TASAWUF
Rangkuman ceramah mingguan oleh:
Bp.
Achmad Chodjim
Bagian ke-1
Di atas tahun 80-an tasawuf atau sufisme menjadi nge-tren di dunia.
Bahkan di Indonesia setelah tahun 90- an tasawuf banyak diminati orang. Seminar
dan kursus-kursus tentang tasawuf diadakan di hotel-hotel atau di gedung-gedung
mewah. Lebih-lebih dalam suasana krisis, tasawuf semakin dicari orang.
Jika kita melihat di toko-toko buku,
semakin hari semakin banyak buku tasawuf yang dipajang. Buku-buku tasawuf itu
meliputi tulisan orang Indonesia, maupun terjemahan dari buku-buku tasawuf yang
berbahasa asing, khususnya terjemahan dari bahasa Arab. Dan sekarang bisa kita
jumpai buku-buku tasawuf yang ditulis pada masa 700 ? 1000 tahun yang lalu.
Mengapa sekarang ini tasawuf semakin
diminati orang? Manusia modern sebenarnya manusia yang mengalami alienasi
(keterasingan) jiwa. Persaingan dalam berebut benda ternyata melelahkan
pikiran. Ketegangan-ketegangan dalam hidup sering dialami. Dalam kehidupan modern,
manusia sering terperangkap oleh kebahagian-kebahagian semu. Yaitu, kebahagiaan
yang direkayasa, bukan kebahagiaan yang tumbuh dari dalam diri manusia itu
sendiri. Dalam kehidupan modern manusia diiming-iming dengan status, posisi,
sertifikat, merek, dan berbagai macam simbol. Akhirnya pikiran manusia melekat
pada topeng-topeng ini. Jika sudah terjerat oleh topeng kehidupan, manusia
merasa terjunjung dan tersanjung. Yang dalam keadaan tertentu menyebabkan lupa
diri. Nah, untuk menghadapi problema-problema psikologis ini ada yang lari ke
berbagai macam hiburan dari yang ringan hingga yang paling berat yaitu
“narkoba”; dan ada pula yang mencari solusi damai dengan mengikuti
kegiatan-kegiatan agama. Ternyata, ternyata....., yang dirasakan bersentuhan
langsung dengan kesejukan hati adalah “tasawuf”. Itulah sebabnya tasawuf
sekarang ini banyak diminati orang, baik oleh orang-orang Islam sendiri, maupun
orang-orang non-muslim. Bahkan di Eropa maupun Amerika sekarang ini banyak
orang non-muslim yang menjadi anggota jamaah tasawuf.
Tentu saja hal ini bisa menimbulkan
kecemburuan di kalangan umat Islam formalis, yaitu orang-orang Islam yang lebih
berpegang teguh pada aturan lahiriah agama atau syariat. Menghadapi
perkembangan yang pesat ini kalangan formalis merasa kehilangan pamor. Karena
itu beberapa orang (tidak banyak) di kalangan formalis ini menulis buku yang
isinya mengecam ajaran tasawuf, bahkan ada yang tega memfitnah bahwa ajaran
tasawuf itu bid’ah dan menyesatkan manusia.
Orang yang membid’ahkan tasawuf
adalah orang-orang yang tidak memahami ajaran tasawuf, pada pokoknya mereka
tidak memahami ajaran Islam secara menyeluruh. Mereka menganggap tasawuf itu
lahir dari kalangan luar Islam. Untuk membuktikan ini mereka cari-cari definisi
kata tasawuf, yang katanya tidak ada di dalam Al Quran dan Al Hadis. Jadi,
mereka lebih disibukkan mencari kulit daripada mencari isi atau substansi
ajaran. Jika saja mereka sadar bahwa apa yang diajarkan oleh tasawuf itu
budipekerti atau akhlak yang diajarkan oleh Rasul Allah, maka mereka pasti akan
berhenti membid’ahkan para sufi. Mengapa? Karena apa yang dipraktikkan oleh
Rasul dalam kesederhanaan hidupnya, apa yang diteladani oleh Abu Bakar dalam
menyumbangkan hartanya, apa yang dicontohkan oleh Umar bin Khaththab dalam istana
gubuknya, serta apa yang dilakukan oleh Ali bin Thalib dalam menegakkan
keadilan, itulah yang disebut tasawuf!
Landasan tasawuf adalah kecintaan
kepada Allah dan Rasul-Nya, melakukan zikir sebanyak-banyaknya, dan akhirnya
menjadi hamba manifestasi Ilahi, yang dalam ajaran tasawuf Jawa disebut
“manunggaling kawula klawan Gusti”, kesatuan hamba dan Tuhan.
Marilah kita simak dalil-dalil
Qurani dan Al-Hadis di bawah ini.
1. Surat Ali Imran/3:31,
Qul in kuntum tuhibbuunallaaha
fattabi-‘uunii yuhbibkumullaahu wa yaghfirlakum dzunuubakum wallaahu ghafuurun
rahiim.
Katakan, “Jika kamu mencintai Allah
maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kamu dan menutupi dosa-dosa kamu.
Allah Maha Pengampun dan Maha Pemurah,”
2. Surat Al Baqarah/2:115,
Wa lil-laahi l-masyriqu wa
l-maghribu fa ainamaa tuwalluu fatsamma wajhullaahi innallaaha waasi-‘un
‘aliim.
“Dan kepunyaan Allah Dunia Timur dan
Barat itu. Karena itu, kemana saja kamu menghadap, di situlah Wajah Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Luas dan Maha Mengetahui.”
3. Surat Al Ahzab/33: 41 ? 43,
Yaa ayyuha l-ladziina aamanu dz-kuru
llaaha dzikran katsiira. Wa sabbihuuhu bukratan wa ashiila. Huwa l-ladzii
yushallii ‘alaikum wa malaa-ikatuhuu li yukhrijakum mina zh-zhuluumati ila
n-nuuri wa kaana bi l-mu’miniina rahiima.
“Wahai orang-orang yang beriman,
berzikirlah kepada Allah sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya pagi
dan petang. Dia-lah yang melimpahkan rahmat kepadamu, begitu pula para
malaikat-Nya, dengan maksud mengeluarkan kamu dari kegelapan menuju kehidupan
yang bercahaya; dan Dia menyayangi orang-orang yang beriman.”
4. Surat Qaaf/50:16,
Wa laqad khalaqna l-insaana wa
na‘lamu maa tuwaswisu bihi nafsuhu wa nahnu aqrabu ilaihi min habli l-wariid.
“Dan sungguh Kami telah menciptakan
manusia dan Kami mengetahui apa yang dibisikkan oleh jiwanya. Kami lebih dekat
kepadanya daripada urat lehernya.”
Untuk bagian pertama ini, kita cukup
mengupas dan mengulas enam ayat lebih dulu. Enam ayat inilah yang dijadikan
landasan awal dalam hidup bertasawuf. Jika diumpamakan orang naik tangga, maka
harus melalui tangga dasar yang kokoh. Dengan fondamen yang kokoh inilah para
ahli tasawuf mengembangkan Agama Islam. Dan dari sejarah diketahui bahwa
perintis Islam di seantero jagat adalah para sufi, orang-orang tasawuf. Mereka
inilah yang memperkenalkan Islam dengan hikmat dan pelajaran yang baik.
Baru kemudian diisi oleh kalangan
formalis. Umumnya kalangan formalis menjumpai kegagalan dalam mengembangkan
Agama Islam. Mengapa demikian? Karena oleh kalangan formalis, syariat Islam itu
dikonfrontasikan dengan adat-istiadat atau budaya setempat. Sehingga mereka
dijauhi oleh umat. Lihat saja bulan Ramadhan kemarin, demi khusyuknya
pelaksanaan ibadah puasa, pihak-pihak yang merasa sangat formalis ini ribut
menutup kafe, restoran, dan intinya meminta orang menghormati puasa. Lho,
beragama itu seharusnya tidak untuk minta dihormati. Orang harus menjalankan
agama dengan santun Sehingga agama itu bisa memikat hati orang yang melihatnya.
Jika kita memahami landasan pada
ayat pertama, maka harapan orang bertasawuf adalah ‘mahabbah’ atau jatuh cinta
kepada Allah. Tentu saja untuk mencintai Allah Yang Maha Gaib itu, manusia
harus mempunyai pedoman. Dan yang menjadi pedoman itu adalah “ittiba‘” atau
mengikuti Rasul. Ketika Rasul hadir secara fisik di tengah-tengah umat, maka
mengikuti Rasul berarti secara langsung mematuhi perintah dan larangannya
secara aktual. Namun, setelah secara fisik beliau tidak ada di tengah-tengah
umat, beberapa sahabat berusaha untuk mengajarkan Islam sebagaimana yang
diteladankan oleh Rasul.
Abu Bakar tampil sebagai seorang
khalifah yang sederhana. Harta-bendanya didermakan untuk kepentingan umat. Dia
tidak menyisakan kekayaan materi untuk dirinya. Ketika dia dibaiat sebagai
khalifah, dengan sederhana dia mengucapkan, “Taatilah saya selama saya menaati
Allah dan Rasul-Nya. Dan bila tidak taat, maka tak ada keharusan bagi kalian
untuk menaatiku.” Suatu pidato pengukuhan yang pendek, tetapi tegas. Mungkin
setelah itu tak ada keberanian bagi seorang penguasa mengucapkan demikian.
Bahkan kalimat yang pertamanya adalah,
“Saya telah diangkat sebagai pemimpin kalian, tetapi saya bukanlah orang
yang terbaik di antara kalian.” Juga suka mengganjal perutnya jika kelaparan,
sebagaimana yang diteladankan Nabi. Dia lebih suka memilih demikian daripada
makan makanan yang tidak tahu halal dan haramnya.
Ijtihad mulai dilakukan oleh Umar.
Umar menampilkan diri sebagai seorang khalifah yang amat sederhana.
Administrasi militer dan pemerintahan ditegakkan. Penguasaan Al Quran lebih didorong,
sedangkan catatan-catatan yang disebut Hadis Nabi dimusnahkan. Hal ini dia
lakukan agar umat bersemangat dalam mempelajari Al Quran. Karena akhlak Rasul
Allah s.a.w. adalah Al Quran itu sendiri (Al Hadis, sumber Aisyah). Meskipun
sebagai kepala pemerintahan dia berhak mendapatkan istana gedung dan pengamanan
dirinya, tetapi dia meilih tinggal di gubuk beratap rumbai. Meskipun malam
banyak jaga untuk berzikir, siangnya tetap bersemengat dalam mengendalikan
pemerintahan.
Utsman diangkat sebagai khalifah
yang ke tiga. Di zaman pemerintahannya berkecamuk berbagai fitnah dan hasudan.
Kelembutan jiwanya tak diragukan lagi. Dia tetap tidak mau menggunakan tindak
kekerasan dan kekuatan bersenjata dalam menghadapi fitnah. Seandainya harus
terjadi pertumpahan darah, dia memilih darahnya sendiri yang harus tertumpah,
dan bukan darah kaum muslimin. Ketika pemberontak mengepung rumahnya sambil
menghunus pedang, sedangkan baginya terbuka untuk menumpasnya, dia tetap
menolak untuk melakukan pembasmian itu dengan ucapan: “Saya tak mau menemui
Allah sedang di pundak saya ada percikan darah dari seorang Muslim.”
Khalifah Ali mewarisi pemerintahan
yang penuh kekacauan. Namun dia hadapi semua itu dengan penuh ketenangan.
Meskipun para pejabatnya menyediakan istana negara yang megah dan besar, dia
menolaknya untuk menghuni di istana itu. Ini tidak berarti sekarang seorang
presiden harus meninggalkan istana
negara. Tetapi, hal ini menunjukkan bahwa seorang kepala negara harus memperhatikan
keadaan warganya. Para khalifah adalah orang-orang yang lebih mementingkan
umatnya daripada dirinya. Karena itu Ali pun lebih memilih cara-cara yang layak
sesuai kondisi rakyat. Dia memberi petunjuk orang-orang yang melakukan
kesalahan, dan memberi bantuan kepada yang lemah. Meskipun sebagai khalifah,
suatu saat Ali tetap membawakan barang kebutuhan orang-orang tua yang dia
jumpai. Ketika sahabat-sahabat yang tahu hal ini hendak mengambil alih bawaan
itu, Ali menolak sambil menyitir Al Quran: “Negeri Akhirat itu Kami jadikan
bagi orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di
muka bumi. Dan kesudahan yang baik itu bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al
Qashash/28:83)
Ketika di Syam, Muawiyah menghasut
masyarakat untuk mencaci maki dan mengutuk Ali, di Kufah khalifah mencegah
rakyatnya untuk membalas mencaci maki Muawiyah, dan menimnta rakyatnya untuk
berdoa: “Ya Allah, peliharalah darah kami dan darah mereka, persengketaan kami
dengan mereka.”
Nah, demikianlah para sahabat besar
itu memberikan keteladanan hidup sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi. Semua
bentuk akhlak yang mereka tampilkan itu sebagai wujud kecintaan mereka kepada
Allah dengan cara mengikuti keteladanan Rasul Allah. Harapan mereka adalah
ampunan atau perlindungan dari Allah, Tuhan semesta alam. Keteladanan-keteladanan
yang mulia inilah yang diwarisi oleh mereka yang memilih jalan kesufian. Mereka
tak mau bid’ah-membid’ahkan sesama umat. Mereka memberikan contoh yang bisa
menentramkan hati orang yang sedang gundah.
Jalaluddin Rumi mengajar mereka yang
non-muslim dengan sepenuh hati, tanpa meminta mereka pindah agamanya. Mereka,
para murid yang terdiri dari orang-orang Muslim dan non-muslim, diperlakukan
sama baiknya. Ajaran “tidak ada paksaan dalam agama” (QS 2:255) dipraktikkan
dengan benar. Betul-betul tidak ada paksaan! Jika ada orang yang tertarik dan
pindah ke Islam, ya diterima dengan baik. Jika tetap teguh dengan agamanya ya
tetap dipuji. Dengan cara ini, orang-orang Turki yang semula hanya 20%
penduduknya yang beragama Islam ketika Rumi pindah ke Turki, akhirnya dengan
kesadarannya sendiri rakyat Turki banyak yang pindah ke Agama Islam. Sehingga
di akhir hayatnya, ada 60% penduduk yang beragama Islam.
Sejarah para wali di Jawa sebenarnya
juga demikian. Islam diterima di Jawa dengan penetrasi damai. Walaupun tidak
menutup mata bahwa ditingkat kekuasaan negara, para wali itu pun berebut
pengaruh. Dan hal ini maklum, karena yang asli Jawa itu cuma Sunan Kalijaga.
Namun, di hadapan umat mereka berusaha melakukan akulturasi yang menyejukkan
rakyat. Mereka tetap mencoba memberikan langkah-langkah dalam kedamaian hidup
di dunia ini.
Kesederhanaan masjid-masjid yang di
nusantara sebenarnya menunjukkan bahwa yang membawa ajaran Islam adalah mereka
yang berperilaku hidup tasawuf. Adanya Islam “wetu telu” atau shalat di tiga
waktu yaitu subuh, zuhur dan magrib, di Lombok ke timur dan di Talaud di Sulut
menunjukkan yang memperkenalkan Islam itu para sufi. Para ahli tasawuf ini tak
mau unjuk kesombongan. Jadi, secara gradual mereka menyemai Islam dengan cara
damai.
Hidup bertauhid seperti ayat nomor 2
di atas sangat ditekankan. Kemana saja manusia itu memalingkan dirinya, niscaya
ia tetap menghadap Wajah Allah. Sekali lagi, menghadap Wajah Allah! Hal ini
harus dipahami benar, mengapa tidak dinyatakan “menghadap Allah” saja,
melainkan menghadap Wajah Allah. Karena, apa saja yang ada di penjuru mata
angin, bukanlah Allah. Islam tidak mengajarkan pantheisme, bahwa Allah adalah
keseluruhan alam ini. Islam mengajarkan bahwa semua ini ada karena dihadirkan
oleh Allah. Dia Maha Meliputi segala sesuatu. Dengan demikian, kemana saja kita
menghadapkan diri kita, di situlah kita melihat kehadiran Allah. Tanpa Dia tak
akan ada wujud alam semesta ini. Wujud alam ini menunjukkan kehadiran-Nya.
Karena itu kemana kita memandang, maka yang kita pandang adalah Wajah Allah.
Dengan fundamen yang kokoh itu,
layaklah sebagai hamba kita diseru untuk senantiasa berzikir kepada Allah
sebanyak-banyaknya, dan bertasbih dari pagi hingga petang. Dengan lain kata,
berzikir kepada Allah yang mengiringi aktivitas kita sepanjang hari. Hal ini
dimaksudkan agar nurani kita semakin tajam dalam hidup ini. Sehingga kita bisa
keluar dari kegelapan hidup ini menuju daerah kehidupan yang terang, yang
bercahaya, yang transparan. Jika hidup ini bisa kita jalani dengan Ajaran yang
mulia ini niscaya kita tidak timbul saling curiga dalam kehidupan bersama,
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Berzikir untuk selalu ingat Yang
dicintai, yaitu Allah. Bertasbih adalah tindakan untuk menjauhkan diri dari
segala sifat yang tidak terpuji. Tindakan untuk menjauhkan diri dari segala
yang tidak patut dilakukan sebagai kekasih Allah. Jadi, bertasbih alias
memahasucikan Tuhan, bukanlah cuma mengucap “subhaanallah”. Tetapi ia merupakan
perbuatan yang nyata-nyata untuk menjauhkan segala sifat yang tidak patut
diatributkan kepada Tuhan. “Subhaana rabbika ammaa yaashifuun,” Mahasuci Tuhan
engkau dari apa yang mereka sifatkan.
Semua perbuatan bajik itu ditunaikan
oleh orang-orang yang mencintai Tuhan karena mereka sadar bahwa Kekasih mereka
itu selalu mengawasi mereka. Mereka merasa hidup ini dalam pengawasan Tuhan.
Para pencinta itu tak ingin ditinggalkan oleh Sang Kekasih. Mereka sadar bahwa
kehadiran Sang Kekasih itu lebih dekat kepada jiwa-jiwa mereka daripada urat
nadi leher mereka. Bisikan sekecil apa pun kepada jiwa mereka pasti diketahui.
Ada prinsip transparansi dalam akuntansi kehidupan ini.
Bagian ke-2
Pada bagian ke satu, telah
dikutipkan surat Aali Imraan/3:31 yang terjemahannya sebagai berikut, “Jika kamu
mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kamu dan menutupi
dosa-dosa kamu. Allah Maha Pengampun dan Maha Pemurah.”
Dalam kehidupan ini banyak orang
yang tidak bisa membedakan antara kata “mengikuti” dan “meniru”. Yang
diperintahkan kepada umat manusia adalah “mengikuti” atau “ittiba‘”, bukan
meniru. Hal ini jelas, karena manusia bukanlah hewan. Manusia adalah sebuah
kepribadian yang bisa tumbuh dan berkembang. Manusia adalah kepribadian yang
dapat tumbuh dewasa. Mula-mula manusia tumbuh menjadi “kanak-kanak” yang sifatnya hanya meniru. Ia
berusaha meniru perilaku di lingkungannya. Dalam bahasa agama, ia dikatakan
tumbuh secara “taqlid”.
Mengapa peniruan oleh kanak-kanak
ini disebut taqlid? Karena tahap pemikiran kanak-kanak belum berkembang dengan
baik. Sedangkan meniru adalah tahap pertama dalam proses pendewasaan
pribadinya. Kanak-kanak ingin melakukan apa saja yang dilihatnya. Ia belum bisa
mengerti alasan mengapa perbuatan tertentu dilakukan oleh orang-orang di
sekelilingnya. Seandainya kanak-kanak itu bisa berjanggut, maka ia akan
memelihara janggutnya bila orang-orang di sekitarnya berjanggut. Contoh yang
paling konkret dalam bertaklid adalah “merokok”. Perbuatan merokok yang
dilakukan oleh para remaja adalah produk dari taklid. Akhirnya, perbuatan ini
menjadi kebiasaan sampai dewasa dan tua, mungkin seumur hidupnya.
Banyak sekali perbuatan agamis kita
ini juga hasil dari taklid ketika kita masih kecil atau ketika kita bersentuhan
pertama kali dengan ajaran-ajaran agama. Kalau toh sekarang ini kita mengaji
Al-Quran dan Al-Hadis, lebih banyak ayat-ayat itu sebagai pembenaran atau “justifikasi” bagi kepercayaan atau perbuatan
yang telah kita lakukan. Sebaliknya, kita ini jarang sekali yang menelaah Al
Quran dan Al Hadis untuk melahirkan suatu produk yang berupa perbuatan etika
(sopan-santun), estetika (keindahan), dan spiritual (semangat hidup) yang
unggul. Semenjak mandegnya kemunculan tokoh-tokoh besar Islam 1.000 tahun yang
lalu, praktis umat Islam hanya bertaklid kepada mereka.
Perbedaan-perbedaan yang muncul dari
sikap taklid ini tidak menghasilkan rahmat bagi umat Islam. Bahkan sering
perbedaan ini menjadi bencana atau mala petaka bagi umat. Mengapa demikian?
Karena perbedaan itu tidak tumbuh dari pencarian. Perbedaan yang tumbuh dari
peniruan, akan melahirkan “claim-claim” kebenaran. Banyak orang yang
beranggapan bahwa apa yang ditirunya (bukan diikutinya, sekali lagi bukan
diikutinya) sebagai yang paling benar. Akhirnya, orang berebut benar sendiri.
Orang lain yang tidak sepaham atau seperti apa yang ditirunya dianggap berada
dalam jalan yang salah. Ia merasa telah berada di atas dalil yang benar;
padahal dalil tadi hanyalah intepretasi atau paham mursyid, gurunya.
Nah, tasawuf mengajak kita untuk
beramal dengan arif. Tasawuf mengajak kita untuk mencari hikmah Allah. Tak ada
kampus atau sekolahan di dunia ini yang memberikan pelajaran hikmah atau
“wisdom”. Hikmah adalah barang orang mukmin yang hilang, karena itu marilah
kita cari, dan di mana pun ia berada harus kita temukan, dan kita ambil.
Kitasusuri melalui jalur syariat, kita gunakan cara (tarekat) untuk
menemukannya. Lalu kita pahami hakikatnya, dan lahirlah hikmah. Dengan hikmah
yang diberikan kepada kita maka kita memperoleh kebajikan yang banyak.
Akhirnya, dada kita terasa lapang. Dan, lapang dada adalah sarana untuk
mendapatkan hikmah.
Surat Al Baqarah/2:269,
“Allah memberikan hikmah kepada
siapa yang dikehendaki. Dan barangsiapa yang menerima hikmah, sungguh ia telah
diberi kebajikan yang banyak. Tak ada yang dapat memahami pelajaran kecuali
kelompok albab.”
Kata “khairan katsiira” pada ayat di
atas sebenarnya tidak cukup diterjemahkan dengan “kebajikan yang banyak”. Makna
“khair” yang lain adalah sesuatu yang sangat baik, rahmat, keistimewaan,
keuntungan, dan kesejahteraan. Sehingga proses untuk mencapai status “Hamba-Tuhan” atau “Manunggaling
kawula-Gusti” adalah proses pencarian hikmah. Dan seperti yang telah saya
jelaskan pada pelajaran-pelajaran sebelumnya, kalimat “siapa yang
dikehendaki-Nya” tidak berarti Tuhan berbuat sewenang-wenang. Arti yang
sebenarnya kalimat tersebut adalah Dia menghendaki siapa yang menghendaki-Nya.
Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad menjadi nabi, bukan karena mereka
semata-mata dikehendaki menjadi nabi; tetapi mereka adalah orang-orang yang
telah berjuang keras mencari-Nya.
Kedua ayat tersebut, yaitu 3:31 dan
2:269 merupakan ayat yang saling melengkapi untuk memahami tasawuf. Pada 3:31
yang ditekankan adalah kecintaan atau “mahabbah” dari Allah kepada hamba-Nya
yang sungguh-sungguh mencintai-Nya. Jika Allah mencintai hamba-Nya maka
ditutupinya semua dosa hamba-Nya. Jika Allah menutupi segala dosa hamba-Nya
tidak berarti dosa itu dihapus seperti kita menghapus papan tulis yang kotor,
tetapi hamba tersebut menerima hikmah dari ssi-Nya. Dengan hikmah tersebut
hamba dapat bertindak atau beramal yang mendatangkan keuntungan yang besar.
Sehingga dosa atau kerugian yang ada itu tertutupi atau terlunasi.
Jika ujung ayat 3:31 berbunyi “Allah
Maha Pengampun dan Maha Penyayang”, maka ujung ayat 2:269 adalah “Tak ada yang
dapat memahami pelajaran atau ayat-ayat Tuhan, kecuali kaum albab. Kaum albab
adalah mereka yang mampu menyatukan dada dan kepala, hati dan otak, atau
perasaan dan nalarnya. Karena itu mereka layak menerima hikmah. Sedangkan
pengampun dan penyayang adalah sifat asli Tuhan. Artinya, Tuhan senantiasa
merespon hamba-Nya yang betul-betul memohon ampun dan kasih-sayang-Nya, yang
dalam ayat di atas disebutkan sebagai “mencintai Tuhan” yang dibuktikan dengan
cara berittiba‘ atau mengikuti Rasul s.a.w.
Dalam QS 3:32 disebutkan bahwa
mengikuti Rasul itu harus diwujudkan dengan tindakan menaati atau mematuhi
Allah dan Rasul-Nya. Namun, kebanyakan orang memiliki pengertian yang salah
tentang kepatuhan kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah sering disamakan dengan Al
Quran, sedangkan Rasul disamakan dengan Al Hadis. Allah Yang Maha Hidup dan
Maha Besar itu dikecilkan menjadi sekadar sebuah Kitab Suci. Inilah kesalahan
yang sangat fatal.
Allah adalah Allah! Allah bukanlah
Taurat, Zabur, Injil, atau Al Quran. Semua kitab suci hanyalah sebagian kecil
dari kalam-Nya. Seandainya lautan itu dijadikan tinta dan pohon-pohon di muka
bumi ini dijadikan pena, maka telah keringlah tinta itu sebelum habis kalam
Tuhan. Kalam-Nya yang ditulis dalam kitab-kitab itu hanyalah miniatur dari
kebenaran Ilahi. Karena kitab suci itu miniatur dari kalam-Nya maka diperlukan
pemahaman pesan-pesan-Nya. Kalau hanya sekadar membaca kulitnya, selamanya tak
akan pernah mengerti isi kitab suci tersebut.
Surat Al Kahfi/18:109 menyebutkan,
“Qul lau kaana l-bahru midaadal li
kalimaati rabbii lanafida l-bahru qabla antanfada kalimaatu rabbii wa lau
ji’naa bi mitslihii madadaa.”
“Katakanlah, seandainya air laut itu sebagai
tinta untuk menulis kalimat-kalimat Tuhanku, niscaya air laut itu kering
sebelum kalimat-kalimat Tuhanku habis dituliskan; bahkan jika ditambahkan
sebanyak itu.”
Jadi, jelaslah bahwa kalam Allah itu
tak terhingga. Karena kalam Allah itu seluas ilmu-Nya. Dan, keluasan Allah di
banyak ayat dinyatakan dengan iringan kemahatahuan-Nya, yaitu “Innallaaha
waasi-‘un ‘aliim”, sesungguhnya Allah Maha Luas dan Maha Mengetahui. Nah,
belajar tasawuf sebenarnya mempelajari bagaimana caranya mencintai Allah dan
mendekatkan diri ke maqam-Nya atau ke Hadirat-Nya. Dia adalah Dzat Yang Maha
Hidup, sedangkan kitab suci memuat kalam-Nya. Dia tidak dibatasi oleh ruang dan
waktu, sedangkan kitab suci bersifat kontekstual yang ada di dalam ruang dan
waktu. Dan, Al Quran sebagai salah satu kitab suci, ia berkaitan dengan bahasa
dan budaya Arab, lebih tepatnya Arab Qureisy.
Lalu bagaimana dengan Muhammad Rasul
Allah? Rasul adalah manusia yang diutus untuk mengajarkan kalam Allah tersebut.
Seperti yang dikatakan dalam firman-Nya dalam surat al Ghaasyiyah/88:21-22,
“Fadzakkir innamaa anta mudzakkir, lasta ‘alaihim bi mushaithir”, Sampaikan
ajaran (Tuhan) karena sesungguhnya engkau orang yang menyampaikan ajaran, dan
engkau bukanlah orang yang ditugasi untuk menguasai mereka. Dan ayat senada ada
pada QS 87:9, yaitu Nabi s.a.w. diperintah untuk menyampaikan ajaran, karena
ajaran dari Tuhan itu bermanfaat bagi manusia.
Kemudian, dimana letak Al Hadis
dalam pengajaran kalam Ilahi kepada umat manusia? Jadi, di dalam mengajarkan
kalimat-kalimat Tuhan kepada manusia, Nabi memberikan contoh-contoh yang pas
bagi yang beliau ajar. Nabi memberikan contoh sesuai dengan daya tangkap dan
tingkat kecerdasan orang-orang yang beliau ajar. Karena itu hadis-hadis itu
sifatnya kasuistis. Al Hadis adalah produk atau jawaban bagi masalah yang
dihadapi oleh umat pada waktu kehidupan Rasul di bumi. Sehingga Al Hadis harus
ditempatkan sebagai referensi dalam memahami ajaran Islam yang disampaikan oleh
Nabi. Masalah dalam kehidupan manusia terus berkembang karena adanya perubahan
lingkungan hidup manusia. Untuk memberikan solusi yang islami, umat Islam harus
merujuk kepada Nabi, bukan meniru Nabi. Beliau telah memberikan “uswatun
hasanah” atau contoh-contoh yang baik dalam memberikan solusi.
Masalah yang paling pokok bagi
manusia adalah masalah psikologis, masalah yang terkait dengan faktor kejiwaan.
Dapat dikatakan 95% problem manusia adalah problem yang muncul dari jiwanya.
Dan, agama-agama diturunkan kepada manusia adalah untuk memberikan jawaban bagi
jiwa manusia agar manusia menjadi terarah hidupnya dan dapat menemukan jalan
hidupnya. Oleh karena problema manusia itu problema jiwanya, dan daya tangkap
dan kecerdasan manusia itu berbeda-beda, maka untuk hal-hal yang bersifat
sangat abstrak atau batiniah, oleh Nabi, diajarkan pada orang-orang tertentu
saja. Dan sumber ajaran tasawuf kalau dirunut hingga akarnya akan dijumpai pada
Abubakar dan Ali bin Abi thalib, dan penghulunya adalah Muhammad Rasulullah
s.a.w.
Dengan demikian mematuhi Allah dan
Rasul-Nya tidak sama dengan meniru yang tersurat dalam Al Quran dan Al Hadis.
Meniru yang tersurat akan melahirkan sikap spekulatif. Dan, akhirnya
mengabsolutkan yang relatif. Hal demikian ini disinggung dalam QS 62:5, Tuhan
membuat permisalan bagi orang-orang yang berkewajiban mempelajari isi Taurat,
tetapi mereka tidak mau mempelajarinya untuk menemukan hikmah yang terkandung
di dalamnya, maka mereka itu diumpamakan sebagai keledai yang mengangkut
kitab-kitab yang tebal. Tentu saja kitab-kitab itu tidak bisa menjadi petunjuk
bagi keledai. Kitab itu tak akan menjadi solusi bagi mereka. Bahkan kalau cuma
dibawa secara fisik, cuma disentuh kulitnya, akan menjadi beban bagi dirinya.
Hasil akhirnya adalah kezaliman. Dan Allah tidak memberi petunjuk kaum yang
lalim, “Wallaahu laa yahdi l-qauma zh-zhaalimiin,” seperti pada ujung ayat
tersebut.
Umat manusia tidak diperintah untuk
meniru Rasul atau bertaklid kepada beliau, maka itu Allah memerintah Rasul
untuk menyeru kepada jalan Tuhan itu dengan menggunakan al-hikmah dan
pengajaran yang baik. Jadi, umat diperintah oleh Allah untuk berittiba‘,
mengikuti ajaran beliau. Dan beliau serta orang-orang yang menjadi ahli waris
ajaran beliau diperintah untuk menyeru ke jalan Tuhan dengan menggunakan hikmah
dan peng-ajaran yang baik. Ayat selengkapnya pada QS 16:125 sebagai berikut,
“Ud-‘u ilaa sabiili rabbika bi
l-hikmati wa l-mau-‘izhati l-hasanati wa jaadilhum bi l-latii hiya ahsanu inna
rabbaka huwa a‘lamu bi man dhalla ‘an sabiilihi wa huwa a‘lamu bi l-muhtadiin.”
“Serulah mereka itu kepada jalan
Tuhan engkau dengan menggunakan hikmah dan mauizhah yang baik. Dan
berargumenlah dengan cara yang sebaik-baiknya. Sesungguhnya Tuhan engkau lebih
mengetahui orang-orang yang tersesat dari jalan-Nya dan orang-orang yang
mendapat petunjuk.”
Marilah kita rinci pengertian ayat
tersebut. Kita pahami kandungannya.
Pertama, Nabi?dan orang-orang yang
menjadi ahli waris kenabian?diperintah untuk mengajak manusia ke jalan Tuhan.
Coba perhatikan makna kata “ajakan”. Jelas bahwa ajakan tidak sama dengan
paksaan. Jika kita melihat tingkah laku umat sekarang ini tampak sekali adanya
paksaan untuk mempraktikkan agama. Sedangkan Al Quran sendiri menyebut bahwa
“tidak ada paksaan dalam beragama”. Lihat kembali surat ke-88 di atas.
Betul-betul kehidupan beragama itu sebagai ajakan. Di sini harus bisa kita bedakan
dengan pelarangan untuk berbuat kriminal. Untuk mencegah timbulnya kriminalitas
atau kezaliman dalam hidup bernegara ini, pemerintah yang berkewajiban
menegakkan hukum dan keadilan. Sedangkan warga berkewajiban mematuhinya. Nah,
di sini kita harus memahami mana ayat-ayat yang menunjukkan Muhammad sebagai
Nabi, dan Muhammad sebagai Kepala Negara/Pemerintahan.
Ke dua, diajak menuju jalan Tuhan.
Lho, Tuhan punya jalan? Pengertian ayat itu adalah Tuhan telah menciptakan
“sabiil” atau jalan bagi ciptaan dan ‘amr (kehendak)-Nya. Ciptaan adalah
sesuatu yang menjadi ada melalui sebuah proses, sedangkan kehendak-Nya ada
tanpa proses kejadian. Nah, proses kejadian dan kehendak itu mengikuti suatu
jalan yang telah ditetapkan Tuhan berdasarkan ilmu-Nya. Dan, jalan yang telah
ditentukan Tuhan itu banyak. Karena itu, kata “sabiil” mempunyai kata pluralnya
yaitu “subul”. Jalan-jalan ini pada akhirnya menjadi satu di jalan yang besar
yang disebut “shiraath”. Dengan demikian, ada satu shiraath yaitu “shiraath
al-mustaqiim”. Dan petunjuk ke jalan yang lurus inilah yang kita minta dari
Tuhan.
Ke tiga, cara mengajak kepada jalan
Tuhan itu pun harus menggunakan “hikmah” atau “wisdom”. Tidak ada sekolahan
atau tempat belajar untuk memperoleh hikmah. Karena hikmah bukan materi atau
sesuatu yang tampak. Hikmah sendiri berasal dari kata “hukum”, karena itu
hikmah merupakan esensi kebenaran yang tampak. Diceritakan di dalam Al Quran,
surat Al Baqarah/2:251, bahwa Daud sebelum diangkat menjadi Nabi, memperoleh
hikmah dari Tuhan. Sehingga beliau mampu mengalahkan Jalud, yang jauh lebih
kuat, hanya dengan ketapel. Nah, ide menggunakan ketapel untuk membunuh Jalud
itu namanya hikmah. Karena hikmah itu sebuah esensi sebuah kebenaran yang
tampak, maka ia tidak bisa didentifikasi layaknya sebuah produk. Sebab jika
sekarang Anda bertempur dengan orang yang menggunakan bedil, lalu Anda
menggunakan ketapel, ya Anda akan kalah dan kemungkinan besar mati. Ketapel
ditangan Anda bukan lagi hikmah namanya. Karena itu hikmah harus digali dan
dicari. Tetapi hikmah tak akan kita dapatkan bila kita berlaku lalim, karena
Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang bertindak zalim,
aniaya, yang merugikan.
Ke empat, disamping menggunakan
hikmah, orang harus kita ajak dengan menggunakan mau-izhah yang baik. Kata
mau-izhah berasal dari “wa- ‘a-zha” yang artinya memberikan nasihat atau
peringatan. Jadi, mau-izhah artinya pelajaran yang mengandung nasihat dan
peringatan. Dan itu pun harus yang baik, yang tidak menyakitkan hati orang yang
di ajak melalui jalan Tuhan. Lha, kalau mengajaknya itu bukan dengan cara yang
baik, maka yang diajak akan ketakutan atau malah tidak percaya. Dengan hikmah
ajakan itu akan tepat sasaran, dan dengan mau-izhah yang baik yang diajak akan
masuk dengan puas.
Ke lima, berargumen dengan cara yang
sebaik-baiknya. Kadang kala yang diajak itu minta penjelasan dan bahkan
membantah. Dalam keadaan demikian, ajakan itu harus disertai argumen atau
bantahan yang sebaik-baiknya. Bukan hanya cara yang baik, tetapi yang lebih baik.
Sehingga yang diajak tidak tersinggung hatinya.
Ke enam, ajakan itu harus disertai
kewaspadaan. Di ujung ayat tersebut dikatakan bahwa Tuhan lebih mengetahui
orang-orang yang tersesat dari jalan-Nya. Meskipun dalam ayat itu dinyatakan
“Tuhan lebih mengetahui”, namun dalam praktik, orang yang mengajak kepada jalan
Tuhan itu yang harus waspada. Dengan kewaspadaan itu amalan untuk mengajak
kepada jalan Tuhan tidak menjadi sia-sia, yaitu kehilangan waktu dan tenaga.
Waspada artinya cermat, siapa yang diajaknya berdebat atau berargumentasi itu.
Dengan demikian tidak timbul debat kusir.
Ke tujuh, kewaspadaan itu harus
diikuti dengan persuasi atau kesantunan. Jika sudah di-cermati bahwa orang yang
diajak kepada jalan Tuhan itu sungguh-sunnguh orang yang mau mengikuti, maka
selanjutnya adalah menyantuninya dengan memberikan binaan dan bimbingan. Dengan
cara ini terbentuklah kehidupan umat yang harmonis, yang setara dalam pergaulan
hidup, sama-sama berada di jalan Tuhan.
Nah, belajar tasawuf sebenarnya
belajar untuk dapat mencari dan memperoleh hikmah dalam kehidupan ini. Dengan
memperoleh hikmah, kita tidak lagi beribadah untuk mencari surga atau karena
takut neraka. Karena hikmah itu sendiri merupakan kebajikan, rahmat,
keuntungan, “advantage” yang banyak.
Sekian pelajaran hari ini, semoga bermanfaat bagi kita semua, dan kita
lanjutkan bagian ke-3.
Bagian ke-3
Telah dijelaskan bahwa ajaran
tasawuf adalah untuk menggapai hikmah Ilahi, yang pada akhirnya mampu kembali
kepada Allah. Dia adalah asal segala keberadaan, baik yang kasat mata maupun
yang gaib. Alam semesta ini tumbuh dari wujud yang paling sederhana, yang
disebut titik singularitas. Pada suatu masa yang sangat mampat, meledaklah
titik singularitas itu. Ilmuwan fisika menamai ledakan ini dengan “big bang”,
atau “ledakan besar”. Segala sesuatu ini memang berasal dari titik tunggal
seperti yang diungkapkan pada QS 21 : 30, “Dan apakah orang-orang yang ingkar
itu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya langit dan bumi itu dahulunya satu yang
padu. Lalu Kami pisahkan keduanya. Dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup
dari “zat cair”. Maka apakah mereka tetap tidak beriman?”
Di antara mufasir Al Quran ada yang
mengatakan bahwa “samawat” adalah semua ruang, dan “ardh” adalah materi. Dengan
demikian ayat tersebut di atas diterjemahkan menjadi “sesungguhnya ruang dan
materi itu dahulunya sebagai wujud yang satu”. Lalu, apa hubungannya ayat ini
dengan bahasan tasawuf kita? Ya, ayat ini sebenarnya mengi-ngatkan kita bahwa
semua keberadaan ini berasal dari “SATU” wujud. Dari situlah adanya matahari,
planet-planet, rembulan, dan semua bintang yang bermilyar-milyar banyaknya itu.
Dan di planetlah tumbuh kehidupan, yang berevolusi dari kehidupan satu sel
hingga menjadi makhluk milyaran sel yang sangat kompleks yang disebut manusia.
Semua makhluk, kecuali manusia,
menempuh kehidupannya sesuai dengan komando Tuhan semesta alam. Manusia dalam
perjalanan sejarahnya akhirnya menemukan kebe-basan dirinya. Manusia tidak lagi
tunduk kepada hukum alam, tetapi berusaha mengatasi alam. Karena itu pada
akhirnya manusia dipilih menjadi “khalifatullah fil ardh”, yaitu wakil Tuhan di
bumi. Jadi manusia itu bukan “penguasa bumi”, tetapi wakil-Nya di bumi. Sebagai
“wakil” tentu manusia harus bisa bertemu dengan-Nya untuk mempertanggung-jawabkan
amanat yang diembannya. Dan sudah menjadi “janji” Tuhan bahwa setiap orang pada
akhirnya dapat menemui-Nya!!
Perhatikan QS 84:6-9,
“Hai manusia sesungguhnya engkau
telah berusaha sungguh-sungguh menuju Tuhan engkau, dan engkau niscaya
menemui-Nya. Dan orang yang menerima rekaman pada tangan kanannya, maka ia
mendapatkan penilaian yang baik. Dan ia akan kembali kepada keluarganya dengan
gembira.”
Jadi, kapan seseorang bertemu
dengan-Nya? Yaitu, ketika orang itu sudah bisa menyucikan dirinya, yang pada
ayat tersebut dikatakan sebagai ‘menerima rekaman amalannya pada tangan
kanannya’. Tentang ayat 9 yang menyatakan kembali kepada keluarganya dengan
gembira, tidak kita bahas sekarang ini. Bertahap supaya kita tidak bingung!
Yang jelas, untuk bisa bertemu dengan-Nya, kita harus sungguh-sungguh
mencari-Nya. Agar kita bisa mempertanggungjawabkan tugas-tugas yang kita emban,
yaitu tugas untuk “hamemayu ayuning bawana”, menciptakan kebaikan dan keindahan
di bumi ini. Sehingga pada QS 21:105 disebutkan oleh Tuhan bahwa bumi ini akan
diwarisi oleh hamba-hamba-Nya yang saleh, hamba yang berbuat kebajikan, yaitu
sebagai lawan dari orang-orang yang membuat kerusakan di bumi. Hal inilah yang
disinggung dalam surat al-Baqarah/2:11, “Dan apabila dikatakan kepada mereka
(orang-orang kafir): ‘Jangan membuat kerusakan di bumi!’ Mereka menjawab,
‘Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang saleh.’” Jadi, kesalehan adalah
lawan dari kekafiran.
Mencintai-Nya, tentu diikuti dengan
tindakan mencari-Nya. Omong kosong, orang yang mengatakan ‘mencintai’ Dia tanpa
ada keinginan untuk bertemu dengan-Nya! Tapi bagaimana mencari-Nya, wong Dia
itu tak tertangkap oleh indera kita. Dia memang Maha Besar, Allaahu Akbar,
tetapi Dia juga Maha halus, wa huwa lathiif. Dikonfirmasi dalam surat al-An-‘aam/6:103,
“Dia tidak dapat dicapai oleh indera, sedangkan Dia meliputi indera. Dia Maha
Halus dan Maha Menyadari.” Karena Dia tidak tertangkap oleh indera itulah,
Allah memerintahkan manusia untuk berittiba’ atau mengikuti Rasul-Rasul-Nya,
yang untuk umat Islam berittiba’ kepada Nabi Muhammad s.a.w.
Rasul adalah juga manusia seperti
kita. Ia manusia yang makan, minum, dan bekerja layaknya manusia biasa.
Sebagian besar dari rasul justru memilih kehidupan berkeluarga. Namun mereka
itu manusia yang mempunyai kualitas lebih dari kebanyakan manusia. Yang jelas
semua rasul/nabi tahan menderita. Semangat hidupnya tinggi. Makan, minum, dan
tidurnya relatif sedikit. Mereka terpanggil untuk mewartakan jalan hidup yang
benar. Mereka bahkan tidak hanya mewartakannya, tetapi membawa dan
menggembalakan umat manusia. Tentu saja sifat jujur, tepercaya, cerdas, dan menyampaikan kebenaran
itu adalah sifat mereka. Nah, di antara para rasul dan yang menjadi penghulu
para nabi adalah Nabi Muhammad s.a.w.
Muhammad memiliki keteladan yang
baik bagi umat manusia yang mendambakan Allah dan Hari Akhir dan banyak
berzikir kepada Allah (QS 33:21). Seperti yang telah dijelaskan di bagian ke-2,
mengikuti keteladanan tidak sama dengan meniru. Meniru adalah proses
pendewasaan tahap awal seorang anak manusia. Sedangkan mengikuti keteladanan,
termuat usaha untuk mengerti apa yang diteladankan. Mengikuti juga tidak sama
dengan “sekadar ikut” atau menyertai. Dalam tindakan mengikuti, terdapat proses
menyempurnakan diri. Ada upaya untuk mengadopsi dan mengadaptasi. Mengapa
demikian? Karena keteladanan dari seseorang tak lepas dari budayanya. Pakaian
gamis tentu sangat cocok dengan budaya padang pasir. Namun kata “gamis”
tersebut di negara Spanyol ketika dikuasai oleh Bani Umayyah, berubah
menjadi kamisa dan akhirnya kemeja
seperti yang kita kenal di Indonesia.
Untuk mengikuti Nabi, manusia
diperintah untuk mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Selama beliau di Mekah, wahyu
yang memuat kalimat perintah “athii-‘uu” hanya ada di surat Thaahaa/20:90. Dan
itu pun mengabarkan perintah Nabi Harun a.s. kepada umatnya. Sedangkan kalimat
perintah “athii-‘uuni”, patuhilah aku, hanya ada di surat asy-Syu-‘araa, yaitu
surat ke-26 pada ayat 108, 110, 126, 131, 144, 150, 163, 179; dan surat ke-43
(az-Zukhruf) ayat 63, serta surat Nuh/71:3. Dan semua perintah “patuhilah aku”
pada semua ayat tersebut adalah perintah nabi-nabi, seperti Nuh, Shaleh, Hud,
Syuaib, Luth dan Isa, kepada umat beliau masing-masing. Perintah “patuh kepada
Allah dan Rasul” baru muncul pada periode Nabi s.a.w. di Madinah
Ada 13 ayat Madaniyah yang
memerintahkan manusia untuk patuh kepada Allah dan Rasul, yaitu ayat 3:32,132,
4:59, 5:92, 8:1,20,46, 24:54,56,47:33, 58:13, 64:12,16. Jika ayat-ayat Makiyah
menegaskan bahwa Rasul itu sebagai penyampai Ajaran Tuhan, maka ayat-ayat
Madaniyah memberitahukan bahwa Rasul juga Pemimpin umat yang harus dipatuhi.
Apa yang disampaikan di Mekah adalah Ajaran yang universal dari Islam, sedang
yang di Madinah lebih spesifik sebagai solusi bagi kehidupan masyarakat Arab
pada waktu itu. Hal itu jelas sekali bila kita memperhatikan hukum-hukum yang
tertera pada 5:89-91, yang mendahului perintah ketaatan kepada Allah dan Rasul
pada 5:92.
Demikian pula jika kita
memperhatikan perintah tentang kepatuhan kepada Rasul dalam surat al-Anfaal
(Rampasan Perang). Perintah itu sangat erat kaitannya dengan peperangan, agar
pasukan tentara yang dipimpin Nabi tetap solid (bersatu), teguh dan tetap
mengikat tali persaudaraan orang-orang beriman. Pada intinya semua ayat tersebut,
kecuali 64:12-16, menjelaskan kepatuhan umat kepada Rasul ketika beliau ada di
tengah-tengah mereka. Nah, sejak 632 M secara fisik beliau sudah tidak hadir di
tengah-tengah umat. Kehadiran beliau di tengah-tengah umat bersifat ruhaniyah.
Dengan demikian, taat kepada Allah Yang Maha Gaib itu dan taat kepada Rasul
dalam keadaan gaib, merupakan kepatuhan yang bersifat spiritual.
Kepatuhan spiritual, yang di dalam
bahasa tasawuf Jawa sebagai “Sembah Jiwa”, adalah jalan kepatuhan terakhir
untuk memasuki tingkat kerohanian tertinggi, yaitu alam nubuwat atau “kenabian”
seperti yang dinyatakan pada surat an-Nisa’/4:69. Yang di dalam ayat itu
disebutkan bahwa orang-orang yang mendapat anugerah kenikmatan dari Tuhan
adalah para shalihin, para syuhada’, para shiddiqin, dan para nabi. Yang
dimaksud dengan para nabi, tidak berarti mereka yang menyatakan dan dinyatakan
sebagai “nabi” dalam bahasa Arab, tetapi semua orang yang menjadi “ahli waris
kenabian” yaitu mereka yang disebut ulama, baik dalam Al Quran maupun Al Hadis
(al-‘ulamaa-u waratsatu l-anbiyaa’, ulama itu ahli waris para nabi). Yang saya
maksud dengan ulama di sini, bukan sebutan ulama yang ditempelkan pada orang
tertentu. Tetapi orang-orang yang ada di barisan para nabi Allah. Ulama
demikian inilah yang dikabarkan dalam surat ar-Ra’d (guruh)/13 : 7,
“Wa yaquulu l-ladziina kafaruu laulaa unzila
‘alaihi aayatun min rabbihii innamaa anta mundzirun wa li kulli qaumin haaad.”
Berkatalah orang-orang yang ingkar
(kafir) itu, “Mengapa tidak diturunkan suatu mukjizat dari Tuhannya kepada
Muhammad?” Engkau (Muhammad)
sesungguhnya salah seorang yang memberi peringatan! Dan setiap kaum itu ada
orang yang memberi petunjuk (Haad).
Jadi, jelas bahwa orang yang
senantiasa terpanggil untuk memberi peringatan dan petunjuk tentang jalan hidup
yang benar dalam suatu kaum itu selalu ada. Dan Nabi adalah salah seorang Haad
itu. Dengan demikian, Haad atau orang yang memberi petunjuk untuk berbuat dan
bertindak benar kepada suatu kaum ada di barisan para nabi. Mereka adalah
orang-orang yang menerima tongkat estafet kenabian. Mereka itulah para ahli
waris nabi. Sehingga di dalam suatu Al hadis disebutkan bahwa para ulama di
kalangan umat beliau bagaikan para nabi Bani Israel. Mereka tidak memerlukan
sebutan nabi bagi diri mereka. Sebab Penghulu para nabi adalah Muhammad s.a.w.
Lalu, apa hubungannya menjadi ulama
dengan belajar tasawuf? Apakah belajar tasawuf itu untuk menjadi wali atau
ulama? Tentu saja tidak! Kodrat dan irodat Tuhan dalam diri setiap manusia itu
tidak sama. Kapasitas manusia untuk mengarungi hidup ini berbeda-beda. Kita
lihat saja di sekolahan, untuk kelas yang sama tak ada orang yang kepandaiannya
sama. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan atas yang lain. Meskipun
di sekolah suatu nilai itu ada standarnya, tetapi sepuluh orang yang mendapat
nilai matematika yang sama, tetap kepandaiannya tak ada yang sama.
Tuhan Maha Mengetahui! Setiap orang
mempunyai kodrat dan iradatnya sendiri. Kapasitas dan kapabilitas usaha manusia
berbeda-beda. Penggolongan pada manusia juga karena adanya perbedaan-perbedaan
itu. Demikian pula penggolongan tentang kesalehan, seperti shalihin, syuhada’,
shiddiqin, dan nabi, adalah karena adanya kapabilitas yang berbeda-beda. Nah,
orang-orang yang memiliki perbedaan kapabilitas yang tidak berarti biasanya
dimasukkan dalam satu golongan atau tingkatan, maqam, posisi, stasiun atau
dengan sebutan lainnya. Dan Allah pun memerintahkan manusia untuk bertakwa
sesuai dengan kesanggupan atau kapabilitasnya. Dalam surat at-Taghaabun/64:16
disebutkan, “Bertakwalah kepada Allah
menurut kesanggupanmu. Dengarlah dan patuhilah, serta belanjakan hartamu, itu
yang lebih baik bagi jiwamu. Barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran
jiwanya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Jika demikian, untuk apa kita
belajar tasawuf bila kodrat dan irodat dan kapabilitas manusia itu
berbeda-beda? Di bagian depan telah disampaikan bahwa belajar tasawuf itu untuk
menjadi hamba-hamba yang mencintai dan dicintai Tuhan. Dengan kata lain untuk
bisa kembali dan bertemu dengan-Nya. Dan jalan kembali untuk bertemu dengan
Tuhan itu bisa kita peroleh bila kita menjadi manusia yang arif dalam hidup
ini. Dan, orang yang arif itu adalah orang-orang yang memperoleh hikmah atau
kesadaran. Seberapa besar hikmah yang diterima, itulah yang menempatkan
orang-orang itu dalam tingkatan shalihin, syuhada’, shiddiqin, dan para nabi.
Tentu saja hikmah yang diterima syuhada’ lebih besar daripada yang diterima
shalihin, shiddiqin lebih besar dari syuhada’ dan hikmah terbesar yang diterima
para nabi dan ahli warisnya.
Shalihin adalah manusia standar yang
diharapkan dalam Islam. Jika diterjemahkan secara sederhana adalah kelompok
orang-orang yang saleh, yang berbuat kebajikan. Amal saleh dan iman merupakan
paket yang tak terpisahkan. Amal saleh harus lahir dari iman seseorang, dan
iman pun terbentuk karena kesalehan orang itu. Dalam pengertian yang sederhana,
orang saleh adalah orang yang melakukan hal-hal yang bermanfaat, baik bagi
dirinya sendiri maupun lingkungannya.
Syuhada’ adalah orang-orang yang
menjadi saksi kebenaran. Orang-orang yang rela mengorbankan dirinya bagi orang
lainnya. Karena itu orang yang gugur dalam membela kebenaran disebut orang yang
“mati syahid”. Dengan kata lain, syuhada’ bukan cuma mereka yang mati syahid.
Menurut Hadis yang diriwayatkan oleh Malik, Ahmad, Abu Daud, An Nasaa-i, Ibnu
Majah, Ibnu Hibban, dan Al Hakim, dan yang bersumber dari Sahabat Jabir dan
Atik, ada tujuh macam orang yang mati syahid, yaitu orang yang terbunuh di
jalan Allah, meninggal karena kolera, tenggelam, paru-paru, penyakit perut,
reruntuhan, dan melahirkan. Mengapa orang yang meninggal karena berbagai
penyakit atau kecelakaan disebut mati syahid? Hal ini harus dipahami bahwa
standar masyarakat Islam adalah orang-orang saleh. Di tengah masyarakat yang
saleh, orang yang dengan tabah menerima penyakit yang menimpanya dan mencoba
berobat, lalu meninggal, maka mereka adalah syahid. Tabah dan berobat adalah
bentuk kebajikan yang lebih tinggi dari sekadar amal saleh. Menurut Hadis, orang
yang terserang penyakit menular yang memati-kan harus bersedia dikarantinakan
agar tidak terjadi penularan. Ketabahan dan upaya ber-obat inilah yang membuat
orang yang sakit itu menyelamatkan banyak orang. Karena itu orang yang
terserang jenis-jenis penyakit itu (waktu itu hanya teridentifikasi kolera,
paru-paru dan perut) dan meninggal disebut syahid. Juga masalah reruntuhan, hal
ini menunjuk-kan kepada kita ada orang yang rela untuk melakukan hal-hal yang
membahayakan dirinya untuk kemaslahatan orang banyak. Kita lihat saja, ada
orang yang rela bekerja sebagai “cleaning service” yang membersihkan dinding
bangunan bertingkat tinggi, yang risiko kehilangan nyawanya sangat besar.
Bayangkan jika setiap orang hanya menginginkan pekerjaan-pekerjaan yang aman-aman
saja, apakah kita bisa hidup sejahtera?
Orang yang meninggal karena
kecelakaan, mungkin saja ia termasuk orang yang lalai. Mungkin saja, bukan
pasti! Yang jelas ada orang-orang yang sudah berhati-hati dan mengikuti aturan
yang benar, tetap tertimpa kecelakaan hingga meninggal. Terlalu banyak macam
kecelakaan, walaupun dalam hadis disebutkan hanya dua yaitu karena reruntuhan
dan tenggelam. Tetapi, intinya berbagai kecelakaan itu akan mendorong orang
untuk memikirkan cara berbuat dan bertindak agar tidak terjadi kecelakaan.
Dengan demikian meninggal karena kecelakaan juga mendorong lahirnya
undang-undang tentang kesela-matan dan cara-cara penyelamatannya. Dan, banyak
orang yang selamat dari kecelakaan. Wajar, orang yang meninggal akibat
kecelakaan mendapat status syahid.
Orang yang juga tergolong mati
syahid adalah orang yang mati akibat melahirkan. Ya, melahirkan adalah
kesediaan untuk melakukan kodrat dari Tuhan. Yang menciptakan kodrat adalah
Tuhan, dan yang menerima kodrat adalah wanita. Menurut ilmu ekonomi, besarnya
keuntungan tergantung dengan besarnya risiko. Orang yang hanya mau menerima
keuntungan kecil, risiko yang mungkin ditimbulkannya juga kecil. Kalau mau
mendapat keuntungan yang besar, maka harus siap dengan risiko yang besar. Nah,
kesyahidan adalah imbalan dari risiko kematian akibat melahirkan.
Syuhada’ tidak hanya bagi mereka
yang mati karena gugur di medan perang, terserang penyakit yang mematikan,
kecelakaan maupun akibat melahirkan. Dari ketujuh macam orang yang mati syahid
adalah orang yang meninggal “di jalan Allah”. Meninggal di jalan Allah
mempunyai pengertian yang luas. Siapa saja yang konsisten berbakti kepada Tuhan
hingga meninggalnya, adalah orang tergolong syuhada’. Wartawan yang
menyam-paikan kebenaran yang seharusnya disampaikan kepada khalayak ramai,
terus dijahati hingga meninggal, adalah syuhada’. Orang yang berani menasihati
penguasa yang zalim, dan terbunuh, juga syuhada’. Dan banyak lagi yang tidak
disebutkan di sini.
Shiddiqin adalah orang-orang yang
berbuat kebenaran, atau orang-orang yang ucapan dan tindakannya tulus sepenuh
hatinya. Untuk memberikan gambaran tentang orang shiddiqin, saya ambilkan
contoh Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. Cuma satu contoh yang bisa dikembangkan
sendiri! Dari awal beliau menunjukkan ketulusan hidupnya. Beliau membebaskan
budak ketika masih di awal-awal perjuangan Islam. Rela tinggal di Gua Tsur
bersama Rasul Allah ketika hijrah ke Madinah. Beliau berani tampil untuk
dicaci-maki ketika membela Rasul Allah. Orang-orang yang berkarya besar untuk
kesejahteraan manusia adalah mereka yang ada di kelompok shiddiqin.
Para nabi adalah orang-orang yang
menjadi rasul, pemberi petunjuk (Haad), dan siapa saja yang mengambil jalan
para nabi atau ahli waris para nabi. Mereka bukan hanya mencintai dan menegakkan
kebenaran, tetapi juga mengajarkan kemanusiaan dengan ke-teladanan dan ajaran.
Di dalam Al Quran maupun Hadis, tidak ada pembedaan definisi antara nabi,
rasul, dan haad. Sebutan-sebutan itu tergantung peran yang dilakukannya.
Seperti ayah dan suami. Ia disebut ayah jika yang diperankan adalah ayah dari
anak-anak hasil perkawinannya. Pada saat yang lain ia disebut sebagai suami
jika peranan yang dimaksud sebagai pasangan sah dalam perkawinan. Begitu juga
dengan kenabian. Dia disebut nabi bila perannya adalah orang yang menerima
berita paripurna dari Tuhan. Dan dia disebut rasul bila dia mengemban misi
penyelematan umat manusia.
Nah, dengan bertasawuf orang dididik
untuk bisa kembali kepada Tuhan, sesuai dengan kemampuannya, dan bertemu
dengan-Nya di maqam masing-masing. Bila tidak mampu menemukan-Nya di stasiun
shiddiqin, ya cukup bertemu di stasiun shalihin. Yang jelas, manusia harus bisa
bertemu dengan-Nya. Karena itu digambarkan dalam Al Quran bahwa orang yang
melihat Tuhan itu dengan wajah berseri-seri. Sehingga dilukiskan dalam berbagai
penjelasan bahwa kenikmatan yang tertinggi adalah saat manusia menyaksikan
Tuhannya. Dalam surat al-Qiyaamah/25:22-23 dinyatakan, “Wajah-wajah pada hari
itu berseri-seri (bercahaya), kepada Tuhan mereka itu memperhatikan.”
Wajar bila kita bertemu Tuhan itu
tampil dengan berseri-seri yang alami. Keberserian itu muncul dari dalam diri
yang senantiasa mendabakan-Nya. Tidak dibuat-buat atau direkayasa. Seperti
terpancarnya sinar dari sumber cahaya. Kita tidak perlu membayangkan jauh-jauh,
cukup kita lihat orang yang bertemu dengan orang yang sangat dicintainya.
Karena itu bertemu dengan yang dicintai itu merupakan kenikmatan yang luar
biasa. Dan minimal orang harus bisa bertemu di tangga shalihin. Memang, semakin
atas tangga tempat pertemuan hamba dan Tuhan, semakin nyata dan nikmat. Namun,
manusia toh harus berjuang untuk mendaki ke tangga yang tertinggi. Di maqam
itulah tabir antara hamba dan Tuhan sudah lenyap. Hilang segala keraguan dan
mantab hati memandangnya!
Bagian ke-4
Di bagian ke-3 diterangkan bahwa
kita semua, alam semesta ini, dihadirkan oleh Tuhan dari “Satu Wujud”. Lalu,
dipisahkan-Nya wujud yang satu itu menjadi triliunan entitas atau wujud. Dari
wujud-wujud itu ada yang menjadi “sarana” kehidupan, seperti planet bumi; dan
ada pula yang menjadi “wahana” kehidupan. Yang pertama adalah alat, lingkungan
atau perlengkapan untuk mencapai tujuan, sedangkan yang belakangan adalah
kendaraan untuk mencapai tujuan. Jadi, bumi adalah tempat kehidupan dan badan
adalah kendaraan bagi sang hidup untuk kembali kepada Yang Maha Hidup.
Nah, tubuh atau fisik kita
sebenarnya hanyalah “kendaraan” atau “alat transpor” bagi “Diri Sejati” kita,
“hidup” kita, atau “sukma” kita. Saya sengaja tidak menggunakan kata “aku”
untuk menghindari kesalahpahaman dengan “ego” atau ananiyah, keakuan. Jadi,
untuk selanjutnya diri sejati yang ada pada masing-masing diri kita, saya
singkat dengan “DS”. Ya, dialah penunggang kereta yang bernama badan jasmani
ini. Dialah yang disebut “sang hidup”. Baju yang digunakan DS ini namanya
“nafs” atau jiwa. Dan, DS ini roh adanya. Karena itu, manusia yang hidup ini
sebenarnya terdiri dari komponen yang bersifat fisik (corpus, badan), nafsani
(animae, jiwa atau nyawa), dan rohani (spiri-tus, semangat atau roh).
Fisik, jiwa dan roh adalah
kelengkapan bagi DS untuk menjalani hidup ini. Jika jiwa putus hubungan dengan
fisik, maka manusia disebut mati. Dari komponen badan, jiwa dan roh, maka jiwa
adalah tali penghubungnya. Jiwa yang dalam bahasa Arabnya “nafs” berasal dari
kata kerja “na-fu-sa” yang berarti
menginginkan, berhasrat, atau bernapas. Artinya, jiwalah yang menyebabkan badan
jasmani ini menjadi hidup. Dan jiwa pula yang membuat manusia bisa merasa duka
dan suka. Bila jiwa ini putus hubungan dengan jasmani karena jasad tersebut tak
dapat dioperasikan lagi maka matilah badan. Dengan kata lain, “jiwa mengalami
mati”. Dalam cacah penduduk dikatakan bahwa di lingkungan itu tinggal sekian
jiwa. Bila ada kecelakaan yang menyebabkan kematian dikatakan “kecelakaan itu
menyebabkan terenggutnya sekian jiwa” atau
“sekian jiwa melayang”. Jadi, peranan jiwa bagi DS sangat penting.
Lalu, dimana fungsi roh bagi DS
dalam kehidupan? Di dalam Al Quran Surat Al Israa’/17:85 dinyatakan, “Mereka
bertanya kepada engkau tentang roh. Katakan, ‘Roh itu amar (kehendak) Tuhanku.
Kamu tidaklah diberi ilmu (tentang roh) kecuali sedikit’.” Banyak orang yang
menerjemahkan ayat tersebut dengan “roh itu urusan Tuhanku”. Dengan terjemahan
tersebut, pintu pemahaman roh telah mereka tutup. Akibatnya, dunia ilmu
pengetahuan kita semakin tertinggal. Roh berasal dari kata dasar Arab
“ra-wa-ha”, artinya mengipasi, menyegarkan kembali, menghidupkan hati, atau
membangkitkan semangat. Kata yang seakar kata dengan roh adalah “riyah” atau
angin, “raahah” atau senang, nyaman, atau rekreasi, dan “rauhah” atau
perjalanan. Kata “rawaah” berarti pergi atau keberangkatan. Minuman anggur
dalam bahasa Arabnya adalah “raah”. Dan, istirahat dalam bahasa kita juga
berasal dari akar kata yang sama dengan roh.
Kata roh dalam Al Quran selalu
dinyatakan dalam bentuk tunggal. Roh merupakan perlengkapan bagi DS untuk
mengembangkan dirinya. Dengan rohnya manusia bisa meningkatkan dan membedakan
dirinya dari dunia hewan. Dengan roh manusia dapat memberdayakan akalnya atau
“al-qalam” yang ada di dalam dirinya. Perlu diketahui bahwa dengan al-qalam
Tuhan mengajari manusia dari apa-apa yang belum diketahuinya. Lihat kembali
Surat al-‘Alaq/96: 4 ? 5. Nah, DS yang terampil mempergunakan al-qalam inilah
yang dalam Tasawuf Jawa disebut “Guru
Sejati” atau “Sukma Sejati”. Pada tahap inilah manusia bisa menorehkan
keindahan dan kemajuan di bumi ini. Dengan GS-nya manusia mampu membuahkan
“ilmu” yang tidak diajarkan oleh manusia sebelumnya. Dari manakah ilmu itu?
Tentu saja langsung dari Tuhan. Inilah yang difirmankan dalam Surat
al-Kahfi/18:65, “Kami telah memberikan rahmat kepadanya dan mengajarkan suatu
ilmu dari sisi Kami.” Juga dinyatakan dalam Surat al-Baqarah/2: 282, “Dan
bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah mengajarmu. Dan Allah itu Maha
Mengetahui segala sesuatu.” Dengan demikian, Allah mengajar DS dengan al-qalam
sehingga DS menjadi GS bagi dirinya.
Lho, apa hubungannya pemahaman GS
dengan tasawuf? Apa tidak terlalu tinggi jika setiap orang harus bisa
mengangkat derajat DS-nya menjadi GS? Bukankah derajat itu untuk sedikit orang
di dunia ini? Bukankah secara umum manusia ini tergolong orang awam? Apa tidak
mubazir belajar demikian ini?
Mari kita ingat lagi ajaran yang
telah diberikan pada bagian sebelumnya. Ajaran tasawuf membawa manusia untuk
bisa mendapatkan hikmah dalam kehidupan ini. Telah dijelaskan bahwa hikmah itu
tak ada kampus atau sekolahannya. Pengajar hikmah adalah Tuhan Yang Mahaesa!
Tuhan mengajar manusia (DS-nya) dengan al-qalam. DS yang mendapat ilmu dari
sisi Tuhan, akhirnya menjadi guru bagi dirinya. Guru yang ada di dalam diri
manusia itulah sebenarnya guru yang waskita, yang betul-betul awas. Sehingga
dia disebut sebagai “Guru Sejati”. Jika nurani manusia bekerja maka
sesungguhnya yang bekerja adalah GS-nya. Menurut filsafat, pengetahuan yang
sejati pun lahir dari dalam DS seseorang. Jika DS seseorang tertutup atau tak
bekerja, maka orang itu tak akan mampu menghasilkan ilmu baru. Bila DS
seseorang tak bekerja, maka maksimal ilmu yang didapat oleh orang tersebut
adalah sebanyak yang diajarkan oleh gurunya. Iptek yang dihasilkan oleh orang
yang terdidik adalah “inovasi”, bukan penemuan atau “invention”. Tanpa penemuan
listrik, dunia ini tetap diterangi lampu minyak. Orang naik haji dari Indonesia
masih tetap membutuhkan waktu 3 bulan perjalanan.
Sedangkan sasaran pokok ajaran
tasawuf adalah mengangkat posisi masyarakat ke tingkatan standar, yaitu
masyarakat shalihin. Di dalam masyarakat shalihin, manusia-manusia di dalamnya
saling menolong dalam kebaikan dan bukan tolong-menolong dalam perbuatan dosa
dan permusuhan. Difirmankan dalam surat al Ma-idah/5:2,
“Dan janganlah kebencianmu terhadap seuatu
kaum, karena mereka menghalangimu berkunjung ke Masjid al-Haram, menyebabkan
kamu ber-buat melanggar batas (kemanusiaan). Dan tolong-menolonglah dalam
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permu-suhan.
Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya pembalasan dari Allah amat keras.”
Mari kita perhatikan ayat tersebut!
Masjid al-Haram adalah pusat peribadatan orang-orang Islam. Sebelum Mekah
ditaklukkan oleh Nabi, orang-orang Islam mendapat halangan dari orang-orang
Qureisy untuk beribadah di Masjid al-Haram. Tentu saja hal ini membuat
orang-orang Islam benci kepada orang-orang Qureisy Mekah. Namun, sikap benci
atau kebencian harus dikendalikan. Kebencian itu tidak boleh menyebabkan
perilaku yang melanggar batas kemanusiaan. Dalam istilah sekarang kebencian
seseorang terhadap suatu kaum tidak boleh menyebabkan ia melanggar HAM. Nah,
bagaimana se-seorang bisa mengenal HAM kalau tidak memahami suara nuraninya?
Kita diperintahkan untuk saling
menolong dalam kebajikan dan saling memelihara dalam kedamaian hidup. Kita
dilarang untuk saling menolong dalam kejahatan dan per-musuhan. Bantu-membantu
dalam kebajikan, tolong-menolong dalam memelihara per-damaian adalah suara
nurani. Nurani adalah kerja DS. Bila DS kita kerangkeng dan kita tutup rapi,
maka suara nurani itu tak terdengar lagi. Bila nurani telah hilang maka tak ada
artinya syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji. Semua ibadah itu hanyalah
kulit yang rapuh bila tidak terpancar dari hati yang tulus.
Memang sekarang ini kita masih jauh
dari kehidupan shalihin ini. Kita masih disi-bukkan oleh kepentingan
diri-sendiri. Inilah sebenarnya yang merupakan wujud dari ego manusia! Manusia
tidak mencoba meniti ke dalam dirinya. Tetapi, ia malah memperturut-kan
dorongan egonya, hanya mau memenangkan kepentingannya. Roh yang fungsinya untuk
menghidupkan hati, tersekat oleh ego manusia. Manusia yang mestinya mengetuk
pintu hatinya, masuk menemuinya DS-nya, dan bertemu Allah; malah lari tunggang
langgang seperti “dracula” yang takut cahaya matahari. Lari dari jalan yang
benar akan menghadapi risiko yang berat. Inilah sistem kerja semesta! Karena
itu dalam ujung ayat tersebut diperingatkan bahwa “pembalasan dari Allah itu
amat keras”.
Kita jangan sampai menganggap bahwa
Allah itu pembalas. Allah bukanlah pembalas! Dia Maha Pemurah dan Maha
Penyayang. Allah yang menetapkan sistem pada ciptaan-Nya dan sekaligus
memberinya petunjuk. Namun, jika ciptaan-Nya itu keluar sistem maka sungguh
gawat risikonya. Bayangkan bila rembulan di atas kita itu lepas dari orbitnya,
maka bumi ini bisa meledak. Karena itu manusia diperingatkan agar tetap
men-jaga dirinya di jalan yang benar, jalan yang telah digariskan. Ada 69 kata
perintah “ittaquu” atau lindungi atau jaga dirimu, dalam Al Quran. Cara untuk
melindungi diri itu telah diinformasikan kepada DS. Sedangkan petanya adalah
kitab-kitab suci. Jadi, orang yang membaca kitab suci sebenarnya adalah orang
yang membuka peta perjalanan hidup. Sedangkan kehendak untuk melakukan
perjalanan ada pada diri manusia itu sendiri. DS tidak muncul bila pikiran
manusia keruh, hatinya kotor.
Karena kebanyakan DS manusia itu
tertutup oleh karat hati, maka manusia diajari untuk membersihkan diri dari
bagian luarnya dulu kemudian semakin ke dalam. Nah, cara membersihkan diri dari
bagian luar inilah yang dinamakan “syariat”. Setiap umat diberikan syariat,
seperti dijelaskan pada 5:48, “Setiap umat di antaramu telah Kami beri syariat
dan minhaaj.” Syariat adalah jalan yang dilalui dalam hidup ini. Agar tetap
hidup, manusia harus makan. Tetapi makanan yang disyariatkan adalah yang halal
lagi baik. Yang halal dan baik ini yang membedakan kehidupan lahiriah antara
agama yang satu dengan yang lain. Untuk mempertahankan hidupnya, disamping
harus makan, manusia juga harus minum. Minuman yang disyariatkan tentu saja
yang halal dan baik. Dalam surat al-Baqarah/2:168 dinyatakan, “Wahai manusia
makanlah apa-apa yang halal dan baik yang ada di bumi ini. Dan janganlah
mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya ia musuhmu yang nyata.”
Jika kita bicara tentang setan maka
janganlah membayangkan yang aneh-aneh. Kata setan yang berasal dari kata Arab
“syaa-tha” dan “sya-ya-tha” mempunyai
arti sesuatu yang membakar, menghanguskan, atau yang menyebabkan hati menjadi
keras atau tak berperasaan. Karena itu setan tidak bertempat di luar manusia.
Rumah setan adalah manusia itu sendiri. Ia bertamasya di seluruh tubuh manusia
melalui peredaran darah. Persinggahannya ada di dalam perasaan dan pikiran.
Inilah yang disebut setan itu berasal dari “al-jinnah” dan “al-naas” yang ada
pada QS 114:6.
Perasaan dan pikiran manusia tumbuh
seiring dengan pertumbuhan manusia dari bayi hingga dewasa. Manusia mengalami
suka-duka dan kenikmatan melalui indera lahir dan batinnya. Seharusnya, manusia
yang mengendalikan perasaan dan pikirannya. Tetapi, kenyataannya kebanyakan
manusia dikendalikan oleh hati dan pikirannya. Bisikan hati dan pikiran ini
bersembunyi di daerah dada manusia. Ia menjadi setan yang bersembunyi yang
disebut khannaas. Nah, manusia yang hanya memenuhi seruan perasaan dan hatinya
adalah manusia yang mengikuti langkah-langkah setan. Dan, setan itu adalah
musuh yang nyata bagi manusia. Maka musuh yang sebenarnya dari manusia adalah
bisikan perasaan dan pikirannya sendiri! Manusia harus mampu mengendalikan
perasaan dan pikirannya sendiri. Sehingga dengan demikian ia dapat memilih
makanan dan minuman yang halal dan baik. Dengan kata lain, makanan dan minuman
yang sehat bagi badan jasmaninya. Lha, bagaimana dengan kesehatan jiwanya?
Sabar, sebentar.
Syariat memang ditujukan untuk
membangun pertumbuhan fisik yang sehat. Sesuai dengan ungkapan Arab, “Al ‘aqlu
s-saliimu fi l-jismi s-saliim” atau “Akal yang sehat terletak di dalam jasmani
yang sehat”. Dalam bahasa Itali dikatakan “Mens sana in corpore sano” atau
“Pikiran yang sehat ada di dalam tubuh yang sehat”. Tentu saja hal ini jangan
dipertentangkan dengan adanya kenyataan bahwa ada orang yang badannya tidak
sehat tetapi pikirannya sehat. Kita harus melihat sehat dari segi kedokteran,
yaitu keadaan yang mengintegrasikan antara impuls masukan dan impuls keluaran
oleh saraf pusat. Atau, terintegrasikannya saraf sensorik dan motorik oleh
saraf pusat. Nah, agar saraf sensorik yaitu saraf penerima yang berhubungan
dengan indera dan saraf motorik yang berhubungan dengan aktivitas tanggapan
bisa bekerja normal (seimbang) maka badan jasmani ini harus disehatkan lebih
dahulu. Jadi, kalau gula itu rasanya manis maka saraf sensorik itu harus
merasakan manis. Dan kalau ada dua makanan yang manis, maka kemanisannya dapat
diperbandingkan. Ini tandanya sehat, alias normal. Salah satu upaya menjaga
kesehatan jasmani adalah memilih makanan yang sehat (halal dan baik).
Kesehatan jasmani juga dihasilkan
melalui kebersihan badan dan lingkungan. Kulit jasmani ini dapat menjadi tempat
berkembangbiaknya penyakit bila tidak dirawat atau dibersihkan. Dalam
perkembangan evolusi jiwanya, manusia pada akhirnya sadar bahwa air adalah
sarana untuk membersihkan badannya. Minimal setiap harinya manusia harus
membersihkan bagian-bagian yang penting dari jasmaninya. Dengan demikian,
pori-pori yang ada di seluruh permukaan kulit yang dibersihkan itu tidak
tertutup oleh kotoran. Dalam istilah sekarang semua ventilasi di bagian-bagian
pokok seperti bagian kepala, wajah, tangan dan kaki kita buka. Sehingga udara
segar bisa masuk dengan leluasa, dan badan terasa segar. Dalam badan yang
segar, perasaan dan pikiran terasa segar pula. Nah, konsep pembersihan bagian
tertentu badan jasmani ini dalam syariat disebut “wudhu”. Kata ini dalam bahasa
Indonesianya adalah memisahkan. Ya, wudhu adalah tindakan untuk memisahkan
kotoran dari badan.
Kesehatan jasmani dipenuhi dengan
makanan dan minuman yang sehat, dan bagian luar jasmani yang dibersihkan dari
berbagai macam kotoran. Disamping itu, badan akan menjadi sehat bila secara
teratur digerak-gerakkan. Dengan gerakan yang teratur, peredaran darah dan
hormon akan berjalan dengan normal. Bukan hanya peredaran darah dan hormon,
peredaran udara dan zat-zat makanan dalam tubuh pun berjalan dengan baik. Bila
metabolisme dalam tubuh ini tidak ada yang terganggu atau terhambat, maka badan
jasmani ini akan bekerja dengan normal. Badan menjadi sehat! Syariat salat
mewakili gerakan-gerakan tubuh.
Makanan dan minuman harus dipilih
yang sehat. Badan harus bersih dari najis atau kotoran. Kemudian, makanan pun
harus dimakan secara teratur waktu dan banyaknya. Dalam Islam ada syariat yang
mengatur waktu dan banyaknya makanan yang dikonsumsi dalam setiap tahunnya.
Inilah yang dinamakan puasa! Zakat dalam pengertian sedekah, yaitu mengeluarkan
sebagian kekayaan untuk orang lain yang perlu dibantu, juga merupakan syariat
untuk membersihkan kehidupan lahiriah seseorang. Oleh karena itu, dalam tasawuf
Jawa, pengamalan ibadah yang ragawi ini disebut “Sembah Raga”. Suatu pengabdian
yang harus ditampilkan secara ragawi.
Sembah raga merupakan tingkatan yang
terendah dalam peribadatan. Tetapi, sembah raga adalah dasar untuk membersihkan
dan menyehatkan kehidupan lahiriah seseorang. Karena itu syariat meliputi semua
tindakan lahiriah manusia. Tentu saja yang termasuk dalam syariat adalah adalah
semua tindakan yang bersifat etiket dan etika dalam kehidupan ini. Agar
orang-orang yang beli bahan makanan di suatu toko tidak saling berebut, maka
harus dilakukan antre. Ini pun syariat!
Dalam surat 5:48 di atas disebutkan
bahwa dijadikan syariat bagi setiap umat, dan juga minhaaj. Kata minhaaj atau
manhaaj, yang bentuk pluralnya manaahij, artinya tata-cara atau prosedur. Jika
akan mendirikan salat disyariatkan ‘berwudhu’ yaitu mengguna-kan air untuk
membersihkan bagian-bagian tertentu,
maka dengan minhaaj bagian-bagian yang dibersihkan itu dijelaskan secara detil
termasuk yang membatalkannya. Begitu pula puasa yang disyariatkan artinya
menahan diri dari makan, minum, dan bersanggama di siang hari, maka dengan
minhaaj batas-batas itu diterangkan.
Dalam surat al-Maidah/5 : 6
dijelaskan bahwa tujuan syariat itu, “Allah tidak ber-kehendak untuk
menyulitkan kamu, tetapi Dia berkehendak untuk membersihkan kamu dan
menyempurnakan kenikmatan yang diberikan kepadamu agar kamu menjadi orang yang
bersyukur.” Dari ayat ini jelas sekali bahwa maksud ditetapkannya syariat itu
untuk membersihkan kehidupan lahiriah atau ragawi pelakunya. Bahkan zakat yang
dipungut pun dimaksudkan untuk membersihkan dan menyucikan harta-harta yang
mereka peroleh. Dengan berzakat, secara lahiriah mereka digolongkan ke dalam
orang-orang yang harus dilindungi kehidupannya, terlepas dari hatinya tidak
rela atau malah menerima dengan ikhlas. Sama dengan orang yang terkena iuran
untuk jaga malam. Yang diutamakan tentu kesediaan secara lahiriah untuk
membayar iuran itu, meskipun yang bersangkutan mungkin saja kesal hatinya
karena dipungut iuran. Namun, dalam hidup bermasyarakat kepentingan bersama
jauh lebih penting daripada kepentingan kelompok atau pribadi. Lebih-lebih
ketika agama Islam baru pada tahap awal perkembangannya. Sehingga solidaritas yang
tampak secara lahiriah sangat penting.
Kita lihat bahwa ajaran Islam ketika
di Mekah bersifat panduan moral yang universal. Syariat belum diimplementasikan
dalam kehidupan sehari-hari. Solidaritas umat belum terbentuk. Keperkasaan
badan jasmani umat belum dibina dan dilatih. Tetapi, setelah umat Islam hijrah
ke Madinah, dan tetap dikejar-kejar dan ditekan, maka solidaritas umat perlu
digalang, kesatuan perlu dibina, dan keperkasaan perlu dibentuk.
Karena itu setelah masuk Madinah,
perlahan-lahan syariat diterapkan bagi umat Islam. Yang pertama kali
diberlakukan adalah salat wajib, kemudian puasa Ramadhan pada tahun ke-2
Hijrah, salat Jumat pada tahun ke-5, haji pada tahun ke-8 dan disusul zakat.
Jadi, jelas bahwa syariat adalah konsep untuk membangun kesehatan umat.
Sedangkan dari tinjauan pribadi, syariat adalah ajaran yang bersifat “zikir”.
“Fadzakkir, lasta alaihim bi mushaithir”, berilah ajaran mereka itu (Muhammad),
dan engkau bukannya orang yang ditugaskan untuk menguasai mereka.
Dengan syariat itu Islam berkembang
dengan pesat. Hal ini disebabkan syariat Islam itu menunjang keteraturan dan
ketertiban hidup. Dilihat dari aspek jasmani, salat adalah suatu bentuk olah
raga yang walaupun sedikit waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakannya, tetapi
aktivitasnya dilakukan cukup sering, minimal 5 kali sehari. Dan, dalam aspek
sosialnya, salat mendidik orang untuk hidup bersama secara disiplin. Tentu saja
yang tidak boleh dilupakan dalam salat adalah pelatihan meditasi atau zikir di
dalamnya. Dan sebenarnya makna batin ini yang paling penting dari salat. Karena
itu, salat yang tidak dijalankan dengan khusyuk dipandang tidak ada nilainya.
Karena tanpa kekusyukan tak akan bisa terbentuk jiwa yang tenang. Di dalam
surat al-Ankabut/29:45 disebutkan bahwa tujuan dari salat adalah mencegah
perbuatan keji dan mungkar. Dan, nilai zikir dalam salat itu lebih besar dari
bentuk peribadatan lainnya.
Memang tidak mudah mempraktikkan
zikir sambil bergerak. Karena gerakan itu sendiri mempengaruhi pikiran
pelaksananya. Tetapi, bila sanggup menjalankan zikir dalam gerakan, maka efek
positifnya akan tampak nyata. Tapi sayang, masyarakat agamis hanya terpaku pada
kewajiban menjalankan salat secara lahiriahnya. Kita mandeg pada kesehatan
lahiriah. Kita tidak mau mempromosikan salat untuk membangun kesehatan
batiniah. Buktinya apa? Ya, dapat dikatakan tidak adanya guru salat yang mampu
mengajar orang salat yang khusyuk. Padahal kekhusukan inilah yang dapat membuat
orang mampu mencegah perbuatan keji dan mungkar. Mengapa? Karena hatinya sudah
tenang. Pikirannya tidak lagi ngaya. Akhirnya tercipta manusia yang mampu
mengenda-likan perasaan dan pikirannya. Orang demikianlah yang tidak mempan
dibisiki oleh khannas yang senantiasa berbisik di dalam dada.
Tasawuf Jawa mengajarkan bahwa di
tingkat syariat, syahadat baru merupakan ucapan “Asyhadu an laa ilaaha illa
llaah wa asyhadu anna muhammadan rasuulu llah.” Ya, baru sampai pada ucapan
“Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan saya bersaksi bahwa
Muhammad itu utusan Allah.” Betul-betul baru sebagai tanda identitas kemusliman
seseorang. Jadi, syahadat di tingkat syariat baru pada pernyataan bahwa
seseorang itu masuk kedalam masyarakat atau agama Islam. Ucapan ini tentu saja
terlepas dari apakah ‘syahadat’ itu lahir dari hati yang tulus atau karena
kepentingan lain bagi si pengucap. Lalu, bagaimana dengan salatnya? Tentu saja
masih sebatas mengisi daftar
hadir sebagai orang muslim. Dalam
istilah sekarang, salat yang dilaksanakan secara syariat itu masih sebatas
untuk membebaskan diri dari kewajiban. Padahal sebenarnya, salat ditegakkan
untuk berzikir!
Puasa pada tingkat syariat juga
sebatas mencegah makan-minum dan sanggama pada siang hari. Ya, masih
formalitaslah namanya. Pelaku menunjukkan bahwa dirinya termasuk orang yang
menjalankan ibadah puasa. Dan puasa semacam ini yang diwariskan dari generasi
ke generasi. Seharusnya umat Islam harus mengajarkan puasa yang lebih tinggi
kualitasnya, yaitu puasa yang efektif untuk mengendalikan makan dan minum
selama hidupnya. Saya yakin, jika mutu puasa umat meningkat setiap tahun, maka
tak ada lagi orang Islam yang terserang penyakit akibat makanan.
Ringkasnya, semua bentuk syariat
terkait erat dengan peribadatan ragawi. Tujuan pokok syariat adalah untuk
membersihkan dan menyucikan kehidupan lahiriah manusia. Jadi, yang diharapkan
adalah kesehatan individu dan masyarakat secara formal. Aspek formalitasnya
lebih menonjol. Jika kita mandeg atau berhenti di tataran syariat, maka sulit
sekali kita mewujudkan masyarakat adil dan makmur secara lahir dan batin. Masih
jauhlah kita dari terwujudnya masyarakat standar, yaitu masyarakat shalihin.
Masyarakat yang orang-orangnya saling memberikan
manfaat.
Bagian ke-5
Bumi, rembulan dan planet-planet
lain di tatasurya ini beredar dalam keseimbangan dan pada batas-batas orbit
yang tepat. Begitu pula semua bintang di alam raya ini berjalan dalam
keseimbangan. Ini tidak berarti tidak ada penyimpangan. Ada penyimpangan itu!
Seperti jatuhnya meteor atau komet pada planet. Penyimpangan itu tidak menghancurkan
tatasurya selama “mizan” atau keseimbangan alam itu tidak terlampaui.
Kehidupan masyarakat manusia di bumi
ini juga mengikuti hukum keseimbangan. Manusia harus menjaga keseimbangan itu.
Itulah sebabnya di dalam Al Quran banyak peringatan untuk tidak merusak bumi
ini. Merusak bumi (termasuk atmosfernya) adalah perbuatan merusak keseimbangan
alam. Akhirnya, proses peretumbuhan dan perkemba-ngan manusia dalam perjalanan
menuju Tuhannya yang mengalami kerusakan. Alam dibuat Tuhan untuk tidak
mentolerir perbuatan yang merusak. Jika manusia telah rusak perilakunya, maka
alam dengan segera memberi jawabannya yang berupa bencana dan mala petaka.
Dalam surat al- A‘raf/7:55-56 manusia diperingatkan,
55. Ud-‘u rabbakum tadharru-‘an wa
khunyatan innahu la yuhibbu l-mu‘tadin.
56. Wa la tufsidu fi l-ardhi ba‘da
islahiha wa d-‘uhu khaufan wa thama-‘an inna rahmata llahi qaribun mina
l-muhsinin.
55. Mohonlah kepada Tuhanmu dengan
merendahkan diri dan dengan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orangyang melanggar batas.
56. Dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di bumi setelah diperbaikinya. Dan mohonlah kepada-Nya dengan penuh
kesadaran dan penuhharapan. Sesungguh-nya rahmat Allah itu dekat dengan
orang-orang yang berbuat ‘ihsan’.
Pada pelajaran sebelumnya telah
dijelaskan bahwa “iman dan amal saleh” [imas] itu satu paket. Sering imas ini
dinyatakan sebagai ‘kesalehan’ saja. Kesalehan diartikan dengan segenap
tindakan yang memberikan manfaat bagi kehidupan. Kebalikannya adalah “fasad”
atau kebusukan, kerusakan atau immoralitas. Nah, kebusukan atau kerusakan
inilah yang sebenarnya disebut sebagai kekafiran. Kafir berasal dari kata
“ka-fa-ra” yang artinya menutupi, menyembunyikan atau mengingkari kebenaran.
Ketika Nabi Muhammad Saw di Mekah, kafir dalam pengertian menutupi atau
mengingkari kebenaranlah yang menjadi sasaran dakwah beliau. Kaum kafir yang
menjadi sasaran peringatan beliau adalah mereka yang melanggar batas seperti
dalam ayat 55 di atas atau mereka yang melakukan kerusakan di bumi (ayat 56).
Dan ayat tersebut memang diturun-kan di Mekah.
Jadi, pada mulanya kekafiran itu tak
ada kaitannya dengan agama lain. Ketika beliau masih di Mekah, beliau
mengajarkan agama itu kepada kaum jahil yang hidup di kawasan Mekah dan
sekitarnya. Berdasarkan sejarah, kaum jahil ini tidak mengerti batas-batas
tatakrama kehidupan atau kemanusiaan. Padahal, jika manusia itu tidak mengerti
batas kemanusiaannya, manusia akan mudah terjerumus ke dalam perbuatan nista
atau zalim, aniaya. Konsekuensi perbuatan aniaya adalah perbuatan yang merusak
kehidupan di bumi ini. Cobalah kita perhatikan ekploitasi sumber daya alam di
bumi Indonesia ini. Hutan gundul, sampah menggunung, limbah beracun tak
tertimbun adalah akibat adanya pelanggaran batas (keseimbangan). Buahnya adalah
kerusakan lingkungan hidup. Dan, akibatnya bencana dan mala petaka datang silih
berganti.
Ketika beliau di Madinah, bangunan
umat Islam yang baru berdiri ini mengalami gempuran dari pihak Kafir Qureisy
dari Mekah. Nabi mampu menyatukan orang Arab Madinah dari klan Aus dan Khajrad
yang senantiasa bertikai, yang digambarkan di dalam Al Quran sebagai
orang-orang yang berada di tepi neraka. Di Madinah pada waktu itu hidup
orang-orang non-Arab yang berkitab (Yahudi, dan Nasrani dari salah satu sekte agama
Kristen). Bahkan orang Yahudi dapat dikatakan sudah mantap hidup di sana.
Semula ajaran Islam ini disampaikan kepada suku-suku Arab yang tinggal di
Madinah dan sekitarnya. Kemungkinan timbulnya konflik antara mereka dan
orang-orang Islam telah dicermati oleh beliau. Dalam keadaan demikian ini tentu
saja Nabi memberi peringatan kepada semua pihak yang hidup di Madinah, agar
masing-masing pihak bisa menjaga hak-haknya dan saling melindungi tanpa
memperhatikan agamanya. Ajaran ini dirangkum dalam “Piagam Madinah”.
Orang-orang Yahudi yang semula
dipandang tinggi statusnya oleh orang-orang Arab, dengan datangnya agama baru
ini, mereka merasa kehilangan pengaruhnya. Hasutan-hasutan mulai dilancarkan.
Konflik tak dapat dihindari lagi. Ajaran yang nuansa-nya universal ini harus
diimplementasikan secara riil di Madinah. Kota yang menjadi basis perkembangan
agama Islam ini tentu saja harus dijaga keamanan dan kedamaiannya agar ajaran
Al Quran tetap bisa didakwahkan. Kelompok-kelompok agama lain yang sudah mapan ini
diminta untuk tetap teguh memegang kebenaran kitabnya [dalam bahasa sekarang,
tidak boleh plin-plan]. Ajakan untuk memelihara hak, menjaga batas, tak
digubris lagi oleh mereka. Akhirnya, lahir kenyataan baru, yaitu orang-orang
yang berkitab yang tidak bisa menerima kebenaran yang disampaikan oleh Nabi.
Inilah yang disebut “orang-orang kafir dari golongan yang berkitab”.
Jadi, pada mulanya kekafiran itu
hanya terbatas bagi mereka yang melakukan kerusakan di bumi atau mereka yang
mengingkari kebenaran. Selanjutnya kekafiran itu juga diatributkan bagi pemeluk
agama lain yang tidak mau mengerti terhadap hak-hak yang dimiliki oleh umat
Islam. Hal ini bisa dibaca pada surat al-Bayyinah/98:1-7. Kesimpulannya, orang
kafir adalah orang yang mengingkari kebenaran dan melakukan kerusakan di bumi.
Tak peduli agama apa dia.
Kembali kepada ayat di atas. Manusia
diperintah untuk memohon kepada Tuhan dengan cara merendahkan diri, suara yang
lembut, penuh kesadaran dan penuh harapan. Inilah tatakrama dalam berkomunikasi
dengan Tuhan. Merendahkan diri artinya bersikap rendah hati, merasa tak punya
apa-apa. Karena pemilik yang sebenarnya dari semua ini adalah Allah. Kalau
diumpamakan “gentong” maka kita harus merasa sebagai gentong yang kosong, yang
siap diisi. Suara yang dibunyikan harus lembut! Cuma didengar oleh telinganya
sendiri. Inilah prinsip zikir! Selanjutnya, permohonan itu harus dikerjakan
dengan penuh kesadaran. Artinya, harus tumbuh dari hati dan pikiran yang
jernih. Dan, terakhir ditopang oleh keyakinan yang kuat akan dikabulkannya
permohonan itu.
Ingat, rahmat Tuhan itu akan hinggap
pada orang-orang yang berbuat ihsan. Suatu perbuatan yang tumbuh dari hati yang
murni. Suatu perbuatan yang tidak distimulasi oleh keinginan yang melanggar
batas. Perbuatan yang tidak dilandasi oleh dorongan untuk mengeksploitasi bumi.
Hanya sebatas yang diperlukan! Hanya mengambil manfaat untuk kehidupan. Bukan
untuk kemubaziran atau pemborosan dalam hidup ini. Memang hal ini tampak
seperti bertentangan terhadap prinsip “pemasaran”. Tetapi sebenarnya kita ini
diingatkan agar menjaga kesejahteraan alam ini demi anak-cucu dan kemanusiaan
kita. Apalah artinya kita sekarang hidup bergelimang harta, tetapi di masa
depan kita menga-lami ketekoran hidup. Karena energi semesta sudah kita hutang
sekarang ini, sehingga di masa depan kita tekor karena harus membayarnya.
Di dalam surat al-Isra’/17:26-29
dinyatakan,
26. Berikan kepada sanak kerabat
akan haknya. Juga kepada orang-orang miskin dan ibnu sabil. Dan janganlah
menghambur-hamburkan harta secara boros.
27. Sesungguhnya para pemboros
(mubazirin) adalah saudara setan, dan setan itu senantiasa mengingkari Tuhan.
28. Apabila kamu tidak bersedia
untuk memberi mereka karena engkau mengharapkan mendapat rahmat dari Tuhan,
maka katakanlah kepada mereka dengan ucapan yang lemah lembut.
29. Janganlah kamu jadikan tanganmu
terbelenggu, dan jangan pula terlalu mengulurkannya sehingga kamu menjadi
tercela dan menyesal.
Di bab yang lalu telah diterangkan
bahwa syariat itu untuk menjaga kesehatan dan kesejahteraan manusia lahir dan
batin. Syariat atau sembah raga ini meliputi pelayanan di antara sesama dan
pelatihan pribadi dalam berhubungan dengan Tuhan. Dengan kata lain, sembah raga
itu ada yang berwujud pelayanan riil di antara sesama manusia, dan ada pula
yang berupa pelatihan diri untuk penyatuan diri dengan Yang Mahaesa. Jangan
salah paham lho! Dari segi aspek realitas, kita itu senantiasa bersama dan
berada di dalam Tuhan. “Dan Dia senantiasa bersama kamu di mana saja kamu
berada.” (QS 57:4). Nah, penyatuan diri adalah upaya untuk kembali kepada
Tuhan, wa inna ilaihi raji-‘un.
Dengan terciptanya masyarakat yang
anggota-anggotanya saling melayani, maka terwujudlah azas manfaat. Syariat atau
sembah raga untuk menuju masyarakat shalihin. Masyarakat yang di dalamnya
merupakan wujud pluralitas sejati. Perbedaan agama, kepercayaan, dan etnis
tidak menghalangi untuk bisa hidup saling melayani dalam mewujudkan masyarakat
yang damai [QS 2:62, dan 5:69]. Semua pihak dituntut untuk mengutamakan kesalehan
dan rendah hati! Karena itu jangan berisik, kalau bersuara bersuaralah yang
lemah lembut. Kesadaran dalam berzikir [sembahyang] diterapkan dalam kehidupan
sosial. Bila dalam berdoa kepada Tuhan harus dilandasi dengan harapan, begitu
pula dalam kehidupan bersama. Kita harus punya keyakinan bahwa pelayanan yang
tulus di antara sesama akan berbuah kesejahteraan dan kedamaian bersama.
Duri-duri kecurigaan harus disingkirkan.
Nah, untuk membentuk masyarakat
shalihin, kita harus bisa menghormati hak-hak kerabat kita sendiri, orang-orang
miskin dan ibnu sabil. Ini adalah syariat dasar yang dikumandangkan sejak di
Mekah. Seruan ini di Madinah nantinya diwujudkan dalam bentuk “zakat” dalam
pengertian sedekah. Seperti yang telah dibuktikan oleh sejarah, masalah ekonomi
adalah hal yang menentukan sejarah manusia dan kemanusiaan. Tak ada agama yang
tidak menempatkan dana atau sedekah sebagai syariat dasarnya. Islam yang
diklaim sebagai agama terakhir pun menempatkannya sebagai salah satu sendi
syariatnya. Sesuai dengan perkembangan agama, implementasi sedekah atau dana
ini tergantung pada keadaan perekonomian manusia. Mula-mula sedekah itu berupa
anjuran untuk memberikan sebagian harta kepada yang miskin. Kemudian berkembang
menjadi kewajiban, dan yang disedekahkan pun ada takarannya, misalnya 10% dalam
agama Kristen, 2,5% dalam agama Islam. Namun demikian, banyaknya harta yang
harus dizakatkan tidak diatur di dalam Al Quran. Pihak penerima zakat yang
dicantumkan di dalam Al Quran.
Pada ayat-ayat di atas ditekankan sekali
agar kita mampu memelihara harta benda yang dikaruniakan oleh Tuhan dengan
sebaik-baiknya. Pemboros dan kikir sama-sama harus dijauhi. Karena keduanya
adalah perbuatan setan. Keduanya merupakan produk hati yang gelap dan pikiran
yang keruh. Kegelapan dan kekeruhan senantiasa menjauhkan kita dari Tuhan. Ya,
setan itu selalu mengingkari kebenaran. Manusia harus pandai-pandai untuk
mengambil jalan tengah. Boros hakekatnya menghambur-hamburkan energi yang
disediakan Tuhan di alam ini. Kikir berarti menyembunyikan anugerah Tuhan yang
diberi-kan kepada manusia, yang seharusnya dimanfaatkan untuk kesejahteraan
hidupnya. Baik boros maupun kikir, keduanya adalah perbuatan tercela , yang
pada akhirnya menyebabkan manusia hidup menyesal alias menderita.
Apa yang diuraikan ini masih pada
tahap sembah raga. Landasan untuk menempuh tingkatan hidup yang lebih tinggi.
Kalau dalam bahasa tasawuf Timur Tengah, ada empat tahapan yang harus ditempuh
manusia untuk bisa kembali kepada Tuhan Yang Mahaesa. Yaitu, dari syariat,
tarekat, hakekat, hingga makrifat. Yang dalam bahasa tasawuf Jawa disebut
sebagai sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa. Yang
kesemuanya ini disebut sebagai catur sembah. Baik makrifat ataupun sembah rasa
adalah tahapan manusia untuk dapat mengenal DS-nya. Dengan mengenal DS-nya
manusia akan kenal dengan Tuhannya. Ingat bunyi Hadis, “Man ‘arafa nafsahu
faqad ‘arafa rabbahu,” barangsiapa yang mengenal dirinya niscaya akan kenal
dengan Tuhannya.
Di tahap syariat, yang dinamakan
orang miskin adalah orang yang kekurangan harta benda. Orang ini mempunyai
pekerjaan tetapi tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Yang lebih
rendah dari orang miskin adalah “fakir”, kaum papa. Orang yang betul-betul
tidak mampu memenuhi keperluan hidupnya. Nah, di banyak ayat sering miskin dan
fakir ini disebut “miskin” saja. Orang Indonesia biasa menyebutnya
fakir-miskin. Agar tidak menimbulkan problema kesehatan dan kesejahteraan
masyarakat, mereka yang miskin ini harus ditanggulangi. Ketika struktur ekonomi
masih sederhana, menyantuni mereka dengan zakat sedekah sudah cukup. Namun
ketika struktur ekonomi menjadi semakin kompleks, pemecahannya tidak cukup
dengan zakat sedekah. Artinya, kemiskinan tak akan bisa dipecahkan hanya di
tahap syariat.
Lalu harus dipecahkan dengan cara
apa? Di sinilah kita dituntut untuk meningkatkan kualitas sembah atau ibadat
kita. Kita tak boleh mandeg atau cuma berhenti di syariat. Kita harus memahami
sumber kemiskinan yang lebih dalam. Kita tidak cukup hanya melihat kemiskinan
dari segi tidak adanya pekerjaan, lemahnya ketrampilan, atau rendahnya
pen-didikan. Kemiskinan harus dilihat dari sumbernya yang lebih dalam, yaitu
kemiskinan budi pekerti atau akhlak. Ya, kemiskinan di tingkat ihsan atau jiwa.
Jika di dalam umat ini ter-lalu banyak orang yang miskin jiwanya, maka jangan
heran bila timbul kemiskinan lahiriah yang luar biasa. Jadi, perintah untuk
tidak hidup boros atau kikir adalah untuk menanggu-langi terjadinya kemiskinan.
Lho, apa hubungannya boros dan kikir
dengan kemiskinan? Di atas telah dijelaskan bahwa boros itu
menghambur-hamburkan energi. Energi itu dihamburkan untuk memenuhi kepentingan
sendiri, atau buat kesenangan egonya. Akibatnya, di tempat atau kelompok lain
akan timbul kekurangan. Muncul kemewahan pada kelompok tertentu, dan timbul
kemiskinan pada banyak kelompok lain. Begitu pula kekikiran! Kekikiran
menyebabkan terakumulasinya energi pada orang atau kelompok tertentu, tetapi
tidak dimanfaatkan. Energi itu tidak didistribusikan, hanya ditimbun saja. Terjadilah
kebuntuan aliran energi di tengah masyarakat. Yang tidak teraliri mengalami
kemiskinan. Nah, ternyata sumber kemiskinan itu keborosan dan kekikiran.
Sedangkan boros dan kikir itu timbul dari kemiskinan budi atau jiwa. Boros dan
kikir itu setan, perbuatan yang menjauhkan diri dari kebenaran atau mengingkari
Tuhan. Jadi, pemboros dan orang kikir adalah saudara setan. Orang tidak
bertindak boros atau kikir bila keihsanan telah tumbuh di dalam jiwa orang
tersebut.
Ihsan adalah tahap yang lebih tinggi
dari Islam dan Iman. Ihsan ada di wilayah sembah jiwa. Suatu wilayah di tahap
akhir sebelum memasuki tahap sembah rasa. Bila di tahap syariat orang harus
bisa menampilkan kesejahteraan ragawi, di tahap tarekat atau sembah cipta
manusia harus bisa hidup dalam kedamaian hati. Kenikmatan yang diperoleh tidak
lagi pada banyaknya harta benda. Kemudian masuk ke tahap sembah jiwa atau dunia
ihsan, dunia ketulusan hati. Memasuki alam kesadaran untuk duduk bersimpuh di
hadirat Ilahi. Kenikmatan yang diperoleh berupa kesempurnaan diri. Di tahap ini
manusia mulai mampu menimbang hakikat yang terjadi.
Mengapa sih bicara tentang syariat,
keborosan dan kekikiran dihubungkan dengan energi? Di sinilah kita harus tahu!
Bahwa hidup ini berkaitan dengan aliran energi. Badan kita ini sebenarnya
hanyalah ibarat kabel yang dilalui energi. Sedangkan harta-benda, warna, cahaya
dan lain-lainnya adalah bentuk-bentuk energi. Karena itu jangan heran bila
secara alami manusia tertarik pada harta benda. Harta benda adalah bentuk energi
yang paling kasar. Pintu masuknya ke dalam diri kita adalah indera jasmani.
Kekurangan energi menimbulkan kelemahan atau penderitaan jasmani, seperti
lapar, haus, sakit, dan derita jasmani lainnya. Bila energi ini kita peroleh,
maka kita terpuaskan atau menjadi sehat.
Bagaimana bila energi kita serap
banyak-banyak sehingga melebihi kapasitas jasmani kita? Jasmani manusia
memiliki daya tampung. Jika daya
tampungnya terlampaui, maka akan terjadi penimbunan. Timbunan-timbunan
ini akan menghambat atau menghalangi aliran energi di dalam tubuh. Akibatnya,
timbul sakit pada jasmani. Agar tidak tertimbun, maka energi ini kita alirkan
keluar. Misalnya, berupa banyak bergerak [pekerjaan fisik, olah raga, salat,
dll], marah-marah, dan aktivitas seksual. Tentu saja penyaluran energi dengan
marah-marah adalah perbuatan negatif. Nah, bila kelebihan energi ini bisa
mengalir keluar dengan mulus, maka manusianya menjadi terpuaskan.
Perlu diperhatikan, kelebihan energi
bendawi (selama badan sehat) akan meningkat-kan aktivitas seksual. Dan ini
memang jalur alami pada makhluk hidup. Hanya saja pada manusia bila kelebihan
energi ini tidak dikontrol dengan baik, penyalurannya menjadi tidak seimbang,
yaitu lebih banyak melalui aktivitas seksual. Akibatnya, aktivitas seksual yang
secara alaminya suci, menjadi terkontaminasi sehingga menjadi aktivitas yang
negatif. Nah, syariat sebenarnya mengatur masuk-keluarnya energi bendawi secara
sehat. Jadi, bila ada orang yang mudah marah, itu tandanya kelebihan energi
bendawi atau terjadi penyumbatan energi di dalam tubuh.
Secara individual boros berarti
menyerap energi harta benda secara berlebih-lebihan, sehingga banyak pihak yang
menderita kekurangan energi. Orang boros menyebabkan ketekoran energi pada
pihak lain, dan membuat ketekoran energi pada dirinya di masa depannya. Karena
itu orang yang boros akan mengalami penderitaan. Orang kikir banyak
mengumpulkan energi. Karena tak disalurkan, dan cuma ditimbun, maka akan
menim-bulkan sumbatan energi dalam hidupnya. Penyakit jasmani pun akan timbul.
Akibatnya, orang yang kikir juga mengalami penderitaan. Ia akan menderita
karena energi itu tidak dimanfaatkan dengan benar. Dan dalam masyarakat
keborosan dan kekikiran akan menim-bulkan kemiskinan. Yang pada akhirnya
menimbulkan bencana dan malapetaka.
Zakat sedekah adalah sarana untuk
mencegah timbulnya keborosan dan keki-kiran harta benda. Memang ini merupakan
langkah pertama untuk mengendalikan kemis-kinan dalam suatu negara. Hal ini
diungkapkan dalam surat at-Taubah/9:103,
Pungutlah zakat sedekah dari
sebagian harta benda mereka. Dengan zakat itu engkau membersihkan dan
menyucikan. Dan mohonkan rahmat bagi mereka. Sesungguhnya permohonanmu itu
menentramkan jiwa mereka. Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.
Jadi, dengan zakat itu kemungkinan
terjadinya penyumbatan energi bendawi di dalam masyarakat dicegah. Masyarakat
dibersihkan dari berbagai macam penyakit. Namun, bila serangan penyakit terlalu
berat dan terlalu kompleks, zakat tak akan sanggup menyehatkannya. Harus ada
upaya tarekatnya, atau sembah ciptanya. Mengenai pihak-pihak yang secara
fisikal berhak menerima zakat sedekah akan dibahas pada materi tasawuf yang
akan datang.
Bagian ke-6
Semua ini ternyata diatur dalam
keseimbangan. Ada batas-batas yang telah ditetap-kan oleh Tuhan, baik di alam
raya ini maupun di dalam diri manusia. Di dalam surat Ar Rahman/55:7-9
dinyatakan,
7. Dan Dia tinggikan langit, lalu
Dia tetapkan neraca.
8. Agar kamu tidak melampaui batas
neraca itu.
9. Tegakkan neraca itu dengan adil,
dan janganlah menguranginya.
Wujud alam ini memang dualisme
karena itu ada mizan, ada neraca alias ada ukuran pada setiap benda atau wujud
ini. Batas-batas itu tetap harus dijaga. Batas-batas itu tidak boleh dilampaui.
Dalam arti, tak boleh dilebihi maupun dikurangi sehingga batasnya ambruk. Kita
bisa membayangkan, bila manusia yang menghuni bumi ini berlebihan pria atau
wanitanya. Bukan kedamaian yang kita rasakan. Tetapi bencana!
Boros maupun kikir [pada bagian
ke-5] dilarang, karena keduanya melampaui batas. Energi yang diserap manusia,
baik energi fisik maupun metafisik, haruslah yang sesuai dengan batas-batas
neraca di dalam dirinya. Dihambur-hamburkan akan mendatangkan bencana. Bila
cuma dideposit juga menimbulkan mala petaka. Siapa yang tahu batasnya? Apabila
berkaitan dengan energi pada tubuh, tentu saja yang bersangkutan yang tahu.
Tapi, bila berhubungan dengan lingkungan, yang tahu tentu saja para
cerdik-pandai. Karena itu, mereka diharapkan tidak melakukan manipulasi.
Pada tahap awal cara untuk mengenal
batas-batas itu dengan syariat. Cara yang mudah yang bisa dikenali oleh setiap
orang. Karena itu kata syariat dapat diartikan sebagai jalan umum, jalan yang
bisa dilewati oleh siapa saja. Jadi, syariat bisa ditempuh tanpa perlu
kepandaian secara khusus. Bila kita makan dan sudah terasa kenyang, ya kita
hentikan. Dan bila sudah terasa lapar, kita sebaiknya makan. Inilah syariat!
Karena itu dalam surat Al Maidah/5:6 disebutkan, “Ma yuridu llahu liyaj-‘ala
‘alaikum min harajin walakin yuridu liyuthahhirakum wa liyutimma ni ‘matahu
‘alaikum la-‘allakum tasykurun.” Allah tidak bermaksud menjadikan kesulitan
bagimu, tetapi Dia berkehendak untuk membersihkanmu dan menyempurnakan
nikmat-Nya kepadamu agar kamu menjadi orang-orang yang bersyukur.
Ayat di atas memang berkenaan dengan
wudhu. Yang bagi orang padang pasir waktu itu, enggan menggunakan air untuk
kebersihan badannya. Jadi, syariat berwudhu jelas dimaksudkan untuk membuat
bagian vital tubuh ini bersih (dan sehat tentunya), dan sebagai penyempurnaan
kenikmatan dari Tuhan. Dengan badan dan pikiran terasa segar, manusia bisa
menggunakan akalnya dengan jernih untuk memberikan nilai tambah dalam kehidupan
ini, yang disebut juga bersyukur.
Mengapa air yang digunakan sebagai
sarana untuk membersihkan badan jasmani ini? Ya, air adalah bahan pelarut
universal. Anda masih ingatkan dengan pernyataan surat Al Anbiya’/21:30. Pada
ayat tersebut dijelaskan bahwa “segala sesuatu yang hidup ini berasal dari al
ma’ atau zat cair”. Memang kata ma’ itu berarti air. Namun dengan kata sandang
“al”, air yang dimaksud bukanlah semata-mata air yang kita kenal sekarang ini
yang berupa “H2O”. Maka al-ma’ bisa berarti zat cair atau cairan. Bahwa air
menjadi wahana bagi berlangsungnya reaksi kimia bagi kehidupan adalah benar.
Metabolisme dalam tubuh ini berlangsung dengan bantuan air. Karena itu air
adalah alat untuk membersihkan dan menyucikan badan.
Bila badan harus dibersihkan dan
disucikan dari kotoran, maka pemilikan kita pun harus dibersihkan dan
disucikan, seperti yang diutarakan pada bagian ke-5, yaitu pada surat At
Taubah/9:103. Penyucian harta-benda ini adalah bagian dari upaya untuk
menempatkan “yang punya, the have” dalam neraca kepemilikan. Agar tidak timbul
atau terjadi kecemburuan sosial! Dengan kewajiban bersedekah/zakat bagi yang
punya, maka ia telah dibersihkan dari kotoran sosial, dan batinnya disucikan
dari keserakahan terhadap harta-benda. Dan pada zaman Nabi, mereka yang
berzakat ini dengan sendirinya mendapat jaminan keamanan sosial. Kalau zaman
sekarang, pembayar pajak di negara maju berhak mendapatkan perlindungan
keamanan hidupnya. Ya, syariat di dalam agama memang bertujuan untuk memberikan
jaminan keamanan dan ketentraman lahiriah. Syariat memang untuk membangun
kehidupan bersama yang teratur dan harmonis.
Jika kita perhatikan aturan sedekah
ini, disamping ada pihak yang berkewajiban mengeluarkan sedekah, ada pula
pihak-pihak yang berhak menerima sedekah tersebut. Surat At Taubah:60 yang
diwahyukan pada 9 H, menjelaskan tentang orang-orang yang berhak menerima
sedekah. Yaitu, orang fakir, orang miskin, fungsionaris sedekah, mu-allafah,
hamba sahaya, orang yang berhutang, orang yang ada di jalan Tuhan, dan orang
yang ada dalam perjalanan.
Orang fakir adalah orang yang tidak
memiliki pekerjaan tetap, pengangguran, atau orang-orang lemah. Miskin adalah
orang yang mempunyai usaha tetapi hasilnya tidak cukup buat hidupnya. Termasuk
juga dalam kategori miskin adalah orang-orang yang tidak punya kecakapan
berusaha, sehingga tekor terus hidupnya. Kemudian, yang berhak menerima dan
menyalurkan sedekah kepada yang betul-betul membutuhkan adalah para
administratur sedekah itu. Menurut tafsiran Yusuf Ali, sedekah itu memang hanya
bagi yang miskin dan betul-betul membutuhkan, dan para administratur atau
orang-orang yang kerjanya mengurus sedekah itu seadil-adilnya. Lha, yang
disebut orang fakir-miskin adalah 5 macam penerima yang disebutkan diatas,
yaitu muallafah, hamba sahaya, orang hutang, para sabilillah, dan ibnu sabil.
Jadi, Yusuf Ali tetap mengacu pada
makna sedekah seperti yang diungkapkan pada ayat-ayat Makiyah, yaitu untuk
mereka yang hidup dalam keadaan fakir-miskin. Bila di Mekah belum ada ‘amilin
atau fungsionaris sedekah, maka di Madinah sedekah itu harus dipungut dan
dimanajemeni dengan baik. Waktu itu yang tergolong manusia fakir-miskin adalah
muallafah [orang yang membutuhkan bantuan dalam menegakkan kebenaran agama],
hamba sahaya (tidak mampu memerdekakan dirinya bila tidak ditolong), orang yang
hidupnya dalam kebangkrutan atau tergantung pada hutang, fi sabilil-Lah [mereka
yang membangun kebajikan seperti pasukan keamanan dan ketertiban, membangun
rumah-rumah ibadah, sekolah, rumah sakit dll], dan ibnu sabil [yaitu mereka
yang menempuh perjalanan untuk kebajikan seperti mencari ilmu, spionase,
peneliti dls].
Dengan demikian, sedekah atau zakat
memang ditujukan untuk membebaskan manusia dari beban kehidupan yang berat,
ketergantungan, dan kolonial. Inilah jiwa syariat Islam! Yaitu untuk
membersihkan manusia dari beban kehidupannya. Tentu saja praktik operasional zakat
pada waktu itu sesuai dengan keadaan kehidupan waktu itu. Sistem ekonomi waktu
itu, ya, cuma pertanian dan perdagangan. Belum ada sistem kepegawaian,
perburuhan, industri, dan jasa seperti sekarang ini. Juga belum dikenal
perekonomian global seperti sekarang ini. Karena itu mereka yang masuk kategori
penerima zakat pun sangat sederhana. Dan di zaman Nabi, pajak tidak
diberlakukan!
Sampai bagian ke-6 ini tasawuf kita
ini masih membahas tahap syariat. Suatu tahap dini dalam menjalani kehidupan
yang religius, hidup beragama. Suatu tahap awal untuk mengenal batas-batas
perilaku manusia. Kata “syariat” pada mulanya mempunyai arti “jalan menuju
sumber air”. Jelas bahwa syariat bukanlah bagian “yang ada” di dalam diri
manusia. Syariat adalah aturan yang datangnya dari luar diri manusia! Ia adalah
jalan ke sumber air. Fungsinya, dengan demikian, untuk menjadi rambu-rambu agar
aktivitas “yang ada” di dalam diri manusia itu tidak melampaui batas-batas,
tidak melanggar neraca atau keseimbangan yang telah ditetapkan Tuhan.
Oleh karena syariat itu datangnya
dari luar diri manusia, maka bentuk syariat itu dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan dan zamannya. Dengan demikian, wajar bila tiap-tiap agama mempunyai
bentuk syariatnya sendiri. Inilah yang ditegaskan dalam Surat Al-Maidah/5:48,
“li kulli [ummatin] ja-‘alna minkum syir-‘atan wa minhajan.” Bagi setiap umat
telah Kami jadikan syariat dan tata-caranya. Perhatikan bunyi ayat tersebut! Di
situ dinyatakan bahwa “Kami telah menjadikan”, bukan Aku telah menciptakan.
Dijadikan artinya dibuat dari sesuatu yang telah ada. Sedangkan “Kami” artinya
Tuhan menyertakan sesuatu untuk menjadikan suatu syariat. Apa sesuatu itu?
Semua keadaan yang meliputi kebangkitan suatu umat pada geografi dan kurun
waktu tertentu. Karena itu, secara normatif syariat itu berkaitan dengan rambu
perintah, halal [yang dibolehkan], dan haram [yang terlarang].
Makna syariat perlu diperjelas dalam
pelajaran ini, agar kita tidak terjebak atau cuma macet di jalan. Apalah
artinya kita sudah ada di jalan yang benar, tetapi terjebak dalam kemacetan di
jalan tersebut? Sudah di jalan yang benar dalam menuju sumber air, tapi tidak
sampai di sumber air, belum lagi mengambil airnya. Kemacetan akan mendorong
orang untuk mengambil jalan pintas. Nah, begitulah gambaran orang yang
menjalani formalitas beragama saat ini. Banyak orang yang terjebak dalam
formalitas keagamaan. Agama tak lebih dari identitas belaka. Makanya, banyak
orang yang tampak sangat agamis, tetapi budipekertinya tidak mencerminkan
kehidupan agama yang benar. Pemahaman terhadap syariat perlu ditingkatkan.
Banyak orang yang salah paham,
dikiranya belajar tasawuf itu mendangkalkan syariat. Padahal jelas bahwa dengan
hidup bertasawuf manusia semakin kenal dengan rambu-rambu kehidupan. Ia mampu
memahami ayat-ayat itu dari dalam lubuk hatinya, baik ayat-ayat tentang
hubungan manusia dengan sesamanya maupun lingkungannya. Ia tidak dikendalikan
oleh rambu dan marka jalan. Tapi memang ia tahu batas-batas jalan yang
dilaluinya. Syariat harus disertai “minhaj”, upaya untuk mencapai sumber air,
yang dalam makna spiritual adalah cara untuk mencapai sumber air kehidupan,
“al-ma-ul hayat”. Salat harus dibarengi dengan upaya untuk menciptakan kondisi
zikir. Puasa harus dilakukan untuk membentuk manusia yang mampu mengendalikan
diri. Zakat harus diwujudkan untuk membebaskan beban kehidupan manusia. Dan
haji harus dijadikan sarana untuk membentuk manusia yang berwatak humanis dan
sosial. Untuk menjadi manusia yang bebas dari kungkungan etnisitas, golongan,
dan keagamaan. Menjadi manusia yang kenal dengan manusia lain, ta-‘arruf.
Semua upaya itu sebenarnya langkah
manusia ke dalam dirinya. Langkah menuju ke sumber kehidupannya yang sejati!
Langkah untuk menembus “yang ada” di dalam diri manusia agar bisa bertemu
dengan “Yang Maha Ada”. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan “yang ada” pada diri manusia? “Yang ada” adalah
sejumlah karakteristik atau sifat asal universal yang dimiliki manusia untuk
eksistensi dirinya.
Dengan kata lain, “yang ada” adalah
semua yang dipandang sebagai realitas yang paling fundamental dalam diri
manusia. Apa itu? Yang paling pokok dari “yang ada” adalah kehendak untuk
hidup! Begitu dilahirkan, manusia berusaha mempertahankan hidupnya. Nah, wujud
“yang ada” yang tampak pada waktu bayi adalah makan dan minum. Selama
kesehatannya tidak terganggu manusia perlu makan dan minum. Dan, bila dibiarkan
keinginan makan dan minum ini, tidak pernah dilatih atau dididik, maka ia akan
tumbuh tak terbatas.
Makan dan minum pada manusia berbeda
dengan yang ada pada dunia hewan. Sejak lahir makan-minum pada hewan telah
terkontrol oleh dirinya secara otomatis. Hewan tidak perlu dilatih untuk
membatasi makan-minumnya. Tetapi manusia perlu dilatih dan dididik untuk
mengenal batas dalam makan-minum. Kalau tidak, manusia akan terdorong
makan-minum tanpa batas. Perilaku manusia akan lebih buruk daripada hewan. Dan
tentu saja, akan merusak kehidupan manusia itu sendiri. Bukan hanya jumlahnya
yang perlu dibatasi, tetapi juga macam makan-minumnya. Nah, dalam agama yang
membatasi ini namanya “syariat”. Tentu saja batas-batas itu dipengaruhi oleh
budaya, geografis dan zamannya. Karena itu di atas disebutkan bahwa “syariat”
adalah bukan dari bagian “yang ada” pada diri manusia. Ia ada di luar diri
manusia dan berfungsi untuk membatasi gerak “yang ada” agar tidak melampaui
batas kehidupannya.
Dalam hal makan-minum ini, marilah
kita perhatikan beberapa ayat yang terkait.
7:31, “Hai manusia, pakailah
perhiasanmu ketika kamu bersujud, makan dan minumlah tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya
Allah tidak mencintai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
2:168, “Hai manusia, makanlah yang
halal dan yang baik (thayyib) apa-apa yang terdapat di bumi. Dan, janganlah
kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu musuhmu
yang nyata.”
2:172, “Hai orang-orang yang
beriman, makanlah apa-apa yang baik yang telah Kami sediakan bagimu. Dan
bersyukurlah kepada Allah bila hanya kepada-Nya kamu beribadah.”
2:173, “Dia hanya mengharamkan kamu
makan bangkai, darah, daging babi, dan daging yang dipersembahkan kepada selain
Allah. Barangsiapa terpaksa bukan karena keinginan, dan tidak melampaui batas,
maka tak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun dan Maha
Penyayang.”
5:87, “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah dihalalkan oleh Allah
bagimu. Dan, jangan melampaui (melanggar) batas. Sesungguhnya Allah tidak
mencintai orang-orang yang melampaui batas.”
5:88, “Dan makanlah apa-apa yang
halal dan yang baik yang telah diberikan oleh Tuhan kepadamu. Dan, bertakwalah
kepada Allah yang kamu imani.”
Ayat-ayat di atas cukup untuk
dijadikan landasan untuk memahami syariat tentang makan-minum. Ayat pada surat
ke-7 diwahyukan di Mekah, sedangkan ayat pada surat ke dua dan lima diturunkan
di Madinah yaitu di awal hijrah dan di pertengahan ke dua masa setelah hijrah.
Pertama-tama manusia dididik untuk
makan-minum yang tidak melampaui batas. Tidak berlebih-lebihan! Jadi, tekanan
awalnya adalah mampu mengendalikan diri dalam makan dan minum. Karena
berlebih-lebihan dalam makan dan minum akan menganggu atau bahkan merusak
kesehatan lahir dan batin. Kemudian diseru untuk hanya makan yang halal dan
yang baik (thayyib). Yang halal artinya yang dibenarkan menurut hukum, baik
dari jenis makanannya maupun cara mendapatkannya. Sedangkan yang baik adalah
yang tidak merusak kesehatan atau tidak jijik untuk dimakan. Ular, tikus,
cacing, tidak termasuk yang dilarang memakannya. Namun, banyak orang yang
jijik, atau muntah bila makan hewan-hewan tersebut. Bagi orang yang jijik
terhadap hewan tersebut, maka daging hewan tersebut jelas tidak thayyib.
Dalam tafsir Yusuf Ali, makanan yang
thayyib adalah makanan yang bersih, sehat, bergizi, dan lezat. Dengan demikian,
makanan yang thayyib adalah makanan yang halal dari segi zatnya. Sedangkan
makanan yang halal, belum tentu baik dari segi substansinya. Karena kehalalan
berkaitan dengan hukum yang berlaku.
Minuman kopi pada abad ke-15 termasuk jenis makanan yang diharamkan [alias
tidak halal] di dunia Islam. Namun, akhirnya dihalalkan, sampai hari ini!
Tetapi, kalau seseorang memandang tidak thayyib, maka dia harus
meninggalkannya.
Meskipun sudah ada batas-batas, atau
larangan, kalau toh terpaksa [bukan karena ingin menikmati kelezatannya], dan
tidak melebihi batas yang diperlukan, boleh-boleh saja makan makanan yang
diharamkan tadi! Inilah prinsip Islam! Suatu syariat ditetapkan bukan untuk
mempersulit manusia, tetapi memberikan kemudahan. Daripada harus “trial and
error”, coba-salah-coba lagi, yang bisa merugikan manusia, karena
kasih-sayang-Nya manusia diberitahu mana-mana yang dilarang untuk memakannya.
Perlu diketahui bahwa kelahiran
agama Islam bukanlah terlepas dari sejarah. Sebelum ada agama Islam, telah ada
dua agama besar, yaitu Yahudi dan Nasrani, yang telah mapan di luar Mekah
maupun di Madinah dan sekitarnya. Khususnya agama Yahudi, para pemeluknya
menganggap sebagai anak-anak Tuhan dan hidup beradab. Mereka memandang diri
mereka bermartabat tinggi. Sedangkan orang-orang Arab mereka pandang lebih
rendah martabatnya. Orang-orang Yahudi sangat jijik dan melarang umatnya makan
bangkai [Imamat 17:15], darah [Imamat 7:26], dan daging babi [Imamat 11:7].
Dengan demikian, pengharaman terhadap makanan tertentu bukanlah aturan yang
sama sekali baru. Melainkan aturan atau syariat itu sudah ada pada umat Yahudi,
dan tetap dipertahankan di dalam agama Islam. Jadi, wajar bila syariat itu
dipengaruhi oleh budaya, agama yang sudah ada, dan lingkungannya [geografis dan
zaman].
Bila kita mau memahami syariat itu dengan
pikiran yang jernih, ternyata syariat itu tidak diberikan oleh Tuhan dengan
keharusan dipegangi secara kaku. Seperti yang dinyatakan dengan tegas pada
2:173, bagi mereka yang terpaksa [idh-thurra] bukan karena ingin menikmati
kelezatannya [ghaira bagh] atau melebihi keperluannya [la-‘ad], maka tak ada
dosa baginya. Hal ini diperkuat oleh surat 5:3. Dengan redaksi: “Barangsiapa terpaksa karena kelaparan, bukan
cenderung melakukan dosa [melanggar hukum], maka sesungguhnya Allah itu Maha
Pengampun dan Maha Penyayang.” Jadi, bunyi ayat ini begitu pribadi! Mengapa?
Karena ayat ini mendidik kejujuran seseorang dalam mengarungi hidup ini. Yang
merasa lapar, yang merasa terpaksa, yang mengetahui jika perbuatannya itu untuk
mempertahankan hidupnya, dan yang mengetahui berapa banyak makanan yang
diperlukan agar ia tidak merasa lapar adalah orang yang bersangkutan. Orang
lain tidak boleh menajiskan!
Pada kedua ayat ditutup dengan
pernyataan “Allah Yang Maha Pengampun dan Yang Maha Penyanyang”. Maha Pengampun
berarti Maha Menutupi kekurangan atau kesalahan hamba-Nya. Sedangkan Maha
Penyayang berarti Dia niscaya memberikan imbalan terhadap kebaikan hamba-Nya.
Betul-betul suatu pernyataan yang sangat pribadi! Hanya Allah yang tahu betul
apakah hamba-Nya telah berbuat karena kelemahannya atau berbuat demi kebajikan
dirinya.
Tasawuf memang mengajak manusia
untuk kembali ke dalam dirinya. Kita dituntun untuk mengenal syariat dengan
arif. Kita tempatkan syariat sebagai sarana atau jembatan menuju sumber air
kehidupan yang ada di lubuk batin kita. Syariat dalam tasawuf adalah alat untuk
menemukan “yang ada” di dalam diri
manusia. Syariat bukanlah institusi untuk menghakimi dan menghukum manusia.
Tetapi ia adalah sarana untuk menyempurnakan kenikmatan yang diberikan Tuhan
kepada manusia, agar manusia mampu bersyukur. Agar manusia mampu memberikan
nilai tambah terhadap anugerah-Nya.
Dengan syariat diharapkan
terwujudnya badan jasmani yang bersih, sehat, dan segar. Dengan raga yang
bersih, sehat, dan segar diharapkan adanya batin manusia yang bersih dan sehat
pula, hatinya tenang, pikirannya jernih, dan dorongan hawa nafsunya terkendali.
Sehingga manusia dapat melanjutkan perjalanannya dalam menemukan air kehidupan,
“tirta prawita” atau “al-maul hayat”.
Dengan tasawuf manusia diingatkan
agar tidak terpeleset menjadi hamba syariat. Manusia harus terus berusaha
menjadi hamba Allah. Dan, salah satu wujud “yang ada” adalah kecenderungan
untuk menghamba bagi manusia. Entah itu menghamba kepada benda, pikiran,
kepercayaan, atau menghamba kepada Tuhan Pencipta Alam. Salah satu ayat diatas
mengingatkan, bahwa dalam masalah perut, manusia dilarang mengikuti
langkah-langkah setan. Masih ingatkan, bahwa setan sejati itu bersemayam di
dalam diri manusia, dengan stasiunnya berupa perasaan dan pikiran [jinnah dan
nas]. Jadi, jika manusia memperturutkan perasaan dan pikirannya, maka ia akan
melanggar batas. Ia akan melampaui batas yang telah ditetapkan. Ingat, setiap
ciptaan mempunyai batas-batas eksistensinya. Ada qadar [kadar] dan taqdir [berdasarkan
ukuran yang pas bagi realitas itu sendiri]. Ada neraca di dalam suatu realitas!
Bila batas-batas itu dilanggar, manusia tak akan bisa melanjutkan
perjalanannya.
Syariat dijadikan oleh Tuhan dalam
wujud yang indah. Namun, berkali-kali dalam sejarah, manusia telah salah dalam
menempatkan syariat. Syariat yang seharusnya dipakai sebagai alat atau wahana
ke suatu tujuan, ternyata dijadikan tujuan itu sendiri! Padahal tujuan yang
sejati adalah Tuhan. Bilamana syariat telah menjadi tujuan, maka yang tampak
menonjol adalah formalisme keagamaan. Bukan ilmu yang dicari, tetapi ijazah!
Segala sesuatu bila sudah jatuh ke dalam formalisme, maka tak akan ada lagi
“kemerdekaan”. Yang ada hanyalah kolonial atau pemasungan kehidupan. Syariat
tidak lagi sebagai alat, tetapi penjara! Inilah yang menyebabkan penampilan
lahiriah umat Islam sekarang ini tampak sangat religius, tetapi sebenarnya
telah kehilangan religiusitasnya.
Nah, dengan memahami syariat secara
proporsional, dengan melihatnya sebagaimana adanya, maka kita bisa melanjutkan
perjalanan tasawuf kita. Kita tidak lagi terjebak di tengah kemacetan syariat,
tetapi kita bisa berjalan secara wajar untuk kembali kepada Tuhan. Tasawuf
berikutnya, yaitu yang ke-7, akan dibahas makna kembali kepada Tuhan. Insya
Allah minggu depan. Wa billahit taufiq wal hidayah.
Bagian ke-7
Kembali Kepada Allah
Syariat adalah jalan menuju sumber
air kehidupan. Ia adalah jalan umum, jalan yang ditempuh secara bersama-sama
oleh suatu komunitas. Namun, semakin dekat dengan sumber air itu, jalannya
semakin sempit. Jalan yang hanya cukup dilalui oleh dirinya. Jalan inilah yang
disebut “tarekat” [thariqah].
Kalau digambarkan hubungan antara
syariat dan tarekat, dapat diumpamakan seseorang yang mau nonton film di gedung
bioskop. Ada syarat umum yang berlaku bagi yang ingin menonton. Pertama, umur
yang akan menonton, yang dalam bahasa agama ia harus sudah akil-balig [sudah
cukup umur dan berakal sehat]. Kedua, orang tersebut harus punya karcis atau
undangan menonton. Bila yang akan menonton itu tidak diatur, maka mereka akan
berebut beli karcisnya, atau berebut masuk gedung pertunjukannya. Nah, antre
agar bisa beli karcis dan masuk satu per satu dapat dium-pamakan sebagai
tarekat.
Dari syariat ke tarekat tidaklah
terputus begitu saja. Kedua jalan ini bersam-bungan, dari jalan yang lebar
kemudian menuju jalan yang lebih sempit. From the road of life to the path of
life. Dari jalan di luar diri menuju jalan di dalam diri. Dari jalan raya masuk
ke gang di mana rumah “DS” berada. Yaa, sebenarnya kita ini seperti orang-orang
yang hendak pulang ke masing-masing rumahnya. Karena rumah itu ada di dalam RW
yang sama, maka mula-mula kita berjalan di atas jalan raya yang sama, dan
selanjutnya berpisah menuju gang-gang yang berbeda, akhirnya masuk ke rumahnya
sendiri-sendiri. Di rumah itulah Allah menyambut manusia secara perorangan.
Seperti yang dinyatakan dalam surat Maryam/19 : 93, 95,
93. In kullu man fi s-samawati wa
l-ardhi illa ati r-rahmani ‘abda.
95. Wa kullu hum atihi yauma
l-qiyamati farda.
93. Sungguh setiap diri, baik yang
ada di langit maupun di bumi, akan datang kepada Yang Maha Pemurah sebagai
seorang hamba.
95. Dan, setiap diri datang
kepada-Nya pada hari kebangkitan sendirian.
Jadi, meskipun di dalam syariat kita
melakukan peribadatan yang sama, seperti shalat berjamaah, puasa Ramadhan, dan
ibadah Haji, tetapi jalan kepada-Nya betul-betul kita tempuh sendirian.
Syariatnya sama, tetapi tarekatnya berbeda. Karena tarekat itu harus pas dengan
orang yang menempuhnya. Tarekat harus mengarah dengan tepat letak rumah yang
dituju. Jika diumpamakan dengan orang yang akan menonton film, kita ada di
antrean yang sama, tetapi uang yang kita gunakan untuk membayarnya atau nomor
tempat duduknya berbeda sesuai dengan kenyamanan diri kita masing-masing. Yang
dituntut dalam syariat adalah keseragaman, sedangkan yang dituntut dalam
tarekat adalah keunikan.
Kembali kepada perumpamaan di atas,
setelah orang duduk dan menyaksikan filmnya, maka penghayatan terhadap film itu
pun berbeda-beda tergantung pada latar belakang sang penonton, yaitu budaya,
pengalaman, pengetahuan, dan kedalaman rasa
yang dimilikinya. Begitu pula ketika
kita kembali kepada Tuhan, setiap orang akan melihat filmnya sendiri.
Penghayatan terhadap filmnya sendiri itu tergantung pada amaliah, kebersihan
dan kesucian batin yang bersangkutan. Dan, pada saat dia menyadari filmnya,
berarti dia sudah ada di tahap hakekat. Tahap bangkitnya ke-sadaran diri. Tahap
“yaum al-qiyamah”! Bila dia sudah hidup di alam “qiyamah” maka dia sudah hidup
di “maqam makrifat”. Dia senantiasa tercerahkan! Dia tidak hidup lagi
tergantung pada orang lain, tidak terkolonisasi, hidup merdeka. Bahkan dia
telah menjadi gantungan bagi orang-orang lainnya.
Dengan demikian, tasawuf sebenarnya mendidik orang untuk hidup
mandiri, hidup merdeka, hidup yang setara dengan orang lain. Hidup menjadi sufi
sebenarnya adalah hidup yang sepenuhnya menggantungkan diri kepada Yang Ilahi.
Yang dengan kata lain, disebut “hidup tawakal” atau “tawakkul”. Sebelum kita
bisa hidup hanya dengan menggantungkan diri kepada Tuhan, berarti kita belum
hidup dalam makrifat, meskipun secara teoritis kita sudah mempelajarinya.
Tetapi belajar adalah cara untuk mencapainya! Jadi, tidak perlu pesimis bila
hari ini kita masih dalam perjalanan untuk memperoleh “tirta prawitasari” atau
sari dari air suci, esensi kehidupan.
Orang yang mampu melihat hakikat
dirinya disebut “insan kamil” alias manusia sempurna. Manusia yang merupakan
wujud dari makrokosmos dan mikrokosmos. Dia adalah miniatur dari Yang Haq,
wujud mini dari Tuhan Yang Mahaesa. Nah, perjalanan kita untuk menjadi
miniatur-Nya adalah perjalanan kembali kepada-Nya. Orang yang sadar bahwa
dirinya dalam hidup ini sesungguhnya kembali kepada Tuhan, adalah orang yang
sadar bahwa dirinya menyongsong “yaum al-qiyamah”. Banyak orang yang mengira
bahwa kebangkitan itu terjadi setelah hancur-leburnya bumi atau semesta alam.
Lalu, timbullah ilusi dan khayalan tentang kiamat. Akhirnya, muncullah perilaku
yang aneh-aneh. Terjebak di perjalanan! Formalisme!
Kiamat sebenarnya merupakan bagian
dari kesadaran kita. “Wa bi l-akhiratihum yuqinun,” dan mereka yakin terhadap
kehadiran Hari Akhirat. Kapan adanya Hari Akhir atau kiamat itu? Sekarang ini,
saat ini! Tergantung pada yang menyikapinya. Mari kita perhatikan ayat-ayat
berikut ini.
42:17, Allah yang menurunkan Kitab
dengan benar dan sebagai Neraca. Tahukah engkau bahwa mungkin saja kiamat itu
dekat?
42:18, Orang-orang yang tidak
beriman ingin “Saat Kiamat” itu disegerakan, dan orang-orang yang beriman
justru waspada terhadapnya karena mereka mengetahui bahwa kiamat itu benar
adanya. Ketahuilah bahwa orang-orang yang bertikai tentang “Saat Kiamat” adalah
dalam kesesatan yang jauh.
16:77, Dan bagi Allah Yang Mahagaib
di langit dan di bumi, peristiwa kiamat itu akan datang dalam sekejap
penglihatan atau lebih cepat. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu.
Pertama, kita harus tahu bahwa Tuhan
telah menurunkan Kitab-Nya di dunia ini dengan benar. Artinya, ada
Undang-Undang bagi kehidupan manusia. Kedua, dan Kitab itu pun berfungsi
sebagai Neraca, yaitu penimbang moralitas manusia. Dengan neraca itu manusia
harus menegakkan keadilan dalam hidup ini, “fairness”. Hidup yang tidak
merugikan diri-sendiri dan orang lain. Cara hidup yang demikian ini timbul
karena orang-orang beriman itu selalu waspada terhadap kehadiran kiamat pada
dirinya. Orang beriman mengetahui bahwa kiamat benar adanya. Jadi yakin
terhadap Hari Akhirat bukanlah percaya adanya Hari Akhirat, tetapi
mengetahuinya. Karena tahu itulah dia tidak ingin melanggar neraca tersebut,
tidak ingin mencuranginya. Inilah keadilan! Kecurangan akan menghalangi manusia
dalam bertarekat. Perbuatan curang senantiasa mendatangkan neraka kepada
pelakunya.
Datangnya kiamat itu sekejap mata
atau lebih cepat. Dan datangnya pun boleh jadi sudah dekat. Pernyataan surat
42:17 ini bukanlah sekadar kemungkinan, tetapi betul-betul kenyataan bagi yang
mengetahuinya. Tuhan tidaklah membuat puisi, tapi memberikan informasi kepada
manusia. Orang yang tidak beriman meminta kiamat itu disegerakan, karena mereka
tidak mengetahuinya. Bagaimana dapat disegerakan, wong mereka itu tidak
mengetahuinya? Bagaimana bisa diperbantahkan wong mereka itu tidak
mengetahuinya. Berbantah atau bertikai masalah datangnya kiamat adalah mubazir,
dan bahkan menyesatkan kita. Hari kiamat harus kita alami untuk bisa
menemui-Nya. Bukankah cepat atau lambat kita pasti menemui-Nya.
Lalu, bagaimana kalau kita tidak mau
menemui-Nya? Sungguh malang orang yang tidak mau bertemu dengan sumber hidupnya.
Bukankah kita berasal dari-Nya, dan kembali kepada-Nya? Nah, kita harus bisa
kembali kepada-Nya dengan kesadaran dan bukan dengan terpaksa! Kita harus
merdeka dalam menyongsong kehadiran-Nya. Sungguh rugi orang yang menolak untuk
bertemu dengan-Nya. Karena menolak untuk bertemu dengan Tuhan, berarti dia
memilih hidup dalam ilusi atau impian semata. Hidup di alam kebahagiaan semu!
Seperti yang diungkapkan dalam surat 6:31, “Sungguh merugilah orang-orang yang
mendustakan pertemuan mereka dengan Allah, sehingga apabila kiamat datang
kepada mereka dengan tiba-tiba, mereka mengatakan: alangkah besarnya penyesalan
kami karena kelalaian kami kepadanya.”
Coba perhatikan ayat ini, di situ
dijelaskan bahwa kiamat datang kepada mereka [yang mendustakan] dengan tiba-tiba.
Begitu mereka tersingkap dengan tiba-tiba kesadarannya tentang hidup ini, maka
yang ada adalah penyesalan. Yang dipikul adalah kesengsaraan. Hanya karena
lalai tentang hadirnya kiamat yang datang tiba-tiba itu. Lain dengan orang
beriman, dia selalu waspada. Orang-orang yang selalu hidup murung, menderita
dan merasa terus-menerus dalam kesengsaraan [bahkan ada yang nekat bunuh diri
karena tak kuat menanggung penderitaan hidup ini], adalah contoh orang-orang
yang kedatangan kiamat. Bila kiamat tidak datang selama dia dalam hidup ini,
maka kiamat pun akan datang setelah matinya. Hal ini diungkap dalam surat
50:22, “Sungguh engkau berada dalam kelalaian tentang [kematian] ini. Maka Kami
singkapkan darimu apa yang menutupimu, dan penglihatanmu pada hari ini sangat
tajam.” Dengan demikian, tidak ada gunanya melakukan rekayasa, tipudaya, atau
“tricky” dalam hidup ini.
Tobat.
Langkah awal dalam tarekat adalah
“tobat” atau adanya kemauan untuk kembali kepada-Nya. Bukan hanya mau
ramai-ramai di jalan umum, tetapi adanya kemauan untuk menempuh sendirian
kepada-Nya. Bukan hanya menuntut ada teman yang menyertai, tetapi berani
melangkah sendirian. Nah, tahap ini disebut “decondi-tioning” atau “takhalli”.
Berhenti mengikuti arus massa. Bukan melawan arus, tetapi menancapkan
pendirian! Jadi, tobat di sini jangan diartikan dengan “meninggalkan kejahatan
atau kecurangan” yang pernah kita lakukan. Kita tidak perlu berbuat curang
untuk bisa bertobat. Tetapi kita sengaja untuk memilih cara yang benar,
kepatuhan yang benar. Inilah makna tobat dalam tarekat!
Tobat dalam tarekat berarti
berketetapan untuk tidak mencuri, tidak berzina, tidak menipu, tidak membohongi
orang, tidak menganiaya siapa pun, tidak merugikan orang lain, tidak menyakiti;
atau dengan kata lain, menegasikan segala perbuatan dan tindakan yang buruk
atau jahat. Dalam syariat tobat adalah meninggalkan dan tidak mengulangi
perbuatan jahat yang telah diperbuat. Dalam tarekat tobat berarti memilih untuk
tidak berbuat jahat. Memilih untuk berbuat lurus! Tidak berpedoman “tujuan menghalalkan segala cara”. Tujuan
harus dicapai dengan cara yang benar dan baik [Jawa, bener lan pener].
Memang berat godaan bagi yang
mengambil jalan lurus. Lebih-lebih bila kita sudah pernah menikmati “yang
bengkok” itu. Bisikan untuk mencecap dan mencicipi kebengkokan itu datang
bertubi-tubi. Bagaimana jalan keluarnya bila rayuan setan ini berhembus di
dalam hati kita? Bila sugesti setan [bisikan jahat] datang bertubi-tubi ke
dalam diri kita, maka kita harus segera berzikir, bersegera untuk eling [sadar]
dan waspada. Kita harus bebaskan pikiran kita dari bisikan itu dan kita
serahkan diri kita kepada-Nya. Kita harus yakin bahwa Allah mendengarkan dan
memperhatikan seruan kita. Kita harus yakin bahwa Allah melindungi kita!
Mengapa kita harus yakin? Karena kita telah memilih jalan yang lurus, dan Allah
senantiasa di jalan lurus. Di bawah ini ada beberapa ayat yang menopang
keyakinan untuk berbuat benar.
7:200, Jika setan mengganggu
[mensugesti] engkau maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah itu
Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.
7:201, Sesungguhnya orang-orang yang
menjaga diri, apabila mereka tertimpa gangguan setan, mereka berzikir kepada
Allah, dan ketika itu pula mereka melihat gangguan itu.
42:13, Berat bagi orang-orang yang
menyekutukan Tuhan untuk menem-puh jalan yang diinformasikan kepada mereka.
Allah menarik orang yang menghendaki jalan-Nya, dan memberi petunjuk kepada
jalan-Nya bagi siapa yang kembali [kepada-Nya].
Dengan berzikir kepada Allah, kita
sebut nama-Nya dengan bahasa kita, bahasa yang kita pahami dan keluar dari hati
yang tulus. Misalnya, “Ya Tuhan, Pelindung diriku, singkirkan gangguan setan
itu dariku. Berilah aku kekuatan untuk menempuh jalan-Mu. Sesungguhnya
Engkaulah pemilik kekuatan yang sebenarnya.” Ini hanyalah salah satu contoh
saja dalam berdoa. Dalam berdoa tak ada keharusan dalam ucapan bahasa Arab. Doa
yang baik adalah doa yang kita mengerti maksudnya dengan benar. Doa demikianlah
yang ces pleng! Jangan ragu berdoa dalam bahasamu yang keluar dari dalam lubuk
hatimu. Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui!
Namun, bila kita tidak terdidik
dalam berdoa dengan menggunakan bahasa kita sendiri, kita boleh menggunakan
contoh-contoh doa dalam Al Quran atau Al Hadis. Bila kita menggunakan doa dalam
bahasa yang bukan bahasa kita sendiri, maka kita harus belajar memahami makna
dan maksudnya. Yang penting untuk diperhatikan, janganlah pikiran kita dibebani
dengan doa-doa. Pikiran kita harus dibebaskan dari berbagai macam hal yang
tidak diperlukan. Pikiran harus senantiasa dijaga tetap segar dan jernih. Dalam
kejernihan pikiran kita bisa melihat gangguan setan.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh
ayat 42:13, bila pikiran kita tetap mendua maka beratlah jalan Ilahi yang
hendak kita tempuh. Kita harus yakin bahwa jalan lurus [jalan positif] yang
kita pilih dan ikuti itu adalah jalan yang benar dan tepat. Bila kita
sungguh-sungguh menempuhnya niscaya Allah sendiri yang menarik kita ke tengah
jalan itu. Allah menghendaki orang yang menghendaki jalan-Nya. Inilah maksud
dari “Allahu yajtabi ilaihi man yasya-u” dalam ayat tersebut. Jadi, kata “man
yasya-u” tidak berarti Allah yang aktif dan manusianya pasif. Tetapi interaktif
antara “kawula” dan “Gusti”, hamba dengan Tuhan.
Wara’.
Kata “wara’” dapat diterjemahkan
dengan “hati-hati” atau waspada. Manusia yang tetap menjaga dirinya di jalan
yang benar, atau manusia bertakwa, adalah orang yang senantiasa sadar dan
waspada. Dengan eling dan waspada itu dia bisa melihat gangguan setan. Bila
kita bisa melihat bisikan setan, tentu kita dapat menghindarinya. Sebaliknya,
jika cuma meraba-raba dalam kegelapan, ada kemungkinan terhanyut dalam bisikan
itu. Dalam syariat wara’ berarti berhati-hati dalam memilih makanan, dan
berhati-hati dalam berbuat dan bertindak. Sedangkan wara’ dalam tarekat artinya
senantiasa sadar dan waspada.
Baik tobat maupun wara’ adalah tahap
“decondioning”, “takhalli”, atau usaha untuk mengosongkan diri kita dari segala
dorongan untuk berbuat jahat. Pada tahap ini kita dituntut untuk selalu introspeksi
maupun berani mengakui kesalahan yang kita perbuat. Memang sulit rasanya bagi
orang dewasa yang sudah terkontaminasi atau tercemar kotoran dalam hidupnya,
melakukan dekondisioning. Tetapi bagi yang telah berketetapan hati, langkah
awal ini harus dilalui. Harus ada tekad yang bulat dan kuat. Dalam ayat 7:200
disebutkan, bila ada bisikan maka segeralah berlindung kepada-Nya. Lalu dalam
7:201 dijelaskan bahwa begitu terkena gangguan setan, maka harus segera
berzikir, segera eling dan waspada! Dan dalam 42:13 disebutkan bahwa orang yang
menghendaki jalan-Nya niscaya ditarik Allah ke dalamnya. Lihat kembali ayat
surat Al-‘Ankabut/29:69, “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh menempuh
jalan Kami, niscaya Kami tunjuki mereka jalan-jalan Kami.”
Mengamalkan Zikir
Dekondisioning harus dilatih!
Bagaimana caranya? Seperti yang dijelaskan dalam ayat 7:201, dengan berzikir.
Ada dua macam zikir, yaitu zikir dengan berbuat dan zikir dengan bertindak.
Pertama, zikir dengan berbuat artinya zikir tanpa tindakan. Tindakannya hanya
terjadi dalam diri orang yang melakukannya. Dalam zikir ini kita dilatih untuk
mengawasi ucapan kita sendiri dalam keadaan heneng atau diam.
Dalam zikir ini kita dilatih untuk
mengawasi nafas kita sendiri. Zikir jenis inilah yang dilakukan ketika
seseorang melakukan shalat atau sesudah shalat. Jika di dalam shalat, yang
dilakukan adalah memperhatikan bacaan di dalamnya. Jika di luar shalat zikir
ini dilakukan dengan duduk relaks, atau duduk yang nyaman, dan disertai ucapan
kalimat thayyibat seperti subh?nallah [Mahasuci Allah], alhamdu lil-Lah [segala
puji kepunyaan Allah], dan allahu akbar [Allah Mahabesar].
Untuk melatih kesadaran dan
kewaspadaan kita terhadap kalimat thayyibat yang diucapkan, dibuatlah
pencacahan terhadap kalimat tersebut. Misalnya dengan meng-ucapkan kalimat
subhanallah dan alhamdulillah masing-masing 33x dan allahu akbar diucapkan 34x
sehingga banyaknya pengucapan kalimat tersebut 100 kali. Dengan zikir ini kita
dilatih untuk tetap sadar dan waspada. Pada tahap dekondisioning ini semua
pikiran yang kotor dikuras. Jadi, cara mengurasnya bukan dengan jalan
mengosongkan pikiran, tetapi dengan cara mengisinya dengan ucapan kalimat yang
baik. Dan, pengucapannya pun sekadar didengar telinganya sendiri!
Untuk pelatihan tahap dekondisioning
ini para murid [orang yang berkehendak] bisa melatihnya di pagi hari setelah
masuk shalat subuh. Latihannya harus dilakukan dengan teratur, cermat,
berhati-hati, tekun dan rajin. Misalnya, pelaksanaan zikir ini ditetapkan
selama empat puluh hari, setiap pagi. Diusahakan dilatih dalam lingkungan yang
hening, sepi. Atau, jika berbakat 10 hari sudah cukup.
Kedua, zikir dengan bertindak.
Artinya, ada aksi, ada tindakan! Begitu ada orang yang mengajak kolusi dalam
pekerjaan kita, ketika itu pula kita ingat untuk berusaha menghindarinya. Bila
desakan ke arah itu menguat, kita harus berani mengatakan kepadanya: tidak!
Memang berat mengamalkan zikir dengan bertindak. Karena zikir ini dihadapkan
pada kenyataan. Keadaan inilah yang mendorong guru tarekat mendirikan “jamaah
tarekat” atau organisasi tarekat. Dengan organisasi, kesulitan anggotanya bisa
diatasi. Jadi, kita jangan heran jika di dalam komunitas Islam hadir begitu
banyak tarekat. Dalam agama Kristen hadir banyak “gereja” untuk gembalanya. Di
Cina ada Zhuan Fa Lun atau gerakan meditasi “Fa Lun Qung”. Sehingga buruh-buruh
pabrik yang tadinya biasa “ngutil” produksi pabrik tersebut, seperti handuk,
sabun, sandal dll, setelah terlatih meditasi Fa Lun mereka sadar dan
mengembalikan hasil ngutilnya. Bahkan manajer pabrik sadar dengan gerakan itu
produktivitas pabrik meningkat. Tapi secara politis, Pemerintah Cina terancam
oleh gerakan ini.
Mulai saat ini marilah kita
praktikkan tarekat ini, dengan zikir berbuat dan zikir bertindak. Jangan ada
target dulu. Lebih baik kita merasa berlatih dulu
Bagian ke-8
Antara Syareat dan Tarekat
Telah dijelaskan di bagian
sebelumnya bahwa yang dituju dalam syareat adalah kolektivitas atau
kebersamaan. Sedangkan yang dituju dalam tarekat adalah keunikan. Meskipun demikian
antara syareat dan tarekat tidak bertentangan. Justru yang dibangun adalah
keseimbangan antara hidup secara kolektif dengan ekspresi individual. Karena
kodrat dan iradat Tuhan terhadap makhluk tidak sama. Maka kebutuhan bersama dan
kebutuhan pribadi harus dirajut bersama.
Syareat berfungsi untuk mengikat
suatu komunitas dalam jalan hidup bersama. Syahadat, shalat, puasa Ramadhan,
zakat dan haji adalah jalan umum yang dilalui secara bersama-sama oleh
komunitas yang beragama Islam. Unsur kebersamaan dalam kelompok lebih
ditekankan. Formalitas lebih menonjol daripada tujuannya. Jika dium-pamakan
anak sekolah, mengisi daftar hadir dan duduk di kelas lebih menonjol daripada
keinginan untuk menjadi murid yang pandai dan trampil. Dalam shalat pun begitu,
rasa untuk memenuhi kewajiban lebih menonjol daripada mencapai “tujuan” shalat.
Bahkan kalau saya amati, saya katakan dengan jujur bahwa sebagian besar orang
yang mela-kukan shalat tidak ingat [atau bahkan tidak tahu] akan tujuan
shalatnya. Mereka hanya merasa “berdosa” bila tidak melakukannya. Dan, merasa
telah bebas dari dosa jikalau telah menunaikannya. Tentu saja hal ini
disebabkan oleh kebiasaan yang membelenggu pikiran. Sama dengan jenis-jenis
kebiasaan yang lain.
Dari segi syareat seseorang yang
shalat dianggap sah bila ia telah bersih dari hadas [yang kecil dengan wudhu,
dan yang besar dengan mandi], dan mencari tempat yang bersih untuk shalat, lalu
dilakukan sesuai dengan syarat dan tertib rukunnya. Bereess! Upacara telah
dikerjakan. Lho, kok dianggap upacara, itukan perintah Tuhan? Shalat hanyalah
sebuah upacara jika yang dipenuhi formalitas lahiriahnya. Yang di-tuntut dalam
kehidupan beragama tentu bukan sekadar upacaranya. Tetapi, tujuan dari shalat!
Apa tujuan shalat? Apa tujuan puasa, zakat dan haji?
Marilah kita periksa satu persatu.
Pertama, Surat Thaha:14.
20:14 Sesungguhnya Aku ini adalah
Allah, dan tidak ada Tuhan kecuali Aku. Beribadahlah kepada-Ku dan dirikanlah
shalat untuk berzikir kepada-Ku.
29:45 Telaahlah Al Kitab yang
diwahyukan kepada engkau, dan dirikan shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah
perbuatan fahsya’ dan mungkar. Dan sesungguhnya berzikir kepada Allah itu lebih
besar. Dan Allah mengetahui apa yang kamu (semua) kerjakan.
Dari kedua ayat tersebut dapat
diketahui dengan pasti tujuan shalat. Tujuan utama shalat adalah “berzikir”
kepada Tuhan. Dan, efek berikutnya adalah terjauhkan dari perbuatan fahsya’ dan
mungkar. Karena efek dari zikir itu menjauhkan pelakunya dari perbuatan fahsya’
dan mungkar, maka nilai zikir itu lebih besar dari ibadah lainnya. Apalagi
zikir tersebut dilakukan dalam shalat. Fahsya’ adalah segala jenis perbuatan
yang tidak normal, yang dibenci masyarakat, kekejaman, dan yang menjijikkan.
Sedang perbuatan mungkar adalah perbuatan yang ditolak atau dilarang oleh
masyarakat. Jadi, tujuan akhir shalat adalah mencegah perbuatan fahsya’ dan
mungkar bagi penegaknya. Shalat bukan untuk membebaskan diri dari kewajiban.
Masih ingatkan ayat tentang perintah
puasa Ramadhan? Yaitu, Surat Al Baqarah ayat 183. Di situ jelas, bahwa tujuan
puasa bukan untuk melatih diri supaya tahan lapar atau sakti, tetapi untuk
menjadi orang yang bertakwa, yaitu orang yang senantiasa menjaga dirinya di
jalan yang benar [life in the righteous way]. Sedekah atau zakat juga
dimaksudkan untuk membersihkan dirinya dari kedengkian masyarakat di
sekitar-nya, dan juga untuk membersihkan batin dari sifat loba dan kikir [QS
9:103, sedekah itu untuk “tuthahhiru” dan “tuzakki”]. Bahkan dengan haji, orang
dididik dan dilatih untuk hidup damai (QS 2:191, 3:97), higienis (22:29),
menjauhkan diri dari pertikaian, percabulan dan kelakuan jahat (2:197), dan
hidup sosialis (22:28).
Nah, sekarang marilah kita melihat
fakta di sekeliling kita. Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang
religius. Secara lahiriah masjid, gereja dan tempat-tempat peribadatan lainnya
dipenuhi orang. Dari segi lahiriah seolah-olah orang-orang yang memenuhi tempat
ibadah ini adalah orang-orang yang saleh, atau orang-orang yang bertakwa. Kuota
untuk jemaah haji pun cepat sekali dipenuhi. Namun demikian, negeri ini penuh
koruptor, tukang kolusi, dan banyak penjahat kelas berdasi. Kebodohan tak
kunjung usai. Kemiskinan malah beraksi sehingga kita merasa tak bisa melepaskan
diri dari hutang internasional. Apa gerangan penyebabnya? Penyebabnya, kita
lebih suka formalisme. Kita lebih senang mengandalkan “kepercayaan” daripada
pengetahuan. Kita lebih suka kebenaran “visual” daripada kebenaran yang bersemi
di dalam hati yang suci. Kita lebih mempercayai “dongengan” abad III Hijrah
daripada mengkaji Al Quran dengan hati yang tenang dan pikiran yang jernih.
Sekarang, marilah kita bandingkan
dengan etika kehidupan bermasyarakat dari orang-orang Barat. Mereka dikenal
sebagai masyarakat yang hidup individualistik. Hak pribadi betul-betul dinomorsatukan.
Namun, di jalan mereka tidak melakukan saling serobot. Fasilitas-fasilitas
milik umum (fasum) dijaga dan dihormati.
Makna hidup itu untuk melayani orang lain mereka coba tegakkan. Mereka
betul-betul berusaha menjaga “fairness”
dalam bermasyarakat. Padahal, secara lahiriah mereka tampak tak bergairah
menjalankan agama. Mengapa bisa demikian? Karena mereka telah melangkah ke
tahap kehidupan tarekat. Lho, mereka kan tidak hidup beragama Islam sedangkan
tarekat itu ajaran Islam? Tarekat adalah perjalanan spiritual kehidupan
manusia. Ia ada di dalam setiap agama. Namanya saja yang berbeda!
Sembah Kalbu
Orang tak akan mengerti arti sebuah
kekayaan bila ia tak pernah menghayati arti sebuah kemiskinan. Tidak perlu
harus jatuh miskin dulu! Tetapi menghayati dalam batin kita bahwa sesungguhnya
kita ini miskin. Wong ketika kita lahir tak ada yang membawa perhiasan. Orang
tak akan mengerti makna kepandaian bagi kesejahteraan bila ia tak pernah
menghayati makna kebodohan. Seandainya generasi Jepang sekarang tidak
menghayati rasanya suatu bangsa yang dibom atom, tentu mereka akan tetap
melakukan penindasan dan penghancuran negara-negara sekelilingnya yang
dipandang lemah. Jika makna-makna yang negatif [seperti jahat, miskin, bodoh,
dan lemah] itu telah hilang dari mereka, maka mereka pun akan mengalami hal
yang sama seperti yang melanda negeri kita ini.
Nah, tarekat adalah cara untuk
melihat diri kita sendiri. Karena itu tarekat disebut sebagai meniti jalan ke
dalam diri. Tanpa mengenal diri kita sendiri, niscaya kita tak akan pernah bisa
mengerti orang lain. Malah orang lain kita paksa seperti diri kita! Kita
nyinyir bila melihat orang lain tidak melakukan ibadah seperti yang kita
lakukan. Kita memandang orang lain tidak mengikuti sunah Rasul, bila mereka
tidak segolongan dengan kita. Bahkan orang lain yang sudah mendalami Al Quran
dan Hadis, dipandang belum berilmu bila tidak belajar seperguruan dengan kita.
Kepicikan timbul karena tak pernah mau melihat kepada dirinya sendiri.
Pada bagian yang lalu telah
dijelaskan bahwa tahap awal dalam tarekat adalah dekondisioning, atau
“takhalli”, yaitu tahap pembersihan batin. Kepercayaan yang telah membelenggu,
harus dirantas. Lho, bagaimana ini, hidup beragama kan harus ditopang dengan
kepercayaan? Ha, jangan salah mengerti! Yang harus dirantas adalah keperca-yaan
yang membelenggu. Kepercayaan semacam ini beretengger di dalam diri kita dari
hasil meniru, yaa... meniru seperti anak kecil. Mungkin meniru dari
lingkungannya, atau meniru dari teman yang mengajaknya. Lain halnya dengan
pembersihan batin. Dengan tobat dan wara’ kita telah melangkah pada kehidupan
yang bersih lahir dan batin. Dengan kondisi batin yang bersih, tumbuhlah
kepercayaan asli yang tumbuh dari dalam. Bukan kepercayaan hasil meniru.
Hal ini penting sekali untuk
dipahami! Iman (kepercayaan) yang benar adalah yang tumbuh dari dalam hati.
Bukan iman yang tumbuh karena diyakinkan oleh orang lain. Jadi, peran guru-guru
agama, ustadz-ustadz, dan ulama adalah memberikan jalan bagi sang pengembara.
Mereka menjadi pemandu jalan, pembawa obor bagi orang-orang yang ingin kembali
kepada Ilahi. Tugas guru dan ulama bukanlah membuat mereka menjadi robot hidup.
Guru dan ulama adalah orang yang menunjukkan jalan dan memberikan keteladanan.
Mereka bukan untuk ditiru [to be imitated] tetapi untuk diikuti [to be
followed]. Dengan pemahaman ini bukan orang lain yang mengantarkan kita ke
tujuan hidup, tetapi kita sendiri yang berusaha ke sana.
Mari kita perhatikan ayat berikut
ini.
35:18 Sesungguhnya yang bisa engkau
berikan ajaran [peringatan] adalah orang-orang yang awas kepada Tuhannya
meskipun tanpa melihat-Nya, dan mereka mendirikan shalat. Barangsiapa
menyucikan dirinya, sesungguhnya penyucian itu untuk dirinya sendiri. Dan Allah
itu tempat kembali.
Jadi, jelas sekali bahwa Rasul saja
tugas mulianya adalah untuk menyampaikan ajaran keselamatan. Apalagi ustadz
atau ulama! Fungsi Rasul bukan untuk menyelamat-kan tetapi memberikan petunjuk
ke arah keselamatan. Karena itu yang bisa diberi ajaran adalah mereka yang awas
terhadap kehadiran Tuhannya, tanpa melihat Wujud-Nya. Bila tidak awas, ya sulit
untuk dapat menerima kebenaran ajaran beliau. Itulah sebabnya saya berkali-kali
menekankan kata “mengikuti Rasul” dan “bukan meniru Rasul”. Mengikuti
memerlukan keawasan, sedangkan meniru cuma mencontoh, atau dalam bahasa
sekarang mencontek Rasul. Apa unggulnya mencontek? Dan dalam ayat itu diringi
pula dengan kalimat “mendirikan shalat” dan bukan mengerjakan shalat. Memang
sekarang ini jadi kabur antara “mendirikan” dan “mengerjakan”. Karena
kepentingan guru-guru agama sebatas formalitas, yaitu mengerjakan. Mendirikan
shalat berarti membangun shalat, suatu bangunan yang di dalamnya terletak zikir
kepada Tuhan. Suatu syareat yang di dalamnya terkandung tarekat!
Kemudian lanjutan ayat menyebutkan
bahwa upaya penyucian diri itu sepenuhnya untuk dirinya sendiri. Jadi,
betul-betul melewati lorong yang pas bagi dirinya sendiri. Kita masuk ke dalam
sel hati yang terdalam. Di situlah Tuhan bersemayam. Bukankah di dalam sebuah
hadis disebutkan bahwa “Langit dan bumi tak dapat menampung-Ku, tetapi hati
seorang mukmin mampu menjangkau-Ku.” Jadi, hati terdalam manusia adalah tempat
bersemayam-Nya pada tahap tarekat. Sedangkan Ka’bah di Mekah merupakan Rumah
Tuhan di tahap syareat. Dengan meniti ke dalam diri, berarti kita kembali
kepada Allah, seperti penutup ayat tersebut.
Nah, upaya untuk memasuki wilayah
hati (kalbu) dalam pemahaman tasawuf Jawa disebut sebagai “Sembah Kalbu”. Bila
dalam langkah tobat dan wara’ ada sam-bungan syareat dan tarekat, maka langkah
berikutnya, sabar, adalah tindakan hati. Makin memasuki wilayah tarekat.
Bersucinya tidak lagi dengan material yang dapat dilihat dengan mata, seperti
air dan harta-benda, tetapi mampu mengendalikan hasrat hati yang selalu menggoda
kehidupan ini.
Sabar. Lebih dari lima puluh kata
‘sabar’ dalam berbagai bentuknya terdapat di dalam Al Quran. Dan kata ini tidak
bermakna tunggal seperti kata ‘sabar’ dalam bahasa Indonesia. Jika kita lihat
kamus Indonesia, kata sabar berarti tidak pemarah, tahan menderita, menerima
saja, dan tidak tergopoh-gopoh dalam bekerja. Hal ini lain dengan yang diungkap
dalam Al Quran.
Kalau kita cermati QS 6:34, sabar
mempunyai arti ‘tetap berjuang meskipun datang berbagai cobaan dan ancaman’.
Jadi, di dalam “sabar” terkandung daya tahan terhadap berbagai macam cobaan,
ancaman dan gangguan. Dalam sabar, juga termuat sikap tidak mudah lupa diri,
seperti lekas bangga bila terlepas dari kesulitan. Sedangkan dalam QS 37:102
disebutkan bahwa Ismail bersedia untuk disembelih ayahnya. Dia katakan kepada
ayahandanya, Ibrahim: hai bapakku kerjakan apa yang diperintahkan kepadamu,
insya Allah kamu dapati diriku termasuk orang-orang yang sabar. Dan salah satu
fondamen Islam adalah saling berwasiat tentang hidup sabar.
Jadi, kita tak perlu meringkas dan
menyimpulkan kata sabar yang banyak di dalam Al Quran itu. Tetapi, yang jelas
sabar merupakan tindakan hati. Dan, tindakan hati ini tidak terlihat oleh orang
lain. Efek dari tidak sabar yang bisa dilihat oleh orang lain, seperti mudah
emosional, gampang marah, mudah ketakutan, panik, tergesa-gesa, dan tak tahan
menderita. Untuk bisa hidup sabar, kita harus senantisa introspeksi, awas,
berhati-hati, cermat, tekun dan rajin. Dan, yang sangat penting bagi pijakan
sabar adalah “hati yang tenang”. Mengapa hati yang tenang diperlukan untuk
membangun kesabaran? Karena dengan hati yang tenang manusia bisa mengontrol
perbuatan dan tindakannya. Dan, agar hati bisa menjadi tenang, kita harus
berzikir [Jawa, semedi]. Kata semedi sendiri berasal dari kata Sanskerta
“Samadhi” yaitu sam + Adhi yang terjemahannya dengan + Tuhan. Jadi, bersemedi
artinya menyatukan diri dengan Tuhan. Tentu saja bukan persatuan fisik karena
fisik alam semesta ini ada di dalam Tuhan. Tuhan meliputi segala sesuatu [wa
kana llahu bi kulli syai-in muh?tha, 4:126]. Dan pada ayat 41:54 disebutkan
sebagai berikut.
Ingatlah bahwa sesungguhnya mereka
[orang-orang kafir] berada dalam keraguan tentang pertemuan mereka dengan
Tuhan. Ingatlah bahwa sesung-guhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu.
Pertama, Tuhan meliputi segala
sesuatu. Dia adalah Cahaya di atas cahaya, seperti dinyatakan dalam Surat An
Nur/24:35. Cahaya-Nya menembus segala sesuatu dari sesuatu yang paling kecil
hingga yang paling besar. Dengan kata lain, Tuhan meliputi alam semesta. Karena
itu di pangkal ayat yang sama Allah dinyatakan sebagai Cahaya [yang meliputi]
langit dan bumi. Jadi, secara fisik makhluk dan Tuhan tidak dapat dipisahkan.
Karena Dia juga disebut tidak di dalam atau di luar sesuatu. Dia meliputi yang
lahir dan yang batin [QS 57:3]. Lalu apanya yang dikatakan bersatu dalam zikir
itu? Iradatnya! Orang yang berzikir mempersatukan iradatnya dengan iradat
Tuhannya. Diinformasikan dalam QS 2:152, “Berzikirlah kepada-Ku, niscaya Aku
berzikir kepdamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan jangan mengingkari-Ku.”
Kedua, bila kita menyimak beberapa
ayat sebelumnya, yaitu ayat 49 ? 51, di situ disebutkan bahwa orang-orang kafir
itu senantiasa terombang-ambing oleh kegalauan pikirannya. Akibatnya jiwanya
rapuh terhadap berbagai tekanan dalam hidupnya. Dan, sumber utama kegalauan
pikiran itu adalah “ragu-ragu tentang pertemuan dengan Tuhan”. Padahal, zikir
adalah landasan bagi pertemuan dengan Tuhan. Ujung ayat tentang zikir tersebut
berbunyi “bersyukurlah kepada-Ku dan jangan mengingkari-Ku”. Artinya ciptakan
nilai tambah dalam hidup ini karena Dia, bukan karena ego kita. Bila kita
berbuat dan bekerja demi ego [mementingkan diri sendiri], kita akan mengalami
distorsi dalam hidup ini. Karena itu ayat di atas ditutup dengan penguatan
“jangan mengingkari Aku”.
Seperti pada kesempatan lain, telah
saya uraikan makna “zikir”. Namun, untuk mengingatkan kita semua saya sampaikan
lagi pada kesempatan ini. Zikir berasal dari kata dza-ka-ra yang artinya
mengingat atau menuangi. Jadi, orang yang berzikir berarti menuangi ke dalam
jiwanya, pikirannya dan hatinya dengan sesuatu yang di-ingatnya. Berzikir
kepada Allah berarti menuangi diri kita [lahir dan batin] dengan kata-kata yang
baik tentang Allah, seperti menyebut nama-Nya, mengucapkan nama-nama baik-Nya,
menyebut subhanallah, alhamdulillah, allahuakbar, la ilaha illallah dan
lain-lainnya. Dengan menyebut kata yang baik kita berusaha melakukan proses
dekondisioning dengan cara menuangi kata “thayyibat”. Islam tidak mengajarkan
pengosongan pikiran dengan metode konsentrasi atau berusaha melenyapkan segala
keramaian pikiran. Tetapi, dengan cara mengisi pikiran dan hati dengan
nama-Nya. Dalam perjalanannya sang pezikir akan semakin cerah. Bak gentong yang
berisi air kotor, pezikir tidak menggulingkan gentong itu sehingga airnya
tumpah dan gentong ditegakkan kembali. Cara demikian bisa memecahkan gentongnya
jika gentongnya tidak kuat. Tetapi dengan cara menuangi dengan air yang bersih,
lama-lama air yang kotor itu habis dengan sendirinya.
Nah, itulah resp zikir! Dengan cara
ini lama-lama hati menjadi tenang. Hati yang kerjanya berubah-ubah, bergerak
kesana-kemari tak tentu tujuan ini, secara perlahan-lahan dimuati dengan
nama-Nya. Pelan-pelan keberingasan hati menjadi reda dan akhirnya berhenti, dan
muncullah ketenangan. Hal inilah yang ditegaskan dalam Surat Ar Ra’ad/13: 27 ?
29.
:27 Orang-orang kafir [yang
meningkari kebenaran] berkata: “Mengapa Tuhannya tidak menurunkan mukjizat
kepadanya?” Katakanlah: “ Sesungguhnya
Allah menyesatkan orang yang menghendaki kesesatan dan menunjuki orang-orang
yang kembali kepada-Nya.”
28 Yaitu, orang-orang yang beriman
dan hati mereka menjadi tentram karena berzikir kepada Allah. Perhatikanlah,
hanya dengan kepada Allah hati menjadi tentram.
29 Orang-orang yang beriman dan
beramal saleh layak mendapatkan kebahagiaan dan tempat kembali yang baik. Pada ayat 27 kata “man yasya-u” biasa
diatributkan kepada Tuhan sehingga artinya, “Tuhan menyesatkan kepada siapa
yang Dia kehendaki”.
Namun, terjemahan yang saya gunakan
adalah “Tuhan menyesatkan orang yang menghendaki kesesatan”. Karena ujung ayat
itu menegaskan : Tuhan menunjuki orang-orang yang kembali kepada-Nya. Inilah
sifat ‘Ar Rahim’ dari Tuhan.
Siapa yang kembali kepada-Nya itu?
Yaitu, orang-orang yang beriman [selalu awas, eling dan waspada] dan beramal
saleh [melakukan tindakan yang berguna, baik bagi orang lain, lingkungan dan
dirinya sendiri]. Jadi, kata kembali kepada Tuhan jangan ditunggu setelah mati.
Kita sadari kehadiran kiamat, dan segera kembali kepada Tuhan Yang Mahaesa.
Untuk bisa beriman dan beramal saleh, salah satu langkah yang harus ditempuh
adalah “hidup sabar”. Itulah sebabnya di beberapa ayat disebutkan bahwa
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”.
Sabar yang dimaksud di sini adalah
maqam, stasiun, atau tingkatan pencapaian spiritual. Bukan sabar dalam
pengertian “sifat sabar” seperti ‘sabar, dong!’ atau yang sabar ya Pak..,
Bu..., dan lain-lain. Budaya antri, tidak saling menyerobot, menghargai hak
orang lain, rela berjuang bersama dalam membangun bangsa, saling mengerti,
hidup gotong royong adalah bukti tercapainya maqam kesabaran. Nah, untuk mencapai maqam kesabaran ini mari
terus kita lakukan zikir lahir yang diterangkan di bagian yang lalu.
Bagian ke-9
Antara Sabar dan Tahalli
Ketika kita berjuang untuk hidup
benar, lalu menetapkan pendirian untuk tetap memilih jalan yang benar
[istiqamah], berarti kita telah melakukan dekondisioning [takhalli], yaitu
membersihkan diri dari semua sifat yang tercela yang ada di dalam diri kita.
Sifat tercela meliputi semua sifat yang mengotori jiwa [nafs] manusia, seperti
lalim, bakhil, dusta, ma-lima, mengadu domba, dengki [iri hati], merusak,
berlebih-lebihan dalam hidup, membunuh [diri sendiri maupun orang lain], menipu,
sombong, merendahkan orang lain, mementingkan diri-sendiri, menjilat [cari
muka], dan berbagai sifat negatif lainnya.
Pada tasawuf bagian ke-8 kita telah
sampai pada ajaran “sabar”. Kita telah masuk ke dalam wilayah “kondisioning”
atau “tahalli”. Ketercelaan ditinggalkan, keterpujian diraih. Dengan sabar,
kita mengkondisikan diri kita ke dalam perbuatan-perbuatan yang terpuji. Tentu
saja perbuatan terpuji lahir bila kita telah meninggalkan yang tercela. Yang
termasuk sifat terpuji adalah semua sifa yang positif dan memberikan keuntungan
baik bagi diri-sendiri maupun orang lain, seperti adil, kasih, sayang, lemah
lembut, berani, tegas, bijak, menolong, membantu kebaikan, dapat dipercaya,
memperbanyak persaudaraan, menyelamatkan jiwa, menutupi aib keluarga, saudara
dan teman-temannya, dan lain-lain.
Setelah kita bongkar sifat-sifat
tercela kita, kita cuci dengan zikir jahar [lahir], maka kita kondisikan batin
kita dengan perbuatan-perbuatan terpuji. Mengkondisikan perbuatan terpuji harus
dilandasi kesabaran [lihat kembali makna sabar pada bag. ke-8]. Ingat, sabar
bukan ‘menerima kalah’. Tetapi, kita mempunyai daya tahan untuk berbuat atau
bertindak. Marilah kita uraikan segala sifat terpuji tersebut.
Adil. Kalau kita lihat di kamus
Arab, kata ‘adil’ berarti memperlakukan setiap orang tanpa diskriminasi. Dalam
‘adil’ terkandung makna ‘jujur’ dan
‘fair’. Kata fair sendiri berarti “sesuai dengan aturan”. Terkandung dalam kata
‘adil’ adalah perlakuan yang proporsional. Contohnya begini, jika ada orangtua
yang memperlakukan tiga orang anaknya [yang berumur 7, 5 dan 3 tahun], tentu
orangtua tersebut harus memperlakukan
mereka secara proporsional [sesuai dengan kebutuhannya].
Sikap adil ini akan bisa tumbuh pada
diri kita bila kita sudah tidak mementingkan diri-sendiri dan pilih-kasih.
Sifat tercela harus dihilangkan dulu. Lalu, dengan berpijak pada kesabaran kita
menegakkan keadilan. Adil adalah sokoguru bagi ketakwaan. Ya, tanpa keadilan
kita sukar untuk dapat menegakkan kebenaran. Untuk itu marilah kita simak QS
5:8 berikut ini.
5:8 Hai orang-orang yang beriman,
jadilah kamu orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi
saksi dengan adil. Janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum
[golongan], mendorongmu untuk berbuat tidak adil. Berlaku adillah, karena adil
itu lebih dekat kepada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Perhatikan ayat tersebut sekali
lagi. Keimanan ternyata menuntut upaya penegakan kebenaran. Keimanan dalam
Islam ternyata bukan hanya sekedar kepercayaan. Iman itu harus didukung
“pengetahuan” sehingga orang yang beriman itu bisa membedakan mana yang benar
dan yang salah. Dengan kesabarannya orang tersebut berani menjadi saksi yang
adil. Dalam kondisi yang semrawut di negara kita ini, banyak orang yang tidak
berani menjadi saksi yang adil. Betapa beratnya menopang keadilan. Karena itu,
untuk bisa bersikap adil manusia harus dikondisikan lebih dulu. Bahkan sekarang
ini, di negara Indonesia, banyak orang yang bertindak liar tetapi tak ada yang
mengadili. Apa akibatnya? Banyak manusia yang hidup ketakutan di republik ini.
Adil adalah sikap hidup yang paling
dekat kepada ketakwaan. Meskipun kita benci terhadap suatu kelompok [golongan]
masyarakat, tapi kita harus adil. Kita harus ‘fair’, dan tidak main babat saja.
Sekarang ini bisa kita lihat ada kelompok yang melakukan “sweeping” terhadap
hak hidup orang lain tanpa berpijak pada hukum. Bahkan mereka berlindung di
balik hukum. Na-‘udzu billahi min dzalik! Inilah pentingnya kita hidup
berbudipekerti yang mulia. Kita wajib menghargai hak orang lain, dan tidak
hanya mementingkan hak hidup kita sendiri. Berlaku adil!
Kasih-sayang. Ar Rahman dan Ar Rahim
adalah sifat Tuhan. Orang beriman harus berusaha menjadi rahmat bagi lingkungan
hidupnya. Yang kuat ikut serta meng-angkat yang lemah. Yang kaya membantu yang
miskin. Harus diciptakan hidup tolong-menolong dalam kebaikan. Yang kuat
mengangkat yang lemah, tidak berarti yang lemah merongrong yang kuat. Yang
miskin tidak boleh membebani yang kaya. Jikalau yang lemah dan yang miskin
merongrong yang kuat dan yang kaya, ini berarti tidak terjadi kasih-sayang.
Dalam kasih-sayang setiap orang saling memberi. Inilah manusia yang saling
berwasiat kepada hidup sabar [untuk berbuat sabar] dan untuk hidup
kasih-sayang. Hal ini dinyatakan dalam beberapa ayat berikut ini.
90:17 Kemudian mereka itu termasuk
orang-orang yang beriman, yang saling berwasiat untuk hidup sabar dan saling
berkasih-sayang.
5:2 Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu kepada suatu golongan, karena mereka pernah menghalangimu dari
Masjid Al Haram, menyebabkan kamu bertindak melampaui batas terhadap mereka.
Saling bertolonganlah kamu dalam kebajikan dan ketakwaan, dan jangan
tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah!
Sesungguhnya Allah amat keras siksanya.
Kalau kita membaca QS 90:17 (Surat
Al Balad), dan kita baca beberapa ayat sebelumnya, kita mengetahui bahwa hidup
beriman yang ditopang perbuatan sabar dan kasih-sayang, termasuk dalam menapaki
jalan yang mendaki. Artinya, berbuat sabar dan bertindak kasih-sayang adalah
perbuatan dan tindakan yang berat. Jika kita masih mau menang sendiri, mau
benar sendiri, maka jangan harap kita bisa menjadi manusia beriman yang sejati.
Keimanan tanpa keadilan, kesabaran dan kasih-sayang jelas-jelas iman gombal
alias iman palsu. Yang perlu di-sweeping lebih dulu adalah rasa mau menang
sendiri, egoisme, dan kebodohan yang ada di batin dan yang selalu menghantui
pikiran. Batin dan pikiran harus di- ‘dekondisioning’ dari sifat tercela.
Setelah batin dan pikiran bersih
dari sifat tercela, baru bisa dikondisikan untuk menerima sifat terpuji. Memang
hal ini tidak mudah dilakukan bila semata-mata diserahkan kepada masing-masing
orang. Pengkondisian harus dibantu dengan institusi atau penegakan hukum.
Manusia tidak boleh dibiarkan sekadar menjadi kerumunan massa, seperti menonton
sepak bola, pertunjukan musik dan lain-lain. Yang timbul adalah rebutan.
Akhirnya jatuh korban! Kekuasaan pun bila dijadikan rebutan, akhirnya juga
timbul korban yang lebih dahsyat. Harus dikondisikan! Harus ada antre. Penonton
harus sesuai dengan banyaknya bangku. Yang haji pun harus ditertibkan. Sehingga
tidak terulang peristiwa Mina dan yang beberapa kali terjadi dalam melempar
jumrah. Yang menjadi elite pun harus melalui proses, mengikuti prosedur, dan
menaati aturan main. Pikiran yang mendorong ke arah egoisme, harus di-sweeping
lebih dulu. Sehingga tidak terjadi manipulasi permainan.
Harus sabar, jangan berebut
mendahului. Sejak zaman dulu pesan moral ini sudah dihadirkan Tuhan. Hanya
istilahnya saja yang berubah mengikuti perubahan zaman. Politik sudah ada dalam
metafor pergulatan antara Adam, malaikat dan iblis. Yaitu, ketika malaikat
protes terhadap Tuhan tentang kepemimpinan Adam di muka bumi ini [QS 2:30].
Malaikat protes, mengapa bukan dirinya yang menjadi khalifah di bumi. Mengapa
manusia yang punya potensi untuk menumpahkan darah dan menimbulkan kerusakan,
yang menjadi wakil-Nya. Iblis pun tak mau menerima kepemimpinan Adam. Iblis mau
menang sendiri.
Kalau dalam dunia politik, sabar
berarti mampu menahan diri untuk tidak berbuat curang atau manipulasi. Proses,
prosedur dan aturan main harus dipenuhi dengan lapang dada. Dalam pergaulan
hidup, sabar berarti saling menahan diri untuk tidak merugikan diri sendiri dan
orang lain. Dalam bekerja, sabar berarti memiliki dayatahan untuk menyelesaikan
dengan baik dan benar pekerjaannya. Dalam diri pribadi, sabar berarti ulet
dalam meniti tujuan; ada ketegasan untuk memilih, ada keberanian untuk
melaksanakan, dan ulet dalam menyelesaikannya. Karena itu Tuhan memerintah
manusia untuk saling berpesan untuk hidup sabar.
Kasih-sayang berarti saling memberi.
Bukan karena menerima, lalu memberi; yang dalam bahasa Inggrisnya “take and
give”. Kalau ini masih ada curiga. Artinya, kita tidak bersedia memberi jika
belum menerima lebih dulu. Seperti orang yang ingin mendapatkan tebusan
sandera. Penyandera baru melepaskan sanderanya bila ia sudah menerima tebusan
yang dituntutnya. Orang beragama bukanlah penyandera. Masing-masing diminta
untuk memberi.
Dari asas saling memberi ini
lahirlah sikap saling menolong bagi orang-orang yang beriman. Lho, apa bisa
saling menolong bila ada yang kuat dan ada yang lemah, ada yang kaya dan ada
yang miskin. Tentu saja bisa! Dunia ini memang dicipta “dua warna”. Ada miskin,
ada kaya. Ada lemah, ada kuat. Yang satu memiliki kelebihan dari yang lain.
Kalau sama kuatnya, tak akan ada yang mau diperintah. Jika sama kayanya, tak
akan ada yang mau menjadi buruh atau pegawainya. Agar roda kehidupan berputar,
harus ada yang menjadi pasivis dan harus ada yang menjadi aktivis. Jika tak ada
yang mau menjadi perempuan, maka tamatlah kehidupan manusia di bumi ini.
Bagaimana jika perempuan semua [katakan teknik kloning sukses implementasinya]?
Apa yang terjadi? Perbuatan saling menolong dan melindungi akan lenyap.
Akhirnya, kehidupan manusia pun hancur!
Ada yang kuat dan ada yang lemah,
ada yang pandai dan ada yang bodoh. Hal ini dimaksudkan untuk saling
memanfaatkan atau mempergunakan. Jika tak ada yang lemah [posisinya], maka tak
ada yang mau menjadi buruh atau pegawai. Tak ada yang mau menjadi prajurit. Tak
ada yang mau menjadi murid. Tak ada yang mau menjadi tukang batu, gembala,
penjual kaki lima, sopir, dan tenaga kasar. Dinyatakan dalam QS 43:32sebagai
berikut.
43:32 Apakah mereka [orang-orang
kafir Qureisy itu] yang membagi-bagi rahmat Tuhan dikau? Kami-lah yang
mendistribusikan kehidupan di antara mereka dalam kehidupan di dunia ini. Kami
meninggikan derajat sebagian orang atas sebagian yang lainnya, supaya yang satu
bisa memerintah yang lain untuk membantunya. Namun demikian, rahmat Tuhan dikau
lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.
Jadi, jelas bahwa perbedaan derajat
itu dimaksudkan supaya manusia bisa bekerja sama dalam kehidupan di dunia ini.
Perbedaan itu tidak dimaksudkan untuk menghisap, atau memperbudak yang lain.
Yang kuat bukan untuk mengalahkan yang lemah. Yang kaya bukan untuk membuat
yang miskin tergantung kepadanya. Semua dimaksudkan untuk dapat saling
menolong, saling membantu.
Perhatikan kembali QS 5:2 di atas.
Semua manusia yang beriman [iman sejati, bukan hanya sebagai identitas]
diperintah oleh Tuhan untuk saling menolong dalam kebajikan dan ketakwaan. Yang
kaya menolong yang miskin dengan menciptakan lapangan kerja. Mereka
meningkatkan ketrampilannya agar bisa hidup layak. Yang miskin menolong yang
kaya dengan membantu mencapai target usahanya. Yang kuat menolong yang lemah
dengan memberikan perlindungan dan kenyamanan hidup mereka. Sedangkan yang
lemah menolong yang kuat dengan memberikan dukungan. Ya, sebenarnya setiap
orang bisa memberikan apa yang ia punya kepada yang lain. Saling memberi.
Akhirnya terciptalah kesejahteraan hidup bersama.
Untuk menyemaikan kasih-sayang,
orang-orang beriman diminta untuk tidak berbuat aniaya [berbuat melampaui
batas] terhadap orang-orang yang pernah menyakiti. Islam tidak menanam benih
balas-dendam. Mungkin kita tetap menyimpan kebencian terhadap golongan yang
pernah menyakiti kita. Namun kebencian ini tidak boleh mem-buat kita bertindak
aniaya terhadap yang kita benci. Kita harus tetap bertindak adil, fair,
terhadap mereka.
Jika kita mau menelaah hadis-hadis
Nabi, maka kita bisa ambil hikmahnya. Hikmah itu menyatakan: Orang yang kuat di
antaramu bukannya yang mampu menaklukkan orang lain, tetapi orang yang mampu
menahan diri untuk tidak melakukan balas dendam, meskipun kesempatan untuk itu ada. Orang yang kaya bukannya orang yang
berlimpah harta benda, tetapi orang yang tidak merasa kurang bila memberi.
Penutup ayat 5:2 di atas adalah
“Allah amat keras siksanya!”. Perlu dipahami bahwa Allah itu Maha Pengasih dan
Maha Penyayang. Dia bukanlah penyiksa. Tapi mengapa diperingatkan bahwa
siksa-Nya amat keras? Perlu diketahui bahwa Allah mencipta alam ini dengan
segala aturan mainnya. Dan orang yang menjaga dirinya di atas aturan permainan
itu disebut “orang yang bertakwa”. Dapat diumpamakan dengan orang yang berada
di jalan raya. Semua pihak harus mematuhi rambu dan marka yang ada di jalan
itu. Jika keluar dari rambu dan marka akan terjadi kecelakaan. Begitu juga bila
manusia tidak mau mematuhi aturan kehidupan di dunia ini. Ia bisa jatuh ke
dalam jurang, atau tabrakan. Malapetaka di alam ini sangat dahsyat! Inilah yang
diperingatkan oleh Tuhan, bahwa siksa-Nya sangat keras. Karena hakikat semuanya
ini adalah milik Tuhan. Jika keluar dari rambu-rambu dan marka kehidupan,
malapetaka yang datang pun sebenarnya berasal [dari aturan main] dari Tuhan.
Gandengan kasih-sayang dan lemah
lembut.
Jika kasih-sayang berkaitan dengan
sikap saling memberi. Maka lemah lembut lebih terkait dengan tata-cara
penyajiannya atau sikapnya. Dalam memberi pun harus disertai dengan kesantunan.
Bukan dengan cara yang kasar. Sebab pemberian pun jika dilakukan dengan cara
yang kasar, tampak merendahkan yang diberi, akan membuat yang diberi enggan
menerima.
Orang yang dalam posisi lemah, tentu
saja senang hatinya bila mendapat bantuan, pertolongan, atau pemberian dari
yang kuat. Tetapi tatkala pertolongan itu diberikan dengan cara yang menyakitkan,
dengan cara yang kasar, disertai dengan perkataan yang tidak enak didengar,
dengan membangkit-bangkit, maka orang yang diberi itu bisa bangkit
penolakannya, atau kalau toh menerima, terasa sakit hatinya. Arti pemberian itu
menjadi hilang. Dalam QS 2:263 disebutkan, “Perkataan yang baik dan pemberian
maaf itu lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang
menyakitkan perasaan si penerima. Sungguh Allah itu Maha Kaya dan Maha
Penyantun.” Nah, kesantunan pun tak
lepas dari kesabaran. Dan, kesabaran itu harus dikon-disikan dalam hidup ini.
Jika untuk “dekondisioning” kita lakukan dengan zikir jahar. Maka untuk
kondisioning [pengkondisian] kita lakukan dengan zikir kalbu. Membaca kalimat
thayyibah setiap waktu subuh. Ada kedisiplinan bangun setiap subuh. Zikir cukup
diucapkan di dalam hati!
Bagian ke-10
Sabar dan Kecerdasan
Seperti yang dijelaskan semula bahwa
“sabar” yang kita tuju dalam tasawuf bukan sifat sabar tetapi maqam, tingkat
atau stasiun sabar. Untuk masuk ke dalam maqam ini, kita sudah mendaki tiga
tangga sebelumnya, yaitu tangga takwa dasar, tobat dan wara’. Tiga tangga
sebelumnya untuk menghilangkan atau “dekondisioning” terhadap segala sifat yang
tercela. Sedangkan maqam sabar ini untuk mengkondisikan kepada segala sifat yang
terpuji, seperti keadilan, kasih-sayang dan kelembutan [diuraikan pada bagian
ke-9]. Dan berikutnya untuk membangun kecerdasan.
Sejak tahun 1990-an para pakar
psikologi Barat mencoba menggali hubungan antara sabar dan kecerdasan.
Akhirnya, ditemukanlah rumus kecerdasan baru, yang disebut ‘kecerdasan emosi’,
yang dipelopori oleh Daniel Goleman, seorang doktor Psikologi dari Havard
University yang bekerja pada The New York Time. Kecerdasan emosi [Emotional
Intelligence] menentukan potensi seseorang untuk mempelajari
ketrampilan-ketrampilan praktis yang didasarkan pada kesadaran diri, motivasi,
pengaturan diri, empati, dan kecakapan dalam membina hubungan dengan orang
lain. Artinya, meskipun seseorang telah memiliki IQ yang tinggi, tetapi bila
kecerdasan emosinya rendah, dia tetap akan mengalami hambatan dalam pergaulan
hidup [informal maupun formal (dalam bisnis, pekerjaan, dan politik)].
Kecerdasan otak bekerja pada bagian
otak kiri, yang bersifat sadar, rasional dan logis [linear]. Jadi, kerjanya otak
kiri ini matematis, berpikir seri. Tentu saja tidaklah keliru berpikir
matematis. Fungsi otak kiri ini untuk mengerjakan segala tugas yang bersifat
rasional dan jelas. Seperti komputer, ia diperintah untuk melakukan pekerjaan
yang jelas, yang dikenal programnya. Ia sekadar memproses! Keunggulan dari
penggunaan otak kiri adalah akurat, tepat, dan dapat dipercaya. Karena yang
dapat dikerjakan oleh otak kiri adalah semua objek yang dapat diperbandingkan,
dianalisis, dan dikalkulasi secara matematis. Ia selalu dalam keadaan on atau
off.
Kecerdasan emosi bekerja pada otak
kanan. Ia membangkitkan potensi dan mengolah informasi bawah-sadar
[subconscious], emosi dan intuisi. Berpikir dengan otak kanan bersifat
asosiatif. Sebuah pemikiran yang mengaitkan antara emosi dan gejala tubuh,
emosi dan lingkungannya. Dengan berpikir asosiatif memungkinkan kita mengenali
pola-pola [wajah, suara, aroma, dan ketrampilan gerak]. Orang yang menyetir
kendaraan harus memberdayakan kecerdasan emosinya. Dengan kecerdasan emosinya seseorang
dapat mengubah transmisi, menginjak kopling, menambah gas, dan menginjak rem
tanpa harus menggunakan pikiran rasional.
Para CEO bekerja dengan menggunakan
kecerdasan emosi. Para panglima perang bekerja dengan kecerdasan emosinya. Dan,
dari hasil penelitian, sebagian besar orang yang yang IQ-nya tinggi tidak
sukses dalam hidupnya. Kebanyakan mereka yang berhasil mengendalikan perusahaan
besar adalah mereka yang EQ-nya lebih tinggi. Tentu saja mereka yang menjadi
CEO perusahaan besar itu IQ-nya juga tinggi, tetapi EQ-nya yang lebih menonjol.
Para pemimpin yang karismatik adalah mereka yang dikaruniai EQ yang tinggi.
Lalu, apa hubungannya EQ dengan
kesabaran? Ya, orang yang EQ-nya tinggi adalah orang yang mampu mengendalikan
emosinya, alias sabar. Juga sebaliknya! Orang yang sabar memiliki kemampuan
untuk mengendalikan emosinya. Jika IQ dan EQ diinteraksikan dan diintegrasikan,
akan lahir kecerdasan yang lebih tinggi dari masing-masing kecerdasan yang ada,
IQ saja atau EQ saja.
Dalam Al Quran surat ke-103 [surat
yang turun pada tahun pertama kenabian], merupakan landasan bagi
pengintegrasian kecerdasan otak, emosi, dan spiritual [untuk kecerdasan
spiritual akan dibahas pada kajian lebih lanjut]. Marilah kita simak surat yang
pendek ini.
1. Demi waktu asar.
2. Sesungguhnya manusia itu
benar-benar dalam kerugian.
3. Kecuali orang-orang yang beriman
dan bertindak saleh, saling ber-wasiat untuk menempuh hidup yang hak [hidup di
jalan yang benar] dan saling berwasiat untuk hidup sabar.
Sejenak kita mengingat kembali
kepada pelajaran tafsir surat ini yang telah saya berikan. Tuhan bersumpah
dengan menggunakan waktu asar. Kata ‘ashara mempunyai arti memeras. Pada saat
asar itulah, pada waktu itu, manusia berharap memperoleh nafkah hidupnya atau
rezeki yang dikais sejak pagi. Namun demikian, manusia tetap disebut dalam
kondisi berisiko [rugi].
Yang tidak dalam posisi rugi adalah
mereka yang beriman dan beramal saleh. Iman dan amal saleh [imas] pada
surat-surat berikutnya, dapat dikatakan, selalu bergandengan. Ini tidak berarti
pada ayat-ayat berikutnya tidak diperlukan hidup yang hak dan hidup sabar.
Kedua jenis tindakan ini bersifat implisit pada imas. Sebagai gantinya,
dinyatakan secara eksplisit kata sabar dan Allah beserta orang-orang yang sabar
[Inna l-Laha ma-‘a sh-shabir?n] di empat ayat [2:153, 249, 3:146, 8:46 dan66].
Jadi, tegas sekali bahwa Allah yang mem-‘back up’ orang-orang yang sabar.
Itulah sebabnya sabar disebut sebagai maqam, posisi, spiritual.
Seperti yang telah dijelaskan di
bagian depan pelajaran tasawuf, bahwa iman itu bukan sekadar percaya. Banyak
orang yang salah tafsir bahwa iman itu hanya sekadar percaya. Kalau sekadar
percaya maka imannya orang dewasa sama dengan anak kecil [bahkan imannya anak
balita]. Iman membutuhkan pengetahuan. Dan iman pada tingkat yang lebih tinggi
membutuhkan pengalaman [ainul yaqin] dan selanjutnya meningkat pada iman
sebagai realita hidup [haqqul yaqin]. Nah, pengetahuan harus ditimba dengan
menggunakan rasio, menempuh hidup rasional, agar kita tidak melenceng dari
objektivitas kehidupan. Untuk mempertebal keimanan di tingkat ilmu ini, manusia
diseru untuk menggunakan ‘otaknya’
[afala ta‘qilun, la-‘allakum ta‘qilun]. Karena itu keliru berat bila iman tidak
menggunakan logika sama sekali, kemudian dengan mudah disuruh percaya dan rela
berbaiat.
Amal saleh tidak cukup hanya dengan
menggunakan kesadaran, rasio dan logika. Amal saleh memerlukan ketrampilan
praktis agar bisa hidup produktif. Ketrampilan harus dilatih! Dan pelatihan
memerlukan kedisiplinan dan kesabaran. Dalam berlatih dan bekerja, manusia
harus mampu mengendalikan emosinya. Dengan emosi yang rendah [EQ-nya tinggi]
seseorang dapat membangkitkan potensi dirinya. Kemampuan mengendalikan emosi
dengan cantik, akan membuat seseorang mampu membangun komunikasi yang baik
pula.
Agar tidak terjebak kerugian, maka
harus ada upaya ‘saling berwasiat’ untuk hidup yang benar. Pada tindakan ini,
sebenarnya sudah melibatkan kecerdasan yang lainnya, yaitu kecerdasan spiritual
[spiritual quotient]. Meskipun harus memberdayakan kecerdasan spiritual, tetapi
semua tindakan tadi harus diikat dengan kesabaran. Dan di balik kesabaran
itulah berdiri tegak kekuatan Allah. Dengan demikian, sabar merupakan landasan
bagi peningkatan kecerdasan. Dan, kecerdasan adalah kemampuan untuk memahami,
menalar, dan belajar beradaptasi terhadap situasi yang baru. Orang yang
memiliki EQ tinggi [tingkat kesabarannya tinggi] akan dengan mudah mengatasi
problema dalam kehidupan ini. Perlu
diperhatikan kembali, berwasiat tidaklah sama dengan berpesan. Saling
ber-wasiat tidak sama degan saling berpesan. Berwasiat berarti ada tindakan
untuk memberikan wasiat. Dalam saling berwasiat ada rasa saling memiliki! Dalam
hidup bersama setiap orang harus saling menjaga kebenaran dan kesabaran. Artinya
jika kita berbuat benar, jujur, adil, maka orang lain pun harus demikian. Bukan
yang satu antre dan yang lain menyerobot, yang satu jujur dan yang lain mereka
yasa. Kalau yang satu jujur dan adil dan yang bohong dan aniaya, maka hal ini
akan menyebabkan yang jujur dan adil tadi kehilangan kesabaran. Akhirnya,
kacau-balau lagi. Karena itu kebenaran [kejujuran dan keadilan] dan kesabaran
saling diwasiatkan.
Imas lebih melibatkan kehidupan
pribadi. Tetapi kebenaran dan kesabaran terkait dengan lingkungannya. Karena
itu harus dijaga saling berwasiat untuk hidup benar dan hidup sabar. Dalam
menegakkan kebenaran dan kesabaran, perilaku orang-orang lain di sekitar kita
sangat mempengaruhi upaya kita. Karena itu, penegakan kebenaran dan kesabaran
dilakukan secara bersama atau berjamaah. Coba bayangkan, jika kita ini
sungguh-sungguh hidup sabar, disiplin dalam menahan emosi, tetapi orang-orang
di sekeliling kita acuh-tak-acuh, tidak mempedulikan kita, bahkan malah
menggoda dan mengganggu kehidupan kita. Apa jadinya?
“Mahaththu l-khubr”
Di bagian ke-9 telah dijelaskan
bahwa sabar berarti memenuhi proses, prosedur dan aturan main yang benar.
Namun, orang tidak akan sabar untuk memenuhi proses, prosedur dan aturan
mainnya bila ia tidak memiliki pengetahuan [yang ditopang peng-alaman] tentang
sesuatu yang akan dikerjakannya. Wilayah atau pos dari rencana atau desain
tentang sesuatu ini disebut “mahathth al-khubr”. Seseorang mampu bersabar dalam
sesuatu hal bila dia memahami ‘mahathth al-khubr’-nya.
Misalnya, kita mau menonton musik
jazz. Katakanlah pertunjukan musik itu dua jam. Kita tak akan sabar untuk
menonton dan mendengarkan musik itu bila kita tak memahami desain musik itu.
Mungkin sepuluh menit saja akan terasa lama, dan kita ingin meninggalkannya.
Pertunjukan sepak bola tak akan menarik seseorang bila orang itu tidak mengerti
desain, bangunan rancangan dari sepak bola tersebut. Dia pasti tak akan sabar
jika disuruh menonton sepak bola. Jadi, kalau kita ingin sabar dalam berbuat
atau bertindak [bekerja, bertugas, menonton, mendengar dll], kita harus
memahami mahathth al-khubr-nya. Sehingga kita bisa mengikuti apa yang sedang
terjadi, kita mampu meneruskan pekerjaan yang kita emban. Nah, karena itu,
sebelum kita berbuat, bertindak, mengerjakan sesuatu, maka kita harus mengerti
lebih dahulu ‘layout’, desain, rancangan atau “mahathth al-khubr”-nya sesuatu
yang akan kita lakukan.
Di dalam Surat Al Kahfi/18: 68,
Khidir mempertanyakan kesanggupan Nabi Musa dalam menyertai perjalanan
spiritual Khidir.
“Wa kaifa tasbiru ‘ala ma lam tukhith bihi
khubra”
“Dan bagaimana engkau mampu bersabar terhadap
apa yang tidak engkau ketahui [disertai pengalaman]?”
Jadi, seorang Rasul Allah pun masih
dipertanyakan kesabarannya dalam menuntut suatu ilmu bila dia tidak memahami
layout dan rancangan sesuatu yang dituntutnya. Sifat dari manusia bahwa ia tak
akan sabar terhadap sesuatu yang tidak dimengertinya. Karena itu sebelum
memunaikan sesuatu, kita harus memahami rancang-bangunnya, layoutnya, atau
mahath al-khubrinya.
Landasan bagi pertolongan
Dalam hidup ini seringkali terjadi
keberadaan kita ini pada situasi yang lemah. Kita dalam posisi sebagai manusia
kalahan. Sebagai manusia yang terekploitasi. Bila kita tidak dapat mengatasi
situasi ini maka hal ini bisa menyebabkan kita ‘stres’. Tak perduli dengan
jabatan kita. Kalau tekanan dari luar diri kita ini lebih kuat daripada energi
yang kita punyai, maka kita dalam posisi tertekan. Bila kita tak mampu menahan
tekanan itu, ya timbullah stres.
Jadi, stres itu bisa timbul karena
tekanan dari pekerjaan, atasan, tetangga, rumah tangga, hubungan bisnis,
kelompok/golongan lain dan sebagainya. Manusia berusaha menjauhi konflik atau
pertikaian, karena konflik bisa membebani kehidupan. Manusia berusaha hidup
damai karena ia tidak ingin menumpuk permasalahan. Oleh karena manusia itu
berhubungan dengan manusia lain, maka sering permasalahan itu tidak dapat
dihindarkan. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, manusia berhubungan dengan
sesamanya. Meskipun kita sudah berusaha menahan diri, mungkin saja orang lain
tetap menekan kita. Kalau kita biarkan tekanan itu, boleh jadi semakin besar
tekanannya. Lalu, apa yang harus diperbuat?
Surat Al Baqarah/2: 150-155
memberikan latar belakang kehidupan bersama, satu kelompok menekan kelompok lainnya.
Karena itu, orang-orang beriman diberi landasan untuk menempuh hidup ini
seperti yang dinyatakan dalam 2:153, “Hai, orang-orang yang beriman, mintalah
pertolongan dengan cara sabar dan shalat [senantiasa berko-munikasi dengan
Tuhan]. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” Jadi, untuk
menangkis tekanan dari luar itu, kita harus membangun kesabaran. Ingat, sabar
tidak berarti tidak acuh terhadap tekanan. Tetapi, kita berusaha introspeksi
dan mawas diri. Kita coba memperhatikan kejadian demi kejadian di sekitar kita.
Sehingga akhirnya kita bisa memahami jaringan rancangan yang terjadi di
sekeliling kita. Lalu, kita lewati jaringan itu tanpa harus terperangkap. Kita
berkomunikasi dengan Tuhan. Akhirnya Tuhan sendiri yang mengajar kita, dan Tuhan
sendiri yang memberi petunjuk kita [lihat QS 2:282].
Tak ada Mahaguru ahli di dunia ini
kecuali Tuhan. Dan, pengajaran yang tepat hanya dari Dia sendiri datangnya.
Lalu, di mana peran guru-guru atau ulama? Mereka adalah orang-orang yang
membantu kita agar kita bisa memahami dasar-dasar praktik kehidupan. Mereka
hanyalah memberikan arah kemana kita harus melangkah. Dengan sabar, akhirnya
Tuhan sendiri yang menggandeng tangan dan menuntun kita. Dia sendiri yang
memberikan jalan sehingga kita tahu kemana kita melanjutkan perjalanan dalam
hidup ini. Inna l-Laha ma-‘a sh-shabirin, Tuhan beserta orang-orang yang sabar.
Sabar adalah landasan bagi pertolongan dari Tuhan!
Orang yang sabar tahan godaan
Gebyarnya dunia ini telah menggoda
manusia. Berapa banyak akhirnya manusia yang terperangkap godaan dalam menempuh
perjalanan hidup ini. Jangankan individu, manusia secara kolektif pun sering
tidak mampu menahan godaan. Manusia tidak lagi sabar untuk bisa menikmati
gebyarnya dunia ini. Sehingga banyak manusia yang tidak memperhatikan lagi
proses, prosedur dan aturan main dalam meraih kenikmatan dalam kehidupan ini.
Jalan pintas yang membahayakan hidupnya pun dilaluinya.
Marilah kita menengok perjalanan
bangsa Indonesia ini. Mula-mula kita ingin bebas dari penjajahan. Lalu, kita
berusaha mengisi kemerdekaan. Yang pertama kita isi dengan persatuan bangsa dan
yang kedua kita isi dengan pembangunan ekonomi. Kita tidak sabar! Kita ingin
cepat-cepat berhasil dalam pembangunan. Kita lupakan proses, prosedur dan
aturan main yang benar untuk meraih kesuksesan. Kita hutang sebanyak-banyaknya
tanpa mengindahkan lagi perangkap hutang. Akhirnya, hutangnya sundul-langit.
Bukan tinggal landas yang kita lalui, tapi
‘tinggal bundas’ [Jawa,ungkapan untuk menyatakan kepala yang tak rata
lagi]. Elite bangsa ini tidak tahan menghadapi godaan dari negara-negara maju.
Umpan yang berupa hutang dilahapnya. Kita tidak mau memahami ‘grand design’,
rancangan raksasa sebuah hutang.
Hutang, pinjaman, bantuan dan
pemberian dari negara-negara maju adalah godaan bagi negara-negara berkembang,
atau terbelakang. Memang hutang adalah sarana untuk membangun demi kemajuan.
Tetapi hutang bukan syarat pokok, melainkan syarat untuk melancarkan
pembangunan. Ya, hutang adalah syarat pelancar! Ia hanyalah pelumas bagi sebuah
roda. Karena itu, kita tidak boleh menjadikannya bagian yang terpenting bagi
pembangunan bangsa atau rumah tangga. Dengan sabar seseorang dapat menangkis
godaan untuk menikmati sebuah umpan. Untuk masalah ini saya cuplikkan kisah
tentara Thalut dalam perjalanannya untuk bertempur melawan tentara Jalut [QS
2:249].
Maka tatkala Thalut dan orang-orang
beriman menyeberangi sungai itu, berkatalah orang-orang yang telah minum banyak
air sungai itu: “Pada hari ini tak ada kemampuan kami untuk melawan Jalut dan
tentaranya.” Orang-orang yang meyakini bahwa mereka bertemu Allah, berkata:
“Berapa banyak golongan yang sedikit dapat menga-lahkan golongan yang lebih
besar dengan izin Allah?” Dan sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang
sabar.
Dalam kisah di atas, Thalut memimpin
tentaranya untuk melawan tentara Jalut yang telah mengusir mereka dari negeri
mereka. Dalam pasukan itu ikut serta Daud. Dalam strategi melawan Jalut, Thalut
mengajak pasukannya menyeberangi sebuah sungai. Thalut wanti-wanti agar tidak
minum banyak-banyak air sungai itu, kecuali sesaukan tangan saja [ya, sebagai
tamba (semacam obat penenang) dalam perjalanan]. Bahkan Thalut mengancam
tentaranya, yaitu tidak mau mengakui sebagai golongannya bagi yang banyak minur
air sungai itu.
Bagaimana kenyataannya? Banyak
tentaranya yang tidak sabar, alias tidak tahan ketika kerongkongan terasa
kering. Thalut mengizinkan minum, tetapi hanya sesaukan saja, tak lebih. Tapi,
sebagian besar tentaranya tergoda untuk minum banyak-banyak. Hormon serotonin
dan noradrenalinnya bertambah. Sehingga rasa puas menyelimuti seluruh tubuhnya.
Ada rasa nikmat! Nah, tentara [apalagi orang biasa] yang telah merasa nikmat
ini merasa tak sanggup lagi melawan tentara Jalut. Mereka merasa takut untuk
melawan tentara Jalut yang lebih besar itu. Tentara Thalut keder!
Tetapi, sebagian kecil tentara
Thalut yang patuh [termasuk Daud] tetap bersemangat dalam menghadapi Jalut.
Produksi hormon androgennya yang meningkat. Sehingga agresivitasnya meningkat.
Karena tidak minum banyak, kecuali sesaukan yang hanya sebagai faktor sugesti,
maka hormon adrenalin dan noradrenalinnya tidak ber-tambah, sehingga detak
jantung pun tidak meningkat. Ya, mereka tenang menghadapi tentara Jalut. Mereka
berkeyakinan [mensugesti diri] bahwa sering tentara yang sedikit mampu
mengalahkan tentara yang banyak. Karena tidak merasa tergoda terhadap
ke-nyamanan sementara itu, tentara-tentara Thalut tenang dalam bertaktik
melawan Jalut. Bahkan Daud dengan katapelnya mampu membunuh Jalut. Nah, sikap tenang
dan mampu menahan godaan sementara, adalah wujud sikap sabar.
Bagian ke-11
Kesabaran adalah landasan hidup yang
kondusif bagi tumbuhnya sifat adil, kasih-sayang, lembut. Kesabaran adalah
wahana yang baik untuk membangkitkan kecerdasan. Kesabaran juga merupakan
sarana untuk meminta pertolongan, atau cara untuk menolong diri-sendiri [self
assistance]. Dan ia juga merupakan benteng yang tangguh untuk menahan berbagai
macam godaan yang bisa merontokkan diri.
Dalam hidup ini kita melihat orang yang lemah semangat. Orang yang
lemah semangat adalah orang yang lemah daya juangnya. Orang itu tak mau lagi
melanjutkan usahanya. Dia merasa tak akan bisa mendapatkan yang diinginkannya.
Kadang kita juga mengetahui orang yang berlemah hati, mudah menyerah dalam menghadapi
tantangan dalam hidup ini. Orang yang lemah hati tidak tabah dalam menghadapi
tekanan hidup. Lemah semangat tidak ada hubungannya dengan lemah hati. Tetapi,
keduanya bisa menyatu pada diri seseorang. Nah, sabar adalah oposisi dari kedua
sifat tersebut.
Jadi, orang yang memiliki kesabaran
yang tinggi, adalah orang yang tidak lemah semangat dan tidak pula berlemah
hati. Dengan kata lain, orang yang sabar adalah orang optimistik. Dia yakin apa
yang sudah direncanakannya dengan matang itu akan diperoleh hasilnya. Orang
yang sabar adalah orang yang telah menyiapkan pekerjaannya dengan baik. Prinsip
manajemen, seperti perencanaan, pengorganisasian, aksi dan pengendalian
dilakukan dengan baik. Tak ada alasan untuk lemah hati maupun lemah semangat.
Usaha lahiriah ditopangnya dengan doa: Ya Tuhan, teguhkan hati kami dan jadikan
kami sabar dalam menghadapinya.
Ya, tapi itu kan mudah diomongkan!
Lha, kenyataannya kan sulit dilakukan. Mari kita lihat lagi landasan untuk
sampai di stasiun sabar. Bukankah kita telah melewati stasiun takwa dasar
[berupaya meninggalkan perilaku hidup yang tak benar], stasiun tobat [kembali
ke hal-hal yang benar], dan wara’ [sengaja memilih sesuatu yang benar]. Pada
stasiun yang pertama itu, kita sudah berusaha meninggalkan hal-hal yang tak
benar. Umumnya kita bisa lulus distasiun ini. Wujudnya, ya, kita mencari nafkah
secara halal ini. Mungkin saja ada kesalahan dan keburukan yang kita lakukan,
tapi itu bukan merupakan ‘cap’ bagi kehidupan kita umumnya! Pada umumnya,
manusia itu berusaha menjaga keselamatan hidupnya. Mereka berada di landasan
ketakwaan! Kemudian, sebagian dari manusia di stasiun pertama ini melanjutkan
perjalanannya ke stasiun tobat. Satu langkah lebih jauh.
Pada stasiun tobat, orang-orang
berusaha hidup amar ma‘ruf nahi munkar. Hidup untuk memenuhi apa-apa yang
dipandang baik di lingkungan hidupnya. Hidup menahan diri dari segala perbuatan
yang ditolak masyarakat. Pada tahap ini subjektivitas masih ikut berperanan.
Artinya, kemakrufan itu masih dipengaruhi oleh golongan atau kelompoknya. Di
tahap ini kita belum mampu membebaskan diri dari tekanan atau belenggu
kelompok. Nurani kita mengatakan bahwa ini sebetulnya tidak benar, tetapi kita
tidak mampu keluar dari jeratnya. Kita mengetahui bahwa kolusi itu mungkar, tapi
kita tidak mampu membebaskannya. Kita memang kembali ke jalan yang benar.
Tetapi, kotoran masih juga tersangkut. Dalam bahasa syariat mereka sudah tidak
mau berbuat kesalahan yang sama, tapi mungkin berbuat kesalahan yang lain. Yang
ini sudah mampu dihindari, tapi yang itu masih berat. Inilah stasiun tobat!
Sebagian orang yang ada distasiun
tobat ini melanjutkan perjalanannya ke stasiun wara’. Di stasiun ini
orang-orang betul-betul memilih sesuatu yang benar saja. Mereka melihat mana
warna yang hitam, putih dan yang abu-abu. Mereka lalui yang warnanya putih
saja. Yang hitam jelas ditinggalkan. Bahkan yang abu-abu pun ditinggalkannya.
Memang berat perjalanan di tahap ini! Ini tidak berarti orang yang sudah berada
pada maqam wara’ ini tidak punya kesalahan. Ya, kesalahan mungkin tetap
terjadi, tetapi itu bukan karena pilihannya. Ia terpeleset!
Nah, ketika orang sudah bisa
memasuki stasiun sabar, maka ia berusaha meraih sifat-sifat yang terpuji. Di
dalam batinnya tumbuh rasa keadilan, senantiasa ingin ‘fair’. Ia tak ingin
mendominasi kehidupan orang lain. Ia berbagi kasih. Ia berusaha lembut dalam
pergaulan. Jika dalam tangga sebelumnya orang bergulat dengan sikap
untung-rugi, maka dalam tangga sabar ia harus optimis untung. Ia yakin dapat
keberuntungan bila ia mampu menahan godaan. Ia yakin dapat meraih keberuntungan
[bukan keun-tungan lho!], bila semuanya dipersiapkan dengan matang. Ia jalani
proses, prosedur, dan aturan-aturannya dengan benar. Karena memahami proses,
prosedur dan aturan-atauran yang ada itu ia tak mengalami lemah semangat atau
lemah hati. Kalau gagal, tidak berarti tamat perjuangannya. Sikap optimistik
adalah bagian dari hidupnya.
Siapakah mereka yang tidak patah
semangat, tidak lemah hati dan tidak berbudi rendah itu? Kalau zaman dulu,
mereka itu adalah orang-orang yang memahami ketuhan-an dan menyertai para nabi
dalam perjuangannya.
3:146 Dan berapa banyak nabi yang
bertempur, yang disertai banyak ‘ribbi’. Mereka tak berlemah hati terhadap apa
yang mereka di jalan Allah, dan mereka pun tak lemah semangat mereka, dan tidak
pula rendah budinya. Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.
Jika kita mau membaca satu ayat
sebelumnya, di situ kita membaca pernyataan Tuhan. Di situ dinyatakan, “Dan
sesuatu yang berjiwa tak akan mati kecuali dengan izin Allah, sebagai ketetapan
yang telah ditentukan. Dan barangsiapa menghendaki ganjaran dunia, Kami
memberikan kepadanya, dan yang menghendaki ganjaran akhirat niscaya Kami
berikan kepadanya. Dan Kami akan mengganjar mereka yang bersyukur.” Untuk menopang keteguhan hati kita, agar kita
dapat bersabar, kita harus meyakini bahwa semua yang bernyawa pasti mati. Semua
yang bernyawa pasti mati! Ini landasan kita. Kita resapkan dulu ke dalam batin
kita.
Ternyata, makhluk yang bernafas itu
mati dengan izin Tuhan. Masih ingat kan arti kata “izin Tuhan”. Kata ini tidak
bermakna seperti ‘kita mengizinkan’. Kata izin yang kita pergunakan sebenarnya
mengandung ‘sikap otoriter kita’ kepada yang kita izini. Izin Tuhan tidak
bermakna demikian. Dalam izin Tuhan terkandung “kitaban mu-ajjala” yaitu hukum
alam yang telah ditetapkan-Nya. Suatu hukum yang objektif dan rasional. Jadi,
bila ada orang yang ditusuk pisau [dan energi yang disertakan pada pisau tusuk
itu lebih besar daripada orang yang ditusuk] maka tertusuklah orang itu. Lho,
kita kan menyaksikan di tv bahwa ada orang ditusuk pisau tidak mempan! Tidak
mempan karena energi pada pisau itu lebih sedikit daripada yang ditusuk. Dalam
aras objektif, semua itu hanya permainan energi. Tak perlu heran!
Ayat 145 ini perlu diingat-ingat.
Yang pertama, Allah menggantikan kata buat diri-Nya dengan ‘Kami’. Sebagaimana
yang telah saya jelaskan, kata ‘Kami’ berarti Allah melibatkan atau menyertakan
ciptaan-Nya untuk terwujudnya suatu kejadian. Karena itu, dalam menempuh kehidupan
ini kita juga harus memperhatikan kehadiran objek-objek di sekitar kita. Karena
objek-objek itu bisa menjadi sarana atau wahana bagi kita dalam merealisasikan
tujuan kita. Dan apa gongnya ayat tersebut? Gongnya adalah “barangsiapa
menghendaki ganjaran [dunia atau akhirat], Kami berikan kepada dia yang
menghendaki.” Tegas sekali bahwa Tuhan tidak berbuat sewenang-wenang. Setiap
kali ada ayat “Tuhan menghendaki”, artinya kehendak-Nya itu diberikan kepada
orang yang menghendaki. Karena itu, penutup ayat 145 adalah “Kami mengganjar
orang-orang yang bersyukur”, yaitu orang yang telah memberikan nilai tambah.
Dengan memperhatikan ayat 3:145
tersebut, kita mengetahui bahwa kesabaran itu merupakan usaha. Kesabaran bukan
semata-mata diberikan sebagai takdir, taken for granted. Ada sejumlah energi
yang didepositokan untuk mewujudkan kesabaran. Dan berikutnya orang yang telah
mendepositokan energinya untuk kesabaran itu memperoleh pokok dan interesnya.
Kloplah pemahaman “Allah beserta orang-orang yang sabar”. Inilah hukum Ilahi
yang digelar di alam ini.
Pada ayat 146 disebutkan bahwa
banyak nabi yang bertempur yang disertai para “ribbi”. Kata ‘ribbi’ ini biasa
diterjemahkan dengan ‘orang-orang yang menyembah Tuhan’. Tentu saja terjemahan
demikian ini lemah. Terjemahan ini dapat diartikan, orang-orang yang bertempur
melawan para nabi bukanlah orang yang menyembah Tuhan. Orang-orang yang bersama
nabi pasti orang yang menyembah Tuhan. Nyatanya tidak demikian! Di era Nabi
Saw, orang-orang kafir yang mengikat perjanjian damai bersama Nabi, bertempur
bersama Nabi. Dan, sekarang ini pun bisa kita saksikan bahwa sangat banyak
manusia penyembah Tuhan yang lemah hatinya. Jangankan untuk bertempur melawan
musuh fisiknya, untuk menghadapi tekanan hidupnya sendiri saja tidak berdaya,
sehingga hidup terombang-ambing.
Lalu, apa arti kata ribbi? Ribbi
adalah mereka yang memahami makna ketuhanan. Atau, ribbi adalah manusia yang
saleh [tindakannya bermanfaat/berguna bagi diri dan lingkungannya]. Orang-orang
demikianlah yang menyertai para nabi dalam pertempuran di zamanya. Karena
mereka faham betul asas manfaat yang mereka lakukan, maka mereka itu tak
gentar, tak lemah hati, tak lemah semangat dalam menghadapi pertem-puran. Para
ribbi ini pun tidak berbudi rendah [lari dari pertempuran].
Para ribbi inilah yang di ayat 3:146
itu dinamakan orang-orang yang sabar. Bukan semua pengikut nabi yang menyertai
dalam pertempuran disebut ribbi. Tetapi para nabi dalam pertempuran disertai
banyak ribbi. Orang-orang ini tak gentar, tidak lemah hati, dan tidak pengecut
dalam pertempuran. Sifat yang dimiliki para ribbi ini adalah sifat orang-orang
yang sabar. Dan ayat ini turun setelah perang Uhud, di mana pada waktu itu
pasukan Nabi mengalami kekalahan karena ada kelompok pasukan yang terpancing
harta rampasan perang. Jadi, ayat ini memperkokoh perjuangan para ribbi pada
perang-perang yang terjadi sesudahnya.
Bila kita perhatikan ayat 3:148,
maka orang-orang yang sabar ini juga disebut sebagai orang-orang yang berbuat
kebajikan [muhsinin]. Dan di ayat ini dinyatakan bahwa Tuhan mencintai
orang-orang muhsin ini. Dan, muhsin berasal dari kata yang sama dengan ‘ihsan’.
Maka orang-orang muhsin adalah orang-orang yang senantiasa sadar terhadap
dirinya, yang dalam bahasa hadis, adalah orang yang beribadah dan merasa
ibadahnya itu senantiasa dalam pengawasan Tuhan. Jika ditarik suatu garis dari
ayat 145 hingga 148, dapat disimpulkan bahwa orang yang sabar adalah orang yang
bersyukur, dan karena itu dia juga disebut orang yang berbuat kebajikan. Jadi,
jelas bahwa orang yang sabar bukan orang yang pasif. Bukan orang yang sekadar
menerima suatu tekanan atau ketidakberdayaan.
Seperti yang telah dijelaskan,
bersyukur tidak berarti mengucapkan ‘terima kasih’ kepada Tuhan. Bersyukur
merupakan suatu aktivitas kebajikan. Orang yang bersyukur adalah orang yang
menciptakan nilai tambah dalam kehidupan di bumi ini. Apa yang dimaksud dengan
nilai tambah [added value]? Bertambahnya kegunaan atas sesuatu! Bila semula
besi hanya digunakan sebagai alat semacam pisau, linggis, dan cangkul, maka
nilainya akan bertambah bila besi itu dijadikan seterika listrik, kerangka
mobil dan sejenisnya. Nah, sebenarnya mereka yang menemukan mesin, motor,
mobil, pesawat udara, komputer adalah orang-orang yang bersyukur. Dan penemuan itu
terjadi berkat kesabaran mereka. Maka, marilah kita ingat QS 14:7, “La-in
syakartum la-azidan nakum, wa la-in kafartum inna ‘adzabi lasyadid”, jika kamu
bersyukur pasti Kami tambah kamu tetapi bila kamu kufur [menutupi kebenaran]
maka sesungguhnya siksa-Ku amat pedih. Dengan membuat kipas-angin kita
merasakan kenyamanannya, dan bila kita membuat AC maka lebih nyaman lagi.
Tetapi bila kita tidak kreatif, tidak mau menciptakan kipas-angin atau AC, maka
sungguh gerah rasanya. Menciptakan AC hanyalah salah satu bentuk syukur.
Bersabar = patuh kepada Allah dan
Rasul + tidak bertikai
Pada Surat Al Anfal/8:46 ditegaskan
bahwa orang yang sabar adalah orang yang patuh kepada Allah dan Rasul, dan
tidak bertikai dengan teman seiring. Patuh kepada Allah dan rasul hendaknya
tidak diturunkan ‘grade’-nya menjadi mematuhi Al Quran dan Hadis. Ingat Allah
bukanlah Al Quran, begitu pula sebaliknya. Allah adalah Tuhan pencipta alam
semesta. Sedangkan Al Quran adalah salah satu Kitab Suci-Nya. Patuh kepada
Allah adalah mematuhi Al Haqq, Kebenaran. Kebenaran yang bisa kita saksikan di
ufuk langit, di bumi, di kitab suci, dan pada diri kita sendiri.
Kebenaran di ufuk langit atau di
angkasa adalah kejadian awan, angin, hujan, kilat, petir, cahaya, dan purnama.
Kita patuhi hukum-hukum-Nya sehingga kita selalu dalam lindungan-Nya. Begitu
pula hukum-hukum yang ada di bumi dan diri kita. Segala hukum adalah
kepunyaan-Nya. Karena itu mematuhi-Nya berarti mengikuti hukum-hukum-Nya [His
Law] yang ditetapkan di alam raya ini. Allah jangan dijadikan sesembahan yang
abstrak. Kalau Allah kita abstrakkan maka itu Allah produk pikiran kita
sendiri. Allah Maha Halus [wa huwa lathif], maka kita dekati dengan kelembutan,
yaitu perilaku yang lembut, penuh kasih. Dan kita latih batin kita dengan zikir
kepada-Nya. Sekarang ini sebagian besar orang-orang Islam mematuhi Allah hanya
dengan sekadar mematuhi teks halal dan haram, dan itu yang didiskripsikan 1000
tahun yang lalu. Sehingga ‘narkoba’ yang sebenarnya lebih haram dari sekadar
kecampuran daging babi atau minuman beralkohol, tumbuh merajalela di banyak
negeri yang penduduknya mayoritas Islam. Hal ini terjadi karena mematuhi Tuhan
hanya diwujudkan dengan ibadah mahdhah [ritual] dan mengikuti teks-teks halal
haram.
Dalam mematuhi Rasul pun menjadi
abstrak. Secara fisikal Rasul sudah tidak hadir di tengah-tengah umat manusia
sekarang ini [tentu saja semenjak th 632 M]. Mematuhi Rasul tidak berarti
mematuhi Hadis. Kalau mematuhi beliau berarti mematuhi Hadis, lha bagaimana
dengan generasi sebelum Hadis ditulis!
Bukhari saja baru dilahirkan pada 196 H, artinya dia baru hadir di bumi ini
setelah 186 tahun [seratus delapan puluh enam tahun] sepeninggal Rasul Saw.
Lalu buat apa Hadis? Tentu saja digunakan sebagai alat atau referensi untuk
memahami Al Quran.
Lalu bagaimana caranya mematuhi
Rasul itu? Ingat, mematuhi tidak sama dengan ‘meniru’. Mematuhi beliau tidak
sama dengan meniru bentuk lahiriah beliau, seperti anak-anak meniru perilaku
orang dewasa. Peniruan demikian adalah peniruan kuantitatif yaitu berapa banyak
bentuk lahiriah yang kita tiru. Jika demikian, rendah betul kualitas umat.
Perilaku anak kecil dan orang dewasa tidak ada bedanya, asal sudah bersorban,
bergamis, berjanggut, rambut dibiarkan sampai bahu, makan selalu bersama-sama
dalam satu tampah dan hanya pakai jari [bagaimana kalau makan bubur ya?] dan
lain sebagainya. Mematuhi atau mengikuti Rasul adalah meneladani beliau. Kita
teladani, bagaimana beliau bisa bersabar menghadapi tekanan lawan, bagaimana
beliau mampu menegakkan keadilan, bagaimana cara beliau memecahkan suatu
persoalan, bagaimana beliau bersifat lembut tapi tegas, bagaimana beliau bisa
ramah tapi tak dilecehkan, bagaimana beliau menegakkan hukum dan lain-lain.
Bagaimana bisa meneladani beliau? Tentu saja dengan pendidikan yang baik,
dengan meningkatkan kecerdasan [IQ, EQ dan SQ], dan dengan pematangan diri.
Dalam subtopik ini dinyatakan bahwa
sabar merupakan gabungan kepatuhan kepada Allah dan Rasul, dan tidak bertikai.
Tidak bertikai, tidak berebut kewenangan, tidak berebut kekuasaan, tidak mau
menang-menangan adalah cara untuk membangun kesabaran. Pernyataan patuh kepada
Allah dan Rasul belum cukup, bila kita masih bertikai. Pertikaian akan
memporak-porandakan keutuhan kita. Akhirnya kita menjadi gentar dalam menghadapi
tekanan hidup, dan lemah posisi kita. Di bawah ini saya kutipkan sebuah ayat QS
8:46. Ayat ini ada di dalam Surat Al Anfal, surat yang membahas rampasan
perang. Sebagian ayat diturunkan setelah perang Badar, dan yang lain setelah
perang Uhud [terjadi 1 tahun kemudian dari perang Badar].
8:46 Wa athi-‘u l-laha wa rasulahu
wa la tanaza-‘u fatafsyalu wa tadz-haba rihukum washbiru inna l-laha ma-‘a
sh-shabirin.
Dan, patuhilah Allah dan Rasul-Nya
dan jangan berselisih [bertikai] agar kamu tidak lemah dan hilang kekuatanmu.
Bersabarlah! Sesungguhnya Tuhan menyertai orang-orang yang sabar.
Di dalam Al Quran perintah bersabar
itu selalu didahului dengan kalimat berita atau perintah. Dengan demikian kita
bisa memahami apa yang dimaksud dengan sabar. Misalnya, pada QS 3:146
pernyataan sabar didahului kalimat berita ‘mereka tak gentar, tak lemah
semangat, tak berbudi rendah. Sedangkan pada ayat barusan, pernyataan sabar
didahului kalimat perintah ‘taat kepada Allah dan Rasul, dan larangan
berselisih’. Jelas, bahwa sabar adalah aksi, bersifat aktif. Sabar bukan
pasifis atau bersifat pasif. Sabar adalah usaha, ada pengerahan tenaga. Sabar
bukan diam, membiarkan sesuatu menimpa pada dirinya. Sabar bukan kalah, tetapi
menang!
Allah itu Maha Sabar!
Sebagai penutup bahasan ‘sabar’
[yang akan datang tentang zuhud], saya ambilkan asma-ul husna yang ke-99, yaitu
“ash-shabur”. Ya, Allah itu Maha Sabar! Meskipun Dia itu Maha Kuasa, tetapi
untuk menciptakan bumi yang bisa kita tempati ini perlu waktu 4,5 milyar tahun.
Ternyata penciptaan itu bukan bersifat “sim-salabim”. Tuhan sabar dalam
menciptakan. Tuhan penuhi hukum-hukum ciptaan. Tuhan menciptakan semua ini
berlandaskan 5 prinsip [yang Dia tetapkan], yaitu matematika, fisika, kimia,
biologi, dan evolusi.
Dalam bahasa Al Quran dinyatakan
“al-ladzi khalaqa fasawwa wa l-ladzi qaddara fahada wa l-ladzi akhraja l-mar’a
faja-‘alahu ghutsa-an ahwa.” Dia yang menciptakan dan menyempurnakan [lahir
sebagai orok dan tumbuh dan berkembang hingga dewasa], Dia menetapkan kadar [potensi,
ukuran, dan hukum-hukum fisika dan kimia] pada ciptaan-Nya. Dia memberi
petunjuk kepada ciptaan-Nya yang biologis [sehingga makhluk biologis bisa
mempertahankan kehidupannya]. Lalu, Dia putuskan ikatan-ikatan kimia yang ada
sehingga makhluk hidup menjadi layu [tua renta] dan akhirnya punah [ghutsa-an
ahwa]. Dan dalam proses penciptaan di Surat ke-87, yaitu ayat 2 ?5 itu,
tumbuhlah dari masyarakat primitif menuju masyarakat madani. Berlaku hukum
evolusi di situ. Dari manusia yang politeis menjadi manusia yang monoteis.
Demikianlah hukum evolusi bekerja.
Jadi, pada akhirnya, orang yang
sabar adalah orang yang bekerja berdasarkan prinsip-prinsip yang telah
ditetapkan Tuhan. Demikian, pembahasan bab sabar yang telah saya uraikan dari
bab ke-8 kajian tasawuf ini.
Bagian ke-12
[Zuhud]
Kata zuhud seolah sudah berkonotasi
hidup anti-dunia. Hal ini terjadi karena pada masa penjajahan atau pergolakan,
banyak ulama yang mengasingkan diri di daerah terpencil. Ulama-ulama ini hidup
dengan para muridnya atau santrinya di daerah yang terpencil yang tidak
terjangkau penjajah atau terimbas pergolakan. Mereka memang menarik diri dari
kehidupan semacam itu.
Zuhud berasal dari kata ‘za-ha-da’,
artinya berpantang, meninggalkan, melepas-kan, menarik diri dari, atau meninggalkan
kesenangan duniawi. Karena itu zuhud juga diterjemahkan sebagai ‘asketik’. Kata
yang seakar kata dengan ‘zuhud’ ditemukan pada Surat Yusuf/12:20. Pada ayat ini
disebutkan bahwa rombongan kafilah menjual Yusuf [sebagai budak] dengan harga
yang murah. Kafilah itu dikatakan sebagai ‘zahidin’, yaitu orang-orang yang
tidak tertarik kepada Yusuf. Karena tidak tertarik, maka Yusuf dijual murah.
Jadi, zuhud adalah sikap tidak tertarik pada kehidupan dunia.
Zuhud adalah sebuah maqam, terminal,
stasiun atau posisi dalam tasawuf. Dari uraian di atas, jelas bahwa zuhud bukan
anti dunia. Zuhud juga bukan menarik diri dari kehidupan dunia. Juga tidak
berarti meninggalkan kesenangan duniawi. Seorang zahid, tetap membina rumah
tangga. Orang yang zuhud juga bekerja keras! Hanya saja dunia ini tidak
menarik, baginya. Lho, ada apa sampai tidak tertarik pada dunia? Karena mereka
tahu akan hakikat dunia ini. Mereka menyadari apa sih makna dunia dalam hidup
ini. Mereka tetap mengelola dunia ini sebaik-baiknya, karena manusia yang hidup
ini adalah bagian dari dunia. Tetapi orang yang zuhud tidak dikendalikan oleh
dunia. Justru dunia ini dikendalikan oleh orang zuhud.
Kalau kita ingin tahu siapa tokoh
zuhud di dunia ini, ya Nabi Muhammad Saw. Beliau bukan hanya mengajarkan agama
tetapi juga menegakkan kehidupan beragama, bermasyarakat, dan bernegara dengan
gigih. Beliau tegakkan sistem perekonomian yang adil. Sasarannya adalah
“baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur”, suatu negara yang penuh kebajikan dan
Tuhan melindunginya (QS 34:15). Umumnya ayat tersebut diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia, “negeri yang baik dan Tuhan Maha Pengampun”. Sebenarnya suatu
terjemahan yang kurang sambung. Karena kalimat yang depan menunjukkan keadaan
negara sedang kalimat sambungannya merupakan sifat Tuhan. Hal ini disebabkan
penterjemah kaku dengan arti kata “ghafur”, yang selama ini diartikan
pengampun. Padahal kalau mau mengembalikan kata tersebut kepada bentuk
akarnya ‘gha-fa-ra’, maka salah satu artinya
adalah melindungi.
Ayat tersebut ada di Surat Saba’,
yang menceritakan kemakmuran kaum Saba’. Rezeki di negara tersebut berlimpah.
Alam negeri itu dimanajemeni dengan baik, yang disebut negeri penuh kebajikan.
Karena itu Tuhan memberikan perlindungan terhadap negeri yang penuh kebajikan.
Namun, generasi berikutnya tidak melaksanakan manajemen dengan benar, sehingga
malapetaka menimpa Saba’. Kisah ini diwahyukan kepada Nabi, agar beliau
mengambil keteladanan kisah tersebut. Artinya. Jika ingin mempunyai negeri yang
penuh kebajikan, maka keamanan dan kedamaian [bukan ‘pen-dekatan keamanan’,
atau ‘security approach’ lho] harus menjadi prioritasnya. Karena itu,
peperangan yang dilakukan oleh Nabi di Madinah, sasarannya adalah
mempertahan-kan persatuan dan perdamaian yang telah digalang pada awal
hijrah.
Dengan demikian keterlibatan orang
yang zuhud terhadap kehidupan dunia ini sangat tinggi. Tetapi orang yang zuhud
tidak terpengaruh atau tidak tertarik oleh kenikmatan dunia. Dia tidak
dikendalikan oleh dunia, bahkan dunia dikendalikan untuk menjadi pelayannya.
Bukan cuma Nabi yang menjalani hidup zuhud, para sahabat besar juga mencontoh
Nabi untuk menjalani kehidupan zuhud. Abu Bakar ketika di Mekah adalah orang
yang sangat kaya. Demi penegakan kehidupan yang damai, Islam, beliau membebaskan
perbudakan [yang terkenal adalah peristiwa pembebasan Bilal]. Ketika hijrah ke
Madinah, beliau tinggalkan kekayaan yang berupa harta-benda. Umar pun orang
yang kaya. Bahkan ketika menjadi khalifah pun beliau cukup berteduh di dalam
rumah gubuk sebagai istananya.
Tentu saja kehidupan zuhud tidak
hanya dilakukan beberapa sahabat. Sebagian besar sahabat menjalani kezuhudan.
Mereka mendalami makna kehidupan dunia. Dunia bukan untuk dimiliki tetapi
digunakan sebagai sarana untuk melayani. Itulah yang sebenarnya diajarkan Rasul
melalui Al Qurannya. Ada 9 kata ‘sakhkhara lakum’ dalam Al Quran. Kata ini
biasa diterjemahkan “Allah menundukkan bagimu [matahari, bumi, bulan dsb]”.
Sepintas terjemahan ini tidak tampak salah. Tetapi kalau kita memahami
penciptaan manusia itu relatif yang terakhir kehadirannya dari semua ciptaan.
Bagaimana mungkin matahari ditundukkan bagi manusia. Lha wong ketika matahari
diciptakan itu makhluk hidup di bumi belum diciptakan, apalagi manusia.
Salah satu arti dari ‘sakhkhara’
memang menundukkan atau menaklukkan. Tetapi, kata ‘sakhkhara’ juga punya arti
‘menjadikan dapat melayani’. Jadi, bumi, langit dan seisinya ini diciptakan
Tuhan untuk dapat melayani/memenuhi keperluan dan keinginan manusia. Dalam
bahasa bebasnya, semua ini diciptakan untuk menjadi prasarana dan sarana bagi
kehidupan manusia. Di bawah ini saya ambilkan ayat di Surat Ibrahim yang
mengandung kata ‘sakhkhara’.
14:32 Allahu l-ladzi khalaqa
s-samawati wa l-ardha wa anzala mina sama-i ma-an fa akhraja bihi mina
ts-tsamarati rizqan lakum wa sakhkhara lakumu l-fulka li tajriya fi l-bahri bi
amrihi wa sakhkhara lakumu l-anhar.
14:33 Wa sakhkhara lakumu sy-syamsya
wa l-qamara da-ibaini wa sakhkhara lakumu l-laila wa n-nahar.
14:32 Allah yang menciptakan langit
dan bumi dan menurunkan air dari langit, lalu dengan air itu ditumbuhkan pohon
buah-buahan sebagai rezeki bagi kamu. Dan Dia menjadikan kapal sebagai wahana
bagimu
di laut berdasarkan amar
[ketetapan]-Nya. Dia juga menjadikan sungai-sungai itu sebagai pra-sarana dan
sarana bagimu.
14:33 Dan Dia menjadikan matahari
dan bulan yang terus-menerus beredar, dan siang dan malam, untuk menjadi
prasarana dan sarana bagimu.
Jadi, sebagian besar sahabat Nabi
memahami apa arti dunia seisinya ini. Semua ini adalah prasarana dan sarana
untuk memenuhi keperluan hidup manusia. Semua ini diperlukan manusia untuk
melanjutkan perjalanan hidupnya. Kemana? Kembali kepada Tuhan, wa ilaihi
raji-un. Yaitu, kembali ke orde atau tatanan hidup yang benar yang telah
ditetapkan oleh Tuhan. Hidup seperti apa itu? Ya, hidup yang saling mengasihi,
saling menyayangi, saling menolong, saling melayani dalam situasi penuh
kedamaian. Ya, Allah adalah As-Salam, Allahumma antas-salam, ya.. Allah
sejatinya Engkaulah Kedamaian itu.
Selain dunia ini sebagai prasarana
dan sarana bagi manusia untuk melanjutkan perjalanan hidupnya, sifat dunia ini
sementara. Nah, agar kita tidak terbelenggu oleh dunia, maka kita harus
betul-betul menyadari kesementaraan dunia. Orang Barat maju karena
tokoh-tokohnya [ilmuwan, politikus, pengusaha, dan elite bangsa] menghayati
kesementaraan dunia ini. Lho, apa tidak terbalik? Tentu saja tidak! Justru
orang-orang yang memperebutkan harta-benda dan kekuasaan itu terbelenggu oleh
bawah sadarnya, bahwa dunia ini kenyataan satu-satunya. Mereka merasa bahwa
hanya dunia [tegasnya bumi] ini realitas itu. Kalau mereka itu ditanya, apakah
dunia ini akan berakhir dan ada realitas lain yang disebut akhirat? Dengan
segera mereka menjawab, pasti! Ini bukan karena mereka sadar, tetapi ungkapan
bawah-sadar mereka.
Keadilan dan kejujuran di suatu
negara bisa ditegakkan bila para tokohnya amat menyadari kesementaraan dunia
ini. Mengapa cukup para tokohnya saja? Karena umat manusia itu pada umumnya
bersifat “silent majority”, mayoritas diam. Mereka ini hanya berjalan mengikuti
tatanan yang ada, tidak peduli apakah tatanan itu baik atau buruk. Bila dalam
tatanan yang ada itu korupsi merajalela, maka mereka pun menerima kehidupan
korupsi. Meskipun mereka tidak terlibat dalam korupsi. Meskipun mereka mengumpat
atau mencela kehidupan korupsi. Tapi mereka secara tak berdaya menerima
kehidupan korupsi. Mereka tak ingin campur tangan terhadap sesuatu yang mungkin
malah memperparah kehidupannya.
Apakah perlu banyak tokoh untuk
menggerakkan kehidupan yang adil dan jujur itu? Tidak perlu! Yang penting
muncul orang yang mempunyai kekuatan untuk menggerakkan roda keadilan dan
kejujuran itu. Muncul orang yang mampu menggerak-kan roda kedamaian. Islam pun
mula-mula muncul dari seorang Muhammad. Indonesia merdeka pun mula-mula
digerakkan oleh seorang Soekarno. India pun merdeka dari seorang Gandhi. RRC
muncul dari seorang Mao Tse Tung. Memang nanti dalam perjalanannya harus
didukung banyak tokoh.
Di atas disebutkan bahwa Barat maju
karena kezuhudan tokoh-tokohnya. Zuhud macam apa yang mereka lakukan? Pernahkan
Anda mendengar bagaimana para ilmuwan itu menghadapi siksaan para penguasa!
Bagaimana Nietzsche memberontak kemapanan dunia korup dan eksploitasi manusia
di Eropa pada abad XIX. Padahal kalau mau hidup enak, Nietzsche tidak perlu
melawan kemapanan. Pada waktu itu, sarjana bisa memperoleh gaji yang besar.
Soekarno pun setelah lulus dari ITB
1926 sebagai seorang insinyur, dengan mudah dapat mencari pekerjaan yang
berpenghasilan sangat besar. Hatta yang lulus dan sebagai sarjana ekonomi
tamatan Belanda [kuliah di Belanda], bisa bekerja di dunia internasional yang
memberikan imbalan berlimpah. Tetapi mereka rela meninggalkan statusnya. Demi
Indonesia merdeka, mereka rela dipenjara Belanda. Memang dalam perjalanannya seorang
zahid bisa kandas bila lingkungan tidak berubah. Dengan kata lain, tidak banyak
tokoh yang muncul untuk mendukungnya. Bahkan yang muncul itu di sekitar tokoh
itu adalah orang-orang yang ‘vested interest’, yang meiliki cita-cita untuk
kepentingannya sendiri atau golongannya.
Kita lihat perjalanan Indonesia. Di
dalam negeri, sebelum Indonesia merdeka, baik ketika menjadi mahasiswa maupun
ketika sudah lulus, Soekarno konsisten untuk memperjuangkan Indonesia merdeka.
Sebagai proklamator, tentu beliau mempunyai visi bagi Indonesia di masa depan.
Wujud dari visi itu adalah ‘Pancasila’ yang sekaligus digunakan sebagai
landasan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia. Tetapi
nyatanya, setelah Indonesia dinyatakan merdeka, beberapa tokoh muncul dan
mendekati beliau [dan Hatta]. Bukan untuk mendukung perjuangan beliau berdua,
tetapi untuk membisikkan kepentingan sendiri. Beberapa tokoh Islam, malah
menginginkan Indonesia yang berdasar Islam. Yang komunis ingin negara yang
berhaluan komunisme. Yang nasionalis ingin negara berdasarkan nasionalisme.
Jadi, visi negara Indonesia yang adil dan makmur berlandaskan Pancasila
dikaburkan dikuburkan.
Tokoh-tokoh yang muncul di
sekeliling Soekarno-Hatta bukanlah para zahidin. Mereka adalah orang-orang yang
mementingkan golongannya sendiri. Mereka yang mengaku Islam bukan orang-orang
yang memahami Islam dengan benar. Tetapi orang-orang yang mementingkan
kekuasaan atas nama Islam. Mereka tidak menginginkan negara Pancasila yang
islami. Kekuasaan, dan bukan kedamaian, yang diutamakan! Keuasaan, dan bukan
keadilan dan kejujuran, yang diprioritaskan. Kekuasaan itu amat sangat duniawi,
karena itu bukan ajaran zuhud, bukan ajaran Islam.
Ingat, Nabi mengajarkan agama [nama
agama Islam muncul di kemudian hari], untuk menegakkan moralitas manusia.
Innama bu-‘itstu liutammima makarima l-akhlaq, saya dibangkitkan untuk
menegakkan budipekerti yang mulia. Nabi diutus untuk membawa manusia ke dalam
kehidupan yamg damai, jalan Tuhan. Serulah [manusia] ke jalan Tuhan engkau dengan
hikmah [bijaksana] dan ajaran kebaikan, dan berdebatlah dengan mereka dengan
cara yang baik [QS 16:125]. Kurang lebih ada 10 kali ajakan ke jalan atau
kampung yang penuh kedamaian. Dan, inilah cita-cita Islam.
Untuk bisa sampai di tempat yang
penuh kedamaian itu, dibutuhkan sikap zuhud. Suatu sikap yang bisa mengiringi
perjuangan hidup yang berat. Suatu perjuangan yang tidak tergesa-gesa mereguk
kenikmatan. Perjuangan berat untuk bisa sampai di ujung sana. Bukan di sini,
sekarang ini! Untuk itu diperlukan hidup bersama yang adil [fair], jujur, dan
saling menolong [bukan saling bertikai/berselisih]. Suatu sikap hidup yang
tidak tergiur akan kenikmatan sementara.
Jika kita masih tergiur oleh
kenikmatan sementara, kita tak akan mampu menjadi ilmuwan yang ulung, peneliti
yang tangguh, pemerintah yang adil, elite yang memen-tingkan rakyat, dan
pengusaha yang dermawan. Tanpa zuhud, perusahaan hanya menjadi tempat pemerasan
terhadap karyawan yang lemah. Tanpa zuhud, negara adalah wilayah eksploitasi
kalangan elite terhadap masyarakat bawah. Kezaliman merajalela yang dibungkus
agama. Kezaliman yang dibungkus agama, dikemas dengan ayat-ayat Tuhan inilah
yang hendak dilenyapkan Islam. Karena itu Islam mengajarkan konsep ketakwaan,
tobat, wara’, sabar, dan zuhud.
Zuhud adalah sebuah maqam yang lebih
tinggi dari sabar. Karena tanpa kesabaran seseorang tak akan mampu menjalani
hidup zuhud. Tidak dapat menjadi seorang zahid. Zuhud adalah maqam. Jadi, sikap
zuhud melekat pada berbagai macam profesi. Seorang peneliti yang zuhud, berarti
orang yang sungguh-sungguh melaksanakan pekerjaan penelitian hingga bisa
menguak rahasia alam. Hingga ia mampu membuat teknologi baru yang lebih unggul
untuk kehidupan manusia di bumi ini. Seorang pengajar yang zuhud adalah orang
yang sungguh-sungguh mendidik muridnya sehingga lahirlah para murid yang
unggul.
Tapi itu semua harus didukung oleh
kalangan pemerintah yang zuhud pula. Mereka harus menyediakan prasarana dan
sarana bagi kegiatan profesinya. Pemerintah yang zuhud harus didukung oleh
pengusaha dan kalangan profesional yang zuhud pula. Yaitu, dengan membayar
pajak yang proporsional menurut kekayaannya. Nah, pada intinya, kemakmuran dan
keadilan suatu negara bisa dicapai bila sebagian besar tokoh di segenap profesi
berlaku zuhud.
Gambaran kehidupan dunia
Untuk bisa memahami kehidupan dunia
ini, Islam memberikan pelajaran yang berupa perumpamaan atau gambaran.
Perumpamaan diberikan agar manusia tidak sulit dalam memahaminya. Kalau berupa
teori-teori, perlu kecerdasan akal-pikiran untuk bisa mengertinya. Karena itu
ada beberapa gambaran. Untuk bagian mengakhiri pelajaran sekarang ini, saya
kutipkan satu ayat di Surat Yunus.
10:24 Sesungguhnya perumpamaan
kehidupan dunia itu seperti air yang Kami turunkan dari langit. Lalu, air itu
diserap oleh tumbuh-tumbuhan di bumi. Kemudian tumbuh-tumbuhan [yang mengandung
air tadi] ada yang dimakan oleh manusia, dan ada yang dimakan ternak. Sampai
suatu ketika bumi tertutupi kesuburan tumbuhannya dan terhiasi [ter-dekorasi],
dan penduduknya mengira menguasinya, tibalah ketetapan Kami pada waktu malam
atau siang. Maka Kami jadikan itu bagaikan ladang yang telah dituai hasilnya,
seolah-olah pada waktu kemarin tak ada tanaman yang tumbuh di situ.
Demikian Kami jelaskan ayat-ayat
kepada kalangan yang berpikir.
Suatu gambaran kehidupan yang bagus
sekali. Hidup [urip], live, nafs, dalam kemunculannya di bumi ini digambarkan
bagaikan ‘air’. Perhatikan diri kita, hidup kita merupakan sesekor sperma
[setetes sperma] yang bergabung dengan sel telur di rahim ibu. Tetesan sperma
itu ada yang terserap telur dalam rahim dan akhirnya tumbuh menjadi jabang
bayi, dan ada yang tidak. Di ayat itu digambarkan air yang turun di bumi, dan
ada yang diserap oleh tumbuhan.
Dengan proses itu bumi menjadi
subur. Diri kita pun tidak sendirian. Kita hidup bersama di suatu tempat. Dan
kita menyangka bisa menguasai tempat itu selamanya. Kita lupa ada ‘ketetapan’
atau aturan main Tuhan yang telah digelar di alam semesta ini. Kita lupa bahwa
tanaman itu bisa mati oleh berbagai sebab, seperti terkena banjir, angin topan,
kekeringan, terserang hama-penyakit atau oleh sebab-sebab lainnya. Kita pun
lupa bahwa ada ‘ketetapan’ bahwa jasmani kita ini bisa mati sewaktu-waktu oleh
berbagai sebab. Kita biasanya merasa akan mati bila sudah tua! Karena itu kita
merasa bisa menguasai kenikmatan hidup di dunia ini selamanya. Padahal, ketika
suatu bencana berat datang tiba-tiba, dan bisa menyebabkan kematian, maka
hilanglah kenyataan bahwa kita bisa menguasai kenikmatan harta-benda dunia itu.
Dalam kondisi demikian, kekuasaan yang pernah kita miliki seolah-olah tidak
pernah ada.
Jangankan sudah mati, masih hidup
saja ketika manusia sudah tua-renta, sudah tidak bisa lagi merasakan berbagai
kenikmatan duniawi yang pernah dirasakannya. Hanya kenikmatan batin yang tetap
melekat sampai mati. Orang yang bisa merasakan kenikmatan batin tidak pernah
merasakan kekecewaan atau kesesedihan dalam hidup ini. Tidak kecewa atau sedih
atas berkurangnya atau hilangnya kenikmatan lahiriyah. Dia telah zuhud! Tidak keluar
air liur atas gebyarnya dunia.
Selama ini banyak orang yang
beranggapan bahwa zuhud adalah meninggalkan kehidupan dunia. Ini salah besar!
Meninggalkan kehidupan dunia itu bukan zuhud, tapi kalah. Ia merasa tak mampu
negatasi dunia. Makanya ia menarik diri dari kehidupan dunia ini. Kalau
sekarang saja sudah kalah, bagaimana mungkin dapat mengatasi kehidupan akhirat
yang memerlukan modal lebih besar. Bukan modal harta-benda, tetapi modal batin,
modal metafisik. Dengan zuhud energi batin kita tidak terserap oleh dunia.
Energi batin inilah yang menggerakkan pertumbuhan ‘zigot’ menjadi jabang bayi.
Karena rahman dan rahim-Nya, bayi yang hidup di bumi ini bisa tumbuh dan
berkembang dengan energi fisik, yaitu makan dan minum.
Tetapi, energi fisik tidak dapat mendorong
orang hidup bersemangat, orang hidup adil dan jujur, orang hidup damai. Energi
fisik hanya membantu fisik untuk tetap hidup. Dan itu pun terbatas! Yaitu,
tidak bisa mencegah ketuaan dan kematian. Bahkan terlalu banyak energi fisik
menyebabkan kita malas. Energi fisik itu bagaikan air yang diturunkan dari
langit. Ia bisa menyebabkan tumbuhnya kehidupan di bumi ini, tetapi tak mampu
menahan kematian.
Sebaliknya, orang yang mempunyai
energi batin tinggi, hidupnya tetap berse-mangat. Ia tidak mandek pada dunia
tampak. Tapi ia tetap mencari di balik dunia yang tampak ini. Ini bukan
berkhayal. Karena tak ada waktu buat berkhayal. Tapi ia terus berjalan menuju
cakrawala ‘dar as-salam’, tempat yang damai. Nah, semua usaha menapaki
maqam-maqam dalam dunia tasawuf adalah upaya untuk menghimpun energi metafisik,
untuk melanjutkan perjalanan hidup ini. Dan, makin tinggi maqam, makin besarlah
bekal yang kita peroleh.
Bagian ke-13
[Lanj. Zuhud]
Di depan telah dijelaskan bahwa
mayoritas manusia itu bersikap diam. Hanya jadi pak turut! Di Barat yang sudah
maju pun begitu.
Sampai-sampai mereka punya pepatah
“diam itu emas”. Ada ‘tetapinya’ di sina. Di Barat hak untuk berbicara dan
berpendapat telah diberikan. Pendidikan diselenggarakan dengan baik. Komunikasi
politis dibuat. Sehingga ‘diam’ punya makna bebas dari keributan. Diam
beginilah dituntut oleh orang yang berzuhud. Bukan diam karena tak berdaya!
Jika sabar merupakan bentuk
ketahanan terhadap sesuatu, maka zuhud merupakan sikap untuk berani menolak
terhadap tekanan. Jadi, zuhud memang merupakan mata-rantai dari sabar. Untuk
menghadapi sesuatu, kita harus mempunyai daya tahan dulu. Artinya, harus sabar!
Tetapi tidak boleh berhenti di titik ini. Kalau kita berhenti, artinya kita
tidak berdaya menghadapi tekanan lingkungan. Kita akhirnya terlindas, dan hanya
sebagai permainan penindas. Rasul Saw memberi contoh kepada umat beliau. Pada
awal perjuangan, beliau mengajak umat beliau untuk bersabar. Hal ini bisa
dilihat pada surat-surat yang turun di awal kenabian beliau.
73:10 Dan bersabarlah [Muhammad]
terhadap apa yang mereka katakan, dan jauhi [uhjur ] mereka dengan cara yang
baik.
74:07 Dan untuk [memenuhi petunjuk]
Tuhan engkau, bersabarlah!
70:05 Maka bersabarlah [Muhammad]
dengan kesabaran yang indah!
Mohon diperhatikan ayat-ayat
tersebut. Ada indikasi bahwa pada saatnya sabar harus ditingkatkan ke dalam
bentuk ‘hijrah’, yaitu mampu mengatasi atau menjauhi tekanan hidup ini. Hijrah
bukan untuk melarikan diri dari persoalan. Tetapi hijrah untuk menemukan jalan
keluar, untuk mengatasi persoalan. Hijrah sebagai solusi. Hijrah demikian ini
yang menjadi landasan berzuhud!
Hijrah sebagai kelanjutan dari
sabar, harus dilakukan dengan cara yang baik, dengan dilandasi kesabaran yang
indah. Kesabaran yang tidak menimbulkan kecurigaan musuh. Kesabaran yang
strategis! Dalam bahasa manajemen, di tengah bangunan kesabaran itu ada
strategi dan taktik untuk berzuhud. Dan zuhud ini meliputi tindakan berhijrah,
berjihad dan beriman. Dan berhijrah ini pun tidak bisa dilakukan sekali jadi.
Harus ada upaya ‘proaktif’ dan aktif. Rasul pun melakukan tindakan taktis,
dengan memerintahkan umat beliau hijrah [pertama] ke Ethiopia. Kemudian beliau
proaktif mencari daerah baru untuk berhijarah. Misalnya, beliau menjajaki
dakwah ke Thaif. Meskipun di Thaif beliau mendapatkan sambutan yang tidak
mengenakkan. Beliau diusir dan dilempari batu hingga beliau luka-luka.
Dalam kehidupan sekarang ini pun,
kita harus membangun kesabaran yang indah. Kita harus bangun kesabaran yang
strategis dan taktis! Dalam memecahkan sesuatu kita tidak bisa terburu-buru.
Mengapa? Karena kita bukan hanya menghadapi orang yang menindas dan memusuhi
kita. Kita juga menghadapi kelompok manusia yang sehaluan dengan kita, tetapi
tindakannya merugikan kita. Dua hari yang lalu saya membaca suatu buletin
‘Dakwah Islam’ yang dikeluarkan oleh sebuah yayasan Islam. Tulisan dalam
buletin itu jelas-jelas sangat merugikan buruh-buruh Islam. Penulis di buletin
itu punya anggapan bahwa ‘kewajiban’ majikan/pengusaha hanya [sekali lagi,
hanya] membayar buruh tepat pada waktunya’. Berbagai bentuk keuntungan,
benefit, bonus, dan berbagai bentuk tunjangan kesejahteraan bukan kewajiban
majikan/pengusaha. Penulis rupanya tidak mengerti perubahan “sistem berusaha,
atau berekonomi”, sehingga berbagai bentuk kesejahteraan itu dikatakan sebagai
“kewajiban negara”.
Coba bayangkan saudara-saudara! Di
tengah-tengah globalisasi, ketika manusia [sekali lagi, manusia] berusaha
menemukan makna hidupnya. Manusia berusaha hidup sejahtera dalam kesetaraan
martabat. Manusia berusaha mendapatkan hak-haknya dengan cara yang benar
[sesuai dengan bangunan ekonomi masyarakatnya], ada da’i yang menulis bahwa
perjuangan buruh salah alamat. Ia tulis “kewajiban majikan” atau pengusaha
hanya sebatas membayar upah [sesuai yang disepakati] tepat pada waktunya.
Penulis samakan kualitas pengusaha sekarang sama dengan pengusaha-pengusaha di
era Nabi Muhammad. Penulis samakan sistem dan bentuk perekonomian sekarang ini
sama dengan sistem perekonomian di era Nabi Saw. Penulis lupa bahwa sistem
perekonomian pada zaman Nabi adalah pertanian dan perdagangan. Dan sistem
pertanian pun masih subsisten, lebih banyak untuk kebutuhan sendiri. Sedangkan
perekonomian sekarang ini ada di era industri dan informasi. Celakanya, penulis
itu menggunakan hadis yang hanya sesuai dengan masa itu.
Islam mengajarkan ‘sabar’ dan
‘zuhud’. Kesabaran yang indah! Bukan asal demo atau melakukan perusakan. Di
tengah kesabaran itu harus dibangun strategi dan taktik untuk mendapatkan
kemenangan, yang dalam bahasa sekarang disebut “win-win solution”. Sistem yang
menang! Bukan pihak tertentu yang menang. Karena itu disebut ‘sama-sama
menang’. Dan untuk sama-sama menang, kesabaran harus ditingkatkan ke tahap
zuhud. Zuhud yang bersifat ‘jihadiyah’, perjuangan, ‘struggle’ untuk memperoleh
kehidupan yang lebih baik. Yaitu, hidup yang lebih baik di dalam negara,
masyarakat, dan dalam institusi, ‘baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur’.
Zuhud sebagai suatu tahapan
pencapaian rohani, meliputi tindakan yang berlandaskan pada keimanan yang
teguh, berhijrah, dan ber-jihad. Surat Makiyah yang memuat pernyataan tentang
hijrah adalah surat ke-16, yaitu surat An Nahl. Pada ayat ini diinformasikan
bahwa mereka yang berhijrah di jalan Tuhan [fi l-Lah] setelah mereka mengalami
tekanan [kezaliman] akan mendapatkan kehidupan yang baik. Sesungguhnya
informasi ini sesuai dengan pernyataan di ayat lain, yaitu “inna ma-‘a l-‘usri
yusra”. Sesungguhnya di balik kesukaran itu terdapat kemudahan! Di balik
kesukaran pasti terdapat kemudahan, bila disertai tindakan yang proaktif dan
aktif. Tetapi kesukaran akan semakin sukar jikalau dibiarkan, atau dihadapi
dengan pasif.
Tahap awal dalam zuhud adalah
mempunyai iman yang teguh! Ingat, iman tidak sama dengan percaya. Meskipun
dalam keimanan ada unsur kepercayaan. Iman harus dilandasi oleh pengetahuan.
Dan ini merupakan tingkatan keimanan yang paling rendah. Keimanan yang lebih
tinggi harus dilandasi oleh pengalaman. Jadi, bukan iman karena cuma tahu,
tetapi karena mengalaminya. Dan, yang tertinggi adalah iman karena makrifat,
karena memahami hakikat sesuatu yang dialaminya itu. Iman demikian juga dikenal
sebagai “haqqu l-yaqin”. Tak ada lagi selaput keraguan. Kebenarannya sudah
tersingkap. Zuhud yang demikian ini tentu saja jauh dari upaya mencari pujian
atau kekuasaan, meskipun mungkin saja keduanya didapat. Makin kokoh keimanan
seseorang, makin bersihlah motivasi hijrahnya.
Di samping kesabaran yang indah,
hijrah pun harus dilakukan dengan baik. Sabar ke hijrah merupakan sambungan. Ada
3 macam hijrah, yaitu hijrah fisik, nafsani, dan rohani [spiritual]. Nah, orang
yang hijrah secara fisik harus rela meninggalkan harta-benda yang dimilikinya.
Hijrah fisik diperlukan bila tidak ada lagi tempat untuk mewujudkan kehidupan
yang manusiawi. Hijrah fisik diperlukan bila usaha untuk mengembangkan martabat
kemanusiaan sudah tidak ada lagi di tempat itu.
Berikutnya adalah hijrah nafsani,
menjauhkan jiwa dari jeratan hawa nafsu. Fisik tetap tinggal di suatu tempat,
tetapi jiwa tak terpengaruh oleh tarikan-tarikan kehidupan sekelilingnya. Di
tengah-tengah orang ber-KKN, tak ikut terjerat KKN. Dia mampu berdiri tegar di
tengah lingkungan yang busuk tanpa ikut menjadi busuk. Dan jenis hijrah yang
lainnya adalah hijrah spiritual. Dia bukan hanya tak terpengaruh oleh tarikan
lingkungannya, tetapi justru mempengaruhi lingkungannya. Dia berjuang untuk
menghilangkan kebusukan yang terjadi di sekitarnya. Dia membangun kehidupan di
atas puing-puing kebobrokan. Semua ini bisa dilakukan bila si zahid sudah tidak
lagi tergiur oleh gebyarnya dunia. Jika memang secara fisik diperlukan, dia
lakukan hijrah fisik. Bila ancaman dan gangguan fisik tidak ada, ia mampu
bertahan hidup tanpa terpengaruh lingkungannya. Dan bilamana ia mampu,
dilakukannya perombakan masyarakat kepada kehidupan yang lebih baik.
Tindakan berikutnya dalam zuhud
adalah ‘jihad’. Kata jihad bukan berarti perang! Perang adalah bagian dari
jihad, bila sudah tak ada cara lain untuk mempertahankan kehidupan ini. Dengan
demikian, orang yang berjihad bukanlah orang yang dari semula sengaja memerangi
orang lain. Perang adalah salah satu taktik dalam berjihad! Pertama, dilakukan
untuk membela diri. Kedua, perang diperlukan untuk menjaga keamanan wilayah
[teritorial]. Ketiga, perang diperlukan untuk melenyapkan musuh. Seorang zahid
tidak boleh mencari atau menciptakan musuh. Tetapi seorang zahid harus berani
memerangi musuh. Musuh itu apa? Ya apa atau siapa saja yang menyerang,
menganiaya atau menghancurkan kehidupan kita.
Di bawah ini saya kutipkan beberapa
ayat yang terkait dengan rangkaian tindakan dalam zuhud.
16:110 Dan sesungguhnya Tuhan engkau
melindungi dan menyayangi orang-orang yang berhijrah setelah mendapatkan
fitnah, kemudian mereka itu berjihad dan bersabar.
02:218 Sesungguhnya orang-orang yang
beriman, dan orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah; mereka itu
mengharapkan rahmat Allah. Dan Allah Maha Melindungi [Pengampun] dan Maha
Penyayang.
08:072 Sesungguhnya orang-orang yang
beriman, berhijrah, dan berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah,
dan orang-orang yang memberikan tempat perlindungan dan pertolongan; mereka itu
tolong menolong di antara sesamanya.
08:074 Dan orang-orang yang beriman,
berhijrah, berjihad di jalan Allah; dan orang-orang yang memberikan tempat
perlindungan dan pertolongan; maka mereka itulah orang-orang beriman yang
sebenarnya. Mereka memperoleh
‘maghfirah’ dan rezeki yang mulia.
09:020 Orang-orang yang beriman,
berhijrah, dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka; di sisi
Allah derajat mereka itu lebih agung, dan mereka itulah orang-orang yang
mendapatkan keme-nangan dalam hidup ini.
Nah, marilah kita perhatikan
ayat-ayat yang terkait dengan hijrah dan jihad di atas. Pertama, yang perlu
dipahami adalah kalimat ‘di jalan Allah’. Suatu tindakan disebut berada di
jalan Allah, bila tidak ada motivasi duniawi atau mendahulukan atau
mengutamakan kepentingan diri-sendiri atau kelompok. Dalam bahasa sekulernya,
yang diutamakan adalah kepentingan ‘kemanusiaan’. Jadi, tindakan di jalan Allah
adalah tindakan yang bebas dari ambisi, dan berbagai macam keuntungan duniawi.
Kedua, beriman harus disertai dengan
tindakan, aksi! Beriman tidak cukup hanya dengan kata-kata. Karena itu zuhud
bukanlah tindakan pasif. Tak ada contohnya dalam Al Quran bahwa zuhud itu
merupakan “no action”, tak ada tindakan. Tidak tertarik terhadap kehidupan
dunia, tidak berarti putus asa karena tidak menguasai dunia. Dalam Islam orang
yang menolak terhadap kehidupan dunia, bukanlah orang yang tidak berbuat apa-apa,
dan mengasingkan diri dari keramaian. Zuhud dalam Al Quran adalah aktivitas
untuk menegakkan kemanusiaan, membangun dan memperbaiki dunia, dan tidak
terjebak atau terbelenggu dengan hasil usahanya. Untuk itu zuhud harus
dilandasi dengan keimanan yang kokoh.
Ketiga, bila dilihat pembangunan
kemanusiaan tidak bisa dilakukan di suatu daerah, dan bahkan ancaman dan
gangguan menyelimutinya, maka daerah itu harus dijauhi [untuk sementara], dan
dicari daerah lain yang memungkinkan untuk mengem-bangkan misi dan visi
kemanusian, yang mencakup martabat dan kesejahteraannya. Jadi, bukan membiarkan
kemerosotan dan kebobrokan terjadi. Jika kerusakan dibiarkan terjadi, dan yang
terpenting ia bisa hidup tak diganggu, itu bukan zuhud namanya. Tetapi orang
yang tak berdaya! Hidup harus punya makna. Hidup bukan sekadar bisa makan,
berpakaian, dan bertempat tinggal. Manusia hidup untuk mengekspresikan dan
mengapresiasikan kemanusiaannya. Karena itu, jika keadaan sudah tidak
memungkinkan untuk mewujudkan kemanusiaan, maka kita harus hijrah.
Keempat, hijrah ternyata bukan hanya
mencari tempat perlindungan yang baru. Hijrah juga bukan hanya meminta
pertolongan untuk keselamatan jiwa-raganya. Hijrah ternyata merupakan suatu
strategi. Karena itu, hijrah harus dilanjutkan ketahap ‘jihad’. Yaitu, jihad
dengan menggunakan harta dan jiwa. Kalimat ‘harta dan jiwa’ ini konsisten di
dalam Al Quran. Tidak ada yang terbalik menjadi ‘jiwa dan harta’. Mengapa?
Karena yang diajarkan adalah perjuangan, bukan mencari kematian atau bunuh diri.
Harta benda yang didapat, digunakan untuk perjuangan kemanusiaan.
Tentu saja bentuk dan sistem
kehidupan sekarang ini tidak sama dengan di zaman Rasul Saw. Kita sekarang ini
hidup di negara yang ‘berdaulat’.
Batas-batas daulat suatu negara di era globalisasi ini sudah jelas, meskipun di
beberapa negara masih ada sengketa perbatasan. Hak-hak asasi manusia diserukan
di mana-mana, walaupun pada beberapa negara HAM masih merupakan pergulatan.
Dalam sistem ‘nation-state’, negara kebangsaan, hijrah secara fisik,
meninggalkan tempat tinggal lama menuju ke tempat tinggal yang baru untuk
membangun kemanusiaan sudah kecil kemungkinannya. Di era informasi ini,
hubungan antar negara semakin rumit. Aktivitas kemanusiaan murni bisa dituduh
sebagai kegiatan politik dan subversi. Karena itu strategi jihad harus
ditempatkan dalam hijrah pemikiran. Kita tidak perlu lagi mencari suaka. Yang
kita perlukan adalah berpikir benar untuk bisa menegakkan kemanusiaan.
Jihad dengan harta dan jiwa harus
ditumbuhkembangkan dalam pemikiran yang benar. Harta bukan sekadar untuk
dibagi-bagikan, tetapi digunakan untuk membantu meningkatkan pendidikan
[kualitas dan kuantitas]. Jiwa bukan untuk diserahkan kepada pedang atau
peluru, tetapi untuk mencari solusi, untuk mencari alternatif-alternatif dalam
menegakkan martabat manusia. Di zaman dulu perang fisik bisa menyelesaikan
masalah. Tetapi di zaman sekarang, perang hanyalah untuk melampiaskan hawa
nafsu [karena buntu dalam mencari jalan keluar] dan menghasilkan tragedi
kemanusian, hanya balas-membalas dalam dendam.
Sekarang ini perang fisik hanya
jalan terakhir, bila sudah tidak memungkinkan lagi menggunakan berbagai cara
damai. Dan jangan lupa, cita-cita yang agung adalah menciptakan perdamaian dan
kedamaian dalam hidup ini. Damai adalah salam, selamat, dan sejahtera. Setiap
individu hidup di dalam kesetaraan [hukum, sosial, ekonomi, dan keamanan].
Itulah sebabnya orang yang zuhud [beriman, berhijrah, dan berjihad] disebut
sebagai orang yang mendapat perlindungan, rezeki, dan kemenangan. Dan tentunya,
mereka yang memberikan tempat tinggal dan pertolongan, adalah juga orang-orang
zuhud, orang-orang beriman, yang sebenarnya.
Bagian ke-14
(lanj. Zuhud)
Untuk memulai pelajaran yang ke-14
ini, saya mengajak saudara-saudara untuk mengingat lagi tahapan yang dilalui
oleh sufi dalam perjalanan hidupnya. Ada tiga tahap yang dilaluinya yaitu
takhalli [deconditioning], meninggalkan perilaku yang tidak terpuji, tahalli
[conditioning; reconditioning] yaitu membiasakan diri untuk melakukan tindakan
yang terpuji, dan tajalli [unconditioning; no mind action] yaitu berbuat dan
bertindak yang bebas dari kepentingan pribadi [kelompok].
Pada posisi “sabar” kita mengisi
hidup kita dengan perbuatan dan tindakan bajik, kita kendalikan emosi kita, dan
motivasi hidup kita kita arahkan ke jalan yang benar, jalan yang dibentangkan
oleh Tuhan semesta alam. Jika jalan ini yang kita titi, maka kita disebut
berjalan menuju Allah. Dan bila kita sudah hidup dijalan-Nya maka kita disebut
berada di jalan Allah, fi sabili l-lah. Inilah tahap ‘tajalli’!
Zuhud adalah usaha memasuki tahap
tajalli. Di dalamnya kita melalui subterminal iman [yang kokoh], hijrah, dan
jihad. Di bagian ke-13 yang lalu, saya utarakan bahwa pada era globalisasi ini
kita harus melakukan hijrah pemikiran kembali. Disamping kita harus melakukan
‘jihad’ pemikiran yang disebut ‘ijtihad’. Kita tidak boleh terjebak dalam
peperangan dan pertempuran fisik. Tetapi kita harus berani melangkah ke dunia
yang penuh ‘trick’ atau jebakan ini. Karena di dunia macam inilah kita hidup
sekarang ini! Lho, bukankah kita ini ingin hidup damai?
Betul, betul sekali! Manusia, pada
umumnya, menginginkan kedamaian hidup. Yang terselip di dalam hati yang paling
dalam adalah menuju ‘sorga’ yang penuh
kedamaian. Dan Tuhanlah kedamaian itu! Di dalam salah satu doa [dari sebuah
Hadis] yang biasa dibaca setelah sembahyang adalah “Allahumma anta s-salam” [Ya
Tuhan, Engkau-lah kedamaian itu]. Lalu, doa itu dilanjutkan dengan kalimat “dan
kedamaian itu datangnya dari Engkau, dan kepada Engkau kembalinya kedamaian
itu!” Sebagai seorang hamba, kita diajari Nabi untuk melanjutkan doa itu dengan
kalimat “Fa hayyina rabbana bi s-salam”, ya Tuhan hidupkanlah kami penuh dengan
kedamaian.”
Yang kita tuju adalah kedamaian.
Tetapi, damai yang ada di bumi ini seperti damai yang ada di dalam hati. Jika
di dalam hati damai itu terselip di dalamnya, bahkan di bagian dalam hati; maka
di atas bumi ini ‘damai’ juga terselip di tengah-tengah keributan dan kebusukan
dunia. Karena itu, kedamaian harus dicari! Kedamaian tidak datang dengan
sendirinya. Orang-orang Romawi memiliki semboyan, yang bahasa Indonesianya
“Bila kalian ingin hidup damai, bersiap-siaplah untuk perang”. Tentu saja
berperang secara fisik. Pada zaman dulu, berperang secara fisik memang jalan
satu-satunya untuk memperoleh kedamaian. Sebab, menang perang adalah keadaan
yang menjamin kesejahteraan warganya. Pada zaman dulu, orang malu kalau ingin
hidup sejahtera dengan cara menyengsarakan rakyat atau bangsanya sendiri. Ini
tidak berarti, untuk memperoleh kedamaian kita harus berperang untuk
menaklukkan negara lain. Pada zaman sekarang ini kita harus hijrah dan jihad di
lapangan pemikiran, ‘ijtihad’. Ijtihad pun tidak hanya terbatas pada dunia
fikih atau agama. Kita harus berijtihad untuk menemukan solusi bagi kedamaian
dan kesejahteraan hidup.
Sekarang ini kita sering dihadapkan
pada pengertian yang salah tentang ‘damai’. Kata damai dikaburkan maknanya
menjadi ‘aman’. Padahal aman hanyalah salah satu keadaan yang ada di dalam kata
‘damai’. Keadaan yang aman, artinya tidak ada gangguan atau kekerasan [fisik].
Kalau damai yang ini, berarti cukup dengan tunduk atau takluk pada kekuatan di
luar dirinya. Damai yang sejati adalah wujud dari keseimbangan, keselarasan dan
keserasian, yang disebut hidup harmoni. Di tengah kedamaian yang sejati inilah
terletak kemerdekaan. Damai yang demikian ini yang dilukiskan dalam kamus
“Oxford Advanced Learner’s Dictionary” sebagai keadaan yang bebas dari
peperangan dan kekerasan, suasananya tenang, dan penuh dengan keharmonisan dan
persahabatan.
Nah, ternyata damai harus
diperjuangkan. Ingin hidup damai tak ubahnya kita ini mencari intan di tumpukan
sampah. Di sinilah harus ada hijrah dan jihad [ijtihad] dalam pemikiran. Ketika
Nabi Muhammad Saw [p.b.u.h, peace be unto him] menyebarkan risalah keislaman,
beliau sebenarnya membangun paradigma berpikir yang baru. Beliau tinggalkan
cara-cara berpikir jahiliah dan beliau bangun cara-cara berpikir yang islami.
Ada puluhan, bahkan ratusan, ayat Al Quran yang menyeru manusia untuk
‘berpikir’. Perintah berpikir ini disampaikan dalam berbagai bentuk, misalnya
tafakkaru, tadzakkaru, nazhara, ta‘qilun, dan lain-lain.
Satu abad setelah tersebarnya agama
Islam, kalangan mu‘tazilah melanjutkan pembaharuan pemikiran. Para ulama mereka
tidak mandek pada kata-kata yang ada di dalam Al Quran. Mereka mempelajari
metode-metode berpikir filosof Yunani. Mereka melakukan penalaran dan logika
yang islami. Mereka mulai merintis logika-empiris. Hasilnya, Daulat Abbasiyah
di Bagdad dan Daulat Umayyah di Spanyol mengalami kemakmuran yang
berlimpah-limpah. Sayang, masyarakat Islam pada zaman itu [dan sampai sekarang]
tidak kondusif untuk pembaharuan pemikiran. Pada abad XIII (pada tahun 1258 M)
Daulat Abbasiyah diporakporandakan oleh Kerajaan Mongol yang sangat terkenal
dengan pemerintahannya di atas kuda. Di Spanyol pun digilas pada akhir abad XV
(1492 M). Dan sejak abad XIII itu pembaharuan pemikiran di dunia Islam ditutup,
yang dikenal dengan “penutupan pintu ijtihad”.
Sekarang, saya melalui pengajaran
tasawuf ini mengajak kembali saudara-saudara untuk menghidupkan hijrah dan
jihad dalam pemikiran. Lho, bagaimana dengan orang-orang yang masih rendah
tingkat pemikirannya, apa dapat diajak untuk melakukan pembaharuan pemikiran?
Tentu saja jangan dibayangkan semua orang bisa berpikir dalam [deep thinking].
Waktu periode Rasul pun tidak semua orang diperintah untuk melakukan perang
fisik. Hal ini dijelaskan pada Surat Taubah/9:122. Ada yang ditolak untuk ikut
bertempur karena orang tersebut menanggung kehidupan ibunya yang janda. Ada
yang ditolak karena dianggap belum cukup umur. Yang perempuan pada waktu itu
ditugasi dalam urusan logistik dan palang-merah. Dalam hal jihad pemikiran pun
harus ada yang di barisan depan [good thinker] sebagai pembuat konsep, pembuat
rencana, dan pengatur strategi. Ada menyebarkan dan memasarkan gagasan. Ada
yang menerap-kannya. Dan ada pula yang mendukungnya.
Ketahanan masyarakat akan kuat bila
masyarakat mempunyai keahlian yang heterogen. Namun semua harus bisa diorganisasi
dan dikerahkan untuk membangun jihad pemikiran. Ulama spiritual, ulama sains,
ulama teknologi, ulama birokrat, petani, pedagang, industrialis, dan buruh
harus merapatkan barisan dalam membangun jihad pemikiran. Untuk apa jihad
pemikiran ini? Untuk membangun masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Lho,
kok tidak untuk membangun masyarakat Islam yang adil dan makmur? Sebuah
masyarakat itu dapat diibaratkan sebuah rumah-tangga. Rumah-tangga yang
bertanggung jawab adalah rumah-tangga yang berupaya membangun kesejahteraan
para anggotanya, tanpa merugikan rumah-tangga lainnya. Rumah-tangga yang satu
mungkin saja berbeda agama dengan tetangganya. Tetapi mereka hidup dalam
komunitas yang sama yaitu satu RT/RW.
Kita adalah masyarakat Indonesia.
Masyarakat yang dari awalnya plural [dalam agama, kepercayaan, dan etnis].
Masing-masing adalah anak ibu pertiwi! Perbedaan tidaklah memisahkan persatuan
Indonesia. Dan, jika kita mau jujur bertanya siapakah kita bangsa Indonesia
ini? Jawabannya adalah kita dahulu etnis-etnis yang menghuni kepulauan
Nusantara dengan agama pribumi masing-masing. Semenjak abad I masuklah agama
dari luar [dalam bahasa rakyatnya, agama impor] yaitu Hindu, Buddha, Islam,
Kristen/Katholik, dan Kong Huchu.
Sebagai sebuah kenyataan, saya sekarang
adalah orang Islam. Ajaran Islam saya sampaikan dengan menggunakan pendekatan
‘tasawuf’. Karena tasawuflah yang bisa menembus lintas agama dan menjaga
pluralitas. Kalau kita hobi membaca Hadis, maka kita akan sampai pada
kesimpulan bahwa praktik Rasul dalam menyebarkan agama Islam pun dengan cara
tasawuf. Ayat pertama yang saya gunakan untuk mengisi bagian yang ke-14 ini
adalah Surat Al Baqarah/2:208. Mari sama-sama memperhatikan bunyi ayat tersebut
seperti saya kutipkan di bawah ini.
2:208 Ya ayyuha l-ladzina amanu
d-khulu fi s-silmi kaffah wa la tattabi-‘u khuthuwati sy-syaithani innahu lakum
‘aduwwun mubin.
2:208 Wahai orang-orang yang beriman
masuklah kamu semua ke dalam kehidupan yang damai, dan janganlah mengikuti
langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuhmu yang nyata.
Cukup satu ayat dulu! Dan, mari kita
kupas pelan-pelan ayat ini. Ayat ini turun di Madinah setelah perjanjian
Hudaibiyah [th 6H]. Pada bulan Dzul Qa’dah (bulan ke-11) Nabi mengajak
kabilah-kabilah yang bukan Islam untuk bersama-sama menuju Mekah untuk
berziarah dan memuliakannya. Sejak sebelum kedatangan Islam, orang-orang Arab
biasa memuliakan Ka’bah. Mereka biasa lomba berpidato dan menggantungkan puisi
mereka di Ka’bah. Dengan mengajak orang-orang Arab non-muslim menziarahi dan
memuliakan Baitul Haram, maka keragu-raguan orang Arab terhadap orang-orang
muslim hilang. Dan, dari awal jalur perdamaian lebih dipilih ketimbang
peperangan. Prinsip hidup berdampingan dan damai ditekankan sekali dalam Piagam
Madinah. Tata-cara damai inilah yang menyebabkan Islam cepat sekali tersebar di
Madinah.
Untuk memelihara keharmonisan hidup
masyarakat Madinah, seruan untuk hidup beragama dinyatakan dengan panggilan
yang indah “ayyuhal ladzina amanu”, wahai orang-orang yang beriman. Dengan
panggilan ini orang-orang non-muslim tidaklah tersinggung dalam kehidupan
mereka. Khalifah-khalifah setelah Rasul Saw juga memakai gelar “amirul
mu’minin”, amirnya orang-orang beriman. Sekarang ini tokoh-tokoh agama juga
memanggil pengikutnya dengan sebutan “orang-orang beriman”. Ini memang
panggilan yang manis.
Madinah harus berjaga dan
mempertahankan diri dari serangan musuh. Persatuan sangat dibutuhkan! Terhadap
orang-orang yang menjunjung tinggi Piagam Madinah ini, mereka dipanggil dengan
panggilan orang-orang yang beriman. Mereka semua diseru untuk masuk dalam
perdamaian. Dalam surat Al-Anfal/8:61 dinyatakan dengan tegas, ”Dan jika mereka
condong kepada perdamaian [salm] maka hendaklah kamu condong pula kepadanya
[perdamaian], dan bertawakallah kepada Allah.”
Berikutnya adalah larangan untuk
mengikuti langkah-langkah setan. Masih ingatkan makna ‘mengikuti’ bukan
‘meniru’ lho! Setan tak pernah muncul dihadapan kita. Jadi tak ada perbuatannya
yang bisa ditiru. Setan berarti merenggangkan atau menjauhkan [dari perbuatan
bajik]. Semua perbuatan buruk mendapat julukan perbuatan atau langkah setan.
Pertikaian, fitnah, menghasut, adu-domba, hina-menghina, dan perbuatan
sejenisnya disebut langkah-langkah setan. Karena itu harus ditinggalkan! Semua
itu lahir dari pikiran dan emosi kita. Pikiran dan emosi yang lepas kendali.
Hal ini sungguh membahayakan kehidupan, memporak-porandakan kedamaian. Karena
itu, setan disebut sebagai ‘musuh yang nyata’.
Kita harus memberdayakan pikiran dan
emosi kita untuk menciptakan perdamaian dalam kehidupan ini. Bila ada penawaran
hidup damai, maka kita harus condong pada perdamaian. Kita tak boleh
berprasangka buruk kepada orang-orang yang mengajak hidup damai. Karena itu
kebersediaan hidup damai harus disertai dengan sikap tawakal kepada Tuhan. Dan
menyeru kepada kehidupan damai harus terus-menerus digiatkan. Ya, mencari
kedamaian hidup itu bagaikan mencari intan di tengah onggokan sampah. Bau
sampah itu menyengat sehingga mengganggu kita dalam menemukan intan di
dalamnya. Sama seperti menyeru hidup damai, bau jejak setan ada di mana-mana.
Tapi kita tak boleh putus asa! “Jangan merasa lemah dalam menyeru kepada
perdamaian [salm] karena kedudukanmu [yang menyeru damai] itu lebih tinggi.
Allah beserta kamu! Dan Allah tidak menghilangkan amalanmu.” (QS 47:35)
Jadi, bukan hanya condong kepada
perdamaian, tetapi memprakarsai perdamaian! Dan, damai yang diserukan dalam Al
Quran ini bukan ‘damai’ seperti yang dilakukan pelanggar lalu lintas dengan
polisi penangkapnya. Kalau yang ini bukan damai namanya tetapi transaksi untuk
membebaskan diri dari jeratan hukum. Ini masalah penegakan hukum. Dan saya tak
hendak berkomentar dalam hal ini. Damai yang dituju dalam Al Quran adalah
keadaan yang aman dan tentram, dan dalam posisi keseimbangan. Tidak terjadi adu
kekuatan dan saling menekan di dalam perdamaian. Damai bukanlah aman! Tetapi
keamanan terjamin dalam perdamaian.
Peserta kajian tasawuf yang
terhormat! Dalam tulisan ini kadang kata perdamaian yang saya gunakan, lain
kali saya memakai kata ‘kedamaian’. Yang saya maksud sama, yaitu keadaan damai.
Keduanya merupakan terjemahan dari ‘salm’ atau ‘silm’. Bila yang dimaksud
adalah cara-cara atau proses dalam kegiatan untuk berdamai, maka kata
‘perdamaian’ yang saya pergunakan. Tetapi jika yang dimaksud suasananya yang
damai maka kata ‘kedamaian’ yang ditampilkan. Silm saya terjemahkan perdamaian
dalam ayat di atas. Karena pada ayat itu kita diperintahkan untuk menciptakan
keadaan hidup yang damai. Ada proses, ada aktivitas untuk mencapai hidup damai.
Dalam menyerukan perdamaian kita tidak boleh merasa lemah. Bukankah lemah itu
timbul dari pikiran? Lemah adalah jejak setan, langkah setan. “Dan janganlah
kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena setan itu musuhmu yang nyata,”
bunyi QS 2:208. Nah, sebagai konsekuensi bagi orang yang ingin hidup beragama
yang benar, kita harus aktif dalam menyerukan perdamaian.
Menyerukan perdamaian tidak sama
dengan menebar slogan dan ucapan “mari menempuh hidup damai” atau “mari
berdamai” atau “damai itu indah”. Kalau yang ini sih sekadar ungkapan hati,
atau tipu daya. Menyerukan perdamaian berarti berusaha keras, memprakarsai
hidup damai. Karena itu kita dilarang ‘merasa lemah’ dalam menyerukan
perdamaian. Harus ada ijtihad alias jihad pemikiran. Artinya kita harus memeras
otak [bukan memeras keringat karena kita tidak melakukan perang fisik] untuk
mencari langkah-langkah yang bisa mengantarkan umat manusia menuju hidup damai.
Inilah makna perdamaian!
“Orang-orang yang hidup di negara
maju [tentu saja ada yang malas] bekerja keras, bekerja dengan cermat, berusaha
memenuhi komitmen dalam masyarakat, membuat perjanjian yang melindungi dan
menguntungkan semua pihak, menegakkan hukum [bukan cuma penegak hukumnya], dan
semua aktivitas untuk menyongsong hari depan yang baik adalah wujud untuk
menyerukan perdamaian.”
Orang yang menyerukan perdamaian
tidak boleh merasa lemah. Karena penyeru perdamaian itu lebih tinggi
kualitasnya. Baik kualitas mental, moral, kecerdasan akal, emosional dan
spiritualnya. Yang jelas bukan kualitas fisiknya yang lebih unggul. Kualitas
fisik diperlukan, tetapi bukan hal yang terlalu penting. Kekuatan fisik adalah
kekuatan pendukung, bukan kekuatan utama. Orang yang cerdas dan cerdik tidak
merasa lemah dalam perjuangan hidupnya. Dalam jihad fisik jelas lemah, tetapi
dalam jihad pemikiran dia tidak lemah.
Di ayat 47:35 itu disebutkan bahwa
Tuhan beserta orang-orang yang menyerukan perdamaian. Apa maksudnya Tuhan
menyertai orang-orang yang menyerukan “hidup damai” atau “perdamaian” itu?
Menyeru itu lahir dari kehendak orang yang menyeru. Tuhan adalah sumber iradah.
Maka iradah atau kehendak Tuhanlah yang menyertai orang-orang yang mnyerukan
perdamaian. Dan, Tuhan pun tidak menghilangkan daya dari amalan orang-orang
yang menyerukan perdamaian. Karena itu, orang yang berniat menyerukan
perdamaian tidak boleh merasa lemah.
Suatu hari pada tahun lalu, saya
berpolemik tentang arti ajakan perdamaian yang ada pada ayat 2:208 tersebut.
Pada umumnya [sekali lagi umumnya] terjemahan ayat tersebut adalah seruan
menjadi orang Islam yang secara total, sempurna. Inilah “main stream”, arus
utama dalam pemikiran Islam yang ada. Tetapi saya menolaknya! Saya katakan
bahwa ayat itu merupakan seruan untuk memasuki ‘perdamaian’. Kebanyakan ulama,
ayat itu hanya diambil sepotong saja. Mereka tidak mau melihat kaitan ayat itu
dengan beberapa ayat sebelum dan sesudahnya. Akibatnya, ayat itu menjadi hanya
ditujukan kepada orang Islam [yang waktu itu tentunya ada di Madinah]. Kata
“orang-orang yang beriman” di situ menjadi sempit artinya. Kata ini disamakan
artinya dengan kata “mukmin” yang ada di dalam Al Quran. Padahal dalam arti
luas, kata tersebut bisa bermakna ‘mereka yang menerima deklarasi Madinah yang
terdiri dari berbagai suku dan pemeluk agama’.
Kata “kaffah” disebutkan lima kali
dalam Al Quran, dan merujuk pada makna ‘kuantitatif’, jumlah, bukan merujuk
pada makna ‘kualitatif’ seperti dalam kata berislam secara totalitas. Lalu,
saya tanyakan ‘apa yang dimaksud dengan menjalankan Islam secara
menyeluruh/sempurna’, berapa persen Islam yang harus dikerjakan karena perintah
itu turun sebelum Islam sendiri selesai sebagai ajaran yang sempurna [dalam
arti kata wahyu belum turun seluruhnya]. Dan kalau kita melihat berbagai ragam
ajaran Islam yang ada sekarang, Islam yang bagaimana yang disebut Islam
totalitas itu. Tentu saja jawaban dalam polemik itu menjadi berputar-putar
seperti debat kusir atau main kayu dalam permainan sepak bola.
Ya jelas, dalam pemikiran
Muhammadiyah Islam totalitasnya tidak sama dengan yang ada pada NU. Meskipun
orang NU menjalankan Islam yang paling sempurna pun, bagi orang MD, bagi orang
LDII, bagi orang Wahabi, atau lainnya, tetap dipandang ‘belum menjalankan Islam
yang kafah atau menyeluruh’. Begitu pula sebaliknya, orang-orang lain itu pun belum
totalitas menurut NU. Karena itu saya memilih ‘kafah’ dalam arti kuntitatif,
yaitu semua orang. Terjemahannya menjadi “Wahai orang-orang yang beriman [yang
menerima Piagam Madinah] kamu semua (all of you) masuklah dalam perdamaian atau
kehidupan yang damai. Dan memang, 4 kata kafah yang berada di luar ayat 2:208
ini diterjemahkan ‘semua ?orang- manusia’. Misalnya yang ada di 34:28, “Dan
Kami tidak mengutus engkau kecuali menjadi pemberi kabar gembira dan peringatan
bagi semua (kafah) manusia.”
Dengan demikian jelas sekali bahwa
perdamaian atau kedamaian hidup adalah prinsip dibangkitkannya agama Islam.
Kalau bukan ini, apa bedanya agama Islam dengan ajaran jahiliah yang
mengutamakan keunggulan suku dan sikap mau menang sendiri? Rasul Saw dengan
tegas mengatakan: “Sesungguhnya aku ini dibangkitkan untuk mengutamakan budi
pekerti yang mulia.”
Demikian penjelasan ‘zuhud’ lanjutan
pada kajian kita hari ini. Kita sambung zuhud di bagian pelajaran yang akan
datang. Wa billahi t-taufiq wa l-hidayah. Semoga Tuhan melimpahkan taufik dan
petunjuk-Nya kepada kita. Amin.
Bagian ke-15
[Lanj. Zuhud]
Waktu yang lalu telah dijelaskan
bahwa jihad harus ditingkatkan menjadi ‘ijtihad’, jihad pemikiran. Dan yang
menjadi dasar bagi berlangsungnya ijtihad adalah kedamaian dalam hidup ini.
Tanpa kedamaian manusia tidak akan mampu berpikir. Tanpa keadaan damai tak ada
kreativitas dalam diri manusia. Tanpa kreativitas manusia akan mencari
kedamaian itu dari luar dirinya. Dan jika kedamaian itu harus diperoleh dari
luar maka sesungguhnya yang bersangkutan sudah seperti kecanduan narkoba! Yang
diperolehnya kedamaian semu! Kekayaan dihabiskan untuk membeli sebuah
kedamaian, tetapi yang didapat hanya sesuatu yang semu.
Jihad pemikiran itu menarik garis
yang tegas antara dunia manusia dari dunia binatang. Manusia harus berpikir
untuk menemukan solusi dalam hidupnya. Manusia harus berpikir untuk bisa hidup
bersama secara damai. Binatang hidup damai dengan binatang lainnya dengan
mengandalkan kekuatan [fisik]. Ia taklukkan binatang-binatang lainnya, baru
merasa hidup damai. Lalu, jika manusia tanpa menggunakan pikirannya dalam hidup
ini, apa bedanya dengan binatang?
Dengan berpikir manusia bisa
mengetahui apakah yang dimakan atau diminum itu membahayakan tubuhnya atau
tidak. Dengan berpikir manusia dapat memahami bahwa judi dan mabuk-mabukan itu
tidak sehat bagi kehidupannya. Dengan berpikir manusia dapat mengerti apakah
langkah yang diambilnya itu membahayakan atau bermanfaat bagi dirinya. Dengan
berpikir pula manusia bisa mengerti manusia lainnya! Apabila manusia sudah
dapat mengerti manusia lainnya, maka di situlah demokrasi dapat ditegakkan. Di
situlah keadilan di antara manusia bisa diwujudkan.
Ketika Muhammad Saw dibangkitkan
sebagai seorang nabi, beliau pun diperintah oleh Tuhan untuk menyampaikan
berita bahwa dirinya adalah manusia biasa. Mari kita perhatikan ayat berikut.
6: 50 Katakan, “Saya tidak
mengatakan kepadamu bahwa saya mempunyai perbendaharaan Allah. Saya juga tidak
mengetahui yang gaib! Dan saya juga tidak mengatakan kepadamu bahwa saya ini
malaikat. Saya tidak mengikuti, kecuali apa yang diwahyukan kepada saya.”
Katakan, “Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?” Apakah kamu
tidak berpikir (tatafakkarun)?
Ayat ini memberi tahu kita bahwa
manusia tidak boleh mengkultuskan manusia lainnya. Manusia harus diterima dan
dihormati sebagai manusia. Manusia tidak boleh dipandang sebagai malaikat,
apalagi Tuhan. Bahwa manusia yang satu punya kelebihan atas yang lainnya adalah
benar! Dan itu tidak perlu diingkari. Suatu kelompok atau masyarakat mengangkat
mereka yang memiliki kelebihan dari kebanyakan anggotanya adalah hal yang
wajar, dan perlu. Tetapi, manusia tidak boleh didewakan, dipertuhan, atau
sejenisnya. Rusaknya tatanan pergaulan masyarakat itu karena adanya
pengkultusan terhadap orang-orang tertentu. Demokrasi tidak akan terwujud di
suatu masyarakat bila masih ada manusia di masyarakat yang bersangkutan
didewakan. Karena dasar dari demokrasi adalah egaliter [persamaan] dan
kebebasan [liberti]. Keduanya hanya ada dalam perdamaian sejati! Untuk dapat
mencapai perdamaian sejati manusia harus terus berpikir. Dan berpikir itu
adalah bagian dari amalan manusia.
Lalu, apa sih yang disebut
‘berpikir’ itu? Bukankah banyak orang mengatakan bahwa untuk menjalankan agama
tidak perlu menggunakan pikiran? Katanya, banyak hal dalam agama yang tidak
masuk akal. Atau, ada yang mendramatisasi bahwa akal ini tidak masuk ke dalam
wilayah agama!
Manusia punya otak. Binatang
[bertulang belakang] pun punya! Tetapi binatang tidak dapat berpikir. Otak pada
binatang hanya sebagai markas koordinasi syarafnya. Sedangkan otak pada manusia
juga merupakan alat untuk berpikir. Otak dan pikiran adalah dua hal yang
berbeda! Pikiran lebih besar daripada otak, bahkan lebih besar daripada tubuh
manusia itu sendiri. Manusia menggunakan pikirannya untuk memahami berbagai
tanda dan gejala di alam ini. Dan proses penggunaan pikiran itu ada di otak.
Karena itu, jika kita serius berpikir [dan tidak memperhatikan kondisi
kesehatan dan kemampuan otak] kepala kita bisa terasa pening atau pusing. Otak
adalah bagian dari organ dalam fisik kita, seperti jantung, hati, ginjal dan
lain-lain. Berapa berat beban yang dapat dipikul oleh otak, tidaklah sama
antara orang yang satu dengan yang lainnya. Tetapi setiap otak punya batas
kekuatan. Ingat, segala sesuatu dicipta oleh Tuhan dengan kadar atau ukuran
tertentu.
Perintah berpikir justru untuk
mengangkat manusia dari lembah kebinatangannya. Karena itu, agama tumbuh dan
berkembang seiring dengan perkembangan alam pikiran manusia. Ketika pikiran
manusia belum berkembang, naluri atau ‘insting’ pada manusia yang berfungsi.
Dan, naluri ini masih berfungsi pada dunia kanak-kanak dan tentu saja pada
dunia binatang. Jadi, kalau kita tidak memberdayakan pikiran kita untuk
berpikir, maka tak ubahnya kita ini sebagai kanak-kanak atau kasarnya tak ada
bedanya dengan binatang. Lho, apa bedanya antara pikiran dan berpikir?
Kalau kita mau membuka dan menyimak
kamus, kita akan mengerti bahwa salah satu makna dari ‘pikiran’ adalah akal.
Dan seringkali diucapkan secara bergandengan menjadi ‘akal pikiran’. Baik akal
maupun pikiran dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata Arab ‘aql’ dan ‘fikr’.
Akal adalah kata benda Arab yang berasal dari kata kerja aqala yang berarti
mengikat. Sedangkan fikr berasal dari kata fakara yang berarti merenungkan,
merefleksikan, mempertimbangkan, memperhatikan, dan menduga. Jadi, dengan
pikirannya manusia dapat memahami makna di balik yang kasat mata. Dengan
pikirannya manusia dapat memahami gejala alam. Tetapi dengan pikirannya pula
manusia dapat terjebak sejarah.
Kita tak perlu terjebak dalam
definisi ‘apa itu akal [pikiran]’. Tetapi kita tahu bahwa dengan akalnya
manusia dapat mengingat objek-objek diterima panca indra. Dengan akalnya
manusia dapat mengetahui sesuatu yang tidak dapat dimengerti hewan. Dengan
akalnya manusia dapat memahami hubungan antar objek yang diamatinya dan
menyimpulkannya. Dan bukan sekedar menyimpulkan seperti komputer. Kesimpulan
manusia bisa menembus dunia yang abstrak. Manusia bisa menghasilkan pendapat
atau ‘ide’, yang tentu saja dibangun dari objek-objek yang diingatnya. Akal
pikiran juga bisa membangkitkan imajinasi. Yang dari sini timbullah seni [tari,
pahat, sastra, musik, rupa, olah raga, perang, kepemimpinan dll], dan
penciptaan teknologi. Tetapi dengan pikirannya pula manusia dapat
‘berprasangka’. Dengan berprasangka, sebenarnya manusia telah menipu dirinya.
Karena ia telah memastikan sesuatu yang tidak diketahui-nya. Tentu saja
kebanyakan prasangka itu meleset dari kenyataannya.
Kerja pikiran itu bagaikan sebuah
bola. Begitu digelindingkan bola itu ingin terus menggelinding. Baru berhenti
jika menabrak tanjakan atau karena bergesekan dengan bidang yang dilewatinya.
Pikiran juga begitu! Mula-mula bayi dilahirkan tidak dapat berpikir. Lalu,
orang-orang di sekelilingnya mendorongnya, entah sengaja atau tidak, untuk
berpikir. Nah, begitu pikiran bekerja sulit pikiran itu berhenti. Bahkan
tatkala kita beristirahat pun pikiran tetap bekerja, yang menghasilkan
‘lamunan’. Ketika tidur pun pikiran bekerja, dan menghasilkan mimpi.
Pikiran yang bekerja tanpa perintah
ini bisa menganggu ketenangan manusianya. Sehingga ada orang yang tidak tenang
hidupnya, selalu gelisah, disebut terlalu banyak pikiran. Bila semula pikiran
dipahami sebagai ‘akal’, bila ia menjadi beban manusia pikiran telah menjadi
negatif bagi kehidupan manusia.
Berpikir, bermenung, berefleksi,
berimajinasi, mempertimbangkan, menduga, dan memperhatikan adalah fungsi
pikiran. Sedangkan berprasangka dan melamun bukanlah fungsi pikiran. Orang
melamun karena pikirannya bekerja di luar kendali kehendaknya. Orang
berprasangka karena perasaannya bekerja tanpa ditunjang dengan bukti. Bila kita
diam atau sembahyang, dan kita tak pernah mendiamkan pikiran, maka pikiran itu
akan berkelana ke mana-mana. Pikiran yang bekerja tanpa arah ini dapat
mendorong orang untuk curiga, buruk sangka, iri, dengki, dendam, fanatisme, dan
berbagai perbuatan negatif lainnya. Baik perasaan maupun pikiran yang bekerja
tanpa kendali akan menjadi “setan”. Karena itu setan tidak pernah ada rupanya!
Setan (Inggeris, satan) hanyalah atribut bagi perbuatan atau tindakan yang
menjauhkan diri dari kebenaran. Agar tidak terperangkap setan, manusia harus
berpikir.
Berpikir adalah tindakan untuk menghubungkan
berbagai objek untuk menemukan solusi atau jawaban bagi suatu masalah. Berpikir
adalah usaha untuk memahami makna yang terkandung dalam suatu objek. Dan pada
akhirnya, berpikir adalah upaya untuk menemukan kebenaran. Tanpa berpikir
manusia tak akan menemukan jalan hidupnya! Tanpa berpikir agama menjadi tak
berarti bagi kesejahteraan hidup manusia. Tanpa berpikir manusia akan tetap
primitif dan tak akan menemukan kemanusiaannya. Jadi, wajar jika agama [Islam]
memerintahkan manusia
berpikir.
Di atas telah dijelaskan bahwa
pikiran itu bagaikan bola yang menggelinding. Bila menggelindingnya tanpa arah,
tentu tak akan mengena sasarannya. Karena itu, berpikir harus dilatih. Harus
ada pelatihan untuk kegiatan berpikir. Tanpa ada pelatihan pikiran akan melompat-lompat
tak tentu arah. Imajinasi akan tumbuh menjadi takhyul. Dugaan akan tumbuh
menjadi kecurigaan dan prasangka. Refleksi dan perhatian akan berwujud
kecemburuan dan kedengkian.
Manusia memang harus dilatih
berpikir sebelum dapat dan terampil dalam berpikir. Dan ternyata berpikir itu
sendiri bertingkat-tingkat. Dari tingkat berpikir yang paling rendah hingga
yang paling tinggi. Yang pertama adalah usaha untuk merekam atau mengingat
objek-objek yang diketahuinya. Dengan kata lain, mengingat atau menghafal asma’
atau nama-nama benda [objek]. Pada tingkat ini kita baru pada tahap mengetahui
nama, ciri dan fungsi dari suatu objek. Pelajaran di sekolah dari SD hingga
SLTA adalah untuk memenuhi fungsi pikiran yang paling dasar tersebut. Karena
itu, tekanannya pada hafalan! Mari kita perhatikan ayat berikut ini.
16: 10 Dia-lah yang menurunkan air
dari langit untukmu. Sebagian untuk minumanmu, dan sebagian lainnya untuk
kehidupan tumbuhan. Pada tumbuhan itu kamu gembalakan ternak.
16:11 Dengan air itu Dia tumbuhkan
bagimu tanaman zaitun, kurma, anggur, dan berbagai macam buah-buahan.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah ayat bagi orang-orang yang berpikir.
Pada tahap dini ini manusia diajar
untuk mengerti bahwa air hujan itu diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Manusia
belum dituntut untuk memahami proses hujan itu sendiri. Manusia diberi tahu
bahwa air hujan yang jatuh di bumi ini sebagian dijadikan minuman oleh manusia,
sebagian lain diperlukan untuk pertumbuhan tanaman. Dan dari tanaman yang
tumbuh itu, ada yang bisa dipakai untuk menggembalakan ternak. Ayat berikutnya
menjelaskan bahwa dari air hujan tersebut Tuhan menumbuhkan berbagai
buah-buahan. Dengan cara ini pikiran didorong dan dirangsang untuk bekerja
secara sistematik. Otak kiri diaktifkan lebih dulu!
Yang dibangun pada tahap dini ini
adalah objektivitas. Manusia diajar untuk dapat melihat sesuatu apa adanya.
Bahasa dasar yang berkembang pada manusia pada tahap ini adalah bahasa notasi.
Sifatnya masih konkret! Yang disebut hanyalah yang dapat ditangkap oleh indra
dalam ruang manusia berada. Cara ini didahulukan agar manusia tidak terjebak
dalam alam takhyul. Pelajaran matematika pada tahap dasar adalah untuk melatih
ketrampilan berpikir.
Tahap kedua adalah berzikir! Tahap
ini adalah menyalakan fungsi otak kanan yang sangat berperanan dalam
mengendalikan emosi. Dengan didahului oleh pelatihan pikiran, maka manusia
tidak terjebak dalam khayalan yang tanpa arah. Selanjutnya berzikir berfungsi
untuk mengendalikan pikiran dan perasaan. Pikiran tidak berkeliaran lagi.
Perasaan menjadi kalem, tenang, tidak agresif. Berzikir mendorong manusia untuk
dapat menerima bahwa di alam ini hanya ada satu realitas puncak, hanya ada satu
kebenaran. Berzikir itu melatih pikiran kita bekerja yang terarah dan terfokus.
Sifat menerima dalam berzikir membuat perasaan tumbuh dengan tenang.
Pengertian berzikir sudah diberikan
pada awal pelajaran tasawuf. Agar tidak lupa, saya ulang di pelajaran ini. Kata
zikir berasal dari kata ‘dzakara’ artinya mengingat, menghafal, atau menuangi.
Tadi telah disebutkan bahwa berzikir mendorong untuk bisa menerima satu
realitas puncak. Karena itu, dalam berzikir yang disebut-sebut adalah Sang
Realitas Tertinggi itu, yaitu Tuhan. Atau, kalimat-kalimat yang diyakini
berasal dari Tuhan. Dengan berzikir pikiran dan perasaan senantiasa dituangi
atau diisi dengan asma Tuhan atau kata-kata suci. Rekaman-rekaman pikiran yang
tidak bermanfaat secara perlahan-lahan dibuang, dan digantikan dengan kekuatan
kata-kata suci. Hasil akhirnya adalah hati [tempat tumbuh dan berkembangnya
perasaan] menjadi tenang, atau terpuaskan. Inilah yang disebut dalam Surat
Al-Ra’d/13: 27 ? 28.
13: 27 Orang-orang kafir (orang yang
ingkar) berkata: “Mengapa tidak diturun-kan kepadanya [Muhammad] mukjizat dari
Tuhannya?” Katakan: “Allah niscaya menyesatkan orang yang menghendaki
[kesesatan], dan Dia menunjukkan [jalan] kepada-Nya orang yang kembali,
13: 28 yaitu orang-orang yang
beriman. Dan hati mereka menjadi tenang dengan berzikir kepada Allah.
Perhatikan, hanya dengan berzikir Allah hati menjadi tenteram.
Dua ayat di atas menunjukkan adanya
dikotomi pada manusia. Yang satu disebut sebagai ‘orang kafir’ dan yang lain
dinamakan ‘orang beriman’. Ayat di atas tergolong sebagai ayat yang diturunkan
kepada Nabi di Madinah, dalam masa transisi hijrah ke Madinah. Dikotomi kafir
dan iman menjadi fokus. Karena hijrah merupakan jalan bagi pembentukan
komunitas baru, yaitu masyarakat madani. Pada tahap awal perkembangan Islam di
Madinah ini, yang dimaksud ‘orang kafir’ yaitu orang-orang Qureisy yang
mengingkari kenabian Muhammad. Jadi, bukan seperti anggapan kita sekarang ini,
bahwa orang kafir adalah para non-muslim. Orang-orang kafir adalah orang-orang
yang mengetahui siapa sebenarnya Muhammad itu, tetapi mereka mengingkari kebenaran
yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.
Mereka mengingkari kenabian Muhammad
karena mereka beranggapan bahwa seorang nabi itu harus mampu menunjukkan
mukjizat bendawi. Mereka berasumsi bahwa nabi itu tidak sama dengan manusia
umumnya [lihat ayat di halaman depan]. Nabi haruslah manusia super dan penuh
magis. Mereka tidak bisa menerima bahwa nabi itu juga makan, minum, berumah
tangga, dan bekerja seperti manusia lainnya. Inilah pandangan yang tidak
berdasar! Mereka tidak memikirkan kebenaran yang disampaikan kepada mereka.
Tapi bagaimana bisa berpikir bila hatinya tidak damai?
Pada tahap awal orang masih bisa
berpikir dalam keadaan apa pun. Tentu saja yang bisa dilakukan adalah berpikir
pada tingkat yang paling rendah. Orang yang terus gelisah, resah, gundah,
merasa takut, bingung dan sejenisnya tak mampu berpikir lebih tinggi. Karena
itu harus dilandasi dengan ‘zikir’. Dalam istilah sekarang, ‘berpikir dengan
tenang’ atau kepala dingin. Untuk itu gejolak batin harus diredakan! Dengan
hati yang tenteram, jalan ke depan akan terbuka lebar. Jalan menuju ke
kebenaran tampak semakin jelas. Dan, orang yang berjuang untuk kembali kepada
kebenaran itulah sebenarnya yang disebut “orang beriman” dalam ayat tersebut.
Jadi, orang beriman bukanlah orang yang mengaku ‘beragama tertentu’. Jadi, iman
bukanlah percaya pada “katanya”. Orang beriman adalah orang yang dapat
menyaksikan kebenaran itu sendiri. Ingatlah kembali penjelasan tentang ‘ilmu
l-yaqin, ‘ainu l-yaqin dan haqqu l-yaqin yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya.
Tuhan pasti menunjukkan jalan yang
benar bagi orang-orang yang mau kembali kepada-Nya. Where there is a will there
is a way, begitulah pepatah orang Inggeris. Di mana ada kemauan di situ ada
jalan. Kemauan harus ditopang dengan langkah-langkah yang benar untuk
mencapainya. Kemauan harus didukung dengan batin yang tenang. Dengan cara
demikian pintu ke kebenaran semakin terbuka. Tapi sayang, kebanyakan manusia
[khususnya orang Islam] mandek sampai pada tahap zikir. Baru pada kelas dua
sudah ‘drop out’, berhenti meningkatkan diri.
Kebanyakan manusia sudah puas dengan
berpikir kelas SD dan SLTP. Setelah tercapai hati yang tenang, tidak tahu lagi
kemana akan melangkah. Atau, tidak mau lagi untuk melanjutkan perjalanan
spiritualnya. Ayat 13:28 ini sudah dijadikan pamungkas dalam hidup. Dan ini
bisa kita dengarkan dalam mimbar subuh di radio-radio, dan dapat kita lihat
dalam mimbar agama di tv-tv setiap hari.
Demikianlah uraian zuhud tentang
berpikir kali ini. Penjelasan ‘berpikir tahap lanjutan akan diberikan, insya
Allah, pada bagian ke-16. Dan untuk tip pada pelajaran kali ini, mari kita
berzikir dengan cermat dan waspada.
Pertama, duduklah yang relaks dengan
punggung tegak lurus. Kedua, pejamkan mata secara ringan [asal tertutup], dan
katupkan mulut. Ketiga, tariklah napas pelan-pelan dengan mengucapkan [dalam
hati] kalimat suci “la ilaha illa l-lah” [tiada tuhan selain Allah]. Tahan
sebentar napas Anda, kemudian hembuskan perlahan-lahan sampai habis dengan
disertai pengucapan [dalam hati] kalimat suci itu lagi. Lakukan selama lima
menit saja untuk melatih zikir ini.
Bagian ke-16
Lanj. Zuhud]
Zuhud adalah tahap tajalli. Manusia
dicipta untuk bisa mengekspresikan dan mengaktualisasikan sebagai manusia yang
berkemanusiaan. Tetapi sejarah manusia tidak linear, tidak berjalan mengikuti
garis lurus. Sejarah manusia berjalan melompat-lompat, sehingga ada yang tetap
di tempat dan ada yang maju. Ada pula yang berjalan lambat sekali! Bahkan
kebanyakan manusia ini terseret arus. Namanya saja terseret; jangan dikata bisa
ada di depan.
Islam yang dibangun oleh Nabi
sebagai kehidupan yang beretika sosial dan individual dengan semangat demokrasi
modern, akhirnya menjadi agama yang penuh kejumudan, kekakuan, kebekuan, atau
kebodohan. Takhyul lama [pra-Islam] dibuang, tetapi didatangkan takhyul baru
berlimpah-limpah masuk ke dalam umat Islam. Takhyul baru ini malah dibungkus
dengan hadis-hadis atau ayat-ayat Al Quran. Dengan takhyul baru ini sebagian
besar umat menjadi terbelenggu. Lebih-lebih takhyul ini diajarkan dan
diwariskan dengan bingkai dogmatik. Agama yang penuh pencerahan ini akhirnya
menjadi agama primitif yang penuh momok. Bahkan di dalam tasawuf pun tak lepas
dari takhyul-takhyul baru. Namun, saya tetap menggunakan tasawuf sebagai sarana
untuk membangun umat, karena warna takhyul itu tampak jelas dalam dunia tasawuf
daripada dalam dunia komunitas islam lainnya. Mengapa demikian? Karena tasawuf
ada di titik pusat lingkaran agama.
Takhyul perlu dikupas dalam
pembahasan zuhud ini. Karena di dalam zuhud ada hijrah dan jihad pemikiran.
Dalam hijrah pemikiran, kita tinggalkan pola-pola pikiran lama yang membelenggu
langkah kemajuan manusia. Jika hijrah pemikiran berarti mematahkan belenggunya,
maka dalam jihad pemikiran kita cari jalan baru ke depan, jalan yang lempang,
jalan yang bisa dilalui hingga samai di maqam Ilahi.
Takhyul adalah keyakinan kosong!
Takhyul adalah kepercayaan kepada yang tidak ada [bukan gaib lho!]. Believe to
unreal thing! Pada mulanya semua agama tauhid didirikan di atas landasan yang
nyata, yang riil, on the real thing. Kemudian dalam perjalanannya, komunitas
agama itu menjumpai kejadian dan peristiwa yang ada di luar paradigma agama
itu. Maka pengikutnya mulai menerima takhyul dari luar atau malah mengembangkan
takhyul itu sendiri dalam agamanya. Contoh konkret, “meniti suatu jembatan”
seperti rambut dibelah tujuh [tajamnya] adalah kepercayaan yang sudah ada di
persia beberapa abad sebelum masehi. Tak urung, kepercayaan ini merembet ke
dalam agama Islam, dan dibingkai dengan hadis-hadis, dan disahihkan pula. Baru
satu contoh! Kalau kita rajin membaca ajaran-ajaran “mithras, mani, mitologi
Yunani, saman dan pengetahuan kuno di wilayah India ribuan tahun sebelum
masehi”, wah banyak yang masuk menjadi bagian-bagian hadis.
Takhyul ini pun menjadi bagian dari
pendidikan agama Islam. Bagaimana kita telah dididik takut sama “momok” sejak
kecil. Bagaimana kita dididik untuk dapat mengakui seseorang sebagai ‘wali’
tanpa dididik untuk memahami apa yang dimaksud ‘wali’ dalam Al Quran. Bagaimana
‘jamaah-jamaah’ tertentu dalam Islam
melakukan indoktrinasi atau pembaiatan yang tidak dilakukan oleh Nabi Muhammad
itu sendiri. Orang-orang direkrut masuk jamaah dan diwajibkan meyakini bahwa
pimpinan jamaah-nya orang mursyid, sudah dibaiat dari guru ke guru hingga Nabi
Muhammad Saw. Lalu, anggota jamaahnya disebut ‘telah beriman’, sedangkan yang
di luar kelompok [out-group]-nya disebut ‘kafir’. Lhah, ajaran yang seperti ini
membuat orang-orang Islam mandek, alias jumud.
Bagaimana tidak jumud? Wong jamaah-jamaah
tadi mengajarkan yang tidak benar. Misalnya, keadaan sekarang ini disebut zaman
‘jahiliah’ sehingga pencarian dana dengan jalan yang haram dibenarkan. Ada yang
menerima ‘rezeki haram’ dihalalkan asal tidak digunakan untuk makan. Katanya,
kalau dimakan harus berasal dari yang betul-betul halal, sedangkan yang untuk
kebutuhan duniawi boleh menggunakan uang haram hasil korupsi, komisi, suap dll.
Ini sih, bukan jihad pemikiran tetapi mundur! Islam tidak membuat dikotomi
dunia dan akhirat. Islam mengingatkan, janganlah kita ini terlalu kuat
keduniaannya tetapi lupa akhiratnya. Terjerat kepentingan sesaat tetapi lupa
kebutuhan jangka panjang. Terjebak kehidupan sekarang, tetapi lupa masa depan!
Hal-hal semacam inilah yang diingatkan dalam Al Quran tentang pemahaman dunia
dan akhirat. Jadi, bukan dikotomi yang konkret dengan yang abstrak.
Nah, marilah meniti kembali ke jalan
yang benar, ke pemikiran yang benar! Yang pertama, kita tinggalkan takhyul.
Yang kedua, mari berpikir berlandaskan hal-hal yang nyata dulu. Yang ketiga,
kita landasi dengan emosi yang kokoh ?dengan berzikir? agar kita tidak
terombang-ambing dalam kehidupan ini. Agar kita bisa hidup tenang dalam
menghadapi badai dalam kehidupan ini. Agar kita tidak kebablasan sehingga
tercipta takhyul yang baru. Nah, dari ketiga tahap jihad pemikiran ini, yang
dua sudah dibabar dalam pelajaran yang lalu. Sedangkan meninggalkan takhyul
pada pelajaran yang lalu tertinggal. Mari kita simak ayat-ayat tentang
ketakhayulan ini.
10:36 Dan kebanyakan mereka mengikuti
‘zhan’ [prasangka] saja. Sesungguhnya prasangka itu tidak dapat mengantarkan
kepada kebenaran sedikit pun. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui tentang
perbuatan mereka.
53:28 Dan mereka tidak mempunyai
pengetahuan tentang itu [malaikat]. Sesungguhnya mereka itu hanya mengikuti
prasangka. Padahal, prasangka [zhan] itu tidak berguna sedikit pun untuk
mencapai kebenaran.
6:116 Dan jika menuruti sebagian
besar orang di bumi, niscaya mereka menyesatkan engkau [Muhammad] dari jalan
Allah. Mereka hanyalah memperturutkan prasangka dan tak lain yang mereka
perbuat adalah kebohongan semata.
6:148 Orang-orang yang menyekutukan
Tuhan berkata: “Jika Allah meng-hendaki niscaya kami dan nenek moyang kami
tidak menyekutukan Tuhan, dan kami tidak mengharamkan sesuatu pun. Demikianlah
orang-orang sebelum mereka telah mendustakan para utusan Tuhan hingga mereka
tertimpa azab Kami. Katakan: “Apakah kamu mempunyai pengetahuan [tentang
tauhid] lalu kamu keluarkan hal itu untuk kami. Kamu hanya mengikuti prasangka
dan dusta!”
Nah, mari kita telaah dengan jernih
ayat-ayat tersebut! Yang pertama ditegaskan bahwa sebagian besar manusia itu
hanya menuruti prasangka atau ‘zhan’. Kata zhan menunjukkan suatu klaim tanpa
bukti. Ayat 6:148 lebih jelas lagi kata zhan dipasangkan dengan kebohongan atau
dusta. Bohong berarti tidak mengungkapkan yang sebenarnya! Bohong juga berarti
menyembunyikan kebenaran.
Ayat pertama menyebutkan bahwa
prasangka itu tidak berguna sedikit pun untuk mencapai kebenaran. Bagaimana
bisa sampai kepada kebenaran bila landasannya adalah hal yang tidak benar atau
tidak nyata. Di zaman mitologi kebenaran memang belum menjadi tolok ukur, yang
penting tujuannya benar. Dan, hal ini diwariskan dari nenek-moyang kepada
generasi ke generasi berikutnya. Tetapi setelah pemikiran berkembang, tujuan
yang benar harus dilandasi oleh hal-hal yang benar! Kalau manusia ingin bisa
terbang ke angkasa, ya jangan bermimpi punya sayap. Nanti menjadi takhyul.
Manusia harus berpikir bagaimana membuat wahana yang bisa terbang, dengan
mempelajari objektivitas pada burung. Manusia juga tidak perlu membangun energi
bagi dirinya untuk bisa terbang seperti di dalam cerita atau dalam film-film.
Apakah hal itu tidak bisa diusahakan? Tentu saja bisa! Praktik debus, melompati
rumah, merayap di dinding, bisa dilatih dengan olah batin yang dalam. Tetapi
energi yang seharusnya digunakan untuk membekali dirinya dalam perjalanan hidup
ini hanyalah dibuang untuk pertunjukan atau ‘show’. Manusia harus belajar pada
hal-hal yang nyata yang telah digelar Tuhan di alam ini. Bukan berpijak pada
mitos dan ‘fancy’ atau takhyul. Dulu boleh, ketika manusia berada di tahap
dinamisme, yaitu ketika alam pikiran manusia belum berkembang.
Bumi terus berputar, dan
mengelilingi matahari. Populasi manusia telah ratusan kali banyaknya bila
dibandingkan dengan ketika agama-agama besar muncul. Macam dan jenis rangsangan
yang mempengaruhi hidup manusia semakin banyak dan semakin berbeda. Persoalan
yang dihadapi manusia semakin kompleks. Ketika saya di SD belum ada teve di
kampung saya, sehingga sehabis maghrib anak-anak SD bisa belajar dengan nyaman
[meskipun pakai lampu minyak, bukan listrik]. Dalam alam yang demikian, momok,
hantu, sundel bolong [kuntil anak], jurig, wewe gombel, gendruwo, takhyul, dan
berbagai cerita tentang makhluk jadian berkembang pesat.
Sebenarnya takhyul harus sudah
dibuang di tahap takhalli, tahap pengosongan dari berbagai sifat tercela.
Tetapi, membebaskan diri dari belenggu takhyul tidak semudah meninggalkan
perilaku yang tercela. Contoh yang paling konkret, 1400 tahun yang lalu, Nabi
membebaskan takhyul masyarakat Arab yang berupa 360 patung berhala di sekitar
Ka’bah. Tetapi sampai hari ini pun tak terhitung banyaknya orang yang
menjadikan Ka’bah sebagai pengganti patung berhala. Mengapa bisa terjadi
demikian? Karena pikiran tauhid belum tumbuh baik di kalangan umat.
Membebaskan takhyul memerlukan
peningkatan kesadaran. Sadar itu memahami relasi atau hubungan antara objek
dengan subjeknya. Mampu mengidentifikasi objek-objek yang ada di sekitar
dirinya. Agar tidak terjadi ketakhyulan, kita harus melihat objek secara
konkret dulu, sesuatu yang riil yang diketahui melalui pengalaman secara
langsung. Ini adalah tataran terendah dalam berpikir. Dari pengalaman ini,
dapat ditarik suatu kesimpulan, dan lahirlah pengetahuan dan teori. Pengetahuan
dibentuk dari kata “pe+ke+tahu+an” --> pe + ketahuan. Ketahuan adalah
hal-hal yang diketahui [dipersepsi oleh indera]. Karena itu tingkat keimanan
atau keyakinan yang paling rendah adalah keyakinan berdasarkan pengetahuan
[ilmu] dan disebut ‘ilmu l-yaqin. Sedangkan bagi yang mengalaminya sendiri
berada di tahap ‘ainu l-yaqin. Lha, kalau kita sudah memahami, mengerti apa
yang kita alami itu, namanya haqqu l-yaqin. Begitulah tahapan keyakinan dalam
Islam. Jadi, bukan keyakinan yang hanya didasarkan pada kepercayaan
semata-mata.
Kebanyakan manusia yang hidup di
bumi ini hidup berdasarkan prasangka. Ini sangat berbahaya! Kebanyakan orang
hidup berdasarkan prasangka ras, etnis, agama, dan golongan. Ras atau etnis A
merasa lebih unggul daripada ras/etnis lainnya. Orang yang beragama A
menganggap dirinya yang masuk surga, dan orang yang beragama lain disebut masih
kafir dan masuk neraka. Semua ini hasil prasangka, bukan karena telah
mengetahui sendiri. Orang yang hidupnya terbelenggu prasangka mudah disulut
atau diprovokasi. Karena itu prasangka dikatakan dalam kitab suci sebagai hal
yang tak berguna sedikit pun untuk mencapai kebenaran. Kerusuhan-kerusuhan yang
terjadi di Indonesia akhir-akhir ini menunjukkan bahwa banyak manusia Indonesia
yang hidupnya di atas altar prasangka. Agar tidak terjerumus ke dalam
prasangka, maka kitab-kitab suci itu harus ditelaah, dipelajari, dan bukan
dibaca untuk mendapatkan pahala. Kerdil betul pikiran kita, bila kita percaya
membaca satu huruf sudah berpahala.
Ayat 6:116 menyebutkan bahwa
sebagian besar manusia itu mengikuti prasangka atau zhan. Lho, ayat ini ngawur
atau sesuai fakta? Berdasarkan penemuan-penemuan, hanya 4 ? 5 % otak manusia
digunakan. Dan, orang jenius hanya menggunakan 5 ? 6 persen saja dari kapasitas
otaknya.
Hanya sekitar 5% dari populasi
manusia yang menggunakan pikirannya dalam kehidupan sehari-hari. Lha, yang 95%
bagaimana? Hidup hanya memenuhi rutinitas pekerjaan. Artinya, tanpa mikir lagi!
Coba kita perhatikan hidup kita
sendiri! Dalam sehari kita hidup selama dua-puluh empat jam atau 1.440 menit.
Jika 5% dari hidup ini kita gunakan untuk berpikir, artinya tujuh-puluh dua
menit atau 1,2 jam dalam sehari kita berpikir! Apa iya? Ternyata sebagian besar
waktu dalam hidup ini kita gunakan sebagai pengganti mesin. Kita kerja
mengikuti prosedur yang sudah ada, tanpa mikir lagi. Jadi, wajar bila ada
ungkapan ?yang menurut sebagian ulama, bukan ungkapan tetapi hadis?berpikir
satu jam nilainya lebih besar dari sembahyang 1000 rakaat [dalam teks lainnya
disebut beribadah enam-puluh tahun]. Wajar juga, jika kemauan sebagian besar
manusia ini dituruti, hidup bisa tersesat. Bagaimana tidak tersesat, wong
kebanyakan pandangan itu hasil prasangka! Hanya warisan dari generasi ke
generasi. Hal ini khususnya terjadi di masa ‘iptek’ belum berkembang, atau di
masyarakat yang sedang berkembang.
Di masyarakat yang sedang
berkembang, banyak hal yang direkayasa. Artinya sesuatu dibuat bukan
berdasarkan hal-hal yang konkret. Sesuatu dibuat hanya berdasar akal-akalan
pikiran. Partai dan organisasi dibuat bukan berlandaskan kenyataan dan untuk
kesejahteraan anggotanya. Tetapi, untuk memenuhi kepentingan pribadi pengurus
atau panitianya. Demi ambisi jajaran pimpinannya. Lalu bagaimana mungkin bisa
mencapai keberhasilan, wong pendiriannya hasil prasangka dan rekayasa.
Nah, sudah waktunya kita
memberdayakan pikiran kita. Kita tingkatkan kapasitas penggunaan otak kita!
Bukan 4-5 % tetapi 5-6%. Jika semula pikiran kita gunakan untuk mengingat asma,
atau nama-nama objek dengan segala ciri dan fungsinya; maka kita tingkatkan
penggunaan pikiran ini untuk memperhatikan relasi-relasi di antara objek-objek
yang ada. Kita gunakan pikiran untuk memahami kaitan objek dengan ruang dan
waktu. Di sini kisah dan sejarah manusia menjadi perlu! Kita lakukan studi
perbandingan [komparatif]. Akhirnya kita bisa memperoleh sebuah kesimpulan yang
sangat berguna bagi kesejahteraan manusia. Inilah tahap ‘penalaran’, tahapan
berpikir lebih lanjut, setelah kita terlatih dalam berzikir!
Marilah kita perhatikan 4 ayat dalam
Surat Al Ghasyiyah [Kejadian yang dahsyat] yaitu ayat 17 s/d 20 berikut ini.
88:17 Apakah mereka itu tidak
menggunakan nalar mereka bagaimana unta itu diciptakan?
88:18 Dan bagaimana langit ditinggikan?
88:19 Dan bagaimana gunung-gunung
ditegakkan?
88:20 Dan bagaimana bumi
dibentangkan?
Kata ‘nazhara’ tidak cukup diartikan
memperhatikan. Ia mengandung makna penyelidikan, pendataan dan pengamatan
terhadap suatu objek. Dalam penalaran ini objek kita kupas dan kita bedah. Kita
bukan cuma melihat. Tetapi kita lakukan langkah-langkah untuk mendapatkan
informasi tentang objek yang kita perhatikan. Kita tidak lagi percaya bahwa
hewan diciptakan berdasarkan “sim sala bim”. Kalau ciptaan itu bersifat “sim sala
bim”, perintah tersebut di atas tak pernah ada!
Jika semula ada kepercayaan bahwa
bumi itu datar, maka manusia diperintahkan untuk mempelajarinya, apakah betul
kepercayaan itu. Manusia harus mempelajari bagaimana bumi ini kok bisa dihuni,
bagaimana riwayatnya, dan lain-lain. Untuk apa itu semua? Ya, untuk
kesejahteraan manusia itu sendiri! Mengapa tidak Tuhan saja yang membuat kitab
ilmu pengetahuan itu lalu diserahkan kepada manusia? Bukankah Tuhan itu Maha
Kuasa? Bukankah dengan adanya kitab suci ‘IPTEK’, manusia tinggal mengikuti
instruksi dan proses yang dibabar di dalamnya, dan tidak perlu berprasangka?
Nah, kita mulai menaiki tangga untuk mengenal Tuhan, siapa sesungguhnya Dia.
Kita akhirnya mengerti mengapa perjalanan hidup ini berujung kepada pernyataan
“kembali kepada Allah”. Tetapi untuk dapat kembali ke Dia, kita harus berpikir!
Perhatikan kembali ayat 6:148 di
atas. Allah menolak pernyataan orang-orang musyrik “Jika Allah menghendaki
niscaya kami dan nenek-moyang kami tidak menyekutukan Tuhan”. Pernyataan ini
disebut tidak berdasarkan pengetahuan! Ini hanyalah pernyataan yang diwarisi
dari nenek-moyang yang belum berkembang alam pikirannya. Ini adalah pernyataan
yang berdiri di atas prasangka, sesuatu yang tanpa bukti nyata. Sebenarnya pernyataan
ini pun ditujukan kepada kita yang tidak musyrik, jika kita masih bersikap
seperti orang musyrik, kita berkutat pada masalah “kehendak-menghendaki”.
Sehingga banyak di kalangan umat ini yang meyakini bahwa “sesat atau mendapat
petunjuk” itu atas kehendak Tuhan. Dan
itulah yang dari awal kajian ini saya tegaskan bahwa Allah memberi petunjuk
kepada atau menyesatkan manusia yang menghendakinya [petunjuk atau kesesatan].
Dan, ternyata petunjuk itu harus diperoleh memalui usaha yang dilandasi
pemikiran yang benar, yang berdiri di atas fakta-fakta dan bukti nyata. Karena
itu sejak awal perkembangan agama Islam, Tuhan memerintah manusia untuk
berpikir dengan memperhatikan penciptaan unta, penegakan langit, gunung, dan
pembentangan bumi.
Untuk menutup pelajaran tasawuf hari
ini, perlu saya mengingatkan kembali bahwa “Tuhan bukanlah manusia yang maha
pandai atau maha kuasa”. Tuhan adalah Dzat Yang Maha Kuasa dan Maha Tahu.
Penciptaan alam ini merupakan ‘tajalli’ atau manifestasi Tuhan dalam ruang dan
waktu. Jika ‘ruh’-Nya ditiupkan kepada manusia, itu dimaksudkan agar ruh itu
bisa kembali kepada-Nya melalui rentangan waktu yang panjang. Untuk itu manusia
dilengkapi dengan ‘al-qalam’, suatu alat untuk mengetahui sesuatu yang tidak
diketahui sebelumnya.
Tuhan bertajalli dan manusia pun
akhirnya harus bertajalli. Di situlah kedua tajalli bertemu, manusia telah
bertemu dengan Tuhannya. Hal inilah yang di dalam ajaran tasawuf disebut
“wihdatu l-wujud” atau dalam khazanah ajaran Jawa disebut “Manung-galing kawula
klawan Gusti”, bersatunya hamba dengan Tuhan. “Inna li l-lahi wa inna ilaihi
raji-‘un”, sesungguhnya kita ini berasal dari Tuhan dan akan kembali
kepada-Nya. Nah, dalam bingkai ruang dan waktu ini manusia telah dibekali daya
dan kekuatan untuk kembali kepada-Nya, yaitu dengan kehendak untuk kembali,
bukan menunggu kehendak Tuhan. Kita bukanlah orang musyrik, jadi tak ada ruang
untuk “jika Tuhan menghendaki diriku” [demi kepentinganku].
Bag. Ke-17
[Lanj. Zuhud]
“La ilaha illa l-lah”, tidak ada
tuhan selain Allah. Inilah konsep pokok yang diajarkan oleh Muhammad Saw. Yang
pertama adalah negasi, yaitu ‘tidak ada tuhan’, tidak ada yang menjadi tujuan
akhir. Negasi ini penting sekali dalam perjalanan hidup ini. Tanpa negasi,
manusia akan terbelenggu oleh berbagai ilah, atau tuhan-tuhan yang sudah
menjadi kepercayaan masyarakat. Selanjutnya, harus dilakukan ‘peneguhan’ atau
konfirmasi, bahwa tujuan manusia adalah Allah. Tidak mungkin hidup tanpa
tujuan! Dan satu-satunya tujuan adalah “Yang Maha Benar”, yaitu Allah. Yang
Maha Benar tentunya cuma satu. Dia-lah Allah atau Tuhan [tuhan dengan ‘T’ besar
dalam ejaan bahasa Indonesia].
Dalam berpikir pun harus didahului
oleh ‘negasi’, agar kita dapat menemukan yang benar. Yaitu, kita harus berpikir
yang bebas dari takhyul. Bila hidup kita masih terbelenggu takhyul maka kita
tak akan dapat menemukan kebenaran. Nah, dari tahapan berpikir, pada pelajaran
zuhud yang terakhir, kita sudah sampai ditangga ‘penalaran’. Dan setiap kali
kita menapaki tangga ini harus berpegangan pada ‘zikir kepada Allah’ atau
dzikru l-lah. Jadi, berpikir dan berzikir itu seperti ‘tangga’. Anak tangganya
adalah berpikir, dan ibu tangganya yang menjadi pegangan ketika menaiki anak
tangga adalah berzikir. Ini penting sekali diperhatikan! Sebab, setiap kali
kita menggunakan pikiran, bisikan takhyul itu
datang.
Lho, dari mana takhyul itu datang
jika kita berpegang teguh pada asas pikiran? Tentu saja dari dorongan emosi
kita, dari batin kita, yang disebut “hawa” dalam bahasa Arab, dan
diindonesiakan menjadi ‘hawa nafsu’. Hawa nafsu adalah dorongan batin yang
sangat kuat untuk bertindak tanpa dilandasi pikiran. Sedangkan ‘nafsu’ adalah
dorongan untuk meredakan ketegangan dalam diri. Hal ini penting untuk diketahui
agar kita bisa memahami arti masing-masing. HS [sexual intercourse] adalah
nafsu. Tetapi jika tindakan HS itu tanpa dilandasi kebenaran [just do it], maka
tindakan HS tersebut berarti hanya untuk memenuhi hawa nafsu. Salah satu makna
‘hawa’ adalah jatuh. Maka orang yang memenuhi hawa nafsunya berarti mendorong
jatuh dirinya. Banyak orang yang berbuat dengan memperturutkan hawa nafsunya.
Dan hal ini di dalam Al Quran disebut perbuatan syirik atau musyrik [orangnya].
Nah, mari kita perhatikan ayat-ayat
yang berkaitan dengan hawa nafsu [baik ayat utuh maupun hanya bagian ayat yang
dikutip].
4:135 Hai orang-orang yang beriman,
jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi syuhada’-nya
meskipun terhadap dirimu sendiri, ibu-bapakmu, atau kerabatmu; baik ia kaya
atau miskin. Allah lebih [mempunyai hak] atas mereka. Maka janganlah mengikuti
hawa nafsu sehingga kamu berlaku tidak adil.
38:26 “Hai Daud, sesungguhnya Kami
menjadikan engkau khalifah di bumi. Maka berikan keputusan yang benar di antara
manusia, dan jangan engkau mengikuti hawa nafsu; karena hawa nafsu itu
menyesatkan engkau dari jalan Allah. Barangsiapa yang menyimpang dari jalan
Allah niscaya akan tertimpa azab yang keras. Mereka sesungguhnya telah
melupakan hari perhitungan.”
7:175 Dan bacakan kepada mereka
tentang orang-orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami. Lalu,
mereka menarik diri dari [ayat] itu. Kemudian, setan mengikutinya sehingga ia
tersesat.
7:176 Dan bila Kami menghendaki
niscaya Kami tinggikan dia dengan [ayat] itu. Tetapi, dia ingin menetap di
bumi, dan memperturutkan hawa nafsunya. Perumpamaannya bagaikan anjing, engkau
halau atau biar-kan, tetap menjulurkan lidahnya. Inilah perumpamaan orang yang
mendustakan ayat-ayat Kami. Sampaikan kisah ini untuk mendorong mereka mau
berpikir.
18:28 ... Dan jangan engkau
mengikuti orang yang telah Kami lalaikan hatinya dari berzikir kepada Kami, dan
dia [cuma] mengikuti hawa nafsunya, dan selalu melampaui batas dalam urusannya.
18:29 Kemudian katakan, “Kebenaran
itu dari Tuhanmu! Barangssiapa yang menghendaki keimanan maka hendaklah dia
beriman, dan barangsiapa yang menghendaki kekafiran maka hendaklah dia kafir.
....
28:50 ... Dan siapakah yang lebih
sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah?
Sesungguhnya Allah tidak mem-berikan petunjuk kepada orang-orang zalim.
25:43 Tahukah engkau orang yang
menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya? Akah engkau [Muhammad] sebagai
pelindungnya?
45:23 Adakah engkau melihat orang
yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkan sesat
berdasarkan ilmu? Dan Dia menutup pendengaran dan hatinya, dan menjadikan
sebuah tutup bagi penglihatan [abshar]-nya. Selain Allah, siapakah yang
menunjuki-nya? Mengapa kamu tidak bertazakur?
Nah, ada sembilan ayat tentang
peranan hawa nafsu yang akan dikupas dan diulas dalam pelajaran hari ini.
Pertama, orang-orang beriman
diperintah Tuhan untuk menegakkan keadilan. Adil, baik terhadap ibu-bapak
maupun kerabat! Perhatikan kaitan antara keimanan dan keadilan. Itulah sebabnya
dari awal pelajaran ini ditegaskan bahwa keimanan bukanlah semata-mata
‘kepercayaan’. Orang beriman harus berusaha hidup adil, termasuk kepada
orangtua dan kerabatnya. Adil dalam kehidupan nyata yang
disebut sebagai syuhada’ Allah.
Sengaja kata syuhada’ tidak saya terjemahkan. Karena syuhada’ adalah orang yang
menyaksikan dan disaksikan Allah. Menyaksikan Allah berarti menyaksikan
kebenaran itu sendiri. Disaksikan oleh Allah berarti disaksikan oleh Yang Maha
Benar, karena itu adil terhadap siapa pun [yang kita cintai dan kita benci].
Inilah salah satu unsur pokok orang yang beriman!
Kedua, keadilan dipertentangkan
dengan hawa nafsu. Orang yang mengikuti hawa nafsunya akan bertindak atau
berbuat tidak adil. Mengapa demikian? Karena adil itu bersifat ‘fair’, bersikap
seimbang dan proporsional terhadap semua orang. Adil itu tidak berat sebelah!
Adil tidak berpihak kepada seseorang karena hubungan kekerabatan atau
kekayaannya. Dan untuk dapat berlaku adil manusia harus mampu menimbang dengan
benar. Untuk itu diperlukan pikiran!
Sering kita mendengarkan kalimat
“kita harus menggunakan akal sehat” atau “menurut akal sehat” dan lain
sebagainya. Kalau kita perhatikan kalimat tersebut, ada pengertian bahwa ada
‘akal yang tidak sehat’. Yang benar adalah akal selalu sehat. Akal adalah
representasi Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan adalah Akal Yang Maha Agung! Karena itu
Tuhan bersifat Maha Mengetahui. Orang yang bodoh, orang yang tidak mampu
menimbang sesuatu dengan benar, tidak berarti akalnya tidak sehat atau sakit.
Ia adalah orang yang tidak mampu menggunakan akalnya. Karena itu orang harus
dilatih menggunakan akalnya. Ia harus diajari bagaimana mengasah pikirannya.
Pikiran yang diasah dengan benar akan menjadi tajam, mudah tanggap terhadap
sesuatu. Lalu, pikiran yang tajam itu harus digunakan dengan benar, sehingga
bisa memberikan solusi yang tepat dalam kehidupan ini.
Ketiga, berdasarkan ayat 38:26 suatu
keputusan yang benar adalah keputusan yang tidak timbul dari hawa nafsu.
Artinya, keputusan akan benar bila dilandasi dengan pemikiran yang benar. Hawa
nafsu akan menyesatkan manusia dari jalan yang benar, yaitu jalan Allah. Hawa
nafsu adalah tindakan tanpa pikiran. Yang penting keinginan terpenuhi tanpa
peduli cara dan akibatnya. Karena itu hawa nafsu menyesatkan manusia dari jalan
yang benar. Ia membawa manusia ke jalan yang salah!
Nah, setelah memahami ketiga uraian
di atas, sampailah kita pada kesimpulan bahwa prasangka, takhyul, hawa nafsu,
dan setan, sesungguhnya adalah wajah-wajah dari ‘thaghut’, yaitu sikap yang
melampaui batas! Semuanya adalah sisi-sisi dari thaghut yang sama. Mengikuti
hawa nafsu juga disebut sebagai ‘mengikuti setan’. Dan pada ayat 38:26 tersebut
dikatakan bahwa orang yang mengikuti hawa nafsu adalah orang yang melupakan
hari perhitungan, melupakan konsekuensi perbuatannya. Orang itu lupa bahwa
setiap perbuatan itu ada akibatnya! Dikiranya suatu perbuatan itu tak ada
bekas-nya dalam perjalanan hidup ini.
Kembali kepada langkah-langkah dalam
berpikir. Pertama, harus kita tinggalkan prasangka [syak]. Kedua, harus kita
bebaskan dari takhyul. Lalu, kita bingkai dengan sabar dan zikir. Agar proses
melihat, mendengar, dan mengingat itu bekerja dengan jernih. Sebab kegugupan,
keraguan, dan ilusi akan mempengaruhi persepsi kita pada kenyataan yang kita
indrawi itu. Ketiga, kita lakukan penalaran, reasoning. Jangan emosi, atau
hanya mengikuti hawa nafsu. Penalaran adalah upaya memahami sebab-akibat pada
objek yang menjadi perhatian kita. Kita perhatikan relasi antara objek-objek
yang ada di sekitar kita ini. Kemudian, penalaran itu kita bingkai dengan
tazakur, yaitu perenungan dan penjernihan pikiran.
Lho, apa bisa orang awam diajak
berpikir? Tentu saja bisa! Yang penting setiap orang harus dirangsang dan
didorong untuk menggunakan pikirannya sesuai dengan kapasitas otaknya atau
kapabilitasnya. Seseorang tak perlu dibebani melebihi takaran kemampuannya.
Dan, yang paling pokok adalah umat harus dibebaskan dari belenggu prasangka,
takhyul, dan hawa nafsu. Inilah modal dasar umat untuk berpikir! Dengan bebas
dari ‘pth’ umat bisa dituntun untuk melihat kebenaran. Dengan modal dasar itu
umat bisa dibawa maju, tidak jumud [mandek]. Dengan cara berpikir yang benar,
kesadaran bisa ditingkatkan. Perlu diperhatikan kembali bahwa tingginya
pengetahuan yang dicapai seseorang tak ada kaitannya dengan kesadaran. Karena
pengetahuan didapat dari luar, sedangkan kesadaran diperoleh dari dalam diri
seseorang itu sendiri. Kesadaran berkaitan dengan keimanan. Sedangkan
pengetahuan adalah tahap awal bagi keimanan. Jadi, setinggi-tingginya
pengetahuan tidaklah sama dengan ‘ain atau telah mengalami sendiri. Tetapi
pengetahuan yang tinggi disertai pengalaman mengantarkan seseorang naik ke
tahap ‘haqq al-yaqin’.
Apa artinya “pengetahuan yang tinggi
+ pengalaman” => keyakinan yang haq? Saya tak perlu membuat definisinya.
Tetapi Anda bisa memahami bagaimana sekiranya anak kecil mengalami sesuatu
tanpa pengetahuan atau orang yang berpengetahuan tanpa pengalaman. Anak kecil
tidak mengerti apa yang dialaminya. Berpengetahuan tanpa pengalaman berarti tak
ada penghayatan kebenaran. Kita memiliki pengetahuan tentang rasa daging,
tetapi tanpa mengecapnya, bagaimana kita mengetahui kebenaran rasa daging itu
sendiri? Kita memiliki pengetahuan tentang khusyu’, tetapi kita tidak pernah
mengalami khusyu’, bagaimana kita bisa mengerti kebenaran khusyu’?
Sekarang marilah kita perhatikan
ayat 7:175-176. Apa saja yang ada yang bisa kita tangkap dengan indera adalah
ayat-ayat Tuhan. Ayat-ayat yang kasat mata adalah pijakan bagi ayat-ayat
kitabiyah. Tanpa mengerti ayat-ayat kauniyah [kasat mata] sulit untuk dapat
mengerti kandungan ayat-ayat kitabiyah. Jika kita tidak menghayati arti sebuah
kemiskinan atau kekalahan, bagaimana kita bisa menegakkan keadilan? Bila kita
tidak mengerti hukum Tuhan yang digelar di alam ini bagaimana kita bisa
memutuskan kebenaran? Jika kita tidak mengerti makna sebuah perjanjian,
bagaimana kita dapat menghormati kerja sama?
Memahami ayat-ayat Tuhan, baik yang
kauniyah maupun yang kitabiyah, adalah tangga untuk dapat kembali kepada Tuhan.
Jika seseorang memperturutkan hawa nafsu, tak peduli terhadap lingkungannya,
maka setanlah yang mengikuti tingkah lakunya. Dan selanjutnya, setanlah yang
ada di depan menuntunnya. Jika setan yang menuntun, ya akan keluar dari jalur
yang benar. Apabila seseorang memalingkan diri dari kebenarn, maka setanlah
yang mengikutinya. Lalu setannya siapa? Ya dirinya sendiri yang terjebak ‘pth’
dalam hidup ini. Jadi, jangan cari-cari bentuknya setan!
Lalu, ayat 176 menyebutkan bahwa
Tuhan menghendaki derajat yang tinggi bagi hamba-Nya yang tidak mau melekat
[menetap] di bumi! Untuk dapat memahami arti “melekat (menetap) di bumi”
memerlukan penalaran dan perenungan. Apa artinya “tetapi ia ingin menetap di
atau cenderung kepada bumi”, wa lakinnahu akhlada ila l-ardhi? Tanpa
menggunakan pikiran, kita tak bisa memahami ayat ini. Yang jelas, Tuhan tidak
meninggikan derajat atau kedudukan orang yang cenderung kepada bumi atau dunia.
Tentu ini pun bukan bermakna harfiah, dalam arti naik pangkat, menjadi kaya
materi dan lain-lain. Tetapi ini bermakna batiniah, seperti jiwanya
tercerahkan, dirinya terbebas dari jeratan materi atau kesementaraan. Kalimat
ingin menetap di bumi atau cenderung kepada dunia disambung dengan mengikuti
hawa nafsu, artinya lebih memilih kehidupan sementara, atau kehidupan jangka
pendek, ketimbang kehidupan jangka panjang atau kehidupan di masa depan!
Orang yang lebih mementingkan
kehidupan dunia atau jangka pendek in bagaikan anjing, dihalau atau dibiarkan
lidahnya tetap terjulur. Artinya, diberi pelajaran atau tidak, sama saja.
Pelajaran atau peringatan tak akan mengubah sikap hidupnya. Ayat ini merupakan
rangkaian ayat yang menuturkan kehidupan komunitas Yahudi. Pada zaman Musa ada
seorang hamba yang menguasai pengetahuan keagamaan [lahir-batin]. Ia adalah
Baal Am bin Baura, dan paham betul tentang kebenaran hidup ini. Tetapi ia iri
kepada Musa, ia merasa tersingkir dengan datangnya Nabi Musa. Sehingga ia
bersama dengan para pengikutnya berusaha menyingkirkan Musa. Mengapa tindakan
itu dia lakukan? Karena Baal Am [atas desakan pengikutnya] lebih memilih
kehidupan jangka pendeknya daripada jangka panjangnya. Ia tinggalkan kebenaran,
dan ia ikuti hawa nafsunya. Sehingga malanglah nasibnya. Ia tidak lagi menjadi
orang yang tercerahkan, tetapi justru konfrontasi dengan Nabi Musa. Ayat itu
ditutup dengan kalimat “ceritakan kisah itu agar mereka berpikir”.
Jelaslah sudah suatu kisah, hikayat,
sejarah, disampaikan kepada generasi berikut-nya itu bukan hanya untuk
dipercaya, tapi dipikirkan pesan-pesan dan kandungannya agar manusia bisa
melangkah dengan benar ke masa depannya. Apa mutiara hikmah yang ada di dalam
suatu kisah atau sejarah, atau bahkan legenda, itulah yang harus ditimba. Jadi,
dengan berpikir kita tidak hanya terpaku pada fakta. Tetapi kita lebih melihat
makna yang terkandung, sehingga kisah, sejarah, mitos, legenda itu dapat
digunakan sebagai tongkat untuk menyongsong hari depan kehidupan manusia.
Dengan berpikir manusia dapat mencari makna dan realita di balik fakta-fakta
dan data. Kita bisa memahami kebenaran yang terselubung oleh bentuk objek-objek
yang tercerap oleh indera.
Jika berpikir itu menjadi fungsi
pokok manusia, lalau dimana letaknya intuisi dan wahyu bagi manusia? Lalu, apa
artinya kita harus meningkatkan di ke tingkat kesadaran "zero mind"
atau "No-mind"? Ingat, 'to mind' tidak sama dengan 'to think' apa
lagi dengan 'to contemplate' [merenungkan]. Pada pelajaran kali ini tidak
dibahas dulu perihal wahyu atau intuisi. Tetapi perlu diberikan gambaran agar
konsep 'berpikir' menjadi jelas. Para nabi bukanlah orang-orang yang bodoh.
Bahkan mereka adalah manusia-manusia yang sungguh-sungguh merenungkan [berpikir
mendalam] kebenaran di alam ini. Mereka merenung agar bisa menemukan solusi
dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat. Dan solusi itu untuk kesejahteraan
manusia, baik sebagai individu maupun komunitas.
Sekarang mari kita lanjutkan ulasan
ayat 18:28-29. Kita diperingatkan untuk tidak mengikuti orang-orang yang
melalaikan hatinya untuk berzikir. Dengan kata lain, kita jangan termasuk
orang-orang yang memperturutkan hawa nafsu. Bagaimana kita bisa menjadi tenang
dan berpikir jernih jika yang kita ikuti itu orang-orang yang menjadikan hawa
nafsu sebagai pimpinannya. Orang-orang yang mengedepankan hawa nafsu mereka itu
lebih mementingkan pribadi dan golongan mereka. Bukan kebenaran yang menjadi
perhatian atau kepedulian mereka, tetapi 'kepentingan'. Karena itu orang
demikian disebut 'selalu melampaui batas' dalam urusannya. Orang demikian
memang sudah tidak kenal dan tahu lagi batas-batas yang harus dipatuhi. Nah,
kalau hidup tanpa batas, kemana lagi perginya kalau tidak semakin melenceng.
Kebenaran sudah pasti datangnya dari
Tuhan. Wong semua ini diciptakan berdasar-kan kebenaran, dan bukan kebatilan.
Tentu saja yang mengetahui hakikat sesuatu adalah Tuhan, karena Dia-lah
pencipta segala sesuatu. Tetapi, di bumi ini, cuma manusia yang dianugerahi
"al-qalam", atau akal. Dengan al qalam manusia dapat mengetahui
sesuatu yang tidak diketahui sebelumnya. Dengan berbagai kelengkapan yang diberikan
Tuhan, manusia diberi kebebasan untuk menjadi manusia beriman atau kafir. Jadi,
manusia tidak dicetak untuk menjadi beriman atau kafir. Karena itu manusia
diberi amanat dan dituntut tanggungjawab dan akuntabilitasnya. Tak ada
pengertian 'jabariyah' atau paksaan Tuhan dalam agama. Karena itu, hidup
beragama pun tidak dipaksakan.
Dalam ayat 28:50 ditegaskan bahwa
orang yang mengikuti hawa nafsunya tidak akan mendapat petunjuk dari Tuhan.
Orang yang menuruti hawa nafsu disebut juga sebagai 'orang zalim', orang yang
menganiaya. Dan, petunjuk Tuhan tak akan datang pada si zalim. Celakanya jika
si zalim ini menjadi 'penggede', pejabat tinggi, elite, atau mala'. Petunjuk
Tuhan tak akan sampai pada mereka. Akibatnya, rakyat bawahan akan menjadi
sengsara. Tetapi, percayalah, jika di tengah suatu komunitas masih ada
orang-orang yang 'berzikir dan berpikir' suatu saat pasti ada orang yang
menjadi juru ingat! Di tengah deru kezaliman masyarakat industri di Eropa abad
ke-19, muncullah Nietzsche [meskipun kita dididik keliru dalam melihat dia]. Di
tengah kezaliman komunisme Soviet, muncullah Gorbachov yang mendengungkan
'glasnost' dan 'perestroika'. Tentu saja, tidak cukup hanya munculnya sang juru
ingat. Tetapi perlu ada tindakan! Dan tindakan itu harus bisa diterapkan
berdasarkan 'POAC', perencanaan, pengorganisasian, pengaktualisasian, dan
pengawasan yang benar. Penegakan moral dan keadilan tidak cukup hanya dengan
modal niat. Harus disertai kemauan, kehendak, dan kepiawaian. Karena kebenaran
tidaklah berjalan dengan sendirinya.
Puncak dari mengikuti hawa nafsu
adalah menjadikannya tuhan. Yaitu, menjadikan hawa nafsu itu sebagai tuhan yang
disembah dan dipatuhi! Inilah syirik yang tidak tampak rupanya, tetapi lebih
dahsyat dari berhala. Kalau berhala berupa patung, hanya orang bodoh yang
memuja. Tetapi berhala 'hawa nafsu', orang yang berpengetahuan 'sundul langit'
[setinggi langit] pun bisa menjadi pengikutnya. Jika orang memperturutkan hawa
nafsu, maka Allah membiarkannya tersesat. Pendengaran dan hatinya dibiarkan
tertutup karat. Nasihat, petunjuk, petuah tak mempan lagi. Bahkan
penglihatannya pun ada tutupan. Sehingga jerit derita masyarakat tidak tampak
lagi. Semuanya bagaikan angin lalu. Dianggap seperti kentut, bau sebentar dan
hilang. Mau cari petunjuk dari siapa lagi, kalau tidak kembali kepada Allah?
Agar pemikiran kita tidak masuk ke jurang setan, maka kita harus
"berpikir+berzikir". Manakala kita membuang pemikiran, maka kita
tinggal tunggu bencananya!
Kajian kita kali ini merupakan
bagian terakhir dari zuhud, dan bagian ke-18 adalah "topik ridha".
Semoga kita bisa berzuhud di tengah kehidupan modern dan tanpa batas ini, tanpa
harus mengasingkan diri di gua-gua. Wa billahi t-taufiq wa l-hidayah.
Bagian ke-18
(Ridha)
Hari ini kita masuk ke dalam pembahasan
“ridha”. Kata ridha sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi “rela”.
Yang artinya berbuat atau bertindak dengan suka hati tanpa pamrih. Rela juga
berarti dengan kemauan sendiri dan tanpa paksaan. Nah, ‘ridha’ sebenarnya
memiliki makna yang lebih dalam daripada ‘rela’. Dengan kata lain, rela
hanyalah bagian dari ‘ridha’. Walaupun dalam kamus bahasa Indonesia, kata ridha
disamakan dengan rela.
Ridha [yang di dalam kamus ditulis
juga ‘ridlo’] adalah suatu maqam, posisi, atau tingkatan dalam perjalanan
spiritual (tasawuf). Mengapa oleh pakar atau ahli tasawuf ‘ridha’ tidak
ditempatkan pada tangga pertama? Jika ridha menjadi tangga pertama, maka ia
akan berkonotasi ‘tindakan yang dilakukan karena kekalahan’. Ridha bukan lagi
sebagai perjuangan untuk mendaki dalam perjalanan spiritual, tetapi berserah
diri karena suatu paksaan. Karena itu, orang yang ridha bukan orang yang
berserah diri karena kekalahan, tetapi orang yang menang dan berserah
diri.
Konteks ridha tidak dapat dipisahkan
dengan ‘kecintaan kepada Allah’. Pada awal pelajaran tasawuf telah saya
sampaikan makna dan perwujudan cinta, yang bersandar pada ayat 3:31, “Katakan
[Muhammad] kepada mereka, ‘jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah
(beritibaklah) kepadaku, niscaya Allah mencintai kalian dan menutupi dosa-dosa
kalian. Sesungguhnya Allah itu Maha Pelindung dan Maha Penyayang.’” Sudah saya
jelaskan pula bahwa ‘mengikuti’ tidak sama dengan meniru atau taklid. Mengikuti
berarti memperhatikan keteladanan yang ditampilkan oleh Rasul saw lalu
diterapkan dalam kehidupan sehari. Bukan karena Rasul berjenggot dan bergamis,
terus kita pun ikut berjenggot dan bergamis. Kalau itu, anak kecil pun dapat
mengikutinya, tak perlu memahami ayat-ayat Al Quran. Padahal banyak ayat di
dalam Al Quran yang memerintahkan kita untuk memperhatikan dan memahami
ayat-ayat-Nya yang ada di dalam kitab-kitab-Nya maupun yang kauniyah, yang
digelar oleh Tuhan di alam raya ini. Jadi, mengikuti Rasul tidak identik dengan
meniru beliau.
Mengikuti keteladannya harus
disertai dengan aktif berfikir dan berzikir. Orang Islam harus pandai menimbang
bagaimana mengimplementasikan ajaran Islam dalam situasi dan kondisi yang ada
sekarang berdasarkan teladan dari beliau. Sehingga orang yang mengikuti
keteladanan beliau betul-betul hidup dalam ‘naungan’ Ilahi.
Dalam pandangan ahli makrifat, ridha
adalah buah dari mahabbah, cinta, yang paling mulia. Apa sebabnya? Karena
pecinta [orang yang sudah jatuh cinta] harus selalu merelakan apa yang
diperbuat oleh kekasihnya. Dan ketahuilah, yang dicinta itu adalah Dia Yang
Maha Agung, yang melindungi para pecintanya. Saya tidak menggunakan kata
“pencinta”, tetapi “pecinta”. Pencinta adalah orang yang mencintai pada saat
tertentu. Sedangkan ‘pecinta’ adalah orang yang betul-betul mencintai tanpa
terikat oleh ruang dan waktu. Jadi, yang mendapat perlindungan dari Allah
adalah para ‘pecinta-Nya’ dan bukan ‘pencinta-Nya’.
Dalam sebuah Hadis Qudsi disebutkan:
“Man lam yardha bi qadha-i wa lam yashbir ‘ala
bala-i falyaltamis rabban siwaya.”
[Barangsiapa tidak rela terhadap ketetapan-Ku,
niscaya dia tidak akan sabar terhadap ujian dari-Ku. Jika sudah begitu, biarlah
dia mencari Tuhan selain Aku.]
Nah, ridha ternyata terkait dengan
kerelaan untuk menerima “qadha” atau ketetapan Tuhan. Ketetapan yang mana?
Bukankah Tuhan itu Maha adil? Tuhan jelas Maha Adil. Tetapi keadilan Tuhan
tidak sewenang-wenang, atau bersifat zalim. Hal ini sudah kita pelajari pada
bagian yang lalu. Jadi, ketetapan yang harus kita terima dengan rela hati
adalah ketetapan yang sudah kita setujui sebelum kita lahir.
Contohnya seperti apa ketetapan yang
kita setujui sebelum kelahiran kita? Ya, kita dikandung oleh ibu yang
melahirkan kita. Itu pilihan kita! Meskipun kita tidak mampu mengingatnya.
Sehingga ada orang yang protes, ‘salahnya siapa mau melahirkanku, kan bukan aku
yang minta dilahirkan’. Protes itu benar bagi orang-orang yang hanya mampu
memahami kulit sebuah objek. Tetapi protes itu salah bagi mereka yang mampu
memahami makna yang terkandung dalam suatu objek. Bagi anak kecil, suatu benda
hanya dikenal kulitnya atau bentuk luarnya. Dia tidak mengerti bahwa suatu
benda itu mengandung energi potensial dan energi kinetik jika bergerak.
Seperti yang telah saya uraikan,
seseorang tidak akan sabar terhadap sesuatu jika dia tidak mengerti rancangan
atau program yang terkandung dalam sesuatu yang sedang dihadapinya itu. Sama
halnya dengan kehidupan kita ini. Bila kita tidak memahami bahwa dahulu sebelum
kita lahir ini sudah teken kontrak dengan Tuhan, kita pun tak akan rela dengan
ketetapan yang ada. Dan akhirnya, kita pun tak akan sabar terhadap berbagai hal
yang menimpa kita. Karena itu, disindir oleh Tuhan, “jika begitu yaa biar-lah
dia mencari Tuhan selain Aku”.
Setiap manusia yang dilahirkan di
dunia ini, sebenarnya sudah teken kontrak sebelumnya. Yaitu, di ‘alam nafs’
atau ‘alam jiwa’. Dalam kalimat Al Quran hal ini dinyatakan cukup sederhana,
hanya dengan kalimat “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”. Di alam nyata, meskipun
berupa alam nafsani, ya betul-betul suatu kerelaan untuk menempuh kehidupan di
dunia ini dengan segenap pertanggungjawabannya. Namun hal ini tidak bisa saya
ceritakan di tulisan ini. Mengapa sulit? Karena yang diceritakan ini sebuah
kenyataan yang hanya bisa dialami.
Untuk memudahkan, saya berikan gambaran
tentang keyakinan. Yang kita terapkan pada hal yang nyata. Telah kita ketahui
bahwa ada tiga tingkatan keyakinan, yaitu, ilmu l-yaqin, ‘ainu l-yaqin, dan
haqqu l-yaqin. Banyak orang yang secara teoritis hafal tahapan ini. Tetapi,
bila diminta untuk menunjukkan perbedaannya dalam kehidupan sehari-hari, dia
mengalami kesulitan. Hal ini terjadi, karena dia tidak memahami apa yang
dimaksud dengan tahap ilmu, ‘ain, dan haq. Terutama, biasanya kesulitan
membedakan antara yang ‘ain dengan yang haq. Nah, sekarang saya beri contohnya
dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan pengetahuan yang ada kita tahu adanya
minuman kopi. Tetapi, berdasarkan pengetahuan semata-mata, kita dapat salah
dalam memastikan suatu minuman itu kopi atau bukan. Nah, setelah kita meminumnya,
kita bertambah yakin bahwa yang diminumnya itu kopi atau bukan. Pengalaman
minum kopi ini disebut ‘ainul-yaqin. Hanya pernah minum kopi, dan tidak pernah
menghayati dalam meminumnya, kita tidak akan mengetahui jenis kopi apa yang
diminum itu. Kita pun tidak mengetahui kopi tersebut berasal dari daerah mana.
Seseorang yang sudah dapat membedakan ini jenis robusta, atau arabika, dari
Indonesia atau dari Afrika, maka dia disebut sudah ada di tahap haqqul-yaqin.
Hidup juga melalui tahapan demikian.
Ketika kita mengetahui ayat-ayat Tuhan hanya karena diajar oleh orang lain,
maka keyakinan kita baru pada tahap ‘ilmul-yaqin. Setelah kita merasakan pahit
getirnya hidup ini, maka kita masuk ke tahap ‘ainul-yaqin. Nah, apabila kita
sudah sanggup mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada
diri kita, kita bisa merasakan hal-hal yang terjadi pada diri kita, maka kita
sebenarnya ada di tahap haqqul-yaqin. Masing-masing mempunyai jangkauan atau
kedalaman tertertentu. Misalnya, ada orang yang tahu sedikit ilmu. Tetapi, ada
pula orang yang tahu banyak ilmu. Selama belum merasakan atau mempraktikkan
sendiri, kedua orang itu ada pada tahap yang sama, yaitu ilmul-yaqin.
Al-Quran memberitahu kita bahwa kita
telah teken kontrak dengan Tuhan. Hal ini dikemukakan pada Surat Al-A’raf/7:172
dan Surat
Rum/30:30.
7:172 Dan ketika Tuhan dikau
menjadikan lahirnya keturunan bani Adam, dari zuhur mereka, dan membuat
persaksian atas diri mereka sendiri: “Bukankah Aku ini Tuhan kalian?” Mereka
menjawab: “Ya, kami menyaksikan Engkau.” Kita semua bersaksi. [Persaksian itu
dibuat] agar pada Hari Kiamat kalian tak berkata: “Sesungguhnya kami telah
lalai tentang hal ini.”
7:173 Atau, kalian tak berkata:
“Sesungguhnya orangtua-orangtua kami dulu juga menyekutukan Engkau. Sedangkan
kami ini hanya mereka. Apakah Engkau membinasakan kami lantaran perbuatan
[orangtua-orangtua kami] yang batil itu?”
30:30 Maka hadapkan wajah engkau
kepada landasan yang benar. Allah telah menciptakan manusia berdasarkan fitrah.
Tak ada perubahan dalam ciptaan Allah. Itulah landasan yang benar! Tetapi
sebagian besar manusia tidak mengetahui.
30:31 [Hakikatnya] manusia kembali
kepada-Nya. Karena itu, bertakwalah kepada-Nya, dan tegakkan salat dan jangan
menjadi orang-orang musyrik.
30:40 Allah adalah Yang telah
menciptakan kalian. Kemudian memberi kalian rezeki. Kemudian membuatmu mati.
Kemudian membuatmu hidup lagi. Adakah sekutu kalian yang dapat berbuat sesuatu
yang demikian ini? Maha Suci dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka sekutukan.
Ayat pertama memberitahu kita bahwa
sebelum manusia lahir, jiwa-jiwa mereka telah mengadakan persaksian dengan
Tuhan. Kapan itu? Ketika jiwa-jiwa itu bangkit dari [jalur tulang] punggung.
Dalam agama-agama India atau Cina, jalur tempat bangkit jiwa ini dikenal
sebagai jalur “qi”, chi. Jalur ini memanjang dari tulang ekor hingga ubun-ubun.
Bagi mereka yang menguasai pusat-pusat energi yang disebut “chakra”, maka
tulang punggung [tulang belakang] adalah letak titikpusat-titikpusat chakra.
Dari jalur itulah tumbuhnya kehidupan. Al-Quran hanya memberitahukan globalnya
saja. Dan kitalah yang harus berusaha menyelaminya, sehingga kita mengerti
peranan dari tulang punggung tersebut dalam kehidupan ini.
Tuhan membuat persaksian atas diri
mereka, atas nafs-nafs mereka. Dengan kata lain, Tuhan membuat nafs manusia
bersaksi atas dirinya ketika sudah bangkit dari tulang punggung kedua orangtua
mereka, yaitu ketika embrio terbentuk. Nafs-nafs itu bersaksi, mengakui adanya
Satu Kekuatan, yaitu Allah. Nafs-nafs itu bersaksi atas ketetapan yang harus
mereka penuhi ketika sudah lahir sebagai manusia. Dan, kita semua, nafs-nafs
dan Tuhan bersaksi atas ikrar tersebut. Untuk apa? Agar manusia tak melakukan
pengingkaran terhadap kesaksian itu pada Hari Kebangkitan. Kalau Anda
mencermati ayat berikutnya, tahulah Anda bahwa yang dimaksudkan dengan kata
“Hari Kebangkitan” adalah saat bangkitnya kita di alam kematian. Ingatlah
kembali Hadis Nabi, “Sesungguhnya manusia itu dalam keadaan tidur, dan ketika
mati sesungguhnya dia bangun.” Mari kita simak lagi Surat Qaf/50:22,
“Sesungguhnya engkau telah melalaikan hal [kematian] ini. Kini Kami membuka
tabir yang menutupi engkau, maka pada hari ini penglihatan engkau menjadi
tajam.”
Ketika mati pandangan manusia
menjadi tajam. Persaksian yang telah dibuat pada saat jiwa memasuki embrio
tampak kembali. Manusia melihat dirinya sebagai pemain sandiwara dalam
kehidupan ini. Jadi, manusia tak bisa mengelak lagi. Manusia tidak bisa
menyandarkan perbuatannya pada orangtuanya. Dan ayat 7:173 menunjukkan dengan
jelas bahwa peristiwa kebangkitan itu pada saat kematian. Perhatikan kalimat
akhirnya, “apakah Engkau membinasakan kami lantaran perbuatan orangtua yang
batil?” Kalau peristiwa ini terjadi setelah kiamat semesta, tentu saja ucapan
ini menjadi berantai dari orang berdosa ke orangtua berdosa ke orangtuanya
orangtua berdosa dan seterusnya tak ada akhir. Hal ini memang sulit sekali
untuk diterangkan jika kita masih ada di tahap ‘ilmul-yaqin.
Ayat 30:30 mempertegas proses
kehidupan manusia. Manusia diperintah untuk melihat landasan yang benar dalam
kehidupan ini. Yaitu, landasan bagi penciptaan dirinya yang disebut ‘fitrah’.
Ada kekeliruan dalam mengartikan ‘fitrah’. Seringkali fitrah diartikan “suci”.
Fitrah diartikan sebagai kehidupan tanpa noda. Jika manusia semua lahir suci,
tanpa noda, maka hasil yang diperoleh dari suatu pengaruh kehidupan yang sama,
seharusnya sama. Misalnya, kalau ada seratus bayi, dididik dalam ruang yang
sama dan cara yang sama, seharusnya hasilnya pun sama. Ini namanya suci! Jika
hasilnya tidak sama berarti kualitas asalnya tidak sama. Wong perlakuannya sama
kok hasilnya berbeda. Berarti bibitnya tidak sama kualitasnya.
Lalu apa fitrah itu? Fitrah berasal
dari kata “fa-tha-ra”, yang artinya membuat sesuatu terjadi. Contohnya
demikian, ada tepung terigu, gula, telor, air, soda, lalu kita campur dan kita
lakukan adukan dan setelah dioven terbentuklah “roti”. Dengan bahan yang sama
tetapi dengan komposisi kandungan yang berbeda, terjadilah roti yang berbeda.
Nah, fitrah adalah sifat-sifat dasar yang dimiliki oleh komposisi bahan tadi.
Dan bahan untuk penciptaan manusia tidak berubah. Yaitu, fisiknya terdiri dari
tanah, air, udara, api dan cahaya. Kemudian dimasukkan nafs dan ruh kedalamnya.
Nafs yang tekor energi metafisiknya [akibat hutang sebelumnya] bersaksi untuk
memilih lahir di tengah-tengah keluarga miskin. Ingat, Tuhan tidak pernah
menzalimi hamba-Nya! Dan, hal ini sudah saya jelaskan pada bagian sebelumnya.
Agar Anda tidak lupa, maka saya
tampilkan kembali beberapa ayat yang jelas-jelas menyatakan bahwa Allah tidak
menzalimi manusia. 1) Sesungguhnya Tuhan tidak berbuat zalim terhadap manusia
sedikit pun, tetapi manusialah yang berbuat zalim terhadap dirinya [QS 10:44].
2) Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seorang pun meskipun sebesar debu, dan
jika ada kebaikan sebesar debu niscaya Dia melipatganda-kan dan memberikan
pahala yang besar dari sisi-Nya [QS 4:40]. 3) Dan Tuhan engkau tidak menganiaya
seorang juapun [QS 18:49]. Jadi, jelas sekali yang menyebabkan seseorang itu
lahir dalam kehidupan yang penuh kesusahan itu berasal dari dirinya sendiri.
Justru Tuhan dengan kasih-Nya melipatgandakan kebaikan yang dilakukan oleh
manusia. Tuhan tak pernah korup terhadap kebaikan manusia.
Lho, kalau kita pernah berbuat
sebelum ini, mengapa kita tidak ingat? Justru manusia tidak ingat itu Tuhan
memberi kabar tentang hal ini di 7:172-173. Dan tentu saja, meyakini kebenaran
ayat tersebut baru pada tahap ‘ilmul-yaqin. Wong baru tahu karena membaca
sendiri ayatnya atau diberi tahu orang lain. Dan, penutup ayat itu pun
menyebutkan bahwa “sebagian besar manusia tidak mengetahui [tentang landasan
penciptaan yang benar itu]”. Kalau masih pada tahap ‘ilmul-yaqin’, manusia
sulit untuk bisa memasuki maqam ridha.
Kita sering mendengar orang yang
mengatakan “semuanya ini takdir Tuhan”. Kaya atau miskin, selamat atau tertimpa
musibah, semuanya merupakan takdir Tuhan. Manusia lupa bahwa Tuhan tidak
berbuat zalim sedikit pun terhadap manusia. Ucapan tersebut lahir dari
kekalahan manusia dalam menghadapi tantangan hidupnya. Akhirnya, Tuhan menjadi
kambing hitam dalam kenestapaan hidup manusia. Manusia lupa bahwa Tuhan telah
membuat semua organnya berfungsi dengan baik ketika dilahirkan. Manusia lupa
bahwa lahir sebagai orang Indonesia, Cina, India, Arab, atau Barat, itu adalah
pilihan hidupnya. Manusia lupa bahwa sambil menjalani peran hidupnya yang sudah
dipersaksikan itu, seharusnya dia menyiapkan masa depannya, akhiratnya. Baik
itu untuk dinikmati dalam kehidupan sekarang ini, maupun kehidupan nanti.!!
Nah, kita jangan mudah mengklaim
bahwa apa yang terjadi pada kita adalah takdir Tuhan. Padahal itu semua adalah
our destiny, takdir kita sendiri. Tuhan justru memfasilitasi kehidupan manusia,
supaya ia dapat hidup sejahtera. Itulah sebabnya, disebutkan bahwa “kebaikan
sebesar debu [zarah]” akan dilipatgandakan nilainya, dan mendapat pahala yang
besar. Dan, sistem inilah yang disebut fitrah itu! Jadi, Tuhan tidak merugikan
manusia walaupun sebesar debu. Tetapi, bila ada kebaikan, nilainya dilipatgandakan
10 kali lipat hingga 700 kali, tergantung kualitas perbuatannya.
Perhatikanlah ayat 30:31, dinyatakan
dengan tegas bahwa hakikatnya manusia itu kembali kepada Allah, kembali kepada
jalan Allah, jalan yang benar. Inilah jalan yang ditempuh manusia dari zaman
ketika manusia belum bisa disebut manusia hingga jadi manusia Homo sapiens
sapiens. Dan agar dapat kembali kepada-Nya manusia diperintah untuk selalu
bertakwa, selalu memelihara dirinya di jalan yang benar. Manusia harus
menegakkan salat, selalu berhubungan dengan Tuhan Yang Mahaesa, dan tidak
menjadi manusia musyrik, manusia yang mementingkan egonya. Ingat, mengabdi
kepada berhala?berupa apapun?adalah akibat manusia mementingkan egonya. Apa
yang disebut ‘ibadah’ pun bisa menjadi berhala bila itu lahir dari dorongan
hawa nafsu untuk dirinya sendiri, dan memutuskan hubungannya dengan
lingkungannya [biotik dan abiotik, baik yang hidup maupun lingkungan
bukan-hidup].
Manusia harus ingat siklus hidupnya!
Ada kehidupan, ada kematian, dan kembali hidup lagi. Dengan adanya sistem
rezeki yang dibuat Tuhan, manusia terfasilitasi untuk menempuh proses hidup dan
mati hingga menemukan jalan Tuhan. Dengan proses hidup dan mati itu manusia
mampu menapaki keyakinannya dari tingkatan ilmu hingga yang haq, hingga yang
hakikat dalam hidup ini.
Jika kita belum bisa menapaki
keyakinan hingga puncaknya maka kita masih mungkin mengalami hidup dalam
kejiwaan yang terbelah. Di satu sisi, kita yakin akan adanya kehidupan di masa
depan. Di sisi lain, kita berbuat zalim. Padahal Tuhan tidak akan mau menunjuki
orang-orang yang berbuat kezaliman. Bahkan, jika kita melihat keadaan bangsa
kita yang mudah diprovokasi, mudah terseret ke dalam krisis, gampang ikutan
dalam beraksi negatif; menunjukkan kurangnya orang-orang kuat yang berada di
maqam ridha. Padahal adanya elite-elite di maqam ini kita dambakan sekali,
sehingga mereka betul-betul tanpa pamrih membangun negeri ini.
Demikianlah pelajaran awal mengenai
ridha. Semoga pelajaran ini memotivasi diri kita untuk meningkatkan posisi
spiritual kita. Bi l-lahi t-taufiq wa l-hidayah.
Bagian ke-19
[lanj. Ridha]
Ridha adalah buah dari pohon
mahabbah, pohon cinta. Artinya, ridha tak akan ada bila tidak didahului oleh
rasa cinta. Orang yang mencintai kekasihnya, ia akan rela melakukan dan
memenuhi apa yang diminta oleh sang kekasih. Tetapi, ridha bukanlah hasil dari
cinta buta. Ia adalah hasil dari suatu prestasi spiritual!
Orang yang ridha telah menapaki
jalan objektif rasional. Ia tidak berangkat dari tataran subjektif, semata-mata
terhanyut oleh perasaannya. Ya, menapaki kehidupan tasawuf memang harus sehat
pikirannya. Tak ada dualisme dalam menapaki tasawuf. Jangan dibuat dikotomi
antara kehidupan dunia dan tasawuf. Kita sekarang ini memang hidup di dunia.
Dengan semua komponen intelegensi [IQ, EQ dan SQ] kita menapaki kehidupan yang
objektif dan rasional. Keyakinan yang kita bangun pun berasal dari keyakinan
yang objektif rasional, yaitu diawali dengan keyakinan berdasarkan ilmu, ilmu
l-yaqin. Lalu, ditingkatkan ke ‘ainu l-yaqin, dan selanjutnya ke haqqu l-yaqin.
Jadi, pendekatan yang dilakukan dalam kehidupan beragama, khususnya tasawuf,
harus dimulai dari tahu dulu, dan bukan yakin dulu!
Memang, sudah menjadi pendapat umum
bahwa dalam kehidupan beragama orang harus yakin dulu. Inilah pendapat yang
salah kaprah! Bahkan ada yang menganalogkan dengan naik kapal atau pesawat
terbang; yang penting yakin selamat dulu, dan bukan cari tahu kapal atau
pesawat itu akan selamat atau tidak. Ini adalah analog yang sama sekali tidak
benar. Sadar atau tidak, sebenarnya calon penumpang itu sudah menyimpul-kan
bahwa kapal yang akan ditumpanginya itu aman. Darimana kesimpulan itu datang?
Tentu saja dari keberadaan kapal yang akan ditumpanginya itu. Coba Anda
pikirkan, bagamaina sekiranya lebih banyak pesawat yang jatuh daripada yang
selamat hingga di tujuan. Tentu lebih banyak orang yang takut naik pesawat
daripada yang berani. Hal ini lain dengan hidup beragama. Hampir semua orang
tidak tahu [dengan pasti] apa yang sesungguhnya terjadi di balik kematian.
Nah, hidup ini ternyata menyongsong
suatu misteri. Orang hidup ini [hampir semuanya] antri memasuki dunia yang
tidak diketahuinya, dunia yang masih gelap! Jika orang beragama itu yakin akan
masuk surga [menurut keyakinan agamanya], terus terang itu hasil dari keyakinan
buta. Lho, hidup beragama kan mengikuti nabi dan rasul [yang membawa agama],
bagaimana mungkin dikatakan mengikuti keyakinan buta? Nah, nah, di sini yang
perlu diluruskan! Ketika nabi, rasul atau utusan Tuhan itu masih hidup, maka benarlah
pernyataan “mengikuti nabi”. Tetapi setelah nabi atau rasulnya tidak lagi di
tengah-tengah umatnya, maka pemeluk suatu agama sebenarnya mengikuti “katanya”.
Agar tidak masuk dalam kategori “katanya”, maka kita dituntut untuk mempelajari
ajaran yang dibawa nabi itu secara objektif rasional. Untuk menjadi pengikut
seorang nabi, tidak cukup hanya yakin, tetapi harus menelaah, merenungkan, dan
mencoba memahami makna yang terkandung di dalam ayat-ayat kitab sucinya. Dan,
ini baru tahap ilmu l-yaqin, suatu keyakinan berdasarkan pengetahuan.
Pengetahuan agama yang diperolehnya
itu digunakan sebagai landasan beramal. Baik amalan itu untuk dirinya dan
keluarganya, maupun untuk orang lain. Tentu saja amalan itu harus bermanfaat
kepada lingkungan hidupnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Amalan
yang demikianlah yang disebut “amal saleh”. Kebiasaan beramal saleh ini akan
membawa manusia kepada tahap ‘ainu l-yaqin. Ditopang dengan sikap sabar dan
zuhud, insya Allah kita bisa memasuki dunia yang terang, bukan dunia yang gelap
lagi. Dunia yang dimasuki ini tidak misteri lagi, sudah terbuka selubungnya.
Keyakinan pada tahap ini adalah haqqu l-yaqin.
Ketika seseorang sudah mencapai
keyakinan yang haq, maka runtuhlah tembok penyekat diri dan Tuhannya. Iri dan
dengki telah terkelupas dari hatinya. Baku hantam karena berebut kebenaran
tidak ada lagi. Bukan karena dibuat-buat, tetapi memang sudah kasyaf. Hakikat
objek-objek di sekeliling kita telah tersingkap! Pohon cinta, atau sajaratul
mahabbah, tumbuh dengan suburnya. Dari pohon cinta inilah lahir “ridha”! Orang
rela untuk memenuhi permintaan Sang Kekasih, karena dia yakin dengan haq bahwa
Kekasihnya itu tidak membawa ke alam derita atau alam neraka.
Sebaliknya, jika kita masih berebut
kebenaran, berebut “agamaku” yang benar dan bukan “agamamu” yang benar, berarti
kita masih di tahap keyakinan buta. Wujud dari keyakinan buta adalah menganggap
praktik keagamaannya yang paling benar. Orang semacam ini, paling tinggi masih
berada di tahap keyakinan berdasarkan ilmu atau katanya. Pada tahap ini agama
tidak dijadikan pegangan hidup, tetapi hanya sebagai identitas. Pada tahap ini
orang menjalankan salat, puasa, zakat dan haji hanya untuk membangun identitas
diri. Yang dalam bahasa sehari-hari disebut menjalankan kewajiban agama. Dengan
telah memenuhi kewajibannya itu, biasanya dia yakin akan masuk surga. Karena
dia telah merasa menjadi kekasih Tuhan! Dan terus terang, di milis-milis agama
sekarang ini, kita masih berkutat pada klaim-klaim kebenaran agama. Kita tak mempedulikan
lagi apakah praktik keagamaan kita ini sudah bisa mengantarkan ke tingkat haqqu
l-yaqin atau belum.
Marilah kita menelaah dua butir ayat
di bawah ini, agar kita tidak mudah saling klaim terhadap kebenaran agama.
2:94 Katakanlah [Muhammad], “Jika
tempat tinggal di akhirat, di sisi Allah itu, khusus buat kalian dan bukan buat
orang lain, maka carilah kematian bila kalian orang yang benar.”
62:6 Katakanlah: “Hai orang-orang
Yahudi, jika kamu mengira bahwa kamu kekasih Allah, dan bukan orang lain, maka
carilah kematian bila kamu adalah orang-orang yang benar.”
Kedua ayat tersebut ditujukan kepada
orang-orang Yahudi yang tinggal di Jazirah Arab, di Madinah khususnya. Dan, ini
tidak berarti hanya buat orang Yahudi. Ayat ini hakikatnya ditujukan kepada
seluruh manusia yang bersikap seperti Yahudi tersebut. Nabi diperintah Tuhan
untuk menyampaikan bantahan kepada mereka. Pada waktu itu, orang-orang Yahudi
mengklaim bahwa merekalah manusia-manusia yang benar, yang menjadi kekasih
Allah. Sehingga mereka mengklaim sebagai manusia yang paling layak menghuni
surga. Bagaimana dengan orang lain? Mereka menganggap orang lain itu berada di
jalan yang salah, dan bukan kekasih Tuhan.
Bantahan apa yang perlu disampaikan
oleh Nabi Muhammad? Bantahannya: jika memang hidupnya benar di dunia ini, ya
cari saja kematian. Buat apa hidup di dunia yang penuh derita ini jika sudah
pasti masuk surga di akhirat nanti. Kan lebih baik buru-buru ke sana, buat apa
menunggu ajal menjemput? Tapi nyatanya mereka tidak berani mati segera. Mengapa
tidak berani mati? Ya, karena kebenaran yang diakui itu hanya sebatas
“katanya”. Coba kalau kita tahu bahwa kalau kita mati pasti masuk surga, wah
kita mungkin tak perlu nunggu hari esok untuk mati. Coba kalau kita tahu dengan
pasti ada juru selamat bagi kita yang menyelamatkan kita di balik kematian,
tentu kita lomba cepat-cepatan untuk dapat mati.
Makanya, dalam kehidupan beragama
ini kita dididik dan dilatih untuk dapat meningkatkan kemampuan spiritual kita.
Untuk apa? Agar kita bisa lolos dari kegelapan di dunia yang akan datang.
Ibadah tidak lagi dilakukan untuk membangun identitas. Justru ibadah dilakukan
untuk berlatih, riyadhah, untuk meningkatkan kecerdasan kita [IQ, EQ dan SQ].
Untuk apa kecerdasan perlu ditingkatkan? Ya, untuk memecahkan persoalan hidup,
baik hidup di dunia sekarang ini maupun dalam kehidupan nanti! Kita tidak boleh
spekulasi. Ingat, spekulasi itu ‘gambling’, judi, jauh dari kebenaran. Tanpa
berbekal kecerdasan kita tak akan mampu menjawab teka-teki kehidupan ini.
Dalam kehidupan tasawuf, kita tidak
dididik untuk menghafal teori “wajib, sunat, haram, makruh dan mubah”. Salat
dilakukan bukan untuk membebaskan dari kewajiban dan juga bukan untuk
membebaskan diri dari dosa. Salat dilakukan seperti yang dinyata-kan dalam
Surat Thaha/20:14, “Dirikanlah salat untuk berzikir kepada-Ku”. Jadi, jelas
sekali bahwa salat itu merupakan pelatihan diri untuk berzikir kepada Tuhan.
Kembali pada pelajaran sebelumnya, berzikir itu untuk meningkatkan?baik
kualitas maupun kuantitas?energi kita. Dan, salah satu bentuk energi adalah
kecerdasan. Juga ditegaskan dalam Surat Al-Ankabut/29:45, “...dan dirikanlah
salat, sesungguhnya salat itu mencegah perbuatan keji dan munkar. Sungguh
berzikir kepada Allah itu paling besar nilainya. Dan Allah mengetahui apa saja
yang kamu lakukan.” Jadi, jelaslah bahwa sasaran salat: pertama, untuk berzikir
kepada Tuhan; kedua, untuk mencegah perbuatan keji dan munkar. Artinya apa?
Salat kita efektif bila ada buahnya!
Karena itu, dalam hidup bertasawuf,
bukan pencerahan yang kita harapkan, tetapi kemampuan kita untuk “bertindak
yang mencerahkan”. Ya, tindakan yang membuat kita cerah dalam hidup ini, dan
juga orang lain menjadi cerah karena perbuatan dan tindakan kita. Kalau tak ada
lagi kekejian dan kemungkaran yang kita lakukan, tentu saja sisi positifnya
yang akan muncul, yaitu amal saleh dan syukur.
Di atas telah disebutkan bahwa
kecerdasan diperlukan dalam hidup sekarang ini dan nanti, dunia dan akhirat.
Dengan kecerdasannya manusia mampu mempelajari dan memahami realita alam raya
ini. Dengan kecerdasannya manusia dapat memahami cara-cara dunia ini bekerja,
mekanisme alam ini bekerja. Jika kita tidak dapat memahami di alam sekarang
ini, maka jangan berharap bisa memahami cara kerjanya alam di hari nanti. Marilah
kita simak ayat-ayat berikut ini.
17:72 Wa man kana fi hadzihi a‘ma fa
huwa fi l-akhirati a‘ma wa adhallu sabila.
[Barangsiapa buta batinnya di dunia ini,
niscaya di akhirat lebih buta lagi, dan bahkan jalan yang ditempuhnya lebih
sesat]
30:07 Mereka itu hanya mengetahui
yang lahir dari kehidupan dunia ini, tetapi mereka lalai tentang kehidupan
akhirat.
Manusia terdiri dari unsur lahiri
dan batini. Pancaindra adalah komponen lahiri bagi manusia untuk menangkap
kesan-kesan objek di sekitarnya. Tetapi, apa yang dapat ditangkap oleh
pancaindra tak akan mempunyai arti apa-apa bila tidak dipahami oleh komponen
batini [hati, pikiran, dan lubuk hati] manusia. Bagi anak kecil yang umurnya di
bawah dua tahun, tak akan mengerti bahayanya menyeberangi jalan raya, meskipun
dia tahu di jalan banyak mobil lalu-lalang. Orang yang tidak memahami akibat
berbuat keji dan munkar, seperti berbuat zalim, menyakiti orang lain, membuat
orang lain hidup menderita, akan seenaknya bertindak dalam kehidupan ini.
Jika sekarang orang itu sudah buta
batinnya, maka di alam akhirat akan lebih buta lagi. Jika sekarang sudah
bertindak bodoh dalam kehidupan ini, maka di akhirat akan lebih bodoh lagi
jadinya. Ia tidak tahu lagi jalan mana yang harus ditempuh. Salat, haji, puasa dan
zakat tak ada artinya bila kekejian dan kemunkaran menjadi kebiasaannya. Dunia
dan akhirat adalah garis kontinum. Dunia dan akhirat bukan dua hal yang
terpisah. Tak ada dikotomi, yang ini buat kehidupan di dunia dan yang ini buat
yang di akhirat. Dikotomi ini yang membuat orang hidup dengan kepribadian
terbelah. Di satu sisi rajin ke rumah ibadah, tetapi di sisi lain turut
berkiprah dalam kemunkaran. Lalu ditimbang sendiri bahwa ibadahnya lebih banyak
daripada kemunkarannya. Ini namanya spekulasi! Bukan tahu, tapi cuma prasangka.
Coba kita perhatikan kehidupan umat
Islam di dunia sekarang ini. Kemiskinan merajalela di mana-mana, tetapi orang
pergi haji semakin tahun menyebabkan Padang Arafah semakin tak mampu menampung.
Jurang antara si kaya dan si miskin di dunia Islam semakin lebar. Kebekuan atau
kejumudan dalam berpikir melanda umat Islam. Anarkisme banyak terjadi di
negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Negara-negara Islam
hanya menjadi objek konsumerisme negara-negara maju. Mengapa hal ini terjadi?
Karena umat Islam lalai tentang kehidupan akhiratnya! Umat Islam lalai terhadap
masa depannya. Umat Islam hanya terpaku pada kehidupan formal lahiriah. Syariat
agama hanya dipahami secara mentah.
Umat telah kehilangan pijakan.
Kehidupan akhirat dipisahkan dari kehidupan dunia. Kehidupan batiniah
dipisahkan dari kehidupan lahiriah. Seakan-akan dunia dan akhirat merupakan dua
jalan yang berbeda. Dunia fisik dan dunia spiritual dipandang terpisah.
Masing-masing didekati dengan cara yang berbeda. Akhirnya lahirlah sosok-sosok
dengan kepribadian yang terbelah. Dan, runtuhnya peradaban Islam disebabkan
oleh dikotomi-dikotomi. Seolah-olah ada ilmu akhirat yang sifatnya ‘fardhu
ain’, dan ada ilmu dunia yang sifatnya ‘fardhu kifayah’. Sehingga jika ada
orang yang belajar ilmu listrik atau pertanian dipandang remeh bila
dibandingkan belajar Al Quran dan Hadis. Sungguh berbahaya cara pandang
demikian!
Jika kita masih terjebak dikotomi
dunia dan akhirat, maka jangan harap kita bisa meraih maqam ridha. Bukankah
kita ini adalah khalifah di bumi? Bagaimana mungkin kita cuma menghargai
ilmu-ilmu untuk hidup di bumi ini sebagai kewajiban kifayah, atau kewajiban
yang bisa ditinggalkan bila sudah ada seseorang yang mengerjakannya? Lha
bagaimana kalau orang yang mengerjakan itu bodoh? Apa tidak babak-belur
kehidupan umat? Sedangkan ilmu-ilmu agama dihargai sebagai fardhu ain, yaitu
yang harus dilakukan oleh setiap orang. Seolah-olah dengan belajar ilmu agama
terus kita bisa masuk surga! Dan dengan gampangnya ilmu-ilmu kealaman
dinyatakan bukan ilmu agama. Inilah dikotomi!
Jika kita mau menyimak Surat
At-Taubah/9:122, maka tahulah kita bahwa orang-orang mukmin diseru untuk
memperdalam pengetahuan agama. Tetapi ternyata yang dimaksud dengan pengetahuan
agama pada masa itu berbeda dengan yang dipahami sekarang ini. Pengetahuan
agama, ketika Al Quran masih diturunkan kepada Nabi, dimaksudkan untuk menjaga
diri dalam kehidupan ini. Sekali lagi, untuk menjaga diri! Menjaga diri di
mana? Di bumi ini untuk memenuhi peranannya sebagai khalifah, wakil Tuhan di
bumi ini.
Manusia harus memperdalam ilmu
sesuai dengan bakatnya. Kemudian diintegrasi-kan dalam kehidupan agamanya.
Sehingga kehidupan masyarakat terjaga! Inilah pesan ayat tersebut. Karena itu
ketika perang berkecamuk hebat, setiap golongan masyarakat [firqah] diperintah
untuk mengirimkan serombongan warganya guna menuntut ilmu agama. Ilmu yang bisa
difungsikan untuk menjaga kehidupan masyarakat.
Memang jenis ilmu pada waktu itu
sangat terbatas, cuma berupa ketrampilan menunggang kuda, memanah, berenang,
dan menyulam [bagi perempuan]. Sedangkan ilmu humaniora baru berupa pemahaman
hukum-hukum agama untuk kehidupan bersama. Nah, Al Quran sebenarnya adalah
pelita. Ia pelita bagi orang yang mencari ilmu.
Sejak awal pelajaran tasawuf ini
telah saya jelaskan bahwa Al Quran adalah peta bagi perjalanan hidup. Ia
merupakan lampu dalam perjalanan hidup. Peta atau lampu tak ada gunanya jika
kita tidak membacanya dengan seksama. Meskipun petanya jelas, lampunya terang,
tetap tidak ada gunanya jika kita sendiri tidak mau menempuh per-jalanan.
Lihatlah kembali dalil “inna li l-lahi wa inna ilaihi raji-‘un”, sesungguhnya
kita ini berasal dari [atau, kepunyaan] Allah, dan sesungguhnya kita ini
kembali kepada-Nya. Lha, kalau kita tidak mau ambil pusing dengan khitah kita
dulu, kita tidak mau melakukan perjalanan, ya apa kita bisa sampai yang dituju?
Lalu, apa hubungannya kita mencari
ilmu dengan ridha? Ilmu adalah cahaya bagi kita untuk berbuat atau bertindak.
Ilmu adalah petunjuk pelaksanaan [juklak] bagi kita untuk bekerja yang benar
dalam hidup ini. Supaya kita tidak bekerja secara ngawur atau sembarangan. Jika
kita ngawur dalam menjalankan pekerjaan, tidak akan membuahkan hasil [seperti
yang diharapkan]. Atau, kalau toh ada hasilnya, amat jauh dari memadai. Karena
itu kita mencari ilmu! Dan, itu harus terintegrasikan dalam kehidupan beragama
seperti yang dipesankan pada ayat 9:122.
Dengan demikian, ilmu merupakan
cahaya bagi kita dalam menjalani kehidupan bertasawuf yang benar. Dengan ilmu
itu kita dapat bersabar, berzuhud yang didalamnya terkandung iman, hijrah dan
jihad. Bila yang kita lakukan itu benar maka kita akan sampai pada puncak
keyakinan yaitu haqqu l-yaqin. Tak ada lagi keraguan! Tidak syak lagi terhadap
permintaan Sang Kekasih. Kita rela, ridha. Pada saat kita ridha itu cahaya
kesadaran memancar di dalam diri kita. Ya, kita menjadi sadar bahwa kita
sebenarnya berdiri dan bergerak di hadapan Ilahi.
Untuk itu, marilah kita simak ayat
penutup pelajaran hari ini. Yaitu Surat Fathir, ayat 27 ? 28. Ayat ini biasanya
dipenggal ujungnya, sehingga berbunyi “yang paling takut di antara hamba-Nya
adalah ulama”. Kenyataannya sangat banyak ulama yang tidak takut, alias tidak
menyadari Tuhannya. Bagaimana bisa disebut takut, bila mereka tetap
berkolaborasi dengan kekuasaan demi kesejahteraan hidup mereka sendiri?
35:27 Apakah engkau tidak
memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah yang menurunkan air hujan dari langit,
lalu dengan air itu Kami tumbuhkan buah-buahan yang beraneka macam warnanya.
Dan, di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka
warna. Dan, ada yang sangat hitam.
35:28 Demikian pula yang terjadi
pada manusia, hewan melata, dan binatang ternak, beraneka macam warna dan
bentuknya. Sesungguhnya yang betul-betul sadar [takut] terhadap Allah di antara
hamba-Nya adalah para orang yang berilmu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa dan
Maha Melindungi.
Perhatikan ayat-ayat tersebut dengan
seksama. Manusia dituntut untuk memahami tanda-tanda dan gejala-gejala di alam.
Untuk apa? Agar kita mengetahui dengan pasti bagaimana alam itu bekerja.
Sehingga kita tidak ngawur dalam bertindak. Sehingga kecintaan kita pada Sang
Kekasih berbuah ridha. Nah, ujung ayat itu memberi tahu bagi pencari ilmu,
pencari kebenaran, bahwa sesungguhnya merekalah orang-orang yang sadar terhadap
keberadaan Allah. Yang sadar terhadap Allah itu bukan para “ulama” yang kita
kenal sekarang ini. Yang dimaksud ayat ini bukan “ulama” sebagai jabatan, tetapi orang-orang
yang dikaruniai ilmu oleh Tuhan.
Bagian ke-20,
[lanj. Ridha]
Sampai pada pelajaran ke-20 ini kita
perlu ambil jeda dulu. Kita perlu menyadari bahwa setiap pelajaran yang telah
diberikan tidak boleh dipisah-pisahkan. Pelajaran tasawuf seperti anak tangga,
tangga yang bawah merupakan landasan bagi tangga yang lebih atas. Karena itu
pelajaran pertama harus dibaca lagi dan dicermati, sehingga kita dapat
mengamalkan tasawuf dengan arif.
Pada bagian ke-19 ditegaskan bahwa
orang-orang beriman harus mencari ilmu, hingga diperoleh keyakinan yang benar,
haqqu l-yaqin. Yang disebut ilmu, bukanlah sebatas apa yang kita pelajari dari
kitab-kitab suci dan hadis. Ingat, kitab suci adalah pelita, bukan obyek yang
kita amati. Ia cuma petunjuk! Yang dengan petunjuk itu kita dapat melangkah untuk
memahami semua obyek. Nah, selanjutnya yang kita pelajari itu adalah
gejala-gejala, sifat-sifat dan ciri-ciri alam. Baik alam itu ada di luar maupun
di dalam diri kita! Dengan cara demikian kita bisa berjalan di atas jalan yang
benar.
Jika kita sudah berjalan di atas
jalan yang benar, maka kita akan sampai pada tujuan yang benar. Tujuan yang
benar, itulah Allah! Inna li l-lahi wa inna ilaihi raji-‘un, “sesungguhnya kita
ini berasal [kepunyaan] Allah dan sesungguhnya kita kembali kepada-Nya”. Jadi,
jelas sekali bahwa cepat atau lambat kita pasti kembali kepada-Nya. Dan kembali
kepada-Nya tidak berarti kembali kepada “sosok” di suatu tempat. Yang
membutuhkan tempat itu bukan Allah. Ia cuma makhluk seperti kita, meskipun
mungkin jauh lebih hebat daripada manusia.
Dalam kalangan sufi, kalimat tauhid
“la ilaha illa l-lah”, tiada tuhan keculai Allah diuraikan menjadi 3 ungkapan
kalimat thayyibah.
Pertama, “la maujuda illa l-lah”,
eksistensi yang sebenarnya adalah Allah. Jadi, kenyataan yang sebenarnya adalah
Allah. Lalu, kita, makhluk hidup lainnya dan benda-benda yang ada ini apa?
Bukankah kita ini sebuah ‘kenyataan’? Semua wujud di alam ini adalah
manifestasi dari kenyataan dan bukan kenyataan itu sendiri. Segala sesuatu ini
hanya ‘nyata’ sesaat, kemudian berubah menjadi ‘kenyataan’ yang lain. Meskipun
Anda mengenali wajah saya saat ini, tetapi sebenarnya wajah saya terus berubah.
Hanya saja perubahan saya ini tak terdeteksi dalam waktu yang relatif pendek.
Walaupun Anda tidak mampu mendeteksi perubahan wujud saya, tetapi 10 tahun
kemudian Anda akan mengenali adanya gurat-gurat ketuaan di wajah saya.
Jadi, apa yang nyata saat ini
sebenarnya sesaat lagi telah berubah, tidak lagi persis sama dengan sesaat yang
lalu. Karena itu, tiada yang maujud, tiada yang betul-betul eksis di alam ini,
kecuali Tuhan. Orang Buddha menggambarkan alam ini seperti pikiran. Ia selalu
datang dan pergi! Ia tak kekal. Artinya, tak punya wujud yang kekal. Nah,
menapaki jalan tasawuf sebenarnya melangkah ke depan untuk menemukan yang Maha
Kekal, yang benar-benar Maujud.
Kedua, “la ma’buda illa l-lah”, tak
ada yang patut diibadahi [diabdi] kecuali Allah. Jadi, hidup yang sebenarnya
itu cuma untuk mengabdi kepada Tuhan. Karena itu, di Al Fatihah dinyatakan
dengan tegas ‘hanya kepada Engkau kami mengabdi’. Dan, ayat ini dirangkai
dengan ‘dan hanya kepada Engkau kami meminta pertolongan’. Lho, kenyataannya
kita ini saling menolong, jadi tidak benar dong jika hanya kepada Tuhan kita
minta pertolongan?
Petunjuk yang kita peroleh dari Al
Fatihah adalah “kami” dan bukan “aku”. Jadi, pengabdian kepada Allah itu ada
dalam bentuk komunitas, dan bukan sendirian. Islam mengajarkan bahwa pengabdian
itu bersifat ‘jamaah’ bukan perorangan. Lalu, apa yang dimaksud dengan
pengabdian kepada Allah? Ingat, makna mengabdi adalah melayani. Mengabdi kepada
Allah berarti melayani Allah. Jangan diartikan secara harfiah! Karena
hakikatnya Allah tidak membutuhkan apa-apa [termasuk pelayanan] dari
hamba-hamba-Nya. Yang memerlukan pelayanan, ya kita-kita ini! Nah, agar kita
bisa saling melayani, maka kita harus mengerti aturan dan mekanisme yang telah
dibangun oleh Allah. Aturan dan mekanisme itu telah ditetapkan-Nya di alam raya
ini. Bukan aturan yang dihasilkan oleh hawa nafsu atau kepentingan
seseorang/sekelompok orang! Untuk itu marilah kita baca ayat-ayat di bawah ini.
28:88 Dan jangan memohon [menyeru]
ilah-ilah selain Allah. Tak ada ilah selain Dia. Segala sesuatu bersifat binasa
[fana] kecuali Wajah-Nya. Hukum itu kepunyaan-Nya, dan kepada-Nya kamu semua
dikembalikan.
55:26 Dan segala sesuatu yang ada di
bumi bersifat fana.
27 Dan Yang Kekal adalah Wajah Tuhan
engkau. Tuhan yang memiliki keperkasaan dan kemuliaan.
29 Semua yang ada di langit dan di
bumi memerlukan-Nya. Setiap saat Dia ada dalam urusan [kesibukan].
28:83 Itulah negeri akhirat! Kami
menyediakan negeri akhirat itu bagi orang-orang yang tidak berkehendak untuk
menyombongkan diri [arogan], dan tidak pula menghendaki kerusakan di bumi. Dan
akibat yang baik itu bagi orang-orang yang bertakwa.
10:101 Katakanlah: “Perhatikanlah
apa-apa yang ada di langit dan di bumi. Dan ayat-ayat serta peringatan itu
tidak berguna bagi orang-orang yang tidak beriman.”
Perhatikan ayat-ayat tersebut dengan
seksama! Pada 28:88 diinformasikan bahwa hukum [law] itu kepunyaan-Nya. Dia
yang menciptakan dan Dia pula yang menetapkan aturan dan kadarnya. Dan ternyata
segala sesuatu itu bersifat fana, tidak tetap [kekal], tetapi terus berubah dan
akhirnya lenyap. Semua sel yang membangun tubuh kita pada waktu bayi, sudah lenyap.
Tak satu pun sel kita pada waktu bayi yang masih hidup sekarang ini. Apa yang
kekal di alam ini? Wajah-Nya! Mengapa tidak dinyatakan saja “yang kekal
Diri-Nya”? Karena Wujud Allah itu Maha Abstrak! Tak ada yang serupa dengan-Nya.
Dia tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.
Semua yang tampak eksis ini
sebenarnya manifestasi-Nya. Apa yang eksis ini adalah wujud dari Cipta-Nya,
atau Amar (Kehendak)-Nya [QS 7:54]. Hanya Tuhan yang mempunyai kemampuan untuk
mencipta dan beramar. Semua wujud yang dicipta melalui suatu proses kejadian.
Sedangkan semua eksistensi yang mewujud karena amar-Nya, tanpa melalui proses.
Malaikat dan ruh adalah contoh amar-Nya. Namun, toh, semua itu fana. Semua ada
hanya untuk menunjukkan “keberadaan-Nya”. Karena itu yang kekal adalah
Wajah-Nya! Karena itu Eksistensi sejati hanyalah Dia. Dan pelayanan di antara
sesama makhluk seharusnya hanya karena Dia.
Setiap saat Dia sibuk melayani
hamba-hamba-Nya. Jantung kita bekerja karena pelayanan-Nya. Kita merasa
mempunyai jantung itu, tetapi kita tak pernah merasa merawatnya. Paru-paru kita
bekerja di luar kontrol kita. Malah Dia yang bekerja untuk kita ini. Karena
itu, kita harus berusaha menjadi hamba yang “ridha”. Dengan kata lain, kita
harus ridha menjadi hamba, atau abdi-Nya! Ungkapan tasawuf ini tentu saja
jangan dipertentangkan dengan lagu “padamu negeri kami mengabdi”. Karena
kata-kata dalam lagu itu sifatnya emosional, membangkitkan emosi penyanyinya,
bukan hakiki. Jadi, kita harus dewasa dalam menimbangnya. Jangan karena “hanya
kepada Tuhan kita mengabdi”, lantas kita memandang syirik lagu tersebut.
Nah, ternyata untuk mencapai
keridhaan-Nya kita tidak boleh bertingkah laku arogan, dan tidak boleh pula
membuat kerusakan di bumi ini. Kita harus perhatikan dengan seksama
gejala-gejala dan peringatan yang ada di langit dan di bumi. Untuk apa? Untuk
memahami rahasia dan hukum-hukum-Nya. Agar kita bisa berjalan sesuai dengan
hukum-Nya. Agar kita bisa kembali kepada-Nya!
Tetapi sekarang lihatlah lingkungan
hidup kita. Bagaimana hutan kita bisa menjadi gundul. Sungai-sungai menjadi
dangkal. Asap menebal dan merusak atmosfer. Di Timur Tengah perebutan tanah
melibatkan emosi keagamaan. Kelaparan menyebabkan pertikaian antar suku. Semua
ini menunjukkan bahwa sedikit sekali [dapat diabaikan] orang yang ridha menjadi
hamba Tuhan. Seharusnya kalau kita tahu bahwa kita ini sama-sama hamba Tuhan,
sama-sama manusia maka kita tidak perlu saling menguasai. Akibat saling
menguasai adalah kerusakan.
Ketiga, “la maqshuda illa l-lah”,
tujuan itu hanyalah Allah. Jadi, tujuan, aim at, intended, intensional bagi
orang-orang mukmin adalah Allah. Yang lain-lain itu adalah jembatan menuju
Allah. Orang berbuat bajik kepada orang lain, tolong-menolong dalam kebajikan,
berkasih-sayang sesama manusia, memberikan perlindungan kepada mereka yang
lemah, bertutur kata yang arif, dll, semuanya itu adalah jalan-jalan menuju
Allah. Karena tujuan akhir itu hanya kepada Allah maka kita dilarang menjadi
ilah selain-Nya. Apa artinya ini? Ya, kita jangan menghakimi keimanan seseorang
atau kita jangan memaksakan kehendak dan pendapat kita.
Dalam tasawuf ada kalimat thayyibah
yang senantiasa dilakukan oleh orang-orang yang berzikir. Kalimat ini dibaca
ketika memulai zikir. Bunyinya demikian: “Ya ilahi anta maqshudi wa ridhaka mathlubi”,
Wahai Tuhanku, Engkaulah yang menjadi tujuanku, dan keridhaan Engkau yang aku
cari.
Yang dicari adalah Allah. Tetapi
Allah bukanlah obyek! Dia adalah subyek yang meliputi segala sesuatu, omni
present. Ya, Dia memang hadir di mana-mana. Tetapi kita tak menyadari
kehadiran-Nya. Karena itu kita harus melatih diri untuk mencari-Nya. Untuk apa?
Bukankah berbuat baik [beramal saleh] sudah cukup? Mari kita tengok lagi
landasan hidup ini. Apa itu? Paduan iman dan amal saleh [imas]! Dengan kata
lain, iman dan amal saleh tak dapat dipisahkan. Ia merupakan satu paket.
Perbuatan boleh jadi baik, tetapi motif yang melandasinya buruk. Orang Jawa
memberikan contoh tentang perbuatan bajik tapi motifnya buruk, yaitu “tulung
menthung”. Kelihatannya dia menolong seseorang, tetapi tujuannya untuk
menjatuhkan orang yang ditolongnya itu. Seperti orang yang meminjami uang
kepada seseorang, tetapi bunganya membuat orang itu semakin miskin.
Begitu pula iman yang tidak pernah
diwujudkan dalam bentuk amal saleh, bukan iman namanya. Itu cuma kepercayaan!
Iman tidak sama dengan kepercayaan. Kata “iman” memiliki unsur yang sama dengan
“aman” dan “amin”. Yang diharapkan dari keimnan adalah rasa aman di dalam diri.
Dan puncak dari keimanan adalah menemukan Allah! Buah dari haqqu l-yaqin adalah
ma’rifatullah, mengenal Allah. Karena itu, pernyataan sufi adalah “Engkau
tujuanku, dan keridhaan [kerelaan]-Mu yang aku cari”. Jadi, tujuan hidup itu
sejalan dengan “inna li l-lahi wa inna ilaihi raji-‘un”.
Pada bagian sebelumnya telah diterangkan
bahwa kata ‘ridha’ yang biasa juga diterjemahkan menjadi ‘rela’, juga mempunyai
arti pasrah atau berserah-diri. Ridha menjadi hamba Tuhan, berarti rela untuk
melayani-Nya. Yang juga berarti ‘berserah diri’ kepada-Nya. Anda tentunya kenal
dengan istilah “islam, iman, dan ihsan”. Secara mudahnya, ihsan adalah
perbuatan yang lahir dari sikap merasa terus-menerus diawasi oleh Tuhan.
Singkatnya, ihsan adalah perbuatan yang lahir dari kewaspadaan. Jika kita telah
mampu melakukan ‘waskat’ [pengawasan melekat], maka kita memilih hidup ridha.
Dan jiwa orang yang bersikap ridha ini disebut juga ‘jiwa muthma-innah’. Nah,
di sini kita bertemu dengan ayat QS 89:27-30.
89:27 Hai jiwa yang damai,
28 kembalilah kepada Tuhan dikau
dengan ridha dan diridhai.
29 Masuklah ke dalam hamba-hamba-Ku,
30 Dan masuklah ke dalam taman-Ku.
Inilah panggilan terhadap jiwa yang
sudah damai, tenang. Ini bukan panggilan sesudah kiamat nanti. Tetapi sekarang!
Pencarian Tuhan bukan setelah kita mati. Tetapi sekarang ini, ketika hayat
masih dikandung badan. Ingat, Al Quran adalah pelita bagi orang yang hidup di
dunia ini. Ia bukan petunjuk untuk hidup di akhirat nanti. Ia benar-benar
petunjuk untuk manusia yang hidup di dunia ini, dan implikasinya di alam yang
akan datang. Karena itu, jangan menunggu di sapa atau dipanggil Tuhan nanti
setelah mati. Kita harus temukan Tuhan sekarang, di dunia ini. Anta maqshudi wa
ridhaka mathlubi! Di awal pelajaran ini telah dijelaskan bahwa “dengan berzikir
hati menjadi damai”. Bilamana hati kita telah damai, maka panggilan Tuhan itu
akan terdengar semakin nyaring. Panggilan untuk kembali kepada-Nya dengan rela,
dan akhirnya pun Tuhan merelai. Tuhan rela agar yang dipanggil itu masuk ke
dalam komunitas hamba-hamba-Nya [jamaah pelayan-Nya]. Lalu, jiwa dituntun-Nya
memasuki taman-Nya! Taman yang penuh kedamaian dan kekekalan.
Nabi Isa as datang ke bumi bukan
untuk dilayani, tetapi dia datang untuk melayani. Muhammad saw datang dengan
memproklamirkan diri bahwa dia adalah hamba-Nya, ‘abduhu. Muhammadan ‘abduhu wa
rasuluh, Muhammad hamba dan pesuruh-Nya. Baik Isa maupun Muhammad tidak segan
untuk memproklamirkan dirinya sebagai hamba, abdi, atau pelayan! Sekarang ini
malahan kita tidak mau menjadi abdi. Kita malah
berebut menjadi majikan ‘agama’.
Kita ingin agama kita paksakan untuk diterima oleh orang lain. Jadi, kita bukan
datang untuk melayani orang sehingga orang pada tertarik kepada agama kita.
Tetapi orang kita paksa untuk menerima syariat yang kita tawarkan. Kita lupa
bahwa “la ik-raha fi d-din”, tidak ada paksaan dalam agama [QS 2:256]. Agama
memang bukan untuk dipaksakan. Agama adalah nasihat, petuah. Agama adalah jalan
yang benar! Sesuatu yang benar itu jelas batasnya dengan yang salah. Karena itu
agama tak perlu dipaksakan.
Sekarang ini banyak orang yang
mencoba memaksakan agama. Ayat tersebut diberi footnote [catatan kaki]: tidak
dipaksakan mengikuti agama, tetapi bila sudah menga-nutnya harus dipaksa
melaksanakannya. Aha....., ini dia catatan yang melanggar makna kebebasan yang
diberikan Tuhan. Padahal Nabi sendiri datang untuk menjadi abdi dan
pesuruh-Nya. Sebagai abdi Nabi diperintah Tuhan untuk memberikan teladan yang
luhur. Sebagai pesuruh Nabi diperintah untuk menebarkan rahmat, kasih-sayang.
Biarkan orang meneladani beliau dengan sepenuh kesadarannya.
Ayat 2:256 itu sebenarnya mengajak
manusia untuk bersikap ridha. Agar kita bisa memahami secara utuh ayat
tersebut, saya cuplikkan ayat
tersebut di bawah ini.
Tidak ada paksaan dalam agama.
Sungguh telah jelas jalan yang benar dari jalan kegelapan. Barangsiapa yang
mengingkari ‘tagut’, dan beriman kepada Allah, maka sungguh dia telah berpegang
teguh pada tali yang kuat dan tak akan putus. Allah Maha Mendengar dan Maha
Mengetahui.
Mengapa agama tidak boleh
dipaksakan? Agama adalah jalan! Jalan yang benar itu jelas bedanya dari yang
salah, jalan kegelapan. Orang yang mengingkari tagut, hal-hal yang melampaui
batas, dengan kata lain orang yang beramal saleh, dan beriman kepada Tuhan,
maka dia sebenarnya telah berpegangan pada tali yang kuat, yang tak akan putus.
‘Tagut’ dari kata ‘thagha’, melampaui. Jadi, tagut adalah perbuatan atau
tindakan yang melampaui batas. Juga biasa diterjemahkan ‘setan’. Jadi, kalau
orang tidak memperturutkan hawa nafsunya, tidak berlebihan, tidak melampaui
batas-batas kemanusiaan, tidak menyelewengkan amanat, tidak sewenang-wenang,
tidak mau menang sendiri, tidak berbuat demi kepentingannya
sendiri/kelompoknya; maka orang itu telah mengingkari tagut. Tak perlu lagi
agama dipaksakan kepada-Nya.
Lho, bagaimana kalau dia tidak
menjalankan syariat? Bukankah dia harus dipaksa karena telah menerima Islam? Di
sini kita harus hati-hati! Islam bukanlah sesuatu yang harus diterima atau
tidak. Islam adalah jalan, penyerahan diri, submission. Ia diwujud-kan dengan
cara mengingkari tagut dan beriman kepada Tuhan. Atau dengan kata lain, Islam
diwujudkan melalaui iman dan amal saleh. Syariat adalah bentuk riyadhah atau
training untuk mewujudkan imas tadi. Karena ia merupakan program pelatihan,
maka syariat tak pernah lepas dari pendapat ulama. Syariat yang dijalankan oleh
warga LDII ya mengikuti pendapat tokoh-tokohnya. Yang NU ya mengikuti ulamanya.
Muham-madiyah, Persis, Syi’ah dll juga begitu. Di dalam masyarakat Islam yang
plural, pemaksaan syariat akan menimbulkan gaduh. Bahkan mungkin malah terjadi
pertikaian. Masing-masing pihak akan mengklaim syariatnya yang benar! Kalau
sudah demikian, syariat bukan lagi sebagai program pelatihan untuk hidup
beragama, tetapi menjadi berhala. Tuhan telah disingkirkan, dan diganti dengan
paksaan manusia.
Sekali lagi, mari kita jadikan agama
sebagai jalan, din, landasan untuk hidup kita. Agama bukan Tuhan, dan bukan
pula suku atau kerangkeng kehidupan. Bila kita sudah mampu menempatkan agama
sebagai jalan, maka ikatan emosional dengan agama akan hilang. Sehingga suatu
peristiwa atau kejadian tidak dikaitkan dengan agama. Misalnya, kejadian yang
menimpa WTC dan Pentagon, jangan dikaitkan dengan Islam. Itu semua akibat
perseteruan antar manusia, karena mereka yang ber-seteru itu belum ridha menjadi
manusia, hamba Tuhan. Kata arif dari Jawa, ‘manungsa iku manunggaling rasa’,
manusia itu bila dapat menyatukan rasa sama-sama sebagai manusia. Sama-sama
ridha sebagai manusia!
Manusia harus banyak berzikir agar
hatinya damai, pikirannya tenang. Dengan hati yang damai manusia akan ridha
memenuhi panggilan Tuhannya. Nah, sebagai tips hari ini mari kita tingkatkan
mutu zikir kita.
1. Cari waktu yang sepi, misalnya
bangun pagi sebelum masuk subuh.
2. Duduk di tempat yang nyaman, dan
lakukan duduk yang relaks.
3. Lakukan istighfar
[astaghfirullah] secukupnya, 3 atau 7 kali.
4. Baca tasbih, tahmid, dan takbir.
5. Pejamkan mata yang relaks.
6. Ucapkan ya ilahi anta
maqshudi.....
7. Sekarang katupkan kedua bibir
dengan ujung bawah lidah menempel ke langit-langit.
8. Pusatkan perhatian pada kedua
ujung lubang hidung sambil menarik napas, disertai ucapan dalam hati “la ilaha
illa l-lah”, dan tahan sejenak di dalam perut Anda.
9. Kemudian lepas pelan-pelan napas
tersebut dibarengi ucapan tahlil dalam hati, dan kita awasi napas tersebut
sampai ujung lubang hidung.
Lakukan tarik dan hembus napas itu
minimal 17 kali.
Bagian ke-21
[akhir ridha]
Pada awalnya, ridha berarti rela
menerima “qadha”, ketentuan Tuhan. Kemudian ridha kita ini, kita tingkatkan
menjadi rela sebagai “hamba, abdi Tuhan”. Nah, puncak dari ridha adalah
bangkitnya kesadaran bahwa dunia ini hanyalah “perhiasan”, “sandi wara”, dan
“permainan”. Jadi, ada 3 hal yang perlu kita kupas dan ulas, yaitu dunia
sebagai perhiasan, permainan, dan sandiwara.
Pertama, dunia sebagai perhiasan.
Kita semua ini adalah perhiasan. Kepunyaan siapa? Ya, kepunyaan Tuhan! Lho,
Tuhan koq perlu perhiasan? Katanya, Tuhan tidak memerlukan apa-apa. Dia Maha
Kaya. Betul, betul sekali... bahwa Tuhan tidak perlu apa-apa. Dia tidak perlu
perhiasan, karena Dia itu indah. Dia itu indah! Karena itu, Dia mencintai
keindahan.
Dia ciptakan perhiasan untuk
memenuhi kecintaan-Nya terhadap keindahan. Dan, perhiasan itu berupa dunia,
bumi-langit dengan segala isinya. Tetapi, ternyata yang paling indah....adalah
“perempuan yang saleh”! Nah lho, ada diskriminasi. Lha, kalau saya laki-laki
kan tidak bisa menjadi perhiasan yang terindah bagi Tuhan? Lha wong, cuma
perempuan yang saleh yang menjadi perhiasan terindah. Apa nggak diskriminasi namanya?
Dalam bahasa Arab, perempuan juga
melambangkan kelembutan, atau bagian yang halus. Jiwa atau “nafs” juga
merupakan kata benda perempuan. Bumi juga diberi status perempuan. Bulan yang
cahayanya terasa teduh bila dipandang, disebut berwatak perempuan. Nah,
perhiasan terindah adalah makhluk Tuhan yang bertabiat perempuan! Kita tak akan
sanggup menerima “qadha” bila tidak tumbuh kelembutan di dalam diri kita ini.
Kita belum bisa menjadi “Islam”, berserah diri, bila kita belum mampu
me-nundukkan kepentingan-kepentingan pribadi kita. Ya, tapi kan langka, orang
yang dapat mengesampingkan kepentingan dirinya. Justru pada kelangkaan itu
letaknya sebuah nilai! Perhiasan dalam pengertian yang sesungguhnya, seperti
emas, mutiara, permata, dan lain sebagainya itu mahal karena kelangkaannya.
Dunia ini perhiasan! Kadangkala
mempesona. Kadangkala memperdaya. Tinggal bagaimana kita menyikapinya. Kalau
kita menyadari bahwa nilai perhiasan itu bersifat ekstrinsik, cuma nilai yang
dilekatkan dari luar, maka kita tak akan teperdaya. Jika kita melihat suatu
perhiasan itu indah, sebenarnya karena kita ini dipengaruhi oleh orang lain
yang mengatakan itu indah. Penilaian terjadi karena pikiran kita dipengaruhi
oleh pikiran orang lain sejak kecil. Sehingga jika kita disuguhi makanan dengan
tempurung kelapa [bathok], sedangkan yang lain dengan piring, maka kita merasa
terhina dan tidak bisa makan. Tapi bagi orang yang minta-minta, dia tetap bisa
makan dengan tempurung atau selembar daun sekalipun. Bagi si peminta, kelaparan
tak ada hubungannya dengan sebuah nilai. Jadi, ridha menerima Allah berarti
menyadari sepenuhnya bahwa dunia ini cuma sebuah perhiasan, bukan hakiki.
Mari kita perhatikan beberapa ayat
yang berkaitan dengan nilai dunia ini:
3:185 Setiap jiwa merasakan mati.
Dan sesungguhnya imbalan untukmu disempurnakan pada saat kebangkitan.
Barangsiapa yang dijauhkan dari api, dan dimasukkan taman, maka menanglah dia.
Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah perhiasan yang memperdayakan.
186 Sungguh kalian semuanya diberikan
cobaan berupa harta dan nafs kalian. Dan, kamu akan mendengar banyak caci-maki
dari ahli kitab sebelum kamu dan dari orang-orang musyrik. Jika kamu bersabar
dan bertakwa, maka ini adalah perkara yang perlu keteguhan hati.
57:20 Ketahuilah, sebenarnya kehidupan
dunia itu permainan, sandiwara, perhiasan, saling menyombongkan diri di antara
kamu, dan berlomba banyak harta dan anak. Itu ibarat hujan yang menyebabkan
lebatnya tanaman sehingga menyenangkan para petaninya. Lalu, tanaman itu layu
dan tampak kuning, dan akhirnya sirna. Dan, di akhirat ada azab yang keras dan
ada juga perlindungan dari Allah, serta keridhaan-Nya. Dan, tiadalah kehidupan
dunia itu kecuali perhiasan yang memperda-yakan.
Ayat yang pertama, 3:185, adalah
kaidah umum. Apa itu? Setiap diri merasakan mati. Jika makna mati diperluas,
termasuk juga tidur, maka siapa yang masih memakai raga jasmani dunia ini pasti
mengalami kematian. Dan, suatu imbalan pasti dirasakan bila kesadaran kita ini
bangkit. Anak kecil [kurang dari 2 tahun] tidak terlalu mengerti makna suatu
imbalan. Kesadarannya belum bangkit. Lain dengan manusia dewasa yang sehat
lahir dan batin, kesempurnaan imbalan dari Tuhan itu akan dirasakan. Jika
hidup-nya penuh dengan keridhaan, maka jauhlah dia dari neraka. Dekatlah dia dari
surga. Imbalan surga itu dirasakan di dalam dirinya. Ia menang! Ia realistis
menempuhnya hidupnya. Ia ridha, rela!
Untuk menopang dan mengukuhkan sikap
ridha itu, Tuhan memberi tahu bahwa kehidupan dunia itu hanyalah perhiasan,
kesenangan, yang sifatnya memperdayakan mereka yang tertarik. Lho, apa tidak
boleh orang bersenang-senang? Tentu saja boleh! Tetapi, jangan sampai lengah,
lalai. Jika kita berekreasi mencari kesenangan, maka kita pun harus tahu batas.
Kita harus “rela” meninggalkan tempat rekreasi itu bila waktunya habis. Kita
kembali! Karena itu dunia ini pun dikenal sebagai kesenangan sementara. Tidak
kekal! Segala sesuatu yang terus berubah memang tidak kekal.
Konsekuensi hidup di dunia adalah
senantiasa berhadapan dengan berbagai cobaan hidup. Cobaan itu berupa harta
benda dan nafs. Harta benda adalah semua benda yang diberi nilai, diberi “aji”.
Kita belum berebut udara untuk bernapas, karena kita belum memberikan nilai,
harga pada udara. Tetapi jika udara sudah menjadi barang langka, maka kita akan
berlomba untuk mendapatkannya, dan mengumpulkannya. Nah, apa yang disebut
“cobaan berupa nafs”. Yang terkandung dalam cobaan nafs adalah rasa dan
keinginan. Dalam menghadapi hidup ini manusia sering mengalami rasa takut, rasa
cemas, rasa khawatir, rasa hampa, dan berbagai rasa yang sifatnya membuat hidup
menderita. Sedangkan berbagai rasa senang mendorong manusia untuk memenuhi
semua keinginannya. Seakan-akan hidup ini hanya untuk memenuhi keinginan.
Padahal keinginan yang dituruti terus-menerus akan menghasilkan dilusi!
Dan, yang harus diingat, bila kita
ingin hidup benar, maka datanglah cemoohan justru dari orang-orang yang telah
membaca kitab. Itulah sebabnya mengapa di negara yang mayoritas penduduknya
beragama banyak sekali orang yang tidak berani menem-puh hidup benar. Tidak
kuat menghadapi cobaan harta-benda dan nafs! Korupsi meraja lela, karena tidak
tahan menghadapi cemoohan para pembaca kitab dan orang-orang yang mengalami
disorientasi dalam hidup ini. Agar tidak tergoda dan tahan menghadapi caci
maki, maka diperlukan kesabaran dan ketakwaan. Dan, hal ini perlu keteguhan!
Pada ayat ketiga, ditegaskan bahwa
hidup ini pun merupakan kondisi saling me-nyombongkan, lomba banyak harta dan
banyak anak. Memang, setting ayat ini ketika manusia bangga bila banyak anak.
Kalau sekarang justru orang merasa enggan untuk mempunyai banyak anak. Tetapi
lomba banyak harta semakin meraja lela, khususnya di Indonesia. Karena yang
dijadikan perlombaan itu tentang banyaknya harta, maka jangan heran bila
korupsi yang berkecamuk.
Berbangga, menyombongkan diri, dan
berlomba banyaknya harta, itu diibaratkan “hujan”. Ketika hujan turun maka
tumbuh suburlah tanaman milik petani itu. Tanaman yang tumbuh lebat ini
menyenangkan petaninya. Petaninya merasa senang karena dalam angan-angannya,
tanaman itu pun akan berbuah lebat, akan memberikan hasil besar. Tetapi, tak
disangka-sangka datanglah hama yang menyerang tanaman itu. Tanaman yang tadinya
segar bugar, meranalah seketika. Serangan hama yang hebat, hanya dalam semalam sudah
membuat tanaman layu dan mati.
“Lho, di tengah krisis ini kok
orang-orang kaya tidak menjadi merana. Bahkan mereka tampak jaya saja. Malah
yang melarat yang tambah menderita!” Tentu..., mereka tidak seperti tanaman.
Tetapi, dalam keadaan krisis yang melanda negeri kita ini mereka tampak “layu”.
Coba perhatikan wajah mereka di tv! Pandanglah wajahnya dengan tenang, tanpa
terbuai kekayaan mereka. Sorot matanya, cahaya yang terpancar dari wajahnya,
itu lho yang redup, layu!
Dunia ini hanyalah kesenangan
sementara. Kesadaran tentang hal ini harus kita tumbuhkan. Agar, jika kita
menerima anugerah-Nya kita tidak lupa. Kita tidak terlalu berbangga. Kesenangan
itu hanyalah gelombang pikiran. Ia datang, dan pergi! Karena itu jangan
terperangkap.
Kedua, dunia sebagai permainan.
Tahukah Anda bahwa permainan itu dalam diri-nya sendiri tidak mempunyai tujuan.
Sepak bola, misalnya. Permainannya sendiri tidak meminta pemainnya terdiri dari
dua kesatuan yang bertanding, dan masing-masing 11 orang. Tetapi ada orang yang
menciptakan aturan mainnya, dan diterima oleh mereka yang bertanding.
Pelajaran apa yang bisa kita ambil
dari permainan? Yang bisa kita ambil sebagai pelajaran adalah “aturan main”.
Aturan main itu lahir dari kesepakatan, konvensi. Aturan itu berubah sesuai
dengan perubahan pengetahuan manusia-manusianya yang terlibat dalam permainan
itu. Aturan permainan sepak bola sekarang ini sudah pasti sangat jauh berbeda
dengan aturan ketika permainan ini baru diciptakan.
Manusia juga begitu. Aturan manusia
zaman berburu berbeda dengan manusia peramu [pengumpul buah]. Ketika masyarakat
manusia berubah menjadi masyarakat pertanian, aturannya berubah. Tatkala
masyarakat manusia berubah menjadi masyarakat pedagang, ada transaksi
hutang-piutang. Pedagang membuat aturan laba-rugi! Lalu, muncullah masyarakat
industri. Dan sekarang kita berada di tengah-tengah masyarakat informasi. Semua
ini akan mengubah aturan permainan dalam kehidupan ini.
Sistem pekerjaan, peribadatan,
perkawinan, pergaulan, dan pembernegaraan, itu semua berubah sesuai dengan
perkembangan kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat agraris, peribadatan
ditujukan untuk memuja tuhan kesuburan, tuhan matahari, tuhan sungai, tuhan
halilintar dan sebagainya. Ketika masyarakat pedagang berkembang, maka sistem
ketuhanan juga berubah menjadi tuhan yang menjamin rezeki, keuntungan, kekayaan
dan lain sebagainya. Ketika pertanian dan perdagangan bertemu dan menjadi satu
sistem, maka tumbuhlah agama “tauhid”.
Bagi masyarakat pertanian, munculnya
masyarakat perdagangan mereka anggap sebagai datangnya malapetaka. Nasib petani
biasa dipelintir pedagang. Masyarakat pedagang dipelintir masyarakat industri.
Dan masyarakat industri dikuasai oleh mereka yang memegang supremasi informasi!
Aturan main dalam agama tauhid yang muncul pada masyarakat petani+pedagang,
harus ditafsirkan kembali, dilakukan re-thinking. Kita bukan hanya rela menjadi
abdi, tetapi bersedia meningkatkan diri untuk mengikuti aturan main di dalam
taman-Nya.
Di mana lokasi taman Tuhan itu? Ada
di dalam diri Anda yang terdalam. Ada di lubuk hati Anda yang mukmin. Di
situlah Anda menjumpai taman, surga Tuhan itu seluas langit dan bumi. Bukankah
bumi dan langit itu tak mampu menjangkau Tuhan? Tetapi, hati seorang mukmin,
hati seorang yang beriman, hati orang yang aman jiwanya, dapat menjangkaunya.
Bumi dan langit, atau alam semesta tidak mampu me-nampung Tuhan. Tetapi, hati
seorang yang aman dapat menjadi Singgasana-Nya!
Relakah kita mengikuti permainan di
taman-Nya? Aha..., rupanya kita belum siap. Kita belum rela meninggalkan aturan
lama yang sudah tidak fit, tidak cocok lagi. Permainan baru telah
digelindingkan Tuhan, misalnya bioteknologi, kultur jaringan, rekayasa
genetika, dan kloning. Kita tidak rela mengikutinya bahkan kita mengutuknya.
Kita lupa bahwa semua itu tak akan terjadi tanpa kodrat dan iradat Tuhan. Kita
cuma bisa menuduh bahwa itu ulah dari para orang kafir. Akhirnya, kita sendiri
yang “kufr bi n-ni‘mah”, kafir terhadap kenikmatan dari Tuhan.
Nah, marilah kita sadar bahwa
kehidupan dunia ini ternyata hanyalah permainan. Pemilik permainan itu Tuhan
Yang Mahaesa. Karena itu, mari kita ikuti permainan ini dengan sebaik-baiknya.
Jangan dilanggar! Jika demokrasi yang menjadi permainan kita, maka jangan
cari-cari dan curi-curi dalil agama untuk kepentingan golongan, atau
kepentingan pribadi dengan stempel agama.
Di bawah ini ada ayat-ayat yang
menyebutkan bahwa dunia ini permainan, dan juga sandiwara.
6: 32 Dan tiadalah kehidupan dunia
ini kecuali permainan dan sandi wara. Sungguh negeri akhirat itu lebih baik
bagi orang-orang yang bertakwa. Apakah kamu tidak menggunakan akalmu untuk
memahami?
29: 64 Dan tiadalah kehidupan dunia
ini kecuali sandiwara dan permainan. Dan sungguh negeri akhirat itulah
kehidupan yang sebenarnya kalau mereka menggunakan akal untuk memahami.
Ketiga, disamping sebagai permainan,
kehidupan dunia ini ibarat sandiwara. “Lho, kok demikian? Lha, kalau cuma
sandiwara, buat apa kita hadapi dengan serius?” Jangan gusar dulu. Tuhan
memberitahukan yang sebenarnya. Kalau seseorang menjadi presiden sekarang ini,
itu hanyalah peran. Yang sesungguhnya, dia ini cuma seorang hamba. Tapi, peran
kepresidenannya itu harus disyukuri. Peran itu harus dijalani dengan
sebaik-baiknya. Sehingga timbul apresiasi terhadap perannya.
Bagaimana orang berperilaku jahat?
Itu juga peran! Konsekuensi orang yang berperan kejahatan adalah menerima
hukuman. Lihatlah sandiwara di atas panggung. Agar penonton tidak kecewa, yang
salah, yang berbuat jahat, menerima hukuman atau dibuat kalah. Lho, kok mau menjadi
pemeran kejahatan? Di sini memang ada “blue print” bagi orang yang terlahir di
bumi. Pernahkah Anda mendengar bahwa racun itu harus ditangkal dengan racun?
Begitulah, sebenarnya “blue print” kejahatan pada diri seseorang itu untuk
menangkal kejahatan. Namun, tidak semua orang bisa menjalankan peran yang
diterimanya. Akhirnya ia bukan menjadi penangkal kejahatan, tetapi betul-betul
menjadi pelaku kejahatan.
Peran positif mudah dipahami.
Sedangkan peran negatif sulit sekali dipahami dengan cara berpikir normatif.
Untuk memahami kejahatan sebagai peran, tidak cukup dikaji secara teoritis. Ia
harus dikaji secara filosofis, bahkan dipahami dengan spiritual yang tinggi
seperti yang digambarkan oleh Khidir di depan Musa. Pada tingkatan objektif
rasionalnya Musa, Khidir telah bertindak salah karena telah membunuh seorang
anak yang tidak bersalah. Secara lahiriah Khidir telah bertindak salah. Ia
pembunuh. Tapi pada level yang lebih tinggi, Khidir telah menolak kejahatan
yang akan datang. Tidak perlu bingung dan menjadi beban pikiran. Yang penting
kita sekarang ini ambil peran yang positif, dan kita pentaskan yang
sebaik-baiknya.
Anda tak perlu memaksa pikiran Anda
untuk mengerti hal-hal yang belum bisa Anda jangkau. Yang wajar-wajar saja!
Laluilah semampu Anda. Jangan berandai-andai melampaui kemampuan Anda. Nanti
malah terjatuh. Yang perlu kita sadari sekarang ini adalah kita ini sedang
bermain sandiwara. Dan kita terpanggil untuk ambil peran yang positif. Maka
kepositifan peran kita itu kita tingkatkan. Hingga timbul apresiasi. Bukan
apresiasi dari pemain sandiwara lainnya, tetapi apresiasi dari sang keberadaan.
Dalam bahasa spiritualnya, kita mendapat apresiasi dari Tuhan, Sang Sutradara
Agung!
Jika kita bukan penjahat, maka
jangan coba-coba berperan sebagai penjahat. Dan bila kita merasa peran kita
sebagai penjahat, maka peran itu kita optimalkan untuk bisa menolak kejahatan
yang lebih besar. Kalau kita ambil contoh secara nalar, memata-matai orang itu
sebuah kejahatan. Tetapi bila peran itu kita optimalkan sebagai intel negara,
demi keselamatan orang banyak [seluruh negara], maka pujian yang datang dan
bukan sumpah serapah. Mencuri adalah perbuatan jahat. Tetapi banyak pemerintah,
dan kelompok agama mencuri rahasia negara atau golongan lain. Dan, masih banyak
contoh lainnya yang Anda sendiri bisa mencarinya.
Jika dunia merupakan permainan dan
sandiwara. Maka akhirat adalah kehidupan yang sebenar-benarnya. Hanya saja
orang telah mengecilkan dan menyempitkan makna akhirat. Jika dunia yang sangat
terbatas ini punya fungsi perhiasan [kesenangan], sandi- wara dan permainan;
maka akhirat juga harus kita pahami yang seluas-luasnya. Yang melampaui
pemahaman kita tentang dunia. Selama ini akhirat hanya diartikan sebagai alam
yang akan datang, yang adanya setelah dunia ini musnah! Ini sebenarnya hanya
salah satu makna bagi akhirat. Padahal dunia dan akhirat itu satu adanya.
Perhatikan kembali “surga” yang seluas langit dan bumi [QS 3: 133, 57:21].
Perhatikan keberadaan surga dan neraka selama ada semua langit dan bumi [QS
11:107, 108].
Akhirat juga sisi lain dari alam
semesta. Bila dunia kita lihat sebagai kenyatan lahiriah, maka sisi yang
tersembunyi, yang batiniah itu juga merupakan akhirat. Bila dunia itu adalah
“kenyataan yang sekarang” maka akhirat adalah keberadaan yang akan datang. Bila
dunia mewakili pengalaman hidup di bumi ini maka akhirat adalah sebuah
kehidupan di tempat lain.
Dengan memahaminya dalam pengertian
yang luas, maka kita akan bisa mengerti arti bahwa dunia itu hanyalah
perhiasan, permainan, dan sandiwara. Dunia sebagai perhiasan karena nilainya
bukanlah nilai intrinsik. Bukan nilai asli yang terkandung di dalamnya. Emas
itu menyenangkan kita karena ada nilai yang diatributkan kepadanya. Tetapi,
bagi salah satu suku di Irian Jaya [Papua], yang bernilai itu bukan emas, intan
dan berlian melainkan tulang dan gigi babi. Bagi kanak-kanak, mainan lebih
berharga daripada satu ton emas!
Sebagai permainan, kehidupan dunia
terus berubah. Aturannya pun terus berubah sesuai dengan perubahan dunia itu
sendiri. Dulu dengan alasan pasutri tidak punya anak maka suami harus diizinkan
kawin lagi. Tetapi, sekarang ada bayi tabung, ada kloning. Sehingga alasan itu
menjadi usang nantinya jika bayi tabung dan kloning sudah murah harganya.
Sehingga terjangkau oleh mereka yang biasa-biasa saja kekayaannya. Nah, rela
tidak, ridha tidak, kita menyambut perubahan aturan main itu?
Kehidupan juga sandiwara. Sehingga
kita ini adalah pemain di dalamnya. Tentu harus kita optimalkan pentas kita di
panggung sandiwara ini. Pentas kita harus mampu melahirkan prestasi dan
apresiasi. Bukan apreasi dari sesama pemain sandiwara. Tetapi apreasiasi dari
Sang Sutradara. Sepi ing pamrih rame ing gawe, sunyi dari pamrih terhadap
sesama, tetapi menonjol dalam karya. Sudahkah kita ridha?
Bagian Ke-22
[Tawakal]
Pada akhir pelajaran tentang ridha,
disebutkan bahwa dunia ini adalah perhiasan, permainan, dan sandiwara. Pada
tahap ini pelaku sufi sebenarnya sudah tumbuh suatu penghayatan. Dan, bukan
masih berada pada tahap awal, yaitu pada tataran objektif dan normatif. Jika
kita masih pada tingkat normatif, maka kita akan terjebak pada paham jabariah.
Suatu paham yang mendefinisikan bahwa hidup ini “jabbar”, terpaksa. Dalam paham
ini manusia tidak mempunyai kuasa apa-apa, ia hanya berbuat sebagaimana yang
ditetapkan di “lauhu l mahfuzh”, kitab induk semesta.
Pemahaman dan penghayatan di maqam
ridha, sudah melampaui dualisme. Hidup itu bukan jabariah dan bukan pula
‘qadariyah’ [paham yang meyakini bahwa Tuhan tidak menentukan apa-apa, dan
manusia berkehendak dan bertindak bebas]. Ridha adalah sikap yang seimbang
antara keyakinan predestinasi [jabbar, takdir] dan kehendak bebas, free will.
Praktik birokrasi dan sentralisasi di negara-negara berkembang dise-babkan oleh
masih suburnya keyakinan jabariyah, meskipun mereka tidak mengerti ‘apa itu
jabariyah’.
Pemahaman adanya ‘blue print’, cetak
biru pada diri manusia sebenarnya hanya untuk mengingatkan kembali bahwa
manusia telah berjanji untuk memenuhi ‘qadha’nya. Bukankah kita ini telah
melakukan kontrak dengan Tuhan, seperti yang dinyatakan dalam QS 7:172? Dan,
mengoptimalkan penggunaan cetak biru secara positif adalah untuk menunjukkan
hadirnya kehendak bebas yang diberikan pada manusia.
Pemahaman yang benar tentang kodrat
dan iradat, ketetapan dan kehendak, akan mengantarkan manusia hidup seimbang di
dunia ini. Bukan materialis dan bukan pula immaterialis. Menjadi manusia yang
harmonis di tengah taman-Nya. Itulah sebabnya, saya selalu mewanti-wanti,
mengingatkan bahwa setiap tahap dalam pelajaran tasawuf ini merupakan lanjutan
dari pemahaman tasawuf sebelumnya. Jadi, pemahaman yang ada dalam setiap
pelajaran tidak berdiri sendiri-sendiri.
Semula manusia tasawuf diangkat dari
kehidupan subjektifnya menuju ke kehi-dupan yang objektif dan rasional. Dari
ilmu l-yaqin menuju ke kehidupan ainu l-yaqin. Dari takwa pada tangga dasar
hingga menjadi manusia wara’ adalah manusia yang hidup mengikuti keyakinan
berdasarkan ilmu, berdasarkan pengetahuan yang benar. Lalu manusia sufi
meningkatkan dirinya ke tahap penghayatan dan pengalaman hidup, tahap ainu
l-yaqin. Tahap sabar dan zuhud. Tahap tahalli. Tahap kondisioning.
Nah, ridha dan tawakal adalah tahap
haqqu l-yaqin. Tahap tajalli. Tahap manusia yang mewujudkan citra Ilahi.
Manusia yang mengasihi tetapi bukan karena meminta dikasihi. Manusia terhormat
bukan karena dihormati. Manusia kaya bukan karena melimpahnya materi. Manusia
cinta, sebagai manifestasi cinta Ilahi. Tajalli! Karena itu, teori tasawuf
hendaknya tidak dipahami sebagai teori semata-mata. Penghayatan dan pengalaman
ditingkatkan menjadi pemahaman.
Pada tahap awal orang beramal karena
diberi tahu. Ada orang lain yang melang-kah dengan benar, lalu diteorikan.
Teori itu disebarluaskan, untuk dipraktikkan bareng-bareng. Lahirlah manusia
kolektif. Ada aturan buat hidup bersama. Ada sentralisasi dan birokrasi untuk
kehidupan bersama. Penampilan individu amat lemah karena kuatnya hidup
kolektif. Sebaliknya, individu yang kuat, akan merajai banyak manusia. Inilah
ciri manusia di tahap takhalli, syariat. Individu tidak kuasa mengatur dirinya,
tetapi diatur oleh kekuatan dari luar dirinya.
Kemudian mereka berusaha
meningkatkan diri mereka ke tahap tahalli. Tidak ingin lagi dibelenggu oleh
kekuatan kolektif. Mereka ingin membuat improvisasi. Bukan dikuasai tetapi
merasa andil, share, berperan serta dalam kehidupan ini. Aturan main bukan demi
yang kuat, tetapi demi kehidupan bersama. Orang menyebutnya hidup dalam alam
demokrasi. Hidup bukan hanya dituntut memenuhi kewajiban, tetapi juga
mendapatkan haknya. Faktor inilah yang ditempakan dalam maqam sabar dan zuhud.
Jika individu yang bertahalli semakin banyak, maka muncullah kehidupan
demokrasi yang dicita-citakan bersama. Di sinilah peranan tasawuf! Bukan hanya
untuk meraih kebahagiaan pribadi, diri sendiri, tetapi kebahagiaan bersama.
Nah, ridha dan tawakal adalah
tahapan puncak kemanusiaan. Masyarakat bukan lagi merupakan kumpulan individu
yang dikuasai oleh kekuatan di luar dirinya. Tetapi masyarakat yang
individu-individunya mampu beraktualisasi. Individu-individu yang mampu berbuat
dan bertindak dengan kekuatan yang tumbuh dari dalam dirinya. Mereka adalah
individu-individu yang sudah memahami peran dirinya dalam kehidupan ini. Kalau
individu-individu itu diibaratkan “sel dan jaringan sel tubuh”, ia tidak akan
mengganggu yang lain. Mereka semua tumbuh dalam keharmonisan. Mereka mengerti
akan nilai dan estetika perannya masing-masing. Bagi sel yang hidup di jaringan
organ otak dan sel yang hidup di jaringan organ dubur, sama-sama menerima
perannya dengan rela, ridha. Sudahkah kita mengenal peran kita masing-masing?
Pada tahap tawakal, yang sedang kita
bahas ini, manusia tidak memandang dirinya dan Tuhannya sebagai ‘dualisme’.
Manusia tidak lagi memandang dirinya dikuasai oleh faktor luar. Tuhan pun tidak
lagi dipandang ada “di luar sana”. Anda masih ingatkan dengan dalil “Dia
bersama kamu di mana saja kamu berada”. Dalam Hadis dinyatakan, “langit dan
bumi tak dapat menjangkau-Ku, tetapi hati seorang mukmin dapat menjangkau-Ku.”
Dia ada di dalam diri sekaligus di luar diri. Bagi yang belum mukmin, Tuhan
tidak ada di dalam diri sekaligus tidak ada di luar diri.
Nah, untuk bisa memahami aspek
kesatuan hamba dan Tuhan, manunggalnya kawula dan Gusti, “tauhidu l-wujud”,
marilah kita simak beberapa ayat di bawah ini.
“Tuhanmu adalah Dia yang melayarkan kapal di
laut untukmu agar kamu dapat mencari karunia-Nya. Sesungguhnya Dia Maha
Penyayang terhadapmu.”1)
“Dan peliharalah dirimu dari bencana yang
tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Sesungguhnya
Allah sangat keras dalam memberikan balasan.”2)
“Padahal Allah menciptakan kamu dan apa-apa
yang kamu kerjakan.”3)
Mari kita simak! Pertama adalah ayat
pertama tentang berlayarnya kapal di lautan. Kapal yang dikemudikan oleh
manusia disebut dilayarkan oleh Tuhan. Kapal terbang yang terbang di angkasa
dengan menggunakan mesin, juga disebut dijalankan oleh Tuhan. Jadi, memang tak
ada dualisme itu. Meskipun manusia membuat mesin sehingga pesawat bisa terbang,
tetapi bekerjanya mesin itu mengikuti hukum Tuhan.
Jadi, apa yang kita buat akan
terwujud, maujud, bila kita membuatnya berdasar-kan hukum Tuhan. Cangkok
ginjal, cangkok jantung, dan berbagai macam cangkok organ manusia terjadi
mengikuti hukum Tuhan. Nah, pelajaran apa yang bisa kita petik dari ayat
pertama tersebut?
Ayat tersebut sebenarnya memberi
tahu kita tentang proses tawakal dalam hidup ini. Kata tawakal atau dalam
bahasa Arabnya “tawakkul”, artinya percaya sepenuhnya kepada Tuhan, mewakilkan
kepada Tuhan. Jadi, orang yang bertawakal sebenarnya adalah orang yang
menggantungkan diri 100 % kepada Tuhan. Bukan hanya rela, tetapi pasrah total
kepada-Nya. Persoalannya, apakah pasrah total itu = pasif? Pasif itu sama
dengan benda tak hidup, seperti batu, tanah, dan lain sebagainya.
Lha, tawakal itu di dalam Hadis
digambarkan seperti “burung yang pagi-pagi meninggalkan sarangnya, dan sore
hari kembali ke sarangnya dengan tembolok penuh dengan makanan”. Itulah
tawakal! Kalau kita melihat dunia safari di Afrika [melihat di tv], kita mengetahui
bagaimana hewan-hewan itu mempertahankan hidupnya. Singa, misalnya, mencoba
menggiring kawanan kijang, atau banteng hutan. Melihat ada singa yang
menggiringnya, kawanan binatang mangsa itu berlari kesana-kemari. Akhirnya, ada
satu ekor yang kepayahan. Nah, yang loyo itulah yang ditangkap!
Jadi, dalam tawakal, perlu juga
keseimbangan alam ini dijaga. Coba bayangkan kalau seekor singa membunuhi
banyak hewan mangsa. Maka keseimbangan alam akan terganggu. Nah, tawakal tidak
mengganggu alam, bahkan menjaga keseimbangan alam. Dan, ternyata singa tersebut
tidak pasif, tetapi sangat aktif dan betul-betul mengikuti hukum alam.
Menggantungkan diri kepada Tuhan ternyata sangat aktif, dengan tepat sasaran.
Dinamis dan keseimbangan terjaga. Itulah tawakal!
Dulu orang bertawakal kepada Tuhan
dengan dilandasi doa yang khusyuk. Doa dan mantra sebenarnya sisa-sisa alam
mitos yang dipertahankan dalam agama. Orang yang berdoa, bukan orang yang
pasif, bila doanya sungguh-sungguh. Dengan doa yang sungguh-sungguh itu kekuatan
doa [mantra] terbentuk. Karena itu, pada waktu itu doa bisa digunakan untuk
pengobatan, perlindungan dari berbagai macam kejahatan dan gangguan orang lain,
pencegahan penyakit, tolak bala [mencegah bencana], dan banyak keperluan
lainnya.
Dulu doa bisa digunakan seperti yang
disebut di atas, karena waktu itu konsentrasi pikiran manusia dialirkan ke
kalimat-kalimat doa. Bahkan sihir, tenung, santet, dan bebagai macam kekuatan
gelap, kekuatan negatif adalah wujud dari doa. Tentu saja doa yang negatif. Doa
untuk kejahatan.
Ada perbedaan antara doa sebagai
wahana tawakal dan doa untuk kejahatan. Doa dalam tawakal berarti mengembalikan
semua kekuatan yang ada pada diri ini kepada yang empunya kekuatan, yaitu
Allah. ambil contoh, doa akan bepergian: “Bismillahi tawakaltu ‘ala llahi, la
haula wa la quwwata illa billah.” [Dengan nama Allah, aku bertawakal kepada
Allah, yang tiada daya dan kekuatan kecuali pada-Nya]. Di sini ada kesadaran
bahwa pemilik daya dan kekuatan itu hanya Allah. sedangkan kita manusia ini
hanya mendapatkan rahmat-Nya. Dalam wujudnya, tentu saja doa tersebut diiringi
dengan aktivitas yang optimal dan benar.
Waktu terus berjalan! Dalam
perjalanan alam ini perubahan-perubahan terus ter-jadi. Jika semula kekusyukan
itu mengalir melalui ucapan yang indah dan lembut yang disebut doa. Maka
manusia memindahkan manfaat konsentrasi itu dari mulut ke otak. Sehingga
terjadi perubahan dari manusia mitos menjadi manusia yang berpikir. Manusia
yang memberdayakan akalnya semaksimal mungkin. Bentuk doa pun berubah dari “ucapan” ke “perenungan”, dari usaha magis ke
usaha rasional.
Jika dalam usaha magis kekuatan itu
hanya dimiliki oleh sedikit orang, maka dalam usaha rasional kekuatan magisnya
bisa didistribusikan ke banyak orang. Kekuatan rasio bisa diajarkan secara
terbuka dan berkelas. Jika satu orang bertahun-tahun berpuasa dan berdoa mantra
untuk bisa terbang, maka dengan rasio seseorang bisa membuat kapal terbang dan
bisa mengangkut ratusan ribu orang dalam usia ekonomisnya. Jika seseorang
berpuasa dan berdoa mantra selama bertahun-tahun untuk tidak mempan ditembus
peluru, maka dengan rasio manusia dapat belajar secara massal untuk membuat
baju anti peluru. Nah, di sini kekuatan doa mantra akhirnya dapat di-kalahkan
oleh kekuatan doa pikiran.
Umat secara umum salah mengerti.
Dikiranya doa itu hanya tersusun dari kalimat. Apa akibatnya? Perintah dalam Al
Quran “ud-‘uni astajib lakum” [berdoalah kepada-Ku niscaya Aku
memperkenankanmu,” QS 40:60], akhirnya hanya menjadi retorika belaka. Padahal,
orang yang sungguh-sungguh berpikir untuk membuat atau menjadikan sesuatu itu
juga doa. Di tataran konkret sama! Bila ada doa mantra untuk kebaikan atau
untuk kejahatan, maka doa pikiran juga begitu.
Seperti yang telah saya terangkan
pada pelajaran ‘ridha’ yang lalu, perubahan yang terjadi di alam mengakibatkan
terjadinya perubahan aturan main. Jika di masyara-rakat yang mengalami
perdagangan barter tidak terjadi hutang-piutang, maka pada sistem perdagangan
terbuka timbullah hutang-piutang. Bila di dalam zaman datangnya agama Islam ada
hukum “bayi sepersusuan”, lalu sekarang bagaimana dengan sistem donor susu ibu?
Sekarang ada donor darah, cangkok organ, bayi tabung, kloning, dan lain
sebagainya. Ini semua membawa perubahan pola berpikir manusia. Ahli hukum Islam
pun akhirnya pontang-panting dibuatnya. Dan, makin lama makin pontang-panting
dibuatnya, jika para pemikir Islam tidak mau memberdayakan pikirannya untuk
mengantisipasi dan melakukan peramalan [ilmiah] kemungkinan yang terjadi di
masa depan. Hal ini berbeda dengan Nabi saw. Wahyu yang diturunkan kepada
beliau ber-sifat ke depan [futuristik]. Misalnya, pembagian waris bagi wanita,
wanita bisa menjadi saksi, wanita boleh berkiprah dalam kehidupan sosial,
penghapusan perbudakan, pene-gakan keadilan sosial, dan lain sebagainya.
Hanya ulama Islam saja yang
tertinggal dalam memahami wahyu Allah. Sehingga terjadi kebekuan berpikir dalam
umat Islam. Bila di zaman dulu kita terampil berdoa, maka sekarang ini kita
harus terampil berpikir. Nah, konsep tawakal pun harus di-rethingking,
dilakukan pemikiran ulang. Konsepnya yang harus diubah, walaupun maknanya tetap
tak berubah! Tawakal, ya tetap digambarkan seperti burung yang pergi
meninggalkan sarangnya di pagi hari dengan tembolok kosong, balik sore hari
dengan tembolok penuh makanan.
Dulu, orang bertawakal dilandasi
kerja keras disertai doa mantra dan dipasrahkan kepada Allah. Maka, sekarang
orang bertawakal harus dilandasi ketrampilan kerja, disiplin, dan disertai
dengan berpikir jenius. Jika dulu, orang berjamaah dalam salat, puasa, dan
haji; maka, sekarang orang bertawakal dengan pemberdayaan “teamwork”. Dan,
teamwork itu pun seperti kapal yang dilayarkan oleh Tuhan!
Pada ayat kedua, umat Islam
diperingatkan. Umat agar menjaga diri dari bencana yang tidak hanya menimpa
kepada orang-orang zalim. Jika dulu orang yang mengikuti Nuh, Luth, Ibrahim,
Musa, Isa, dan Nabi Muhammad langsung bisa lolos dari bencana, jika bencana
datang. Tetapi, umat Islam diperingatkan bahwa terjadinya perubahan di alam,
mengakibatkan bencana itu tidak pilih kasih. Karena itu umat harus
pandai-pandai bertawakal. Segala macam jenis kejeniusan harus diberdayakan
untuk mengantisipasi masa depan. Nah, hasilnya, apa yang kita peroleh, itu yang
harus kita terima dengan ridha. Tetapi, tawakal sendiri harus merupakan jihad
dan ijtihad yang maksimal. Jihad bukan perang fisik! Walaupun in a certain
extent, sampai pada tingkat tertentu, fisik digunakan dalam pertempuran.
Ayat kedua itu sebenarnya memberikan
antisipasi bagi kenyataan di masa depan. Manusia tidak lagi hidup dalam
sekat-sekat geografi seperti zaman dulu. Orang zalim maupun yang alim hidup
dalam daerah, bahkan kotak yang sama. Sehingga bila terjadi bencana akan
terhempas semua. Nah, kemungkinan bencana ini harus diantisipasi. Baru saja kita
menyaksikan berbagai bencana yang menimpa negeri ini, bahkan berbagai macam
gempa yang melanda tempat tinggal, baik di dalam dan di luar negeri. Lalu, kita
saksikan secara langsung bagaimana gedung WTC dihantam hingga hancur. Siapa
yang terkena bencana itu? Manusia dalam segenap kemanusiaannya.
Itulah sebabnya, dari awal kita
telah diperintah untuk bertakwa, beramal saleh, dan saling “ta-arruf”, saling
bekerja sama antar bangsa, budaya dan agama. Jadi, dalam re-thinking konsep
tawakal, ta-arruf tidak cukup diartikan saling mengenal [dalam arti sempit,
konservatif]. Saling kenal, tidak lagi dalam pengertian statis, dan tertutup.
Tapi, sudah menjadi dinamik dan terbuka. Manusia harus pandai melakukan kerja
sama dan “teamwork” yang handal. Inilah jihad! Kemudian harus ditunjang dengan
ijtihad, jihad pemikiran sehingga kita mampu memberikan solusi bagi masyarakat
di masa depan. Maka lahirhal umat Islam yang ‘rahmatan lil alamin’, rahmat bagi
semua.
Pada ayat ketiga disebutkan bahwa
Allah dan manusia adalah keberadaan yang tunggal. Karena itu jangan cari Allah
di luar dirimu, tetapi carilah di dalam dirimu. Memang ada simbol-simbol bagi
rumah Tuhan, seperti tempat ibadah dan Ka’bah. Tapi, itu hanya simbol. Awas,
jangan keliru persepsi dalam melihat simbol. Bendera ‘Merah Putih’, adalah
simbol bagi kehadiran negara Indonesia. Tetapi, bukan negara Indonesia itu
sendiri. Dengan demikian bendera bisa diperlakukan secara rasional, dan bukan
mitos lagi. Bila kotor, ya dicuci, kemudian diseterika, dan di simpan di almari.
Jika diperlukan, ya diambil dan dikibarkan.
Ka’bah pun hanya merupakan simbol
bagi kehadiran Allah. Ia dikunjungi, dan dihormati. Bila kotor, ya dicuci. Bila
sudah aus ya diperbaiki! Karena itu Ka’bah dalam sepanjang sejarahnya telah
direnovasi beberapa kali. Hikmah dari kunjungan yang digali dan dipetik.
Kemudian dengan jihad dan ijtihad haji diwujudkan untuk membangun masyarakat
yang berkeadilan sosial. Jadi, haji tidak lagi merupakan kewajiban tanpa isi.
Tapi, ia memberikan inspirasi untuk pembangunan umat.
Kebaikan apapun yang kita lakukan
datangnya dari Allah. Dan, apa saja yang kita lakukan tak akan terjadi, kecuali
dengan izin-Nya. Allah memang pencipta diri dan apa yang kita kerjakan. Namun,
inisiatif tetap harus lahir dari kita. Kata orang sufi, “aku dan Dia sebenarnya
satu, walaupun aku bukan Dia dan Dia bukanlah aku.” Ingat, Hadis di atas,
langit, bumi dan seisinya tak mampu menjangkau-Ku, tapi hati orang beriman
[yang sudah aman] yang dapat menampung-Ku.
Bagian ke-23
[Tawakal]
Orang yang bertawakal adalah orang
yang berpijak pada kebenaran yang nyata. Tawakal bukanlah teori. Tetapi praktik
kehidupan seperti yang dijalani oleh burung yang pagi-pagi meninggalkan
sarangnya untuk mencari makan. Sehingga tawakal juga terkait erat dengan tekad
dan keteguhan hati. Orang yang bertawakal bukanlah orang yang bekerja setengah
hati.
Ada satu ayat dalam Al Quran yang
bahasa Indonesianya:
“Maafkan mereka, mohonkan perlindungan bagi
mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan [hidupmu].
Apabila engkau telah teguh
pendirian, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai
orang-orang yang bertawakal.”1)
Ayat diatas adalah bagian dari ayat
3:159. Pada ayat tersebut dinyatakan bahwa budi pekerti Nabi sangat mulia.
Dengan kasih-sayang-Nya, Nabi senantiasa berlaku lemah lembut kepada semua
orang yang ada di sekelilingnya. Sikap yang lemah lembut terhadap sesamanya itu
wujud dari ketawakalan Nabi.
Sikap yang lemah lembut itu
ditunjukkan dengan sifatnya yang pemaaf. Ingat, seorang pemaaf bukanlah orang
yang tak berdaya. Seorang pemaaf adalah orang yang mampu untuk membalas dendam
terhadap orang yang menimpakan penderitaan, tetapi karena kebesaran jiwanya,
dendam itu tidak ia lakukan. Bahkan memaafkannya. Hal ini telah dibuktikan oleh
Nabi ketika beliau menaklukkan kota Mekah. Ketika rombongan Nabi memasuki kota
itu, betapa takutnya penduduk Mekah. Wajah-wajah mereka pucat pasi, mereka
takut terhadap pembalasan yang dilakukan oleh Muhammad beserta rombongan yang
dibawanya. Tetapi, mereka kecelik, salah duga. Ternyata Muhammad memberikan
permaafan dan pembebasan.
Ayat di atas sebenarnya menerangkan
sifat pribadi Nabi yang tampak sehabis perang Uhud. Dari sejarah kita
mengetahui bahwa pada perang Uhud tentara Islam mengalami kekalahan yang berat.
Disebabkan sebagian regu penempur itu tidak mema-tuhi Nabi sebagai panglima
perangnya. Mereka [para tentara itu] berbuat kesalahan fatal dalam peperangan.
Sehingga pasukan Islam bisa dikalahkan dan diporak-porandakan. Namun, Nabi
selaku panglima perang tidak menghukum mereka yang desersi itu. Justru Nabi
menghadapi mereka yang membangkang itu dengan penuh kelembutan. Sehingga mereka
merasa malu dan menyesal. Mereka bertambah setia dan tidak kabur dari Nabi.
Bahkan kesalahan itu harus segera dimaafkan. Cara-cara demikian ini adalah
cara-cara orang yang bertawakal kepada Tuhan.
Dalam kehidupan berorganisasi,
bermasyarakat, bernegara, ataupun bersahabat, dibutuhkan seorang pemimpin yang
lemah lembut. Bukan pemimpin yang lemah! Pemimpin yang dipatuhi, dan bukan yang
ditakuti. Hal ini bisa dipenuhi bila orang itu menerapkan asas kasih sayang
terhadap sesamanya. Bisa membetulkan yang salah. Tetapi bukan mencari-cari
kesalahan. Kemudian memberikan maaf bila bawahan atau rekannya itu ada kemauan
untuk tidak mengulangi kesalahan.
Dalam kehidupan tawakal tidak
dibenarkan seseorang mau menang sendiri. Justru ia harus bisa menjadi kampiun
demokrasi. Mampu berunding, sehingga tercapai win-win solution, solusi yang
menguntungkan semua pihak. Ingat, manusia tawakal adalah orang yang menang,
orang yang tidak bergantung kepada orang lain. Tetapi ia bersedia menjadi
gantungan bagi bawahan atau orang-orang lainnya. Ia adalah manusia yang kaya,
karena itu ia mampu berbagi. Jadi, sangatlah wajar bila dipenghujung ayat itu
dinyatakan bahwa Allah mencintai [sekali lagi, mencintai] orang-orang yang
bertawakal atau bertawakul. Karena sandaran orang tawakal itu hanyalah Tuhan.
Orang yang bertawakal adalah orang
yang condong pada perdamaian. Mengapa? Karena dalam kehidupan yang damai akan
lahir keharmonisan dan keindahan hidup. Betapa sulitnya menegakkan keteraturan
dan keamanan dalam kehidupan yang penuh pergolakan. Betapa sukarnya menegakkan
dan memberdayakan hukum dalam nuansa yang centang-perenang. Karena itu
dibutuhkan orang yang bertawakal. Orang yang cinta damai. Bukan orang yang
terpaksa mau diajak damai! Orang yang cinta damai adalah orang yang bersedia
memberikan perdamaian, meskipun ia dapat menolak damai bila ia mau. Karena
posisinya menang. Tetapi orang yang bertawakal sepenuhnya sadar bahwa yang
memiliki kekuatan hanyalah Tuhan. Ia tidak mau bersaing dengan Tuhan. Bahkan ia
sepenuhnya bersandar kepada-Nya.
“Jika mereka [yang memusuhimu] condong kepada
perdamaian, maka condoglah kepadanya. Dan, bertawakallah kepada Allah.
Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.”2)
Dalam kehidupan ini banyak orang
yang dangkal pemikirannya. Sehingga siapa saja yang di luar grup atau
kelompoknya dianggapnya sebagai musuhnya. Entah itu karena sentimen golongan,
bangsa, ras, etnis, agama, partai, ataupun lainnya. Sehingga kerja sama yang
dibangun bagaikan sarang laba-laba. Kelihatan rapi, tetapi rapuh. Hal itu
disebabkan karena semua yang diluar golongannya, outgroup, dipandangnya sebagai
musuh. Jadi, jalinan kerjasamanya semu. Itulah sebabnya persahabatan antar
partai atau negara tidak langgeng. Karena pertimbangannya bukan ketawakalan,
tetapi kepentingan. Tentu saja bukan “WWS” [win-win solution] yang dihasilkan.
Jika bukan karena ketawakalan,
rundingan yang terjadi bukan untuk WWS, tetapi untuk adu kuat. Mereka tawarkan
apa yang paling maksimum bagi kelompoknya. Lalu, karena tarik-ulur waktu,
akhirnya mereka bersedia menurunkan targetnya, sampai pihak yang dianggap lemah
itu dapat menerimanya. Inilah tipe musyawarat, rundingan, atau negosiasi yang
tidak berasas pada ketawakalan. Tak ada keinginan untuk hidup damai. Yang
diinginkan adalah kemenangan semu. Disebut semu karena itu sebenarnya wujud
dari sebuah penindasan. Golongan yang kuat ingin menunjukkan bahwa damai itu
ada bila kemauannya dituruti.
Dalam suatu organisasi perusahaan
pun terjadi kerja sama dalam permusuhan. Dan bukan kerja sama dalam perdamaian.
Bukan asas ketawakalan, partnership, tetapi asas adu kekuatan dan kekuasaan.
Ada kelompok yang merasa kuat [karena etnis, atau agama] yang bekerja sama
dengan kelompok yang lemah. Kerja sama yang dibangun karena adanya kepentingan,
bukan ketawakalan. Sehingga mereka yang memiliki posisi tawar yang kuat
mempermainkan yang posisi tawarnya lemah.
Ketika kita dalam posisi yang lemah,
kita tak akan bisa melihat kelemahan orang lain. Pijakan kita sangat lemah,
yaitu ketergantungan dan bukan ketawakalan. Karena itu tasawuf mengajarkan
fondasi yang kuat pada kesabaran dan ridha. Selama masih dalam posisi yang lemah,
kita harus memiliki emosi yang tegar dan tahan terhadap tekanan-tekanan yang
mereka lakukan. Kita tetap ulet untuk mencari jalan keluar. Kita harus yakin
bahwa keuletan itu adalah sumber untuk mendapatkan kejayaan. Dan bila telah
jaya, jangan balas dendam [ganti menindas]. Justru kita harus menciptakan
nuansa kehidupan yang penuh damai. Inilah asas ketawakalan!
Kemampuan sabar, zuhud, dan ridha akan
mendorong seseorang benar-benar meyakini bahwa Tuhanlah yang menjadi
pelindungnya. Bahkan hidupnya pun dirasakan sebagai jatah yang ia terima dari
Tuhannya. Ia pekerja keras, ulet, dan cermat [smart]. Tak ada keluh kesah!
Tetapi, dia tetap peduli terhadap rekan-rekannya yang merasa menderita dalam
hidup ini. Semboyannya, “lebih baik aku yang berpuasa daripada dia yang merasa
lapar”. Lho, koq mau? Ya, inilah prinsip deposit. Jadi, ketawakalan adalah
wujud dari kasihnya manusia.
Di bawah ini ada dua ayat yang
bersambungan, yaitu yang tertera dalam Surat Ath Thalaq/65: 2-3.3) Sebenarnya
jika ayat ini dibaca dari awal kalimatnya, maka kita mengetahui bahwa dalam
kehidupan bersama, bila terjadi perselisihan, mereka yang posisi tawarnya lebih
kuat harus memberikan jalan keluar yang lebih baik. Inilah watak orang yang
bertakwa, yang maqamnya pada tingkat tawakal.
Jelas bahwa orang yang bertawakal
itu orang yang tidak mau menang sendiri. Meskipun dia berada di atas angin, dia
dalam kedudukan yang
lebih kuat, dia tidak mau mengambil
keuntungan dari kelemahan orang lain. Justru dia menawarkan jalan keluar yang
lebih baik bagi sekutunya atau pihak-pihak yang berkaitan dengannya tetapi
posisi-nya lebih lemah. Dia yakin bahwa kebaikan yang diberikan itu tak akan
merugikan dirinya. Bahkan dia akan mendapatkan anugerah dengan cara memberi.
Bukan menda-patkan keuntungan dengan cara meminta, melainkan dengan cara
membari!
Orang-orang yang bertawakal yakin,
haqqul yakin, bahwa alam ini bekerja dengan jujur. Yang dalam bahasa tauhid
dinyatakan “Allah melaksanakan urusan-Nya”. Kalau dia menanam benih yang baik
dan merawatnya, niscaya akan memanen hasilnya yang berlimpah. Karena itu dia
tak pernah ragu dengan kebaikan yang diberikannya. Tuhan pasti memenuhinya.
Mungkin saja tidak dalam bentuk materi, tetapi dalam bentuk ke-kayaan batin.
Atau, dalam bentuk kekayaan lahir dan batin.
Orang bertawakal tak pernah
berdagang dengan Tuhan. Dia tak pernah hitung-hitungan untung rugi dengan
Tuhan. Apa yang diamalkan tak terkait dengan angan-angan surga. Ia berjalan
bukan untuk menemui sosok Tuhan. Justru ia yakin bahwa dalam perjalanan
hidupnya ia senantiasa disertai Tuhan. Bukankah insan kamil adalah manusia yang
mampu meneladani budi pekerti Tuhan, seperti yang diungkapkan dalam Hadis?
Bukankah hati orang yang bertawakal itu bait Allah, rumah Tuhan? Karena itu,
barangsiapa yang bertawakal kepada Tuhan, niscaya Dia mencukupinya!
Tawakal adalah landasan pokok dalam
kehidupan para nabi. Karena itu seorang nabi siap menempuh hidupnya, meskipun
seorang diri. Seorang nabi membangun umat dengan dimulai dari dirinya sendiri.
Ia tidak menampilkan diri dengan mengikuti status quo, sistem yang ada. Ia
justru bangkit dan membangkitkan sistem yang baru. Tentu saja tidak baru sama
sekali. Tetapi memperbarui, merenovasi sistem yang ada.
Nabi, yang berasal dari kata “naba”,
berita, adalah orang yang menerima berita. Ia menerima berita dari dunia
ketuhanan. Pada saat dia mengemban amanat yang diterimanya itu dan
menyampaikannya kepada masyarakat sekelilingnya, dia disebut rasul. Setiap umat
ada rasulnya.4) Dan, setiap rasul hadir di tengah-tengah umat untuk menyeru
kehidupan yang hanya berorientasi kepada Tuhan Yang Maha Esa.5) Hidup yang
menjauhi “thaghut”, segala jenis tindakan yang melampaui batas. Masih ingatkan,
bahwa semua yang tercipta di dunia ini, termasuk diri kita, ada batas-batasnya,
ada mizannya, ada ketetapan-ketetapannya, ada kadarnya.
Untuk mempertahankan hidup didunia
ini, manusia perlu makan. Ternyata pada sejumlah tertentu makanan yang masuk
perut, akan terasa kenyang. Timbulnya rasa kenyang menandakan apa yang dimakan
itu telah menyentuh batasnya. Kalau perut terus diisi, padahal rasa kenyang
sudah timbul, maka perut akan terasa sakit. Jika diteruskan, rusaklah perut
itu. Dalam kehidupan sosial pun ada batas-batasnya. Jika dilanggar akan
rusaklah tatanan sosialnya. Nah, rasul diutus sebenarnya untuk mengingatkan
kembali batas-batas itu. Agar tatanan sosial tidak rusak!
Keberanian yang ditempuh oleh
seorang rasul dalam memperingatkan masyarakat, adalah keberanian yang timbul
dari maqam tawakal. Karena dengan tawakal itu sese-orang telah percaya penuh
dan pasrah secara total kepada-Nya. Ya, kata tawakal, atau tawakkul, berasal
dari kata “wa-ka-la”, yang artinya
mewakilkan. Orang bertawakal sebenarnya adalah orang yang mewakilkan dirinya
kepada Tuhan.
Ingat kita sudah ada di maqam tawakal!
Mewakilkan diri kepada Tuhan tidak berarti kita pasif total. Kita bukan
jabbariyah [lihat bag. ke-22]. Tawakal itu bagaikan burung yang pagi-pagi
meninggalkan sarangnya dengan tembolok kosong, dan kembali pada sore hari ke
sarangnya dengan tembolok penuh. Nah, yang perlu dicermati adalah keberanian
untuk meninggalkan sarang dan keyakinan bahwa dengan cara itu kita akan dapat
mempertahankan hidup. Dalam bahasa Siti Jenar, kita makan dan minum ini bukan
untuk mempertahankan hidup. Tak ada gunanya kerja keras untuk mempertahan-kan
hidup, karena hidup manusia di bumi ini tak bisa dipertahankan. Dengan makanan
kita seperti sekarang ini manusia tak akan dapat mempertahankan hidup. Manusia
pasti mengalami kematian.
Menurut Siti Jenar, berbuat bajik di
dunia, bertawakal, adalah untuk melakukan deposit sehingga kita bisa menemukan
jalan hidup yang sejati. Karena itu, orang yang beratawakal adalah orang yang
sudah naik tangga puncak dan akhirnya menyerahkan diri secara total kepada
Tuhannya. Ia yang hidup dan terperangkap raga yang dapat mati ini, ternyata
tidak mampu menemukan kunci kekekalan hidup. Ia harus pasrah total seperti
seorang bayi. Seorang bayi yang memiliki kharisma, sehingga orang yang
melahirkan dan yang ada di sekelilingnya jatuh cinta untuk merawatnya.
Wah, ternyata tawakal itu gampang
diucapkan tetapi sulit dikerjakan. Memang, karena tasawuf itu bukan teori.
Tasawuf adalah cara hidup. Ada tangga-tangga kehi-dupan yang harus
dipraktikkan. Begitu kita berada di tahap ridha, rasanya goyah jiwa kita. Kita
mulai mempertanyakan diri ini, bagaimana kita bisa rela dalam menjalani hidup
ini. Bagaimana kita bisa ikhlas dalam berkehidupan ini? Lha wong orang lain
saja sering pamrih dalam berhubungan dengan kita, apa ya bisa kita hidup tanpa
pamrih kepada orang lain? Begitulah pertanyaan yang mencuat di dalam hati.
Lebih-lebih pada tahap tawakal.
Bukan saja ikhlas menjalani hidup, tetapi harus pasrah, harus percaya bahwa
Tuhan mengurus diri kita. Secara teoritis memang sulit kita membayangkan
kehidupan tawakal. Tetapi, dalam praktik kita telah menyaksikan. Kita
menyaksikan binatang di sekitar kita yang mencari karunia Tuhan. Kita mendengar
para nabi dan rasul berjuang dari dirinya sendiri. Bukan membangun jaringan
lebih dulu seperti orang-orang yang membangun partai untuk merebut kekuasaan.
Tetapi, diemban lebih dulu amanatnya. Diingatkannya masyarakat agar menempuh
hidup yang benar. Diajaknya keluarga, saudara, dan teman-temannya untuk komit
menegakkan kebenaran dalam hidup ini. Bukan untuk keuntungan dirinya, tetapi
untuk kesejahteraan bersama. Dengan cara demikian umat terbentuk.
Seperti telah diterangkan di depan.
Kebenaran tidak ada artinya, jika hanya di-tegakkan seorang diri. Tak ada
implikasi sosialnya. Karena itu kebenaran harus dipikul bersama-sama agar
terwujud kehidupan sosial yang harmonis. Agar masyarakat tidak bodoh, maka
harus didirikan sekolahan-sekolahan. Biayanya harus dipikul bersama. Nah,
negara sebenarnya adalah alat untuk mengorganisasikan kehidupan bersama. Pajak
atau zakat dipungut untuk kesejahteraan bersama. Bukan untuk menjalankan
kekuasaan. Karena kekuasaan yang sebenarnya adalah kepunyaan Tuhan.
Setiap manusia adalah khalifah-Nya,
wakil-Nya untuk mengurus bumi ini. Lalu, orang-orang yang merasa mengemban
perwakilan-Nya ini harus bertawakal kepada-Nya, pasrah total kepada-Nya. Tak
ada manipulasi di antara sesamanya. Yang kuat bersedia memberikan atau berbagi
keuntungan kepada yang lemah. Bagaikan musik, yang bunyinya keras tidak
mendominasi semua bunyi. Sehingga akhirnya timbul alunan bunyi yang selaras dan
seimbang.
Dunia pun terwujud karena
keseimbangan, bukan karena dominasi oleh sesuatu pihak. Negara maju pun
menyadari hal ini. Karena itu, mereka membangun perusahaan dengan sistem
kerjasama karyawan, majikan, dan manajemen dengan baik. Yang di tingkat
manajemen sejahtera, yang di tingkat buruh dan staf sejahtera, pemilik pun
hidup sejahtera. Tak ada pihak-pihak yang terkait dengan perusahaan
[stakeholders] dirugikan. Semua mendapatkan keuntungan dari perusahaan yang
dibangunnya. Itulah sebenarnya konsep tawakal!
Jadi, intinya dalam kehidupan tawakal,
semua pihak saling percaya, dan secara total mempercayakan eksistensinya.
Manusia yang bertawakal percaya dan pasrah secara total kepada Tuhan. Dia pun
percaya sepenuhnya kepada manusia yang menjadi khalifah-Nya. Karena itu, Dia
menjamin bahwa manusia yang benar-benar tawakal akan mendapat rezeki dari arah
yang tak terduga.
Demikianlah akhir dari pelajaran
tawakal. Yang sekaligus mengakhiri pelajaran tasawuf kita. Tetapi tidak untuk
mengakhiri upaya menaiki tangga-tangga tasawuf. Manusia harus terus mencari
jalan-Nya selama hayat di kandung badan. Hingga akhirnya bisa ditemukan
‘subul’, jalan-jalan Tuhan yang digelar di alam raya ini. Bukan hanya untuk
pencerahan dirinya, tetapi turut serta mencerahkan orang lain. Seorang sufi
bukanlah orang yang mencari teman untuk membangun golongan atau mendirikan
sistem kepercayaan bersama.
Seorang sufi sejati adalah orang
yang sungguh-sungguh mencari air minum sejati, ma-ul hayyat, air kehidupan,
tirta prawitasari.6) Setelah menemukannya dan meminum-nya, maka ia pun
memberikan air minum itu kepada orang lain. Sehingga orang lain pun bisa hidup,
turut tercerahkan. Itulah sebabnya, dalam beribadah dan memohon pertolongan
kepada Tuhan, dinyatakan dalam bentuk kebersamaam: “Iyya ka na ‘budu wa iyya ka
nasta-‘in”, hanya kepada Engkau kami beribadah dan hanya kepada Engkau kami
memohon pertolongan dalam hidup ini.
Sekian, wa billahit taufiq wal
hidayah.
Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullahi
wabarakatuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar