TEORI TENTANG
SUMBER KEIMANAN
AGAMA
Untuk Memenuhi
Tugas Mata Kuliah Psikologi Agama
Dosen Pengampu: Muhammad
Fudholi, M.Pd.
Oleh:
AAN DWI ARDIYANTO
ANDIK IRWANTO
JEFRI IRAWAN
SUSIANTO
NURUL QOMARIYAH
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM BUSTANUL ULUM
Jl.
Doktren No. 26 Krai-Yosowilangun-Lumajang
Tahun Akademik
2013-2014
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................... 1
C. Tujuan ............................................................................................. 1
BAB II POKOK BAHASAN ...................................................................... 2\
A Teori Sumber Keimanan Agama ...................................................... 2
B. Faktor-faktor
penyebab problema keimanan .................................. 6
C. Sikap Keagamaan dan Pola Tingkah Laku ..................................... 7
D. Sikap
Keagamaan yang Menyimpang ............................................. 9
E. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Sikap Keagamaan yang
Menyimpang ..................................................................................... 9
BAB III KESIMPULAN .............................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 13
ABAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama
menyangkut kehidupan batin manusia. Oleh karena itu kesadaran agama dan
pengalaman agama seseorang lebih menggambarkan sisi-sisi batin dalam kehidupan yang ada kaitannya dengan sesuatu yang sakral dan dunia ghaib.
Dari kesadaran agama dan pengalaman agama ini pula kemudian munculnya sikap keagamaan yang
ditampilkan seseorang. Pada garis besarnya teori mengungkapkan bahwa sumber jiwa keagamaan berasal
dari faktor intern dan dari faktor ekstren manusia. Pendapat pertama menyatakan
bahwa manusia adalah homo relegius (makhluk beragama) karena
manusia sudah memiliki potensi untuk beragama. Potensi tersebut bersumber dari
factor intern manusia yang termuat dalam aspek kejiwaaan manusia seperti
naluri, akal, perasaan, maupun kehendak dan sebagainya. Namun pendukung teori
ini masih berbeda pendapat mengenai faktor mana yang paling dominan.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa saja teori sumber keimanan agama?
2.
Apa saja factor-faktor penyebab
problema keimanan?
3.
Bagaimana sikap dan pola tingkah laku dalam keagamaan?
4.
Apa yang dimaksud dengan sikap keagamaan yang menyimpang?
5.
Apa saja factor-faktor yang mempengaruhi sikap kegamaan yang menyimpang?
C. Tujuan
Adapun maksud dan tujuan dari pembuatan makalah ini agar mahasiswa dapat:
1.
Menyebutkan dan menjelaskan teori-teori sumber keimanan agama
2.
Menyebutkan factor-faktor penyebab problema keimanan
3.
Menjelaskan sikap dan pola tingkah laku
dalam keagamaan
4.
Menjelaskan sikap keagamaan yang menyimpang
5.
Menyebutkan factor-faktor yang mempengaruhi sikapkeagamaan yang menyimpang
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Teori Sumber Keimanan Agama
Menghadapi permasalahan pertama mengenai kadar kekokohan keimanan seseorang
dalam agamanya, W.H. Clark, (1969, 220-224) mengidentifikasi empat teori sumber keimanan agama, yaitu :
1.
Teori sumber kemanan agama yang verbalistik
2.
Teori sumber kemanan agama yang intelektualistik
3.
Teori sumber kemanan agama yang demonstratif
Garis besar orientasi keempat teori sumber
keimanan agama tersebut dapat diurutkan sebagai berikut :
1.
Teori sumber kemanan agama yang verbalistik
Keimanan yang verbalistik,
dimulai perkembangannya sejak usia anak-anak. Dilihat dari bentuknya, teori sumber keimanan agama ini terbatas pada pemahaman mengenai
ucapan-ucapan serta kata-kata majis keagamaan. Proses penerimaannya langsung
melalui prinsip stimulus-stimulus. Karena itu, proses pembelajarannya
berlangsung secara persuasif yang
melibatkan orang tua memberi contoh pengucapan suatu ucapan keagamaan, kemudian
anak mengulangi dan menirukannya, dan akhirnya anak diberi sesuatu sebagai
hadiah atas kemampuannya.
Meskipun teori sumber keimanan agama seperti ini dikatakan mulai berkembang
pada masa anak, namun tidak berarti akan tuntas dengan berakhirnya masa itu,
sehingga banyak juga mereka yang sudah dewasa tapi tipe keyakinannya masih
berada pada fase ini. Satu hal yang perlu dicatat bahwa untuk memperlancar
proses ini diperlukan adanya otoritas, sugesti,
tekanan sosial serta pengamatan atau monitoring
yang seksama.
Pantaslah psikologinya apabila seseorang telah mampu mengekspresikan
ucapan-ucapan keagamaan seperti itu sesuai dengan kondisi stimulusnya, mereka
akan merasa lelah memperoleh jaminan perlindungan dari orang tuanya atau dari
orang lain yang dipandang menguasainya. Hal itu berarti bahwa fase keimanan
seperti ini hanya sekedar diarahkan untuk memperoleh jaminan keselamatan dan
keamanan psikologis semata-mata.
2.
Teori sumber keimanan agama yang intelektualistik
Teori ini sudah
melibatkan pertimbangan proses berfikir secara kreatif yang lebih sulit dalam
mencari kebenaran iman dibanding dengan teori yang pertama di atas. Pada teori ini orang terikat oleh kelogisan dan alsan-alasan yang masuk akal dalam
upaya menerima keyakinan. Akan tetapi penerimaan keyakinan secara intelektual
itu tidak berarti semata-mata intelektual. Artinya sampai batas tertentu memang
diperlukan tuntutan kelogisan dalam upaya menerima keyakinannya. Selebihnya
perlu dipermasalahkan apakah keyakinan agama itu dicapai melalui proses
berfikir murni, sebagaimana tidak perlu sepenuhnya keyakinan agama itu
dikaitkan dengan kenyataan hidup.
Pada pihak lain, kadar keterlibatan intelektual dalam teori keyakinan ini
diorientasikan pada bukti-bukti adanya tuhan, baik secara ontologi, kosmologi, theologi, maupun secara pragmatik.
Bukti-bukti ontologi didasarkan
atas ide dan pemikiran manusia tentang tuhan. Bukti kosmologi berlandaskan pada
pemikiran bahwa tuhan adalah maha pencipta. Dan harus ada karena ada alam
ciptaannya. Sementara secara theology,
bukti-buktinya didasarkan atas kesadaran mengenai bedanya pencipta dengan makhluk-Nya. Karena itu tuhan adalah maha
mengetahui dan maha bijaksana. Akhirnya bukti pragmatik mengenai keyakinan
adanya tuhan berakar pada pemahaman manusia bahwa keyakinan itu dapat membawa
pada hasil-hasil baik, menguntungkan dan menyenangkan.
3.
Teori sumber keimanan agama yang demonstratif
Pada teori ini keimanan lebih banyak diwujudkan dalam
bentuk tingkah laku dan pengalaman agama secara demonstrativa dari pada hanya
dalam bentuk kata-kata. Manifestasi keimanan disini berbeda dibanding dengan teori keimanan yang verbalistik maupun yang intelektualistik. Dasar pemikirannya
adalah bahwa tingkah laku dan pengalaman agama yang ditampilkan secara
demonstrative belum tentu didahului oleh analisis tentang keyakinan itu akan
menjadi penyebab munculnya pengalaman ajaran agama. Sebabnya adalah bahwa
tingkah laku dan pengamalan agama disini hanya merupakan kebiasaan yang sudah
melekat dalam aktifitas kehidupan sehari-hari. Jadi seorang muslim yang karena
kebiasaannya sejak kecil secara otomatis mengerjakan sholat lima waktu apabila
telah datang waktunya tidak berarti pengamalannya didasarkan atas hasil
analisisnya mengenai besarnya keyakinan yang melandasi tindakannya. Hanya saja
karena pengalaman ajaran agama menuntut keterlibatan organisme, maka hal itu
biasanya mengundang keseganan dan malas mengerjakannya.
Akibatnya amal yang diperbuatnya itu dirasakan seolah-olah ada tekanan dan
paksaan. Atau bersembunyi sehingga menimbulkan rasa
berdosa apabila tidak melaksanakannya. Namun demikian dibandingkan dengan dua
tingkat dibawahnya.
Keimanan yang diwujudkan dalam bentuk pengamalan ini dipandang lebih
tinggi, mengingat konsekuensi keimanan lebih berorientasi pada tuntutan pengamalan
dari pada hanya dibuktikan dalam bentuk keterlibatan mental semata-mata.
Apalagi didasari bahwa tidak semua masalah keimanan dapat disimbolkan, tetapi sebaliknya pembuktian suatu pengakuan dalam
bentuk tindakan konkrit merupakan satu prinsip yang berlaku
dalam kebanyakan lapangan kehidupan.
Lebih tinggi lagi kalau dibandingkan dengan keimanan yang verbalistik,
sebab kadar kesadarannya masih digantungkan pada perolehan materi sebagai
hadiah atas kemampuannya
4.
Teori sumber keimanan agama yang komprehensif dan integratif
Ketiga teori keimanan di atas nampak
perwujudannya dalam bentuk ekspresi partikel yang satu sama lainnya terpisah.
Justru karena keterpisahan itu, maka ketiganya tidak dapat memberikan kepuasan
kepada pemiliknya, mengingat masing-masing mengandung kepincangan. Lain halnya
apabila ketiga teori tersebut
menyatu dan terinternalisasi pada
diri orang yang beragama, barulah akan dicapai keimanan yang komprehensif dan
integrative.
Jelasnya apabila seseorang telah menguasai
ungkapan-ungkapan keagamaan, kemudian dipahami dan disadari kebenaran isi
kandungannya, baik dalam kaitan dengan tuntutan hidup
lahiriyahnya maupun kelogisan ketergantungannya terhadap keyakinan sebagai
esensi agama, dan akhirnya dipantulkan dalam wujud pengamalan ajaran agama,
maka tercapailah tingkat keimanan yang keempat ini. Konotasi komprehensipnya
dapat dilihat dari pemahaman dan kesadaran atas berkumpulnya ketiga teori keimanan di atas dalam
segi totalitas yang berinternalisasi pada individu yang bersangkutan. Sedang
orientasi integrasinya dapat dipahami dari kenyataan bersambungnya dan saling
memperkuat antara keimanan verbal yang diinternalisasi karena dipahami melalui
proses berpikir kritis, dan kreatif, serta akibat kesadarannya itu terpatri tuntutan untuk mewujudkannya
dalam bentuk tingkah laku nyata.
Tentu saja konsepional teori keimanan yang keempat ini merupakan gambaran kualifikasi keimanan yang
tertinggi. Namun hal ini tidak berarti bahwa semua orang yang memiliki teori
keimanan ini akan benar-benar dalam dan sempurna, sehingga seolah-olah
melahirkan kekokohan keimanan yang tidak dapat diganggu gugat.
B.
Faktor-faktor
penyebab problema keimanan
Menurut Kalish mengidentifikasikan enam hal yang
dapt mendongkrak ketegaran
keimanan orang yang beragama yaitu :
- Kontradiksi antara ilmu dan agama
- Akibat mempelajari agama lain
- Kesulitan membatasi kebebasan agama
- Masalah tujuan hidup
- Arti mati dan hidup sesudah mati
- Pertentangan antara ilmu pengetahuan dan agama
Dilihat dari pemanfaatannya oleh manusia, memang terdapat kesesuaian antara
ilmu pengetahuan dan agama. Secara esensial kehadiran ilmu itu dimaksudkan
untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh umat manusia. Karena itu kehadiran dan
pengembangannya menurut kebebasan, kelugasan, dan kerasionalan ilmu pengetahuan
juga menuntut dan melahirkan arus informasi yang lebih intensif, sehingga dapat
merangsang usaha bersama untuk menjadikan penelitian-penelitian ilmiah lebih
relevan dengan kebutuhan umat manusia dan meyakinkan semua negara mengenai keadaan dan
perkembangannya, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan
termasuk perkembangan dan pengetahuan dan teknologinya sendiri.
Ilmu pengetahuan yang mendasarkan perkembangannya pada keraguan, sehingga
setiap kenyataan selalu mengundang pertanyaan dan menuntut pembuktian,
sementara agama bertolak dari keyakinan bahwa Tuhan itu ada dan semua kenyataan
itu diciptakan oleh Tuhan.
Sikap keagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang
mendororng untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap
agama.
C.
Sikap Keagamaan dan Pola Tingkah
Laku
Dalam pengertian umum sikap dipandang sebagai seperangkat reaksi-reaksi afektif terhadap obyek tertentu berdasarkan
hasil penalaran, pemahaman dan penghayatan individu [2].
Dengan demikian sikap terbentuk dari hasil belajar dan pengalaman seseorang dan
bukan sebagai pengaruh bawaan (factor intern) seseorang, serta tergantung
kepada obyek tertentu. Obyek sikap oleh Edward disebut sebagai psychological object.[3]
Menurut Prof.Dr. Mar’at, meskipun
belum lengkap Allport telh menghimpun sebanyak 13 pengertian mengenai sikap.
Dari 13 pengertian itu dapat dirangkum menjadi 10 rumusan
mengenai sikap. Rumusan tersebut adalah:
- Sikap merupakan hasil belajar yang diperoleh melalui pengalaman dan interaksi yang terus menerus dengan lingkungan.
- Sikap selalu dihubungkan dengan obyek seperti manusia, wawasan, peristiwa maupun ide.
- Sikap diperoleh dalam berientraksi dengan manusia lain baik di rumah, di sekolah, tempat ibadah ataupun tempat lainnya melalui nasehat, teladan atau percakapan.
- Sikap sebagai wujud dari kesiapan untuk bertindak dengan cara-cara tertentu terhadap obyek.
- Bagian yang dominan dari sikap adalah peraksaaan dan afektif seperti yang tampak dalam menetukan pilihan apakah positif, negative atau ragu.
- Sikap memiliki tingkat intensitas terhadap obyek tertentu yakni kuat atau lemah.
- Sikap bergantung pada situasi dan waktu, sehingga dalam situasi dan saat tertentu mungkin sesuai sedangkan di saat dan situasi yang berbeda belum tentu cocok.
- Sikap dapat bersikap relative dalam sejarah hidup individu
- Sikap merupakan predisposisi untuk bertindak senang ataiu tidak senang terhadap obyek tertentu yan mencakup komponen kognisi, afeksi dan konasi. Dengan demikian sikap merupakan interaksi dari komponen-komponen tersebut secara kompleks
- Tiga komponen psikologi yaitu kognisi, afeksi dan konasi yang bekerja secara kompleks merupakan bagian yang menetukan sikap seseorang terhadap suatu objek, baik yang berbentuk konkrit maupun obyek atau abstrak. Komponen kognisis akan menjawab tentang apa yang dipikirkan atau dipersepsikan tentang obyek. Komponen afeksi dikaitkan dengan apa yang dirasakan terhadap obyek. Dengan demikian sikap yang ditampilkan seseorang merupakan hasil dari proses berfikir, merasa dan pemilihan motif-motif tertentu sebagai reaksi terhadap suatu obyek.
D. Sikap Keagamaan yang Menyimpang.
Sikap keagamaan yang menyimpang terjadi bila sikap seseorang terhadap
kepercayaan dan keyakinan terhadap agama yang dianutnya mengalami perubahan.
Sikap keagamaan yang menyimpang merupakan masalah pada tingkat tertentu dapat menimbulkan
tindakan yang negative dari tingkat yang terendah sehingga ke tingkat yan
paling tinggi, seperti sikap regresif
(menarik diri) sehingga ke sikap yang demostratif (unjuk rasa). Sikap
menyimpang seperti itu umumnya berpeluang untuk terjadi dalam diri seseorang
maupun kelompok pada setiap agama. Perseteruan antar agama yang
terjadi seperti peristiwa Perang Salib, muncuknya gerakan IRA di Inggris,
hingga ke aliran-aliran keagamaan yang dianggap menyimpang misalnya Children of God di Amerika ataupun sekte
kiamat di Jepang yang dinamakan kelompoknya Aum
Shinrikyo (kebenaran tertinggi) baru-baru ini.
Sikap keagamaan yang menyimpang dapat terjadi bila terjadi penyimpangan
pada kedua tingkat yang dimaksud,
sehingga dapat memberi
kepercayaan dan keyakinan baru pada seseorang atau kelompok. Dengan demikian
sikap keagamaan yang menyimpang cenderung didasarkan pada motif yang bersifat
emosional yang lebih kuat ketimbang aspek rasional.
E. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Keagamaan yang Menyimpang.
Sikap berfungsi untuk menggugah motif untuk bertingkah laku, baik dalam
bentuk tingkah laku nyata, maupun tingkah laku tertutup. Dengan demikian
sikap mempengaruhi dua benrtuk reaksi seseorang terhadap obyek, yaitu dalam
bentuk nyata dan terselubung. Karena sikap diperoleh
dari hasil belajar atau pengaruh lingkungan, maka sikap dapat diubah, walaupun
sulit.
Beberapa teori psikologi mengungkapkan mengenai perubahan sikap tersebut
antara lain teori stimulus dan respon,
teori pertimbangan social, teori konsistensi dan teori fingsi. Masing-masing teori
didasarkan atas pendekatan aliran psikologi tersebut. Teori stimulus dan respon
yang memandang manusia sebagai organism menyamakan perubahan sikap dengan
proses belajar. Menurut teori ini ada tiga variable yang mempengaruhi
terjadinya perubahan sikap, yaitu perhatian, pengertian dan penerimaan.
Teori pertimbangan social melihat perubahan sikap dari pendekatan psikologi
social. Menurut teori ini perubahan sikap ditentukan oleh factor internal dan
factor eksternal. Factor internal yang mempengaruhi perubahan sikap, yaitu:
1.
Persepsi social,
2.
Posisi social dan proses belajar
social.
Sedangkan factor eksternal terdiri dari atas:
1.
Factor penguatan,
2.
Komunikasi persuasive, dan
3.
Harapan yang diinginkan.
Perubahan sikap menurut teori ini ditentukan oleh keputusan-keputusan
social sebagai hasil interaksi factor internal dan eksternal.
Teori konsistensi, menurut
teori ini perubahan sikap lebih ditentukan oleh factor intern, yang tujuannya
untuk menyeimbangkan antara sikap dan perbuatan. Keempat fase dalam proses
terjadinya perubahan sikap itu adalah:
- Munculnya persoalan yang dihadapi.
- Munculnya beberapa pengertian yang harus dipilih.
- Mengambil keputusan berdasarkan salah satu pengertian yang dipilih.
- Terjadi keseimbangan.
BAB III
Kesimpulan
Menghadapi permasalahan pertama mengenai kadar
kekokohan keimanan seseorang dalam agamanya, W.H. Clark, (1969, 220-224)
mengidentifikasi empat teori sumber
keimanan agama, yaitu :
a)
Teori sumber keimanan agama yang verbalistik
b)
Teori sumber keimanan agama yang intelektualistik
c)
Teori sumber keimanan agama yang demonstratif
d)
Teori sumber keimanan agama yang komprehensif integrative
Menurut
Kalish mengidentifikasikan lima hal yang dapt mendongkrak ketegaran keimanan orang yang beragama yaitu :
1)
Kontradiksi antara ilmu dan agama
2)
Akibat mempelajari agama lain
3)
Kesulitan membatasi kebebasan agama
4)
Masalah tujuan hidup
5)
Arti mati dan hidup sesudah mati
Rumusan tentang sikap menurut Dr. Prof. Mar’at dapat dirangkum menjadi 10,
yaitu:
1.
Sikap merupakan hasil belajar yang
diperoleh melalui pengalaman dan interaksi yang terus menerus dengan
lingkungan.
2.
Sikap selalu dihubungkan dengan
obyek seperti manusia, wawasan,peristiwa maupun ide.
3.
Sikap diperoleh dalam berientraksi dengan manusia lain
baik di rumah, di sekolah, tempat ibadah ataupun tempat lainnya melalui
nasehat, teladan atau percakapan.
4.
Sikap sebagai wujud dari kesiapan
untuk bertindak dengan cara-cara tertentu terhadap obyek.
5.
Bagian yang dominan dari sikap
adalah perasaaan dan afektif seperti yang
tampak dalam menetukan pilihan apakah positif, negative atau ragu.
6.
Sikap memiliki tingkat intensitas
terhadap obyek tertentu yakni kuat atau lemah.
7.
Sikap bergantung pada situasi dan
waktu, sehingga dalam situasi dan saat tertentu mungkin sesuai sedangkan disaat
dan situasi yang berbeda belum tentu cocok.
8.
Sikap dapat bersikap relative dalam
sejarah hidup individu.
Sikap
keagamaan yang menyimpang dapat terjadi bila terjadi penyimpangan pada kedua
tingkat dimaksud, sehingga dapat memberi
kepercayaan dan keyakinan baru pada seseorang atau kelompok. Dengan demikian
sikap keagamaan yang menyimpang cenderung didasarkan pada motif yang bersifat
emosional yang lebih kuat ketimbang aspek rasioanl.
Sikap
berfungsi untuk menggugah motif untuk bertingkah laku, baik dalam bentuk
tingkah laku nyata,
maupun tingkah laku tertutup. Dengan demikian sikap
mempengaruhi dua benrtuk reaksi seseorang terhadap obyek, yaitu dalam bentuk
nyata dan terselubung. Karena sikap diperoleh dari hasil belajar atau pengaruh
lingkungan, maka sikap dapat diubah, walaupun sulit.
DAFTAR PUSTAKA
Dr.Jalaluddin,
1997, Psikologi Agama, PT Raja Grafindo
Persada; Jakarta.
Manshur, Faiz, Manusia
dan Kebutuhan Agama, www.geogle.com 15 Oktober 2006
Penyusun,
Tim, 2004. Pengantar Studi Islam,
Surabaya : IAIN Sunan Ampel Surabaya
Sururin, M.Ag., 2004, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Raja
Grafindo Persada
Zada,
Khamami, Orientasi Studi Islam di
Indonesia, www.geogle.com 27 Oktober 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar