Rabu, 02 April 2014

TOKOH TASAWUF INDONESIA



TOKOH TASAWUF INDONESIA

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tasawuf

Dosen Pengampu: Nur Yasin, S.HI.
Oleh:
MIFTAHUDDIN

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM BUSTANUL ULUM
Jl. Doktren No. 26 Krai-Yosowilangun-Lumajang
Tahun Akademik 2013/2014



DAFTAR ISI

DAFTAR   ISI
BAB I  PENDAHULUAN .............................................................................  1
A. Latar Belakang ...............................................................................  1
B. Rumusan Masalah ...........................................................................  1
C. Tujuan .............................................................................................  1
BAB II  PEMBAHASAN ..............................................................................  2
A. Hamzah Fansuri (W. 1016 H/1607 M ) dan Ajaran Tasawufnya.... 2
B. Syekh Yusuf Al-Makasari (1037-1111 H./1627-1699 M.) dan
    Ajaran Tasawufnya ..........................................................................  5
BAB III  KESIMPULAN ..............................................................................  9
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 10















BAB 1
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Islam merupakan agama yang dibawa oleh para pedagang yang berasal dari Gujarat, perkembangan pun terjadi dengan adanya tokoh–tokoh Islam yang membawa ajaran Allah. Islam merupakan agama yang senantiasa memberikan adanya perdamaian antar umat beragama, oleh karena itu pada masa itu Islam masuk ke Indonesia melalui perdagangan, sosial budaya dengan cara perkawinan dan wujud akulturasi kebudayaan Indonesia dan kebudayaan Islam.
Perkembangan Islam menyebar di berbagai pelosok wilayah, dari berbagai ilmu yang diajarkan oleh para pendatang dari luar timbulah para tokoh–tokoh Islam di Indonesia dalam bidang ilmu Tasawuf. Ia menyebutkan tokoh sufi Syekh Abdullah Arif yang menyebarkan Islam pertma kalinya di Aceh sekitar abad ke-12 M. Beliau adalah seorang pendatang ke nusantara berssama mubaligh lainya bernama Syekh Ismail Zaffi.[1] Karena itu taswauf merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kajian Islam.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana corak pemikiran tasawuf Hamzah Fansuri?
2.      Bagaimana corak pemikiran tasawuf  Syekh Yusuf Al-Makassari?

C.    Tujuan
Adapun maksud dan tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu agar mahasiswa dapat menjelaskan corak pemikiran tasawuf Hamzah Fansuri dan Syekh Yusuf Al-Makassari


BAB II
PEMBAHASAN

Ada beberapa literatur di Indonesia yang mengkaji taswuf ,baik mengenai penyebaranya maupun  tokoh- tokohnya. Diantaranya buku  Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII yang ditulis oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra.[2] Buku lainnya ditulis oleh Hj. Sri Mulyati, M.A berjudul Tasawuf Nusantara : Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka.[3] Berikut akan dikemukakan beberapa tokoh tasawuf di Indonesia :

A.    Hamzah Fansuri (W. 1016 H/1607 M ) dan Ajaran Tasawufnya
Hamzah Fansuri dilahirkan di Sumatra, ia dikenal sebagai tokoh tasawuf dari Aceh. Tokoh sufi ini dikenal membawa paham Wahdatul Wujud,  yang diambil dari pemikiran Ibnu Arabi. Hamzah Fansuri banyak melakukan pengembaraan di berbagai wilayah sampai akhirnya ia bermukim di Aceh. Pengembaraanya itu bertujuan mencapai makrifat kepada Allah SWT. Hamzah Fansuri merupakan seorang pujangga  Islam sangat populer pada zamannya, dan namanya menghiasasi lembaran-lembaran sejarah kesusastraan Melayu dan Indonesia. Berdasarkan bukti hasil karya yang dilacak, Hamzah Fansuri adalah peletak dasar Bahasa Melayu sebagai bahasa keempat di dunia Islam, setelah Bahasa Arab,Persi, dan Turki.
Para pengkaji seprti Doorenbos(1933), Al-Attas (1970), Drewes dan Brakel (1986) dan lain-lain tidak mmenafikan bahwa Hamzah Fansuri adalah ulama dan sufi pertama yang menghasikan karya tulis ketasawufan dan keilmuan dalam Bahasa Melayu tinggi/baru. Kecemerlangan gaya penulisannya diakui sulit tandingannya oleh ulama sezaman dan sesudahnya. Ia pemula penyair islam Nusantara, perintis tradisi keilmuan dan filsafat, pembaharu keilmuan filsafat serta pembaharu sprirtual pada zamannya.[4]
Berdasarkan kata “Fansur” yang menempel pada namanya, sebagian peneliti beranggapan bahwa ia berasal dari Fansur, sebutan orang Arab terhadap Barus yang sekarang merupakan kota kecil di pantai kecil di Sumatra Utara yang terletak di antara Sibolga dan Singkel.[5] Dalam syairnya , ia menulis :
Hamzah nur asalnya Fansuri
Mendapat wujud di tanah Syahru Nawi
Beroleh khilafat ilmu yang a’li
Dari pada Abdul Qadir Sayyid Jailani.
Ada  orang yang berpendapat bahwa “ SYAHRU NAWI” {pada bait kedua} ialah “Bandar Ayuthia” ibu kota Siam pada zaman silam. Pendapat lain bahwa Syahru Nawi ialah nama lama dari Tanah Aceh sebagai peringatan bagi seoran Pangeran Siam bernama Syahir Nuwi yang datang ke Aceh di zaman dahulu, dia membangun Aceh sebelumnya datang Islam.[6] Hamzah Fansuri sangat giat untuk mengajarkan ilmu tasawufnya, diantara para murid- muridnya yang cemerlang cukup banyak seperti Syekh Syamsudin Pasai, Syekh Fansuri, Syekh Abdul Djamal, Syekh Daud dan lain-lain. Sehingga tasawufnya menyebar diberbagai pelosok Nusantara.[7] Ada riwayat mengatakan bahwa ia pernah sampai ke seluruh Semenanjung dan mengembangkan tasawuf di Negeri Perlak, Perlis, Kelantan, Trenggganu, dan lain- lain.
Pemikiran-pemikiran Fansuri tentang tasawuf banyak dipengaruhi Ibnu Arobi dalam Wahdat Wujudnya.[8]  Diantara ajaran-ajarannya adalah :
a.       Allah. Allah adalah dzat yang mutlak dan qadim sebab dia adalah pencipta alam semesta. Ketika menjelaskan ayat Fainna tuwallu fa tsamma wajhullah ia katakana bahwa kemungkinan untuk memanadang wajah Allah dimana-mana merupakan Unio-Mistica. Para sufi menafsirkan Wajah Allah adalah sebagai sifat–sifat Tuhan adalah pengasih penyayang. Hamzah Fansuri menolak ajaran pranayama dalam agama Hindu yang membayangkan Tuhan berada dibagian tertentu dari tubuh seperti ubun-ubun yang dipandang sebagai jiwa dan dijadikan titik konsentrasai dalam usaha mencapai perssatuan.[9]
b.      Hakikat wujud dan penciptaan. Menurutnya wujud adalah satu walaupun kelihatan banyak. Ia menggaambarkan wujud Tuhan bagaikan lautan dalam yang tak bergerak, sedangkan alam semesta merupakan gelombang lautan wujud tuhan.
c.       Manusia. Walaupun manusia sebagai tingkat terakhir dari penjelmaan, ia adalah tingkat yang paling penting dan merupakan penjelmaan yang paling penuh dan sempurna. Ia adalah aliran atau pancaran langsung dari dzat yang mutlaq. Ini menunjukan adanya semacam kesatuan antara Allah dan manusia.[10]
d.      Kelepasan. Sebagai makhluk penjelmaan yang sempurna dan berpotensi untuk menjadi Insan kamil (manusia sempurna), tetapi karena ia lalai, pandanganya kabur dan tiada sadar bahwa seluruh alam ini adalah palsu dan bayangan.[11]
Hampir seluruh hasil karya Hamzah Fansuri sebagai sarana mempopulerkan  Wahdatul Wujud. Beliau memiliki keteguhan dalam berfikir, sekalipun pemikiranya dalam kesatuan Tuhan dan makhluk ini mendapat tantangan keras dari Nuriddin Ar-Raniri. Hamzah dianggap telah mengajarkan ajaran agama Panteisme, memang dalam karyanya beliau sering mengangkat aspek Tasybih (kemiripan/keserupaan) antar Tuhan dan makhluknya. Sekalipun dalam karyanya ia tidak menampilkan aspek Tanzih (perbedaan) antara Tuhan dan makhluknya, hanya saja ditonjolkan adalah konsep Wahdatul Wujudnya.
Para sejarawan mengasumsikan bahwa ia sudah menulis pada kesultanan Aceh, yaitu Sultan Alaudin Ri’yat Syah Sayid Al Mukamal (1589-1604). Sultan Iskandar Muda memiliki peran yang besar dalam mempopulerkan karya Hmazah Fansuri. Berbagai daerah yang dikirimi kitabnya  adalah Gresik, Kudus, Makasar, Ternate, Malaka, Kedah, Sumatera Barat, dan Kalimantan Barat.

B.     Syekh Yusuf Al-Makasari (1037-1111 H./1627-1699 M.) dan Ajaran Tasawufnya
Ia adalah seorang sufi yang agung bahkan orang yang pertama mengenalkan ajaran Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia. Ia dilahirkan di Sulawesi pada tanggal 8 Sawwal 1036 H atau bertepatan tanggal 3 juli 1629. Nama aslinya adalah Yusuf Taj Al-Khalwati Al-Makassari. Pada tahun 1644, ia belajar ke Mekah. Sebelum  berangkat ke Mekah.ia singgah di Banten kemudian ke Aceh untuk belajar dengan Syekh Nurrddin Ar-Raniri tentang tarekat Qadiriyah. Ia juga dikenalkan oleh Ar-Raniri kepada gurunya Bijapur, India yang bernama Sayid Abu Hafsh Umar bin Abdullah Ba Syaiban. Secara ringkas tarekat-tarekat yang telah dipelajarinya dicantumkan sebagai berikut:[12]
a)      Tarekat Qadiriyah  yang diterima Syekh Nurrddin Ar-Raniri di Aceh
b)      Tarekat Naqsyabandiyah yang diterima dari Syekh Abi Abdillah Abdul Baqi Billah,
c)      Tarekat As-Sa’adah Al-Baalawiyah, yang diterimanya dari Sayid Ali di Zubeid/Yaman.
d)     Tarekat Syathariyah, diterimanya dari Ibrahim Al-Kurani Madinah.
e)      Tarekat Khalwatiyah diterimanya dari Abdul Barakat Ayub bin Ahmad bin Ayub Khalwati Al-Quraisy di Damsyiq.
Semua Tarekat yang dipelajari mempunyai silsilah yang bersambung kepada Nabi Muhammad SAW. hanya seperti Naqayabandiyah. Di dalam perjalananya Syekh Yusuf  bermukim di Negara Arab, belajar dan mengarang sekitar seperempat  abad. Dan pada tahun 1627 M ia kembali ke Indonesia dan menetap di Jawa Barat, Banten. Ia memiliki istri dan putri dari kesultanan Banten, dan menjadi seorang Syekh yang suaranya lantang dan berpengaruh.
Atas ilmu yang dimiliknya, dia mampu menghimpun murid-muridnya. Di dalam perselisihan antara kesultanan dan Belanda, dia sebagai panglima perang bersama muridnya akan tetapi kemenangan dimiliki oleh  Belanda dan akhirnya Syekih Yusuf ditawan dan diasingkan pada tahun 1099 H dalam usia 57 tahun. Kehidupan yang dihabiskan untuk mengarang dan belajar, ia mengenal ulama sperti Syekh Ibrahim Mihnan yang meminta menyusun kitab Tasawuf yang menjelasakan tentang murid dan Syeikh. Seiring berjalannya waktu, bentrokan terjadi di Jawa dan Belanda menuduh syekh sebagai penyebabnya dan kemudian ia ditangkap dan diasingkan hingga wafat.
Dalam karyanya, Zubdat Al-Asrar, pada awal naskah tercantum nama Al-Haj Yusuf At-Taj Abi Al-Mahasin (nama gelar beliau) sebagai penulis naskah ini ditulis dalam Bahasa Arab, yang berisi tentang ajaran wujudiyah. Dalam tulisan ini, Syekh Yusuf kelihatan cukup memahami paham tersebut. Syekh Yusuf juga bebicara tentang insan kamil dan proses penyucian jiwa. Ia mengatakan bahwa seorang hamba akan tetap hamba walaupun telah naik derajatnya, dan Tuhan akan tetap Tuhan walaupun turun pada diri hamba. Dalam proses penyucian jiwa, ia menempuh cara yang moderat. Menurutnya, kehidupan dunia bukanlah untuk ditinggalkan. Akan tetapi sebaliknya, hidup diarahkan untuk menuju Tuhan. Gejolak hawa nafsu harus dikendallikan melalui tertib hidup dan disiplin atas dasar orientasi ketuhanan yang senantiasa melindungi manusia.
Dalam Zubdat Al-Asrar, Syekh mengutip pernyataan Al-Burhanpuri yakni pegarang kitab Tuhfah Al-Mursalah Ila Ruh Al-Nabi, dan juga beliau adalah seorang ulama kelahiran India yang dianggap sebagai pencetus pertama kali pemikiran Martabat Tujuh. Konsep ini (tajali) Tuhan melalui tujuh martabat: ahadiyah, wahdah, wahidiyah, ‘alam arwah,’alam mitsal, ‘alam ajsam, dan ‘alam insan. Adakalanya yang mengidentikan ajaran Martabat Tujuh dengan Ajaran Wahdatul Wujud atau Manunggaling kawula-Gusti.
Adapun ajaran tasawuf Syekh Yusuf  Al-Makassari yaitu:
1.      Syari’at dan hakikat.
Konsep utama taswuf Al-Makassari adalah pemurnian kepercayaan pada keesaan Tuhan. Berbeda dengan kecenderungan sufisme masa awal, ia mengungkapkan paradigma sufistik bertolak dari asumsi dasar ajaran Islam yang memiliki dua aspek yaitu syariat dan hakikat. Yang kedunya harus dipandang dan diamalkan sebagai suatu kesatuan.[13]
2.      Transendensi Tuhan
Al–Makassari percaya dan berpegang teguh Tuhan itu mencakup segalanya.[14] Ia sangat berhati-hati untuk tidak mengaitkan dirinya dengan doktrin panteisme dengan menyatakan, meski Tuhan mengungkapkan diri-Nya dalam ciptaa-Nya. Syekh Yusuf menggarisbawahi proses ini tidak mengambil bentuk kesatuan wujud antara manusia dan Tuhan, hamba yang tidak memilki kesadaran tentang dirinya, merasa tidak ada, ia menyadari sebagai yang mewujudkan, yang diwujudkan dan perwujudan mirip sekali dengan pandangan Wahdatul Wujud dalam fisafat mistik Ibnu ‘Arabi.
3.       Insan Kamil
Dalam penyucian diri, ia mengatakan bahwa seorang hamba akan tetap hamba walaupun telah naik derajatnya, dan Tuhan akan tetap Tuhan walaupun turun pada diri hamba. Dalam proses penyucian jiwa, ia menempuh cara yang moderat. Menurutnya, kehidupan dunia bukanlah untuk ditinggalkan. Akan tetapi sebaliknya, hidup diarahkan untuk menuju Tuhan. Gejolak hawa nafsu harus dikendallikan melalui tertib hidup dan disiplin atas dasar orientasi ketuhanan yang senantiasa melindungi manusia.
Berkenaan dengan cara-cara menuju ntuhan ia membagi dalam tiga bagian:
a.       Tingkatan akhyar (orang-orang terbaik)
b.      Tingkatan Mujahadah Syaqa (orang yang berjuang dalam kesulitan)
c.       Tingkatan Ahl Adz-Dzikir





























BAB III
KESIMPULAN

Pemikiran-pemikiran Hamzah Fansuri tentang tasawuf banyak dipengaruhi Ibnu Arobi dalam Wahdat Wujudnya.  Diantara ajaran-ajarannya adalah : (1) Allah. (2) Hakikat wujud dan penciptaan. (3) Kelepasan. (4) Manusia
Secara ringkas ajaran-ajaran tasawuf Syekh Yusuf Al-Makassari adalah  sebagai berikut: (1) Syari’at dan hakikat. (2) Transendensi Tuhan. (3) Insan Kamil























DAFTAR PUTAKA

.
Abdul Hadi W.M ., Hamzah Fansuri “Risalah Tasawuf dan Puisi- puisi .
Dr. Alwi Shihab, Ph.D., 2009, Antara Tasawuf  Suni dan Falsafi  Akar Tasawuf Di Indonesia, Penerbit Pustaka IIman: Bandung.
DR. Azyumardi Azra, 1994, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Penerbit Mizan: Bandung.
Drs. H. Musthafa, 2008, Akhlak Tasawuf, Penerbit CV. Pustaka Setia: Bandung.
Prof. Dr. M. Sholihin, M. Ag  dan Rosihun Anwar, M. Ag., Ilmu Tasawuf




[1] Hawsah Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara, (Al ikhlas: Surabaya, 1930), 80
[2] Diterbitkan oleh Penerbit Mizan, Bandung, cet. III, 1995
[3] Diterbitkan oleh Kencana, Jakarta, 2006
[4] Abdul Hadi W. M., Hamzah Fansuri, (Mizan:Bandung, 1995), 14
[5] Hadi, Hamzah Fansuri , 9.
[6] Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf, 36.
[7] Hadi, Syeikh Hamzah Fansuri, 49.
[8] S. M. Naquib Al-Attas,  New Lighton the Life Hamzah Fansuri, (JMBRAS, vol. 40, 1967), 50.
[9] Hadi, Hamzah Fansuri, 50.
[10] Mulyati, Tasawuf, 75.
[11] Ahmad Daudi, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syekh Nuruddin Ar-Raniri, (Rajawali: Jakarta, 1983), 36.
[12] Mulyati, Tasawuf., 65-66
[13] Abu Hamid, Syekh Yusuf Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang, (Yayasan Obor: Jakarta, 1994), 173.
[14] Abu Hamid, Syekh Yusuf Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang, (Yayasan Obor: Jakarta, 1994), 177.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar