PENDEKATAN
DALAM
BIMBINGAN
DAN KONSELING
Untuk Memenuhi
Tugas Mata Kuliah Bimbingan dan
Konseling
Dosen Pengampu: Titin Nurhidayati, S. Pd. M. Pd.
Oleh:
LIA
INDRIANI
M.
SHOBIRIN UMAR
NURUL
QOMARIYAH
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM BUSTANUL ULUM
Jl.
Doktren No. 26 Krai-Yosowilangun-Lumajang
Tahun Akademik
2013-2014
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................... 1
C. Tujuan ............................................................................................. 1
BAB II POKOK BAHASAN ...................................................................... 2
A. Pendekatan Konseling Behavioral .................................................. 2
B. Pendekatan Konseling
Gestalt......................................................... 3
C. Pendekatan Konseling
Rasional Emotional ..................................... 6
D.
Pendekatan Konseling Psikoanalisis ................................................ 10
E.
Pendekatan Konseling Humanistik .................................................. 12
BAB III KESIMPULAN .............................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 16
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam tataran
teoritis, teori-teori bimbingan dan konseling hingga saat ini boleh dikatakan
sudah berkembang cukup mantap, dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya dan
bahkan relatif mendahului teori-teori yang dikembangkan dalam pembelajaran
untuk mata pelajaran-mata pelajaran di sekolah. Perkembangan
teori bimbingan dan konseling terutama dihasilkan oleh Perguruan Tinggi yang
menyelenggarakan program studi bimbingan dan konseling, baik yang bersumber
dari penelitian maupun hasil pemikiran kritis para ahli. Di sisi lain,
teori-teori bimbingan dan konseling yang dihasilkan melalui penelitian oleh
para praktisi di sekolah-sekolah tampaknya belum berkembang sepenuhnya sehingga
kurang memberikan kontribusi bagi perkembangan profesi bimbingan dan konseling.
Kendala terbesar yang dihadapi untuk
mewujudkan bimbingan dan konseling sebagai profesi yang handal dan bisa sejajar
dengan profesi-profesi lain yang sudah mapan justru terjadi dalam tataran
praktis. Manfaat bimbingan dan konseling sepertinya masih belum dirasakan oleh
masyarakat, karena penyelenggaraannya dan pengelolaannya tidak jelas. Kesan
lama, Guru Pembimbing sebagai “Polisi Sekolah“ atau “Polisi Susila”pun hingga
kini masih melekat kuat pada sebagaian masyarakat, khususnya di kalangan siswa
dan guru bahkan dikalangan kepala sekolah.
B.
Rumusan Masalah
Apa saja pendekatan
dalam bimbingan dan konseling?
C.
Tujuan
Menyebutkan dan
menjelaskan pendekatan dalam bimbingan dan konseling
BAB II
PEMBAHASAN
1. Konsep Dasar
Manusia adalah
mahluk reaktif yang tingkah lakunya dikontrol oleh faktor-faktor dari
luar. Manusia memulai kehidupannya dengan memberikan reaksi terhadap
lingkungannya dan interaksi ini menghasilkan pola-pola perilaku yang kemudian
membentuk kepribadian. Tingkah laku seseorang ditentukan oleh banyak dan
macamnya penguatan yang diterima dalam situasi hidupnya. Tingkah laku dipelajari ketika individu
berinteraksi dengan lingkungan melalui hukum-hukum belajar : (a) pembiasaan
klasik; (b) pembiasaan operan; (c) peniruan.
Tingkah laku
tertentu pada individu dipengaruhi oleh kepuasan dan ketidak puasan yang
diperolehnya. Manusia bukanlah hasil dari dorongan tidak sadar melainkan merupakan hasil
belajar, sehingga ia dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi
kondisi-kondisi pembentukan tingkah laku. Karakteristik konseling
behavioral adalah : (a) berfokus pada tingkah laku yang tampak dan spesifik,
(b) memerlukan kecermatan dalam perumusan tujuan konseling, (c) mengembangkan
prosedur perlakuan spesifik sesuai dengan masalah klien, dan (d) penilaian yang
obyektif terhadap tujuan konseling.
2.
Asumsi Tingkah Laku Bermasalah
Tingkah laku bermasalah adalah tingkah laku atau kebiasaan-kebiasaan
negatif atau tingkah laku yang tidak tepat, yaitu tingkah laku yang tidak
sesuai dengan tuntutan lingkungan. Tingkah laku yang salah hakikatnya
terbentuk dari cara belajar atau lingkungan yang salah. Manusia bermasalah itu
mempunyai kecenderungan merespon tingkah laku negatif dari lingkungannya. Tingkah laku maladaptif terjadi juga
karena kesalapahaman dalam menanggapi lingkungan dengan tepat.
Seluruh
tingkah laku manusia didapat dengan cara belajar dan juga tingkah laku tersebut
dapat diubah dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar
3.
Tujuan Konseling
Mengahapus/menghilangkan tingkah laku maldaptif (masalah)
untukdigantikan dengan tingkah laku baru yaitu tingkah laku adaptif yang
diinginkan klien. Tujuan yang sifatnya umum harus dijabarkan ke dalam
perilaku yang spesifik : (a) diinginkan oleh klien; (b) konselor mampu dan
bersedia membantu mencapai tujuan tersebut; (c) klien dapat mencapai tujuan
tersebut; (d) dirumuskan secara spesifik
Konselor dan klien
bersama-sama (bekerja sama) menetapkan/merumuskan tujuan-tujuan khusus
konseling.
4.
Prinsip Kerja Teknik Konseling Behavioral.
1)
Memodifikasi tingkah laku melalui pemberian
penguatan. Agar klien terdorong untuk merubah tingkah lakunya penguatan
tersebut hendaknya mempunyai daya yang cukup kuat dan dilaksanakan secara
sistematis dan nyata-nyata ditampilkan melalui tingkah laku klien.
2)
Mengurangi frekuensi berlangsungnya tingkah
laku yang tidak diinginkan.
3)
Memberikan penguatan terhadap suatu respon
yang akan mengakibatkan terhambatnya kemunculan tingkah laku yang tidak
diinginkan.
4)
Mengkondisikan pengubahan tingkah laku
melalui pemberian contoh atau model (film, tape recorder, atau contoh nyata
langsung). [1]
5)
Merencanakan prosedur pemberian penguatan
terhadap tingkah laku yang diinginkan dengan sistem kontrak. Penguatannya dapat
berbentuk ganjaran yang berbentuk materi maupun keuntungan sosial.
1.
Konsep Dasar
Pendekatan
konseling ini berpandangan bahwa manusia dalam kehidupannya selalu aktif
sebagai suatu keseluruhan. Setiap individu bukan semata-mata merupakan
penjumlahan dari bagian-bagian organ-organ seperti hati, jantung, otak, dan
sebagainya, melainkan merupakan suatu koordinasi semua bagian tersebut. Manusia aktif terdorong kearah keseluruhan
dan integrasi pemikiran, perasaan, dan tingkah lakunya
Setiap individu memiliki kemampuan untuk menerima tanggung jawab pribadi,
memiliki dorongan untuk mengembangkan kesadaran yang akan mengarahkan menuju
terbentuknya integritas atau keutuhan pribadi. Jadi hakikat manusia menurut
pendekatan konseling ini adalah : (1) tidak dapat dipahami, kecuali dalam
keseluruhan konteksnya, (2) merupakan bagian dari lingkungannya dan hanya dapat
dipahami dalam kaitannya dengan lingkungannya itu, (3) aktor bukan reaktor, (4)
berpotensi untuk menyadari sepenuhnya sensasi, emosi, persepsi, dan
pemikirannya, (5) dapat memilih secara sadar dan bertanggung jawab, (6) mampu
mengatur dan mengarahkan hidupnya secara efektif.
Dalam
hubungannya dengan perjalanan kehidupan manusia, pendekatan ini memandang bahwa
tidak ada yang “ada” kecuali “sekarang”. Masa lalu telah pergi dan masa depan
belum dijalani, oleh karena itu yang menentukan kehidupan manusia adalah masa
sekarang. Dalam
pendekatan ini, kecemasan dipandang sebagai “kesenjangan antara saat sekarang
dan kemudian”. Jika individu menyimpang dari saat sekarang dan menjadi terlalu
terpaku pada masa depan, maka mereka mengalami kecemasan.
