Ditulis
oleh Dewan Asatidz
|
Tentang
hamil diluar nikah sendiri sudah kita ketahui sebagai perbuatan zina baik
oleh pria yang menghamilinya maupun wanita yang hamil. Dan itu merupakan dosa
besar. Persoalannya adalah bolehkah menikahkan wanita yang hamil karena
zina?
Yth.
Pengasuh Rubrik Tanya Jawab
Assalamu'alaikum
Wr. Wb.
Sungguh,
saya mengucapkan banyak terima kasih atas kesediaan Bapak untuk menjawab
pertanyaan saya beberapa waktu yang lalu. Sekarang, ada satu persoalan yang
membuat saya bingung: Saat ini, barangkali sudah tidak begitu asing dengan
adanya perempuan yang hamil di luar nikah (meski jelas ini adalah perbuatan
zina). Dan sebagai tindak lanjut dari keadaan yang sudah terlanjur tersebut
orang biasanya melakukan aborsi (saya sudah tahu bahwa yang semacam ini
adalah termasuk pembunuhan) atau melakukan pernikahan.
Pertanyaan
saya, apakah pernikahannya ini sah? sebab, ada ustadz yang bilang bahwa
pernikahannya ini tidak sah sebab harus menunggu bayi itu lahir dan baru
menikah. tapi, yang seperti ini sepertinya tidak lazim dan malah membuat malu
(aib) di kalangan masyarakat kita. Bagaimana ini Bapak? sebab, kasus ini
memang terjadi di tetangga saya, dan sebagian orang yang percaya terhadap ungkapan
ustadz tersebut (barangkali didukung dengan hadits Nabis SAW) menganggap
bahwa pernikahan tetangga saya tersebut tidak sah. katanya, ketika anaknya
sudah lahir kelak, ia harus menikah ulang lagi.
lho,
pertanyaan saya, berarti pernikahaan kemarin hanya main-main dong, apakah
boleh main-main dengan agama? berarti hubungan yang dijalin selama belum
nikah ulang berarti zina dong (karena belum sah) Sungguh, atas jawabannya
(bagaimana dengan pada zaman Nabi SAW) dihaturkan banyak terima kasih.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Harianto
Widodo
Jawaban:
Assalamualaikum
Wr.Wb,
Saudara
Harianto yang baik,
Tentang
hamil diluar nikah sendiri sudah kita ketahui sebagai perbuatan zina baik
oleh pria yang menghamilinya maupun wanita yang hamil. Dan itu merupakan dosa
besar. Persoalannya adalah bolehkah menikahkan wanita yang hamil karena zina?
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, ada yang secara ketat tidak
memperbolehkan, ada pula yang menekankan pada penyelesaian masalah tanpa
mengurangi kehati-hatian mereka. Sejalan dengan sikap para ulama itu,
ketentuan hukum Islam menjaga batas-batas pergaulan masyarakat yang sopan dan
memberikan ketenangan dan rasa aman. Patuh terhadap ketentuan hukum Islam,
insya Allah akan mewujudkan kemaslahatan dalam masyarakat.
Dalam
Impres No. 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam(KHI),
Bab VIII Kawin Hamil sama dengan persoalan menikahkan wanita hamil. Pasal 53
dari BAB tersebut berisi tiga(3) ayat , yaitu :
1. Seorang
wanita hamil di laur nikah, dapat dinikahkan dengan pria yang menghamilinya.
2.
Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat(1) dapat dilangsungkan
tanpa menunggu lebih dulu kelahiran anaknya.
3. Dengan
dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan
ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Persoalan
menikahkan wanita hamil apabila dilihat dari KHI, penyelesaiaanya jelas dan
sederhana cukup dengan satu pasal dan tiga ayat. Yang menikahi wanita hamil
adalah pria yang menghamilinya, hal ini termasuk penangkalan terhadap
terjadinya pergaulan bebas, juga dalam pertunangan. Asas pembolehan
pernikahan wanita hamil ini dimaksudkan untuk memberi perlindungan kepastian
hukum kepada anak yang ada dalam kandungan, dan logikanya untuk mengakhiri
status anak zina.
Dalam
kasus wanita hamil yang akan menikah dengan laki-laki lain yang tidak
menghamilinya, ada dua pendapat yaitu :
pertama,
harus menunggu sampai kelahiran anak yang dikandung wanita tersebut. Dan
status anak yang dilahirkan kelak, dapat dianggap sebagai anak laki-laki yang
mengawini wanita tersebut dengan kesepakatan kedua belah pihak.
Kedua,
siapapun pria yang mengawini dianggap benar sebagai pria yang menghamili,
kecuali wanita tersebut menyanggahnya. Ini pendapat ulama Hanafi yang
menyatakan bahwa menetapkan adanya nasab (keturunan) terhadap seorang anak
adalah lebih baik dibanding dengan menganggap seorang anak tanpa keturunan
alias anak haram.
Perkawinan
dalam kasus ini dapat dilangsungkan tanpa menunggu kelahiran bayi, dan anak
yang dikandung dianggap mempunyai hubungan darah dan hukum yang sah dengan
pria yang mengawini wanita tersebut. Di sinilah letak kompromistis antara
hukum Islam dan hukum adat dengan menimbang pada kemaslahatan, aspek
sosiologis dan psikologis.
Sebagai
akhir dari penjelasan ini adalah pembolehan Jumhur ulama berdasar pada hadis
'Aisyah dari Ath-Thobary dan ad-Daruquthny, sesungguhnya Rasulullah SAW
ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan seorang perempuan dan
ia mau mengawininya. Beliau berkata:"Awalnya zina akhirnya nikah, dan
yang haram itu tidak mengharamkan yang halal."Sahabat yang mebolehkan
nikah wanita berzina adalah Abu Bakar, Umar, Ibnu Abbas yang disebut madzab
Jumhur. (Ali Assobuny/I/hlm49-50).
Demikian
penjelasan saya, semoga Allah menjauhkan kita dan saudara-saudara kita dari
perbuatan dosa, Amien.
Wassalamulaikum
,
Kuni
Khairunnisa
|
Jumat, 25 April 2014
Nasab Anak yang Dinikahi Waktu Hamil
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar