawuf?" Ibnu
Taimiyah memberi jawaban sebagai berikut, "Pandangan orang dalam masalah
tasawuf ada dua, yaitu: Sebagian termasuk ahli fiqih dan ilmu kalam mencela dan
menganggap para sufi itu ahli bid'ah dan di luar Sunnah Nabi saw. Sebagian lagi
terlalu berlebih-lebihan dalam memberikan pujian dan menganggap mereka paling
baik dan sempurna di antara manusia setelah Nabi saw. Kedua-duanya tidak benar.
Yang benar ialah bahwa mereka ini sedang dalam usaha melakukan pengabdian
kepada Allah, sebagaimana usaha orang-orang lain untuk menaati Allah swt. Dalam
kondisi yang prima di antara mereka, ada yang cepat sampai dan dekat kepada
Allah, orang-orang ini dinamakan Minal muqarrabiin (orang-orang yang terdekat
dengan Allah), sesuai dengan ijtihadnya; ada pula yang intensitas ketaatannya
sedang-sedang saja. Orang ini termasuk bagian kanan: Min ashhaabilyamiin
(orang-orang yang berada di antara kedua sikap tadi)." Di antara golongan
itu ada yang salah, ada yang berdosa, melakukan tobat, ada pula yang tetap
tidak bertobat. Yang lebih sesat lagi adalah orang-orang yang melakukan kezaliman
dan kemaksiatan, tetapi menganggap dirinya orang-orang sufi. Masih banyak lagi
dari ahli bid'ah dan golongan fasik yang menganggap dirinya golongan tasawuf,
yang ditolak dan tidak diakui oleh tokoh-tokoh sufi yang benar dan terkenal.
Sebagaimana Al-Junaid dan lain-lainnya.
--------------- FATAWA QARDHAWI,
Permasalahan, Pemecahan dan Hikmah Penerbit Risalah Gusti Jln. Ikan Mungging
XIII/1 Telp./Fax. (031) 339440 Surabaya 60177
Tidak ada komentar:
Posting Komentar