Dalam
pendekatan gestalt terdapat konsep tentang urusan yang tak selesai (unfinished
business), yakni mencakup perasaan-perasaan yang tidak terungkapkan seperti
dendam, kemarahan, kebencian, sakit hati, kecemasan, kedudukan, rasa berdosa,
rasa diabaikan. Meskipun tidak bisa diungkapkan, perasaan-perasaan itu diasosiasikan
dengan ingatan-ingatan dan fantasi-fantasi tertentu. Karena tidak terungkapkan
di dalam kesadaran, perasaan-perasaan itu tetap tinggal pada latar belakang dan
dibawa pada kehidupan sekarang dengan cara-cara yang menghambat hubungan yang
efektif dengan dirinya sendiri dan orang lain. Urusan yang tak selesai itu akan
bertahan sampai ia menghadapi dan menangani perasaan-perasaan yang tak
terungkapkan itu.
2.
Asumsi Tingkah Laku Bermasalah
Individu
bermasalah kaena terjadi pertentangan antara kekuatan “top dog” dan
keberadaan “under dog”. Top dog adalah kekuatan yang
mengharuskan, menuntut, mengancam. Under dog adalah keadaan defensif,
membela diri, tidak berdaya, lemah, pasif, ingin dimaklumi. Perkembangan yang terganggu adalah tidak
terjadi keseimbangan antara apa-apa yang harus (self-image) dan apa-apa
yang diinginkan (self).
Terjadi
pertentangan antara keberadaan sosial dan biologis, ketidakmampuan individu mengintegrasikan
pikiran, perasaan, dan tingkah lakunya, mengalami
kesenjangan sekarang dan yang akan dating, melarikan diri
dari kenyataan yang harus dihadapi. Spektrum
tingkah laku bermasalah pada individu meliputi :
a.
Kepribadian kaku (rigid)
b.
Tidak mau bebas-bertanggung jawab, ingin
tetap tergantung
c.
Menolak berhubungan dengan lingkungan
d.
Memeliharan unfinished business
e.
Menolak kebutuhan diri sendiri
f.
Melihat diri sendiri dalam kontinum “hitam-putih”
.
3.
Tujuan Konseling
Tujuan utama
konseling Gestalt adalah membantu klien agar berani mengahadapi berbagai macam tantangan
maupun kenyataan yang harus dihadapi. Tujuan ini mengandung makna bahwa klien
haruslah dapat berubah dari ketergantungan terhadap lingkungan/orang lain
menjadi percaya pada diri, dapat berbuat lebih banyak untuk meingkatkan
kebermaknaan hidupnya.
Individu yang
bermasalah pada umumnya belum memanfaatkan potensinya secara penuh, melainkan
baru memanfaatkan sebagaian dari potensinya yang dimilikinya. Melalui konseling
konselor membantu klien agar potensi yang baru dimanfaatkan sebagian ini
dimanfaatkan dan dikembangkan secara optimal. Secara lebih spesifik tujuan konseling
Gestalt adalah sebagai berikut.
a. Membantu klien
agar dapat memperoleh kesadaran pribadi,
b. Memahami kenyataan
atau realitas, serta mendapatkan insight secara penuh.
c. Membantu klien
menuju pencapaian integritas kepribadiannya
d. Mengentaskan
klien dari kondisinya yang tergantung pada pertimbangan orang lain ke mengatur
diri sendiri (to be true to himself)
e. Meningkatkan
kesadaran individual agar klien dapat beringkah laku menurut prinsip-prinsip
Gestalt, semua situasi bermasalah (unfisihed bussines) yang
muncul dan selalu akan muncul dapat diatasi dengan baik.
Dalam situasi
ini klien secara sadar dan bertanggung jawab memutuskan untuk “melepaskan”
diri dari konselor, dan siap untuk mengembangan potensi dirinya.[2]
1. Konsep Dasar
Manusia pada dasarnya adalah unik yang memiliki
kecenderungan untuk berpikir rasional dan irasional. Ketika
berpikir dan bertingkah laku rasional
manusia akan efektif, bahagia, dan kompeten. Ketika berpikir dan
bertingkah laku irasional
individu itu menjadi tidak efektif. Reaksi
emosional seseorang sebagian besar disebabkan oleh evaluasi, interpretasi,
dan filosofi yang disadari maupun tidak disadari. Hambatan psikologis atau emosional adalah
akibat dari cara berpikir yang tidak logis dan irasional. Emosi menyertai individu
yang berpikir dengan penuh prasangka, sangat personal, dan irasional. Berpikir irasional diawali dengan belajar
secara tidak logis yang diperoleh dari orang tua dan budaya tempat dibesarkan.
Berpikir secara irasional akan tercermin dari verbalisasi yang
digunakan. Verbalisasi yang tidak logis menunjukkan cara berpikir yang salah
dan verbalisasi yang tepat menunjukkan cara berpikir yang tepat. Perasaan dan pikiran negatif serta penolakan
diri harus dilawan dengan cara berpikir yang rasional dan logis, yang dapat
diterima menurut akal sehat, serta menggunakan cara verbalisasi yang rasional.
Pandangan
pendekatan rasional emotif tentang kepribadian dapat dikaji dari konsep-konsep
kunci teori Albert Ellis. Ada tiga pilar
yang membangun tingkah laku individu, yaitu: (A) Antecedent
event , (B) Belief, dan (C) Emotional
consequence. Kerangka
pilar ini yang kemudian dikenal dengan konsep atau teori ABC.
A. Antecedent
event, yaitu segenap peristiwa luar yang dialami
atau memapar individu. Peristiwa pendahulu yang berupa fakta, kejadian, tingkah
laku, atau sikap orang lain. Perceraian suatu keluarga, kelulusan bagi siswa,
dan seleksi masuk bagi calon karyawan merupakan antecendent event bagi
seseorang.
B. Belief, yaitu keyakinan, pandangan, nilai,
atau verbalisasi diri individu terhadap suatu peristiwa. Keyakinan seseorang
ada dua macam, yaitu keyakinan yang rasional (rational belief atau rB)
dan keyakinan yang tidak rasional (irrasional belief atau iB). Keyakinan
yang rasional merupakan cara berpikir atau system keyakinan yang tepat, masuk
akal, bijaksana, dan karena itu menjadi produktif. Keyakinan yang tidak rasional merupakan
keyakinan ayau system berpikir seseorang yang salah, tidak masuk akal,
emosional, dan karena itu tidak
produktif.
C. Emotional consequence merupakan konsekuensi emosional sebagai
akibat atau reaksi individu dalam bentuk perasaan senang atau hambatan emosi
dalam hubungannya dengan antecendent event (A). Konsekuensi emosional ini bukan
akibat langsung dari A tetapi disebabkan oleh beberapa variable antara dalam
bentuk keyakinan (B) baik yang rB maupun yang iB.
2. Asumsi Tingkah
Laku Bermasalah
Dalam
perspektif pendekatan konseling rasional emotif tingkah laku bermasalah adalah
merupakan tingkah laku yang didasarkan pada cara berpikir yang irrasional. Ciri-ciri berpikir irasional : (a) tidak dapat dibuktikan; (b) menimbulkan
perasaan tidak enak (kecemasan, kekhawatiran, prasangka) yang sebenarnya tidak
perlu; (c) menghalangi individu untuk berkembang dalam kehidupan sehari-hari
yang efektif
Sebab-sebab
individu tidak mampu berpikir secara rasional : (a) individu tidak berpikir
jelas tentang saat ini dan yang akan datang, antara
kenyatan dan imajinasi; (b) individu tergantung pada perencanaan dan pemikiran
orang lain; (c) orang tua atau masyarakat memiliki kecenderungan berpikir
irasional yang diajarkan kepada individu melalui berbagai media.
Indikator keyakinan irasional : (a) manusia hidup dalam masyarakat adalah
untuk diterima dan dicintai oleh orang lain dari segala sesuatu yang
dikerjakan; (b) banyak orang dalam kehidupan masyarakat yang tidak baik,
merusak, jahat, dan kejam sehingga mereka patut dicurigai, disalahkan, dan
dihukum; (c) kehidupan manusia senantiasa dihadapkan kepada berbagai
malapetaka, bencana yang dahsyat, mengerikan, menakutkan yang mau tidak mau
harus dihadapi oleh manusia dalam hidupnya; (d) lebih mudah untuk menjauhi kesulitan-kesulitan
hidup tertentu dari pada berusaha untuk mengahadapi dan menanganinya; (e)
penderitaan emosional dari seseorang muncul dari tekanan eksternal dan bahwa
individu hanya mempunyai kemampuan sedikit sekali untuk menghilangkan
penderitaan emosional tersebut; (f) pengalaman masa lalu memberikan pengaruh
sangat kuat terhadap kehidupan individu dan menentukan perasaan dan tingkah
laku individu pada saat sekarang; (g) untuk mencapai derajat yang tinggi dalam
hidupnya dan untuk merasakan sesuatu yang menyenangkan memerlukan kekuatan supranatural;
dan (h) nilai diri sebagai manusia dan penerimaan orang lain terhadap diri
tergantung dari kebaikan penampilan individu dan tingkat penerimaan oleh orang
lain terhadap individu.
3.
Tujuan Konseling
Memperbaiki
dan merubah sikap, persepsi, cara berpikir, keyakinan serta pandangan-pandangan
klien yang irasional dan tidak logis menjadi pandangan yang rasional dan logis
agar klien dapat mengembangkan diri, meningkatkan sel-actualizationnya
seoptimal mungkin melalui tingkah laku kognitif dan afektif yang positif.
Menghilangkan
gangguan-gangguan emosional yang merusak diri sendiri seperti rasa takut, rasa
bersalah, rasa berdosa, rasa cemas, merasa was-was, rasa marah. Tiga tingkatan insight yang perlu
dicapai klien dalam konseling dengan pendekatan rasional-emotif :
a)
Pertama: insight
dicapai ketika klien memahami tentang tingkah laku penolakan diri yang
dihubungkan dengan penyebab sebelumnya yang sebagian besar sesuai dengan
keyakinannya tentang peristiwa-peristiwa yang diterima (antecedent event)
pada saat yang lalu.
b)
Kedua: insight terjadi ketika konselor membantu klien untuk memahami bahwa apa
yang menganggu klien pada saat ini adalah karena berkeyakinan yang irasional
terus dipelajari dari yang diperoleh sebelumnya.
c)
Ketiga: insight dicapai pada saat konselor membantu klien untuk mencapai
pemahaman ketiga, yaitu tidak ada jalan lain untuk keluar dari hambatan
emosional kecuali dengan mendeteksi dan melawan keyakinan yang irasional.
Klien yang telah memiliki keyakinan rasional terjadi peningkatan dalam hal
: (1) minat kepada diri sendiri, (2) minat sosial, (3) pengarahan diri, (4)
toleransi terhadap pihak lain, (5) fleksibel, (6) menerima ketidakpastian, (7)
komitmen terhadap sesuatu di luar dirinya, (8) penerimaan diri, (9) berani mengambil risiko, dan (10) menerima kenyataan.
4.
Karakteristik Proses Konseling Rasional-Emotif
:
1)
Aktif-direktif, artinya bahwa dalam hubungan konseling
konselor lebih aktif membantu mengarahkan klien dalam menghadapi dan memecahkan
masalahnya.
2)
Kognitif-ekisperensial, artinya bahwa hubungan yang dibentuk
berfokus pada aspek kognitif dari klien dan berintikan pemecahan masalah yang
rasional.
3)
Emotif-ekspreriensial, artinya bahwa hubungan
konseling yang dikembangkan juga memfokuskan pada aspek emosi klien dengan
mempelajari sumber-sumber gangguan emosional, sekaligus membongkar akar-akar
keyakinan yang keliru yang mendasari gangguan tersebut.
4)
Behavioristik, artinya bahwa hubungan konseling yang
dikembangkan hendaknya menyentuh dan mendorong terjadinya perubahan tingkah
laku klien. [3]
1.
Konsep Dasar
a.
Hakikat manusia, Freud berpendapat bahwa manusia berdasar pada sifat-sifat:
A) Anti rasionalisme
B) Mendasari tindakannya
dengan motivasi yang tak sadar, konflik dan simbolisme.
C) Manusia secara esensial
bersifat biologis, terlahir dengan dorongan-dorongan instingtif,
sehingga perilaku merupakan fungsi yang di dalam ke arah dorongan tadi. Libido
atau eros mendorong manusia ke arah pencarian kesenangan, sebagai lawan
lawan dari Thanatos
D) Semua kejadian psikis
ditentukan oleh kejadian psikis sebelumnya.
E) Kesadaran merupakan
suatu hal yang tidak biasa dan tidak merupakan proses mental yang berciri
biasa.
Pendekatan ini didasari oleh teori Freud, bahwa kepribadian seseorang
mempunyai tiga unsur, yaitu id, ego, dan super ego
2.
Tujuan Konseling
1)
Menolong individu mendapatkan pengertian yang terus menerus dari pada mekanisme
penyesuaian diri mereka sendiri
2)
Membentuk kembali struktur kepribadian klien dengan jalan mengembalikan
hal-hal yang tak disadari menjadi sadar kembali, dengan menitikberatkan pada
pemahaman dan pengenalan pengalaman-pengalaman masa anak-anak, terutama usia
2-5 tahun, untuk ditata, didiskusikan, dianalisis dan ditafsirkan sehingga
kepribadian klien bisa direkonstruksi lagi.
3.
Deskripsi Proses
Konseling
A) Fungsi konselor: Konselor berfungsi sebagai penafsir dan penganalisi, Konselor bersikap
anonim, artinya konselor berusaha tak dikenal klien, dan bertindak sedikit
sekali memperlihatkan perasaan dan pengalamannya, sehingga klien dengan mudah
dapat memantulkan perasaannya untuk dijadikan sebagai bahan analisis.
B) Langkah-langkah yang
ditempuh: menciptakan hubungan kerja dengan klien, tahap krisis bagi klien
yaitu kesukaran dalam mengemukakan masalahnya dan melakukan transferensi,
tilikan terhadap masa lalu klien terutama pada masa kanak-kanaknya, Pengembangan
reesitensi untuk pemahaman diri, pengembangan hubungan transferensi
klien dengan konselor, melanjutkan lagi hal-hal yang resistensi, dan menutup wawancara
konseling
4.
Teknik Konseling
a.
Asosiasi bebas, yaitu mengupayakan klien untuk menjernihkan atau mengikis alam pikirannya
dari alam pengalaman dan pemikiran sehari-hari sekarang, sehingga klien mudah
mengungkapkan pengalaman masa lalunya. Klien diminta mengutarakan apa saja yang
terlintas dalam pikirannya. Tujuan teknik ini adalah agar klien mengungkapkan
pengalaman masa lalu dan menghentikan emosi-emosi yang berhubungan dengan
pengalaman traumatik masa lalu. Hal ini disebut juga katarsis.
b.
Analisis mimpi, klien diminta untuk mengungkapkan tentang berbagai kejadian dalam
mimpinya dan konselor berusaha untuk menganalisisnya. Teknik ini digunakan
untuk menilik masalah-masalah yang belum terpecahkan. Proses terjadinya mimpi
adalah karena pada waktu tidur pertahanan ego menjadi lemah dan kompleks yang
terdesak pun muncul ke permukaan. Menurut Freud, mimpi ini ditafsirkan sebagai
jalan raya mengekspresikan keinginan-keinginan dan kecemasan yang tak disadari.
c.
Interpretasi, yaitu mengungkap apa yang terkandung dibalik apa yang dikatakan klien,
baik dalam asosiasi bebas, mimpi, resistensi, dan transferensi klien. Konselor
menetapkan, menjelaskan dan bahkan mengajar klien tentang makna perilaku yang
termanifestasikan dalam mimpi, asosiasi bebas, resitensi dan transferensi.
d.
Analisis resistensi; resistensi berati penolakan, analisis resistensi ditujukan untuk
menyadarkan klien terhadap alasan-alasan terjadinya penolakannya (resistensi).
Konselor meminta perhatian klien untuk menafsirkan resistensi
e.
Analisis transferensi. Transferensi adalah mengalihkan, bisa berupa perasaan dan harapan masa
lalu. Dalam hal ini, klien diupayakan untuk menghidupkan kembali pengalaman dan
konflik masa lalu terkait dengan cinta, seksualitas, kebencian, kecemasan yang
oleh klien dibawa ke masa sekarang dan dilemparkan ke konselor. Biasanya klien
bisa membenci atau mencintai konselor. Konselor menggunakan sifat-sifat netral,
objektif, anonim, dan pasif agar bisa terungkap tranferensi tersebut.
1.
Konsep Dasar:
Memandang
manusia sebagai individu yang unik. Manusia merupakan seseorang yang ada, sadar
dan waspada akan keberadaannya sendiri. Setiap orang menciptakan tujuannnya
sendiri dengan segala kreatifitasnya, menyempurnakan esensi dan fakta
eksistensinya. Manusia sebagai makhluk hidup yang dapat
menentukan sendiri apa yang ia kerjakan dan yang tidak dia kerjakan, dan bebas
untuk menjadi apa yang ia inginkan. Setiap orang bertanggung jawab atas segala
tindakannya.
Manusia tidak pernah statis, ia selalu menjadi sesuatu yang berbeda, oleh
karena itu manusia mesti berani menghancurkan pola-pola lama dan mandiri menuju
aktualisasi diri Setiap orang
memiliki potensi kreatif dan bisa menjadi orang kreatif. Kreatifitas merupakan fungsi universal
kemanusiaan yang mengarah pada seluruh bentuk self expression.
2.
Asumsi Perilaku Bermasalah
Gangguan jiwa
disebabkan karena individu yang bersangkutan tidak dapat mengembangkan
potensinya. Dengan perkataan lain, pengalamannya tertekan.
3.
Tujuan Konseling
a.
Mengoptimalkan kesadaran individu akan
keberadaannya dan menerima keadaannya menurut apa adanya. Saya
adalah saya
b.
Memperbaiki dan mengubah sikap, persepsi cara
berfikir, keyakinan serta pandangan-pandangan individu, yang unik, yang tidak
atau kurang sesuai dengan dirinya agar individu dapat mengembangkan diri dan
meningkatkan self actualization seoptimal
mungkin.
c.
Menghilangkan hambatan-hambatan yang
dirasakan dan dihayati oleh individu dalam proses aktualisasi dirinya.
d.
Membantu individu dalam menemukan
pilihan-pilihan bebas yang mungkin dapat dijangkau menurut kondisi dirinya.
4.
Deskripsi Proses Konseling
a.
Adanya hubungan yang akrab antara konselor
dan konseling.
b.
Adanya kebebasan secara penuh bagi individu
untuk mengemukakan problem dan apa yang diinginkannya.
c.
Konselor berusaha sebaik mungkin menerima
sikap dan keluhan serta perilaku individu dengan tanpa memberikan sanggahan.
d.
Unsur menghargai dan menghormati keadaan diri
individu dan keyakinan akan kemampuan individu merupakan kunci atau dasar yang
paling menentukan dalam hubungan konseling.
e.
Pengenalan tentang keadaan individu
sebelumnya beserta lingkungannya sangat diperlukan oleh konselor.
BAB III
KESIMPULAN
Bimbingan pada akikatnya
bukanlah merupakan suatu hal yang baru karena sejak zaman dahulu telah ada.
Bimbingan dimaksudkan untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi. Adanya
pendekatan dalam bimbingan yang
dimaksudkan agar tercapainya tujuan bimbingan baik secara umum maupun khusus.
Jenis-jenis pendekatan
terbagi atas 5 bagian yaitu :
1.
Pendekatan konseling behavioral.
2.
Pendekatan konseling Gestalt
3.
Pendekatan konseling Rasional Emotif
4.
Pendekatan konseling Psikoanalisis
5.
Pendekatan konseling Humanistik
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Juntika Nurihsan, 2009, Strategi Layanan Bimbingan dan Konseling. Refika Aditama, Bandung.
http//em-eg.blogspot.com/2009/II/Pendekatan-Bimbingan-dan-Penyuluhan.html.
Prayitno.M, 2004, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling,
Rineka Cipta, Jakarta.
Sukardi, Dewa Ktut, 2003, Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan
Konseling Disekolah.
Rineka Cipta. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar