A. KONSEP
BIMBINGAN DAN KONSELING
Hakikat dan Urgensi Bimbingan dan Konseling
Diterbitkan Maret 12, 2008
Dasar pemikiran penyelenggaraan bimbingan dan
konseling di Sekolah/Madrasah, bukan semata-mata terletak pada ada atau tidak
adanya landasan hukum (perundang-undangan) atau ketentuan dari atas, namun yang
lebih penting adalah menyangkut upaya memfasilitasi peserta didik yang
selanjutnya disebut konseli,
agar mampu mengembangkan potensi dirinya atau mencapai tugas-tugas
perkembangannya (menyangkut aspek fisik, emosi, intelektual, sosial, dan
moral-spiritual).
Konseli sebagai seorang individu yang sedang
berada dalam proses berkembang atau menjadi (on
becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan atau kemandirian.
Untuk mencapai kematangan tersebut, konseli memerlukan bimbingan karena mereka
masih kurang memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan lingkungannya,
juga pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya. Disamping itu terdapat
suatu keniscayaan bahwa proses perkembangan konseli tidak selalu berlangsung
secara mulus, atau bebas dari masalah. Dengan kata lain, proses perkembangan
itu tidak selalu berjalan dalam alur linier, lurus, atau searah dengan potensi,
harapan dan nilai-nilai yang dianut.
Perkembangan konseli tidak lepas dari
pengaruh lingkungan, baik fisik, psikis maupun sosial. Sifat yang melekat pada
lingkungan adalah perubahan. Perubahan yang terjadi dalam lingkungan dapat
mempengaruhi gaya
hidup (life style)
warga masyarakat. Apabila perubahan yang terjadi itu sulit diprediksi, atau di
luar jangkauan kemampuan, maka akan melahirkan kesenjangan perkembangan perilaku
konseli, seperti terjadinya stagnasi (kemandegan) perkembangan, masalah-masalah
pribadi atau penyimpangan perilaku. Perubahan lingkungan yang diduga
mempengaruhi gaya
hidup, dan kesenjangan perkembangan tersebut, di antaranya: pertumbuhan jumlah
penduduk yang cepat, pertumbuhan kota-kota, kesenjangan tingkat sosial ekonomi
masyarakat, revolusi teknologi informasi, pergeseran fungsi atau struktur
keluarga, dan perubahan struktur masyarakat dari agraris ke industri.
Iklim lingkungan kehidupan yang kurang sehat,
seperti : maraknya tayangan pornografi di televisi dan VCD; penyalahgunaan alat
kontrasepsi, minuman keras, dan obat-obat terlarang/narkoba yang tak
terkontrol; ketidak harmonisan dalam kehidupan keluarga; dan dekadensi moral
orang dewasa sangat mempengaruhi pola perilaku atau gaya hidup konseli
(terutama pada usia remaja) yang cenderung menyimpang dari kaidah-kaidah moral
(akhlak yang mulia), seperti: pelanggaran tata tertib Sekolah/Madrasah,
tawuran, meminum minuman keras, menjadi pecandu Narkoba atau NAPZA (Narkotika,
Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya, seperti: ganja, narkotika, ectasy, putau, dan
sabu-sabu), kriminalitas, dan pergaulan bebas (free sex).
Penampilan perilaku remaja seperti di atas
sangat tidak diharapkan, karena tidak sesuai dengan sosok pribadi manusia
Indonesia yang dicita-citakan, seperti tercantum dalam tujuan pendidikan
nasional (UU No. 20 Tahun 2003), yaitu: (1) beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan
Yang Maha Esa, (2) berakhlak mulia, (3) memiliki pengetahuan dan keterampilan,
(4) memiliki kesehatan jasmani dan rohani, (5) memiliki kepribadian yang mantap
dan mandiri, serta (6) memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan
kebangsaan. Tujuan tersebut mempunyai implikasi imperatif (yang mengharuskan)
bagi semua tingkat satuan pendidikan untuk senantiasa memantapkan proses
pendidikannya secara bermutu ke arah pencapaian tujuan pendidikan tersebut.
Upaya menangkal dan mencegah
perilaku-perilaku yang tidak diharapkan seperti disebutkan, adalah
mengembangkan potensi konseli dan memfasilitasi mereka secara sistematik dan
terprogram untuk mencapai standar kompetensi kemandirian. Upaya ini merupakan
wilayah garapan bimbingan dan konseling yang harus dilakukan secara proaktif
dan berbasis data tentang perkembangan konseli beserta berbagai faktor yang
mempengaruhinya.
Dengan demikian, pendidikan yang bermutu,
efektif atau ideal adalah yang mengintegrasikan tiga bidang kegiatan utamanya
secara sinergi, yaitu bidang administratif dan kepemimpinan, bidang
instruksional atau kurikuler, dan bidang bimbingan dan konseling. Pendidikan
yang hanya melaksanakan bidang administratif dan instruksional dengan
mengabaikan bidang bimbingan dan konseling, hanya akan menghasilkan konseli
yang pintar dan terampil dalam aspek akademik, tetapi kurang memiliki kemampuan
atau kematangan dalam aspek kepribadian.
Pada saat ini telah terjadi perubahan
paradigma pendekatan bimbingan dan konseling, yaitu dari pendekatan yang
berorientasi tradisional, remedial, klinis, dan terpusat pada konselor, kepada
pendekatan yang berorientasi perkembangan dan preventif. Pendekatan bimbingan
dan konseling perkembangan (Developmental
Guidance and Counseling), atau bimbingan dan konseling komprehensif
(Comprehensive Guidance and
Counseling). Pelayanan bimbingan dan konseling komprehensif
didasarkan kepada upaya pencapaian tugas perkembangan, pengembangan potensi,
dan pengentasan masalah-masalah konseli. Tugas-tugas perkembangan dirumuskan
sebagai standar kompetensi yang harus dicapai konseli, sehingga pendekatan ini
disebut juga bimbingan dan konseling berbasis standar (standard based guidance and counseling). Standar dimaksud adalah
standar kompetensi kemandirian (periksa lampiran 1).
Dalam pelaksanaannya, pendekatan ini
menekankan kolaborasi antara konselor dengan para personal Sekolah/ Madrasah
lainnya (pimpinan Sekolah/Madrasah, guru-guru, dan staf administrasi), orang
tua konseli, dan pihak-pihak ter-kait lainnya (seperti instansi
pemerintah/swasta dan para ahli : psikolog dan dokter). Pendekatan ini
terintegrasi dengan proses pendidikan di Sekolah/Madrasah secara keseluruhan
dalam upaya membantu para konseli agar dapat mengem-bangkan atau mewujudkan
potensi dirinya secara penuh, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar,
maupun karir.
Atas dasar itu, maka implementasi bimbingan
dan konseling di Sekolah/Madrasah diorientasikan kepada upaya memfasilitasi
perkembangan potensi konseli, yang meliputi as-pek pribadi, sosial, belajar,
dan karir; atau terkait dengan pengembangan pribadi konseli sebagai makhluk
yang berdimensi biopsikososiospiritual
(biologis, psikis, sosial, dan spiritual).
DAFTAR
RUJUKAN
AACE. (2003). Competencies in Assessment and
Evaluation for School Counselor. http://aace.ncat.edu
Asosiasi Bimbingan
dan Konseling Indonesia.
(2007). Penataan Pendidikan
Profesional Konselor. Naskah Akademik ABKIN (dalam proses
finalisasi).
Asosiasi Bimbingan
dan Konseling Indonesia.
(2005). Standar Kompetensi
Konselor Indonesia.
Bandung:
ABKIN
Bandura, A. (Ed.).
(1995). Self-Efficacy in
Changing Soceties. Cambridge,
UK: Cambridge University Press.
BSNP dan
PUSBANGKURANDIK, Balitbang Diknas. (2006). Panduan
Pengembangan Diri: Pedoman untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Draft.
Jakarta: BSNP
dan PUSBANGKURANDIK, Depsiknas.
Cobia, Debra C. &
Henderson, Donna A. (2003). Handbook
of School Counseling.
New Jersey,
Merrill Prentice Hall
Corey, G. (2001). The Art of Integrative Counseling.
Belomont, CA:
Brooks/Cole.
Direktorat Pembinaan
Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi. (2003). Dasar Standardisasi Profesionalisasi
Konselor. Jakarta:
Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kepen-didikan dan Ketenagaan Pendidikan
Tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.
Engels, D.W dan J.D.
Dameron, (Eds). (2005). The
Professional Counselor Competencies: Performance Guidelines and Assessment.
Alexandria, VA: AACD.
Browers, Judy L.
& Hatch, Patricia A. (2002). The
National Model for School Counseling Programs. ASCA (American School Counselor Association).
Comm, J.Nancy.
(1992). Adolescence.
California :
Myfield Publishing Company.
Depdiknas. (2003). Pelayanan Bimbingan dan Konseling.
Jakarta: Puskur
Balitbang.
Depdiknas, (2005), Permen RI
nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,
Depdiknas, 2006),
Permendiknas no 22 tahun 2006 tentang Standar Isi,
Depdiknas, (2006),
Permendiknas no 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan SI dan SKL,
Ellis, T.I. (1990). The Missouri Comprehensive Guidance Model.
Columbia: The
Educational Resources
Information Center.
Gibson
R.L. & Mitchel M.H. (1986). Introduction
to Counseling and Guidance. New
York : MacMillan Publishing Company.
Havighurts, R.J.
(1953). Development Taks and
Education. New York:
David Mckay.
Herr
Edwin L. (1979). Guidance
and Counseling in the Schools. Houston : Shell Com.
Hurlock,
Alizabeth B. (1956). Child
Development. New York
: McGraw Hill Book Company Inc.
Ketetapan
Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia Nomor
01/Peng/PB-ABKIN/2007 bahwa Tenaga Profesional yang melaksanakan pelayanan
professional Bimbingan dan Konseling disebut Konselor dan minimal
berkualifikasi S1 Bimbingan dan Konseling.
Menteri Pendidikan
Nasional. 2006. Peraturan
Menteri Nomor 22 tentang Standar Isi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Menteri Pendidikan
Nasional. 2006. Peraturan
Menteri Nomor 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional.
Michigan School Counselor
Association. (2005). The Michigan Comprehensive
Guidance and Counseling Program.
Muro, James J. &
Kottman, Terry. (1995). Guidance
and Counseling in The Elementary and Middle Schools. Madison : Brown &
Benchmark.
Permendiknas Nomor 16
Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan.
Peraturan Pemerintah
Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Pikunas, Lustin.
(1976). Human Development.
Tokyo :
McGraw-Hill Kogakusha,Ltd.
Pusat Kurikulum,
Balitbang Depdiknas. (2003). Panduan
Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Balitbang Depdiknas.
Sunaryo Kartadinata,
dkk. (2003). Pengembangan
Perangkat Lunak Analisis Tugas Perkembangan Peserta didik dalam Upaya
Meningkatkan Mutu Pelayanan dan Manajemen Bimbingan dan Konseling di
Sekolah/Madrasahdrasah (Laporan Riset Unggulan Terpadu VIII). Jakarta : Kementrian
Riset dan Teknologi RI, LIPI.
Syamsu Yusuf L.N.
(2005). Program Bimbingan
dan Konseling di Sekolah/Madrasah. Bandung : CV Bani Qureys.
——–. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja.
Bandung :
Remaja Rosda Karya.
——–.dan Juntika N.
(2005). Landasan Bimbingan
dan Konseling. Bandung
: PT. Remaja Rosda Karya.
Stoner, James A.
(1987). Management.
London :
Prentice-Hall International Inc.
Undang-undang No 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang Nomor
14 tahun 2006 tentang Guru dan Dosen
Wagner William G.
(1996). “Optimal Development
in Adolescence : What Is It and How Can It be Encouraged”? The
Counseling Psychologist. Vol 24 No. 3 July’96.
Woolfolk, Anita E.
1995. Educational
Psychology. Boston
: Allyn & Bacon.
*)) Materi di atas merupakan salah satu
bagian dari makalah yang disajikan oleh Dr. Uman Suherman, M.Pd. pada acara
seminar sehari Bimbingan dan Konseling yang diselenggarakan oleh Universitas
Kuningan bekerja sama dengan ABKIN Cabang Kabupaten Kuningan pada tanggal 11
Maret 2008 bertempat di Aula Student Center UNIKU.
Landasan Bimbingan dan Konseling
Diterbitkan Januari 25, 2008
Oleh : Akhmad Sudrajat, M.Pd.
Abstrak :
Agar dapat berdiri tegak sebagai
sebuah layanan profesional yang dapat diandalkan dan memberikan manfaat bagi
kehidupan, maka layanan bimbingan dan konseling perlu dibangun di atas landasan
yang kokoh, dengan mencakup: (1) landasan filosofis, (2) landasan psikologis;
(3) landasan sosial-budaya, dan (4) landasan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Berkenaan dengan layanan bimbingan dan konseling dalam konteks Indonesia,
selain berpijak pada keempat landasan tersebut juga perlu berlandaskan pada
aspek pedagogis, religius dan yuridis-formal. Untuk terhidar dari berbagai
penyimpangan dalam praktek layanan bimbingan dan konseling, setiap konselor
mutlak perlu memahami dan menguasai landasan-landasan tersebut sebagai pijakan
dalam melaksanakan tugas-tugas profesionalnya.
Kata kunci : bimbingan dan konseling,
landasan filosofis, landasan psikologis; landasan sosial-budaya, landasan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
A. Pendahuluan
Layanan bimbingan dan konseling merupakan
bagian integral dari pendidikan di Indonesia. Sebagai sebuah layanan
profesional, kegiatan layanan bimbingan dan konseling tidak bisa dilakukan
secara sembarangan, namun harus berangkat dan berpijak dari suatu landasan yang
kokoh, yang didasarkan pada hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam.
Dengan adanya pijakan yang jelas dan kokoh diharapkan pengembangan layanan
bimbingan dan konseling, baik dalam tataran teoritik maupun praktek, dapat
semakin lebih mantap dan bisa dipertanggungjawabkan serta mampu memberikan
manfaat besar bagi kehidupan, khususnya bagi para penerima jasa layanan
(klien). .
Agar aktivitas dalam layanan bimbingan dan
konseling tidak terjebak dalam berbagai bentuk penyimpangan yang dapat
merugikan semua pihak, khususnya pihak para penerima jasa layanan (klien) maka
pemahaman dan penguasaan tentang landasan bimbingan dan konseling khususnya
oleh para konselor tampaknya tidak bisa ditawar-tawar lagi dan menjadi mutlak
adanya..
Berbagai kesalahkaprahan dan kasus
malpraktek yang terjadi dalam layanan bimbingan dan konseling selama ini,–
seperti adanya anggapan bimbingan dan konseling sebagai “polisi sekolah”, atau
berbagai persepsi lainnya yang keliru tentang layanan bimbingan dan konseling,-
sangat mungkin memiliki keterkaitan erat dengan tingkat pemahaman dan penguasaan
konselor.tentang landasan bimbingan dan konseling. Dengan kata lain,
penyelenggaraan bimbingan dan konseling dilakukan secara asal-asalan, tidak
dibangun di atas landasan yang seharusnya.
Oleh karena itu, dalam upaya memberikan
pemahaman tentang landasan bimbingan dan konseling, khususnya bagi para
konselor, melalui tulisan ini akan dipaparkan tentang beberapa landasan yang
menjadi pijakan dalam setiap gerak langkah bimbingan dan konseling.
B. Landasan Bimbingan dan
Konseling
Membicarakan tentang landasan dalam
bimbingan dan konseling pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan
landasan-landasan yang biasa diterapkan dalam pendidikan, seperti landasan
dalam pengembangan kurikulum, landasan pendidikan non formal atau pun landasan
pendidikan secara umum.
Landasan dalam bimbingan dan konseling
pada hakekatnya merupakan faktor-faktor yang harus diperhatikan dan
dipertimbangkan khususnya oleh konselor selaku pelaksana utama dalam
mengembangkan layanan bimbingan dan konseling. Ibarat sebuah bangunan, untuk
dapat berdiri tegak dan kokoh tentu membutuhkan fundasi yang kuat dan tahan
lama. Apabila bangunan tersebut tidak memiliki fundasi yang kokoh, maka
bangunan itu akan mudah goyah atau bahkan ambruk. Demikian pula, dengan layanan
bimbingan dan konseling, apabila tidak didasari oleh fundasi atau landasan yang
kokoh akan mengakibatkan kehancuran terhadap layanan bimbingan dan konseling
itu sendiri dan yang menjadi taruhannya adalah individu yang dilayaninya
(klien). Secara teoritik, berdasarkan hasil studi dari beberapa sumber, secara
umum terdapat empat aspek pokok yang mendasari pengembangan layanan bimbingan
dan konseling, yaitu landasan filosofis, landasan psikologis, landasan
sosial-budaya, dan landasan ilmu pengetahuan (ilmiah) dan teknologi.
Selanjutnya, di bawah ini akan dideskripsikan dari masing-masing landasan
bimbingan dan konseling tersebut :
1. Landasan Filosofis
Landasan filosofis merupakan landasan yang
dapat memberikan arahan dan pemahaman khususnya bagi konselor dalam
melaksanakan setiap kegiatan bimbingan dan konseling yang lebih bisa
dipertanggungjawabkan secara logis, etis maupun estetis.Landasan filosofis
dalam bimbingan dan konseling terutama berkenaan dengan usaha mencari jawaban
yang hakiki atas pertanyaan filosofis tentang : apakah manusia itu ? Untuk
menemukan jawaban atas pertanyaan filosofis tersebut, tentunya tidak dapat
dilepaskan dari berbagai aliran filsafat yang ada, mulai dari filsafat klasik
sampai dengan filsafat modern dan bahkan filsafat post-modern. Dari berbagai
aliran filsafat yang ada, para penulis Barat .(Victor Frankl, Patterson,
Alblaster & Lukes, Thompson & Rudolph, dalam Prayitno, 2003) telah
mendeskripsikan tentang hakikat manusia sebagai berikut :
- Manusia adalah makhluk rasional yang mampu berfikir dan mempergunakan ilmu untuk meningkatkan perkembangan dirinya.
- Manusia dapat belajar mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya apabila dia berusaha memanfaatkan kemampuan-kemampuan yang ada pada dirinya.
- Manusia berusaha terus-menerus memperkembangkan dan menjadikan dirinya sendiri khususnya melalui pendidikan.
- Manusia dilahirkan dengan potensi untuk menjadi baik dan buruk dan hidup berarti upaya untuk mewujudkan kebaikan dan menghindarkan atau setidak-tidaknya mengontrol keburukan.
- Manusia memiliki dimensi fisik, psikologis dan spiritual yang harus dikaji secara mendalam.
- Manusia akan menjalani tugas-tugas kehidupannya dan kebahagiaan manusia terwujud melalui pemenuhan tugas-tugas kehidupannya sendiri.
- Manusia adalah unik dalam arti manusia itu mengarahkan kehidupannya sendiri.
- Manusia adalah bebas merdeka dalam berbagai keterbatasannya untuk membuat pilihan-pilihan yang menyangkut perikehidupannya sendiri. Kebebasan ini memungkinkan manusia berubah dan menentukan siapa sebenarnya diri manusia itu adan akan menjadi apa manusia itu.
- Manusia pada hakikatnya positif, yang pada setiap saat dan dalam suasana apapun, manusia berada dalam keadaan terbaik untuk menjadi sadar dan berkemampuan untuk melakukan sesuatu.
Dengan memahami hakikat manusia tersebut
maka setiap upaya bimbingan dan konseling diharapkan tidak menyimpang dari
hakikat tentang manusia itu sendiri. Seorang konselor dalam berinteraksi dengan
kliennya harus mampu melihat dan memperlakukan kliennya sebagai sosok utuh
manusia dengan berbagai dimensinya.
2. Landasan Psikologis
Landasan psikologis merupakan landasan
yang dapat memberikan pemahaman bagi konselor tentang perilaku individu yang
menjadi sasaran layanan (klien). Untuk kepentingan bimbingan dan konseling,
beberapa kajian psikologi yang perlu dikuasai oleh konselor adalah tentang :
(a) motif dan motivasi; (b) pembawaan dan lingkungan, (c) perkembangan
individu; (d) belajar; dan (e) kepribadian.
a. Motif dan Motivasi
Motif dan motivasi berkenaan dengan
dorongan yang menggerakkan seseorang berperilaku baik motif primer yaitu motif
yang didasari oleh kebutuhan asli yang dimiliki oleh individu semenjak dia
lahir, seperti : rasa lapar, bernafas dan sejenisnya maupun motif sekunder yang
terbentuk dari hasil belajar, seperti rekreasi, memperoleh pengetahuan atau
keterampilan tertentu dan sejenisnya. Selanjutnya motif-motif tersebut tersebut
diaktifkan dan digerakkan,– baik dari dalam diri individu (motivasi intrinsik)
maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik)–, menjadi bentuk perilaku
instrumental atau aktivitas tertentu yang mengarah pada suatu tujuan.
b. Pembawaan dan Lingkungan
Pembawaan dan lingkungan berkenaan dengan
faktor-faktor yang membentuk dan mempengaruhi perilaku individu. Pembawaan
yaitu segala sesuatu yang dibawa sejak lahir dan merupakan hasil dari keturunan,
yang mencakup aspek psiko-fisik, seperti struktur otot, warna kulit, golongan
darah, bakat, kecerdasan, atau ciri-ciri-kepribadian tertentu. Pembawaan pada
dasarnya bersifat potensial yang perlu dikembangkan dan untuk mengoptimalkan
dan mewujudkannya bergantung pada lingkungan dimana individu itu berada.
Pembawaan dan lingkungan setiap individu akan berbeda-beda. Ada individu yang memiliki pembawaan yang
tinggi dan ada pula yang sedang atau bahkan rendah. Misalnya dalam kecerdasan,
ada yang sangat tinggi (jenius), normal atau bahkan sangat kurang (debil,
embisil atau ideot). Demikian pula dengan lingkungan, ada individu yang
dibesarkan dalam lingkungan yang kondusif dengan sarana dan prasarana yang
memadai, sehingga segenap potensi bawaan yang dimilikinya dapat berkembang
secara optimal. Namun ada pula individu yang hidup dan berada dalam lingkungan
yang kurang kondusif dengan sarana dan prasarana yang serba terbatas sehingga
segenap potensi bawaan yang dimilikinya tidak dapat berkembang dengan baik.dan
menjadi tersia-siakan.
c. Perkembangan Individu
Perkembangan individu berkenaan dengan
proses tumbuh dan berkembangnya individu yang merentang sejak masa konsepsi
(pra natal) hingga akhir hayatnya, diantaranya meliputi aspek fisik dan
psikomotorik, bahasa dan kognitif/kecerdasan, moral dan sosial. Beberapa teori
tentang perkembangan individu yang dapat dijadikan sebagai rujukan, diantaranya
: (1) Teori dari McCandless tentang pentingnya dorongan biologis dan kultural
dalam perkembangan individu; (2) Teori dari Freud tentang dorongan seksual; (3)
Teori dari Erickson tentang perkembangan psiko-sosial; (4) Teori dari Piaget
tentang perkembangan kognitif; (5) teori dari Kohlberg tentang perkembangan
moral; (6) teori dari Zunker tentang perkembangan karier; (7) Teori dari Buhler
tentang perkembangan sosial; dan ( Teori dari Havighurst tentang
tugas-tugas perkembangan individu semenjak masa bayi sampai dengan masa dewasa.
Dalam menjalankan tugas-tugasnya, konselor
harus memahami berbagai aspek perkembangan individu yang dilayaninya sekaligus
dapat melihat arah perkembangan individu itu di masa depan, serta
keterkaitannya dengan faktor pembawaan dan lingkungan.
d. Belajar
Belajar merupakan salah satu konsep yang
amat mendasar dari psikologi. Manusia belajar untuk hidup. Tanpa belajar,
seseorang tidak akan dapat mempertahankan dan mengembangkan dirinya, dan dengan
belajar manusia mampu berbudaya dan mengembangkan harkat kemanusiaannya. Inti
perbuatan belajar adalah upaya untuk menguasai sesuatu yang baru dengan
memanfaatkan yang sudah ada pada diri individu. Penguasaan yang baru itulah
tujuan belajar dan pencapaian sesuatu yang baru itulah tanda-tanda perkembangan,
baik dalam aspek kognitif, afektif maupun psikomotor/keterampilan. Untuk
terjadinya proses belajar diperlukan prasyarat belajar, baik berupa prasyarat
psiko-fisik yang dihasilkan dari kematangan atau pun hasil belajar sebelumnya.
Untuk memahami tentang hal-hal yang
berkaitan dengan belajar terdapat beberapa teori belajar yang bisa dijadikan
rujukan, diantaranya adalah : (1) Teori Belajar Behaviorisme; (2) Teori Belajar
Kognitif atau Teori Pemrosesan Informasi; dan (3) Teori Belajar Gestalt. Dewasa
ini mulai berkembang teori belajar alternatif konstruktivisme.
e. Kepribadian
Hingga saat ini para ahli tampaknya masih
belum menemukan rumusan tentang kepribadian secara bulat dan komprehensif..
Dalam suatu penelitian kepustakaan yang dilakukan oleh Gordon W. Allport
(Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, 2005) menemukan hampir 50 definisi tentang
kepribadian yang berbeda-beda. Berangkat dari studi yang dilakukannya, akhirnya
dia menemukan satu rumusan tentang kepribadian yang dianggap lebih lengkap.
Menurut pendapat dia bahwa kepribadian adalah organisasi dinamis dalam diri
individu sebagai sistem psiko-fisik yang menentukan caranya yang unik dalam
menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Kata kunci dari pengertian
kepribadian adalah penyesuaian diri. Scheneider dalam Syamsu Yusuf (2003)
mengartikan penyesuaian diri sebagai “suatu proses respons individu baik yang
bersifat behavioral maupun mental dalam upaya mengatasi kebutuhan-kebutuhan
dari dalam diri, ketegangan emosional, frustrasi dan konflik, serta memelihara
keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan tersebut dengan tuntutan (norma)
lingkungan.
Sedangkan yang dimaksud dengan unik bahwa
kualitas perilaku itu khas sehingga dapat dibedakan antara individu satu dengan
individu lainnya. Keunikannya itu didukung oleh keadaan struktur
psiko-fisiknya, misalnya konstitusi dan kondisi fisik, tampang, hormon, segi
kognitif dan afektifnya yang saling berhubungan dan berpengaruh, sehingga
menentukan kualitas tindakan atau perilaku individu yang bersangkutan dalam
berinteraksi dengan lingkungannya.
Untuk menjelaskan tentang kepribadian
individu, terdapat beberapa teori kepribadian yang sudah banyak dikenal,
diantaranya : Teori Psikoanalisa dari Sigmund Freud, Teori Analitik dari Carl
Gustav Jung, Teori Sosial Psikologis dari Adler, Fromm, Horney dan Sullivan,
teori Personologi dari Murray, Teori Medan dari Kurt Lewin, Teori Psikologi
Individual dari Allport, Teori Stimulus-Respons dari Throndike, Hull, Watson,
Teori The Self dari Carl Rogers dan sebagainya. Sementara itu, Abin Syamsuddin
(2003) mengemukakan tentang aspek-aspek kepribadian, yang mencakup :
- Karakter; yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika perilaku, konsiten tidaknya dalam memegang pendirian atau pendapat.
- Temperamen; yaitu disposisi reaktif seorang, atau cepat lambatnya mereaksi terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungan.
- Sikap; sambutan terhadap objek yang bersifat positif, negatif atau ambivalen.
- Stabilitas emosi; yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dari lingkungan. Seperti mudah tidaknya tersinggung, sedih, atau putus asa.
- Responsibilitas (tanggung jawab), kesiapan untuk menerima resiko dari tindakan atau perbuatan yang dilakukan. Seperti mau menerima resiko secara wajar, cuci tangan, atau melarikan diri dari resiko yang dihadapi.
- Sosiabilitas; yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan interpersonal. Seperti: sifat pribadi yang terbuka atau tertutup dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain.
Untuk kepentingan layanan bimbingan dan
konseling dan dalam upaya memahami dan mengembangkan perilaku individu yang
dilayani (klien) maka konselor harus dapat memahami dan mengembangkan setiap
motif dan motivasi yang melatarbelakangi perilaku individu yang dilayaninya
(klien). Selain itu, seorang konselor juga harus dapat mengidentifikasi
aspek-aspek potensi bawaan dan menjadikannya sebagai modal untuk memperoleh
kesuksesan dan kebahagian hidup kliennya. Begitu pula, konselor sedapat mungkin
mampu menyediakan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan segenap potensi
bawaan kliennya. Terkait dengan upaya pengembangan belajar klien, konselor
dituntut untuk memahami tentang aspek-aspek dalam belajar serta berbagai teori
belajar yang mendasarinya. Berkenaan dengan upaya pengembangan kepribadian
klien, konselor kiranya perlu memahami tentang karakteristik dan keunikan
kepribadian kliennya. Oleh karena itu, agar konselor benar-benar dapat
menguasai landasan psikologis, setidaknya terdapat empat bidang psikologi yang
harus dikuasai dengan baik, yaitu bidang psikologi umum, psikologi
perkembangan, psikologi belajar atau psikologi pendidikan dan psikologi
kepribadian.
3. Landasan Sosial-Budaya
Landasan sosial-budaya merupakan landasan
yang dapat memberikan pemahaman kepada konselor tentang dimensi kesosialan dan
dimensi kebudayaan sebagai faktor yang mempengaruhi terhadap perilaku individu.
Seorang individu pada dasarnya merupakan produk lingkungan sosial-budaya dimana
ia hidup. Sejak lahirnya, ia sudah dididik dan dibelajarkan untuk mengembangkan
pola-pola perilaku sejalan dengan tuntutan sosial-budaya yang ada di
sekitarnya. Kegagalan dalam memenuhi tuntutan sosial-budaya dapat mengakibatkan
tersingkir dari lingkungannya. Lingkungan sosial-budaya yang melatarbelakangi
dan melingkupi individu berbeda-beda sehingga menyebabkan perbedaan pula dalam
proses pembentukan perilaku dan kepribadian individu yang bersangkutan. Apabila
perbedaan dalam sosial-budaya ini tidak “dijembatani”, maka tidak mustahil akan
timbul konflik internal maupun eksternal, yang pada akhirnya dapat menghambat
terhadap proses perkembangan pribadi dan perilaku individu yang besangkutan
dalam kehidupan pribadi maupun sosialnya.
Dalam proses konseling akan terjadi
komunikasi interpersonal antara konselor dengan klien, yang mungkin antara
konselor dan klien memiliki latar sosial dan budaya yang berbeda. Pederson
dalam Prayitno (2003) mengemukakan lima macam sumber hambatan yang mungkin
timbul dalam komunikasi sosial dan penyesuain diri antar budaya, yaitu : (a)
perbedaan bahasa; (b) komunikasi non-verbal; (c) stereotipe; (d) kecenderungan
menilai; dan (e) kecemasan. Kurangnya penguasaan bahasa yang digunakan oleh
pihak-pihak yang berkomunikasi dapat menimbulkan kesalahpahaman. Bahasa
non-verbal pun sering kali memiliki makna yang berbeda-beda, dan bahkan mungkin
bertolak belakang. Stereotipe cenderung menyamaratakan sifat-sifat individu
atau golongan tertentu berdasarkan prasangka subyektif (social prejudice) yang
biasanya tidak tepat. Penilaian terhadap orang lain disamping dapat
menghasilkan penilaian positif tetapi tidak sedikit pula menimbulkan
reaksi-reaksi negatif. Kecemasan muncul ketika seorang individu memasuki
lingkungan budaya lain yang unsur-unsurnya dirasakan asing. Kecemasan yanmg
berlebihan dalam kaitannya dengan suasana antar budaya dapat menuju ke culture
shock, yang menyebabkan dia tidak tahu sama sekali apa, dimana dan kapan harus
berbuat sesuatu. Agar komuniskasi sosial antara konselor dengan klien dapat
terjalin harmonis, maka kelima hambatan komunikasi tersebut perlu diantisipasi.
Terkait dengan layanan bimbingan dan
konseling di Indonesia,
Moh. Surya (2006) mengetengahkan tentang tren bimbingan dan konseling
multikultural, bahwa bimbingan dan konseling dengan pendekatan multikultural
sangat tepat untuk lingkungan berbudaya plural seperti Indonesia.
Bimbingan dan konseling dilaksanakan dengan landasan semangat bhinneka tunggal
ika, yaitu kesamaan di atas keragaman. Layanan bimbingan dan konseling
hendaknya lebih berpangkal pada nilai-nilai budaya bangsa yang secara nyata
mampu mewujudkan kehidupan yang harmoni dalam kondisi pluralistik.
4. Landasan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi (IPTEK)
Layanan bimbingan dan konseling merupakan
kegiatan profesional yang memiliki dasar-dasar keilmuan, baik yang menyangkut
teori maupun prakteknya. Pengetahuan tentang bimbingan dan konseling disusun
secara logis dan sistematis dengan menggunakan berbagai metode, seperti:
pengamatan, wawancara, analisis dokumen, prosedur tes, inventory atau analisis
laboratoris yang dituangkan dalam bentuk laporan penelitian, buku teks dan
tulisan-tulisan ilmiah lainnya.
Sejak awal dicetuskannya gerakan
bimbingan, layanan bimbingan dan konseling telah menekankan pentingnya logika,
pemikiran, pertimbangan dan pengolahan lingkungan secara ilmiah (McDaniel dalam
Prayitno, 2003).
Bimbingan dan konseling merupakan ilmu
yang bersifat “multireferensial”. Beberapa disiplin ilmu lain telah memberikan
sumbangan bagi perkembangan teori dan praktek bimbingan dan konseling, seperti
: psikologi, ilmu pendidikan, statistik, evaluasi, biologi, filsafat,
sosiologi, antroplogi, ilmu ekonomi, manajemen, ilmu hukum dan agama. Beberapa
konsep dari disiplin ilmu tersebut telah diadopsi untuk kepentingan
pengembangan bimbingan dan konseling, baik dalam pengembangan teori maupun
prakteknya. Pengembangan teori dan pendekatan bimbingan dan konseling selain
dihasilkan melalui pemikiran kritis para ahli, juga dihasilkan melalui berbagai
bentuk penelitian.
Sejalan dengan perkembangan teknologi,
khususnya teknologi informasi berbasis komputer, sejak tahun 1980-an peranan
komputer telah banyak dikembangkan dalam bimbingan dan konseling. Menurut
Gausel (Prayitno, 2003) bidang yang telah banyak memanfaatkan jasa komputer
ialah bimbingan karier dan bimbingan dan konseling pendidikan. Moh. Surya
(2006) mengemukakan bahwa sejalan dengan perkembangan teknologi komputer
interaksi antara konselor dengan individu yang dilayaninya (klien) tidak hanya
dilakukan melalui hubungan tatap muka tetapi dapat juga dilakukan melalui
hubungan secara virtual (maya) melalui internet, dalam bentuk “cyber
counseling”. Dikemukakan pula, bahwa perkembangan dalam bidang teknologi
komunikasi menuntut kesiapan dan adaptasi konselor dalam penguasaan teknologi
dalam melaksanakan bimbingan dan konseling.
Dengan adanya landasan ilmiah dan
teknologi ini, maka peran konselor didalamnya mencakup pula sebagai ilmuwan
sebagaimana dikemukakan oleh McDaniel (Prayitno, 2003) bahwa konselor adalah
seorang ilmuwan. Sebagai ilmuwan, konselor harus mampu mengembangkan
pengetahuan dan teori tentang bimbingan dan konseling, baik berdasarkan hasil
pemikiran kritisnya maupun melalui berbagai bentuk kegiatan penelitian.
Berkenaan dengan layanan bimbingan dan
konseling dalam konteks Indonesia,
Prayitno (2003) memperluas landasan bimbingan dan konseling dengan menambahkan
landasan paedagogis, landasan religius dan landasan yuridis-formal.
Landasan paedagogis dalam layanan
bimbingan dan konseling ditinjau dari tiga segi, yaitu: (a) pendidikan sebagai
upaya pengembangan individu dan bimbingan merupakan salah satu bentuk kegiatan
pendidikan; (b) pendidikan sebagai inti proses bimbingan dan konseling; dan (c)
pendidikan lebih lanjut sebagai inti tujuan layanan bimbingan dan konseling.
Landasan religius dalam layanan bimbingan
dan konseling ditekankan pada tiga hal pokok, yaitu : (a) manusia sebagai
makhluk Tuhan; (b) sikap yang mendorong perkembangan dari perikehidupan manusia
berjalan ke arah dan sesuai dengan kaidah-kaidah agama; dan (c) upaya yang
memungkinkan berkembang dan dimanfaatkannya secara optimal suasana dan perangkat
budaya (termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi) serta kemasyarakatan yang
sesuai dengan dan meneguhkan kehidupan beragama untuk membantu perkembangan dan
pemecahan masalah. Ditegaskan pula oleh Moh. Surya (2006) bahwa salah satu tren
bimbingan dan konseling saat ini adalah bimbingan dan konseling spiritual.
Berangkat dari kehidupan modern dengan kehebatan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta kemajuan ekonomi yang dialami bangsa-bangsa Barat yang ternyata telah
menimbulkan berbagai suasana kehidupan yang tidak memberikan kebahagiaan
batiniah dan berkembangnya rasa kehampaan. Dewasa ini sedang berkembang
kecenderungan untuk menata kehidupan yang berlandaskan nilai-nilai spiritual.
Kondisi ini telah mendorong kecenderungan berkembangnya bimbingan dan konseling
yang berlandaskan spiritual atau religi.
Landasan yuridis-formal berkenaan dengan
berbagai peraturan dan perundangan yang berlaku di Indonesia tentang
penyelenggaraan bimbingan dan konseling, yang bersumber dari Undang-Undang
Dasar, Undang – Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri serta berbagai
aturan dan pedoman lainnya yang mengatur tentang penyelenggaraan bimbingan dan
konseling di Indonesia.
C. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :
Sebagai sebuah layanan profesional,
bimbingan dan konseling harus dibangun di atas landasan yang kokoh.
Landasan bimbingan dan konseling yang
kokoh merupakan tumpuan untuk terciptanya layanan bimbingan dan konseling yang
dapat memberikan manfaat bagi kehidupan.
Landasan bimbingan dan konseling meliputi
: (a) landasan filosofis, (b) landasan psikologis; (c) landasan sosial-budaya;
dan (d) landasan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Landasan filosofis terutama berkenaan
dengan upaya memahami hakikat manusia, dikaitkan dengan proses layanan
bimbingan dan konseling.
Landasan psikologis berhubungan dengan
pemahaman tentang perilaku individu yang menjadi sasaran layanan bimbingan dan
konseling, meliputi : (a) motif dan motivasi; (b) pembawaan dan lingkungan; (c)
perkembangan individu; (d) belajar; dan (d) kepribadian.
Landasan sosial budaya berkenaan dengan
aspek sosial-budaya sebagai faktor yang mempengaruhi terhadap perilaku
individu, yang perlu dipertimbangakan dalam layanan bimbingan dan konseling,
termasuk di dalamnya mempertimbangkan tentang keragaman budaya.
Landasan ilmu pengetahuan dan teknologi
berkaitan dengan layanan bimbingan dan konseling sebagai kegiatan ilimiah, yang
harus senantiasa mengikuti laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang demikian pesat.
Layanan bimbingan dan konseling dalam
konteks Indonesia,
di samping berlandaskan pada keempat aspek tersebut di atas, kiranya perlu
memperhatikan pula landasan pedagodis, landasan religius dan landasan
yuridis-formal.
Sumber Bacaan :
Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi
Pendidikan. Bandung
: PT Rosda Karya Remaja.
Calvin S. Hall & Gardner Lidzey
(editor A. Supratiknya). 2005. Teori-Teori Psiko Dinamik (Klinis) : Jakarta : Kanisius
Depdiknas, 2004. Dasar Standarisasi
Profesi Konseling. Jakarta
: Bagian Proyek Peningkatan Tenaga Akdemik Dirjen Dikti
Gendler, Margaret E..1992. Learning &
Instruction; Theory Into Practice. New
York : McMillan Publishing.
Gerlald Corey. 2003. Teori dan Praktek
Konseling dan Psikoterapi (Terj. E. Koswara), Bandung : Refika
Gerungan 1964. Psikologi Sosial. Bandung : PT ErescoH.M.
Arifin. 2003. Teori-Teori Konseling Agama dan Umum. Jakarta. PT Golden Terayon Press.
Hurlock, Elizabeth B. 1980. Developmental
Phsychology. New Yuork : McGraw-Hill Book Company
Moh. Surya. 1997. Psikologi Pembelajaran
dan Pengajaran. Bandung
PPB - IKIP Bandung
.———-2006. Profesionalisme Konselor dalam
Pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (makalah). Majalengka : Sanggar BK
SMP, SMA dan SMK
Muhibbin Syah. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta : PT Raja
Grafindo.
Nana Syaodih Sukmadinata. 2005. Landasan
Psikologi Proses Pendidikan. Bandung
: P.T. Remaja Rosdakarya.
Prayitno, dkk. 2004. Pedoman Khusus
Bimbingan dan Konseling, Jakarta
: Depdiknas
.———-, dkk. 2004. Panduan Kegiatan
Pengawasan Bimbingan dan Konseling, Jakarta
: Rineka Cipta
.——–2003. Wawasan dan Landasan BK (Buku
II). Depdiknas : Jakarta
Sarlito Wirawan.2005. Teori-Teori
Psikologi Sosial. Jakarta
: Raja Grafindo
Sofyan S. Willis. 2004.Konseling
Individual; Teori dan Praktek. Bandung
: Alfabeta
Sumadi Suryabrata. 1984. Psikologi
Kepribadian. Jakarta
: Rajawali.
Syamsu Yusuf LN. 2003. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja.. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.
Tujuan Bimbingan dan Konseling
Diterbitkan Maret 14, 2008
Tujuan pelayanan bimbingan ialah agar konseli
dapat: (1) merencanakan kegiatan penyelesaian studi, perkembangan karir serta
kehidupan-nya di masa yang akan datang; (2) mengembangkan seluruh potensi dan
kekuatan yang dimilikinya seoptimal mungkin; (3) menyesuaikan diri dengan
lingkungan pendidikan, lingkungan masyarakat serta lingkungan kerjanya; (4)
mengatasi hambatan dan kesulitan yang dihadapi dalam studi, penyesuaian dengan
lingkungan pendidikan, masyarakat, maupun lingkungan kerja.
Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, mereka
harus mendapatkan kesempatan untuk: (1) mengenal dan memahami potensi,
kekuatan, dan tugas-tugas perkem-bangannya, (2) mengenal dan memahami potensi
atau peluang yang ada di lingkungannya, (3) mengenal dan menentukan tujuan dan
rencana hidupnya serta rencana pencapaian tujuan tersebut, (4) memahami dan
mengatasi kesulitan-kesulitan sendiri (5) menggunakan kemampuannya untuk
kepentingan dirinya, kepentingan lembaga tempat bekerja dan masyarakat, (6)
menyesuaikan diri dengan keadaan dan tuntutan dari lingkungannya; dan (7)
mengembangkan segala potensi dan kekuatan yang dimilikinya secara optimal.
Secara khusus bimbingan dan konseling
bertujuan untuk membantu konseli agar dapat mencapai tugas-tugas
perkembangannya yang meliputi aspek pribadi-sosial, belajar (akademik), dan
karir.
1. Tujuan bimbingan dan konseling yang
terkait dengan aspek pribadi-sosial konseli adalah:
- Memiliki komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, pergaulan dengan teman sebaya, Sekolah/Madrasah, tempat kerja, maupun masyarakat pada umumnya.
- Memiliki sikap toleransi terhadap umat beragama lain, dengan saling menghormati dan memelihara hak dan kewajibannya masing-masing.
- Memiliki pemahaman tentang irama kehidupan yang bersifat fluktuatif antara yang menyenangkan (anugrah) dan yang tidak menyenangkan (musibah), serta dan mampu meresponnya secara positif sesuai dengan ajaran agama yang dianut.
- Memiliki pemahaman dan penerimaan diri secara objektif dan konstruktif, baik yang terkait dengan keunggulan maupun kelemahan; baik fisik maupun psikis.
- Memiliki sikap positif atau respek terhadap diri sendiri dan orang lain.
- Memiliki kemampuan untuk melakukan pilihan secara sehat
- Bersikap respek terhadap orang lain, menghormati atau menghargai orang lain, tidak melecehkan martabat atau harga dirinya. Memiliki rasa tanggung jawab, yang diwujudkan dalam bentuk komitmen terhadap tugas atau kewajibannya.
- Memiliki kemampuan berinteraksi sosial (human relationship), yang diwujudkan dalam bentuk hubungan persahabatan, persaudaraan, atau silaturahim dengan sesama manusia.
- Memiliki kemampuan dalam menyelesaikan konflik (masalah) baik bersifat internal (dalam diri sendiri) maupun dengan orang lain.
- Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan secara efektif.
2. Tujuan bimbingan dan konseling yang
terkait dengan aspek akademik (belajar) adalah :
- Memiliki kesadaran tentang potensi diri dalam aspek belajar, dan memahami berbagai hambatan yang mungkin muncul dalam proses belajar yang dialaminya.
- Memiliki sikap dan kebiasaan belajar yang positif, seperti kebiasaan membaca buku, disiplin dalam belajar, mempunyai perhatian terhadap semua pelajaran, dan aktif mengikuti semua kegiatan belajar yang diprogramkan.
- Memiliki motif yang tinggi untuk belajar sepanjang hayat.
- Memiliki keterampilan atau teknik belajar yang efektif, seperti keterampilan membaca buku, mengggunakan kamus, mencatat pelajaran, dan mempersiapkan diri menghadapi ujian.
- Memiliki keterampilan untuk menetapkan tujuan dan perencanaan pendidikan, seperti membuat jadwal belajar, mengerjakan tugas-tugas, memantapkan diri dalam memperdalam pelajaran tertentu, dan berusaha memperoleh informasi tentang berbagai hal dalam rangka mengembangkan wawasan yang lebih luas.
- Memiliki kesiapan mental dan kemampuan untuk menghadapi ujian.
3. Tujuan bimbingan dan konseling yang
terkait dengan aspek karir adalah :
- Memiliki pemahaman diri (kemampuan, minat dan kepribadian) yang terkait dengan pekerjaan.
- Memiliki pengetahuan mengenai dunia kerja dan informasi karir yang menunjang kematangan kompetensi karir.
- Memiliki sikap positif terhadap dunia kerja. Dalam arti mau bekerja dalam bidang pekerjaan apapun, tanpa merasa rendah diri, asal bermakna bagi dirinya, dan sesuai dengan norma agama.
- Memahami relevansi kompetensi belajar (kemampuan menguasai pelajaran) dengan persyaratan keahlian atau keterampilan bidang pekerjaan yang menjadi cita-cita karirnya masa depan.
- Memiliki kemampuan untuk membentuk identitas karir, dengan cara mengenali ciri-ciri pekerjaan, kemampuan (persyaratan) yang dituntut, lingkungan sosiopsikologis pekerjaan, prospek kerja, dan kesejahteraan kerja.
- Memiliki kemampuan merencanakan masa depan, yaitu merancang kehidupan secara rasional untuk memperoleh peran-peran yang sesuai dengan minat, kemampuan, dan kondisi kehidupan sosial ekonomi.
- Dapat membentuk pola-pola karir, yaitu kecenderungan arah karir. Apabila seorang konseli bercita-cita menjadi seorang guru, maka dia senantiasa harus mengarahkan dirinya kepada kegiatan-kegiatan yang relevan dengan karir keguruan tersebut.
- Mengenal keterampilan, kemampuan dan minat. Keberhasilan atau kenyamanan dalam suatu karir amat dipengaruhi oleh kemampuan dan minat yang dimiliki. Oleh karena itu, maka setiap orang perlu memahami kemampuan dan minatnya, dalam bidang pekerjaan apa dia mampu, dan apakah dia berminat terhadap pekerjaan tersebut.
- Memiliki kemampuan atau kematangan untuk mengambil keputusan karir.
DAFTAR
RUJUKAN
AACE. (2003). Competencies in Assessment and
Evaluation for School Counselor. http://aace.ncat.edu
Asosiasi Bimbingan
dan Konseling Indonesia.
(2007). Penataan Pendidikan
Profesional Konselor. Naskah Akademik ABKIN (dalam proses
finalisasi).
Asosiasi Bimbingan
dan Konseling Indonesia.
(2005). Standar Kompetensi
Konselor Indonesia.
Bandung:
ABKIN
Bandura, A. (Ed.).
(1995). Self-Efficacy in
Changing Soceties. Cambridge,
UK: Cambridge University Press.
BSNP dan
PUSBANGKURANDIK, Balitbang Diknas. (2006). Panduan
Pengembangan Diri: Pedoman untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Draft.
Jakarta: BSNP
dan PUSBANGKURANDIK, Depsiknas.
Cobia, Debra C. &
Henderson, Donna A. (2003). Handbook
of School Counseling.
New Jersey,
Merrill Prentice Hall
Corey, G. (2001). The Art of Integrative Counseling.
Belomont, CA:
Brooks/Cole.
Direktorat Pembinaan
Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi. (2003). Dasar Standardisasi Profesionalisasi
Konselor. Jakarta:
Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kepen-didikan dan Ketenagaan Pendidikan
Tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.
Engels, D.W dan J.D.
Dameron, (Eds). (2005). The
Professional Counselor Competencies: Performance Guidelines and Assessment.
Alexandria, VA: AACD.
Browers, Judy L.
& Hatch, Patricia A. (2002). The
National Model for School Counseling Programs. ASCA (American School Counselor Association).
Comm, J.Nancy.
(1992). Adolescence.
California :
Myfield Publishing Company.
Depdiknas. (2003). Pelayanan Bimbingan dan Konseling.
Jakarta: Puskur
Balitbang.
Depdiknas, (2005), Permen RI
nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,
Depdiknas, 2006),
Permendiknas no 22 tahun 2006 tentang Standar Isi,
Depdiknas, (2006),
Permendiknas no 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan SI dan SKL,
Ellis, T.I. (1990). The Missouri Comprehensive Guidance Model.
Columbia: The
Educational Resources
Information Center.
Gibson
R.L. & Mitchel M.H. (1986). Introduction
to Counseling and Guidance. New
York : MacMillan Publishing Company.
Havighurts, R.J.
(1953). Development Taks and
Education. New York:
David Mckay.
Herr
Edwin L. (1979). Guidance
and Counseling in the Schools. Houston : Shell Com.
Hurlock,
Alizabeth B. (1956). Child
Development. New York
: McGraw Hill Book Company Inc.
Ketetapan
Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia Nomor
01/Peng/PB-ABKIN/2007 bahwa Tenaga Profesional yang melaksanakan pelayanan
professional Bimbingan dan Konseling disebut Konselor dan minimal
berkualifikasi S1 Bimbingan dan Konseling.
Menteri Pendidikan
Nasional. 2006. Peraturan
Menteri Nomor 22 tentang Standar Isi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Menteri Pendidikan
Nasional. 2006. Peraturan
Menteri Nomor 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional.
Michigan School Counselor
Association. (2005). The Michigan Comprehensive
Guidance and Counseling Program.
Muro, James J. &
Kottman, Terry. (1995). Guidance
and Counseling in The Elementary and Middle Schools. Madison : Brown &
Benchmark.
Permendiknas Nomor 16
Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan.
Peraturan Pemerintah
Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Pikunas, Lustin.
(1976). Human Development.
Tokyo :
McGraw-Hill Kogakusha,Ltd.
Pusat Kurikulum,
Balitbang Depdiknas. (2003). Panduan
Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Balitbang Depdiknas.
Sunaryo Kartadinata, dkk.
(2003). Pengembangan
Perangkat Lunak Analisis Tugas Perkembangan Peserta didik dalam Upaya
Meningkatkan Mutu Pelayanan dan Manajemen Bimbingan dan Konseling di
Sekolah/Madrasahdrasah (Laporan Riset Unggulan Terpadu VIII). Jakarta : Kementrian
Riset dan Teknologi RI, LIPI.
Syamsu Yusuf L.N.
(2005). Program Bimbingan
dan Konseling di Sekolah/Madrasah. Bandung : CV Bani Qureys.
——–. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja.
Bandung :
Remaja Rosda Karya.
——–.dan Juntika N.
(2005). Landasan Bimbingan dan
Konseling. Bandung
: PT. Remaja Rosda Karya.
Stoner, James A.
(1987). Management.
London :
Prentice-Hall International Inc.
Undang-undang No 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang Nomor
14 tahun 2006 tentang Guru dan Dosen
Wagner William G.
(1996). “Optimal Development
in Adolescence : What Is It and How Can It be Encouraged”? The
Counseling Psychologist. Vol 24 No. 3 July’96.
Woolfolk, Anita E.
1995. Educational
Psychology. Boston
: Allyn & Bacon.
*)) Materi di
atas merupakan salah satu bagian dari makalah yang disajikan oleh Dr. Uman
Suherman, M.Pd. pada acara seminar sehari Bimbingan dan Konseling yang
diselenggarakan oleh Universitas Kuningan bekerja sama dengan ABKIN Cabang
Kabupaten Kuningan pada tanggal 11 Maret 2008 bertempat di Aula Student Center
UNIKU
Fungsi, Prinsip dan Asas Bimbingan dan Konseling
Diterbitkan Maret 14, 2008
Fungsi Bimbingan dan Konseling adalah :
- Fungsi Pemahaman, yaitu fungsi bimbingan dan konseling membantu konseli agar memiliki pemahaman terhadap dirinya (potensinya) dan lingkungannya (pendidikan, pekerjaan, dan norma agama). Berdasarkan pemahaman ini, konseli diharapkan mampu mengembangkan potensi dirinya secara optimal, dan menyesuaikan dirinya dengan lingkungan secara dinamis dan konstruktif.
- Fungsi Preventif, yaitu fungsi yang berkaitan dengan upaya konselor untuk senantiasa mengantisipasi berbagai masalah yang mungkin terjadi dan berupaya untuk mencegahnya, supaya tidak dialami oleh konseli. Melalui fungsi ini, konselor memberikan bimbingan kepada konseli tentang cara menghindarkan diri dari perbuatan atau kegiatan yang membahayakan dirinya. Adapun teknik yang dapat digunakan adalah pelayanan orientasi, informasi, dan bimbingan kelompok. Beberapa masalah yang perlu diinformasikan kepada para konseli dalam rangka mencegah terjadinya tingkah laku yang tidak diharapkan, diantaranya : bahayanya minuman keras, merokok, penyalahgunaan obat-obatan, drop out, dan pergaulan bebas (free sex).
- Fungsi Pengembangan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang sifatnya lebih proaktif dari fungsi-fungsi lainnya. Konselor senantiasa berupaya untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, yang memfasilitasi perkembangan konseli. Konselor dan personel Sekolah/Madrasah lainnya secara sinergi sebagai teamwork berkolaborasi atau bekerjasama merencanakan dan melaksanakan program bimbingan secara sistematis dan berkesinambungan dalam upaya membantu konseli mencapai tugas-tugas perkembangannya. Teknik bimbingan yang dapat digunakan disini adalah pelayanan informasi, tutorial, diskusi kelompok atau curah pendapat (brain storming), home room, dan karyawisata.
- Fungsi Penyembuhan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang bersifat kuratif. Fungsi ini berkaitan erat dengan upaya pemberian bantuan kepada konseli yang telah mengalami masalah, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karir. Teknik yang dapat digunakan adalah konseling, dan remedial teaching.
- Fungsi Penyaluran, yaitu fungsi bimbingan dan konseling dalam membantu konseli memilih kegiatan ekstrakurikuler, jurusan atau program studi, dan memantapkan penguasaan karir atau jabatan yang sesuai dengan minat, bakat, keahlian dan ciri-ciri kepribadian lainnya. Dalam melaksanakan fungsi ini, konselor perlu bekerja sama dengan pendidik lainnya di dalam maupun di luar lembaga pendidikan.
- Fungsi Adaptasi, yaitu fungsi membantu para pelaksana pendidikan, kepala Sekolah/Madrasah dan staf, konselor, dan guru untuk menyesuaikan program pendidikan terhadap latar belakang pendidikan, minat, kemampuan, dan kebutuhan konseli. Dengan menggunakan informasi yang memadai mengenai konseli, pembimbing/konselor dapat membantu para guru dalam memperlakukan konseli secara tepat, baik dalam memilih dan menyusun materi Sekolah/Madrasah, memilih metode dan proses pembelajaran, maupun menyusun bahan pelajaran sesuai dengan kemampuan dan kecepatan konseli.
- Fungsi Penyesuaian, yaitu fungsi bimbingan dan konseling dalam membantu konseli agar dapat menyesuaikan diri dengan diri dan lingkungannya secara dinamis dan konstruktif.
- Fungsi Perbaikan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling untuk membantu konseli sehingga dapat memperbaiki kekeliruan dalam berfikir, berperasaan dan bertindak (berkehendak). Konselor melakukan intervensi (memberikan perlakuan) terhadap konseli supaya memiliki pola berfikir yang sehat, rasional dan memiliki perasaan yang tepat sehingga dapat mengantarkan mereka kepada tindakan atau kehendak yang produktif dan normatif.
- Fungsi Fasilitasi, memberikan kemudahan kepada konseli dalam mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal, serasi, selaras dan seimbang seluruh aspek dalam diri konseli.
- Fungsi Pemeliharaan, yaitu fungsi bimbingan dan konseling untuk membantu konseli supaya dapat menjaga diri dan mempertahankan situasi kondusif yang telah tercipta dalam dirinya. Fungsi ini memfasilitasi konseli agar terhindar dari kondisi-kondisi yang akan menyebabkan penurunan produktivitas diri. Pelaksanaan fungsi ini diwujudkan melalui program-program yang menarik, rekreatif dan fakultatif (pilihan) sesuai dengan minat konseli
Terdapat beberapa prinsip dasar yang
dipandang sebagai fundasi atau landasan bagi pelayanan bimbingan.
Prinsip-prinsip ini berasal dari konsep-konsep filosofis tentang kemanusiaan
yang menjadi dasar bagi pemberian pelayanan bantuan atau bimbingan, baik di
Sekolah/Madrasah maupun di luar Sekolah/Madrasah. Prinsip-prinsip itu adalah:
- Bimbingan dan konseling diperuntukkan bagi semua konseli. Prinsip ini berarti bahwa bimbingan diberikan kepada semua konseli atau konseli, baik yang tidak bermasalah maupun yang bermasalah; baik pria maupun wanita; baik anak-anak, remaja, maupun dewasa. Dalam hal ini pendekatan yang digunakan dalam bimbingan lebih bersifat preventif dan pengembangan dari pada penyembuhan (kuratif); dan lebih diutamakan teknik kelompok dari pada perseorangan (individual).
- Bimbingan dan konseling sebagai proses individuasi. Setiap konseli bersifat unik (berbeda satu sama lainnya), dan melalui bimbingan konseli dibantu untuk memaksimalkan perkembangan keunikannya tersebut. Prinsip ini juga berarti bahwa yang menjadi fokus sasaran bantuan adalah konseli, meskipun pelayanan bimbingannya menggunakan teknik kelompok.
- Bimbingan menekankan hal yang positif. Dalam kenyataan masih ada konseli yang memiliki persepsi yang negatif terhadap bimbingan, karena bimbingan dipandang sebagai satu cara yang menekan aspirasi. Sangat berbeda dengan pandangan tersebut, bimbingan sebenarnya merupakan proses bantuan yang menekankan kekuatan dan kesuksesan, karena bimbingan merupakan cara untuk membangun pandangan yang positif terhadap diri sendiri, memberikan dorongan, dan peluang untuk berkembang.
- Bimbingan dan konseling Merupakan Usaha Bersama. Bimbingan bukan hanya tugas atau tanggung jawab konselor, tetapi juga tugas guru-guru dan kepala Sekolah/Madrasah sesuai dengan tugas dan peran masing-masing. Mereka bekerja sebagai teamwork.
- Pengambilan Keputusan Merupakan Hal yang Esensial dalam Bimbingan dan konseling. Bimbingan diarahkan untuk membantu konseli agar dapat melakukan pilihan dan mengambil keputusan. Bimbingan mempunyai peranan untuk memberikan informasi dan nasihat kepada konseli, yang itu semua sangat penting baginya dalam mengambil keputusan. Kehidupan konseli diarahkan oleh tujuannya, dan bimbingan memfasilitasi konseli untuk memper-timbangkan, menyesuaikan diri, dan menyempurnakan tujuan melalui pengambilan keputusan yang tepat. Kemampuan untuk membuat pilihan secara tepat bukan kemampuan bawaan, tetapi kemampuan yang harus dikembangkan. Tujuan utama bimbingan adalah mengembangkan kemampuan konseli untuk memecahkan masalahnya dan mengambil keputusan.
- Bimbingan dan konseling Berlangsung dalam Berbagai Setting (Adegan) Kehidupan. Pemberian pelayanan bimbingan tidak hanya berlangsung di Sekolah/Madrasah, tetapi juga di lingkungan keluarga, perusahaan/industri, lembaga-lembaga pemerintah/swasta, dan masyarakat pada umumnya. Bidang pelayanan bimbingan pun bersifat multi aspek, yaitu meliputi aspek pribadi, sosial, pendidikan, dan pekerjaan.
Keterlaksanaan dan keberhasilan pelayanan
bimbingan dan konseling sangat ditentukan oleh diwujudkannya asas-asas berikut.
- Asas Kerahasiaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menuntut dirahasiakanya segenap data dan keterangan tentang konseli (konseli) yang menjadi sasaran pelayanan, yaitu data atau keterangan yang tidak boleh dan tidak layak diketahui oleh orang lain. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban penuh memelihara dan menjaga semua data dan keterangan itu sehingga kerahasiaanya benar-benar terjamin.
- Asas kesukarelaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki adanya kesukaan dan kerelaan konseli (konseli) mengikuti/menjalani pelayanan/kegiatan yang diperlu-kan baginya. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban membina dan mengembangkan kesukarelaan tersebut.
- Asas keterbukaan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar konseli (konseli) yang menjadi sasaran pelayanan/kegiatan bersifat terbuka dan tidak berpura-pura, baik di dalam memberikan keterangan tentang dirinya sendiri maupun dalam menerima berbagai informasi dan materi dari luar yang berguna bagi pengembangan dirinya. Dalam hal ini guru pembimbing berkewajiban mengembangkan keterbukaan konseli (konseli). Keterbukaan ini amat terkait pada terselenggaranya asas kerahasiaan dan adanya kesukarelaan pada diri konseli yang menjadi sasaran pelayanan/kegiatan. Agar konseli dapat terbuka, guru pembimbing terlebih dahulu harus bersikap terbuka dan tidak berpura-pura.
- Asas kegiatan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar konseli (konseli) yang menjadi sasaran pelayanan berpartisipasi secara aktif di dalam penyelenggaraan pelayanan/kegiatan bimbingan. Dalam hal ini guru pembimbing perlu mendorong konseli untuk aktif dalam setiap pelayanan/kegiatan bimbingan dan konseling yang diperuntukan baginya.
- Asas kemandirian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menunjuk pada tujuan umum bimbingan dan konseling, yakni: konseli (konseli) sebagai sasaran pelayanan bimbingan dan konseling diharapkan menjadi konseli-konseli yang mandiri dengan ciri-ciri mengenal dan menerima diri sendiri dan lingkungannya, mampu mengambil keputusan, mengarahkan serta mewujudkan diri sendiri. Guru pembimbing hendaknya mampu mengarahkan segenap pelayanan bimbingan dan konseling yang diselenggarakannya bagi berkembangnya kemandirian konseli.
- Asas Kekinian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar objek sasaran pelayanan bimbingan dan konseling ialah permasalahan konseli (konseli) dalam kondisinya sekarang. Pelayanan yang berkenaan dengan “masa depan atau kondisi masa lampau pun” dilihat dampak dan/atau kaitannya dengan kondisi yang ada dan apa yang diperbuat sekarang.
- Asas Kedinamisan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar isi pelayanan terhadap sasaran pelayanan (konseli) yang sama kehendaknya selalu bergerak maju, tidak monoton, dan terus berkembang serta berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan tahap perkembangannya dari waktu ke waktu.
- Asas Keterpaduan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar berbagai pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling, baik yang dilakukan oleh guru pembimbing maupun pihak lain, saling menunjang, harmonis, dan terpadu. Untuk ini kerja sama antara guru pembimbing dan pihak-pihak yang berperan dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling perlu terus dikembangkan. Koordinasi segenap pelayanan/kegiatan bimbingan dan konseling itu harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
- Asas Keharmonisan, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar segenap pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling didasarkan pada dan tidak boleh bertentangan dengan nilai dan norma yang ada, yaitu nilai dan norma agama, hukum dan peraturan, adat istiadat, ilmu pengetahuan, dan kebiasaan yang berlaku. Bukanlah pelayanan atau kegiatan bimbingan dan konseling yang dapat dipertanggungjawabkan apabila isi dan pelaksanaannya tidak berdasarkan nilai dan norma yang dimaksudkan itu. Lebih jauh, pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling justru harus dapat meningkatkan kemampuan konseli (konseli) memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai dan norma tersebut.
- Asas Keahlian, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling diselenggarakan atas dasar kaidah-kaidah profesional. Dalam hal ini, para pelaksana pelayanan dan kegiatan bimbingan dan konseling hendaklah tenaga yang benar-benar ahli dalam bidang bimbingan dan konseling. Keprofesionalan guru pembimbing harus terwujud baik dalam penyelenggaraan jenis-jenis pelayanan dan kegiatan dan konseling maupun dalam penegakan kode etik bimbingan dan konseling.
- Asas Alih Tangan Kasus, yaitu asas bimbingan dan konseling yang menghendaki agar pihak-pihak yang tidak mampu menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling secara tepat dan tuntas atas suatu permasalahan konseli (konseli) mengalihtangankan permasalahan itu kepada pihak yang lebih ahli. Guru pembimbing dapat menerima alih tangan kasus dari orang tua, guru-guru lain, atau ahli lain ; dan demikian pula guru pembimbing dapat mengalihtangankan kasus kepada guru mata pelajaran/praktik dan lain-lain.
DAFTAR
RUJUKAN
AACE. (2003). Competencies in Assessment and
Evaluation for School Counselor. http://aace.ncat.edu
Asosiasi Bimbingan
dan Konseling Indonesia.
(2007). Penataan Pendidikan
Profesional Konselor. Naskah Akademik ABKIN (dalam proses
finalisasi).
Asosiasi Bimbingan
dan Konseling Indonesia.
(2005). Standar Kompetensi
Konselor Indonesia.
Bandung:
ABKIN
Bandura, A. (Ed.).
(1995). Self-Efficacy in
Changing Soceties. Cambridge,
UK: Cambridge University Press.
BSNP dan
PUSBANGKURANDIK, Balitbang Diknas. (2006). Panduan
Pengembangan Diri: Pedoman untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Draft.
Jakarta: BSNP
dan PUSBANGKURANDIK, Depsiknas.
Cobia, Debra C. &
Henderson, Donna A. (2003). Handbook
of School Counseling.
New Jersey,
Merrill Prentice Hall
Corey, G. (2001). The Art of Integrative Counseling.
Belomont, CA:
Brooks/Cole.
Direktorat Pembinaan
Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi. (2003). Dasar Standardisasi Profesionalisasi
Konselor. Jakarta:
Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kepen-didikan dan Ketenagaan Pendidikan
Tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.
Engels, D.W dan J.D.
Dameron, (Eds). (2005). The
Professional Counselor Competencies: Performance Guidelines and Assessment.
Alexandria, VA: AACD.
Browers, Judy L.
& Hatch, Patricia A. (2002). The
National Model for School Counseling Programs. ASCA (American School Counselor Association).
Comm, J.Nancy.
(1992). Adolescence.
California :
Myfield Publishing Company.
Depdiknas. (2003). Pelayanan Bimbingan dan Konseling.
Jakarta: Puskur
Balitbang.
Depdiknas, (2005), Permen RI
nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,
Depdiknas, 2006),
Permendiknas no 22 tahun 2006 tentang Standar Isi,
Depdiknas, (2006),
Permendiknas no 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan SI dan SKL,
Ellis, T.I. (1990). The Missouri Comprehensive Guidance Model.
Columbia: The
Educational Resources
Information Center.
Gibson
R.L. & Mitchel M.H. (1986). Introduction
to Counseling and Guidance. New
York : MacMillan Publishing Company.
Havighurts, R.J.
(1953). Development Taks and
Education. New York:
David Mckay.
Herr
Edwin L. (1979). Guidance
and Counseling in the Schools. Houston : Shell Com.
Hurlock,
Alizabeth B. (1956). Child
Development. New York
: McGraw Hill Book Company Inc.
Ketetapan
Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia Nomor
01/Peng/PB-ABKIN/2007 bahwa Tenaga Profesional yang melaksanakan pelayanan
professional Bimbingan dan Konseling disebut Konselor dan minimal
berkualifikasi S1 Bimbingan dan Konseling.
Menteri Pendidikan
Nasional. 2006. Peraturan
Menteri Nomor 22 tentang Standar Isi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Menteri Pendidikan
Nasional. 2006. Peraturan
Menteri Nomor 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional.
Michigan School Counselor
Association. (2005). The Michigan Comprehensive
Guidance and Counseling Program.
Muro, James J. &
Kottman, Terry. (1995). Guidance
and Counseling in The Elementary and Middle Schools. Madison : Brown &
Benchmark.
Permendiknas Nomor 16
Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan.
Peraturan Pemerintah
Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Pikunas, Lustin.
(1976). Human Development.
Tokyo :
McGraw-Hill Kogakusha,Ltd.
Pusat Kurikulum,
Balitbang Depdiknas. (2003). Panduan
Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Balitbang Depdiknas.
Sunaryo Kartadinata,
dkk. (2003). Pengembangan
Perangkat Lunak Analisis Tugas Perkembangan Peserta didik dalam Upaya
Meningkatkan Mutu Pelayanan dan Manajemen Bimbingan dan Konseling di
Sekolah/Madrasahdrasah (Laporan Riset Unggulan Terpadu VIII). Jakarta : Kementrian
Riset dan Teknologi RI, LIPI.
Syamsu Yusuf L.N.
(2005). Program Bimbingan
dan Konseling di Sekolah/Madrasah. Bandung : CV Bani Qureys.
——–. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja.
Bandung :
Remaja Rosda Karya.
——–.dan Juntika N.
(2005). Landasan Bimbingan
dan Konseling. Bandung
: PT. Remaja Rosda Karya.
Stoner, James A.
(1987). Management.
London :
Prentice-Hall International Inc.
Undang-undang No 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang Nomor
14 tahun 2006 tentang Guru dan Dosen
Wagner William G.
(1996). “Optimal Development
in Adolescence : What Is It and How Can It be Encouraged”? The
Counseling Psychologist. Vol 24 No. 3 July’96.
Woolfolk, Anita E.
1995. Educational
Psychology. Boston
: Allyn & Bacon.
*)) Materi di
atas merupakan salah satu bagian dari makalah yang disajikan oleh Dr. Uman
Suherman, M.Pd. pada acara seminar sehari Bimbingan dan Konseling yang diselenggarakan
oleh Universitas Kuningan bekerja sama dengan ABKIN Cabang Kabupaten Kuningan
pada tanggal 11 Maret 2008 bertempat di Aula Student Center UNIKU.
Bidang Bimbingan dan Konseling
Diterbitkan Juli 8, 2008
- Pengembangan kehidupan pribadi, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami, menilai, dan mengembangkan potensi dan kecakapan, bakat dan minat, serta kondisi sesuai dengan karakteristik kepribadian dan kebutuhan dirinya secara realistik.
- Pengembangan kehidupan sosial, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan menilai serta mengembangkan kemampuan hubungan sosial yang sehat dan efektif dengan teman sebaya, anggota keluarga, dan warga lingkungan sosial yang lebih luas.
- Pengembangan kemampuan belajar, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik mengembangkan kemampuan belajar dalam rangka mengikuti pendidikan sekolah/madrasah dan belajar secara mandiri.
- Pengembangan karir, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan menilai informasi, serta memilih dan mengambil keputusan karir.
Jenis Layanan Bimbingan dan Konseling
Diterbitkan Juli 8, 2008
Dalam
rangka pencapaian tujuan Bimbingan dan Konseling di sekolah, terdapat beberapa
jenis layanan yang diberikan kepada siswa, diantaranya:
Layanan Orientasi; layanan yang memungkinan peserta didik
memahami lingkungan baru, terutama lingkungan sekolah dan obyek-obyek yang
dipelajari, untuk mempermudah dan memperlancar berperannya peserta didik di
lingkungan yang baru itu, sekurang-kurangnya diberikan dua kali dalam satu
tahun yaitu pada setiap awal semester. Tujuan layanan orientasi adalah agar
peserta didik dapat beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru
secara tepat dan memadai, yang berfungsi
untuk pencegahan dan pemahaman.
Layanan Informasi; layanan yang memungkinan
peserta didik menerima dan memahami berbagai informasi (seperti : informasi
belajar, pergaulan, karier, pendidikan lanjutan). Tujuan layanan informasi
adalah membantu peserta didik agar dapat mengambil keputusan secara tepat
tentang sesuatu, dalam bidang pribadi, sosial, belajar maupun karier
berdasarkan informasi yang diperolehnya yang memadai. Layanan informasi pun berfungsi untuk pencegahan
dan pemahaman.
- Layanan Konten; layanan yang memungkinan peserta didik mengembangkan sikap dan kebiasaan belajar yang baik dalam penguasaan kompetensi yang cocok dengan kecepatan dan kemampuan dirinya serta berbagai aspek tujuan dan kegiatan belajar lainnya, dengan tujuan agar peserta didik dapat mengembangkan sikap dan kebiasaan belajar yang baik. Layanan pembelajaran berfungsi untuk pengembangan.
- Layanan Penempatan dan Penyaluran; layanan yang memungkinan peserta didik memperoleh penempatan dan penyaluran di dalam kelas, kelompok belajar, jurusan/program studi, program latihan, magang, kegiatan ko/ekstra kurikuler, dengan tujuan agar peserta didik dapat mengembangkan segenap bakat, minat dan segenap potensi lainnya. Layanan Penempatan dan Penyaluran berfungsi untuk pengembangan.
- Layanan Konseling Perorangan; layanan yang memungkinan peserta didik mendapatkan layanan langsung tatap muka (secara perorangan) untuk mengentaskan permasalahan yang dihadapinya dan perkembangan dirinya. Tujuan layanan konseling perorangan adalah agar peserta didik dapat mengentaskan masalah yang dihadapinya. Layanan Konseling Perorangan berfungsi untuk pengentasan dan advokasi.
- Layanan Bimbingan Kelompok; layanan yang memungkinan sejumlah peserta didik secara bersama-sama melalui dinamika kelompok memperoleh bahan dan membahas pokok bahasan (topik) tertentu untuk menunjang pemahaman dan pengembangan kemampuan sosial, serta untuk pengambilan keputusan atau tindakan tertentu melalui dinamika kelompok, dengan tujuan agar peserta didik dapat memperoleh bahan dan membahas pokok bahasan (topik) tertentu untuk menunjang pemahaman dan pengembangan kemampuan sosial, serta untuk pengambilan keputusan atau tindakan tertentu melalui dinamika kelompok. Layanan Bimbingan Kelompok berfungsi untuk pemahaman dan Pengembangan
- Layanan Konseling Kelompok; layanan yang memungkinan peserta didik (masing-masing anggota kelompok) memperoleh kesempatan untuk pembahasan dan pengentasan permasalahan pribadi melalui dinamika kelompok, dengan tujuan agar peserta didik dapat memperoleh kesempatan untuk pembahasan dan pengentasan permasalahan pribadi melalui dinamika kelompok. Layanan Konseling Kelompok berfungsi untuk pengentasan dan advokasi.
- Konsultasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik dan atau pihak lain dalam memperoleh wawasan, pemahaman, dan cara-cara yang perlu dilaksanakan dalam menangani kondisi dan atau masalah peserta didik.
- Mediasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik menyelesaikan permasalahan dan memperbaiki hubungan antarmereka.
Untuk
menunjang kelancaran pemberian layanan-layanan seperti yang telah dikemukakan
di atas, perlu dilaksanakan berbagai kegiatan pendukung, mencakup :
- Aplikasi Instrumentasi Data; merupakan kegiatan untuk mengumpulkan data dan keterangan tentang peserta didik, tentang lingkungan peserta didik dan lingkungan lainnya, yang dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai instrumen, baik tes maupun non tes, dengan tujuan untuk memahami peserta didik dengan segala karakteristiknya dan memahami karakteristik lingkungan.
- Himpunan Data; merupakan kegiatan untuk menghimpun seluruh data dan keterangan yang relevan dengan keperluan pengembangan peserta didik. Himpunan data diselenggarakan secara berkelanjutan, sistematik, komprehensif, terpadu dan sifatnya tertutup.
- Konferensi Kasus; merupakan kegiatan untuk membahas permasalahan peserta didik dalam suatu pertemuan yang dihadiri oleh pihak-pihak yang dapat memberikan keterangan, kemudahan dan komitmen bagi terentaskannya permasalahan klien. Pertemuan konferensi kasus bersifat terbatas dan tertutup. Tujuan konferensi kasus adalah untuk memperoleh keterangan dan membangun komitmen dari pihak yang terkait dan memiliki pengaruh kuat terhadap klien dalam rangka pengentasan permasalahan klien.
- Kunjungan Rumah; merupakan kegiatan untuk memperoleh data, keterangan, kemudahan, dan komitmen bagi terentaskannya permasalahan peserta didik melalui kunjungan rumah klien. Kerja sama dengan orang tua sangat diperlukan, dengan tujuan untuk memperoleh keterangan dan membangun komitmen dari pihak orang tua/keluarga untuk mengentaskan permasalahan klien.
- Alih Tangan Kasus; merupakan kegiatan untuk untuk memperoleh penanganan yang lebih tepat dan tuntas atas permasalahan yang dialami klien dengan memindahkan penanganan kasus ke pihak lain yang lebih kompeten, seperti kepada guru mata pelajaran atau konselor, dokter serta ahli lainnya, dengan tujuan agar peserta didik dapat memperoleh penanganan yang lebih tepat dan tuntas atas permasalahan yang dihadapinya melalui pihak yang lebih kompeten.
Konsep Bimbingan Karier
Diterbitkan Februari 7, 2008
oleh : Akhmad Sudrajat,
M.Pd.
Konsep bimbingan jabatan
lahir bersamaan dengan konsep bimbingan di Amerika Serikat pada awal abad
keduapuluh, yang dilatari oleh berbagai kondisi obyektif pada waktu itu
(1850-1900), diantaranya : (1) keadaan ekonomi; (2) keadaan sosial, seperti
urbanisasi; (3) kondisi ideologis, seperti adanya kegelisahan untuk membentuk
kembali dan menyebarkan pemikiran tentang kemampuan seseorang dalam rangka
meningkatkan kemampuan diri dan statusnya; dan (4) perkembangan ilmu (scientific),
khususnya dalam bidang ilmu psiko-fisik dan psikologi eksperimantal yang
dipelopori oleh Freechner, Helmotz dan Wundt, psikometrik yang dikembangkan
oleh Cattel, Binnet dan yang lainnya Atas desakan kondisi tersebut, maka
muncullah gerakan bimbingan jabatan (vocational guidance) yang
tersebar ke seluruh negara (Crites, 1981 dalam Bahrul Falah, 1987).
Isitilah vocational
guidance pertama kali dipopulerkan oleh Frank Pearson pada tahun 1908
ketika ia berhasil membentuk suatu lembaga yang bertujuan untuk membantu
anak-anak muda dalam memperoleh pekerjaan.
Pada awalnya penggunaan
istilah vocational guidance lebih merujuk pada usaha membantu individu
dalam memilih dan mempersiapkan suatu pekerjaan, termasuk didalamnya berupaya
mempersiapkan kemampuan yang diperlukan untuk memasuki suatu pekerjaan. Namun
sejak tahun 1951, para ahli mengadakan perubahan pendekatan dari model
okupasional (occupational) ke model karier (career). Kedua
model ini memliki perbedaan yang cukup mendasar, terutama dalam landasan
individu untuk memilih jabatan. Pada model okupasional lebih menekankan pada
kesesuaian antara bakat dengan tuntutan dan persyaratan pekerjaan. Sedangkan
pada model karier, tidak hanya sekedar memberikan penekanan tentang pilihan
pekerjaan, namun mencoba pula menghubungkannya dengan konsep perkembangan dan
tujuan-tujuan yang lebih jauh sehingga nilai-nilai pribadi, konsep diri,
rencana-rencana pribadi dan semacamnya mulai turut dipertimbangkan.
Bimbingan karier tidak
hanya sekedar memberikan respon kepada masalah-masalah yang muncul, akan tetapi
juga membantu memperoleh pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperlukan
dalam pekerjaan.
Penggunaan istilah karier
didalamnya terkandung makna pekerjaan dan sebatan sekaligus rangkaian kegiatan
dalam mencapai tujuan hidup seseorang. Hattari (1983) menyebutkan bahwa istilah
bimbingan karier mengandung konsep yang lebih luas. Bimbingan jabatan
menekankan pada keputusan yang menentukan pekerjaan tertentu sedangkan
bimbingan karier menitikberatkan pada perencanaan kehidupan seseorang dengan
mempertimbangkan keadaan dirinya dengan lingkungannya agar ia memperoleh
pandangan yang lebih luas tentang pengaruh dari segala peranan positif yang
layak dilaksanakannya dalam masyarakat.
Perubahan isitilah dari
bimbingan jabatan (vocational guidance) ke bimbingan karier mengandung
konsekuensi terhadap peran dan tugas konselor dalam memberikan layanan
bimbingan terhadap para siswanya. Peran dan tugas konselor tidak hanya sekedar
membimbing siswa dalam menentukan pilihan-pilihan kariernya, tetapi dituntut
pula untuk membimbing siswa agar dapat memahami diri dan lingkungannya dalam
rangka perencanaan karier dan penetapan karier pada kehidupan masa mendatang.
Dalam perkembangannya,
sejalan dengan kemajuan dalam bidang teknologi informasi dewasa ini, bimbingan
karier merupakan salah satu bidang bimbingan yang telah berhasil mempelopori
pemanfaatan teknologi informasi, dalam bentuk cyber counseling.
Sementara itu, dalam
perspektif pendidikan nasional, pentingnya bimbingan karier sudah mulai
dirasakan bersamaan dengan lahirnya gerakan bimbingan dan konseling di Indonesia pada
pertengahan tahun 1950-an, berawal dari kebutuhan penjurusan siswa di SMA pada
waktu itu. Selanjutnya, pada tahun 1984 bersamaan dengan diberlakukannya
Kurikulum 1984, bimbingan karier cukup terasa mendominasi dalam layanan
bimbingan dan penyuluhan dan pada tahun 1994, bersamaan dengan perubahan nama
bimbingan penyuluhan menjadi bimbingan dan konseling dalam Kurikulum 1994,
bimbingan karier ditempatkan sebagai salah bidang bimbingan.
Sampai dengan sekarang
ini bimbingan karier tetap masih merupakan salah satu bidang bimbingan. Dalam
konsteks Kurikulum Berbasis Kompetensi, dengan diintegrasikannya Pendidikan
Kecakapan Hidup (Life Skill Education) dalam kurikulum sekolah, maka
peranan bimbingan karier sungguh menjadi amat penting, khususnya dalam upaya
membantu siswa dalam memperoleh kecakapan vokasional (vocational skill),
yang merupakan salah jenis kecakapan dalam Pendidikan Kecakapan Hidup (Life
Skill Education).
Terkait dengan penjabaran
kompetensi dan materi layanan bimbingan dan konseling di SMTA, bidang bimbingan
karier diarahkan untuk :
- Pemantapan pemahaman diri berkenaan dengan kecenderungan karier yang hendak dikembangkan.
- Pemantapan orientasi dan informasi karier pada umumnya dan karier yang hendak dikembangkan pada khususnya.
- Orientasi dan informasi terhadap dunia kerja dan usaha memperoleh penghasilan untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
- Pengenalan berbagai lapangan kerja yang dapat dimasuki tamatan SMTA.
- Orientasi dan informasi terhadap pendidikan tambahan dan pendidikan yang lebih tinggi, khususnya sesuai dengan karier yang hendak dikembangkan.
- Khusus untuk Sekolah Menengah Kejuruan; pelatihan diri untuk keterampilan kejuruan khusus pada lembaga kerja (instansi, perusahaan, industri) sesuai dengan program kurikulum sekolah menengah kejuruan yang bersangkutan. (Muslihudin, dkk, 2004)
Sumber :
Bahrul
Falah. 1987. Konstribusi Orientasi Nilai Pekerjaan dan Informasi Karier
terhadap Kematangan Karier (Skripsi). Bandung : PPB-FIP IKIP Bandung.
Hattari.
1983. Ke Arah Pengertian Bimbingan Karier dengan Pendekatan Developmental.
Jakarta : BP3K.
Muslihudin,
dkk. 2004. Bimbingan dan Konseling (Makalah). Bandung : LPMP Jawa Barat.
Informasi Karier
Diterbitkan Februari 4, 2008
Oleh : AKHMAD SUDRAJAT,
M.Pd.
Layanan informasi marupakan
salah satu jenis layanan dalam bimbingan konseling di sekolah yang amat penting
guna membantu siswa agar dapat terhindar dari berbagai masalah yang dapat
mengganggu terhadap pencapaian perkembangan siswa, baik yang berhubungan dengan
diri pribadi, sosial, belajar ataupun kariernya., Melalui layanan informasi
diharapkan para siswa dapat menerima dan memahami berbagai informasi, yang
dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk
kepentingan siswa itu sendiri.
Seorang siswa dalam kehidupannya
akan dihadapkan dengan sejumlah alternatif, baik yang berhubungan kehidupan
pribadi, sosial, belajar maupun kariernya. Namun, adakalanya siswa mengalami
kesulitan untuk mengambil keputusan dalam menentukan alternatif mana yang
seyogyanya dipilih. Salah satunya adalah kesulitan dalam pengambilan keputusan yang
berkenaan dengan rencana-rencana karier yang akan dipilihnya kelak. Mereka
dihadapkan dengan sejumlah pilihan dan permasalahan tentang rencana kariernya.
Diantaranya, mereka mempertanyakan, dari sejumlah jenis pekerjaan yang ada,
pekerjaan apa yang paling cocok untuk saya kelak setelah menamatkan pendidikan
?
Kesulitan-kesulitan untuk
mengambil keputusan karier akan dapat dihindari manakala siswa memiliki
sejumlah informasi yang memadai tentang hal-hal yang berhubungan dengan dunia
kariernya. Untuk itulah, mereka seyogyanya dapat dibimbing guna memperoleh
pemahaman yang memadai tentang berbagai kondisi dan karakteristik dirinya, baik
tentang bakat, minat, cita-cita, berbagai kekuatan serta kelemahan yang ada
dalam dirinya. Dalam hal ini, tentunya tidak cukup hanya sekedar memahami diri.
Namun juga harus disertai dengan pemahaman akan kondisi yang ada
dilingkungannya, seperti kondisi sosio-kultural, pasar kerja, persyaratan,
jenis dan prospek pekerjaan, serta hal-hal lainnya yang bertautan dengan dunia kerja.
Sehingga pada gilirannya siswa dapat mengambil keputusan yang terbaik tentang
kepastian rencana karier yang akan ditempuhnya kelak.
Dalam memberikan layanan
informasi karier setidaknya terdapat dua hal yang harus diperhatikan yaitu
tentang : (1) materi informasi dan (2) teknik layanan informasi.
Materi Informasi.
Dalam era informasi dewasa ini
sesungguhnya kemudahan untuk memperoleh informasi sangat terbuka, baik melalui
media cetak atau eleltronik. Terutama setelah adanya kemajuan yang menakjubkan
dalam bidang teknologi komputer multi media, maka dengan mudah dan dalam waktu
relatif singkat kita dapat mengakses ribuan bahkan jutaan jenis informasi
melalui internet. Namun, karena begitu banyak dan beragamnya jenis informasi
yang dapat diakses, sehingga tidak mustahil dapat menimbulkan kekacauan
informasi. Untuk itulah, dalam upaya pemberian layanan informasi seyogyanya
dibutuhkan sikap arif dan selektif dari konselor dalam memilih berbagai materi
informasi, yang sekiranya benar-benar dapat memberikan manfaat besar bagi
siswa.
Materi informasi yang diberikan
kepada siswa hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan dan permasalahan siswa,
sehingga benar-benar dapat dirasakan lebih bermanfaat dan memiliki makna (meaningful).
Pemilihan dan penetuan jenis materi informasi yang tidak didasarkan kepada
kebutuhan dan masalah siswa akan cenderung tidak memiliki daya tarik, sehingga
siswa akan menjadi kurang partisipatif dan kooperatif dalam mengikuti kegiatan
layanan. Materi informasi yang lengkap dan akurat akan sangat membantu siswa
untuk lebih tepat dalam mempertimbangkan dan memutuskan pilihan kariernya.
Beberapa jenis materi informasi
tentang karier yang mungkin dibutuhkan siswa, diantaranya:
- Tugas perkembangan masa remaja tentang kemampuan dan perkembangan karier.
- Perkembangan dan prospek karier di masyarakat.
- Kursus-kursus dalam rangka pengembangan karier.
- Langkah-langkah dalam memasuki pekerjaan, jenis pekerjaan, ciri-ciri pekerjaan.
- Syarat-syarat pekerjaan yang dapat dimasuki setelah tamat SMA.
- Kemungkinan permasalahan dalam pilihan pekerjaan, karier, dan tuntutan pendidikan yang lebih tinggi, dan sebagainya.
Di samping itu, materi informasi
yang bersifat personal, seperti bakat, ciri-ciri kepribadian atau
minat pekerjaan perlu dikuasai oleh siswa.
Hanya perlu dipertimbangkan jika
memang sekolah sudah dapat menyelenggarakan pemeriksaan psikologis/tes
psikologis, maka penyampaian materi hasil-hasil pemeriksaan psikologis harus
benar-benar dilaksanakan secara cermat dan di bawah pengawasan konselor.
Karena, biasanya data hasil pemeriksaan psikologis dideskripsikan dalam
bahasa/terminologis tertentu, yang tentunya tidak semua siswa dapat memaknainya
sendiri. Data-data personal ini memang perlu dipahami dan dimaknai oleh siswa,
karena dengan adanya pemahaman tentang diri sendiri, seperti kecerdasan, bakat,
ciri-ciri kepribadian, atau minat pekerjaannya, siswa akan dapat lebih akurat
lagi dalam mengambil keputusan kariernya, sesuai dengan karakterisitik diri
yang dimikinya.
Teknik Layanan Informasi
Disamping konselor dituntut
untuk banyak memahami berbagai informasi yang akan dibutuhkansiswa, juga
seyogyanya dapat menguasai berbagai teknik penyampaiannya secara variatif dan
menyenangkan. Tanpa didukung kekayaan informasi dan keterampilan penyampaian,
layanan informasi dikhawatirkan menjadi tidak memiliki daya tarik di hadapan
siswa.
Penyampaian informasi bisa
dilakukan oleh konselor itu sendiri melalui teknik ekspositorik. Selain itu,
dapat juga dilakukan dengan cara meminta bantuan dari pihak lain sebagai nara sumber, misalkan
dengan mengundang “tokoh karier”. Upaya pemanfatan nara sumber memiliki keunggulan tersendiri,
yakni informasi yang diberikan cenderung bersifat nyata, berdasarkan hasil
pengalamannya.
Selain itu, dapat dilakukan pula
melalui media “papan bimbingan”, yakni dengan menyediakan papan informasi untuk
menempelkan berbagai bentuk tulisan yang mengandung nilai informasi. Untuk itu,
konselor dituntut secara kreatif untuk dapat mengoleksi berbagai tulisan,
keterangan, artikel, atau klipping yang berhubungan dengan karier.
Jika mengacu pada teori
kontruktivisme yang saat ini sedang dikembangkan. Penggunaan teknik layanan
informasi seyogyanya lebih mengedepankan aktivitas dan partisipasi siswa dalam
menentukan kebutuhan, menggali dan mengolah serta menarik kesimpulan dari
informasi yang diperolehnya. Misalkan, untuk memahami tentang kondisi nyata
kehidupan di suatu perusahaan, dapat dilakukan dengan cara siswa diajak
langsung untuk berkunjung dan melakukan pengamatan ke perusahaan tertentu. Dari
hasil kunjungan, siswa akan memperoleh berbagai informasi yang dibutuhkan,
dalam rangka menambah wawasan, yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan
keputusan kariernya, sekaligus dapat membangun dan mengembangkan sikap-sikap
positif dan konstruktif terhadap pekerjaan. Dalam hal ini, tentu saja
dibutuhkan sosiabilitas yang tinggi dari konselor untuk dapat menjalin hubungan
secara luas dan menjalin kemitraan dengan berbagai pihak untuk memfasilitasi
siswa dalam proses penggalian informasi.
Sebagaimana telah disinggung di
atas, bahwa sumber informasi saat ini dapat dengan mudah diakses melalui
teknologi komputer multi media, maka dalam hal ini tidak salahnya konselor
untuk belajar menguasai teknologi internet untuk menjelajah situs-situs yang
menyediakan informasi yang berkenaan dengan dunia pekerjaan/karier.
Dengan mengenal situs-situs yang
berkenaan dengan dunia pekerjaan/karier, maka di samping konselor dapat
memperoleh berbagai tambahan informasi untuk dirinya, juga dapat menunjukkannya
kepada siswa, agar siswa dapat belajar secara langsung menjelajah dan menggali
berbagai informasi karier yang tersedia dalam internet.
Sumber bacaan :
Prayitno dan Erman Anti, (1995),
Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta : P2LPTK
Depdikbud (1995), Pelayanan
Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah Umum (SMU) Buku IV;
Seri Pemandu Pelaksanaan
Bimbingan dan Konseling di Sekolah,Jakarta
: IPBI
Tim Instruktur Bimbingan dan
Konseling Kanwil Propinsi Jawa Barat , (1997), Materi Sajian Penataran Guru
Pembimbing SMU Propinsi Jawa Barat Tahun 1997, Dekdikbud Kanwil Propinsi
Jawa Barat : Bandung
Winkel, W.S. (1991), Bimbingan
dan Konseling di Institusi Pendidikan, Jakarta : Gramedia
15 Kekeliruan Pemahaman tentang Bimbingan dan Konseling di Sekolah
Diterbitkan April 11, 2008
Perjalanan bimbingan dan
konseling menuju sebuah profesi yang handal hingga saat ini tampaknya masih
harus dilalui secara tertatih-tatih. Dalam hal ini, Prayitno (2003) telah
mengidentifikasi 15 kekeliruan pemahaman orang dalam melihat bimbingan dan
konseling, baik dalam tataran konsep maupun praktiknya yang tentunya sangat
mengganggu terhadap pencitraan dan laju pengembangan profesi ini. Kekeliruan
pemahaman ini tidak hanya terjadi di kalangan orang-orang yang berada di luar
Bimbingan dan Konseling, tetapi juga banyak ditemukan di kalangan orang-orang
yang terlibat langsung dengan bimbingan dan konseling. Kelimabelas kekeliruan
pemahaman itu adalah :
1. Bimbingan dan Konseling disamakan atau dipisahkan sama sekali
dari pendidikan.
Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa bimbingan dan konseling
adalah identik dengan pendidikan sehingga sekolah tidak perlu lagi bersusah
payah menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling, karena dianggap sudah
implisit dalam pendidikan itu sendiri. Cukup mantapkan saja pengajaran sebagai
pelaksanaan nyata dari pendidikan. Mereka sama sekali tidak melihat arti
penting bimbingan dan konseling di sekolah. Sementara ada juga yang berpendapat
pelayanan bimbingan dan konseling harus benar-benar terpisah dari pendidikan
dan pelayanan bimbingan dan konseling harus secara nyata dibedakan dari praktik
pendidikan sehari-hari.
Walaupun guru dalam melaksanakan
pembelajaran siswa dituntut untuk dapat melakukan kegiatan-kegiatan
interpersonal dengan para siswanya, namun kenyataan menunjukkan bahwa masih
banyak hal yang menyangkut kepentingan siswa yang tidak bisa dan tidak mungkin
dapat dilayani sepenuhnya oleh guru di sekolah melalui pelayanan pengajaran
semata, seperti dalam hal pelayanan dasar (kurikulum bimbingan dan konseling),
perencanaan individual, pelayanan responsif, dan beberapa kegiatan khas
Bimbingan dan Konseling lainnya.
Begitu pula, Bimbingan dan Konseling
bukanlah pelayanan eksklusif yang harus terpisah dari pendidikan. Pelayanan
bimbingan dan konseling pada dasarnya memiliki derajat dan tujuan yang sama dengan
pelayanan pendidikan lainnya (baca: pelayanan pengajaran dan/atau manajemen),
yaitu mengantarkan para siswa untuk memperoleh perkembangan diri yang optimal.
Perbedaan terletak dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, dimana masing-masing
memiliki karakteristik tugas dan fungsi yang khas dan berbeda (1).
2. Menyamakan pekerjaan
Bimbingan dan Konseling dengan pekerjaan dokter dan psikiater.
Dalam hal-hal tertentu memang terdapat
persamaan antara pekerjaan bimbingan dan konseling dengan pekerjaan dokter dan
psikiater, yaitu sama-sama menginginkan konseli/pasien terbebas dari
penderitaan yang dialaminya, melalui berbagai teknik yang telah teruji sesuai
dengan masing-masing bidang pelayanannya, baik dalam mengungkap masalah
konseli/pasien, mendiagnosis, melakukan prognosis atau pun penyembuhannya.
Kendati demikian, pekerjaan bimbingan dan
konseling tidaklah persis sama dengan pekerjaan dokter atau psikiater. Dokter
dan psikiater bekerja dengan orang sakit sedangkan konselor bekerja dengan
orang yang normal (sehat) namun sedang mengalami masalah.Cara penyembuhan yang
dilakukan dokter atau psikiater bersifat reseptual dan pemberian obat, serta
teknis medis lainnya, sementara bimbingan dan konseling memberikan cara-cara
pemecahan masalah secara konseptual melalui pengubahan orientasi pribadi,
penguatan mental/psikis, modifikasi perilaku, pengubahan lingkungan,
upaya-upaya perbaikan dengan teknik-teknik khas bimbingan dan konseling.
3. Bimbingan dan Konseling dibatasi pada hanya menangani
masalah-masalah yang bersifat insidental.
Memang tidak dipungkiri pekerjaan
bimbingan dan konseling salah satunya bertitik tolak dari masalah yang
dirasakan siswa, khususnya dalam rangka pelayanan responsif, tetapi hal ini
bukan berarti bimbingan dan konseling dikerjakan secara spontan dan hanya
bersifat reaktif atas masalah-masalah yang muncul pada saat itu.
Pekerjaan bimbingan dan konseling
dilakukan berdasarkan program yang sistematis dan terencana, yang di dalamnya
mengggambarkan sejumlah pekerjaan bimbingan dan konseling yang bersifat
proaktif dan antisipatif, baik untuk kepentingan pencegahan, pengembangan
maupun penyembuhan (pengentasan)
4. Bimbingan dan Konseling dibatasi hanya untuk siswa tertentu saja.
Bimbingan dan Konseling tidak hanya
diperuntukkan bagi siswa yang bermasalah atau siswa yang memiliki kelebihan
tertentu saja, namun bimbingan dan konseling harus dapat melayani seluruh siswa
(Guidance and Counseling for All). Setiap siswa berhak dan mendapat
kesempatan pelayanan yang sama, melalui berbagai bentuk pelayanan bimbingan dan
konseling yang tersedia.
5. Bimbingan dan Konseling melayani “orang sakit” dan/atau
“kurang/tidak normal”.
Sasaran Bimbingan dan Konseling adalah
hanya orang-orang normal yang mengalami masalah. Melalui bantuan psikologis
yang diberikan konselor diharapkan orang tersebut dapat terbebaskan dari
masalah yang menghinggapinya. Jika seseorang mengalami keabnormalan yang akut
tentunya menjadi wewenang psikiater atau dokter untuk penyembuhannya.
Masalahnya, tidak sedikit petugas bimbingan dan konseling yang tergesa-gesa dan
kurang hati-hati dalam mengambil kesimpulan untuk menyatakan seseorang tidak
normal. Pelayanan bantuan pun langsung dihentikan dan dialihtangankan
(referal).
6. Pelayanan Bimbingan dan Konseling berpusat pada keluhan pertama
(gejala) saja.
Pada umumnya usaha pemberian bantuan
memang diawali dari gejala yang ditemukan atau keluhan awal disampaikan
konseli. Namun seringkali justru konselor mengejar dan mendalami gejala yang
ada bukan inti masalah dari gejala yang muncul. Misalkan, menemukan siswa
dengan gejala sering tidak masuk kelas, pelayanan dan pembicaraan bimbingan dan
konseling malah berkutat pada persoalan tidak masuk kelas, bukan menggali
sesuatu yang lebih dalam dibalik tidak masuk kelasnya.
7. Bimbingan dan Konseling menangani masalah yang ringan.
Ukuran berat-ringannya suatu masalah
memang menjadi relatif, seringkali masalah seseorang dianggap sepele, namun
setelah diselami lebih dalam ternyata masalah itu sangat kompleks dan berat.
Begitu pula sebaliknya, suatu masalah dianggap berat namun setelah dipelajari
lebih jauh ternyata hanya masalah ringan saja. Terlepas berat-ringannya yang
paling penting bagi konselor adalah berusaha untuk mengatasinya secara cermat
dan tuntas. Jika segenap kemampuan konselor sudah dikerahkan namun belum juga
menunjukan perbaikan maka konselor seyogyanya mengalihtangankan masalah
(referal) kepada pihak yang lebih kompeten
8. Petugas Bimbingan dan Konseling di sekolah diperankan sebagai
“polisi sekolah”.
Masih banyak anggapan bahwa bimbingan dan
konseling adalah “polisi sekolah” yang harus menjaga dan mempertahankan tata
tertib, disiplin dan keamanan di sekolah.Tidak jarang konselor diserahi tugas
mengusut perkelahian ataupun pencurian, bahkan diberi wewenang bagi siswa yang
bersalah.
Dengan kekuatan inti bimbingan dan
konseling pada pendekatan interpersonal, konselor justru harus bertindak dan
berperan sebagai sahabat kepercayaan siswa, tempat mencurahkan kepentingan
apa-apa yang dirasakan dan dipikirkan siswa. Konselor adalah kawan pengiring,
penunjuk jalan, pemberi informasi, pembangun kekuatan, dan pembina
perilaku-perilaku positif yang dikehendaki sehingga siapa pun yang berhubungan
dengan bimbingan konseling akan memperoleh suasana sejuk dan memberi harapan.
9. Bimbingan dan Konseling dianggap semata-mata sebagai proses
pemberian nasihat.
Bimbingan dan konseling bukan hanya
bantuan yang berupa pemberian nasihat. Pemberian nasihat hanyalah merupakan
sebagian kecil dari upaya-upaya bimbingan dan konseling. Pelayanan bimbingan
dan konseling menyangkut seluruh kepentingan klien dalam rangka pengembangan
pribadi klien secara optimal.
10. Bimbingan dan konseling bekerja sendiri atau harus bekerja sama
dengan ahli atau petugas lain
Pelayanan bimbingan dan konseling bukanlah
proses yang terisolasi, melainkan proses yang sarat dengan unsur-unsur
budaya,sosial,dan lingkungan. Oleh karenanya pelayanan bimbingan dan konseling
tidak mungkin menyendiri. Konselor perlu bekerja sama dengan orang-orang yang
diharapkan dapat membantu penanggulangan masalah yang sedang dihadapi oleh
klien. Di sekolah misalnya, masalah-masalah yang dihadapi oleh siswa tidak
berdiri sendiri.Masalah itu sering kali saling terkait dengan orang
tua,siswa,guru,dan piha-pihak lain; terkait pula dengan berbagai unsur
lingkungan rumah, sekolah dan masyarakat sekitarnya. Oleh sebab itu
penanggulangannya tidak dapat dilakukan sendiri oleh guru pembimbing saja
.Dalam hal ini peranan guru mata pelajaran, orang tua, dan pihak-pihak lain
sering kali sangat menentukan. Guru pembimbing harus pandai menjalin hubungan
kerja sama yang saling mengerti dan saling menunjang demi terbantunya siswa
yang mengalami masalah itu. Di samping itu guru pembimbing harus pula
memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada dan dapat diadakan untuk kepentingan
pemecahan masalah siswa. Guru mata pelajaran merupakan mitra bagi guru
pembimbing, khususnya dalam menangani masalah-masalah belajar.
Namun demikian, konselor atau guru
pembimbing tidak boleh terlalu mengharapkan bantuan ahli atau petugas lain.
Sebagai tenaga profesional konselor atau guru pembimbing harus mampu bekerja
sendiri, tanpa tergantung pada ahli atau petugas lain. Dalam menangani masalah
siswa guru pembimbing harus harus berani melaksanakan pelayanan, seperti
“praktik pribadi”, artinya pelayanan itu dilaksanakan sendiri tanpa menunggu
bantuan orang lain atau tanpa campur tangan ahli lain. Pekerjaan yang
profesional justru salah satu cirinya pekerjaan mandiri yang tidak melibatkan
campur tangan orang lain atau ahli.
11. Konselor harus aktif, sedangkan pihak lain harus pasif
Sesuai dengan asas kegiatan, di samping
konselor yang bertindak sebagai pusat penggerak bimbingan dan konseling, pihak
lain pun, terutama klien,harus secara langsung aktif terlibat dalam proses
tersebut.Lebih jauh, pihak-pihak lain hendaknya tidak membiarkan konselor
bergerak dan berjalan sendiri. Di sekolah, guru pembimbing memang harus aktif,
bersikap “jemput bola”, tidak hanya menunggu didatangi siswa yang meminta
layanan kepadanya.Sementara itu, personil sekolah yang lain hendaknya membantu
kelancaran usaha pelayanan itu.
Pada dasarnya pelayanan bimbingan dan
konseling adalah usaha bersama yang beban kegiatannya tidak semata-mata
ditimpakan hanya kepada konselor saja. Jika kegiatan yang pada dasarnya
bersifat usaha bersama itu hanya dilakukan oleh satu pihak saja, dalam hal ini
konselor, maka hasilnya akan kurang mantap, tersendat-sendat, atau bahkan tidak
berjalan sama sekali.
12. Menganggap pekerjaan bimbingan dan konseling dapat dilakukan
oleh siapa saja
Benarkah pekerjaan bimbingan konseling dapat
dilakukan oleh siapa saja? Jawabannya bisa saja “benar” dan bisa pula “tidak”.
Jawaban ”benar”, jika bimbingan dan konseling dianggap sebagai pekerjaan yang
mudah dan dapat dilakukan secara amatiran belaka. Sedangkan jawaban ”tidak”,
jika bimbingan dan konseling itu dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip
keilmuan dan teknologi (yaitu mengikuti filosopi, tujuan, metode, dan asas-asas
tertentu), dengan kata lain dilaksanakan secara profesional. Salah satu ciri
keprofesionalan bimbingan dan konseling adalah bahwa pelayanan itu harus
dilakukan oleh orang-orang yang ahli dalam bidang bimbingan dan konseling.
Keahliannya itu diperoleh melalui pendidikan dan latihan yang cukup lama di
Perguruan Tinggi.
13. Menyama-ratakan cara pemecahan masalah bagi semua klien
Cara apapun yang akan dipakai untuk
mengatasi masalah haruslah disesuaikan dengan pribadi klien dan berbagai hal
yang terkait dengannya.Tidak ada suatu cara pun yang ampuh untuk semua klien
dan semua masalah. Bahkan sering kali terjadi, untuk masalah yang sama pun cara
yang dipakai perlu dibedakan. Masalah yang tampaknya “sama” setelah dikaji
secara mendalam mungkin ternyata hakekatnya berbeda, sehingga diperlukan cara
yang berbeda untuk mengatasinya. Pada dasarnya.pemakaian sesuatu cara
bergantung pada pribadi klien, jenis dan sifat masalah, tujuan yang ingin
dicapai, kemampuan petugas bimbingan dan konseling, dan sarana yang tersedia.
14. Memusatkan usaha Bimbingan dan Konseling hanya pada penggunaan
instrumentasi
Perlengkapan dan sarana utama yang pasti
dan dan dapat dikembangkan pada diri konselor adalah “mulut” dan keterampilan
pribadi. Dengan kata lain, ada dan digunakannya instrumen (tes.inventori,angket
dan dan sebagainya itu) hanyalah sekedar pembantu. Ketidaan alat-alat itu tidak
boleh mengganggu, menghambat, atau bahkan melumpuhkan sama sekali usaha
pelayanan bimbingan dan konseling.Oleh sebab itu, konselor hendaklah tidak
menjadikan ketiadaan instrumen seperti itu sebagai alasan atau dalih untuk
mengurangi, apa lagi tidak melaksanakan layanan bimbingan dan konseling sama
sekali.Tugas bimbingan dan konseling yang baik akan selalu menggunakan apa yang
dimiliki secara optimal sambil terus berusaha mengembangkan sarana-sarana
penunjang yang diperlukan
15. Menganggap hasil pekerjaan Bimbingan dan Konseling harus segera
terlihat.
Disadari bahwa semua orang menghendaki
agar masalah yang dihadapi klien dapat diatasi sesegera mungkin dan hasilnya
pun dapat segera dilihat. Namun harapan itu sering kali tidak terkabul,
lebih-lebih kalau yang dimaksud dengan “cepat” itu adalah dalam hitungan detik
atau jam. Hasil bimbingan dan konseling tidaklah seperti makan sambal, begitu
masuk ke mulut akan terasa pedasnya. Hasil bimbingan dan konseling mungkin saja
baru dirasakan beberapa hari kemudian, atau bahkan beberapa tahun kemuadian..
Misalkan, siswa yang mengkonsultasikan tentang cita-citanya untuk menjadi
seorang dokter, mungkin manfaat dari hasil konsultasi akan dirasakannya justru
pada saat setelah dia menjadi seorang dokter.
Adaptasi dan disarikan dari : Prayitno.2003.
Wawasan dan Landasan BK (Buku II). Depdiknas : Jakarta
Bimbingan dan Konseling di Sekolah
Diterbitkan April
20, 2008
Beberapa bulan yang lalu saya pernah menulis tentang layanan
Bimbingan dan Konseling di sekolah, yang merujuk pada Pola 17+
sebagai panduan penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di sekolah.
Setelah saya mengikuti pelatihan Bimbingan dan Konseling di Bandung
yang diselenggarakan oleh ABKIN, dan saya memperoleh informasi tentang rencana
perubahan kebijakan baru layanan Bimbingan dan Konseling yang disebut-sebut
sebagai layanan Bimbingan dan Konseling Komprehensif, akhirnya saya memutuskan
untuk men-delete postingan saya tersebut, dengan harapan akan segera
muncul kebijakan baru tersebut.
Tunggu punya tunggu ternyata kebijakan baru itu tidak segera muncul
juga. Dari pada menunggu kebijakan yang tidak pasti akhirnya saya posting ulang
tulisan tentang Bimbingan dan Konseling di sekolah beserta contoh
pengadmintrasiannya.
Silahkan klik saja tautan di bawah ini:
Rekonseptualisasi Bimbingan dan Konseling
Diterbitkan Januari 21, 2008
Selama empat hari (11-14
Desember 2007) penulis mengikuti pelatihan ‘Keterampilan Manajemen Bimbingan
dan Konseling“, bertempat di Cikole Lembang Bandung, yang diselenggarakan
oleh Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (PB-ABKIN)
bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga
Kependidikan Depdiknas.Selama mengikuti pelatihan, penulis menerima berbagai
materi dan penjelasan dari para nara sumber seputar penyelenggaraan Bimbingan
dan Konseling di sekolah yang tampaknya akan menjadi cikal bakal untuk lahirnya
kebijakan penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di sekolah.
Dalam tulisan sebelumnya di
situs ini, penulis pernah menyampaikan keprihatinan atas ketidakpastian dalam
penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling selama ini, seperti : ketidakjelasan
dalam sertifikasi guru bimbingan dan konseling, standar kompetensi konselor,
Standar Kompetensi Lulusan atau sekarang dikenal dengan istilah Standar
Kompetensi Kemandirian (SKK), dan hal-hal lainnya tentang praktik Bimbingan dan
Konseling.(lihat 1,
2
3)
Beberapa pertanyaan yang
berkecamuk dalam benak penulis dan mungkin juga para guru Bimbingan dan
Konseling di lapangan tentang bagaimana seharusnya Bimbingan dan Konseling di
sekolah, melalui kegiatan pelatihan ini sebagian besar terjawab sudah. Hanya
mungkin ada beberapa persoalan teknis yang belum bisa terjawab dan perlu ada
tindaklanjut tertentu.
Ketika membuka kegiatan
pelatihan, Prof. Dr. Sunaryo, M.Pd. selaku ketua PB- ABKIN, dalam sambutannya
mengatakan bahwa dalam satu tahun terakhir ini, ABKIN telah bekerja secara
intensif untuk mencari formulasi terbaik tentang bagaimana seharusnya
penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di sekolah, yang dalam Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan belum terakomodir dengan baik.
Hasil kerja keras ABKIN dalam
satu tahun terakhir ini telah menghasilkan draft Naskah Akademik berupa “Rambu-Rambu
Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal“,
yang sekarang sedang dikaji oleh pihak yang kompeten untuk dijadikan sebagai
kebijakan resmi penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di sekolah.
Hal yang cukup mengagetkan
penulis, bahwa ke depannya Bimbingan dan Konseling di Indonesia tidak lagi
bersandar pada Konsep Pola 17 yang selama ini digunakan dalam
praktik bimbingan dan konseling di sekolah, tetapi justru akan lebih
mengembangkan model bimbingan dan konseling yang komprehensif dan berorientasi
pada perkembangan, yang didalamnya terdiri dari empat komponen utama program
bimbingan dan konseling, yaitu :
- Layanan Dasar; yakni layanan bantuan kepada peserta didik melalui kegiatan-kegiatan kelas atau di luar kelas, yang disajikan secara sistematis, dalam rangka membantu peserta didik untuk dapat mengembangkan potensi dirinya secara optimal. Tujuan layanan ini adalah untuk membantu peserta didik agar memperoleh perkembangan yang normal, memiliki mental yang sehat, memperoleh keterampilan hidup, yang dapat dilakukan melalui strategi layanan klasikal dan strategi layanan kelompok.
- Layanan Responsif; yaitu layanan bantuan bagi peserta yang memiliki kebutuhan atau masalah yang memerlukan bantuan dengan segera”. Tujuan layanan ini adalah membantu peserta didik agar dapat mengatasi masalah yang dialaminya yang dapat dilakukan melalui strategi layanan konsultasi, konseling individual, konseling kelompok, referal dan bimbingan teman sebaya.
- Layanan Perencanaan Individual; yaitu bantuan kepada peserta didik agar mampu membuat dan melaksanakan perencanaan masa depannya, berdasarkan pemahaman akan kekuatan dan kelemahannya. Tujuan layanan ini adalah agar peserta didik dapat memiliki kemampuan untuk merumuskan tujuan, merencanakan, atau mengelola pengembangan dirinya, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karier, dapat melakukan kegiatan atau aktivitas berdasarkan tujuan atau perencanaan yang telah ditetapkan, dan mengevaluasi kegiatan yang dilakukannya, yang dapat dilakukan melalui strategi penilaian individual, penasihatan individual atau kelompok.
- Layanan dukungan sistem; yaitu kegiatan-kegiatan manajemen yang bertujuan memantapkan, memelihara, dan meningkatkan program bimbingan dan konseling di sekolah secara menyeluruh melalui pengembangan profesional; hubungan masyarakat dan staf; konsultasi dengan guru lain, staf ahli, dan masyarakat yang lebih luas; manajemen program; dan penelitian dan pengembangan.
Jika kita perhatikan
komponen-komponen program di atas, tampaknya ada upaya dari ABKIN untuk
mengelaborasi konsep bimbingan dan konseling sebelumnya, baik dalam Kurikulum
1975, Kurikulum 1984, mau pun Kurikulum 1994. Selain itu, keempat komponen
program bimbingan dan konseling di atas tampaknya menggunakan rujukan model
penyelenggaraan bimbingan dan konseling yang saat ini sedang dikembangkan di
Amerika Serikat. Perbedaannya, untuk komponen layanan dasar di Amerika
cenderung menggunakan istilah guidance curriculum.
Untuk lebih jelasnya, dalam
tautan-tautan di bawah ini disajikan sebagian materi yang disampaikan oleh para
nara sumber
dalam bentuk tayangan slide dan pdf file :
Sertifikasi Guru Bimbingan dan Konseling (dari: Dr. Uman Suherman, M.Pd.)
Program Bimbingan dan Konseling (dari: Dr. Uman Suherman, M.Pd.)
Supervisi Bimbingan dan Konseling (dari: Drs. Agus Taufiq, M.Pd.)
Draft Standar Kompetensi Konselor (dari: ABKIN)
Arah dan Perspektif Baru Bimbingan
dan Konseling (dari: Prof. Dr. Syamsu
Yusuf L.N., M.Pd. dan Dr. A. Juntika Nurihsan)
Rubrik Sertifikasi Guru BK
Diterbitkan Februari 6, 2008
Dalam menjalankan tugas dan
fungsinya, guru Bimbingan dan Konseling (Konselor) memiliki karakteristik yang
berbeda dengan guru pengampu mata pelajaran. Guru Bimbingan dan Konseling lebih
mengedepankan dan menitikberatkan pada pendekatan interpersonal serta sarat
dengan nilai, sedangkan guru mata pelajaran lebih mengutamakan pada pendekatan
instruksional dan terikat dengan bahan ajar dari mata pelajaran yang diampunya.
Kendati demikian, keduanya tetap memiliki tujuan yang sama yaitu terwujudnya
perkembangan pribadi peserta didik secara optimal.Terkait dengan penilaian
portopolio dalam rangka sertifikasi, yang membedakan antara guru pengampu mata
pelajaran dengan guru bimbingan dan konseling terletak pada komponen
perencanaan dan pelaksanaan kegiatan.
Bukti fisik penilaian dalam
merencanakan kegiatan bimbingan dan konseling, berbentuk :
- Mengumpulkan 5 buah Program Pelayanan Bimbingan dan Konseling (PPBK) yang berbeda, dengan aspek-aspek penilaian meliputi : (a) perumusan tujuan pelayanan; (b) pemilihan dan pengorganisasian materi pelayanan; (c) pemilihan instrumen/media; (d) strategi pelayanan; dan(e) rencana evaluasi dan tindak lanjut.
- Mengumpulkan Program Semesteran dan Program Tahunan, dengan aspek-aspek penilaian meliputi : (a) program semesteran Bimbingan dan konseling dan (b) program tahunan Bimbingan dan konseling
1. Agenda kerja guru bimbingan dan konseling (konselor)
2. Daftar konseli
3. Data kebutuhan dan permasalahan konseli
4. Laporan bulanan
5. Laporan semesteran/tahunan
6. Aktivitas pelayanan Bimbingan dan Konseling :
- Pemahaman : (antara lain : sosiometri, kunjungan rumah, catatan anekdot, konferensi kasus)
- Pelayanan langsung : (antara lain : konseling individual, konseling kelompok, konsultasi, bimbingan kelompok, bimbingan klasikal, referal)
- Pelayanan tidak langsung : (antara lain : papan bimbingan, kotak masalah, bibliokonseling, audio visual, audio, media cetak : liflet, buku saku)
7. Laporan hasil evaluasi
program, proses, produk bimbingan dan konseling serta tindak lanjutnya.
Implikasi dari adanya ketentuan
penilaian di atas, maka guru bimbingan dan konseling (konselor) mutlak harus
mampu merencanakan kegiatan pelayanan secara tertulis , yang didalamnya
mengandung aspek-aspek yang menjadi bahan penilaian serta dapat
mendokumentasikan secara baik dan tertib. Dalam hal ini, perencanaan layanan
dengan gaya goal
in mind tampaknya menjadi tidak relevan lagi.
Begitu juga dalam pelaksanaan
layanan, guru bimbingan dan konseling dituntut untuk melakukan kegiatan
pencatatan atas segala aktivitas yang dilakukannya dan melaporkannya kepada
pihak yang kompeten, khususnya kepada kepala sekolah selaku atasan langsung.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang aspek-aspek yang dinilai dari guru Bimbingan dan Konseling (konselor) dalam rangka sertifikasi, Anda bisa meng-klik dalam tautan di bawah ini.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang aspek-aspek yang dinilai dari guru Bimbingan dan Konseling (konselor) dalam rangka sertifikasi, Anda bisa meng-klik dalam tautan di bawah ini.
B. PROSEDUR, PROSES DAN TEKNIK
BIMBINGAN DAN KONSELING
Prosedur Umum Layanan Bimbingan dan Konseling
Diterbitkan Mei 31, 2008
Sebagai
sebuah layanan profesional, layanan bimbingan dan konseling tidak dapat dilakukan
secara sembarangan, namun harus dilakukan secara tertib berdasarkan prosedur
tertentu, yang secara umum terdiri dari enam tahapan sebagai, yaitu: (A) Identifikasi kasus; (B) Identifikasi masalah; (C) Diagnosis; (D) Prognosis; (E) Treatment; (F) Evaluasi dan Tindak Lanjut
A.
Identifikasi kasus
Identifikasi kasus merupakan langkah
awal untuk menemukan peserta didik yang diduga memerlukan layanan bimbingan dan
konseling. Robinson (Abin Syamsuddin Makmun, 2003) memberikan beberapa
pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi peserta didik yang diduga
mebutuhkan layanan bimbingan dan konseling, yakni :
- Call them approach; melakukan wawancara dengan memanggil semua peserta didik secara bergiliran sehingga dengan cara ini akan dapat ditemukan peserta didik yang benar-benar membutuhkan layanan konseling.
- Maintain good relationship; menciptakan hubungan yang baik, penuh keakraban sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara guru pembimbing dengan peserta didik. Hal ini dapat dilaksanakan melalui berbagai cara yang tidak hanya terbatas pada hubungan kegiatan belajar mengajar saja, misalnya melalui kegiatan ekstra kurikuler, rekreasi dan situasi-situasi informal lainnya.
- Developing a desire for counseling; menciptakan suasana yang menimbulkan ke arah penyadaran peserta didik akan masalah yang dihadapinya. Misalnya dengan cara mendiskusikan dengan peserta didik yang bersangkutan tentang hasil dari suatu tes, seperti tes inteligensi, tes bakat, dan hasil pengukuran lainnya untuk dianalisis bersama serta diupayakan berbagai tindak lanjutnya.
- Melakukan analisis terhadap hasil belajar peserta didik, dengan cara ini bisa diketahui tingkat dan jenis kesulitan atau kegagalan belajar yang dihadapi peserta didik.
- Melakukan analisis sosiometris, dengan cara ini dapat ditemukan peserta didik yang diduga mengalami kesulitan penyesuaian sosial.
B.
Identifikasi Masalah
Langkah ini merupakan upaya
untuk memahami jenis, karakteristik kesulitan atau masalah yang dihadapi
peserta didik. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar, permasalahan peserta
didik dapat berkenaan dengan aspek : (1) substansial – material; (2) struktural
– fungsional; (3) behavioral; dan atau (4) personality.
Untuk mengidentifikasi
kasus dan masalah peserta didik, Prayitno dkk. telah mengembangkan suatu instrumen
untuk melacak masalah peserta didik, dengan apa yang disebut Alat Ungkap
Masalah (AUM). Instrumen ini sangat membantu untuk menemukan kasus dan
mendeteksi lokasi kesulitan yang dihadapi peserta didik, seputar aspek : (1)
jasmani dan kesehatan; (2) diri pribadi; (3) hubungan sosial; (4) ekonomi dan
keuangan; (5) karier dan pekerjaan; (6) pendidikan dan pelajaran; (7) agama,
nilai dan moral; ( hubungan muda-mudi; (9) keadaan dan
hubungan keluarga; dan (10) waktu senggang.
C.
Diagnosis
Diagnosis merupakan upaya
untuk menemukan faktor-faktor penyebab atau yang melatarbelakangi timbulnya
masalah peserta didik. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar faktor-faktor
penyebab kegagalan belajar peserta didik, bisa dilihat dari segi input, proses,
ataupun out put belajarnya. W.H. Burton membagi ke dalam dua faktor yang
mungkin dapat menimbulkan kesulitan atau kegagalan belajar peserta didik, yaitu
: (1) faktor internal; faktor yang besumber dari dalam diri peserta didik itu
sendiri, seperti : kondisi jasmani dan kesehatan, kecerdasan, bakat,
kepribadian, emosi, sikap serta kondisi-kondisi psikis lainnya; dan (2) faktor
eksternal, seperti : lingkungan rumah, lingkungan sekolah termasuk didalamnya
faktor guru dan lingkungan sosial dan sejenisnya.
D.
Prognosis
Langkah ini dilakukan untuk
memperkirakan apakah masalah yang dialami peserta didik masih mungkin untuk
diatasi serta menentukan berbagai alternatif pemecahannya, Hal ini dilakukan
dengan cara mengintegrasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil langkah kedua
dan ketiga. Proses mengambil keputusan pada tahap ini seyogyanya terlebih
dahulu dilaksanakan konferensi
kasus, dengan melibatkan pihak-pihak yang terkait dengan masalah
yang dihadapi siswa untuk diminta bekerja sama guna membantu menangani kasus -
kasus yang dihadapi.
E.
Treatment
Langkah ini merupakan upaya untuk
melaksanakan perbaikan atau penyembuhan atas masalah yang dihadapi klien,
berdasarkan pada keputusan yang diambil dalam langkah prognosis. Jika jenis dan sifat serta
sumber permasalahannya masih berkaitan dengan sistem pembelajaran dan masih
masih berada dalam kesanggupan dan kemampuan guru pembimbing atau konselor,
maka pemberian bantuan bimbingan dapat dilakukan oleh guru atau guru pembimbing
itu sendiri (intervensi langsung), melalui berbagai pendekatan layanan yang
tersedia, baik yang bersifat direktif, non direktif maupun eklektik yang
mengkombinasikan kedua pendekatan tersebut.
Namun, jika permasalahannya menyangkut
aspek-aspek kepribadian yang lebih mendalam dan lebih luas maka selayaknya
tugas guru atau guru pembimbing/konselor sebatas hanya membuat rekomendasi
kepada ahli yang lebih kompeten (referal atau alih tangan kasus).
F.
Evaluasi dan Follow Up
Cara manapun yang ditempuh,
evaluasi atas usaha pemecahan masalah seyogyanya tetap dilakukan untuk melihat
seberapa pengaruh tindakan bantuan (treatment)
yang telah diberikan terhadap pemecahan masalah yang dihadapi peserta didik.
Berkenaan dengan evaluasi
bimbingan dan konseling, Depdiknas (2003) telah memberikan kriteria-kriteria
keberhasilan layanan bimbingan dan konseling yaitu:
- Berkembangnya pemahaman baru yang diperoleh peserta didik berkaitan dengan masalah yang dibahas;
- Perasaan positif sebagai dampak dari proses dan materi yang dibawakan melalui layanan, dan
- Rencana kegiatan yang akan dilaksanakan oleh peserta didik sesudah pelaksanaan layanan dalam rangka mewujudkan upaya lebih lanjut pengentasan masalah yang dialaminya.
Sementara itu, Robinson
dalam Abin Syamsuddin Makmun (2004) mengemukakan beberapa kriteria dari
keberhasilan dan efektivitas layanan yang telah diberikan, yang terbagi ke
dalam kriteria yaitu kriteria keberhasilan yang tampak segera dan kriteria
jangka panjang.
Kriteria keberhasilan
tampak segera, diantaranya apabila:
- Peserta didik (klien) telah menyadari (to be aware of) atas adanya masalah yang dihadapi.
- Peserta didik (klien) telah memahami (self insight) permasalahan yang dihadapi.
- Peserta didik (klien) telah mulai menunjukkan kesediaan untuk menerima kenyataan diri dan masalahnya secara obyektif (self acceptance).
- Peserta didik (klien) telah menurun ketegangan emosinya (emotion stress release).
- Peserta didik (klien) telah menurun penentangan terhadap lingkungannya
- Peserta didik (klien) telah melai menunjukkan sikap keterbukaannya serta mau memahami dan menerima kenyataan lingkungannya secara obyektif.
- Peserta didik (klien) mulai menunjukkan kemampuannya dalam mempertimbangkan, mengadakan pilihan dan mengambil keputusan secara sehat dan rasional.
- Peserta didik (klien) telah menunjukkan kemampuan melakukan usaha –usaha perbaikan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya, sesuai dengan dasar pertimbangan dan keputusan yang telah diambilnya.
- Sedangkan kriteria keberhasilan jangka panjang, diantaranya apabila:
- Peserta didik (klien) telah menunjukkan kepuasan dan kebahagiaan dalam kehidupannya yang dihasilkan oleh tindakan dan usaha-usahanya.
- Peserta didik (klien) telah mampu menghindari secara preventif kemungkinan-kemungkinan faktor yang dapat membawanya ke dalam kesulitan.
- Peserta didik (klien) telah menunjukkan sifat-sifat yang kreatif dan konstruktif, produktif, dan kontributif secara akomodatif sehingga ia diterima dan mampu menjadi anggota kelompok yang efektif.
Sumber:
Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi
Pendidikan. Bandung
: PT Rosda Karya Remaja.
Depdiknas, 2004. Dasar Standarisasi
Profesi Konseling. Jakarta
: Bagian Proyek Peningkatan Tenaga Akdemik Dirjen Dikti
Prayitno, dkk. 2004. Pedoman Khusus
Bimbingan dan Konseling, Jakarta
: Depdiknas.
Proses Layanan Konseling Individual
Diterbitkan Januari 26, 2008
Oleh : Akhmad Sudrajat,
M.Pd.
Dari beberapa jenis layanan
Bimbingan dan Konseling yang diberikan kepada peserta didik, tampaknya untuk
layanan konseling perorangan perlu mendapat perhatian lebih. Karena layanan
yang satu ini boleh dikatakan merupakan ciri khas dari layanan bimbingan dan
konseling, yang membutuhkan pengetahuan dan keterampilan khusus
Dalam prakteknya, memang
strategi layanan bimbingan dan konseling harus terlebih dahulu mengedepankan
layanan – layanan yang bersifat pencegahan dan pengembangan, namun tetap saja
layanan yang bersifat pengentasan pun masih diperlukan. Oleh karena itu, guru
maupun konselor seyogyanya dapat menguasai proses dan berbagai teknik
konseling, sehingga bantuan yang diberikan kepada peserta didik dalam rangka
pengentasan masalahnya dapat berjalan secara efektif dan efisien.
Secara umum, proses konseling
terdiri dari tiga tahapan yaitu: (1) tahap awal (tahap mendefinisikan masalah);
(2) tahap inti (tahap kerja); dan (3) tahap akhir (tahap perubahan dan
tindakan).
A. Tahap Awal
Tahap ini terjadi dimulai sejak
klien menemui konselor hingga berjalan sampai konselor dan klien menemukan
masalah klien. Pada tahap ini beberapa hal yang perlu dilakukan, diantaranya :
- Membangun hubungan konseling yang melibatkan klien (rapport). Kunci keberhasilan membangun hubungan terletak pada terpenuhinya asas-asas bimbingan dan konseling, terutama asas kerahasiaan, kesukarelaan, keterbukaan; dan kegiatan.
- Memperjelas dan mendefinisikan masalah. Jika hubungan konseling sudah terjalin dengan baik dan klien telah melibatkan diri, maka konselor harus dapat membantu memperjelas masalah klien.
- Membuat penaksiran dan perjajagan. Konselor berusaha menjajagi atau menaksir kemungkinan masalah dan merancang bantuan yang mungkin dilakukan, yaitu dengan membangkitkan semua potensi klien, dan menentukan berbagai alternatif yang sesuai bagi antisipasi masalah.
- Menegosiasikan kontrak. Membangun perjanjian antara konselor dengan klien, berisi : (1) Kontrak waktu, yaitu berapa lama waktu pertemuan yang diinginkan oleh klien dan konselor tidak berkebaratan; (2) Kontrak tugas, yaitu berbagi tugas antara konselor dan klien; dan (3) Kontrak kerjasama dalam proses konseling, yaitu terbinanya peran dan tanggung jawab bersama antara konselor dan konseling dalam seluruh rangkaian kegiatan konseling.
B. Inti (Tahap Kerja)
Setelah tahap Awal dilaksanakan dengan baik, proses
konseling selanjutnya adalah memasuki tahap inti atau tahap kerja. Pada tahap ini terdapat beberapa hal yang harus dilakukan, diantaranya :
- Menjelajahi dan mengeksplorasi masalah klien lebih dalam. Penjelajahan masalah dimaksudkan agar klien mempunyai perspektif dan alternatif baru terhadap masalah yang sedang dialaminya.
- Konselor melakukan reassessment (penilaian kembali), bersama-sama klien meninjau kembali permasalahan yang dihadapi klien.
- Menjaga agar hubungan konseling tetap terpelihara.
Hal ini bisa terjadi jika :
- Klien merasa senang terlibat dalam pembicaraan atau waancara konseling, serta menampakkan kebutuhan untuk mengembangkan diri dan memecahkan masalah yang dihadapinya.
- Konselor berupaya kreatif mengembangkan teknik-teknik konseling yang bervariasi dan dapat menunjukkan pribadi yang jujur, ikhlas dan benar – benar peduli terhadap klien.
- Proses konseling agar berjalan sesuai kontrak. Kesepakatan yang telah dibangun pada saat kontrak tetap dijaga, baik oleh pihak konselor maupun klien.
C. Akhir (Tahap
Tindakan)
Pada tahap akhir ini terdapat
beberapa hal yang perlu dilakukan, yaitu :
- Konselor bersama klien membuat kesimpulan mengenai hasil proses konseling.
- Menyusun rencana tindakan yang akan dilakukan berdasarkan kesepakatan yang telah terbangun dari proses konseling sebelumnya.
- Mengevaluasi jalannya proses dan hasil konseling (penilaian segera).
- Membuat perjanjian untuk pertemuan berikutnya
Pada tahap akhir ditandai
beberapa hal, yaitu ; (1) menurunnya kecemasan klien; (2) perubahan perilaku
klien ke arah yang lebih positif, sehat dan dinamis; (3) pemahaman baru dari
klien tentang masalah yang dihadapinya; dan (4) adanya rencana hidup masa yang
akan datang dengan program yang jelas.
Pendekatan dan Teknik Konseling
Diterbitkan Januari 12, 2008
Pekerjaan konseling pada
dasarnya merupakan pekerjaan profesional dan dalam melaksanakan tugas - tugas
profesionalnya, seorang konselor perlu memiliki pemahaman dan keterampilan yang
memadai dalam menggunakan berbagai pendekatan dan teknik dalam konseling.Tanpa
didukung oleh penguasaan penguasaan teknik-teknik konseling yang memadai,
niscaya bantuan yang diberikan kepada siswa (klien) tidak akan berjalan
efektif. Dalam bentuk tayangan slide, Dr. DYP Sugiharto, M.Pd mengupas tentang
berbagai pendekatan dan teknik konseling, diantaranya : pendekatan dan teknik
konseling behaviorisme, gestalt, psikoanaliss, rational emotive therapy (RET),
dan trait and factor.Anda ingin memahami lebih jauh tentang materi ini dengan
cara meng-klik tautan di bawah ini dan tentunya komentar Anda sangat
dinantikan.
Pendekatan Konseling Behavioral
Diterbitkan Januari 23, 2008
A. Konsep Dasar
Manusia adalah mahluk reaktif yang tingkah
lakunya dikontrol oleh faktor-faktor dari luar.
Manusia memulai kehidupannya dengan
memberikan reaksi terhadap lingkungannya dan interaksi ini menghasilkan
pola-pola perilaku yang kemudian membentuk kepribadian.
Tingkah laku seseorang ditentukan oleh
banyak dan macamnya penguatan yang diterima dalam situasi hidupnya.
Tingkah laku dipelajari ketika individu
berinteraksi dengan lingkungan melalui hukum-hukum belajar : (a) pembiasaan
klasik; (b) pembiasaan operan; (c) peniruan.
Tingkah laku tertentu pada individu
dipengaruhi oleh kepuasan dan ketidak puasan yang diperolehnya.
Manusia bukanlah hasil dari dorongan tidak
sadar melainkan merupakan hasil belajar, sehingga ia dapat diubah dengan
memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi pembentukan tingkah laku.
Karakteristik konseling behavioral adalah
: (a) berfokus pada tingkah laku yang tampak dan spesifik, (b) memerlukan
kecermatan dalam perumusan tujuan konseling, (c) mengembangkan prosedur
perlakuan spesifik sesuai dengan masalah klien, dan (d) penilaian yang obyektif
terhadap tujuan konseling.
B. Asumsi Tingkah Laku Bermasalah
- Tingkah laku bermasalah adalah tingkah laku atau kebiasaan-kebiasaan negatif atau tingkah laku yang tidak tepat, yaitu tingkah laku yang tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan.
- Tingkah laku yang salah hakikatnya terbentu dari cara belajar atau lingkungan yang salah.
- Manusia bermasalah itu mempunyai kecenderungan merespon tingkah laku negatif dari lingkungannya. Tingkah laku maladaptif terjadi juga karena kesalapahaman dalam menanggapi lingkungan dengan tepat.
- Seluruh tingkah laku manusia didapat dengan cara belajar dan juga tingkah laku tersebut dapat diubah dengan menggunakan prinsip-prinsip belajar
C. Tujuan Konseling
Mengahapus/menghilangkan tingkah laku
maldaptif (masalah) untukdigantikan dengan tingkah laku baru yaitu tingkah laku
adaptif yang diinginkan klien.
Tujuan yang sifatnya umum harus dijabarkan
ke dalam perilaku yang spesifik : (a) diinginkan oleh klien; (b) konselor mampu
dan bersedia membantu mencapai tujuan tersebut; (c) klien dapat mencapai tujuan
tersebut; (d) dirumuskan secara spesifik
Konselor dan klien bersama-sama (bekerja
sama) menetapkan/merumuskan tujuan-tujuan khusus konseling.
D. Deskripsi Proses Konseling
Proses konseling adalah proses belajar,
konselor membantu terjadinya proses belajar tersebut.
Konselor aktif :
- Merumuskan masalah yang dialami klien dan menetapkan apakah konselor dapat membantu pemecahannya atu tidak
- Konselor memegang sebagian besar tanggung jawab atas kegiatan konseling, khususnya tentang teknik-teknik yang digunakan dalam konseling
- Konselor mengontrol proses konseling dan bertanggung jawab atas hasil-hasilnya.
Deskripsi langkah-langkah
konseling :
- Assesment, langkah awal yang bertujuan untuk mengeksplorasi dinamika perkembangan klien (untuk mengungkapkan kesuksesan dan kegagalannya, kekuatan dan kelemahannya, pola hubungan interpersonal, tingkah laku penyesuaian, dan area masalahnya) Konselor mendorong klien untuk mengemukakan keadaan yang benar-benar dialaminya pada waktu itu. Assesment diperlukan untuk mengidentifikasi motode atau teknik mana yang akan dipilih sesuai dengan tingkah laku yang ingin diubah.
- Goal setting, yaitu langkah untuk merumuskan tujuan konseling. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari langkah assessment konselor dan klien menyusun dan merumuskan tujuan yang ingin dicapai dalam konseling. Perumusan tujuan konseling dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : (a) Konselor dan klien mendifinisikan masalah yang dihadapi klien; (b) Klien mengkhususkan perubahan positif yang dikehendaki sebagai hasil konseling; (c) Konselor dan klien mendiskusikan tujuan yang telah ditetapkan klien : (a) apakah merupakan tujuan yang benar-benar dimiliki dan diinginkan klien; (b) apakah tujuan itu realistik; (c) kemungkinan manfaatnya; dan (d)k emungkinan kerugiannya; (e) Konselor dan klien membuat keputusan apakahmelanjutkan konseling dengan menetapkan teknik yang akan dilaksanakan, mempertimbangkan kembali tujuan yang akan dicapai, atau melakukan referal.
- Technique implementation, yaitu menentukan dan melaksanakan teknik konseling yang digunakan untuk mencapai tingkah laku yang diinginkan yang menjadi tujuan konseling.
- Evaluation termination, yaitu melakukan kegiatan penilaian apakah kegiatan konseling yang telah dilaksanakan mengarah dan mencapai hasil sesuai dengan tujuan konseling.
- Feedback, yaitu memberikan dan menganalisis umpan balik untuk memperbaiki dan meingkatkan proses konseling.
Teknik konseling
behavioral didasarkan pada penghapusan respon yang telah dipelajari (yang
membentuk tingkah laku bermasalah) terhadap perangsang, dengan demikian
respon-respon yang baru (sebagai tujuan konseling) akan dapat dibentuk.
Prinsip
Kerja Teknik Konseling Behavioral
- Memodifikasi tingkah laku melalui pemberian penguatan. Agar klien terdorong untuk merubah tingkah lakunya penguatan tersebut hendaknya mempunyai daya yang cukup kuat dan dilaksanakan secara sistematis dan nyata-nyata ditampilkan melalui tingkah laku klien.
- Mengurangi frekuensi berlangsungnya tingkah laku yang tidak diinginkan.
- Memberikan penguatan terhadap suatu respon yang akan mengakibatkan terhambatnya kemunculan tingkah laku yang tidak diinginkan.
- Mengkondisikan pengubahan tingkah laku melalui pemberian contoh atau model (film, tape recorder, atau contoh nyata langsung).
- Merencanakan prosedur pemberian penguatan terhadap tingkah laku yang diinginkan dengan sistem kontrak. Penguatannya dapat berbentuk ganjaran yang berbentuk materi maupun keuntungan sosial.
Teknik-teknik
Konseling Behavioral
Latihan Asertif
Teknik ini dugunakan untuk melatih klien
yang mengalami kesulitan untuk menyatakan diri bahwa tindakannya adalah layak
atau benar. Latihan ini terutama berguna di antaranya untuk membantu individu
yang tidak mampu mengungkapkan perasaan tersinggung, kesulitan menyatakan
tidak, mengungkapkan afeksi dan respon posistif lainnya. Cara yang digunakan
adalah dengan permainan peran dengan bimbingan konselor. Diskusi-diskusi
kelompok juga dapat diterapkan dalam latihan asertif ini.
Desensitisasi Sistematis
Desensitisasi sistematis merupakan teknik
konseling behavioral yang memfokukskan bantuan untuk menenangkan klien dari
ketegangan yang dialami dengan cara mengajarkan klien untuk rileks. Esensi
teknik ini adalah menghilangkan tingkah laku yang diperkuat secara negatif dan
menyertakan respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang akan dihilangkan.
Dengan pengkondisian klasik respon-respon yang tidak dikehendaki dapat dihilangkan
secara bertahap. Jadi desensitisasi sistematis hakikatnya merupakan teknik
relaksi yang digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara
negatif biasanya merupakan kecemasan, dan ia menyertakan respon yang berlawanan
dengan tingkah laku yang akan dihilangkan.
Pengkondisian Aversi
Teknik ini dapat digunakan untuk
menghilangkan kebiasaan buruk. Teknik ini dimaksudkan untuk meningkatkan
kepekaan klien agar mengamati respon pada stimulus yang disenanginya dengan
kebalikan stimulus tersebut.
Stimulus yang tidak menyenangkan yang
disajikan tersebut diberikan secara bersamaan dengan munculnya tingkah laku
yang tidak dikehendaki kemunculannya. Pengkondisian ini diharapkan terbentuk
asosiasi antara tingkah laku yang tidak dikehendaki dengan stimulus yang tidak
menyenangkan.
Pembentukan Tingkah laku Model
Teknik ini dapat digunakan untuk membentuk
tingkah laku baru pada klien, dan memperkuat tingkah laku yang sudah terbentuk.
Dalam hal ini konselor menunjukkan kepada klien tentang tingkah laku model,
dapat menggunakan model audio, model fisik, model hidup atau lainnya yang
teramati dan dipahami jenis tingkah laku yang hendak dicontoh. Tingkah laku
yang berhasil dicontoh memperoleh ganjaran dari konselor. Ganjaran dapat berupa
pujian sebagai ganjaran sosial.
Sumber : Dr. DYP Sugiharto, M.Pd.
Pendekatan-Pendekatan Konseling. (Makalah)
Pendekatan Konseling Gestalt
Diterbitkan Januari 23, 2008
A. Konsep Dasar
Pendekatan konseling ini berpandangan
bahwa manusia dalam kehidupannya selalu aktif sebagai suatu keseluruhan. Setiap
individu bukan semata-mata merupakan penjumlahan dari bagian-bagian organ-organ
seperti hati, jantung, otak, dan sebagainya, melainkan merupakan suatu
koordinasi semua bagian tersebut.
Manusia aktif terdorong kearah keseluruhan
dan integrasi pemikiran, pera-saan, dan tingkah lakunya
Setiap individu memiliki kemampuan untuk
menerima tanggung jawab pribadi, memiliki dorongan untuk mengembangkan
kesadaran yang akan mengarahkan menuju terbentuknya integritas atau keutuhan
pribadi. Jadi hakikat manusia menurut pendekatan konseling ini adalah : (1)
tidak dapat dipahami, kecuali dalam keseluruhan konteksnya, (2) merupakan
bagian dari lingkungannya dan hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan
lingkungannya itu, (3) aktor bukan reaktor, (4) berpotensi untuk menyadari
sepenuhnya sensasi, emosi, persepsi, dan pemikirannya, (5) dapat memilih secara
sadar dan bertanggung jawab, (6) mampu mengatur dan mengarahkan hidupnya secara
efektif.
Dalam hubungannya dengan perjalanan
kehidupan manusia, pendekatan ini memandang bahwa tidak ada yang “ada” kecuali
“sekarang”. Masa lalu telah pergi dan masa depan belum dijalani, oleh karena
itu yang menentukan kehidupan manusia adalah masa sekarang.
Dalam pendekatan ini, kecemasan dipandang
sebagai “kesenjangan antara saat sekarang dan kemudian”. Jika individu
menyimpang dari saat sekarang dan menjadi terlalu terpaku pada masa depan, maka
mereka mengalami kecemasan.
Dalam pendekatan gestalt terdapat konsep
tentang urusan yang tak selesai (unfinished business), yakni mencakup
perasaan-perasaan yang tidak terungkapkan seperti dendam, kemarahan, kebencian,
sakit hati, kecemasan, kedudukan, rasa berdosa, rasa diabaikan. Meskipun tidak
bisa diungkapkan, perasaan-perasaan itu diasosiasikan dengan ingatan-ingatan
dan fantasi-fantasi tertentu. Karena tidak terungkapkan di dalam kesadaran,
perasaan-perasaan itu tetap tinggal pada latar belakang dan di bawa pada
kehidupan sekarang dengan cara-cara yang menghambat hubungan yang efektif
dengan dirinya sendiri dan orang lain. Urusan yang tak selesai itu akan
bertahan sampai ia menghadapi dan menangani perasaan-perasaan yang tak terungkapkan
itu.
B. Asumsi Tingkah Laku Bermasalah
Individu bermasalah kaena terjadi
pertentangan antara kekuatan “top dog” dan keberadaan “under dog”. Top dog
adalah kekuatan yang mengharuskan, menuntut, mengancam. Under dog adalah
keadaan defensif, membela diri, tidak berdaya, lemah, pasif, ingin dimaklumi.
Perkembangan yang terganggu adalah tidak
terjadi keseimbangan antara apa-apa yang harus (self-image) dan apa-apa yang
diinginkan (self).
Terjadi pertentangan antara keberadaan
sosial dan biologis
Ketidakmampuan individu mengintegrasikan
pikiran, perasaan, dan tingkah lakunya
Mengalami gap/kesenjangan sekarang dan
yang akan datang
Melarikan diri dari kenyataan yang harus
dihadapi
Spektrum tingkah laku bermasalah pada
individu meliputi :
Kepribadian kaku (rigid)
Tidak mau bebas-bertanggung jawab, ingin
tetap tergantung
Menolak berhubungan dengan lingkungan
Memeliharan unfinished bussiness
Menolak kebutuhan diri sendiri
Melihat diri sendiri dalam kontinum
“hitam-putih” .
C. Tujuan Konseling
Tujuan utama konseling Gestalt adalah
membantu klien agar berani mengahadapi berbagai macam tantangan maupun
kenyataan yang harus dihadapi. Tujuan ini mengandung makna bahwa klien haruslah
dapat berubah dari ketergantungan terhadap lingkungan/orang lain menjadi
percaya pada diri, dapat berbuat lebih banyak untuk meingkatkan kebermaknaan
hidupnya.
Individu yang bermasalah pada umumnya
belum memanfaatkan potensinya secara penuh, melainkan baru memanfaatkan
sebagaian dari potensinya yang dimilikinya. Melalui konseling konselor membantu
klien agar potensi yang baru dimanfaatkan sebagian ini dimanfaatkan dan
dikembangkan secara optimal.
Secara lebih spesifik tujuan konseling
Gestalt adalah sebagai berikut.
Membantu klien agar dapat memperoleh
kesadaran pribadi, memahami kenyataan atau realitas, serta mendapatkan insight
secara penuh.
Membantu klien menuju pencapaian
integritas kepribadiannya
Mengentaskan klien dari kondisinya yang
tergantung pada pertimbangan orang lain ke mengatur diri sendiri (to be true to
himself)
Meningkatkan kesadaran individual agar
klien dapat beringkah laku menurut prinsip-prinsip Gestalt, semua situasi
bermasalah (unfisihed bussines) yang muncul dan selalu akan muncul dapat
diatasi dengan baik.
D. Deskripsi Proses Konseling
Fokus utama konseling gestalt adalah
terletak pada bagaimana keadaan klien sekarang serta hambatan-hambatan apa yang
muncul dalam kesadarannya. Oleh karena itu tugas konselor adalah mendorong
klien untuk dapat melihat kenyataan yang ada pada dirinya serta mau mencoba
menghadapinya. Dalam hal ini perlu diarahkan agar klien mau belajar menggunakan
perasaannya secara penuh. Untuk itu klien bisa diajak untuk memilih dua
alternatif, ia akan menolak kenyataan yang ada pada dirinya atau membuka diri
untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya sekarang.
Konselor hendaknya menghindarkan diri dari
pikiran-pikiran yang abstrak, keinginan-keinginannya untuk melakukan diagnosis,
interpretasi maupun memberi nasihat.
Konselor sejak awal konseling sudah
mengarahkan tujuan agar klien menjadi matang dan mampu menyingkirkan
hambatan-hambatn yang menyebabkan klien tidak dapat berdiri sendiri. Dalam hal
ini, fungsi konselor adalah membantu klien untuk melakukan transisi dari
ketergantungannya terhadap faktor luar menjadi percaya akan kekuatannya sendiri.
Usaha ini dilakukan dengan menemukan dan membuka ketersesatan atau kebuntuan
klien.
Pada saat klien mengalami gejala kesesatan
dan klien menyatakan kekalahannya terhadap lingkungan dengan cara mengungkapkan
kelemahannya, dirinya tidak berdaya, bodoh, atau gila, maka tugas konselor
adalah membuat perasaan klien untuk bangkit dan mau menghadapi ketersesatannya
sehingga potensinya dapat berkembang lebih optimal.
Deskripsi fase-fase proses
konseling :
Fase pertama, konselor mengembangkan
pertemuan konseling, agar tercapai situasi yang memungkinkan
perubahan-perubahan yang diharapkan pada klien. Pola hubungan yang diciptakan
untuk setiap klien berbeda, karena masing-masing klien mempunyai keunikan
sebagai individu serta memiliki kebutuhan yang bergantung kepada masalah yang
harus dipecahkan.
Fase kedua, konselor berusaha meyakinkan
dan mengkondisikan klien untuk mengikuti prosedur yang telah ditetapkan sesuai
dengan kondisi klien. Ada
dua hal yang dilakukan konselor dalam fase ini, yaitu :
Membangkitkan motivasi klien, dalam hal
ini klien diberi kesempatan untuk menyadari ketidaksenangannya atau
ketidakpuasannya. Makin tinggi kesadaran klien terhadap ketidakpuasannya
semakin besar motivasi untuk mencapai perubahan dirinya, sehingga makin tinggi
pula keinginannya untuk bekerja sama dengan konselor.
Membangkitkan dan mengembangkan otonomi
klien dan menekankan kepada klien bahwa klien boleh menolak saran-saran
konselor asal dapat mengemukakan alasan-alasannya secara bertanggung jawab.
Fase ketiga, konselor mendorong klien
untuk mengatakan perasaan-perasaannya pada saat ini, klien diberi kesempatan
untuk mengalami kembali segala perasaan dan perbuatan pada masa lalu, dalam
situasi di sini dan saat ini. Kadang-kadang klien diperbolahkan memproyeksikan
dirinya kepada konselor.
Melalui fase ini, konselor berusaha
menemukan celah-celah kepribadian atau aspek-aspek kepribadian yang hilang,
dari sini dapat diidentifikasi apa yang harus dilakukan klien.
Fase keempat, setelah klien memperoleh
pemahaman dan penyadaran tentang pikiran, perasaan, dan tingkah lakunya,
konselor mengantarkan klien memasuki fase akhir konseling.
Pada fase ini klien menunjukkan
gejala-gejala yang mengindikasikan integritas kepribadiannya sebagai individu
yang unik dan manusiawi.
Klien telah memiliki kepercayaan pada
potensinya, menyadari keadaan dirinya pada saat sekarang, sadar dan bertanggung
jawab atas sifat otonominya, perasaan-perasaannya, pikiran-pikirannya dan
tingkah lakunya.
Dalam situasi ini klien secara sadar dan
bertanggung jawab memutuskan untuk “melepaskan” diri dari konselor, dan siap
untuk mengembangan potensi dirinya.
Teknik Konseling
Hubungan personal antara konselor dengan
klien merupakan inti yang perlu diciptakan dan dikembangkan dalam proses
konseling. Dalam kaitan itu, teknik-teknik yang dilaksanakan selama proses
konseling berlangsung adalah merupakan alat yang penting untuk membantu klien
memperoleh kesadaran secara penuh.
Prinsip Kerja Teknik Konseling
Gestal
Penekanan Tanggung Jawab Klien, konselor menekankan bahwa konselor bersedia membantu klien tetapi
tidak akan bisa mengubah klien, konselor menekankan agar klien mengambil
tanggung jawab atas tingkah lakunya.
Orientasi Sekarang dan Di Sini, dalam proses konseling konselor tidak merekonstruksi masa lalu
atau motif-motif tidak sadar, tetapi memfokuskan keadaan sekarang. Hal ini
bukan berarti bahwa masa lalu tidak penting. Masa lalu hanya dalam kaitannya
dengan keadaan sekarang. Dalam kaitan ini pula konselor tidak pernah bertanya
“mengapa”.
Orientasi Eksperiensial, konselor meningkatkan kesadaran klien tentang diri sendiri dan
masalah-masalahnya, sehingga dengan demikian klien mengintegrasikan kembali
dirinya: (a) klien mempergunakan kata ganti personal
klien mengubah kalimat pertanyaan menjadi
pernyataan; (b)klien mengambil peran dan tanggung jawab; (c) klien menyadari
bahwa ada hal-hal positif dan/atau negative pada diri atau tingkah lakunya
Teknik-teknik Konseling Gestalt
Permainan Dialog
Teknik ini dilakukan dengan cara klien
dikondisikan untuk mendialogan dua kecenderungan yang saling bertentangan,
yaitu kecenderungan top dog dan kecenderungan under dog, misalnya : (a)
kecenderungan orang tua lawan kecenderungan anak; (b) kecenderungan bertanggung
jawab lawan kecenderungan masa bodoh; (c) kecenderungan “anak baik” lawan
kecenderungan “anak bodoh”
kecenderungan otonom lawan kecenderungan
tergantung; (d) kecenderungan kuat atau tegar lawan kecenderungan lemah
Melalui dialog yang kontradiktif ini,
menurut pandangan Gestalt pada akhirnya klien akan mengarahkan dirinya pada
suatu posisi di mana ia berani mengambil resiko. Penerapan permainan dialog ini
dapat dilaksanakan dengan menggunakan teknik “kursi kosong”.
Latihan Saya Bertanggung Jawab
Merupakan teknik yang dimaksudkan untuk
membantu klien agar mengakui dan menerima perasaan-perasaannya dari pada
memproyeksikan perasaannya itu kepada orang lain.
Dalam teknik ini konselor meminta klien
untuk membuat suatu pernyataan dan kemudian klien menambahkan dalam pernyataan
itu dengan kalimat : “…dan saya bertanggung jawab atas hal itu”.
Misalnya :
“Saya merasa jenuh, dan saya bertanggung
jawab atas kejenuhan itu”
“Saya tidak tahu apa yang harus saya
katakan sekarang, dan saya bertanggung jawab ketidaktahuan itu”.
“Saya malas, dan saya bertanggung jawab
atas kemalasan itu”.
Meskipun tampaknya mekanis, tetapi menurut
Gestalt akan membantu meningkatkan kesadaraan klien akan perasaan-perasaan yang
mungkin selama ini diingkarinya.
Bermain Proyeksi
Proyeksi artinya memantulkan kepada orang
lain perasaan-perasaan yang dirinya sendiri tidak mau melihat atau menerimanya.
Mengingkari perasaan-perasaan sendiri dengan cara memantulkannya kepada orang
lain.Sering terjadi, perasaan-perasaan yang dipantulkan kepada orang lain
merupakan atribut yang dimilikinya.
Dalam teknik bermain proyeksi konselor
meminta kepada klien untuk mencobakan atau melakukan hal-hal yang diproyeksikan
kepada orang lain.
Teknik Pembalikan
Gejala-gejala dan tingkah laku tertentu
sering kali mempresentasikan pembalikan dari dorongan-dorongan yang
mendasarinya. Dalam teknik ini konselor meminta klien untuk memainkan peran
yang berkebalikan dengan perasaan-perasaan yang dikeluhkannya.
Misalnya : konselor memberi kesempatan
kepada klien untuk memainkan peran “ekshibisionis” bagi klien pemalu yang
berlebihan.
Tetap dengan Perasaan
Teknik dapat digunakan untuk klien yang
menunjukkan perasaan atau suasana hati yang tidak menyenangkan atau ia sangat
ingin menghindarinya. Konselor mendorong klien untuk tetap bertahan dengan
perasaan yang ingin dihindarinya itu.
Kebanyakan klien ingin melarikan diri dari
stimulus yang menakutkan dan menghindari perasaan-perasaan yang tidak
menyenangkan. Dalam hal ini konselor tetap mendorong klien untuk bertahan
dengan ketakutan atau kesakitan perasaan yang dialaminya sekarang dan mendorong
klien untuk menyelam lebih dalam ke dalam tingklah laku dan perasaan yang ingin
dihindarinya itu.
Untuk membuka dan membuat jalan menuju
perkembangan kesadaran perasaan yang lebih baru tidak cukup hanya
mengkonfrontasi dan menghadapi perasaan-perasaan yang ingin dihindarinya tetapi
membutuhkan keberanian dan pengalaman untuk bertahan dalam kesakitan perasaan
yang ingin dihindarinya itu.
Sumber : Dr. DYP Sugiharto, M.Pd.
Pendekatan-Pendekatan Konseling. (Makalah)
Pendekatan Konseling Rasional Emotif
Diterbitkan Januari 23, 2008
A. Konsep Dasar
Manusia padasarnya adalah unik yang
memiliki kecenderungan untuk berpikir rasional dan irasional. Ketika berpikir
dan bertingkahlaku rasional manusia akan efektif, bahagia, dan kompeten. Ketika
berpikir dan bertingkahlaku irasional individu itu menjadi tidak efektif.Reaksi
emosional seseorang sebagian besar disebabkan oleh evaluasi, interpretasi, dan
filosofi yang disadari maupun tidak disadari.Hambatan psikologis atau emosional
adalah akibat dari cara berpikir yang tidak logis dan irasional. Emosi
menyertai individu yang berpikir dengan penuh prasangka, sangat personal, dan
irasional.Berpikir irasional diawali dengan belajar secara tidak logis yang
diperoleh dari orang tua dan budaya tempat dibesarkan. Berpikir secara
irasional akan tercermin dari verbalisasi yang digunakan. Verbalisasi yang
tidak logis menunjukkan cara berpikir yang salah dan verbalisasi yang tepat
menunjukkan cara berpikir yang tepat.Perasaan dan pikiran negatif serta
penolakan diri harus dilawan dengan cara berpikir yang rasional dan logis, yang
dapat diterima menurut akal sehat, serta menggunakan cara verbalisasi yang
rasional.
Pandangan pendekatan rasional emotif
tentang kepribadian dapat dikaji dari konsep-konsep kunci teori Albert Ellis :
ada tiga pilar yang membangun tingkah laku individu, yaitu Antecedent event
(A), Belief (B), dan Emotional consequence (C). Kerangka pilar ini yang
kemudian dikenal dengan konsep atau teori ABC.
Antecedent event (A) yaitu segenap peristiwa luar yang dialami atau memapar individu.
Peristiwa pendahulu yang berupa fakta, kejadian, tingkah laku, atau sikap orang
lain. Perceraian suatu keluarga, kelulusan bagi siswa, dan seleksi masuk bagi
calon karyawan merupakan antecendent event bagi seseorang.
Belief (B) yaitu keyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi
diri individu terhadap suatu peristiwa. Keyakinan seseorang ada dua macam,
yaitu keyakinan yang rasional (rational belief atau rB) dan keyakinan yang
tidak rasional (irrasional belief atau iB). Keyakinan yang rasional merupakan
cara berpikir atau system keyakinan yang tepat, masuk akal, bijaksana, dan
kerana itu menjadi prosuktif. Keyakinan yang tidak rasional merupakan keyakinan
ayau system berpikir seseorang yang salah, tidak masuk akal, emosional, dan
keran itu tidak produktif.
Emotional consequence (C) merupakan konsekuensi emosional sebagai akibat atau reaksi individu
dalam bentuk perasaan senang atau hambatan emosi dalam hubungannya dengan
antecendent event (A). Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari A
tetapi disebabkan oleh beberapa variable antara dalam bentuk keyakinan (B) baik
yang rB maupun yang iB.
B. Asumsi Tingkah Laku Bermasalah
Dalam perspektif pendekatan konseling
rasional emotif tingkah laku bermasalah adalah merupakan tingkah laku yang
didasarkan pada cara berpikir yang irrasional.
Ciri-ciri berpikir irasional : (a) tidak
dapat dibuktikan; (b) menimbulkan perasaan tidak enak (kecemasan, kekhawatiran,
prasangka) yang sebenarnya tidak perlu; (c) menghalangi individu untuk
berkembang dalam kehidupan sehari-hari yang efektif
Sebab-sebab individu tidak mampu berpikir
secara rasional : (a) individu tidak berpikir jelas tentangg saat ini dan yang
akan dating, antara kenyatan dan imajinasi; (b) individu tergantung pada
perencanaan dan pemikiran orang lain; (c) orang tua atau masyarakat memiliki
kecenderungan berpikir irasional yang diajarkan kepada individu melalui
berbagai media.
Indikator keyakinan irasional : (a)
manusia hidup dalam masyarakat adalah untuk diterima dan dicintai oleh orang
lain dari segala sesuatu yang dikerjakan; (b) banyak orang dalam kehidupan
masyarakat yang tidak baik, merusak, jahat, dan kejam sehingga mereka patut
dicurigai, disalahkan, dan dihukum; (c) kehidupan manusia senantiasa dihadapkan
kepada berbagai malapetaka, bencana yang dahsyat, mengerikan, menakutkan yang
mau tidak mau harus dihadapi oleh manusia dalam hidupnya; (d) lebih mudah untuk
menjauhi kesulitan-kesulitan hidup tertentu dari pada berusaha untuk
mengahadapi dan menanganinya; (e) penderitaan emosional dari seseorang muncul
dari tekanan eksternal dan bahwa individu hanya mempunyai kemampuan sedikit
sekali untuk menghilangkan penderitaan emosional tersebut; (f) pengalaman masa
lalu memberikan pengaruh sangat kuat terhadap kehidupan individu dan menentukan
perasaan dan tingkah laku individu pada saat sekarang; (g) untuk mencapai
derajat yang tinggi dalam hidupnya dan untuk merasakan sesuatu yang
menyenangkan memerlukan kekuatan supranatural; dan (h) nilai diri sebagai
manusia dan penerimaan orang lain terhadap diri tergantung dari kebaikan
penampilan individu dan tingkat penerimaan oleh orang lain terhadap individu.
C. Tujuan Konseling
Memperbaiki dan merubah sikap, persepsi,
cara berpikir, keyakinan serta pandangan-pandangan klien yang irasional dan
tidak logis menjadi pandangan yang rasional dan logis agar klien dapat
mengembangkan diri, meningkatkan sel-actualizationnya seoptimal mungkin melalui
tingkah laku kognitif dan afektif yang positif.
Menghilangkan gangguan-gangguan emosional
yang merusak diri sendiri seperti rasa takut, rasa bersalah, rasa berdosa, rasa
cemas, merasa was-was, rasa marah.
Tiga tingkatan insight yang perlu dicapai
klien dalam konseling dengan pendekatan rasional-emotif :
Pertama insight dicapai ketika klien
memahami tentang tingkah laku penolakan diri yang dihubungkan dengan penyebab
sebelumnya yang sebagian besar sesuai dengan keyakinannya tentang
peristiwa-peristiwa yang diterima (antecedent event) pada saat yang lalu.
Kedua, insight terjadi ketika konselor
membantu klien untuk memahami bahwa apa yang menganggu klien pada saat ini
adalah karena berkeyakinan yang irasional terus dipelajari dari yang diperoleh
sebelumnya.
Ketiga, insight dicapai pada saat konselor
membantu klien untuk mencapai pemahaman ketiga, yaitu tidak ada jalan lain
untuk keluar dari hembatan emosional kecuali dengan mendeteksi dan melawan
keyakinan yang irasional.
Klien yang telah memiliki keyakinan
rasional tjd peningkatan dalam hal : (1) minat kepada diri sendiri, (2) minat
sosial, (3) pengarahan diri, (4) toleransi terhadap pihak lain, (5) fleksibel,
(6) menerima ketidakpastian, (7) komitmen terhadap sesuatu di luar dirinya, ( penerimaan diri, (9) berani
mengambil risiko, dan (10) menerima kenyataan.
D. Deskripsi Proses Konseling
Konseling rasional emotif dilakukan dengan
menggunakan prosedur yang bervariasi dan sistematis yang secara khusus
dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku dalam batas-batas tujuan yang disusun
secara bersama-sama oleh konselor dan klien.
Tugas konselor menunjukkan bahwa
- masalahnya disebabkan oleh persepsi yang terganggu dan pikiran-pikiran yang tidak rasional
- usaha untuk mengatasi masalah adalah harus kembali kepada sebab-sebab permulaan.
Operasionalisasi tugas konselor : (a)
lebih edukatif-direktif kepada klien, dengan cara banyak memberikan cerita dan
penjelasan, khususnya pada tahap awal mengkonfrontasikan masalah klien secara
langsung; (b) menggunakan pendekatan yang dapat memberi semangat dan
memperbaiki cara berpikir klien, kemudian memperbaiki mereka untuk dapat mendidik
dirinya sendiri dengan gigih dan berulang-ulang menekankan bahwa ide irrasional
itulah yang menyebabkan hambatan emosional pada klien; (c) mendorong klien
menggunakan kemampuan rasional dari pada emosinya; (d) menggunakan pendekatan
didaktif dan filosofis menggunakan humor dan “menekan” sebagai jalan
mengkonfrontasikan berpikir secara irasional.
Karakteristik Proses Konseling
Rasional-Emotif :
- Aktif-direktif, artinya bahwa dalam hubungan konseling konselor lebih aktif membantu mengarahkan klien dalam menghadapi dan memecahkan masalahnya.
- Kognitif-eksperiensial, artinya bahwa hubungan yang dibentuk berfokus pada aspek kognitif dari klien dan berintikan pemecahan masalah yang rasional.
- Emotif-ekspreriensial, artinta bahwa hubungan konseling yang dikembangkan juga memfokuskan pada aspek emosi klien dengan mempelajari sumber-sumber gangguan emosional, sekaligus membongkar akar-akar keyakinan yang keliru yang mendasari gangguan tersebut.
- Behavioristik, artinya bahwa hubungan konseling yang dikembangkan hendaknya menyentuh dan mendorong terjadinya perubahan tingkah laku klien.
E. Teknik Konseling
Pendekatan konseling rasional emotif
menggunakan berbagai teknik yang bersifat kogntif, afektif, dan behavioral yang
disesuaikan dengan kondisi klien. Beberapa teknik dimaksud antara lain adalah
sebagai berikut.
Teknik-Teknik Emotif (Afektif)
Assertive adaptive
Teknik yang digunakan untuk melatih,
mendorong, dan membiasakan klien untuk secara terus-menerus menyesuaikan
dirinya dengan tingkah laku yang diinginkan. Latihan-latihan yang diberikan
lebih bersifat pendisiplinan diri klien.
Bermain peran
Teknik untuk mengekspresikan berbagai
jenis perasaan yang menekan (perasaan-perasaan negatif) melalui suatu suasana
yang dikondisikan sedemikian rupa sehingga klien dapat secara bebas
mengungkapkan dirinya sendiri melalui peran tertentu.
Imitasi
Teknik untuk menirukan secara terus
menerus suatu model tingkah laku tertentu dengan maksud menghadapi dan
menghilangkan tingkah lakunya sendiri yang negatif.
Teknik-teknik Behavioristik
Reinforcement
Teknik untuk mendorong klien ke arah
tingkah laku yang lebih rasional dan logis dengan jalan memberikan pujian
verbal (reward) ataupun hukuman (punishment). eknik ini dimaksudkan untuk
membongkar sistem nilai dan keyakinan yang irrasional pada klien dan
menggantinya dengan sistem nilai yang positif.
Dengan memberikan reward ataupun
punishment, maka klien akan menginternalisasikan sistem nilai yang diharapkan
kepadanya.
Social modeling
Teknik untuk membentuk tingkah
laku-tingkah laku baru pada klien. Teknik ini dilakukan agar klien dapat hidup
dalam suatu model sosial yang diharapkan dengan cara imitasi (meniru),
mengobservasi, dan menyesuaikan dirinya dan menginternalisasikan norma-norma
dalam sistem model sosial dengan masalah tertentu yang telah disiapkan oleh
konselor.
Teknik-teknik Kognitif
Home work assigments,
Teknik yang dilaksanakan dalam bentuk
tugas-tugas rumah untuk melatih, membiasakan diri, dan menginternalisasikan
sistem nilai tertentu yang menuntut pola tingkah laku yang diharapkan.
Dengan tugas rumah yang diberikan, klien
diharapkan dapat mengurangi atau menghilangkan ide-ide dan perasaan-perasaan
yang tidak rasional dan tidak logis, mempelajari bahan-bahan tertentu yang
ditugaskan untuk mengubah aspek-aspek kognisinya yang keliru, mengadakan
latihan-latihan tertentu berdasarkan tugas yang diberikan
Pelaksanaan home work assigment yang
diberikan konselor dilaporkan oleh klien dalam suatu pertemuan tatap muka
dengan konselor
Teknik ini dimaksudkan untuk membina dan
mengembangkan sikap-sikap tanggung jawab, kepercayaan pada diri sendiri serta
kemampuan untuk pengarahan diri, pengelolaan diri klien dan mengurangi
ketergantungannya kepada konselor.
Latihan assertive
Teknik untuk melatih keberanian klien
dalam mengekspresikan tingkah laku-tingkah laku tertentu yang diharapkan
melalui bermain peran, latihan, atau meniru model-model sosial.
Maksud utama teknik latihan asertif adalah
: (a) mendorong kemampuan klien mengekspresikan berbagai hal yang berhubungan
dengan emosinya; (b) membangkitkan kemampuan klien dalam mengungkapkan hak
asasinya sendiri tanpa menolak atau memusuhi hak asasi orang lain; (c)
mendorong klien untuk meningkatkan kepercayaan dan kemampuan diri; dan (d)
meningkatkan kemampuan untuk memilih tingkah laku-tingkah laku asertif yang
cocok untuk diri sendiri.
Sumber : Dr. DYP Sugiharto, M.Pd.
Pendekatan-Pendekatan Konseling. (Makalah)
Pendekatan Konseling Psikoanalisis
Diterbitkan Juli 8, 2008
A. Konsep Dasar
1. Hakikat manusia,
Freud berpendapat bahwa manusia berdasar pada sifat-sifat:
- Anti rasionalisme
- Mendasari tindakannya dengan motivasi yang tak sadar, konflik dan simbolisme.
- Manusia secara esensial bersifat biologis, terlahir dengan dorongan-dorongan instingtif, sehingga perilaku merupakan fungsi yang di dalam ke arah dorongan tadi. Libido atau eros mendorong manusia ke arah pencarian kesenangan, sebagai lawan lawan dari Thanatos
- Semua kejadian psikis ditentukan oleh kejadian psikis sebelumnya.
- Kesadaran merupakan suatu hal yang tidak biasa dan tidak merupakan proses mental yang berciri biasa.
- Pendekatan ini didasari oleh teori Freud, bahwa kepribadian seseorang mempunyai tiga unsur, yaitu id, ego, dan super ego
C. Tujuan
Konseling
- Menolong individu mendapatkan pengertian yang terus menerus dari pada mekanisme penyesuaian diri mereka sendiri
- Membentuk kembali struktur kepribadian klien dengan jalan mengembalikan hal-hal yang tak disadari menjadi sadar kembali, dengan menitikberatkan pada pemahaman dan pengenalan pengalaman-pengalaman masa anak-anak, terutama usia 2-5 tahun, untuk ditata, disikusikan, dianalisis dan ditafsirkan sehingga kepribadian klien bisa direkonstruksi lagi.
D. Deskripsi
Proses Konseling
1. Fungsi konselor
- Konselor berfungsi sebagai penafsir dan penganalisis
- Konselor bersikap anonim, artinya konselor berusaha tak dikenal klien, dan bertindak sedikit sekali memperlihatkan perasaan dan pengalamannya, sehingga klien dengan mudah dapat memantulkan perasaannya untuk dijadikan sebagai bahan analisis.
2. Langkah-langkah yang
ditempuh :
- Menciptakan hubungan kerja dengan klien
- Tahap krisis bagi klien yaitu kesukaran dalam mengemukakan masalahnya dan melakukan transferensi.
- Tilikan terhadap masa lalu klien terutama pada masa kanak-kanaknya
- Pengembangan reesitensi untuk pemahaman diri
- Pengembangan hubungan transferensi klien dengan konselor.
- Melanjutkan lagi hal-hal yang resistensi.
- Menutup wawancara konseling
E. Teknik
Konseling
- Asosiasi bebas, yaitu mengupayakan klien untuk menjernihkan atau mengikis alam pikirannya dari alam pengalaman dan pemikiran sehari-hari sekarang, sehingga klien mudah mengungkapkan pengalaman masa lalunya. Klien diminta mengutarakan apa saja yang terlintas dalam pikirannya. Tujuan teknik ini adalah agar klien mengungkapkan pengalaman masa lalu dan menghentikan emosi-emosi yang berhubungan dengan pengalaman traumatik masa lalu. Hal ini disebut juga katarsis.
- Analisis mimpi, klien diminta untuk mengungkapkan tentang berbagai kejadian dalam mimpinya dan konselor berusaha untuk menganalisisnya. Teknik ini digunakan untuk menilik masalah-masalah yang belum terpecahkan. Proses terjadinya mimpi adalah karena pada waktu tidur pertahanan ego menjadi lemah dan kompleks yang terdesak pun muncul ke permukaan. Menurut Freud, mimpi ini ditafsirkan sebagai jalan raya mengekspresikan keinginan-keinginan dan kecemasan yang tak disadari.
- Interpretasi, yaitu mengungkap apa yang terkandung di balik apa yang dikatakan klien, baik dalam asosiasi bebas, mimpi, resistensi, dan transferensi klien. Konselor menetapkan, menjelaskan dan bahkan mengajar klien tentang makna perilaku yang termanifestasikan dalam mimpi, asosiasi bebas, resitensi dan transferensi.
- Analisis resistensi; resistensi berati penolakan, analisis resistensi ditujukan untuk menyadarkan klien terhadap alasan-alasan terjadinya penolakannya (resistensi). Konselor meminta perhatian klien untuk menafsirkan resistensi
- Analisis transferensi. Transferensi adalah mengalihkan, bisa berupa perasaan dan harapan masa lalu. Dalam hal ini, klien diupayakan untuk menghidupkan kembali pengalaman dan konflik masa lalu terkait dengan cinta, seksualitas, kebencian, kecemasan yang oleh klien dibawa ke masa sekarang dan dilemparkan ke konselor. Biasanya klien bisa membenci atau mencintai konselor. Konselor menggunakan sifat-sifat netral, objektif, anonim, dan pasif agar bisa terungkap tranferensi tersebut.
Konseling Humanistik
Diterbitkan Juli 14, 2008
A. Konsep Dasar:
- Memandang manusia sebagai individu yang unik. Manusia merupakan seseorang yang ada, sadar dan waspada akan keberadaannya sendiri. Setiap orang menciptakan tujuannnya sendiri dengan segala kreatifitasnya, menyempurnakan esensi dan fakta eksistensinya.
- Manusia sebagai makhluk hidup yang dapat menentukan sendiri apa yang ia kerjakan dan yang tidak dia kerjakan, dan bebas untuk menjadi apa yang ia inginkan. Setiap orang bertanggung jawab atas segala tindakannya.
- Manusia tidak pernah statis, ia selalu menjadi sesuatu yang berbeda, oleh karena itu manusia mesti berani menghancurkan pola-pola lama dan mandiri menuju aktualisasi diri
- Setiap orang memiliki potensi kreatif dan bisa menjadi orang kreatif. Kreatifitas merupakan fungsi universal kemanusiaan yang mengarah pada seluruh bentuk self expression.
B. Asumsi
Perilaku Bermasalah
Gangguan jiwa disebabkan
karena individu yang bersangkutan tidak dapat mengembangkan potensinya. Dengan
perkataan lain, pengalamannya tertekan.
C. Tujuan
Konseling
- Mengoptimalkan kesadaran individu akan keberadaannya dan menerima keadaannya menurut apa adanya. Saya adalah saya
- Memperbaiki dan mengubah sikap, persepsi cara berfikir, keyakinan serta pandangan-pandangan individu, yang unik, yang tidak atau kurang sesuai dengan dirinya agar individu dapat mengembangkan diri dan meningkatkan self actualization seoptimal mungkin.
- Menghilangkan hambatan-hambatan yang dirasakan dan dihayati oleh individu dalam proses aktualisasi dirinya.
- Membantu individu dalam menemukan pilihan-pilihan bebas yang mungkin dapat dijangkau menurut kondisi dirinya.
D. Deskripsi
Proses Konseling
- Adanya hubungan yang akrab antara konselor dan konseli.
- Adanya kebebasan secara penuh bagi individu untuk mengemukakan problem dan apa yang diinginkannya.
- Konselor berusaha sebaik mungkin menerima sikap dan keluhan serta perilaku individu dengan tanpa memberikan sanggahan.
- Unsur menghargai dan menghormati keadaan diri individu dan keyakinan akan kemampuan individu merupakan kunci atau dasar yang paling menentukan dalam hubungan konseling.
- Pengenalan tentang keadaan individu sebelumnya beserta lingkungannya sangat diperlukan oleh konselor.
E. Teknik-Teknik
Konseling
Teknik yang dianggap
tepat untuk diterapkan dalam pendekatan ini yaitu teknik client centered
counseling, sebagaimana dikembangkan oleh Carl R. Rogers. meliputi: (1) acceptance
(penerimaan); (2) respect (rasa hormat); (3) understanding
(pemahaman); (4) reassurance (menentramkan hati); (5) encouragement
(memberi dorongan); (5) limited questioning (pertanyaan terbatas; dan
(6) reflection (memantulkan pernyataan dan perasaan).
Melalui penggunaan teknik-teknik
tersebut diharapkan konseli dapat (1) memahami dan menerima diri dan
lingkungannya dengan baik; (2) mengambil keputusan yang tepat; (3) mengarahkan
diri; (4) mewujudkan dirinya.
Sumber:
Sayekti. 1997. Berbagai
Pendekatan dalam Konseling. Yogyakarta:
Menara Mass Offset
Sofyan S. Willis. 2007. Konseling
Individual; Teori dan Praktek. Bandung:
Alfabeta
Terapi Realitas
Diterbitkan Juli 14, 2008
A. Konsep Dasar
Terapi Realitas merupakan
suatu bentuk hubungan pertolongan yang praktis, relatif sederhana dan bentuk
bantuan langsung kepada konseli, yang dapat dilakukan oleh guru atau konselor
di sekolah daam rangka mengembangkan dan membina kepribadian/kesehatan mental
konseli secara sukses, dengan cara memberi tanggung jawab kepada konseli yang
bersangkutan.
Terapi Realitas
berprinsip seseorang dapat dengan penuh optimis menerima bantuan dari terapist
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dan mampu menghadapi kenyataan
tanpa merugikan siapapun.
Terapi Realitas lebih
menekankan masa kini, maka dalam memberikan bantuan tidak perlu melacak sejauh
mungkin pada masa lalunya, sehingga yang paling dipentingkan adalah bagaimana
konseli dapat memperoleh kesuksesan pada masa yang akan datang.
Adalah William Glasser
sebagai tokoh yang mengembangkan bentuk terapi ini. Menurutnya, bahwa tentang
hakikat manusia adalah:
- Bahwa manusia mempunyai kebutuhan yang tunggal, yang hadir di seluruh kehidupannya, sehingga menyebabkan dia memiliki keunikan dalam kepribadiannnya.
- Setiap orang memiliki kemampuan potensial untuk tumbuh dan berkembang sesuai pola-pola tertentu menjadi kemampuan aktual. Karennya dia dapat menjadi seorang individu yang sukses.
- Setiap potensi harus diusahakan untuk berkembang dan terapi realitas berusaha membangun anggapan bahwa tiap orang akhirnya menentukan nasibnya sendiri
B. Ciri-Ciri
Terapi Realitas
- Menolak adanya konsep sakit mental pada setiap individu, tetapi yang ada adalah perilaku tidak bertanggungjawab tetapi masih dalam taraf mental yang sehat.
- Berfokus pada perilaku nyata guna mencapai tujuan yang akan datang penuh optimisme.
- Berorientasi pada keadaan yang akan datang dengan fokus pada perilaku yang sekarang yang mungkin diubah, diperbaiki, dianalisis dan ditafsirkan. Perilaku masa lampau tidak bisa diubah tetapi diterima apa adanya, sebagai pengalaman yang berharga.
- Tidak menegaskan transfer dalam rangka usaha mencari kesuksesan. Konselor dalam memberikan pertolongan mencarikan alternatif-alternatif yang dapat diwujudkan dalam perilaku nyata dari berbagai problema yang dihadapi oleh konseli .
- Menekankan aspek kesadaran dari konseli yang harus dinyatakan dalam perilaku tentang apa yang harus dikerjakan dan diinginkan oleh konseli . Tanggung jawab dan perilaku nyata yang harus diwujudkan konseli adalah sesuatu yang bernilai dan bermakna dan disadarinya.
- Menghapuskan adanya hukuman yang diberikan kepada individu yang mengalami kegagalan., tetapi yang ada sebagai ganti hukuman adalah menanamkan disiplin yang disadari maknanya dan dapat diwujudkan dalam perilaku nyata.
- Menekankan konsep tanggung jawab agar konseli dapat berguna bagi dirinya dan bagi orang lain melalui perwujudan perilaku nyata.
C. Tujuan Terapi
- Menolong individu agar mampu mengurus diri sendiri, supaya dapat menentukan dan melaksanakan perilaku dalam bentuk nyata.
- Mendorong konseli agar berani bertanggung jawab serta memikul segala resiko yang ada, sesuai dengan kemampuan dan keinginannya dalam perkembangan dan pertumbuhannya.
- Mengembangkan rencana-rencana nyata dan realistik dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
- Perilaku yang sukses dapat dihubungkan dengan pencapaian kepribadian yang sukses, yang dicapai dengan menanamkan nilai-nilai adanya keinginan individu untuk mengubahnya sendiri.
- Terapi ditekankan pada disiplin dan tanggung jawab atas kesadaran sendiri.
D. Proses
Konseling (Terapi)
Konselor berperan
sebagai:
- Motivator, yang mendorong konseli untuk: (a) menerima dan memperoleh keadaan nyata, baik dalam perbuatan maupun harapan yang ingin dicapainya; dan (b) merangsang klien untuk mampu mengambil keputusan sendiri, sehingga klien tidak menjadi individu yang hidup selalu dalam ketergantungan yang dapat menyulitkandirinya sendiri.
- Penyalur tanggung jawab, sehingga: (a) keputusan terakhir berada di tangan konseli; (b) konseli sadar bertanggung jawab dan objektif serta realistik dalam menilai perilakunya sendiri.
- Moralist; yang memegang peranan untuk menetukan kedudukan nilai dari tingkah laku yang dinyatakan kliennya. Konselor akan memberi pujian apabila konseli bertanggung jawab atas perilakunya, sebaliknya akan memberi celaan bila tidak dapat bertanggung jawab terhadap perilakunya.
- Guru; yang berusaha mendidik konseli agar memperoleh berbagai pengalaman dalam mencapai harapannya.
- Pengikat janji (contractor); artinya peranan konselor punya batas-batas kewenangan, baik berupa limit waktu, ruang lingkup kehidupan konseli yang dapat dijajagi maupun akibat yang ditimbulkannya.
Teknik-Teknik dalam Konseling
- Menggunakan role playing dengan konseli
- Menggunakan humor yang mendorong suasana yang segar dan relaks
- Tidak menjanjikan kepada konseli maaf apapun, karena terlebih dahulu diadakan perjanjian untuk melakukan perilaku tertentu yang sesuai dengan keberadaan klien.
- Menolong konseli untuk merumuskan perilaku tertentu yang akan dilakukannya.
- Membuat model-model peranan terapis sebagai guru yang lebih bersifat mendidik.
- Membuat batas-batas yang tegas dari struktur dan situasi terapinya
- Menggunakan terapi kejutan verbal atau ejekan yang pantas untuk mengkonfrontasikan konseli dengan perilakunya yang tak pantas.
- Ikut terlibat mencari hidup yang lebih efektif.
Sumber:
Sayekti. 1997. Berbagai
Pendekatan dalam Konseling. Yogyakarta:
Menara Mass Offset
Sofyan S. Willis. 2007. Konseling
Individual; Teori dan Praktek. Bandung:
Alfabeta.
Teknik Umum Konseling (1)
Diterbitkan Januari 15, 2008
Teknik umum merupakan teknik
konseling yang lazim digunakan dalam tahapan-tahapan konseling dan merupakan
teknik dasar konseling yang harus dikuasai oleh konselor. Untuk lebih jelasnya,
di bawah ini akan disampaikan beberapa jenis teknik umum, diantaranya :
A. Perilaku Attending
A. Perilaku Attending
Perilaku attending disebut juga
perilaku menghampiri klien yang mencakup komponen kontak mata, bahasa tubuh,
dan bahasa lisan. Perilaku attending yang baik dapat :
1. Meningkatkan harga diri klien.
2. Menciptakan suasana yang aman
3. Mempermudah ekspresi perasaan klien dengan bebas.
1. Meningkatkan harga diri klien.
2. Menciptakan suasana yang aman
3. Mempermudah ekspresi perasaan klien dengan bebas.
Contoh perilaku attending yang
baik :
- Kepala : melakukan anggukan jika setuju
- Ekspresi wajah : tenang, ceria, senyum
- Posisi tubuh : agak condong ke arah klien, jarak antara konselor dengan klien agak dekat, duduk akrab berhadapan atau berdampingan.
- Tangan : variasi gerakan tangan/lengan spontan berubah-ubah, menggunakan tangan sebagai isyarat, menggunakan tangan untuk menekankan ucapan.
- Mendengarkan : aktif penuh perhatian, menunggu ucapan klien hingga selesai, diam (menanti saat kesempatan bereaksi), perhatian terarah pada lawan bicara.
Contoh perilaku attending yang
tidak baik :
- Kepala : kaku
- Muka : kaku, ekspresi melamun, mengalihkan pandangan, tidak melihat saat klien sedang bicara, mata melotot.
- Posisi tubuh : tegak kaku, bersandar, miring, jarak duduk dengan klien menjauh, duduk kurang akrab dan berpaling.
- Memutuskan pembicaraan, berbicara terus tanpa ada teknik diam untuk memberi kesempatan klien berfikir dan berbicara.
- Perhatian : terpecah, mudah buyar oleh gangguan luar.
B. Empati
Empati ialah kemampuan konselor
untuk merasakan apa yang dirasakan klien, merasa dan berfikir bersama klien dan
bukan untuk atau tentang klien. Empati dilakukan sejalan dengan perilaku
attending, tanpa perilaku attending mustahil terbentuk empati.
Terdapat dua macam empati, yaitu :
Terdapat dua macam empati, yaitu :
- Empati primer, yaitu bentuk empati yang hanya berusaha memahami perasaan, pikiran dan keinginan klien, dengan tujuan agar klien dapat terlibat dan terbuka.Contoh ungkapan empati primer :” Saya dapat merasakan bagaimana perasaan Anda”. ” Saya dapat memahami pikiran Anda”.” Saya mengerti keinginan Anda”.
- Empati tingkat tinggi, yaitu empati apabila kepahaman konselor terhadap perasaan, pikiran keinginan serta pengalaman klien lebih mendalam dan menyentuh klien karena konselor ikut dengan perasaan tersebut. Keikutan konselor tersebut membuat klien tersentuh dan terbuka untuk mengemukakan isi hati yang terdalam, berupa perasaan, pikiran, pengalaman termasuk penderitaannya. Contoh ungkapan empati tingkat tinggi : Saya dapat merasakan apa yang Anda rasakan, dan saya ikut terluka dengan pengalaman Anda itu”.
C. Refleksi
Refleksi adalah teknik untuk
memantulkan kembali kepada klien tentang perasaan, pikiran, dan pengalaman
sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non verbalnya. Terdapat
tiga jenis refleksi, yaitu :
- Refleksi perasaan, yaitu keterampilan atau teknik untuk dapat memantulkan perasaan klien sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non verbal klien. Contoh : ” Tampaknya yang Anda katakan adalah ….”
- Refleksi pikiran, yaitu teknik untuk memantulkan ide, pikiran, dan pendapat klien sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non verbal klien.Contoh : ” Tampaknya yang Anda katakan…”
- Refleksi pengalaman, yaitu teknik untuk memantulkan pengalaman-pengalaman klien sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non verbal klien. Contoh : ” Tampaknya yang Anda katakan suatu…”
D. Eksplorasi
Eksplorasi adalah teknik untuk
menggali perasaan, pikiran, dan pengalaman klien. Hal ini penting dilakukan
karena banyak klien menyimpan rahasia batin, menutup diri, atau tidak mampu
mengemukakan pendapatnya. Dengan teknik ini memungkinkan klien untuk bebas
berbicara tanpa rasa takut, tertekan dan terancam. Seperti halnya pada teknik
refleksi, terdapat tiga jenis dalam teknik eksplorasi, yaitu :
- Eksplorasi perasaan, yaitu teknik untuk dapat menggali perasaan klien yang tersimpan. Contoh :” Bisakah Anda menjelaskan apa perasaan bingung yang dimaksudkan ….”
- Eksplorasi pikiran, yaitu teknik untuk menggali ide, pikiran, dan pendapat klien. Contoh : ” Saya yakin Anda dapat menjelaskan lebih lanjut ide Anda tentang sekolah sambil bekerja”.
- Eksplorasi pengalaman, yaitu keterampilan atau teknik untuk menggali pengalaman-pengalaman klien. Contoh :” Saya terkesan dengan pengalaman yang Anda lalui Namun saya ingin memahami lebih jauh tentang pengalaman tersebut dan pengaruhnya terhadap pendidikan Anda”
E. Menangkap Pesan
(Paraphrasing)
Menangkap Pesan (Paraphrasing)
adalah teknik untuk menyatakan kembali esensi atau initi ungkapan klien dengan
teliti mendengarkan pesan utama klien, mengungkapkan kalimat yang mudah dan
sederhana, biasanya ditandai dengan kalimat awal : adakah atau nampaknya, dan
mengamati respons klien terhadap konselor.
Tujuan paraphrasing adalah : (1) untuk mengatakan kembali kepada klien bahwa konselor bersama dia dan berusaha untuk memahami apa yang dikatakan klien; (2) mengendapkan apa yang dikemukakan klien dalam bentuk ringkasan ; (3) memberi arah wawancara konseling; dan (4) pengecekan kembali persepsi konselor tentang apa yang dikemukakan klien.
Tujuan paraphrasing adalah : (1) untuk mengatakan kembali kepada klien bahwa konselor bersama dia dan berusaha untuk memahami apa yang dikatakan klien; (2) mengendapkan apa yang dikemukakan klien dalam bentuk ringkasan ; (3) memberi arah wawancara konseling; dan (4) pengecekan kembali persepsi konselor tentang apa yang dikemukakan klien.
Contoh dialog :
Klien : ” Itu suatu pekerjaan
yang baik, akan tetapi saya tidak mengambilnya. Saya tidak tahu mengapa
demikian ? ”
Konselor : ” Tampaknya Anda masih ragu.”
Konselor : ” Tampaknya Anda masih ragu.”
F. Pertanyaan Terbuka
(Opened Question)
Pertanyaan terbuka yaitu teknik
untuk memancing siswa agar mau berbicara mengungkapkan perasaan, pengalaman dan
pemikirannya dapat digunakan teknik pertanyaan terbuka (opened question).
Pertanyaan yang diajukan sebaiknya tidak menggunakan kata tanya mengapa atau
apa sebabnya. Pertanyaan semacam ini akan menyulitkan klien, jika dia tidak
tahu alasan atau sebab-sebabnya. Oleh karenanya, lebih baik gunakan kata tanya
apakah, bagaimana, adakah, dapatkah.
Contoh : ” Apakah Anda merasa
ada sesuatu yang ingin kita bicarakan ? ”
G. Pertanyaan Tertutup
(Closed Question)
Dalam konseling tidak selamanya
harus menggunakan pertanyaan terbuka, dalam hal-hal tertentu dapat pula
digunakan pertanyaan tertutup, yang harus dijawab dengan kata Ya atau Tidak
atau dengan kata-kata singkat. Tujuan pertanyaan tertutup untuk : (1)
mengumpulkan informasi; (2) menjernihkan atau memperjelas sesuatu; dan (3)
menghentikan pembicaraan klien yang melantur atau menyimpang jauh.
Contoh dialog :
Klien : ”Saya berusaha
meningkatkan prestasi dengan mengikuti belajar kelompok yang selama ini belum
pernah saya lakukan”.
Konselor: ”Biasanya Anda menempati peringkat berapa ? ”.
Klien : ” Empat ”
Konselor: ” Sekarang berapa ? ”
Klien : ” Sebelas ”
Konselor: ”Biasanya Anda menempati peringkat berapa ? ”.
Klien : ” Empat ”
Konselor: ” Sekarang berapa ? ”
Klien : ” Sebelas ”
H. Dorongan minimal
(Minimal Encouragement)
Dorongan minimal adalah teknik
untuk memberikan suatu dorongan langsung yang singkat terhadap apa yang telah
dikemukakan klien. Misalnya dengan menggunakan ungkapan : oh…, ya…., lalu…,
terus….dan…
Tujuan dorongan minimal agar klien terus berbicara dan dapat mengarah agar pembicaraan mencapai tujuan. Dorongan ini diberikan pada saat klien akan mengurangi atau menghentikan pembicaraannya dan pada saat klien kurang memusatkan pikirannya pada pembicaraan atau pada saat konselor ragu atas pembicaraan klien.
Tujuan dorongan minimal agar klien terus berbicara dan dapat mengarah agar pembicaraan mencapai tujuan. Dorongan ini diberikan pada saat klien akan mengurangi atau menghentikan pembicaraannya dan pada saat klien kurang memusatkan pikirannya pada pembicaraan atau pada saat konselor ragu atas pembicaraan klien.
Contoh dialog :
Klien : ” Saya putus asa… dan saya nyaris… ” (klien
menghentikan pembicaraan)Konselor: ” ya…”
Klien : ” nekad bunuh diri”
Konselor: ” lalu…”
I. Interpretasi
Yaitu teknik untuk mengulas
pemikiran, perasaan dan pengalaman klien dengan merujuk pada teori-teori, bukan
pandangan subyektif konselor, dengan tujuan untuk memberikan rujukan pandangan
agar klien mengerti dan berubah melalui pemahaman dari hasil rujukan baru
tersebut.
Contoh dialog :
Klien : ” Saya pikir dengan
berhenti sekolah dan memusatkan perhatian membantu orang tua merupakan bakti
saya pada keluarga, karena adik-adik saya banyak dan amat membutuhkan biaya.”
Konselor : ” Pendidikan tingkat SMA pada masa sekarang adalah mutlak bagi semua warga negara. Terutama hidup di kota besar seperti Anda. Karena tantangan masa depan makin banyak, maka dibutuhkan manusia Indonesia yang berkualitas. Membantu orang tua memang harus, namun mungkin disayangkan jika orang seperti Anda yang tergolong akan meninggalkan SMA”.
Konselor : ” Pendidikan tingkat SMA pada masa sekarang adalah mutlak bagi semua warga negara. Terutama hidup di kota besar seperti Anda. Karena tantangan masa depan makin banyak, maka dibutuhkan manusia Indonesia yang berkualitas. Membantu orang tua memang harus, namun mungkin disayangkan jika orang seperti Anda yang tergolong akan meninggalkan SMA”.
J. Mengarahkan
(Directing)
Yaitu teknik untuk mengajak dan
mengarahkan klien melakukan sesuatu. Misalnya menyuruh klien untuk bermain
peran dengan konselor atau menghayalkan sesuatu.
Klien : ” Ayah saya sering
marah-marah tanpa sebab. Saya tak dapat lagi menahan diri. Akhirnya terjadi
pertengkaran sengit.”
Konselor : ” Bisakah Anda mencobakan di depan saya, bagaimana sikap dan kata-kata ayah Anda jika memarahi Anda.”
Konselor : ” Bisakah Anda mencobakan di depan saya, bagaimana sikap dan kata-kata ayah Anda jika memarahi Anda.”
K. Menyimpulkan
Sementara (Summarizing)
Yaitu teknik untuk menyimpulkan
sementara pembicaraan sehingga arah pembicaraan semakin jelas. Tujuan
menyimpulkan sementara adalah untuk : (1) memberikan kesempatan kepada klien
untuk mengambil kilas balik dari hal-hal yang telah dibicarakan; (2)
menyimpulkan kemajuan hasil pembicaraan secara bertahap; (3) meningkatkan
kualitas diskusi; (4) mempertajam fokus pada wawancara konseling.
Contoh :
” Setelah kita berdiskusi
beberapa waktu alangkah baiknya jika simpulkan dulu agar semakin jelas hasil
pembicaraan kita. Dari materi materi pembicaraan yang kita diskusikan, kita
sudah sampai pada dua hal: pertama, tekad Anda untuk bekerja sambil kuliah
makin jelas; kedua, namun masih ada hambatan yang akan hadapi, yaitu : sikap
orang tua Anda yang menginginkan Anda segera menyelesaikan studi, dan waktu
bekerja yang penuh sebagaimana tuntutan dari perusahaan yang akan Anda masuki.”
Sumber :
Sofyan S. Willis. 2004.Konseling
Individual; Teori dan Praktek. Bandung
: Alfabeta
H.M. Arifin. 2003. Teori-Teori
Konseling Agama dan Umum. Jakarta.
PT Golden Terayon Press.
Sugiharto.(2005. Pendekatan
dalam Konseling (Makalah). Jakarta
: PPPG
Teknik Umum Konseling (2)
Diterbitkan Januari 15, 2008
A. Memimpin (leading)
Yaitu teknik untuk mengarahkan
pembicaraan dalam wawancara konseling sehingga tujuan konseling .
Contoh dialog :
Klien :” Saya mungkin berfikir
juga tentang masalah hubungan dengan pacar. Tapi bagaimana ya?”
Konselor : ” Sampai ini kepedulian Anda tertuju kuliah kuliah sambil bekerja. Mungkin Anda tinggal merinci kepedulian itu. Mengenai pacaran apakah termasuk dalam kerangka kepedulian Anda juga ?”
Konselor : ” Sampai ini kepedulian Anda tertuju kuliah kuliah sambil bekerja. Mungkin Anda tinggal merinci kepedulian itu. Mengenai pacaran apakah termasuk dalam kerangka kepedulian Anda juga ?”
B. Fokus
Yaitu teknik untuk membantu
klien memusatkan perhatian pada pokok pembicaraan. Pada umumnya dalam wawancara
konseling, klien akan mengungkapkan sejumlah permasalahan yang sedang
dihadapinya. Oleh karena itu, konselor seyogyanya dapat membantu klien agar dia
dapat menentukan apa yang fokus masalah. Misalnya dengan mengatakan :
” Apakah tidak sebaiknya jika
pokok pembicaraan kita berkisar dulu soal hubungan Anda dengan orang tua yang
kurang harmonis ”.
Ada beberapa yang
dapat dilakukan, diantaranya :
- Fokus pada diri klien. Contoh : ” Tanti, Anda tidak yakin apa yang akan Anda lakukan ”.
- Fokus pada orang lain. Contoh : ” Roni, telah membuat kamu menderita, Terangkanlah tentang dia dan apa yang telah dilakukannya ?”
- Fokus pada topik. Contoh : ” Pengguguran kandungan ? Kamu memikirkan aborsi ? Pikirkanlah masak-masak dengan berbagai pertimbangan”.
- Fokus mengenai budaya. Contoh: ” Mungkin budaya menyerah dan mengalah pada laki-laki harus diatas sendiri oleh kaum wanita. Wanita tak boleh menjadi obyek laki-laki.”
C. Konfrontasi
Yaitu teknik yang menantang
klien untuk melihat adanya inkonsistensi antara perkataan dengan perbuatan atau
bahasa badan, ide awal dengan ide berikutnya, senyum dengan kepedihan, dan
sebagainya. Tujuannya adalah : (1) mendorong klien mengadakan penelitian diri
secara jujur; (2) meningkatkan potensi klien; (3) membawa klien kepada
kesadaran adanya diskrepansi; konflik, atau kontradiksi dalam dirinya.
Penggunaan teknik ini hendaknya
dilakukan secara hati-hati, yaitu dengan : (1) memberi komentar khusus terhadap
klien yang tidak konsisten dengan cara dan waktu yang tepat; (2) tidak menilai
apalagi menyalahkan; (3) dilakukan dengan perilaku attending dan empati.
Contoh dialog :
Klien : ” Saya baik-baik
saja”.(suara rendah, wajah murung, posisi tubuh gelisah).”
Konselor :” Anda mengatakan baik-baik saja, tapi kelihatannya ada yang tidak beres”. ”Saya melihat ada perbedaan antara ucapan dengan kenyataan diri ”.
Konselor :” Anda mengatakan baik-baik saja, tapi kelihatannya ada yang tidak beres”. ”Saya melihat ada perbedaan antara ucapan dengan kenyataan diri ”.
D. Menjernihkan
(Clarifying)
Yaitu teknik untuk menjernihkan
ucapan-ucapan klien yang samar-samar, kurang jelas dan agak meragukan.
Tujuannya adalah : (1) mengundang klien untuk menyatakan pesannya dengan jelas,
ungkapan kata-kata yang tegas, dan dengan alasan-alasan yang logis, (2) agar
klien menjelaskan, mengulang dan mengilustrasikan perasaannya.
Contoh dialog :
Klien : ” Perubahan yang terjadi
di keluarga saya membuat saya bingung. Saya tidak mengerti siapa yang menjadi
pemimpin di rumah itu.”
Konselor : ”Bisakah Anda menjelaskan persoalan pokoknya ? Misalnya peran ayah, ibu, atau saudara-saudara Anda.”
Konselor : ”Bisakah Anda menjelaskan persoalan pokoknya ? Misalnya peran ayah, ibu, atau saudara-saudara Anda.”
E. Memudahkan
(facilitating)
Yaitu teknik untuk membuka
komunikasi agar klien dengan mudah berbicara dengan konselor dan menyatakan
perasaan, pikiran, dan pengalamannya secara bebas. Contoh :
” Saya yakin Anda akan berbicara apa adanya, karena saya akan mendengarkan dengan sebaik-baiknya.”
” Saya yakin Anda akan berbicara apa adanya, karena saya akan mendengarkan dengan sebaik-baiknya.”
F. Diam
Teknik diam dilakukan dengan
cara attending, paling lama 5 – 10 detik, komunikasi yang terjadi dalam bentuk
perilaku non verbal. Tujuannya adalah (1) menanti klien sedang berfikir; (2)
sevagai protes jika klien ngomong berbelit-belit; (3) menunjang perilaku
attending dan empati sehingga klien babas bicara.
Contoh dialog :
Klien :”Saya tidak senang dengan perilaku guru itu”Konselor :”…………..” (diam)
Klien :” Saya..harus bagaimana.., Saya.. tidak tahu..
Konselor :”…………..” (diam)
G. Mengambil Inisiatif
Teknik ini dilakukan manakala
klien kurang bersemangat untuk berbicara, sering diam, dan kurang parisipatif.
Konselor mengajak klien untuk berinisiatif dalam menuntaskan diskusi. Teknik
ini bertujuan : (1) mengambil inisiatif jika klien kurang semangat; (2) jika
klien lambat berfikir untuk mengambil keputusan; (3) jika klien kehilangan arah
pembicaraan.
Contoh:
” Baiklah, saya pikir Anda mempunyai satu keputusan namun
masih belum keluar. Coba Anda renungkan kembali”.G. Memberi Nasehat
Pemberian nasehat sebaiknya
dilakukan jika klien memintanya. Walaupun demikian, konselor tetap harus
mempertimbangkannya apakah pantas untuk memberi nasehat atau tidak. Sebab dalam
memberi nasehat tetap dijaga agar tujuan konseling yakni kemandirian klien
harus tetap tercapai.
Contoh respons konselor terhadap
permintaan klien : ” Apakah hal seperti ini pantas saya untuk memberi nasehat
Anda ? Sebab, dalam hal seperti ini saya yakin Anda lebih mengetahuinya dari
pada saya.”
H. Pemberian informasi
Sama halnya dengan nasehat, jika
konselor tidak memiliki informasi sebaiknya dengan jujur katakan bahwa dia
mengetahui hal itu. Kalau pun konselor mengetahuinya, sebaiknya tetap
diupayakan agar klien mengusahakannya.
Contoh :
” Mengenai berapa biaya masuk ke
Universitas Pendidikan Indonesia,
saya sarankan Anda bisa langsung bertanya ke pihak UPI atau Anda berkunjung ke
situs www.upi.com di internet”.
I. Merencanakan
Teknik ini digunakan menjelang
akhir sesi konseling untuk membantu agar klien dapat membuat rencana tindakan
(action), perbuatan yang produktif untuk kemajuan klien.
Contoh :
” Nah, apakah tidak lebih baik
jika Anda mulai menyusun rencana yang baik berpedoman hasil pembicaraan kita
sejak tadi ”
J. Menyimpulkan
Teknik ini digunakan untuk
menyimpulkan hasil pembicaraan yang menyangkut : (1) bagaimana keadaan perasaan
klien saat ini, terutama mengenai kecemasan; (2) memantapkan rencana klien; (3)
pemahaman baru klien; dan (4) pokok-pokok yang akan dibicarakan selanjutnya
pada sesi berikutnya, jika dipandang masih perlu dilakukan konseling lanjutan.
Sofyan S. Willis. 2004.Konseling
Individual; Teori dan Praktek. Bandung
: Alfabeta
H.M. Arifin. 2003. Teori-Teori
Konseling Agama dan Umum. Jakarta.
PT Golden Terayon Press.
Sugiharto.(2005.
Pendekatan dalam Konseling (Makalah). Jakarta : PPPG
Teknik Khusus Konseling
Diterbitkan Januari 15, 2008
Dalam konseling, di samping menggunakan
teknik-teknik umum, dalam hal-hal tertentu dapat menggunakan teknik-teknik
khusus. Teknik-teknik khusus ini dikembangkan dari berbagai pendekatan
konseling, seperti pendekatan Behaviorisme, Rational Emotive Theraphy, Gestalt
dan sebagainya
Di bawah disampaikan beberapa teknik –
teknik khusus konseling, yaitu :
1. Latihan Asertif
Teknik ini digunakan untuk melatih klien
yang mengalami kesulitan untuk menyatakan diri bahwa tindakannya adalah layak
atau benar. Latihan ini terutama berguna di antaranya untuk membantu individu
yang tidak mampu mengungkapkan perasaan tersinggung, kesulitan menyatakan
tidak, mengungkapkan afeksi dan respon posistif lainnya. Cara yang digunakan
adalah dengan permainan peran dengan bimbingan konselor. Diskusi-diskusi
kelompok juga dapat diterapkan dalam latihan asertif ini.
2. Desensitisasi Sistematis
Desensitisasi sistematis merupakan teknik
konseling behavioral yang memfokukskan bantuan untuk menenangkan klien dari
ketegangan yang dialami dengan cara mengajarkan klien untuk rileks. Esensi
teknik ini adalah menghilangkan perilaku yang diperkuat secara negatif dan
menyertakan respon yang berlawanan dengan perilaku yang akan dihilangkan.
Dengan pengkondisian klasik respon-respon yang tidak dikehendaki dapat
dihilangkan secara bertahap. Jadi desensitisasi sistematis hakekatnya merupakan
teknik relaksi yang digunakan untuk menghapus perilaku yang diperkuat secara
negatif biasanya merupakan kecemasan, dan ia menyertakan respon yang berlawanan
dengan perilaku yang akan dihilangkan.
3. Pengkondisian Aversi
Teknik ini dapat digunakan untuk
menghilangkan kebiasaan buruk. Teknik ini dimaksudkan untuk meningkatkan
kepekaan klien agar mengamati respon pada stimulus yang disenanginya dengan
kebalikan stimulus tersebut. Stimulus yang tidak menyenangkan yang disajikan
tersebut diberikan secara bersamaan dengan munculnya perilaku yang tidak
dikehendaki kemunculannya. Pengkondisian ini diharapkan terbentuk asosiasi
antara perilaku yang tidak dikehendaki dengan stimulus yang tidak menyenangkan.
4. Pembentukan Perilaku Model
Teknik ini dapat digunakan untuk membentuk
Perilaku baru pada klien, dan memperkuat perilaku yang sudah terbentuk. Dalam
hal ini konselor menunjukkan kepada klien tentang perilaku model, dapat
menggunakan model audio, model fisik, model hidup atau lainnya yang teramati
dan dipahami jenis perilaku yang hendak dicontoh. Perilaku yang berhasil
dicontoh memperoleh ganjaran dari konselor. Ganjaran dapat berupa pujian
sebagai ganjaran sosial.
5. Permainan Dialog
Teknik ini dilakukan dengan cara klien
dikondisikan untuk mendialogan dua kecenderungan yang saling bertentangan,
yaitu kecenderungan top dog dan kecenderungan under dog, misalnya :
Kecenderungan orang tua lawan
kecenderungan anak.
Kecenderungan bertanggung jawab lawan
kecenderungan masa bodoh.
Kecenderungan “anak baik” lawan
kecenderungan “anak bodoh”.
Kecenderungan otonom lawan kecenderungan
tergantung.
Kecenderungan kuat atau tegar lawan
kecenderungan lemah.
Melalui dialog yang kontradiktif ini,
menurut pandangan Gestalt pada akhirnya klien akan mengarahkan dirinya pada
suatu posisi di mana ia berani mengambil resiko. Penerapan permainan dialog ini
dapat dilaksanakan dengan menggunakan teknik “kursi kosong”.
6. Latihan Saya Bertanggung Jawab
Merupakan teknik yang dimaksudkan untuk
membantu klien agar mengakui dan menerima perasaan-perasaannya dari pada
memproyeksikan perasaannya itu kepada orang lain. Dalam teknik ini konselor
meminta klien untuk membuat suatu pernyataan dan kemudian klien menambahkan
dalam pernyataan itu dengan kalimat : “…dan saya bertanggung jawab atas hal
itu”.
Misalnya :
“Saya merasa jenuh, dan saya bertanggung
jawab atas kejenuhan itu”
“Saya tidak tahu apa yang harus saya
katakan sekarang, dan saya bertanggung jawab atas ketidaktahuan itu”.
“Saya malas, dan saya bertanggung jawab
atas kemalasan itu”
Meskipun tampaknya mekanis, tetapi menurut
Gestalt akan membantu meningkatkan kesadaraan klien akan perasaan-perasaan yang
mungkin selama ini diingkarinya.
7. Bermain Proyeksi
Proyeksi yaitu memantulkan kepada orang
lain perasaan-perasaan yang dirinya sendiri tidak mau melihat atau menerimanya.
Mengingkari perasaan-perasaan sendiri dengan cara memantulkannya kepada orang
lain. Sering terjadi, perasaan-perasaan yang dipantulkan kepada orang lain
merupakan atribut yang dimilikinya. Dalam teknik bermain proyeksi konselor
meminta kepada klien untuk mencobakan atau melakukan hal-hal yang diproyeksikan
kepada orang lain.
8. Teknik Pembalikan
Gejala-gejala dan perilaku tertentu sering
kali mempresentasikan pembalikan dari dorongan-dorongan yang mendasarinya.
Dalam teknik ini konselor meminta klien untuk memainkan peran yang berkebalikan
dengan perasaan-perasaan yang dikeluhkannya.
Misalnya : konselor memberi kesempatan
kepada klien untuk memainkan peran “ekshibisionis” bagi klien pemalu yang
berlebihan.
9. Bertahan dengan Perasaan
Teknik ini dapat digunakan untuk klien
yang menunjukkan perasaan atau suasana hati yang tidak menyenangkan atau ia
sangat ingin menghindarinya. Konselor mendorong klien untuk tetap bertahan
dengan perasaan yang ingin dihindarinya itu.
Kebanyakan klien ingin melarikan diri dari
stimulus yang menakutkan dan menghindari perasaan-perasaan yang tidak
menyenangkan. Dalam hal ini konselor tetap mendorong klien untuk bertahan
dengan ketakutan atau kesakitan perasaan yang dialaminya sekarang dan mendorong
klien untuk menyelam lebih dalam ke dalam tingkah laku dan perasaan yang ingin
dihindarinya itu.
Untuk membuka dan membuat jalan menuju
perkembangan kesadaran perasaan yang lebih baru tidak cukup hanya
mengkonfrontasi dan menghadapi perasaan-perasaan yang ingin dihindarinya tetapi
membutuhkan keberanian dan pengalaman untuk bertahan dalam kesakitan perasaan
yang ingin dihindarinya itu.
10. Home work assigments,
Teknik yang dilaksanakan dalam bentuk
tugas-tugas rumah untuk melatih, membiasakan diri, dan menginternalisasikan
sistem nilai tertentu yang menuntut pola perilaku yang diharapkan. Dengan tugas
rumah yang diberikan, klien diharapkan dapat mengurangi atau menghilangkan
ide-ide dan perasaan-perasaan yang tidak rasional dan tidak logis, mempelajari
bahan-bahan tertentu yang ditugaskan untuk mengubah aspek-aspek kognisinya yang
keliru, mengadakan latihan-latihan tertentu berdasarkan tugas yang diberikan.
Pelaksanaan home work assigment yang diberikan konselor dilaporkan oleh klien
dalam suatu pertemuan tatap muka dengan konselor. Teknik ini dimaksudkan untuk
membina dan mengembangkan sikap-sikap tanggung jawab, kepercayaan pada diri
sendiri serta kemampuan untuk pengarahan diri, pengelolaan diri klien dan
mengurangi ketergantungannya kepada konselor.
11. Adaptive
Teknik yang digunakan untuk melatih,
mendorong, dan membiasakan klien untuk secara terus-menerus menyesuaikan
dirinya dengan perilaku yang diinginkan. Latihan-latihan yang diberikan lebih
bersifat pendisiplinan diri klien.
12. Bermain peran
Teknik untuk mengekspresikan berbagai
jenis perasaan yang menekan (perasaan-perasaan negatif) melalui suatu suasana
yang dikondisikan sedemikian rupa sehingga klien dapat secara bebas
mengungkapkan dirinya sendiri melalui peran tertentu.
13. Imitasi
Teknik untuk menirukan secara terus
menerus suatu model perilaku tertentu dengan maksud menghadapi dan
menghilangkan perilakunya sendiri yang negatif.
Sumber :
H.M. Arifin. 2003. Teori-Teori
Konseling Agama dan Umum. Jakarta.
PT Golden Terayon Press.
Sofyan S. Willis. 2004.Konseling
Individual; Teori dan Praktek. Bandung
: Alfabeta
Sugiharto.(2005. Pendekatan
dalam Konseling (Makalah). Jakarta
: PPPG
Studi Kasus dalam Bimbingan dan Konseling
Diterbitkan Januari 31, 2008
Bahan ini cocok untuk Sekolah Menengah.
Nama & E-mail: Slameto
Saya Dosen di UKSW salatiga
Tanggal: 8 Mei 2002
Judul Artikel: Memahami dan Menolong Siswa Yang Kurang PD
Topik: Studi Kasus Untuk Bimbingan Konseling.
Artikel:
DESKRIPSI KASUS
Nama & E-mail: Slameto
Saya Dosen di UKSW salatiga
Tanggal: 8 Mei 2002
Judul Artikel: Memahami dan Menolong Siswa Yang Kurang PD
Topik: Studi Kasus Untuk Bimbingan Konseling.
Artikel:
DESKRIPSI KASUS
Lia (bukan nama sebenarnya) adalah siswa
kelas I SMU Favorit Salatiga yang barusan naik kelas II. Ia berasal dari
keluarga petani yang terbilang cukup secara sosial ekonomi di desa pedalaman +
17 km di luar kota Salatiga, sebagai anak pertama semula orang tuanya
berkeberatan setamat SLTP anaknya melanjutkan ke SMU di Salatiga; orang tua
sebetulnya berharap agar anaknya tidak perlu susah-sudah melanjutkan sekolah ke
kota, tapi atas bujukan wali kelas anaknya saat pengambilan STTB dengan berat
merelakan anaknya melanjutkan sekolah. Pertimbangan wali kelasnya karena Lia
terbilang cerdas diantara teman-teman yang lain sehingga wajar jika bisa
diterima di SMU favorit. Sejak diterima di SMU favorit di satu fihak Lia bangga
sebagai anak desa toh bisa diterima, tetapi di lain fihak mulai minder dengan
teman-temannya yang sebagian besar dari keluarga kaya dengan pola pergaulan
yang begitu beda dengan latar belakang Lia. Ia menganggap teman-teman dari
keluarga kaya tersebut sebagai orang yang egois, kurang bersahabat, pilih-pilih
teman yang sama-sama dari keluarga kaya saja, dan sombong. Makin lama perasaan
ditolak, terisolik, dan kesepian makin mencekam dan mulai timbul sikap dan
anggapan sekolahnya itu bukan untuk dirinya tidak krasan, tetapi mau keluar
malu dengan orang tua dan temannya sekampung; terus bertahan, susah tak
ada/punya teman yang peduli. Dasar saya anak desa, anak miskin (dibanding
teman-temannya di kota)
hujatnya pada diri sendiri. Akhirnya benar-benar menjadi anak minder, pemalu
dan serta ragu dan takut bergaul sebagaimana mestinya. Makin lama nilainya makin
jatuh sehingga beban pikiran dan perasaan makin berat, sampai-sampai ragu
apakah bisa naik kelas atau tidak.
MEMAHAMI LIA DALAM PERSPEKTIF RASIONAL
EMOTIF
Menurut pandangan rasional emotif, manusia memiliki kemampuan inheren untuk berbuat rasional ataupun tidak rasional, manusia terlahir dengan kecenderungan yang luar biasa kuatnya berkeinginan dan mendesak agar supaya segala sesuatu terjadi demi yang terbaik bagi kehidupannya dan sama sekali menyalahkan diri sendiri, orang lain, dan dunia apabila tidak segera memperoleh apa yang diinginkannya. Akibatnya berpikir kekanak-kanakan (sebagai hal yang manunusiawi) seluruh kehidupannya, akhirnya hanya kesulitan yang luar biasa besar mampu mencapai dan memelihara tingkah laku yang realistis dan dewasa; selain itu manusia juga mempunyai kecenderungan untuk melebih-lebihkan pentingnya penerimaan orang lain yang justru menyebabkan emosinya tidak sewajarnya seringkali menyalahkan dirinya sendiri dengan cara-cara pembawaannya itu dan cara-cara merusak diri yang diperolehnya. Berpikir dan merasa itu sangat dekat dan dengan satu sama lainnya : pikiran dapat menjadi perasaan dan sebaliknya; Apa yang dipikirkan dan atau apa yang dirasakan atas sesuatu kejadian diwujudkan dalam tindakan/perilaku rasional atau irasional. Bagaimana tindakan/perilaku itu sangat mudah dipengaruhi oleh orang lain dan dorongan-doronan yang kuat untuk mempertahankan diri dan memuaskan diri sekalipun irasional.
Menurut pandangan rasional emotif, manusia memiliki kemampuan inheren untuk berbuat rasional ataupun tidak rasional, manusia terlahir dengan kecenderungan yang luar biasa kuatnya berkeinginan dan mendesak agar supaya segala sesuatu terjadi demi yang terbaik bagi kehidupannya dan sama sekali menyalahkan diri sendiri, orang lain, dan dunia apabila tidak segera memperoleh apa yang diinginkannya. Akibatnya berpikir kekanak-kanakan (sebagai hal yang manunusiawi) seluruh kehidupannya, akhirnya hanya kesulitan yang luar biasa besar mampu mencapai dan memelihara tingkah laku yang realistis dan dewasa; selain itu manusia juga mempunyai kecenderungan untuk melebih-lebihkan pentingnya penerimaan orang lain yang justru menyebabkan emosinya tidak sewajarnya seringkali menyalahkan dirinya sendiri dengan cara-cara pembawaannya itu dan cara-cara merusak diri yang diperolehnya. Berpikir dan merasa itu sangat dekat dan dengan satu sama lainnya : pikiran dapat menjadi perasaan dan sebaliknya; Apa yang dipikirkan dan atau apa yang dirasakan atas sesuatu kejadian diwujudkan dalam tindakan/perilaku rasional atau irasional. Bagaimana tindakan/perilaku itu sangat mudah dipengaruhi oleh orang lain dan dorongan-doronan yang kuat untuk mempertahankan diri dan memuaskan diri sekalipun irasional.
Ciri-ciri irasional seseorang tak dapat
dibuktikan kebenarannya, memainkan peranan Tuhan apa saja yang dimui harus
terjadi, mengontrol dunia, dan jika tidak dapat melakukannya dianggap goblok
dan tak berguna; menumbuhkan perasaan tidak nyaman (seperti kecemasan) yang
sebenarnya tak perlu, tak terlalu jelek/memalukan namun dibiarkan terus berlangsung,
dan menghalangi seseorang kembai ke kejadian awal dan mengubahnya. Bahkan
akhirnya menimbulkan perasaan tak berdaya pada diri yang bersangkutan.
Bentuk-bentuk pikiran/perasaan irasional tersebut misalnya : semua orang
dilingkungan saya harus menyenangi saya, kalau ada yang tidak senang terhadap
saya itu berarti malapetaka bagi saya. Itu berarti salah saya, karena saya tak
berharga, tak seperti orang/teman-teman lainnya. Saya pantas menderita karena
semuanya itu.
Sehubungan dengan kasus, Lia sebetulnya
terlahir dengan potensi unggul, ia menjadi bermasalah karena perilakunya
dikendalikan oleh pikiran/perasaan irasional; ia telah menempatkan harga diri
pada konsep/kepercayaan yang salah yaitu jika kaya, semua teman memperhatikan /
mendukung, peduli, dan lain-lain dan itu semua tidak ada/didapatkan sejak di
SMU, sampai pada akhirnya menyalahkan dirinya sendiri dengan hujatan dan
penderitaaan serta mengisolir dirinya sendiri. Ia telah berhasil membangun
konsep dirinya secara tidak realistis berdasarkan anggapan yang salah terhadap
(dan dari) teman-teman lingkungannya. Ia menjadi minder, pemalu, penakut dan
akhirnya ragu-ragu keberhasilan/prestasinya kelak yang sebetulnya tidak perlu
terjadi.
TUJUAN DAN TEKNIK KONSELING
Jika pemikiran Lia yang tidak logis / realistis (tentang konsep dirinya dan pandangannya terhadap teman-temannya) itu diperangi maka dia akan mengubahnya. Dengan demikian tujuan konseling adalah memerangi pemikiran irasional Lia yang melatar-belakangi ketakutan / kecematannya yaitu konsep dirinya yang salah beserta sikapnya terhadap teman lain. Dalam konseling konselor lebih bernuansa otoritatif : memanggil Lia, mengajak berdiskusi dan konfrontasi langsung untuk mendorongnya beranjak dari pola pikir irasional ke rasional / logis dan realistis melalui persuasif, sugestif, pemberian nasehat secara tepat, terapi dengan menerapkan prinsip-prinsip belajar untuk PR serta bibliografi terapi.
Jika pemikiran Lia yang tidak logis / realistis (tentang konsep dirinya dan pandangannya terhadap teman-temannya) itu diperangi maka dia akan mengubahnya. Dengan demikian tujuan konseling adalah memerangi pemikiran irasional Lia yang melatar-belakangi ketakutan / kecematannya yaitu konsep dirinya yang salah beserta sikapnya terhadap teman lain. Dalam konseling konselor lebih bernuansa otoritatif : memanggil Lia, mengajak berdiskusi dan konfrontasi langsung untuk mendorongnya beranjak dari pola pikir irasional ke rasional / logis dan realistis melalui persuasif, sugestif, pemberian nasehat secara tepat, terapi dengan menerapkan prinsip-prinsip belajar untuk PR serta bibliografi terapi.
Konseling kognitif : untuk menunjukkan
bahwa Lia harus membongkar pola pikir irasional tentang konsep harga diri yang
salah, sikap terhadap sesama teman yang salah jika ingin lebih bahagia dan
sukses. Konselor lebih bergaya mengajar : memberi nasehat, konfrontasi langsung
dengan peta pikir rasional-irasoonal, sugesti dan asertive training dengan
simulasi diri menerapkan konsep diri yang benar dan sikap/ketergantungan pada
orang lain yang benar/rasional dilanjutkan sebagai PR melatih, mengobservasi
dan evaluasi diri. Contoh : mulai dari seseorang berharga bukan dari kekayaan
atau jumlah dan status teman yang mendukung, tetapi pada kasih Allah dan
perwujudanNya. Allah mengasihi saya, karena saya berharga dihadiratNya.
Terhadap diri saya sendiri suatu saat saya senang, puas dan bangga, tetapi
kadang-kadang acuh-tak acuh, bahkan adakalanya saya benci, memaki-maki diri saya
sendiri, sehingga wajar dan realistis jika sejumlah 40 orang teman satu kelas
misalnya ada + 40% yang baik, 50% netral, hanya 10% saja yang membeci saya.
Adalah tidak mungkin menuntut semua / setiap orang setiap saat baik pada saya,
dan seterusnya. Ide-ide ini diajarkan, dan dilatihkan dengan pendekatan ilmiah.
Konseling emotif-evolatif untuk mengubah
sistem nilai Lia dengan menggunakan teknik penyadaran antara yang benar dan
salah seperti pemberian contoh, bermain peran, dan pelepasan beban agar Lia melepaskan
pikiran dan perasaannya yang tidak rasional dan menggantinya dengan yang
rasional sebagai kelanjutan teknik kognitif di atas. Konseling behavioritas
digunakan untuk mengubah perilaku yang negatif dengan merobah akar-akar
keyakinan Lia yang irasional/tak logis kontrak reinforcemen, sosial modeling
dan relaksasi/meditasi.
PENUTUP
Teori ini dalam menolong menggunakan pendekatan direct menggunakan nasehat yang ditandai oleh menyerang masalah dengan intektual dan meyakinkan (koselor). Tekniknya jelas, teliti, makin melihat/menyadari pikiran dan kata-kata yang terus menerus ditujukan kepada diri sendiri, yang membawa kehancuran kepada diri sendiri. Cara konselor ialah dengan pendekatan yang tegas, memintakan perhatian kepada pikiran-pikiran yang menjadi sebab gangguan itu dan bagaimana pikiran dan kalimat itu beroperasi hingga membawa akibat yang merugikan. Konselor selanjutnya menolong dia untuk memikir kembali, menantang, mendebat, menyebutkan kembali kalimat-kalimat yang merugikan itu, dan dengan cara demikian ia membawa klien ke kesadaran dan tilikan baru. Tetapi tilikan dan kesadaran tidak cukup. Ia harus dilatih untuk berpikir dan berkata kepada diri sendiri hal-hal yang lebih positive dan realistik. Terapis mengajar klien untuk berpikir betul dan bertindak efektif. Teknik yang dipakai bersifat eklektif dengan pertimbangan :
Teori ini dalam menolong menggunakan pendekatan direct menggunakan nasehat yang ditandai oleh menyerang masalah dengan intektual dan meyakinkan (koselor). Tekniknya jelas, teliti, makin melihat/menyadari pikiran dan kata-kata yang terus menerus ditujukan kepada diri sendiri, yang membawa kehancuran kepada diri sendiri. Cara konselor ialah dengan pendekatan yang tegas, memintakan perhatian kepada pikiran-pikiran yang menjadi sebab gangguan itu dan bagaimana pikiran dan kalimat itu beroperasi hingga membawa akibat yang merugikan. Konselor selanjutnya menolong dia untuk memikir kembali, menantang, mendebat, menyebutkan kembali kalimat-kalimat yang merugikan itu, dan dengan cara demikian ia membawa klien ke kesadaran dan tilikan baru. Tetapi tilikan dan kesadaran tidak cukup. Ia harus dilatih untuk berpikir dan berkata kepada diri sendiri hal-hal yang lebih positive dan realistik. Terapis mengajar klien untuk berpikir betul dan bertindak efektif. Teknik yang dipakai bersifat eklektif dengan pertimbangan :
- Ekonomis dari segi waktu baik bagi konselor maupun konseli.
- Efektifitas teknis-teknis yang dipakai cocok untuk bermacam ragam konseli.
- Kesegaran hasil yang dicapai.
- Kedalaman dan tanah lama serta dapat dipakai konseli untuk mengkonseling dirinya sendiri kalah.
Kesimpulannya, penstrukturan kembali
filosofis untuk merubah kepribadian yang salah berfungsi menyangkut
langkah-langkah sebagai berikut : (1) mengakui sepenuhnya bahwa kita sebagian
besar bertanggungjawab penciptaan masalah-masalah kita sendiri; (2) menerima
pengertian bahwa kita mempunyai kemampuan untuk merubah gangguan-gangguan
secara berarti; (3) menyadari bahwa problem-problem dan emosi kita berasal dari
kepercayaan-kepercayaan tidak rasional ; (4) mempersepsi dengan jelas
kepercayaan-kepercayaan ini; (5) menerima kenyataan bahwa, jika kita mengharap
untuk berubah, kita lebih baik harus menangani cara-cara tingkah laku dan emosi
untuk tindak balasan kepada kepercayaan-kepercayaan kita dan perasaan-perasan
yang salah fungsi dan tindakan-tindakan yang mengikuti; dan (6) mempraktekkan
metode-metode RET untuk menghilangkan atau merubah konsekuensi-konsekuensi yang
terganggu pada sisa waktu hidup kita ini.
SUMBER
Aryatmi, S., 1991, Perspektif BK dan Penerapannya di Berbagai Institusi, Satya Wacana Semarang.
Corey G., 1991/1995, Teori dan Praktek dari Konseling dan Psikoterapi (terjemahan Mulyarto), IKIP Semarang Pres.
Prayitno, 1998, Konseling Pancawashita, progdi BK PPB, FIP, IKIP Padang
Rosjidan, 1998, Pengantar Teori-teori Konseling, Depdikbud Dirjen PT Proyek P2LPTK, Jakarta
Surya, M., 1988, Dasar-Dasar Konseling Pendidikan, Kota Kembang, Yogyakarta.
Aryatmi, S., 1991, Perspektif BK dan Penerapannya di Berbagai Institusi, Satya Wacana Semarang.
Corey G., 1991/1995, Teori dan Praktek dari Konseling dan Psikoterapi (terjemahan Mulyarto), IKIP Semarang Pres.
Prayitno, 1998, Konseling Pancawashita, progdi BK PPB, FIP, IKIP Padang
Rosjidan, 1998, Pengantar Teori-teori Konseling, Depdikbud Dirjen PT Proyek P2LPTK, Jakarta
Surya, M., 1988, Dasar-Dasar Konseling Pendidikan, Kota Kembang, Yogyakarta.
Konseling Pecandu Narkoba
Diterbitkan Januari 25, 2008
Konseling Terpadu
Pemulihan Pecandu Narkoba
Oleh: Sofyan S. Willis*)
Abstrak : Pemulihan pecandu narkoba pasca pengobatan di Rumah Sakit
Ketergantungan Obat (RSKO) dapat ditangani dengan Konseling Terpadu yang
terdiri dari Konseling Individual, Konseling Agama, Konseling Keluarga,
Konseling Kelompok, Pendidikan dan Pelatihan, Kunjungan, dan Partisipasi
Sosial. Semua itu bertujuan agar klien terbebas dari dorongan kecanduan akibat
mengkonsumsi narkoba. Pemulihan pecandu narkoba dengan menggunakan Konseling
Terpadu itu memungkinkan hasil-hasil sebagai berikut. Tumbuh pada diri klien
perasaan percaya diri, tidak menyalahkan pihak luar, mengambil tanggung jawab
atas perbuatan sendiri dengan sadar atas resikonya, mendapat penghargaan dari
lingkungan sehingga tumbuh motivasi untuk hidup baik, merasa sebagai anggota
masyarakat yang beragama, dan akhirnya tumbuh sifat kepemimpinan terhadap diri,
keluarga, dan masyarakat dengan moral-religius yang baik. Studi kasus aplikasi
Konseling Terpadu terhadap seorang klien pasca RSKO, membuktikan bahwa dengan
menjalani konseling selama 3 bulan (April-Juni 2001), klien telah menjadi
anggota masyarakat dan bekerja normal pada toko suku cadang mobil di Jakarta.
Kata Kunci:
Konseling Terpadu, pecandu narkoba, Pasca RSKO, Pemulihan.
*) Sofyan S. Willis
adalah Dosen Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan FIP-UPI Bandung
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
Perkembangan narkoba berawal sejak tahun 2737 SM ketika Kaisar Cina bernama Shen Nung menulis naskah farmasi yang bernama Pen Tsao atau “Ramuan Hebat” (Great Herbal). Salah satu ramuan itu adalah disebut liberator of sin atau delight giver (pemberi kesenangan) yang ditujukan untuk kesenangan, obat lemah badan, malaria, rematik, dan analgesik (Martin, 1977).
Pada tahun 800 SM di India ditemukan ramuan sejenis opium yang disebut the heavenly guide, digunakan oleh masyarakat sebagai pemberi kesenangan (fly) dan juga sebagai anti sakit (analgesik). Opium banyak pula ditemukan di Cina, Mesir, Turki, dan segitiga emas (Kamboja, Vietnam, Thailand). Pada tahun 1973 atau 2500 tahun kemudian ditemukan antara lain di India, Cina, dan Amerika Selatan, sejenis obat (drug) yang saat ini amat populer yaitu marijuana yang berasal dari tanaman linneaeus canabis sativa. Suku-suku primitif seperti Aztec dan suku-suku di banyak negara Amerika Selatan (Latin) menggunakan ramuan-ramuan hallucinogenic seperti marijuana dan sejenisnya untuk upacara-upacara ritual kepercayaannya mendekati roh-roh, dan untuk bahan analgesik (Kisker, 1977; Martin, 1977).
Saat ini narkoba telah meluas ke seluruh dunia dan dikonsumsi oleh berbagai kalangan, terutama remaja, terutama di Amerika Serikat dan Afrika. Kedua benua ini lebih banyak mengkonsumsi marijuana. Diperkirakan terdapat 200 juta pemakai marijuana hingga tahun 1977 (Kisker, 1977), dan angka tersebut diperkirakan akan meningkat dua kali pada abad ke 21.
Bagaimana di Eropa, Australia, dan Asia, termasuk di Indonesia? Saat ini seluruh dunia sudah terkena wabah narkoba yang meracuni generasi muda. Diperkirakan saat ini di Indonesia sudah ada empat juta pengguna narkoba (Republika, 22-5-2001). Media tersebut juga mengutip pernyataan Ketua Umum Granat (Gerakan Anti Narkotika) Henry Yosodinigrat bahwa omzet narkoba di Indonesia saat ini berjumlah 24 triliun rupiah per bulan, suatu angka yang fantastis. Angka tersebut diperoleh dari jika setiap hari seorang pengguna memakai narkoba seharga Rp.200.000, satu hari omzetnya mencapai 4 juta x Rp.200.000 = Rp.800 miliar.
Berkembangnya jumlah pecandu narkoba ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor dalam dan di luar diri sendiri. Faktor penentu dalam diri adalah: (1) minat, (2) rasa ingin tahu (curiousity) (Hurlock, 1978), (3) lemahnya rasa ketuhanan (Abu Hanifah, 1989), dan (4) ketakstabilan emosi (Duke and Norwicki, 1979). Sedangkan, faktor-faktor yang berasal dari luar diri sendiri adalah: (1) gangguan psikososial keluarga (Sofyan S. Willis, 1995), (2) lemahnya hukum terhadap pengedar dan pengguna narkoba, (3) lemahnya sistem sekolah termasuk bimbingan dan konseling (BK), serta yang terpenting (4) lemahnya pendidikan agama para siswa sekolah (Sofyan S.Willis, 2001).
Meluasnya narkoba di Indonesia terutama di kalangan generasi muda karena didukung oleh faktor budaya global. Budaya global dikuasai oleh budaya Barat (baca Amerika Serikat) yang mengembangkan pengaruhnya melalui layar TV, VCD, dan film-film. Ciri utama budaya tersebut amat mudah ditiru dan diadopsi oleh generasi muda karena sesuai dengan kebutuhan dan selera muda. Penetrasi budaya Barat ke Indonesia mudah sekali diamati melalui pergaulan anak-anak muda kota (AMK). Ciri pergaulan AMK adalah bebas, konsumtif, dan haus akan segala macam mode yang datang dari AS (Abdullah N. Ulwan, 1993). Jika pakaian para artis di TV buka-bukaan, dan bahkan mengkonsumsi narkoba, maka AMK pun menirunya.
Maraknya narkoba berkaitan pula dengan budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dari para pejabat negara, sehingga narkoba mudah beredar. Akibat KKN hukum di negeri ini tidak berfungsi, sering pengedar narkoba hanya dihukum ringan saja.
Berbagai upaya untuk mengatasi berkembangnya pecandu narkoba telah dilakukan, namun terbentur pada lemahnya hukum. Beberapa bukti lemahnya hukum terhadap narkoba adalah sangat ringan hukuman bagi pengedar dan pecandu, bahkan minuman beralkohol di atas 40 persen (minol 40 persen) banyak diberi kemudahan oleh pemerintah. Sebagai perbandingan, di Malaysia jika kedapatan pengedar atau pecandu membawa dadah 5 gr ke atas maka orang tersebut akan dihukum mati (Republika, 25-5-2001).
1.2 Tujuan Studi Kasus
Penanganan kasus pecandu narkoba yang di Indonesia dilakukan dengan hanya pendekatan medis dan/atau spiritual, seperti di Pesantren Suryalaya Tasikmalaya, ternyata kurang membawa hasil yang memuaskan, karena setelah penanganan tersebut klien hidup di masyarakat dan kembali kecanduan. Masalahnya, pada diri klien belum terbentuk pertahanan diri untuk melawan godaan dari kelompok lamanya. Pertahanan diri bisa berbentuk melalui kesadaran klien terhadap bahaya narkoba bagi dirinya dan generasi muda lainnya. Indikator lain adalah tumbuh kemampuan dengan rasa tanggung jawab untuk mengkampanyekan bahaya narkoba kepada masyarakat, khususnya generasi muda.
Tujuan studi kasus ini adalah untuk mengungkapkan secara jelas dan sistematik mengenai penanganan kasus narkoba yang dialami seorang klien bernama FR, melalui metode Konseling Terpadu, yaitu perpaduan berbagai pendekatan konseling. Dengan metode Konseling Terpadu diharapkan klien akan berubah perilakunya yaitu: (a) munculnya sikap anti narkoba, (b) menjauhi teman-teman lama yang masih kecanduan, (c) mencintai keluarga, (d) kembali bekerja sebagai layaknya orang-orang normal, dan (e) mendekatkan diri kepada Tuhan.
1.3 Kajian Literatur
Upaya pemulihan (recovery) pecandu narkoba secara medis dan psikologis di negara kita pada umumnya berpedoman pada cara-cara yang dilakukan Amerika Serikat. Di negara itu sejak tahun 60-an telah ada beberapa panti rehabilitasi. Panti rehabilitasi yang terkemuka adalah St. Mary’s Hospital and Rehabilitation Center (SHRC), Minneapolis, Minnesota. Pada tahun 1967 panti rehabilitasi itu hanya memiliki 16 tempat tidur, namun 9 tahun kemudian panti tersebut telah memiliki 112 tempat tidur. Hal ini berarti, telah terjadi peningkatan pecandu secara berarti setiap tahun.
Model pemulihan yang ada saat ini sangat berorientasi medis dan psikologis. Artinya, pada tahap awal pecandu dibawa ke Rumah Sakit Ketergantungan Obat atau RSKO (Mann, 1979). Mengenai hal itu Mann (1979) berkomentar sebagai berikut.
“There are still many places in our society where the typical approach to the disease of chemical dependency is to admit the individual patient into a hospital for detoxification; institute nutrition and vitamin therapy; prescribe mood-controlling medications; and than put the patient back on the street, back home, or back on the job, and back to destructive drinking”.
Sebagai seorang dokter medis, Mann menyangsikan keampuhan RSKO bagi pemulihan total (total recovery) pasien dengan layanan detoksifikasi, terapi nutrisi/vitamin, dan memberi obat pengendalian emosi pasien. Mann memuji pendekatan Panti St. Mary’s Hospital and Rehabilitation Center (SHRC) karena disana pasien tidak hanya disembuhkan melalui pendekatan pengobatan, akan tetapi juga pendekatan rehabilitasi psikologis, sosial, intelektual, spiritual, dan fisik.
2.Metode Penanganan Kasus
Konseling Terpadu (KT) adalah upaya memberikan bantuan kepada klien kecanduan narkoba dengan menggunakan beragam pendekatan konseling dan memberdayakan klien terhadap lingkungan sosial agar klien segera menjadi anggota masyarakat yang normal, bermoral, dan dapat menghidupi diri dan keluarga. Syarat utama KT adalah klien telah selesai dengan program detoxification dari RSKO.
Dari penjelasan di atas ada dua hal penting yang harus mendapat penekanan untuk upaya recovery klien. Ragam pendekatan konseling yang diterapkan pada KT adalah sebagai berikut.
2.1 Konseling Individual (KI)
Penerapan KI adalah upaya membantu klien oleh konselor secara individual dengan mengutamakan hubungan konseling antara konselor dengan klien yang bernuansa emosional, sehingga besar kepercayaan klien terhadap konselor. Pada gilirannya klien akan bicara jujur membuka rahasia batinnya (disclosure) yang selama ini tidak pernah dikemukakan kepada orang lain termasuk keluarga (Ivey & Downing, 1980). KI bertujuan menanamkan kepercayaan diri klien atas dasar kesadaran diri untuk: (1) tidak menyalahkan orang lain atas kecerobohan dan kesalahannya mengkonsumsi narkoba, (2) menumbuhkan kesadaran untuk mengambil tanggung jawab atas perbuatannya yang destruktif yang dilakukan selama ini dengan menerima segala akibatnya (seperti: keluar dari sekolah/kuliah, kehilangan pekerjaan, dijauhi orang-orang yang dicintai, dsb), (3) menerima realita hidup dengan jujur, (4) membuat rencana-rencana hidup secara rasional dan sistematik untuk keluar dari cengkraman setan narkoba dan menjadi manusia yang baik, dan (5) menumbuhkan keinginan dan kepercayaan diri untuk melaksanakan rencana hidup tersebut (Dyere & Vriend, 1977).
Jika seorang konselor menguasai pendidikan agama, akan lebih baik KI diiringi dengan ajaran-ajaran agama seperti penyerahan diri kepada Allah, menerima cobaan hidup dengan tawakal, taat ibadah, dan berbuat baik terhadap sesama. Jika konselor tidak menguasai soal agama, konselor harus memasukkan seorang ahli agama kedalam tim konselor.
Prosedur Konseling Individual adalah sebagai berikut: (a) konselor menciptakan hubungan konseling yang menumbuhkan kepercayaan klien terhadap konselor, sehingga klien menjadi jujur dan terbuka, bersedia mengatakan segala isi hati dan rahasia pribadi berkaitan dengan kecanduannya. Hal ini disebabkan oleh sikap empati, hangat, terbuka, memahami, dan asli (genuine) dari konselor, serta memiliki kemampuan-kemampuan teknik konseling yang baik (Sofyan S. Willis 1995), (b) konselor membantu klien agar dia mampu memahami diri dan masalahnya. Kemudian ia bersedia bersama konselor untuk menemukan jalan keluar atas kekacauan dirinya sehingga membuat keluarga klien menderita karena merasa malu, mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, dan memungkinkan sekolah adik-adiknya terganggu, (c) konselor membantu klien untuk memahami dan mentaati rencana atau program yang telah disusun konselor. Selanjutnya, klien siap untuk melaksanakan program tersebut.
2.2 Bimbingan Kelompok (BKL)
Bimbingan kelompok bertujuan memberi kesempatan klien untuk berpartisipasi dalam memberi ceramah dan diskusi dengan berbagai kelompok masyarakat seperti mahasiswa, sarjana, tokoh-tokoh masyarakat, guru-guru BK di sekolah, para siswa, anggota DPR, ibu-ibu pengajian, dan sebagainya. Melalui interpersonal relation, akan tumbuh kepercayaan diri klien (Yalom, 1985).
Prosedur BKL yang menjadikan klien sebagai figur sentral meliputi: (a) Mempersiapkan mental klien untuk berani tampil menyampaikan kisah kasusnya, dan selanjutnya berdiskusi dengan peserta. Jumlah peserta yang ideal paling banyak 10 orang; (b) Mempersiapkan materi yang akan disampaikan klien kepada peserta diskusi yaitu penjelasan tentang identitas diri dan kisah panjang tentang proses kecanduan sejak awal hingga saat ini beserta upaya-upaya penyembuhan yang telah dilaluinya; (c) Mempersiapkan peserta agar mempunyai minat untuk berdiskusi dengan klien pecandu narkoba, dan tidak segan-segan mengeritik dan memberi masukan; (d) Mempersiapkan daftar hadir peserta dan kamera photo.
Dengan berdiskusi dengan beragam kelompok, diharapkan klien akan makin meningkat kepercayaan diri untuk hidup normal dan juga tumbuh sikap kepemimpinan diri, keluarga, dan masyarakat, sehingga setelah melakukan konseling klien menjadi orang yang berguna. Pelajaran dari ceramah dan diskusi yang dilakukan klien secara terus menerus akan mendewasakan klien sehingga menjadi kuat kepribadian untuk menjadi anggota masyarakat.
2.3 Konseling Keluarga (KK)
Untuk membantu secepatnya pemulihan (recovery) klien narkoba, amat diperlukan dukungan keluarga seperti ayah, ibu, saudara, istri, suami, pacar, dan keluarga dekat lainnya. Fasilitator konseling keluarga adalah konselor, sedangkan pesertanya adalah klien, orang tua, saudara, suami/istri, dan sebagainya. Nuansa emosional yang akrab harus mampu diciptakan oleh konselor agar terjadi keterbukaan klien terhadap keluarga, sebaliknya anggota keluarga mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap pemulihan klien. Dampaknya adalah tumbuh rasa aman, percaya diri, dan rasa tanggung jawab klien terhadap diri dan keluarga.
Untuk mencapai keberhasilan KK maka prosedur yang harus ditempuh adalah sebagai berikut:
1.1 Latar Belakang Masalah
Perkembangan narkoba berawal sejak tahun 2737 SM ketika Kaisar Cina bernama Shen Nung menulis naskah farmasi yang bernama Pen Tsao atau “Ramuan Hebat” (Great Herbal). Salah satu ramuan itu adalah disebut liberator of sin atau delight giver (pemberi kesenangan) yang ditujukan untuk kesenangan, obat lemah badan, malaria, rematik, dan analgesik (Martin, 1977).
Pada tahun 800 SM di India ditemukan ramuan sejenis opium yang disebut the heavenly guide, digunakan oleh masyarakat sebagai pemberi kesenangan (fly) dan juga sebagai anti sakit (analgesik). Opium banyak pula ditemukan di Cina, Mesir, Turki, dan segitiga emas (Kamboja, Vietnam, Thailand). Pada tahun 1973 atau 2500 tahun kemudian ditemukan antara lain di India, Cina, dan Amerika Selatan, sejenis obat (drug) yang saat ini amat populer yaitu marijuana yang berasal dari tanaman linneaeus canabis sativa. Suku-suku primitif seperti Aztec dan suku-suku di banyak negara Amerika Selatan (Latin) menggunakan ramuan-ramuan hallucinogenic seperti marijuana dan sejenisnya untuk upacara-upacara ritual kepercayaannya mendekati roh-roh, dan untuk bahan analgesik (Kisker, 1977; Martin, 1977).
Saat ini narkoba telah meluas ke seluruh dunia dan dikonsumsi oleh berbagai kalangan, terutama remaja, terutama di Amerika Serikat dan Afrika. Kedua benua ini lebih banyak mengkonsumsi marijuana. Diperkirakan terdapat 200 juta pemakai marijuana hingga tahun 1977 (Kisker, 1977), dan angka tersebut diperkirakan akan meningkat dua kali pada abad ke 21.
Bagaimana di Eropa, Australia, dan Asia, termasuk di Indonesia? Saat ini seluruh dunia sudah terkena wabah narkoba yang meracuni generasi muda. Diperkirakan saat ini di Indonesia sudah ada empat juta pengguna narkoba (Republika, 22-5-2001). Media tersebut juga mengutip pernyataan Ketua Umum Granat (Gerakan Anti Narkotika) Henry Yosodinigrat bahwa omzet narkoba di Indonesia saat ini berjumlah 24 triliun rupiah per bulan, suatu angka yang fantastis. Angka tersebut diperoleh dari jika setiap hari seorang pengguna memakai narkoba seharga Rp.200.000, satu hari omzetnya mencapai 4 juta x Rp.200.000 = Rp.800 miliar.
Berkembangnya jumlah pecandu narkoba ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor dalam dan di luar diri sendiri. Faktor penentu dalam diri adalah: (1) minat, (2) rasa ingin tahu (curiousity) (Hurlock, 1978), (3) lemahnya rasa ketuhanan (Abu Hanifah, 1989), dan (4) ketakstabilan emosi (Duke and Norwicki, 1979). Sedangkan, faktor-faktor yang berasal dari luar diri sendiri adalah: (1) gangguan psikososial keluarga (Sofyan S. Willis, 1995), (2) lemahnya hukum terhadap pengedar dan pengguna narkoba, (3) lemahnya sistem sekolah termasuk bimbingan dan konseling (BK), serta yang terpenting (4) lemahnya pendidikan agama para siswa sekolah (Sofyan S.Willis, 2001).
Meluasnya narkoba di Indonesia terutama di kalangan generasi muda karena didukung oleh faktor budaya global. Budaya global dikuasai oleh budaya Barat (baca Amerika Serikat) yang mengembangkan pengaruhnya melalui layar TV, VCD, dan film-film. Ciri utama budaya tersebut amat mudah ditiru dan diadopsi oleh generasi muda karena sesuai dengan kebutuhan dan selera muda. Penetrasi budaya Barat ke Indonesia mudah sekali diamati melalui pergaulan anak-anak muda kota (AMK). Ciri pergaulan AMK adalah bebas, konsumtif, dan haus akan segala macam mode yang datang dari AS (Abdullah N. Ulwan, 1993). Jika pakaian para artis di TV buka-bukaan, dan bahkan mengkonsumsi narkoba, maka AMK pun menirunya.
Maraknya narkoba berkaitan pula dengan budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dari para pejabat negara, sehingga narkoba mudah beredar. Akibat KKN hukum di negeri ini tidak berfungsi, sering pengedar narkoba hanya dihukum ringan saja.
Berbagai upaya untuk mengatasi berkembangnya pecandu narkoba telah dilakukan, namun terbentur pada lemahnya hukum. Beberapa bukti lemahnya hukum terhadap narkoba adalah sangat ringan hukuman bagi pengedar dan pecandu, bahkan minuman beralkohol di atas 40 persen (minol 40 persen) banyak diberi kemudahan oleh pemerintah. Sebagai perbandingan, di Malaysia jika kedapatan pengedar atau pecandu membawa dadah 5 gr ke atas maka orang tersebut akan dihukum mati (Republika, 25-5-2001).
1.2 Tujuan Studi Kasus
Penanganan kasus pecandu narkoba yang di Indonesia dilakukan dengan hanya pendekatan medis dan/atau spiritual, seperti di Pesantren Suryalaya Tasikmalaya, ternyata kurang membawa hasil yang memuaskan, karena setelah penanganan tersebut klien hidup di masyarakat dan kembali kecanduan. Masalahnya, pada diri klien belum terbentuk pertahanan diri untuk melawan godaan dari kelompok lamanya. Pertahanan diri bisa berbentuk melalui kesadaran klien terhadap bahaya narkoba bagi dirinya dan generasi muda lainnya. Indikator lain adalah tumbuh kemampuan dengan rasa tanggung jawab untuk mengkampanyekan bahaya narkoba kepada masyarakat, khususnya generasi muda.
Tujuan studi kasus ini adalah untuk mengungkapkan secara jelas dan sistematik mengenai penanganan kasus narkoba yang dialami seorang klien bernama FR, melalui metode Konseling Terpadu, yaitu perpaduan berbagai pendekatan konseling. Dengan metode Konseling Terpadu diharapkan klien akan berubah perilakunya yaitu: (a) munculnya sikap anti narkoba, (b) menjauhi teman-teman lama yang masih kecanduan, (c) mencintai keluarga, (d) kembali bekerja sebagai layaknya orang-orang normal, dan (e) mendekatkan diri kepada Tuhan.
1.3 Kajian Literatur
Upaya pemulihan (recovery) pecandu narkoba secara medis dan psikologis di negara kita pada umumnya berpedoman pada cara-cara yang dilakukan Amerika Serikat. Di negara itu sejak tahun 60-an telah ada beberapa panti rehabilitasi. Panti rehabilitasi yang terkemuka adalah St. Mary’s Hospital and Rehabilitation Center (SHRC), Minneapolis, Minnesota. Pada tahun 1967 panti rehabilitasi itu hanya memiliki 16 tempat tidur, namun 9 tahun kemudian panti tersebut telah memiliki 112 tempat tidur. Hal ini berarti, telah terjadi peningkatan pecandu secara berarti setiap tahun.
Model pemulihan yang ada saat ini sangat berorientasi medis dan psikologis. Artinya, pada tahap awal pecandu dibawa ke Rumah Sakit Ketergantungan Obat atau RSKO (Mann, 1979). Mengenai hal itu Mann (1979) berkomentar sebagai berikut.
“There are still many places in our society where the typical approach to the disease of chemical dependency is to admit the individual patient into a hospital for detoxification; institute nutrition and vitamin therapy; prescribe mood-controlling medications; and than put the patient back on the street, back home, or back on the job, and back to destructive drinking”.
Sebagai seorang dokter medis, Mann menyangsikan keampuhan RSKO bagi pemulihan total (total recovery) pasien dengan layanan detoksifikasi, terapi nutrisi/vitamin, dan memberi obat pengendalian emosi pasien. Mann memuji pendekatan Panti St. Mary’s Hospital and Rehabilitation Center (SHRC) karena disana pasien tidak hanya disembuhkan melalui pendekatan pengobatan, akan tetapi juga pendekatan rehabilitasi psikologis, sosial, intelektual, spiritual, dan fisik.
2.Metode Penanganan Kasus
Konseling Terpadu (KT) adalah upaya memberikan bantuan kepada klien kecanduan narkoba dengan menggunakan beragam pendekatan konseling dan memberdayakan klien terhadap lingkungan sosial agar klien segera menjadi anggota masyarakat yang normal, bermoral, dan dapat menghidupi diri dan keluarga. Syarat utama KT adalah klien telah selesai dengan program detoxification dari RSKO.
Dari penjelasan di atas ada dua hal penting yang harus mendapat penekanan untuk upaya recovery klien. Ragam pendekatan konseling yang diterapkan pada KT adalah sebagai berikut.
2.1 Konseling Individual (KI)
Penerapan KI adalah upaya membantu klien oleh konselor secara individual dengan mengutamakan hubungan konseling antara konselor dengan klien yang bernuansa emosional, sehingga besar kepercayaan klien terhadap konselor. Pada gilirannya klien akan bicara jujur membuka rahasia batinnya (disclosure) yang selama ini tidak pernah dikemukakan kepada orang lain termasuk keluarga (Ivey & Downing, 1980). KI bertujuan menanamkan kepercayaan diri klien atas dasar kesadaran diri untuk: (1) tidak menyalahkan orang lain atas kecerobohan dan kesalahannya mengkonsumsi narkoba, (2) menumbuhkan kesadaran untuk mengambil tanggung jawab atas perbuatannya yang destruktif yang dilakukan selama ini dengan menerima segala akibatnya (seperti: keluar dari sekolah/kuliah, kehilangan pekerjaan, dijauhi orang-orang yang dicintai, dsb), (3) menerima realita hidup dengan jujur, (4) membuat rencana-rencana hidup secara rasional dan sistematik untuk keluar dari cengkraman setan narkoba dan menjadi manusia yang baik, dan (5) menumbuhkan keinginan dan kepercayaan diri untuk melaksanakan rencana hidup tersebut (Dyere & Vriend, 1977).
Jika seorang konselor menguasai pendidikan agama, akan lebih baik KI diiringi dengan ajaran-ajaran agama seperti penyerahan diri kepada Allah, menerima cobaan hidup dengan tawakal, taat ibadah, dan berbuat baik terhadap sesama. Jika konselor tidak menguasai soal agama, konselor harus memasukkan seorang ahli agama kedalam tim konselor.
Prosedur Konseling Individual adalah sebagai berikut: (a) konselor menciptakan hubungan konseling yang menumbuhkan kepercayaan klien terhadap konselor, sehingga klien menjadi jujur dan terbuka, bersedia mengatakan segala isi hati dan rahasia pribadi berkaitan dengan kecanduannya. Hal ini disebabkan oleh sikap empati, hangat, terbuka, memahami, dan asli (genuine) dari konselor, serta memiliki kemampuan-kemampuan teknik konseling yang baik (Sofyan S. Willis 1995), (b) konselor membantu klien agar dia mampu memahami diri dan masalahnya. Kemudian ia bersedia bersama konselor untuk menemukan jalan keluar atas kekacauan dirinya sehingga membuat keluarga klien menderita karena merasa malu, mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, dan memungkinkan sekolah adik-adiknya terganggu, (c) konselor membantu klien untuk memahami dan mentaati rencana atau program yang telah disusun konselor. Selanjutnya, klien siap untuk melaksanakan program tersebut.
2.2 Bimbingan Kelompok (BKL)
Bimbingan kelompok bertujuan memberi kesempatan klien untuk berpartisipasi dalam memberi ceramah dan diskusi dengan berbagai kelompok masyarakat seperti mahasiswa, sarjana, tokoh-tokoh masyarakat, guru-guru BK di sekolah, para siswa, anggota DPR, ibu-ibu pengajian, dan sebagainya. Melalui interpersonal relation, akan tumbuh kepercayaan diri klien (Yalom, 1985).
Prosedur BKL yang menjadikan klien sebagai figur sentral meliputi: (a) Mempersiapkan mental klien untuk berani tampil menyampaikan kisah kasusnya, dan selanjutnya berdiskusi dengan peserta. Jumlah peserta yang ideal paling banyak 10 orang; (b) Mempersiapkan materi yang akan disampaikan klien kepada peserta diskusi yaitu penjelasan tentang identitas diri dan kisah panjang tentang proses kecanduan sejak awal hingga saat ini beserta upaya-upaya penyembuhan yang telah dilaluinya; (c) Mempersiapkan peserta agar mempunyai minat untuk berdiskusi dengan klien pecandu narkoba, dan tidak segan-segan mengeritik dan memberi masukan; (d) Mempersiapkan daftar hadir peserta dan kamera photo.
Dengan berdiskusi dengan beragam kelompok, diharapkan klien akan makin meningkat kepercayaan diri untuk hidup normal dan juga tumbuh sikap kepemimpinan diri, keluarga, dan masyarakat, sehingga setelah melakukan konseling klien menjadi orang yang berguna. Pelajaran dari ceramah dan diskusi yang dilakukan klien secara terus menerus akan mendewasakan klien sehingga menjadi kuat kepribadian untuk menjadi anggota masyarakat.
2.3 Konseling Keluarga (KK)
Untuk membantu secepatnya pemulihan (recovery) klien narkoba, amat diperlukan dukungan keluarga seperti ayah, ibu, saudara, istri, suami, pacar, dan keluarga dekat lainnya. Fasilitator konseling keluarga adalah konselor, sedangkan pesertanya adalah klien, orang tua, saudara, suami/istri, dan sebagainya. Nuansa emosional yang akrab harus mampu diciptakan oleh konselor agar terjadi keterbukaan klien terhadap keluarga, sebaliknya anggota keluarga mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap pemulihan klien. Dampaknya adalah tumbuh rasa aman, percaya diri, dan rasa tanggung jawab klien terhadap diri dan keluarga.
Untuk mencapai keberhasilan KK maka prosedur yang harus ditempuh adalah sebagai berikut:
- Menyiapkan mental klien narkoba untuk menghadapi anggota keluarga. Alasannya karena ada sebagian anggota keluarga yang jengkel, marah, dan bosan dengan kelakuan klien yang mereka anggap amat keterlaluan, merusak diri, mencemarkan nama keluarga, dan biaya keluar jadi besar untuk pemulihan. Mempersiapkan mental klien berarti dia harus berani menerima kritikan-kritikan anggota keluarga dan siap untuk berubah kepada kebaikan sesuai harapan keluarga.
- Memberi kesempatan kepada setiap anggota keluarga untuk menyampaikan perasaan terpendam, kritikan-kritikan, dan perasaan-perasaan negatif lainnya terhadap klien. Di samping itu, ada kesempatan untuk memberi saran-saran, pesan, keinginan-keinginan terhadap klien agar dia berubah. Semuanya bertujuan untuk menurunkan stres keluarga sebagai akibat kelakuan klien sebagai anggota keluarga yang dicintai (Horne & Ohlsen, 1982).
- Selanjutnya, konselor memberi kesempatan kepada klien untuk menyampaikan isi hatinya berupa kata-kata pengakuan jujur atas kesalahan-kesalahannya, serta penyesalan terhadap masa lalu. Kemudian, klien mengemukakan harapan hidup masa depan dan diberi kesempatan untuk berbuat baik terhadap diri, keluarga, dan masyarakat.
- Selanjutnya, konselor mengemukakan kepada keluarga tentang program pemulihan klien secara keseluruhan. Maksudnya supaya keluarga klien menaruh kepercayaan terhadap semua upaya konselor bersama klien. Selanjutnya, keluarga akan mendorong penyembuhan klien dengan tulus dan kasih sayang,.
- Konselor meminta tanggapan keluarga tentang program tersebut. Di samping itu, diminta juga tanggapan mereka terhadap keadaan klien saat ini. Demikian juga, tanggapan klien terhadap program yang telah disusun konselor, dan juga tanggapan terhadap keluarganya. Tanggapan-tanggapan dari kedua pihak terhadap program yang disusun konselor amat penting supaya semua pihak terutama klien sungguh-sungguh didalam menjalani program pemulihan dirinya.
Secara berturut-turut telah
dikemukakan program konseling yang memadukan kegiatan konseling individual,
bimbingan kelompok, dan konseling keluarga. Masih dalam konteks bimbingan dan
konseling, diberikan pula program pendidikan dan pelatihan, serta program
partisipasi terhadap kegiatan-kegiatan di masyarakat.
Sumber : http://depdiknas.go.id,
Editorial Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Edisi 36.
Perilaku Konselor yang Efektif dan Tidak Efektif
Diterbitkan Juli 10, 2008
Dalam proses konseling, seorang konselor
dituntut untuk dapat menunjukkan perilakunya secara efektif, baik perilaku
verbal maupun non verbal. Barbara F. Okun (Sofyan S. Willis, 2004) telah
mengidentifikasi beberapa perilaku verbal non verbal konselor yang efektif dan
tidak efektif sebagaimana tampak dalam tabel berikut ini:
1. Perilaku Verbal:
Efektif
|
Tidak efektif
|
Menggunakan kata-kata yang dapat dipahami klien
|
Memberi nasihat
|
Memberikan refleksi dan penjelasan terhadap pernyataan
klien
|
Terus menerus menggali dan bertanya terutama bertanya
“mengapa”
|
Penafsiran yang baik/sesuai
|
Bersifat menentramkan klien
|
Membuat kesimpulan-kesimpulan
|
Menyalahkan klien
|
Merespon pesan utama klien
|
Menilai klien
|
Memberi dorongan minimal
|
Membujuk klien
|
Memanggil klien dengan nama panggilan atau “Anda”
|
Menceramahi
|
Memberi informasi sesuai keadaan
|
Mendesak klien
|
Menjawab pertanyaan tentang diri konselor
|
Terlalu banyak berbicara mengenai diri sendiri
|
Menggunakan humor secara tepat tentang pernyataan klien
|
Menggunakan kata-kata yang tidak dimengerti
|
Penafsiran yang sesuai dengan situasi
|
Penafsiran yang berlebihan
|
|
Sikap merendahkan klien
|
|
Sering menuntut/meminta klien
|
|
Menyimpang dari topik
|
|
Sok intelektual
|
|
Analisis yang berlebihan
|
|
Selalu mengarahkan klien
|
2. Perilaku Non Verbal:
Efektif
|
Tidak efektif
|
Nada suara disesuaikan dengan klien (tenang, sedang)
|
Berbicara terlalu cepat atau terlalu pelan
|
Memelihara kontak mata yang baik
|
Duduk menjauh dari klien
|
Sesekali menganggukkan kepala
|
Senyum menyeringai /senyum sinis
|
Wajah yang bersemangat
|
Menggerakan dahi
|
Kadang-kadang memberi isyarat tangan
|
Cemberut
|
Jarak dengan klin relatif dekat
|
Marapatkan mulut
|
Ucapan tidak terlalu cepa/lambat
|
Menggoyang-goyangkan jari
|
Duduk agak condong ke arah klien
|
Menguap
|
Sentuhan (touch) disesuaikan dengan usia klien dan
budaya lokal
|
Gerak-gerak isyarat yang mengacaukan
|
Air muka ramah dan senyum
|
Menutup mata atau mengantuk
|
|
Nada suara tidak menyenangkan
|
|
Membuang pandangan
|
Sumber:
Sofyan
S. Willis. 2004. Konseling Individual: Teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta
Penanganan Siswa Bermasalah di Sekolah
Diterbitkan Juli 8, 2008
Di sekolah sangat mungkin ditemukan
siswa yang yang bermasalah, dengan menunjukkan berbagai gejala penyimpangan
perilaku. yang merentang dari kategori ringan sampai dengan berat. Upaya untuk menangani
siswa yang bermasalah, khususnya yang terkait dengan pelanggaran disiplin
sekolah dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu: (1) pendekatan disiplin
dan (2) pendekatan bimbingan dan konseling.
Penanganan siswa bernasalah melalui
pendekatan disiplin merujuk pada aturan dan ketentuan (tata tertib) yang
berlaku di sekolah beserta sanksinya. Sebagai salah satu komponen organisasi
sekolah, aturan (tata tertib) siswa beserta sanksinya memang perlu ditegakkan
untuk mencegah sekaligus mengatasi terjadinya berbagai penyimpangan perilaku
siswa. Kendati demikian, harus diingat sekolah bukan “lembaga hukum” yang harus
mengobral sanksi kepada siswa yang mengalami gangguan penyimpangan perilaku.
Sebagai lembaga pendidikan, justru kepentingan utamanya adalah bagaimana
berusaha menyembuhkan segala penyimpangan perilaku yang terjadi pada para
siswanya.
Oleh karena itu, disinilah pendekatan
yang kedua perlu digunakan yaitu pendekatan melalui Bimbingan dan Konseling.
Berbeda dengan pendekatan disiplin yang memungkinkan pemberian sanksi untuk
menghasilkan efek jera, penanganan siswa bermasalah melalui Bimbingan dan
Konseling justru lebih mengutamakan pada upaya penyembuhan dengan menggunakan
berbagai layanan dan teknik yang ada. Penanganan siswa bermasalah melalui Bimbingan
dan Konseling sama sekali tidak menggunakan bentuk sanksi apa pun, tetapi lebih
mengandalkan pada terjadinya kualitas hubungan interpersonal yang saling
percaya di antara konselor dan siswa yang bermasalah, sehingga setahap demi
setahap siswa tersebut dapat memahami dan menerima diri dan lingkungannya,
serta dapat mengarahkan diri guna tercapainya penyesuaian diri yang lebih baik.
Secara visual, kedua pendekatan dalam
menangani siswa bermasalah dapat dilihat dalam bagan berikut ini:
Dengan melihat gambar di atas, kita
dapat memahami bahwa di antara kedua pendekatan penanganan siswa bermasalah
tersebut, meski memiliki cara yang berbeda tetapi jika dilihat dari segi
tujuannya pada dasarnya sama yaitu tercapainya penyesuaian diri atau
perkembangan yang optimal pada siswa yang bermasalah. Oleh karena itu, kedua
pendekatan tersebut seyogyanya dapat berjalan sinergis dan saling melengkapi.
Sebagai ilustrasi, misalkan di suatu
sekolah ditemukan kasus seorang siswi yang hamil akibat pergaulan bebas,
sementara tata tertib sekolah secara tegas menyatakan untuk kasus demikian,
siswa yang bersangkutan harus dikeluarkan. Jika hanya mengandalkan pendekatan
disiplin, mungkin tindakan yang akan diambil sekolah adalah berusaha memanggil
orang tua/wali siswa yang bersangkutan dan ujung-ujungnya siswa dinyatakan
dikembalikan kepada orang tua (istilah lain dari dikeluarkan). Jika tanpa intervensi
Bimbingan dan Konseling, maka sangat mungkin siswa yang bersangkutan akan
meninggalkan sekolah dengan dihinggapi masalah-masalah baru yang justru dapat
semakin memperparah keadaan. Tetapi dengan intervensi Bimbingan dan Konseling
di dalamnya, diharapkan siswa yang bersangkutan bisa tumbuh perasaan dan
pemikiran positif atas masalah yang menimpa dirinya, misalnya secara sadar
menerima resiko yang terjadi, keinginan untuk tidak berusaha menggugurkan
kandungan yang dapat membahayakan dirinya maupun janin yang dikandungnya,
keinginan untuk melanjutkan sekolah, serta hal-hal positif lainnya, meski
ujung-ujungnya siswa yang bersangkutan tetap harus dikeluarkan dari sekolah.
Perlu digarisbawahi, dalam hal ini
bukan berarti Guru BK/Konselor yang harus mendorong atau bahkan memaksa siswa
untuk keluar dari sekolahnya. Persoalan mengeluarkan siswa merupakan wewenang
kepala sekolah, dan tugas Guru BK/Konselor hanyalah membantu siswa agar dapat
memperoleh kebahagiaan dalam hidupnya.
Lebih jauh, meski saat ini paradigma
pelayanan Bimbingan dan Konseling lebih mengedepankan pelayanan yang bersifat
pencegahan dan pengembangan, pelayanan Bimbingan dan Konseling terhadap siswa
bermasalah tetap masih menjadi perhatian. Dalam hal ini, perlu diingat bahwa
tidak semua masalah siswa harus ditangani oleh guru BK (konselor). Dalam hal
ini, Sofyan S. Willis (2004) mengemukakan tingkatan masalah berserta mekanisme
dan petugas yang menanganinya, sebagaimana dalam bagan berikut :
- Masalah (kasus) ringan, seperti: membolos, malas, kesulitan belajar pada bidang tertentu, berkelahi dengan teman sekolah, bertengkar, minum minuman keras tahap awal, berpacaran, mencuri kelas ringan. Kasus ringan dibimbing oleh wali kelas dan guru dengan berkonsultasi kepada kepala sekolah (konselor/guru pembimbing) dan mengadakan kunjungan rumah.
- Masalah (kasus) sedang, seperti: gangguan emosional, berpacaran, dengan perbuatan menyimpang, berkelahi antar sekolah, kesulitan belajar, karena gangguan di keluarga, minum minuman keras tahap pertengahan, mencuri kelas sedang, melakukan gangguan sosial dan asusila. Kasus sedang dibimbing oleh guru BK (konselor), dengan berkonsultasi dengan kepala sekolah, ahli/profesional, polisi, guru dan sebagainya. Dapat pula mengadakan konferensi kasus.
- Masalah (kasus) berat, seperti: gangguan emosional berat, kecanduan alkohol dan narkotika, pelaku kriminalitas, siswa hamil, percobaan bunuh diri, perkelahian dengan senjata tajam atau senjata api. Kasus berat dilakukan referal (alihtangan kasus) kepada ahli psikologi dan psikiater, dokter, polisi, ahli hukum yang sebelumnya terlebih dahulu dilakukan kegiatan konferensi kasus.
Secara visual, penanganan siswa
bermasalah melalui pendekatan Bimbingan dan Konseling dapat dilihat dalam bagan
berikut ini:
Dengan
melihat penjelasan di atas, tampak jelas bahwa penanganan siswa bermasalah
melalui pendekatan Bimbingan dan Konseling tidak semata-mata menjadi tanggung
jawab guru BK/konselor di sekolah tetapi dapat melibatkan pula berbagai pihak
lain untuk bersama-sama membantu siswa agar memperoleh penyesuaian diri dan
perkembangan pribadi secara optimal.
C. STANDAR KOMPETENSI BIMBINGAN DAN KONSELING
Kompetensi Konselor/Guru BK
Diterbitkan Februari 17, 2008
A. Memahami secara
mendalam konseli yang hendak dilayani
- Menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, individualitas, kebebasan memilih, dan mengedepankan kemaslahatan konseli dalam konteks kemaslahatan umum: (a) mengaplikasikan pandangan positif dan dinamis tentang manusia sebagai makhluk spiritual, bermoral, sosial, individual, dan berpotensi; (b) menghargai dan mengembangkan potensi positif individu pada umumnya dan konseli pada khususnya; (c) peduli terhadap kemaslahatan manusia pada umumnya dan konseli pada khususnya; (d) menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sesuai dengan hak asasinya; (e) toleran terhadap permsalahan konseli, dan (f) ersikap demokratis
B. Menguasai landasan
teoritik bimbingan dan konseling.
- Menguasai landasan teoritik bimbingan dan konseling; (b) menguasai ilmu pendidikan dan landasan keilmuannya; (c) mengimplementasikan prinsipprinsip pendidikan dan proses pembelajaran; (d) menguasai landasan budaya dalam praksis pendidikan
- Menguasai esensi pelayanan bimbingan dan konseling dalam jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan: (a) menguasai esensi bimbingan dan onseling pada satuan jalur pendidikan formal, non formal, dan informal; (b) menguasai esensi bimbingan dan konseling pada satuan jenis pendidikan umum, kejuruan, keagamaan, dan khusus; dan (c) menguasai esensi bimbingan dan konseling pada satuan jenjang pendidikan usia dini, dasar dan menengah.
- Menguasai konsep dan praksis penelitian bimbingan dan
konseling: (a) memahami berbagai jenis dan metode penelitian; (b) mampu
merancang penelitian bimbingan dan konseling; (c) melaksanakan penelitian
bimbingan
dan konseling; (d) memanfaatkan hasil penelitian dalam bimbingan dan konseling dengan mengakses jurnal pendidikan dan bimbingan dan konseling. - Menguasai kerangka teori dan praksis bimbingan dan konseling: (a) mengaplikasikan hakikat pelayanan bimbingan dan konseling; (b) mengaplikasikan arah profesi bimbingan dan konseling; (c) mengaplikasikan dasar-dasar pelayanan bimbingan dan konseling; (d) mengaplikasikan pelayanan bimbingan dan konseling sesuai kondisi dan tuntutan wilayah kerja; (e) mengaplikasikan pendekatan/model/ jenis layanan dan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling; dan (f) Mengaplikasikan dalam praktik format pelayanan bimbingan dan konseling.
C. Menyelenggarakan
bimbingan dan konseling yang memandirikan
- Merancang program bimbingan dan konseling: (a) menganalisis kebutuhan konseli; (b) menyusun program bimbingan dan konseling yang berkelanjutan berdasar kebutuhan peserta didik secara komprehensif dengan pendekatan perkembangan; (c) menyusun rencana pelaksanaan program bimbingan dan konseling; dan (d) merencanakan sarana dan biaya penyelenggaraan program bimbingan dan konseling.
- Mengimplemantasikan program bimbingan dan konseling yang komprehensif: (a) Melaksanakan program bimbingan dan konseling: (b) melaksanakan pendekatan kolaboratif dalam layanan bimbingan dan konseling; (c) memfasilitasi perkembangan, akademik, karier, personal, dan sosial konseli; dan (d) mengelola sarana dan biaya program bimbingan dan konseling.
- Menilai proses dan hasil kegiatan bimbingan dan konseling: (a)
melakukan evaluasi hasil, proses dan program bimbingan dan konseling; (b)
melakukan penyesuaian proses layanan bimbingan dan konseling; (c)
menginformasikan hasil pelaksanaan evaluasi layanan bimbingan dan
konseling kepada pihak terkait; (d) menggunakan hasil pelaksanaan evaluasi
untuk merevisi dan
mengembangkan program bimbingan dan konseling. - Mengimplementasikan kolaborasi intern di tempat bekerja: (a)
memahami dasar, tujuan, organisasi dan peran pihak-pihak lain (guru, wali
kelas, pimpinan
sekolah/madrasah, komite sekolah/madrasah di tempat bekerja; (b) mengkomunikasikan dasar, tujuan, dan kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling kepada pihak-pihak lain di tempat bekerja; dan (c) bekerja sama dengan pihak-pihak terkait di dalam tempat bekerja seperti guru, orang tua, tenaga administrasi) - Berperan dalam organisasi dan kegiatan profesi bimbingan dan
konseling: (a) Memahami dasar, tujuan, dan AD/ART organisasi profesi
bimbingan dan konseling untuk pengembangan diri.dan profesi; (b) menaati
Kode Etik profesi
bimbingan dan konseling; dan (c) aktif dalam organisasi profesi bimbingan dan konseling untuk pengembangan diri.dan profesi. - Mengimplementasikan kolaborasi antar profesi: (a) mengkomunikasikan aspek-aspek profesional bimbingan dan konseling kepada organisasi profesi lain; (b) memahami peran organisasi profesi lain dan memanfaatkannya untuk suksesnya pelayanan bimbingan dan konseling; (c) bekerja dalam tim bersama tenaga paraprofesional dan profesional profesi lain; dan (d) melaksanakan referal kepada ahli profesi lain sesuai keperluan.
Sumber : ABKIN. 2007. Naskah
Akademik Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur
Pendidikan Formal dan Non Formal
Tulisan yang sama dalam bentuk
file Pdf :
Standar Kompetensi Bimbingan dan Konseling di SD
Diterbitkan Juni 13, 2008
Dalam Permendiknas No.
23/2006 telah dirumuskan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang harus dicapai
peserta didik, melalui proses pembelajaran berbagai mata pelajaran. Namun,
sungguh sangat disesalkan dalam Permendiknas tersebut sama sekali tidak memuat
Standar Kompetensi yang harus dicapai peserta didik melalui pelayanan Bimbingan
dan Konseling. Oleh karena itu, Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia
(ABKIN) mengambil inisiatif untuk merumuskan Standar Kompetensi yang harus
dicapai oleh peserta didik, mulai tingkat SD sampai dengan Perguruan Tinggi,
dalam bentuk naskah akademik, untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan
Depdiknas dalam menentukan kebijakan Pelayanan Bimbingan dan Konseling di
Indonesia.
Dalam konteks
pembelajaran Standar Kompetensi ini disebut Standar Kompetensi Lulusan (SKL),
sementara dalam konteks Bimbingan dan Konseling Standar Kompetensi ini dikenal
dengan istilah Standar Kompetensi Kemandirian (SKK), yang di
dalamnya mencakup sepuluh aspek perkembangan individu (SD dan SLTP) dan sebelas
aspek perkembangan individu (SLTA dan PT). Kesebelas aspek perkembangan
tersebut adalah: (1) Landasan hidup religius; (2) Landasan perilaku etis; (3)
Kematangan emosi; (4) Kematangan intelektual; (5) Kesadaran tanggung jawab
sosial; (6) Kesadaran gender; (7) Pengembangan diri; ( Perilaku kewirausahaan (kemandirian
perilaku ekonomis); (9) Wawasan dan kesiapan karier; (10) Kematangan hubungan
dengan teman sebaya; dan (11) Kesiapan diri untuk menikah dan berkeluarga
(hanya untuk SLTA dan PT). Masing-masing aspek perkembangan memiliki tiga
dimensi tujuan, yaitu: (1) pengenalan/penyadaran (memperoleh pengetahuan dan
pemahaman tentang aspek dan tugas perkembangan [standar kompetensi] yang harus
dikuasai); (2) akomodasi (memperoleh pemaknaan dan internalisasi atas aspek dan
tugas perkembangan [standar kompetensi] yang harus dikuasai) dan (3) tindakan
(perilaku nyata dalam kehidupan sehari-hari dari aspek dan tugas perkembangan
[standar kompetensi] yang harus dikuasai).
Aspek perkembangan dan
beserta dimensinya tampaknya sudah disusun sedemikian rupa dengan mengikuti dan
diselaraskan dengan prinsip-prinsip, kaidah-kaidah dan tugas-tugas perkembangan
yang harus dicapai individu.
Berikut ini rumusan
Standar Kompetensi Kemandirian Peserta Didik pada Sekolah Dasar
STANDAR KOMPETENSI KEMANDIRIAN (SKK)
PESERTA DIDIK
PADA SEKOLAH DASAR
No
|
Aspek
Perkembangan
|
Tataran/Internalisasi
Tujuan
|
||
Pengenalan
|
Akomodasi
|
Tindakan
|
||
1
|
Landasan hidup
religius
|
Mengenal
bentuk-bentuk dan tata cara ibadah sehari-hari
|
Tertarik pada
kegiatan ibadah sehari
|
Melakukan
bentuk-bentuk ibadah sehari-hari
|
2
|
Landasan
perilaku etis
|
Mengenal patokan
baik-buruk atau benar salah dalam berperilaku
|
Menghargai
aturan-aturan yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari
|
Mengikuti aturan
yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari
|
3
|
Kematangan emosi
|
Mengenal
perasaan diri sendiri dan orang lain
|
Memahami
perasaan diri sendiri dan orang lain
|
Mengekspresikan
perasaan secara wajar
|
4
|
Kematangan
intelektual
|
Mengenal
konsep-konsep dasar ilmu pengetahuan dan perilaku belajar
|
Menyenangi
berbagai aktifitas perilaku belajar
|
Melibatkan diri
dalam berbagai aktifitas perilaku belajar
|
5
|
Kesadaran
tanggung jawab sosial
|
Mengenal hak dan
kewajiban diri dan orang lain dalam lingkungan kehidupan sehari-hari
|
Memahami hak dan
kewajiban diri dan orang lain dalam lingkungan kehidupan sehari-hari
|
Berinteraksi
dengan orang lain dalam suasana persahabatan
|
6
|
Kesadaran gender
|
Mengenal diri
sebagai laki-laki atau perempuan
|
Menerima atau
menghargai diri sebagai laki-laki atau perempuan
|
Berperilaku
sesuai dengan peran sebagai laki-laki atau perempuan
|
7
|
Pengembangan
diri
|
Mengenal keadaan
diri dalam lingkungan dekatnya
|
Menerima keadaan
diri sebagai bagian dari lingkungan
|
Menampilkan
perilaku sesuai dengan keberadaan diri dalam lingkungannya
|
8
|
Perilaku
kewirausahaan (kemandirian perilaku ekonomis)
|
Mengenal
perilaku hemat, ulet sungguh-sungguh dan konpetitif dalam kehidupan
sehari-hari di lingkungan dekatnya
|
Memahami
perilaku hemat, ulet sungguh-sungguh dan konpetitif dalam kehidupan
sehari-hari di lingkungan dekatnya
|
Menampilkan
perilaku hemat, ulet sungguh-sungguh dan konpetitif dalam kehidupan
sehari-hari di lingkungannya
|
9
|
Wawasan dan
kesiapan karier
|
Mengenal ragam
pekerjaan dan aktivitas orang dalam kehidupan
|
Menghargai ragam
pekerjaan dan aktivitas sebagai hal yang saling bergantung
|
Mengekspresikan
ragam pekerjaan dan aktivitas orang dalam lingkungan kehidupan
|
10
|
Kematangan
hubungan dengan teman sebaya
|
Mengenal
norma-norma dalam berinteraksi dengan teman sebaya
|
Menghargai
norma-norma yang dijunjung tinggi dalam menjalin persahabatan dengan teman
sebaya
|
Menjalin
persahabatan dengan teman sebaya atas dasar norma yang dijunjung tinggi
bersama
|
Sumber :
Depdiknas.2007.Rambu-Rambu
Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal.Jakarta.
Standar Kompetensi Bimbingan dan Konseling di SLTP
Diterbitkan Juni 13, 2008
Dalam Permendiknas No. 23/2006
telah dirumuskan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang harus dicapai peserta
didik, melalui proses pembelajaran berbagai mata pelajaran. Namun, sungguh
sangat disesalkan dalam Permendiknas tersebut sama sekali tidak memuat Standar
Kompetensi yang harus dicapai peserta didik melalui pelayanan Bimbingan dan
Konseling. Oleh karena itu, Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN)
mengambil inisiatif untuk merumuskan Standar Kompetensi yang harus dicapai oleh
peserta didik, mulai tingkat SD sampai dengan Perguruan Tinggi, dalam bentuk
naskah akademik, untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan Depdiknas dalam
menentukan kebijakan Pelayanan Bimbingan dan Konseling di Indonesia.
Dalam konteks pembelajaran
Standar Kompetensi ini disebut Standar Kompetensi Lulusan (SKL), sementara
dalam konteks Bimbingan dan Konseling Standar Kompetensi ini dikenal dengan
istilah Standar Kompetensi Kemandirian (SKK), yang di dalamnya
mencakup sepuluh aspek perkembangan individu (SD dan SLTP) dan sebelas aspek
perkembangan individu (SLTA dan PT). Kesebelas aspek perkembangan tersebut
adalah: (1) Landasan hidup religius; (2) Landasan perilaku etis; (3) Kematangan
emosi; (4) Kematangan intelektual; (5) Kesadaran tanggung jawab sosial; (6)
Kesadaran gender; (7) Pengembangan diri; (8 ) Perilaku kewirausahaan
(kemandirian perilaku ekonomis); (9) Wawasan dan kesiapan karier; (10)
Kematangan hubungan dengan teman sebaya; dan (11) Kesiapan diri untuk menikah
dan berkeluarga (hanya untuk SLTA dan PT). Masing-masing aspek perkembangan
memiliki tiga dimensi tujuan, yaitu:(1) pengenalan/penyadaran (memperoleh
pengetahuan dan pemahaman tentang aspek dan tugas perkembangan [standar
kompetensi] yang harus dikuasai); (2) akomodasi (memperoleh pemaknaan dan
internalisasi atas aspek dan tugas perkembangan [standar kompetensi] yang harus
dikuasai) dan (3) tindakan (perilaku nyata dalam kehidupan sehari-hari dari
aspek dan tugas perkembangan [standar kompetensi] yang harus dikuasai).
Aspek perkembangan dan beserta
dimensinya tampaknya sudah disusun sedemikian rupa dengan mengikuti dan
diselaraskan dengan prinsip-prinsip, kaidah-kaidah dan tugas-tugas perkembangan
yang harus dicapai individu.
Berikut ini rumusan Standar
Kompetensi Kemandirian Peserta Didik pada Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
STANDAR KOMPETENSI KEMANDIRIAN (SKK)
PESERTA DIDIK
PADA SEKOLAH LANJUTAN TINGKAT PERTAMA
No
|
Aspek
Perkembangan
|
Tataran/Internalisasi
Tujuan
|
||
Pengenalan
|
Akomodasi
|
Tindakan
|
||
1
|
Landasan hidup
religius
|
Mengenal arti
dan tujuan ibadah
|
Berminat
mempelajari arti dan tujuan ibadah
|
Melakukan
berbagai kegiatan ibadah dengan kemauan sendiri
|
2
|
Landasan
perilaku etis
|
Mengenal alasan
perlunya mentaati aturan/norma berperilaku
|
Memahami
keragaman aturan/patokan dalam berperilaku dalam konteks budaya
|
Bertindak atas
pertimbangan diri terhadap norma yang berlaku
|
3
|
Kematangan emosi
|
Mengenal
cara-cara mengekspresikan perasaan secara wajar
|
Memahami
keragaman ekspresi perasaan diri dan perasaan orasaan orang lain
|
Mengekspresikan
perasaan atas dasar pertimbangan kontekstual
|
4
|
Kematangan
intelektual
|
Mempelajari
cara-cara pengambilan keputusan dan pemecahan masalah
|
Menyadari adanya
resiko dari pengambilan keputusan
|
Mengambil
keputusan berdasarkan pertimbangan resiko yang mungkin terjadi.
|
5
|
Kesadaran
tanggung jawab sosial
|
Mempelajari
cara-cara memperoleh hak dan memenuhi kewajiban dalam lingkungan kehidupan
sehari-hari
|
Menghargai
nilai-nilai persahabatan dan keharmonisan dalam kehidupan sehari-hari
|
Berinteraksi
dengan orang lain atas dasar nilai-nilai persahabatan dan keharmonisan hidup.
|
6
|
Kesadaran gender
|
Mengenal
peran-peran sosial sebagai laki-laki atau perempuan
|
Menghargai
peranan diri dan orang lain sebagai laki-laki atau perempuan dalam kehidupan
sehari-hari
|
Berinteraksi dengan
lain jenis secara kolaboratif dalam memerankan peran jenis
|
7
|
Pengembangan
diri
|
Mengenal
kemampuan dan keinginan diri
|
Menerima keadaan
diri secara positif
|
Meyakini
keunikan diri sebagai aset yang harus dikembangkan secara harmonis dalam
kehidupan
|
8
|
Perilaku
kewirausahaan (kemandirian perilaku ekonomis)
|
Mengenal
nilai-nilai perilaku hemat, ulet sungguh-sungguh dan konpetitif dalam
kehidupan sehari-hari.
|
Menyadari
manfaat perilaku hemat, ulet sungguh-sungguh dan konpetitif dalam kehidupan
sehari-hari.
|
Membiasakan diri
hidup hemat, ulet sungguh-sungguh dan konpetitif dalam kehidupan sehari-hari.
|
9
|
Wawasan dan
kesiapan karier
|
Mengekspresikan
ragam pekerjaan, pendidikan dan aktivitas dalam dengan kemampuan diri
|
Menyadari
keragaman nilai dan persyaratan dan aktivitas yang menuntut pemenuhan
kemampuan tertentu
|
Mengidentifikasi
ragam alternatif pekerjaan, pendidikan dan aktifitas yang mengandung
relevansi dengn kemampuan diri
|
10
|
Kematangan
hubungan dengan teman sebaya
|
Mempelajari
norma-norma pergaulan dengan teman sebaya yang beragam latar belakangnya
|
Menyadari
keragaman latar belakang teman sebaya yang mendasari pergaulan
|
Bekerja sama
dengan teman sebaya yang beragam latar belakangnya
|
Sumber :
Depdiknas.2007.Rambu-Rambu
Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal.Jakarta.
Standar Kompetensi Bimbingan dan Konseling di SLTA
Diterbitkan Juni 13, 2008
Dalam Permendiknas No.
23/2006 telah dirumuskan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang harus dicapai
peserta didik, melalui proses pembelajaran berbagai mata pelajaran. Namun,
sungguh sangat disesalkan dalam Permendiknas tersebut sama sekali tidak memuat
Standar Kompetensi yang harus dicapai peserta didik melalui pelayanan Bimbingan
dan Konseling. Oleh karena itu, Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia
(ABKIN) mengambil inisiatif untuk merumuskan Standar Kompetensi yang harus
dicapai oleh peserta didik, mulai tingkat SD sampai dengan Perguruan Tinggi,
dalam bentuk naskah akademik, untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan
Depdiknas dalam menentukan kebijakan Pelayanan Bimbingan dan Konseling di
Indonesia.
Dalam konteks
pembelajaran Standar Kompetensi ini disebut Standar Kompetensi Lulusan (SKL),
sementara dalam konteks Bimbingan dan Konseling Standar Kompetensi ini dikenal
dengan istilah Standar Kompetensi Kemandirian (SKK), yang di
dalamnya mencakup sepuluh aspek perkembangan individu (SD dan SLTP) dan sebelas
aspek perkembangan individu (SLTA dan PT). Kesebelas aspek perkembangan
tersebut adalah: (1) Landasan hidup religius; (2) Landasan perilaku etis; (3)
Kematangan emosi; (4) Kematangan intelektual; (5) Kesadaran tanggung jawab
sosial; (6) Kesadaran gender; (7) Pengembangan diri; ( Perilaku kewirausahaan (kemandirian
perilaku ekonomis); (9) Wawasan dan kesiapan karier; (10) Kematangan hubungan
dengan teman sebaya; dan (11) Kesiapan diri untuk menikah dan berkeluarga
(hanya untuk SLTA dan PT). Masing-masing aspek perkembangan memiliki tiga
dimensi tujuan, yaitu: (1) pengenalan/penyadaran (memperoleh pengetahuan dan
pemahaman tentang aspek dan tugas perkembangan [standar kompetensi] yang harus
dikuasai); (2) akomodasi (memperoleh pemaknaan dan internalisasi atas aspek dan
tugas perkembangan [standar kompetensi] yang harus dikuasai) dan (3) tindakan
(perilaku nyata dalam kehidupan sehari-hari dari aspek dan tugas perkembangan
[standar kompetensi] yang harus dikuasai).
Aspek perkembangan dan
beserta dimensinya tampaknya sudah disusun sedemikian rupa dengan mengikuti dan
diselaraskan dengan prinsip-prinsip, kaidah-kaidah dan tugas-tugas perkembangan
yang harus dicapai individu.
Berikut ini rumusan
Standar Kompetensi Kemandirian Peserta Didik pada Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
STANDAR KOMPETENSI KEMANDIRIAN (SKK)
PESERTA DIDIK
PADA SEKOLAH LANJUTAN TINGKAT ATAS
No
|
Aspek Perkembangan
|
Tataran/Internalisasi
Tujuan
|
||
Pengenalan
|
Akomodasi
|
Tindakan
|
||
1
|
Landasan hidup
religius
|
Mempelajari hal
ihwal ibadah
|
Mengembangkan
pemikiran tentang kehidupan beragama
|
Melaksanakan
ibadah atas keyakinan sendiri disertai sikap toleransi
|
2
|
Landasan
perilaku etis
|
Mengenal
keragaman sumber norma yang berlaku di masyaraakat
|
Menghargai
Keragaman sumber norma sebagai rujukan pengambilan keputusan
|
Berperilaku atas
dasar keputusan yang mempertimbangkan aspek-aspek etis
|
3
|
Kematangan emosi
|
Mempelajari cara-cara
menghindari konflik dengan orang lain
|
Bersikap toleran
terhadap ragam ekspresi perasaan diri sendiri dan orang lain
|
Mengekspresikan
perasaan dalam cara-cara yang bebas,terbuka dan tidak menimbulkan konflik
|
4
|
Kematangan
intelektual
|
Mempelajari cara-cara
pengambilan keputusan dan pemecahan masalah secara objektif
|
Menyadari akan
keragaman alternatif keputusan dan konsekuensi yang dihadapinya
|
Mengambil
keputusan dan pemecahan masalah atas dasar informasi/data secara obyektif
|
5
|
Kesadaran
tanggung jawab sosial
|
Mempelajari
keragaman interaksi sosial
|
Menyadari
nilai-nilai persahabatan dan keharmonisan dalam konteks keragaman interaksi
sosial
|
Berinteraksi
dengan orang lain atas dasar kesamaan
|
6
|
Kesadaran gender
|
Mempelajari
perilaku kolaborasi antar jenis dalam ragam kehidupan
|
Menghargai
keragaman peraan laki-laki atau perempuan sebagai aset kolaborasi dan
keharmonisan hidup
|
Berkolaborasi
secara harmonis dengan lain jenis dalam keragaman peran
|
7
|
Pengembangan
diri
|
Mempelajari
keunikan diri dalam konteks kehidupan sosial
|
Menerima
keunikan diri dengan segala kelebihan dan kekurangannya
|
Menampilkan
keunikan diri secara harmonis dalam keragaman
|
8
|
Perilaku
kewirausahaan (kemandirian perilaku ekonomis)
|
Mempelajari
strategi dan peluang untuk berperilaku hemat,ulet, sengguh-sungguh dan
kompetitif dalam keragaman kehidupan
|
Menerima
nilai-nilai hidup hemat,ulet sungguh-sungguh dan kompetitif sebagai aset
untuk mencapai hidup mandiri
|
Menampilkan
hidup hemat, ulet, sungguh-sungguh dan kompetitif atas dasar kesadaran sendiri
|
9
|
Wawasan dan
kesiapan karier
|
Mempelajari
kemampuan diri, peluang dan ragam pekerjaan, pendidikan, dan aktifitas yang
terfokus pada pengembangan alternatif karir yang lebih terarah
|
Internalisasi
nilai-niolai yang melandasi pertimbangan pemilihan alternatif karir
|
Mengembangkan
alternatif perencanaan karir dengan mempertimbangkan kemampuan, peluang dan
ragam karir
|
10
|
Kematangan
hubungan dengan teman sebaya
|
Mempelajari
cara-cara membina dan kerjasama dan toleransi dalam pergaulan dengan teman
sebaya
|
Menghargai
nilai-nilai kerjasama dan toleransi sebagai dasar untuk menjalin persahabatan
dengan teman sebaya
|
Mempererat
jalinan persahabatan yang lebih akrab dengan memperhatikan norma yang berlaku
|
11
|
Kesiapan diri
untuk menikah dan berkeluarga
|
Mengenal norma-norma
pernikahan dan berkeluarga
|
Mengharagai
norma-norma pernikahan dan berkeluarga sebagai landasan bagi terciptanya
kehidupan masyarakat yang harmonis
|
Mengekspresikan
keinginannya untuk mempelajari lebih intensif tentang norma pernikahan dan
berkeluarga
|
Sumber :
Depdiknas.2007.Rambu-Rambu
Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal.Jakarta.
Standar Kompetensi BK di Perguruan Tinggi
Diterbitkan Juni 13, 2008
Meski penyelenggaraan
Bimbingan dan Konseling tidak terkait langsung dengan Permendiknas No. 23/2006
tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Namun Asosiasi Bimbingan dan
Konseling Indonesia (ABKIN) telah menyiapkan pula rumusan Standar Kompetensi
Kompetensi yang harus dicapai peserta didik melalui pelayanan Bimbingan dan
Konseling di Perguruan Tinggi
Berikut ini rumusan
Standar Kompetensi Kemandirian Peserta Didik pada Perguruan Tinggi
No
|
Aspek
Perkembangan
|
Tataran/Internalisasi
Tujuan
|
||
Pengenalan
|
Akomodasi
|
Tindakan
|
||
1
|
Landasan hidup
religius
|
Mempelajari hal
ihwal ibadah
|
Mengembangkan
pemikiran tentang kehidupan beragama
|
Melaksanakan
ibadah atas keyakinan sendiri disertai sikap toleransi
|
2
|
Landasan
perilaku etis
|
Mengenal
keragaman sumber norma yang berlaku di masyaraakat
|
Menghargai
Keragaman sumber norma sebagai rujukan pengambilan keputusan
|
Berperilaku atas
dasar keputusan yang mempertimbangkan aspek-aspek etis
|
3
|
Kematangan emosi
|
Mempelajari
cara-cara menghindari konflik dengan orang lain
|
Bersikap toleran
terhadap ragam ekspresi perasaan diri sendiri dan orang lain
|
Mengekspresikan
perasaan dalam cara-cara yang bebas,terbuka dan tidak menimbulkan konflik
|
4
|
Kematangan
intelektual
|
Mempelajari
cara-cara pengambilan keputusan dan pemecahan masalah secara objektif
|
Menyadari akan
keragaman alternatif keputusan dan konsekuensi yang dihadapinya
|
Mengambil
keputusan dan pemecahan masalah atas dasar informasi/data secara obyektif
|
5
|
Kesadaran
tanggung jawab sosial
|
Mempelajari
keragaman interaksi sosial
|
Menyadari
nilai-nilai persahabatan dan keharmonisan dalam konteks keragaman interaksi
sosial
|
Berinteraksi
dengan orang lain atas dasar kesamaan
|
6
|
Kesadaran gender
|
Mempelajari
perilaku kolaborasi antar jenis dalam ragam kehidupan
|
Menghargai
keragaman peraan laki-laki atau perempuan sebagai aset kolaborasi dan
keharmonisan hidup
|
Berkolaborasi
secara harmonis dengan lain jenis dalam keragaman peran
|
7
|
Pengembangan
diri
|
Mempelajari
keunikan diri dalam konteks kehidupan sosial
|
Menerima
keunikan diri dengan segala kelebihan dan kekurangannya
|
Menampilkan
keunikan diri secara harmonis dalam keragaman
|
8
|
Perilaku
kewirausahaan (kemandirian perilaku ekonomis)
|
Mempelajari
strategi dan peluang untuk berperilaku hemat,ulet, sengguh-sungguh dan
kompetitif dalam keragaman kehidupan
|
Menerima
nilai-nilai hidup hemat,ulet sungguh-sungguh dan kompetitif sebagai aset
untuk mencapai hidup mandiri
|
Menampilkan
hidup hemat, ulet, sungguh-sungguh dan kompetitif atas dasar kesadaran
sendiri
|
9
|
Wawasan dan
kesiapan karier
|
Mempelajari
kemampuan diri, peluang dan ragam pekerjaan, pendidikan, dan aktifitas yang
terfokus pada pengembangan alternatif karir yang lebih terarah
|
Internalisasi
nilai-niolai yang melandasi pertimbangan pemilihan alternatif karir
|
Mengembangkan
alternatif perencanaan karir dengan mempertimbangkan kemampuan, peluang dan
ragam karir
|
10
|
Kematangan
hubungan dengan teman sebaya
|
Mempelajari
cara-cara membina dan kerjasama dan toleransi dalam pergaulan dengan teman
sebaya
|
Menghargai
nilai-nilai kerjasama dan toleransi sebagai dasar untuk menjalin persahabatan
dengan teman sebaya
|
Mempererat
jalinan persahabatan yang lebih akrab dengan memperhatikan norma yang berlaku
|
11
|
Kesiapan diri
untuk menikah dan berkeluarga
|
Mengenal
norma-norma pernikahan dan berkeluarga
|
Mengharagai
norma-norma pernikahan dan berkeluarga sebagai landasan bagi terciptanya
kehidupan masyarakat yang harmonis
|
Mengekspresikan
keinginannya untuk mempelajari lebih intensif tentang norma pernikahan dan
berkeluarga
|
Simber:
Depdiknas.2007.Rambu-Rambu
Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal.Jakarta.
Program Bimbingan dan Konseling
Diterbitkan Juli 8, 2008
A. Program Bimbingan
dan Konseling
Program
pelayanan Bimbingan dan Konseling di sekolah disusun berdasarkan kebutuhan peserta
didik (need assessment) yang
diperoleh melalui aplikasi instrumentasi, dengan substansi program pelayanan
mencakup: (1) empat bidang, (2) jenis layanan dan kegiatan pendukung, (3)
format kegiatan, sasaran pelayanan (4) , dan (5) volume/beban tugas konselor.
Program
pelayanan Bimbingan dan Konseling pada masing-masing satuan sekolah/madrasah
dikelola dengan memperhatikan keseimbangan dan kesinambungan program antarkelas
dan antarjenjang kelas, dan mensinkronisasikan program pelayanan Bimbingan dan
Konseling dengan kegiatan pembelajaran mata pelajaran dan kegiatan ekstra
kurikuler, serta mengefektifkan dan mengefisienkan penggunaan fasilitas
sekolah/ madrasah.
Dilihat
dari jenisnya, program Bimbingan dan Konseling terdiri 5 (lima) jenis program, yaitu:
- Program Tahunan, yaitu program pelayanan Bimbingan dan Konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu tahun untuk masing-masing kelas di sekolah/madrasah.
- Program Semesteran, yaitu program pelayanan Bimbingan dan Konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu semester yang merupakan jabaran program tahunan.
- Program Bulanan, yaitu program pelayanan Bimbingan dan Konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu bulan yang merupakan jabaran program semesteran.
- Program Mingguan, yaitu program pelayanan Bimbingan dan Konseling meliputi seluruh kegiatan selama satu minggu yang merupakan jabaran program bulanan.
- Program Harian, yaitu program pelayanan Bimbingan dan Konseling yang dilaksanakan pada hari-hari tertentu dalam satu minggu. Program harian merupakan jabaran dari program mingguan dalam bentuk satuan layanan (SATLAN) dan atau satuan kegiatan pendukung (SATKUNG) Bimbingan dan Konseling.
B.
Manajemen Bimbingan dan Konseling
Secara
keseluruhan manajemen Bimbingan dan Konseling mencakup tiga kegiatan utama,
yaitu : (1) perencanaan; (2) pelaksanaan, dan (3)penilaian
1.
Perencanaan
Perencanaan
kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling mengacu pada program tahunan yang
telah dijabarkan ke dalam program semesteran, bulanan serta mingguan.
Perencanaan kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling harian yang merupakan
penjabaran dari program mingguan disusun dalam bentuk SATLAN dan SATKUNG yang
masing-masing memuat:: (a) sasaran layanan/kegiatan pendukung; (b) substansi
layanan/kegiatan pendukung; (c) jenis layanan/kegiatan pendukung, serta alat
bantu yang digunakan;(d pelaksana layanan/kegiatan pendukung dan pihak-pihak
yang terlibat; dan (e) waktu dan tempat. Rencana kegiatan pelayanan Bimbingan
dan Konseling mingguan meliputi kegiatan di dalam kelas dan di luar kelas untuk
masing-masing kelas peserta didik yang menjadi tanggung jawab konselor. Satu
kali kegiatan layanan atau kegiatan pendukung Bimbingan dan Konseling berbobot
ekuivalen 2 (dua) jam pembelajaran. Volume keseluruhan kegiatan pelayanan
Bimbingan dan Konseling dalam satu minggu minimal ekuivalen dengan beban tugas
wajib konselor di sekolah/ madrasah.
B.
Pelaksanaan Kegiatan
Bersama
pendidik dan personil sekolah/madrasah lainnya, konselor berpartisipasi secara
aktif dalam kegiatan pengembangan diri yang bersifat rutin, insidental dan
keteladanan.Program pelayanan Bimbingan dan Konseling yang direncanakan dalam
bentuk SATLAN dan SATKUNG dilaksanakan sesuai dengan sasaran, substansi, jenis
kegiatan, waktu, tempat, dan pihak-pihak yang terkait.
Pelaksanaan Kegiatan Pelayanan Bimbingan dan Konseling dapat
dilakukan di dalam dan di luar jam pelajaran, yang diatur
oleh konselor dengan persetujuan pimpinan sekolah/madrasah.
Pelaksanaan
kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling di dalam jam pembelajaran sekolah/madrasah
dapat berbentuk: (1) kegiatan tatap muka secara klasikal; dan (2) kegiatan non
tatap muka. Kegiatan tatap muka secara klasikal dengan peserta didik untuk
menyelenggarakan layanan informasi, penempatan dan penyaluran, penguasaan
konten, kegiatan instrumentasi, serta layanan/kegiatan lain yang dapat
dilakukan di dalam kelas. Volume kegiatan tatap muka klasikal adalah 2 (dua)
jam per kelas per minggu dan dilaksanakan secara terjadwal. Sedangkan kegiatan
non tatap muka dengan peserta didik untuk menyelenggarakan layanan konsultasi,
kegiatan konferensi kasus, himpunan data, kunjungan rumah, pemanfaatan
kepustakaan, dan alih tangan kasus.
Kegiatan
pelayanan Bimbingan dan Konseling di luar jam pembelajaran sekolah/madrasah
dapat berbentuk kegiatan tatap muka maupun non tatap muka dengan peserta didik,
untuk menyelenggarakan layanan orientasi, konseling perorangan, bimbingan
kelompok, konseling kelompok, dan mediasi, serta kegiatan lainnya yang dapat
dilaksanakan di luar kelas. Satu kali kegiatan layanan/pendukung Bimbingan dan
Konseling di luar kelas/di luar jam pembelajaran ekuivalen dengan 2 (dua) jam
pembelajaran tatap muka dalam kelas. Kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling
di luar jam pembelajaran sekolah/madrasah maksimum 50% dari seluruh kegiatan
pelayanan Bimbingan dan Konseling, diketahui dan dilaporkan kepada pimpinan
sekolah/madrasah. Setiap kegiatan
pelayanan Bimbingan dan Konseling dicatat dalam laporan pelaksanaan program
(LAPELPROG)..
C.
Penilaian Kegiatan
Penilaian kegiatan bimbingan
dan konseling terdiri dua jenis yaitu: (1) penilaian hasil; dan (2) penilaian
proses. Penilaian hasil kegiatan pelayanan Bimbingan dan Konseling dilakukan
melalui:
- Penilaian segera (LAISEG), yaitu penilaian pada akhir setiap jenis layanan dan kegiatan pendukung Bimbingan dan Konseling untuk mengetahui perolehan peserta didik yang dilayani.
- Penilaian jangka pendek (LAIJAPEN), yaitu penilaian dalam waktu tertentu (satu minggu sampai dengan satu bulan) setelah satu jenis layanan dan atau kegiatan pendukung Bimbingan dan Konseling diselenggarakan untuk mengetahui dampak layanan/kegiatan terhadap peserta didik.
- Penilaian jangka panjang (LAIJAPANG), yaitu penilaian dalam waktu tertentu (satu bulan sampai dengan satu semester) setelah satu atau beberapa layanan dan kegiatan pendukung Bimbingan dan Konseling diselenggarakan untuk mengetahui lebih jauh dampak layanan dan atau kegiatan pendukung Bimbingan dan Konseling terhadap peserta didik.
Sedangkan penilaian proses
dilakukan melalui analisis terhadap keterlibatan unsur-unsur sebagaimana
tercantum di dalam SATLAN dan SATKUNG, untuk mengetahui efektifitas dan
efesiensi pelaksanaan kegiatan.
Hasil penilaian kegiatan
pelayanan Bimbingan dan Konseling dicantumkan dalam LAPELPROG Hasil kegiatan
pelayanan Bimbingan dan Konseling secara keseluruhan dalam satu semester untuk
setiap peserta didik dilaporkan secara kualitatif.
Posisi Pengembangan Diri dalam Bimbingan dan Konseling
Diterbitkan Maret 14, 2008
Pengembangan diri sebagaimana dimaksud dalam
KTSP merupakan wilayah komplementer antara guru dan konselor. Penjelasan tentang
pengembangan diri yang tertulis dalam struktur kurikulum dijelaskan bahwa :
Pengembangan diri bukan merupakan mata
pelajaran yang harus diasuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan
kesempatan kepada konseli untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai
dengan kebutuhan, bakat, dan minat setiap konseli sesuai dengan kondisi
Sekolah/Madrasah. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan atau dibimbing
oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk
kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan pengembangan diri dilakukan melalui kegiatan
pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan
sosial, belajar, dan pengembangan karir konseli.
Dari penjelasan yang disebutkan itu ada
beberapa hal yang perlu memperoleh penegasan dan reposisi terkait dengan
pelayanan bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan formal, sehingga dapat
menghindari kerancuan konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor.
- Pengembangan diri bukan sebagai mata pelajaran, mengandung arti bahwa bentuk, rancangan, dan metode pengembangan diri tidak dilaksanakan sebagai sebuah adegan mengajar seperti layaknya pembelajaran bidang studi. Namun, manakala masuk ke dalam pelayanan pengembangan minat dan bakat tak dapat dihindari akan terkait dengan substansi bidang studi dan/atau bahan ajar yang relevan dengan bakat dan minat konseli dan disitu adegan pembelajaran akan terjadi. Ini berarti bahwa pelayanan pengembangan diri tidak semata-mata tugas konselor, dan tidak semata-mata sebagai wilayah bimbingan dan konseling.
- Pelayanan pengembangan diri dalam bentuk ekstra kurikuler mengandung arti bahwa di dalamnya akan terjadi diversifikasi program berbasis minat dan bakat yang memerlukan pelayanan pembina khusus sesuai dengan keahliannya. Inipun berarti bahwa pelayanan pengem-bangan diri tidak semata-mata tugas konselor, dan tidak semata-mata sebagai wilayah bimbingan dan konseling.
- Kedua hal di atas menunjukkan bahwa pengembangan diri bukan substitusi atau pengganti pelayanan bimbingan dan konseling, melainkan di dalamnya mengandung sebagian saja dari pelayanan (dasar, responsif, perencanaan individual) bimbingan dan konseling yang harus diperankan oleh konselor (periksa gambar 2).
Telaahan di atas menegaskan bahwa bimbingan
dan konseling tetap sebagai bagian yang terintegrasi dari sistem pendidikan
(khususnya jalur pendidikan formal). Pelayanan pengembangan diri yang
terkandung dalam KTSP merupakan bagian dari kurikulum. Sebagian dari
pengembangan diri dilaksanakan melalui pelayanan bimbingan dan konseling.
Dengan demikian pengembangan diri hanya merupakan sebgian dari aktivitas
pelayanan bimbingan dan konseling secara keseluruhan. Jika dilakukan telaahan
anatomis terhadap posisi bimbingan dan konseling pada jalur pendidikan formal
dapat terlukiskan sebagai berikut (lihat gambar 1).
Gambar 1.
Posisi
Bimbingan dan Konseling dan Kurikulum (KTSP)
dalam
Jalur Pendidikan Formal
Dapat ditegaskan di sini bahwa KTSP adalah
salah satu subsistem pendidikan formal yang harus bersinergi dengan
komponen/subsitem lain yaitu manajemen dan bimbingan dan konseling dalam upaya
memfasilitasi konseli mencapai perkembangan optimum yang diwujudkan dalam
ukuran pencapaian standar kompetensi. Dengan demikian pengembangan diri tidak
menggantikan fungsi bimbingan dan konseling melainkan sebagai wilayah
komplementer dimana guru dan konselor memberikan kontribusi dalam pengembangan
diri konseli.
DAFTAR
RUJUKAN
AACE. (2003). Competencies in Assessment and
Evaluation for School Counselor. http://aace.ncat.edu
Asosiasi Bimbingan
dan Konseling Indonesia.
(2007). Penataan Pendidikan
Profesional Konselor. Naskah Akademik ABKIN (dalam proses
finalisasi).
Asosiasi Bimbingan
dan Konseling Indonesia.
(2005). Standar Kompetensi
Konselor Indonesia.
Bandung:
ABKIN
Bandura, A. (Ed.).
(1995). Self-Efficacy in
Changing Soceties. Cambridge,
UK: Cambridge University Press.
BSNP dan
PUSBANGKURANDIK, Balitbang Diknas. (2006). Panduan
Pengembangan Diri: Pedoman untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Draft.
Jakarta: BSNP
dan PUSBANGKURANDIK, Depsiknas.
Cobia, Debra C. &
Henderson, Donna A. (2003). Handbook
of School Counseling.
New Jersey,
Merrill Prentice Hall
Corey, G. (2001). The Art of Integrative Counseling.
Belomont, CA:
Brooks/Cole.
Direktorat Pembinaan
Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi. (2003). Dasar Standardisasi Profesionalisasi
Konselor. Jakarta:
Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kepen-didikan dan Ketenagaan Pendidikan
Tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.
Engels, D.W dan J.D.
Dameron, (Eds). (2005). The
Professional Counselor Competencies: Performance Guidelines and Assessment.
Alexandria, VA: AACD.
Browers, Judy L.
& Hatch, Patricia A. (2002). The
National Model for School Counseling Programs. ASCA (American School Counselor Association).
Comm, J.Nancy.
(1992). Adolescence.
California :
Myfield Publishing Company.
Depdiknas. (2003). Pelayanan Bimbingan dan Konseling.
Jakarta: Puskur
Balitbang.
Depdiknas, (2005), Permen RI
nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,
Depdiknas, 2006),
Permendiknas no 22 tahun 2006 tentang Standar Isi,
Depdiknas, (2006),
Permendiknas no 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan SI dan SKL,
Ellis, T.I. (1990). The Missouri Comprehensive Guidance Model.
Columbia: The
Educational Resources
Information Center.
Gibson
R.L. & Mitchel M.H. (1986). Introduction
to Counseling and Guidance. New
York : MacMillan Publishing Company.
Havighurts, R.J.
(1953). Development Taks and
Education. New York:
David Mckay.
Herr
Edwin L. (1979). Guidance
and Counseling in the Schools. Houston : Shell Com.
Hurlock,
Alizabeth B. (1956). Child
Development. New York
: McGraw Hill Book Company Inc.
Ketetapan
Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia Nomor
01/Peng/PB-ABKIN/2007 bahwa Tenaga Profesional yang melaksanakan pelayanan
professional Bimbingan dan Konseling disebut Konselor dan minimal
berkualifikasi S1 Bimbingan dan Konseling.
Menteri Pendidikan
Nasional. 2006. Peraturan
Menteri Nomor 22 tentang Standar Isi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Menteri Pendidikan
Nasional. 2006. Peraturan
Menteri Nomor 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional.
Michigan School Counselor
Association. (2005). The Michigan Comprehensive
Guidance and Counseling Program.
Muro, James J. &
Kottman, Terry. (1995). Guidance
and Counseling in The Elementary and Middle Schools. Madison : Brown &
Benchmark.
Permendiknas Nomor 16
Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan.
Peraturan Pemerintah
Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Pikunas, Lustin.
(1976). Human Development.
Tokyo :
McGraw-Hill Kogakusha,Ltd.
Pusat Kurikulum,
Balitbang Depdiknas. (2003). Panduan
Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Balitbang Depdiknas.
Sunaryo Kartadinata,
dkk. (2003). Pengembangan
Perangkat Lunak Analisis Tugas Perkembangan Peserta didik dalam Upaya
Meningkatkan Mutu Pelayanan dan Manajemen Bimbingan dan Konseling di
Sekolah/Madrasahdrasah (Laporan Riset Unggulan Terpadu VIII). Jakarta : Kementrian
Riset dan Teknologi RI, LIPI.
Syamsu Yusuf L.N.
(2005). Program Bimbingan
dan Konseling di Sekolah/Madrasah. Bandung : CV Bani Qureys.
——–. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja.
Bandung :
Remaja Rosda Karya.
——–.dan Juntika N.
(2005). Landasan Bimbingan
dan Konseling. Bandung
: PT. Remaja Rosda Karya.
Stoner, James A.
(1987). Management.
London :
Prentice-Hall International Inc.
Undang-undang No 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang Nomor
14 tahun 2006 tentang Guru dan Dosen
Wagner William G.
(1996). “Optimal Development
in Adolescence : What Is It and How Can It be Encouraged”? The
Counseling Psychologist. Vol 24 No. 3 July’96.
Woolfolk, Anita E.
1995. Educational
Psychology. Boston
: Allyn & Bacon.
*)) Materi di
atas merupakan salah satu bagian dari makalah yang disajikan oleh Dr. Uman
Suherman, M.Pd. pada acara seminar sehari Bimbingan dan Konseling yang diselenggarakan
oleh Universitas Kuningan bekerja sama dengan ABKIN Cabang Kabupaten Kuningan
pada tanggal 11 Maret 2008 bertempat di Aula Student Center UNIKU.
BK dan MPMBS
Diterbitkan Februari 10, 2008
Oleh : Drs. Akhmad Sudrajat, M.Pd.
Salah satu issue penting
tentang pendidikan saat ini berkenaan berkenaan dengan penerapan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah (MPMBS). Dalam hal ini, tentunya konselor seyogyanya dapat
memahami dan menangkap implikasinya bagi penyelenggaraan bimbingan dan
konseling. Oleh karena itu, tulisan ini, akan dipaparkan secara ringkas dan
sederhana tentang Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) dan Implikasinya terhadap Layanan
Bimbingan dan Konseling
Bahwa
berangkat dari realita rendahnya kualitas pendidikan yang hampir terjadi di
setiap jenjang dan satuan pendidikan, pemerintah melalui Departemen Pendidikan
Nasional telah menggulirkan kebijakan pola manajemen pendidikan baru yang di
dalamnya memuat kewenangan yang luas kepada sekolah untuk mengatur dan
mengendalikan sekolah, dengan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang
melibatkan langsung semua warga sekolah. Pola manajemen baru ini dikenal dengan
istilah Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah atau disingkat MPMBS.
Sesungguhnya,
Manajemen Peningkatan Mutu
Berbasis Sekolah (MPMBS) ini memiliki ruang lingkup bahasan yang
amat luas, baik dilihat dari segi konsep maupun implementasinya, sehingga tidak
mungkin untuk dapat dipaparkan secara menyeluruh melalui tulisan ini. Oleh
karena itu, dalam tulisan ini hanya akan dibicarakan hal-hal yang berkenaan
dengan penyelenggaraan layanan bimbingan konseling di sekolah, diantaranya akan
dikemukakan tentang : (1) Pemberdayaan dan Profesionalisme Konselor; (2)
Akuntabilitas Kinerja Konselor; dan (3) Konselor Sebagai Agen Informasi
1. Pemberdayaan
dan Profesionalisme Konselor
Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS)
ditandai dengan adanya perubahan manajemen dari pendekatan
sentralistik-birokratik menuju desentralistik-profesional. Sebagaimana
dimaklumi bahwa dalam pendekatan sentralistik-birokratik, konselor dalam
melaksanakan tugasnya sudah ditentukan dan dipolakan sedemikian rupa oleh pusat,
melalui berbagai bentuk aturan, ketentuan, petunjuk pelaksanaan, petunjuk
teknis dan sebagainya. Akibatnya, ruang gerak konselor menjadi terbatasi,
sehingga pada akhirnya konselor menjadi kurang terbiasa dengan budaya kreatif
dan inovatif.
Aturan
dan ketentuan yang kaku dan ketat telah menggiring dan memposisikan konselor
pada iklim kerja yang tidak lagi didasari oleh sikap profesinal, namun justru
lebih banyak sekedar menjalankan kewajiban rutin semata. Maka, muncullah
berbagai sikap yang kurang menguntungkan, seperti : malas, masa bodoh dan tidak
peduli terhadap prestasi kerja.
Dengan
hadirnya Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), yang
mengedepankan pendekatan desentralistik-profesional, maka ruang gerak konselor
menjadi leluasa. Proses kreatif dan inovatif justru menjadi lebih utama.
Konselor didorong untuk memiliki keberanian dan membiasakan diri untuk
menemukan cara-cara baru yang lebih efektif dan efisien dalam melaksanakan
berbagai kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling. Dengan kata lain, memasuki
alam Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), konselor dituntut
bekerja secara profesional.
Dari
sini, timbul pertanyaan hal-hal apa yang perlu disiapkan untuk menuju ke arah
profesionalisme itu ? Dalam hal ini, tentu saja konselor seyogyanya dapat
berusaha mengembangkan secara terus menerus kapasitas pengetahuan dan
keterampilan yang dimilikinya, yang justru merupakan prasyarat untuk menjadi
seorang profesional.
Konselor
seyogyanya tidak merasa cepat berpuas diri dengan kapasitas pengetahuan dan
keterampilan yang saat ini dimilikinya, namun justru harus senantiasa berusaha
untuk memutakhirkan pengetahuan dan keterampilannya. Bagaimanapun, dalam era
informasi sekarang ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bimbingan
konseling dari waktu ke waktu berkembang secara sangat pesat. Sehingga seorang
konselor dituntut untuk terus dapat mengantisipasi arah perkembangan yang
terjadi, agar tidak menjadi terpuruk secara profesional.
Upaya
peningkatan kapasitas pengetahuan dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung, bisa saja
dilakukan melalui berbagai bacaan atau buku yang berhubungan dengan dunia
bimbingan dan konseling, atau bahkan bila perlu dilakukan dengan cara melalui
penjelajahan situs-situs dalam internet, yang memang banyak menyediakan
berbagai informasi terkini, termasuk yang berhubungan dengan bimbingan dan
konseling.
Sedangkan
secara langsung, bisa dilakukan dengan cara melibatkan diri dalam berbagai aktivitas
forum keilmuan, seperti : seminar, penataran dan pelatihan, atau mengikuti
kegiatan MGP seperti sekarang ini. Bahkan, akan lebih baik jika timbul kemauan
untuk berusaha menuntut ilmu melalui jenjang pendidikan formal.
Kita
maklumi bahwa saat ini latar belakang pendidikan yang dimiliki oleh konselor
masih beragam, baik dilihat dari program studi/jurusan maupun jenjangnya. Bagi
konselor yang berlatar belakang pendidikan program studi bimbingan, barangkali
tidak ada salahnya untuk berusaha menempuh pendidikan lanjutan pada jenjang
yang lebih tinggi. Sementara, bagi kawan-kawan konselor yang kebetulan bukan
berlatar belakang pendidikan bimbingan, dalam rangka memantapkan diri sebagai
konselor, tidak ada salahnya pula untuk mencoba terjun menekuni dunia akademis
dalam bimbingan dan konseling. Sehingga pada gilirannya, dalam melaksanakan
berbagai tugas bimbingan, konselor benar-benar telah ditopang oleh fundasi
keilmuan yang mantap dan memadai.
Sedangkan
untuk meningkatkan keterampilan berbagai teknik bimbingan, salah satu cara yang
dipandang cukup efektif adalah dengan berusaha secara terus menerus dan
seringkali mempraktekkan berbagai teknik yang ada. Misalkan, untuk menguasai
teknik-teknik konseling, tentunya konselor harus mempraktekkan sendiri secara langsung,
dan setiap setelah selesai mempraktekkan, diikuti dengan evaluasi terhadap apa
yang telah dilakukan. Kemudian, membandingkannya dengan keharusan-keharusan
berdasarkan teori yang ada, sehingga akan bisa diketahui kelemahan dan
keunggulan dari praktek yang telah dilakukan. Memasuki tahap praktek konseling
berikutnya tentunya sudah disertai usaha perbaikan, dengan bercermin dari
kekurangan- kekurangan pada praktek konseling sebelumnya.
Hal
ini secara terus menerus dilakukan dari satu praktek konseling ke praktek
konseling berikutnya, dan sebaiknya disertai pula dengan pencatatan terhadap
apa-apa yang telah dilakukan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan refleksi
sekaligus sebagai bukti fisik dari usaha ilmiah. Berbekal kesabaran dan
ketekunan, usaha ini niscaya pada akhirnya akan dapat mengantarkan sampai pada
taraf yang dikehendaki. Walaupun demikian perlu dicatat, bahwa keleluasaan
dalam menjalankan tugas ini tidak diartikan segala sesuatunya menjadi serba boleh, hal-hal yang
menyangkut prinsip dan etika profesi bimbingan tetap harus dijaga dan
dipelihara, sejalan dengan tuntutan profesionalisme.
2. Akuntabilitas
Kerja Konselor
Pada
masa sebelum diberlakukan Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), akuntabilitas kerja
konselor memang tidak jelas. Sekalipun ada, barangkali hanya sebatas di hadapan
kepala sekolah ataupun pengawas sebagai petugas yang mewakili pihak pemerintah.
Namun pada kenyataannya, seringkali kepala sekolah atau pengawas mengambil
sikap permisif atas hasil kerja yang ditunjukkan konselor, padahal hasil kerja
yang ditunjukkan sama sekali tidak bermutu. Akuntabilitas semacam ini tentunya
tidak memberikan kontribusi bagi peningkatan kinerja dan produktivitas
konselor.
Memasuki
alam Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), dengan sendirinya
akuntabilitas konselor semakin luas, tidak hanya dihadapan kepala sekolah
ataupun pengawas, namun mencakup seluruh pemegang saham (stake holder) dalam
bidang pendidikan, terutama masyarakat dan orang tua siswa.
Bagaimanapun
masyarakat, khususnya orang tua siswa telah rela berkorban mengeluarkan
sejumlah dana untuk kepentingan pendidikan anaknya. Jadi wajar sekali, kalau
saja mereka menuntut pertanggungjawaban kepada sekolah dan kepada konselor
khususnya atas hasil-hasil kerja yang telah dilakukan, demi keberhasilan dan
kemajuan peserta didik. Artinya, jumlah dana yang dikeluarkan oleh
orangtua/masyarakat seyogyanya dapat sebanding dengan hasil yang dicapai, dalam
bentuk kemajuan dan keberhasilan pendidikan anaknya di sekolah.
Dengan
adanya akuntabilitas ini, jelas konselor dituntut untuk lebih meningkatkan mutu
kinerja dan tingkat produktivitas dalam memberikan layanan bantuan terhadap
para siswa. Jika hal ini tidak terpenuhi maka konselor harus bersiap-siap untuk
menerima berbagai complain
dari masyarakat yang mungkin tidak mengenakkan.
Apalagi
dengan kehadiran Komite Sekolah yang dianggap sebagai lembaga yang mewakili
kepentingan masyarakat, maka masyarakat akan jauh lebih terbuka dan leluasa
untuk menyampaikan berbagai ketidakpuasan atas hasil-hasil kerja yang telah
dicapai oleh konselor. Tentu saja, kita tidak menghendaki hal-hal seperti itu.
Tak ada cara lain untuk mengantisipasinya, kecuali dengan menunjukkan
bukti-bukti nyata atas segala hasil kerja kita. Manakala kita telah berhasil
membuktikan hasil-hasil kerja yang menggembirakan dan memberi kepuasan kepada
masyarakat, bersamaan itu pula akan tumbuh kepercayaan terhadap sekolah,
khususnya kepada bimbingan dan konseling. Dan pada gilirannya, tidak akan ada
keraguan lagi dari masyarakat untuk memberikan dukungan penuh terhadap sekolah,
khususnya kepada bimbingan dan konseling untuk terus melaksanakan kiprahnya.
Dalam hal ini, berapa besar dana yang harus dikeluarkan tidak lagi menjadi
persoalan besar, yang penting prestasi anak benar-benar dapat terwujudkan
dengan baik, baik dalam akademik maupun non-akademik
3.
Konselor
Sebagai Agen Informasi
Penerapan
Manajemen Peningkatan Mutu
Berbasis Sekolah (MPMBS) ditandai dengan adanya kewenangan sekolah
dalam mengambil keputusan. Oleh karena itu, konselor seyogyanya dapat berusaha
melibatkan diri dalam berbagai proses pengambilan keputusan.
Karena,
bagaimanapun konselor bisa dianggap sebagai “orang yang paling banyak tahu”
tentang keadaan siswanya secara personal. Dengan kata lain, konselor dianggap
sebagai orang yang memiliki informasi atau data tentang siswa yang lebih
lengkap dan memadai. Informasi atau data tentang siswa ini ini sangat berguna
dan dapat dijadikan dasar untuk berbagai pengambilan keputusan sekolah yang
berkenaan dengan siswa. Oleh sebab itu, informasi harus diadministrasikan
sedemikian rupa dan siap saji (ready
for use), kapan saja diperlukan. Bahkan bila perlu,
pengadminstrasian informasi ini dilakukan secara computerize, karena saat ini telah
dikembangkan berbagai software,
yang berhubungan dengan data siswa, seperti Program DataSis dan Program Alat Ungkap Masalah (AUM)
yang dikembangkan Prof. Dr. Prayitno. Atau secara kreatif, konselor dapat
menciptakan berbagai software
tentang bimbingan dan konseling sesuai dengan kebutuhan kerja, yang sekiranya
dapat membantu mempermudah pengadministrasian dan penyajian data. Dengan
sendirinya, dalam hal ini konselor dituntut untuk memahami dan menguasai
teknologi komputer.
Hal
yang perlu dicermati, bahwa dalam mengkomunikasikan informasi tentang siswa
kepada pihak-pihak terkait, seperti kepala sekolah, dewan sekolah atau siapa
pun, konselor harus dapat memilah dan memilih jenis informasi apa saja yang
boleh dan tidak tidak boleh untuk disampaikan. Tentu saja, informasi-informasi
yang berkenaan dengan “ prinsip
kerahasiaan klien “ harus tetap dijaga sebaik mungkin.
Dalam
mengkomunikasikan informasi-informasi tentang siswa, yang berkaitan dengan
proses pengambilan keputusan, khususnya dalam forum Komite Sekolah, konselor
hendaknya dapat menyampaikan pandangan-pandangannya secara tegas, yang berpihak
pada kepentingan siswa itu sendiri. Walau pun mungkin akan didapatkan berbagai
benturan sosial di dalamnya, karena pemahaman dan persepsi anggota Komite
Sekolah tentang bimbingan dan konseling akan sangat beragam bahkan mungkin
sangat kurang.
Satu
hal lagi bahwa dalam penerapan Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), upaya meningkatkan
kuantitas dan kualitas layanan bimbingan ini konselor hendaknya memperhatikan
pengembangan kerja sama, koordinasi dan sinergis kerja dengan berbagai komponen
pendidikan lainnya. Karena dalam penerapan Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), keberhasilan pendidikan
di sekolah tidak lagi didasarkan pada individual yang cerdas, akan tetapi
sangat mengutamakan pada team
work yang cerdas dan kompak. Untuk itulah, konselor sedapat mungkin
harus menjadi bagian utama dari team
work tersebut.
Demikianlah,
uraian sederhana yang dapat saya sampaikan dan semoga bermanfaat adanya,
khususnya bagi kemajuan dan peningkatan mutu layanan konseling di sekolah.
Sumber bacaan :
Dedi Suriyadi, Prof. Dr., (2001), Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan
Implikasinya Terhadap Peningkatan Mutu Konselor, Makalah , Jurusan
PPB-FIP UPI Bandung-ABKIN Pengda Jawa Barat : Bandung.
Departemen Pendidikan
Nasional (2001) Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Buku 1 Konsep dan Pelaksanaan,
Departemen Pendidikan Nasional, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah,
Direktorat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama : Jakarta
Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan,(1994), Kurikulum
Sekolah Menengah Umum (SMU), Petunjuk Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling,
Jakarta :
Depdikbud Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah
Prayitno dan Erman
Anti, (1995), Dasar-Dasar
Bimbingan dan Konseling, Jakarta
: P2LPTK Depdikbud
Seri Pemandu Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di
Sekolah,(1995), Pelayanan
Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah Umum (SMU) Buku IV, Jakarta : IPBI
Tim Instruktur
Bimbingan dan Konseling Kanwil Propinsi Jawa Barat , (1997), Materi Sajian Penataran Konselor SMU
Propinsi Jawa Barat Tahun 1997, Dekdikbud Kanwil Propinsi Jawa
Barat : Bandung
Winkel, W.S. (1991), Bimbingan dan Konseling di Institusi
Pendidikan, Jakarta
: Gramedia
Evaluasi Program Bimbingan dan Konseling Komprehensif
Diterbitkan Februari 17, 2008
Bagaimana mengevaluasi program Bimbingan
dan Konseling Komprehensif? Norman C. Gysbers and Patricia Henderson dalam
sebuah artikelnya yang berjudul “Comprehensive Guidance and Counseling
Program Evaluation: Program + Personnel = Results” mengetengahkan tentang
tiga jenis evaluasi kaitannya dengan penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling
Komprehensif. Ketiga jenis evaluasi tersebut adalah : (1) evaluasi personil;
(2) evaluasi program; dan (3) evaluasi hasil.
Sementara itu, Victoria Merrill
dari University
of Phoenix Washington mengetengahkan tentang perubahan
peran konselor terkait dengan keberagaman masyarakat atau multikultural.
Konselor harus memiliki pengetahuan tentang perbedaan kultural yang individu
(konseli) yang dilayaninya.
Jika Anda ingin mengetahui lebih lanjut
silahkan klik tautan di bawah ini. Tulisan disajikan dalam Bahasa Inggris, yang
penulis peroleh dari hasil searching di internet.
Pergeseran Pola Manajemen dan Proses Bimbingan dan Konseling
Diterbitkan Februari 27, 2008
Pola Lama
|
Pola Baru
|
Manajemen Bimbingan
dan Konseling
|
|
Menitikberatkan
pada siswa yang beresiko/bermasalah
|
Melayani
seluruh siswa (guidance for all)
|
Dilaksanakan karena
adanya krisis/masalah
|
Dilaksanakan
berdasarkan kurikulum
|
Pendekatan
panggilan (on call)
|
Terjadwal
(kalender)
|
Disampaikan
dan dilaksanakan hanya oleh konselor
|
Kolaboratif
antara konselor, guru, orang tua dan masyarakat
|
Dimiliki hanya
oleh staf konseling (konselor)
|
Didukung dan
dimiliki oleh seluruh komunitas
|
Mengukur
jumlah usaha yang dilakukan
|
Mengukur
dampak yang dikaitkan dengan tujuan
|
Berurusan
dengan proses melaksanakan pekerjaan
|
Berurusan
dengan pencapain tujuan, sasaran dan hasil
|
Memfokuskan
pada tujuan dan yang dianggap baik
|
Memfokuskan
pada pencapaian (accomplisment)
|
Bekerja untuk
memelihara sistem yang ada
|
Responsif dan
beradaptasi dengan perubahan
|
Membicarakan
tentang bagaimana bekerja keras
|
Membicarakan
tentang efektivitas kerja
|
Proses Konseling
|
|
Bersifat
klinis
|
Bersifat
pedagogis
|
Melihat
kelemahan klien
|
Melihat
potensi klien (siswa)
|
Berorientasi
pemecahan masalah klien (siswa)
|
Berorientasi
pengembangan potensi positif klien (siswa)
|
Konselor
serius
|
Menggembirakan
klien (siswa)
|
Dialog menekan
perasaan klien dan klien (siswa) sering tertutup
|
Dialog
konselor menyentuh klien (siswa), klien (siswa) terbuka
|
Klien sebagai
obyek
|
Klien (siswa)
sebagai subyek
|
Konselor
dominan dan bertindak sebagai problem solver
|
Konselor hanya
membantu dan memberi alternatif-alternatif
|
Sumber
:
Gary L. Spear (tt) Comprehensive School Counseling
on line http://www.dpi.wisconsin.gov/sspw/counsl1.html
Sofyan S. Willis.
2004. Konseling
Individual; Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta.
Rubrik Sertifikasi Guru BK
Diterbitkan Februari 6, 2008
Dalam menjalankan tugas dan
fungsinya, guru Bimbingan dan Konseling (Konselor) memiliki karakteristik yang
berbeda dengan guru pengampu mata pelajaran. Guru Bimbingan dan Konseling lebih
mengedepankan dan menitikberatkan pada pendekatan interpersonal serta sarat
dengan nilai, sedangkan guru mata pelajaran lebih mengutamakan pada pendekatan
instruksional dan terikat dengan bahan ajar dari mata pelajaran yang diampunya.
Kendati demikian, keduanya tetap memiliki tujuan yang sama yaitu terwujudnya
perkembangan pribadi peserta didik secara optimal.Terkait dengan penilaian
portopolio dalam rangka sertifikasi, yang membedakan antara guru pengampu mata
pelajaran dengan guru bimbingan dan konseling terletak pada komponen
perencanaan dan pelaksanaan kegiatan.
Bukti fisik penilaian dalam
merencanakan kegiatan bimbingan dan konseling, berbentuk :
- Mengumpulkan 5 buah Program Pelayanan Bimbingan dan Konseling (PPBK) yang berbeda, dengan aspek-aspek penilaian meliputi : (a) perumusan tujuan pelayanan; (b) pemilihan dan pengorganisasian materi pelayanan; (c) pemilihan instrumen/media; (d) strategi pelayanan; dan(e) rencana evaluasi dan tindak lanjut.
- Mengumpulkan Program Semesteran dan Program Tahunan, dengan aspek-aspek penilaian meliputi : (a) program semesteran Bimbingan dan konseling dan (b) program tahunan Bimbingan dan konseling
Sedangkan bukti fisik penilaian
dalam pelaksanaan pelayanan berbentuk Laporan Pelaksanaan Program Pelayanan
Bimbingan dan Konseling (PPBK) , dengan aspek-aspek penilaian meliputi :
1. Agenda kerja guru bimbingan dan konseling (konselor)
2. Daftar konseli
3. Data kebutuhan dan permasalahan konseli
4. Laporan bulanan
5. Laporan semesteran/tahunan
6. Aktivitas pelayanan Bimbingan dan Konseling :
1. Agenda kerja guru bimbingan dan konseling (konselor)
2. Daftar konseli
3. Data kebutuhan dan permasalahan konseli
4. Laporan bulanan
5. Laporan semesteran/tahunan
6. Aktivitas pelayanan Bimbingan dan Konseling :
- Pemahaman : (antara lain : sosiometri, kunjungan rumah, catatan anekdot, konferensi kasus)
- Pelayanan langsung : (antara lain : konseling individual, konseling kelompok, konsultasi, bimbingan kelompok, bimbingan klasikal, referal)
- Pelayanan tidak langsung : (antara lain : papan bimbingan, kotak masalah, bibliokonseling, audio visual, audio, media cetak : liflet, buku saku)
7. Laporan hasil evaluasi
program, proses, produk bimbingan dan konseling serta tindak lanjutnya.
Implikasi dari adanya ketentuan
penilaian di atas, maka guru bimbingan dan konseling (konselor) mutlak harus
mampu merencanakan kegiatan pelayanan secara tertulis , yang didalamnya
mengandung aspek-aspek yang menjadi bahan penilaian serta dapat
mendokumentasikan secara baik dan tertib. Dalam hal ini, perencanaan layanan
dengan gaya goal
in mind tampaknya menjadi tidak relevan lagi.
Begitu juga dalam pelaksanaan
layanan, guru bimbingan dan konseling dituntut untuk melakukan kegiatan
pencatatan atas segala aktivitas yang dilakukannya dan melaporkannya kepada
pihak yang kompeten, khususnya kepada kepala sekolah selaku atasan langsung.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang aspek-aspek yang dinilai dari guru Bimbingan dan Konseling (konselor) dalam rangka sertifikasi, Anda bisa meng-klik dalam tautan di bawah ini.
Untuk mengetahui lebih jauh tentang aspek-aspek yang dinilai dari guru Bimbingan dan Konseling (konselor) dalam rangka sertifikasi, Anda bisa meng-klik dalam tautan di bawah ini.
Keunikan dan Keterkaitan Pelayanan Guru dan Konselor
Diterbitkan Februari 3, 2008
Tugas-tugas pendidik untuk
mengembangkan peserta didik secara utuh dan optimal sesungguhnya merupakan
tugas bersama yang harus dilaksnakan oleh guru, konselor, dan tenaga pendidik
lainnya sebagai mitra kerja. Sementara itu, masing-masing pihak tetap memiliki wilayah
pelayanan khusus dalam mendukung realisasi diri dan pencapaian kompetensi
peserta didik. Dalam hubungan fungsional kemitraan antara konselor dengan guru,
antara lain dapat dilakukan melalui kegiatan rujukan (referal)
Masalah-masalah perkembangan peserta didik
yang dihadapi guru pada saat pembelajaran dirujuk kepada konselor untuk
penanganannya. Demikian pula, masalah-masalah peserta didik yang ditangani
konselor terkait dengan proses pembelajaran bidang studi dirujuk kepada guru
untuk menindaklanjutinya.
Masalah kesulitan belajar peserta didik
sesungguhnya akan lebih banyak bersumber dari proses pembelajaran itu sendiri.
Hal ini berarti dalam pengembangan dan proses pembelajaran fungsi-fungsi
bimbingan dan konseling perlu mendapat perhatian guru. Sebaliknya,
fungsi-fungsi pembelajaran bidang studi perlu mendapat perhatian konselor.
Selengkapnya, keunikan dan keterkaitan
pelayanan pembelajaran oleh guru dan pelayanan bimbingan dan konseling oleh
konselor dapat dilihat dalam tabel berikut ini :
Dimensi
|
Guru
|
Konselor
|
1. Wilayah Gerak
|
Khususnya Sistem Pendidikan Formal
|
Khususnya Sistem Pendidikan Formal
|
2. Tujuan Umum
|
Pencapaian Tujuan Pendidikan Nasional
|
Pencapaian Tujuan Pendidikan Nasional
|
3. Konteks Tugas
|
Pembelajaran yang mendidik melalui mata
pelajaran dengan skenario guru-murid
|
Pelayanan yang memandirikan dengan
skenario konseli-konselor
|
Fokus Kegiatan
|
Pengembangan kemampuan penguasaan bidang
studi dan masalah-masalahnya
|
Pengembangan potensi diri bidang
pribadi, sosial, belajar, karier, dan masalah-masalahnya
|
Hubungan Kerja
|
Alih tangan (referal)
|
Alih tangan (referal)
|
4. Target Intervensi
|
|
|
Individual
|
Minim
|
Utama
|
Kelompok
|
Pilihan Strategis
|
Pilihan Strategis
|
Klasikal
|
Utama
|
Minim
|
5. Ekspektasi Kinerja
|
|
|
Ukuran Keberhasilan
|
Pencapaian Standar Kompetensi Lulusan
Lebih Bersifat Kuantitaif
|
Kemandirian dalam kehidupan
Lebih bersifat kualitatif yang
unsur-unsurnya saling terkait
|
Pendekatan Umum
|
Pemanfaatan Instructional Effects
& Nurturant Effects melalui pembelajaran yang mendidik
|
Pengenalan diri dan lingkungan oleh
konseli dalam rangka pengentasan masalah pribadi, sosial, belajar dan karier.
Skenario tindakan merupakan hasil transaksi yang merupakan keputusan konseli
|
Perencanaan tindak
intervensi
|
Kebutuhan belajar ditetapkan terlebih
dahulu untuk ditawarkan kepada peserta didik
|
Kebutuhan pengembangan diri ditetapkan
dalam proses transaksional oleh konseli, difasilitasi oleh konselor
|
Pelaksanaan tindak
intervensi
|
Penyesuaian proses berdasarkan respons
ideosinkretik peserta didik yang lebih terstruktur
|
Penyesuaian proses berdasarkan respons
ideosinkretik konseli dalam transaksi makna yang lebih lentur dan terbuka
|
Sumber : Dirjen PMPTK, 2007. Rambu-Rambu
Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling Dalam Jalur Pendidikan Formal (Naskah
Akdemik). Jakarta
Guru BK tak Perlu Beri Solusi
Diterbitkan Februari 17, 2008
Guru bimbingan dan konseling
(BK) harus mampu membantu siswa memecahkan masalahnya sendiri. Guru BK tidak
perlu memberikan solusi atas masalah para siswa tapi menjadi pendengar yang
baik dan memberikan arahan-arahan.
Prof. Dr. H. Sofyan S. Willis,
M.Pd., mengatakan hal itu kepada ”PR” di sela-sela lokakarya “Konselor Sekolah”
di SMAN 5 Bandung, Jl. Belitung, Menurut dia, solusi yang diberikan guru malah
belum tentu menjadi yang terbaik untuk para siswa. “Tidak ada yang dipecahkan
pembimbing. Siswa harus memecahkannya sendiri atas bantuan guru,” ujarnya.
Staf pengajar pada program studi
Bimbingan dan Konseling Universitas Pendidikan Indonesia itu mengatakan, guru BK
bisa saja memberikan usulan tapi tidak dalam bentuk nasihat. “Alternatif bisa
diusulkan guru, tapi siswa tetap yang harus memikirkan. Yang baik, alternatif
juga dari dia (siswa-red),” ungkapnya.
Selain terlalu sering memberikan
nasihat, katanya, ada beberapa hambatan lain yang membuat guru BK tidak
berfungsi dengan baik di sekolah. Terutama, citra yang telanjur melekat pada
guru BK sebagai polisi sekolah.
Menurut dia, kantor BK di
sekolah bahkan telah dianggap sebagai tempat pesakitan. Padahal, guru BK harus
memberikan konseling kepada seluruh siswa, bukan yang memiliki masalah saja.
Karenanya, hubungan konseling harus dijaga supaya selalu baik sehingga siswa
bisa percaya pada guru BK secara personal.
Hambatan lain adalah banyaknya
guru BK yang tidak mampu mengelompokkan masalah yang diungkapkan siswa. Saat
melakukan konseling, siswa sering berbicara banyak hal sehingga guru tidak
cepat menangkap pokok masalahnya. Karenanya, konseling harus berlangsung secara
berkesinambungan.
Supaya konseling cukup efektif,
jumlah guru BK di setiap sekolah harus memadai. Menurut Sofyan, satu guru BK
sebanding dengan 150 siswa.
Berkaitan dengan peran sekolah,
ia mengungkapkan, semua guru — terutama guru BK — harus melakukan pendekatan
secara bijak dan personal kepada siswa. Guru pun harus mampu mengajar sambil
membimbing para siswa.
Sumber :
Layanan Bimbingan dan Konseling Sarat Nilai
Diterbitkan Februari 7, 2008
Layanan Bimbingan dan Konseling Sarat
Nilai
Prof. Dr. Sunaryo Kartadinata, Ketua Umum
Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN), menulis
sebuah artikel yang dimuat dalam harian Pikiran Rakyat, 6 September 2006, hal.
20 dengan judul tulisan “Layanan Bimbingan dan Konseling Sarat Nilai”. Isi
tulisan kiranya dapat disarikan sebagai berikut :
Bahwa tugas seorang konselor adalah
menyelenggarakan layanan kemanusiaan pada kawasan layanan yang bertujuan
memandirikan individu dalam menavigasi perjalanan hidupnya melalui pengembilan
keputusan tentang pendidikan, pilihan dan pemeliharaan karier untuk mewujudkan
kehidupan yang produktif dan sejahtera, serta untuk menjadi warga masyarakat
yang peduli kemaslahatan umum.melalui pendidikan. Makna melalui pendidikan
mengandung penekanan keharusan sinergi antara guru dan konselor.
Seorang konselor sebagai pengampu layanan
bimbingan dan konseling selalu digerakkan oleh motif altruistik, menggunakan
penyikapan yang empatik, menghormati keragaman serta mengedepankan kemaslahatan
pengguna layanannya, dilakukan dengan selalu mencermati kemungkinan dampak
jangka panjang dari tindakan layanannya itu terhadap pengguna layanan, dan
selalu menyadari batas kemampuan dan kewenangan yang dimilikinya sebagai
seorang profesional. Pekerjaan bimbingan dan konseling adalah pekerjaan
berbasis nilai, layanan etis normatif, dan bukan layanan bebas nilai. Seorang
konselor perlu memahami betul hakekat manusia dan perkembangannya sebagai
makhluk sadar nilai dan perkembangannya ke arah normatif-etis. Seorang konselor
harus memahami perkembangan nilai, namun seorang konselot tidak boleh
memaksakan nilai yang dianutnya kepada konseli (peserta didik yang dilayani),
dan tidak boleh meneladankan diri untuk ditiru konselinya, melainkan
memfasilitasi konseli untuk menemukan makna nilai kehidupannya.
Dengan karakteristik keunikan konteks
tugas dan ekspektasi kinerjanya, seorang konselor dipersyaratkan memiliki
kompetensi : (1) memahami secara mendalam konseli yang dilayani; (2) menguasai
landasan dan kerangka teoritik bimbingan dan konseling; (3) menyelenggarakan
pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan; (4) mengembangkan
profesionalitas profesi secara berkelanjutan, (5) yang dilandasi sikap, nilai,
dan kecenderungan pribadi yang mendukung.
Berkenann dengan komponen Pengembangan
Diri dalam KTSP, Sunaryo mengingatkan untuk tidak menyeret layanan bimbingan
dan konseling ke arah pembelajaran seperti bidang studi. Menurutnya, bahwa
Pengembangan Diri dalam KTSP merupakan wilayah kerja semua pendidik di sekolah
dan bukan hanya wilayah kerja konselor. Misalnya, pengembangan bakat dan minat
peserta didik lebih banyak merupakan tugas guru bidang studi karena akan
menyangkut substansi yang terkait dengan bakat anak. Konselor akan berperan
membantu peserta didik untuk memahami bakat dan minat yang ada pada dirinya.,
misalnya melalui asesmen psikologis, dan memilih alternatif pengembangan yang
paling mungkin bagi dirinya, baik terkait dengan pendidikan maupun karier.
Selebihnya adalah tugas guru untuk membantu peserta didik mengembangkan
bakatnya, baik melalui kegiatan intra maupun ekstra kurikuler. Tidak mungkin
seorang konselor mengajarkan subtansi yang yang terkait dengan pengembangan
bakat dan minat peserta didik.
Layanan bimbingan dan konseling di sekolah
tidak bisa digantikan dengan komponen pengembangan diri, melainkan tetap
sebagai sebuah layanan utuh yang berorientasi kepada upaya memfasilitasi
kemandirian peserta didik.
Jika acuan guru bidang studi adalah
pencapaian Standar Kompetensi Lulusan (SKL), acuan konselor adalah Standar
Kompetensi Kemandirian (SKK) yang basisnya adalah tugas-tugas perkembangan yang
harus dikuasai peserta didik dalam perkembangan moral, akademik, pribadi-sosial,
dan karier. SKK ini sesungguhnya yang harus dirumuskan oleh konselor dan setiap
satuan pendidikan sebagai dasar pengembangan program layanan bimbingan dan
konseling.
Pengembangan program layanan Bimbingan dan
Konseling merentang mulai dari tingkat TK sampai dengan Perguruan Tinggi. Pada
jenjang TK dan SD layanan bimbingan dan konseling dapat dilakukan oleh Roving
Counselor (Konselor Kunjung) untuk membantu guru menyusun Program BK yang
terpadu dengan proses pembelajaran dan mengatasi perilaku yang mengganggu,
melalui direct behavioral consultation.
Pada jenjang SMP dan SMA layanan bimbingan
dan konseling dapat dilakukan olehkonselor untuk memfasilitasi peserta didik
dalam mengaktualisasikan potensi peserta didik secara optimal dan salah satunya
adalah kemandirian dalam mengambil keputusan perencanaan pendidikan dan karier.
Pada jenjang SMP dan SMA, layanan
Bimbingan dan Konseling untuk semakin mengokohkan pilihan dan pengembangan
karier sejalan dengan bidang vokasi yang menjadi pilihannya.. Bimbingan Karier
(soft skill) dan Bimbingan Vokasional (hard skill) harus dikembangkan secara
sinergis, berkolaborasi dengan guru bidang vokasional.
Pada jenjang Perguruan Tinggi layanan
Bimbingan dan Konseling dimaksudkan untuk semakin memantapkan karier yang sebisa
mungkin yang paling cocok, baik dengan rekam jejak pendidikan mahasiswa maupun
kebutuhan untuk mengaktualisasikan dirinya sebagai pribadi yang produktif,
sejahtera, serta berguna untuk manusia lain.
Selain itu, dikemukakan pula tentang
layanan Bimbingan dan Konseling bagi anak berkebutuhan khusus dan anak
berbakat. layanan Bimbingan dan Konseling bagi anak berkebutuhan khusus layanan
Bimbingan dan Konseling lebih ditekankan pada upaya pengembangan kecakapan
hidup sehari-hari (daily living activities), merupakan intervensi tidak
langsung yang lebih terfokus upaya mengembangkan lingkungan perkembangan yang
akan melibatkan banyak pihak, terutama guru pendidikan khusus. Sedangkan
layanan Bimbingan dan Konseling bagi anak berbakat, pelayanan bimbingan dan konseling
pada dasarnya sama dengan pelayanan umum lainnya. Dalam hal ini, konselor
berperan dalam asesmen keberbakatan dan memilih alternatif pengembangan
keberbakatan, yang tidak hanya dalam pengertian intelektual saja tetapi juga
keberbakatan lainnya, seperti dalam olah raga, seni dan sebagainya
Atas semua itu, saat ini Asosiasi
Bimbingan dan Konseling (ABKIN) dengan dukungan Ditjen Dikti, Ditjen PMPTK,
BSNP, Dijen Dikdasmen sedang merumuskan standar kompetensi konselor, pendidikan
profesional konselor dan penyelenggaraan layanan Bimbingan dan Konseling dalam
jalur pendidikan formal termasuk di dalamnya pengembangan Standar Kompetensi
Kelulusan (SKK) sebagai rambu-rambu bagi konselor.
Sumber : Sunayo Kartadinata.“Layanan
Bimbingan dan Konseling Sarat Nilai”.Pikiran Rakyat, 6 September 2006, hal. 20
Penulis dan Bimbingan & Konseling
Diterbitkan Februari 4, 2008
Oleh : Akhmad Sudrajat, M.Pd.
Pertama kali mengenal konseling tatkala
penulis masih duduk di bangku SMP, sekitar 32 tahun yang lalu. Sebagai siswa
yang sedang memasuki masa remaja awal, pada waktu itu penulis merasakan betul
gejolak keremajaan, yang mengakibatkan penulis “terpaksa” harus berurusan
dengan guru BP (panggilan untuk konselor pada waktu itu). Pada saat
diwawancarai atau mungkin diinterogasi, rasa takut sempat menyelimuti diri
penulis, karena kebetulan Guru BP-nya merupakan sosok yang sangat berwibawa dan
ditakuti oleh para siswa. Setelah keluar dari ruangan BP, dalam hati saya
berjanji tidak akan berusaha untuk melanggar peraturan sekolah lagi, karena
takut dan malu jika harus berurusan lagi dengan Guru BP.
Empat tahun kemudian, pada saat akan mengakhiri
studi di SMA, lagi-lagi penulis terpaksa harus berurusan dengan Guru BP. Namun
jauh berbeda dengan apa yang dialami ketika masih di SMP, sosok guru BP yang
penulis hadapi merupakan sosok yang lembut dan penuh perhatian, walaupun pada
saat itu penulis merupakan “orang yang bermasalah”. Kesan manis dan simpatik
yang ditampilkannya membuat penulis sering melakukan kontak dengan guru BP
tersebut bahkan dia pun banyak bercerita tentang apa itu BP dan bagaimana untuk
menjadi guru BP.
Setelah menamatkan pendidikan di SMA dan
gagal menempuh ujian masuk perguruan tinggi yang tergabung Proyek Perintis I,
penulis mengambil alternatif lain untuk mengikuti ujian masuk Perguruan Tinggi
melalui Proyek Perintis IV, salah satu perguruan tinggi yang bergabung di dalamnya
adalah IKIP Bandung (sekarang berganti nama menjadi Universitas Pendidikan Indonesia).
Pada saat harus mengisi formulir
pendaftaran, penulis sempat mengalami kesulitan untuk menentukan jurusan apa
yang hendak ditempuh. Ketika membaca buku panduan pengisian formulir, di sana
tertera ada satu jurusan yang bernama Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (PPB),
kemudian penulis bertanya sambil bercerita tentang guru BP yang pernah penulis
alami di SMA kepada kakak penulis yang mengantar penulis,– yang juga kebetulan
sebagai mahasiswa pada salah satu jurusan di IKIP Bandung,- singkatnya
pertanyaan itu, apakah jurusan PPB itu akan menghasilkan guru seperti guru BP
yang pernah saya hadapi ketika di SMA. Jawaban singkatnya, ya seperti itulah !
Maka tidak panjang lebar lagi, penulis langsung mengisi formulir pendaftaran
dengan mencantumkan jurusan PPB sebagai satu-satunya yang penulis pilih.
Walaupun diberikan kesempatan untuk memilih dua pilihan, penulis hanya memilih
satu jurusan saja. Akhirnya, penulis pun lulus testing dan diterima sebagai
mahasiswa pada Jurusan PPB-FIP IKIP Bandung.
Rupanya pertemuan dan komunikasi yang
menyenangkan dengan guru BP pada saat di SMA telah mempengaruhi keyakinan dan
pola pikir penulis, sehingga akhirnya penulis pun memutuskan untuk menempuh
pendidikan pada jurusan yang sama dengan Guru BP penulis pada saat di SMA.
(kalau tidak salah guru BP tersebut bernama Bapak Sa’i Dayari, mudah-mudahan
beliau sempat membaca tulisan ini dan penulis ingin menyampaikan terima kasih
dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas segala bimbingannya).
Selanjutnya, penulis menggeluti
perkuliahan tentang bimbingan dan penyuluhan dan pada satu kesempatan mengikuti
perkuliahan, penulis bertanya kepada salah seorang dosen tentang realita
bimbingan dan penyuluhan pada saat itu, pertanyaannya seputar citra dan
persepsi bimbingan dan penyuluhan yang dianggap sebagai lembaga yang
“mengerikan” dan mungkin sangat dibenci oleh siswa. Beliau memberikan analisis
panjang lebar, yang diakhiri dengan amanat beliau bahwa tugas penulislah (dan
juga mahasiswa yang lainnya) untuk meluruskan semua itu, jika penulis kelak
menjadi guru BP.
Pada akhirnya penulis pun lulus sebagai
Sarjana Pendidikan dengan keahlian dalam bidang Bimbingan dan Penyuluhan. Hanya
selang satu tahun setelah lulus, penulis lulus testing diangkat sebagai Calon
Pegawai Negeri Sipil di salah satu SMA Negeri di Kabupaten Bekasi dan bertugas
sebagai Guru BP.
Pada awal menjadi Guru BP, Kurikulum BP
yang sedang dikembangkan adalah Kurikulum 1984, yang tampaknya masih
berorientasi pada konseling terapeutik (kuratif). Sehingga dalam
mengimplementasikan layanan BP pun masih banyak diwarnai oleh pendekatan yang
bersifat terapeutik (kuratif). Pada kurikulum 1984 ada upaya untuk menekankan
Bimbingan Karier sebagai substansi Bimbingan dan Penyuluhan. Di lapangan
ternyata banyak yang keliru dalam menafsirkannya seolah-olah Bimbingan Karier
merupakan bidang yang terpisah dari Bimbingan dan Penyuluhan, sehingga orang
sering menyebutnya sebagai BP/BK. Lima tahun kemudian penulis pindah tugas ke
salah satu SMA Negeri di Kabupaten Kuningan, tempat kelahiran penulis. Semasa
bertugas menjadi guru BP di sana,
sempat terjadi perubahan kurikulum yaitu Kurikulum 1994. Salah satu perubahan
yang terjadi adalah perubahan nama Bimbingan dan Penyuluhan menjadi Bimbingan
dan Konseling. Bersamaan itu pula mulai diperkenalkan sebutan Guru Pembimbing
(sebutan resmi untuk petugas bimbingan dan konseling), menggantikan sebutan
Guru BP, namun ada juga yang menyebutnya Guru BK. Dalam mengimplementasikan
Kurikulum 1994, dikembangkan konsep Pola 17 sebagai kerangka kerja Bimbingan
dan Konseling. Pada Kurikulum 1994 ini telah meletakkan dasar untuk
mengembangkan konseling dengan paradigma pencegahan dan pengembangan. Sehingga
dalam mengimplementasikan layanan Bimbingan dan Koseling tidak harus difokuskan
untuk selalu “mengejar-ngejar kasus” semata. Suka dan duka menyertai perjalanan
penulis selama menjadi Guru BP/Guru Pembimbing. Rasa suka dan bahagia muncul
tatkala penulis berhasil membantu para siswa untuk bisa menjalani kehidupannya
lebih baik. Terlebih jika ada orang tua yang sengaja datang ke sekolah hanya
untuk sekedar menyampaikan rasa terima kasih atas hasil bimbingan yang telah
dilakukan terhadap putera-puterinya.. Sebaliknya, rasa sedih dan duka muncul
ketika penulis gagal memberikan bantuan kepada siswa yang terpaksa harus tidak
naik kelas atau dikeluarkan gara-gara melakukan pelanggaran tata tertib
sekolah. Perdebatan dan adu argumentasi dengan rekan-rekan kerja seringkali
terjadi tatkala dalam rapat kenaikan kelas atau pelulusan harus mengambil
keputusan untuk menentukan nasib siswa yang berada pada jurang “degradasi”.
Upaya advokasi yang dilakukan memang seringkali menimbulkan kontraversi dengan
rekan-rekan kerja, tapi itulah resiko jabatan yang harus dijalani.Begitu juga,
rasa nelangsa dan prihatin muncul ketika guru-guru mata pelajaran menerima
tunjangan Kelebihan Jam Mengajar, sedangkan guru pembimbing terpaksa harus
gigit jari. Walaupun pada akhirnya penulis bersama dengan rekan-rekan guru pembimbing
lainnya berhasil meyakinkan sekolah bahwa guru pembimbing pun berhak atas
tunjangan Kelebihan Jam Mengajar.Perjalanan selama lima belas tahun menjadi
guru pembimbing telah memberikan pengalaman dan kebanggaan tersendiri bagi
penulis, sampai akhirnya pada tahun 2002 penulis beralih tugas menjadi pengawas
sekolah dengan basis bimbingan dan konseling. Sambil menjalankan tugas-tugas
kepengawasan, penulis semenjak tahun 2003 diberi kepercayaan untuk menjadi
Dosen pada Program Studi Pendidikan Ekonomi FKIP-Universitas Kuningan untuk
mengampu mata kuliah Psikologi Pendidikan (Perkembangan Peserta Didik) – yang
di dalamnya memberi kajian akademik tentang bimbingan dan konseling–
Selama menjalani profesi kepengawasan,
terjadi lompatan besar dalam upaya mereformasi pendidikan nasional. Pada tahun
2003, dengan hadirnya Undang-Undang Sisdiknas No.20 tahun 2003 mulai
diperkenalkan isitilah konselor untuk sebutan resmi petugas bimbingan dan
konseling. Tahun 2004 muncul Kurikulum Berbasis Kompetensi, yang kemudian pada
tahun 2006 direvisi dengan hadirnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
Hanya sangat disesalkan, di tengah-tengah
gelegar reformasi pendidikan dan pembelajaran tersebut, ternyata suara tentang
bimbingan dan konseling semakin sayup-sayup dan nyaris tak terdengar. Sehingga
penulis dan juga rekan-rekan konselor di lapangan seperti kehilangan pegangan
dan arah untuk menyikapi berbagai perubahan yang terjadi.
Untuk menyiasati keadaan dan berbagai
persoalan yang menghinggapi profesi konseling saat ini, akhirnya sampailah pada
satu pemikiran untuk membuat situs ini, dengan harapan dapat dijadikan sebagai
media komunikasi secara virtual, khususnya dengan seluruh rekan-rekan konselor
dimana pun berada dan juga masyarakat lainnya, untuk saling berbagi pengalaman
dan pengetahuan, sehingga profesi konseling tetap bisa memberikan manfaat bagi
kehidupan dan kemajuan pendidikan kita.
Perjalanan Jauh Bimbingan dan Konseling sebagai Profesi
Diterbitkan Februari 6, 2008
oleh : Akhmad Sudrajat,
M.Pd.
Kehadiran layanan bimbingan dan konseling
dalam sistem pendidikan di Indonesia dijalani melalui proses yang cukup
panjang, sejak kurang lebih 40 tahun yang lalu, bersamaan dengan munculnya
kebutuhan akan penjurusan di.SMA pada saat itu. Selama perjalanannya telah
mengalami beberapa kali pergantian nama, semula disebut Bimbingan dan
Penyuluhan (dalam Kurikulum 84 dan sebelumnya), kemudian pada Kurikulum 1994
berganti nama menjadi Bimbingan dan Konseling. sampai dengan sekarang.
Akhir-akhir ini ada sebagaian para ahli meluncurkan sebutan Profesi Konseling,
meski secara formal istilah ini belum digunakan.
Bersamaan dengan perubahan nama tersebut,
didalamnya terkandung berbagai usaha perubahan untuk memantapkan bimbingan dan
konseling sebagai suatu profesi. Kendati demikian harus diakui bahwa untuk
mewujudkan bimbingan dan konseling sebagai suatu profesi yang dapat memberikan
manfaat banyak, hingga saat ini tampaknya masih perlu kerja keras dari semua
pihak yang terlibat dengan profesi konseling.
Dalam tataran teoritis, teori-teori
bimbingan dan konseling hingga saat ini boleh dikatakan sudah berkembang cukup
mantap, dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya dan bahkan relatif mendahului
teori-teori yang dikembangkan dalam pembelajaran untuk mata pelajaran - mata
pelajaran di sekolah. Perkembangan teori bimbingan dan konseling terutama dihasilkan
oleh perguruan tinggi yang menyelenggarakan program studi bimbingan dan
konseling, baik yang bersumber dari penelitian maupun hasil pemikiran kritis
para ahli. Sayangnya, teori-teori itu pun sepertinya tersimpan rapih dalam
gudang perguruan tinggi yang sulit diakses oleh para konselor di lapangan. Di
sisi lain, teori-teori bimbingan dan konseling yang dihasilkan melalui
penelitian oleh para praktisi di sekolah-sekolah tampaknya belum berkembang
sepenuhnya sehingga kurang memberikan kontribusi bagi perkembangan profesi
bimbingan dan konseling.
Kendala terbesar yang dihadapi untuk
mewujudkan bimbingan dan konseling sebagai profesi yang handal dan bisa sejajar
dengan profesi-profesi lain yang sudah mapan justru terjadi dalam tataran
praktis. Manfaat bimbingan dan konseling sepertinya masih belum dirasakan oleh
masyarakat, karena penyelenggaraannya dan pengelolaannya tidak jelas. Kesan
lama, konseling sebagai “polisi sekolah“pun hingga kini masih melekat kuat pada
sebagaian masyarakat, khususnya di kalangan siswa. Menurut pandangan penulis,
setidaknya terdapat dua faktor dominan yang diduga menghambat terhadap laju
perkembangan profesi konseling di Indonesia , yaitu :
1. Kelangkaan Tenaga Konselor
Tenaga konselor yang berlatar bimbingan
dan konseling memang masih belum memenuhi kebutuhan di lapangan. Selama ini
masih banyak sekolah yang menyelenggarakan Bimbingan dan Konseling tanpa
didukung oleh tenaga konselor profesional dalam jumlah yang memadai. Sehingga,
tenaga konseling terpaksa banyak direkrut dari nonkonseling, yang mungkin hanya
dibekali pengetahuan dan keterampilan tentang bimbingan dan konseling yang
minimal atau bahkan sama sekali tanpa dibekali pengetahuan dan keterampilan
tentang konseling, yang tentunya hal ini akan berpengaruh terhadap kinerja
bimbingan dan konseling itu sendiri, baik secara personal maupun lembaga.
Meminjam bahasa ekonomi, kelangkaan ini
diduga disebabkan oleh ketidakseimbangan antara demand dan supply. Tingkat
produktivitas dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan penghasil tenaga
konselor tampaknya relatif masih terbatas jumlahnya dan belum mampu memenuhi
kebutuhan pasar. Demikian pula dalam distribusinya relatif tidak merata. Contoh
kasus, di beberapa daerah ketika melakukan rekrutment untuk tenaga konselor
dalam testing Calon Pegawai Negeri Sipil ternyata tidak terisi, bukan
dikarenakan tidak ada peminatnya, tetapi memang tidak ada orangya ! Boleh jadi
ini merupakan dampak langsung dari otonomi daerah, dimana kewenangan rekrutmen
Calon Pegawai Negeri Sipil diserahkan kepada daerah, dan tidak semua daerah
mampu menyediakan sumber daya manusia yang dibutuhkan, termasuk di dalamnya
kebutuhan tenaga konselor di daerahnya.
Oleh karena itu, ke depannya perlu
dipikirkan bagaimana Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dapat bekerja
sama dengan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan pencetak tenaga konselor
untuk dapat memproduksi lulusannya, dengan memperhitungkan segi kuantitas,
kualitas dan distribusinya., sehingga kelangkaan tenaga konselor dapat segera
diatasi.
2. Kebijakan Pemerintah yang
kurang berpihak terhadap profesi konseling
Banyak terjadi kejanggalan dan
ketidakjelasan kebijakan dari pemerintah pusat tentang profesi bimbingan dan
konseling. Ketidakjelasan semakin dirasakan justru pada saat kita sedang
berupaya mereformasi pendidikan kita. Contoh kasus terbaru, ketika digulirkan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), hingga saat ini sama sekali belum
memberikan kejelasan tentang bagaimana bimbingan dan konseling seharusnya
dilaksanakan. Dalam dokumen KTSP, kita hanya menemukan secuil informasi yang
membingungkan tentang bimbingan dan konseling yaitu berkaitan dengan kegiatan
Pengembangan Diri.
Begitu juga, dalam kebijakan sertifikasi
guru, banyak konselor dan pengawas satuan pendidikan yang kebingungan untuk memahami
tentang penilaian perencanaan dan pelaksanaan konseling, karena format
penilaian yang disediakan tidak sepenuhnya cocok untuk digunakan dalam
penilaian perencanaan dan pelaksanaan bimbingan dan konseling. Tentunya masih
banyak lagi kejanggalan-kejanggalan yang dirasakan di lapangan, baik yang
bersifat konseptual-fundamental maupun teknis operasionalnya.
Ketidakjelasan kebijakan tentang profesi
bimbingan dan konseling pada tataran pusat ini akhirnya mengimbas pula pada
kebijakan pada tataran di bawahnya (messo dan mikro), termasuk pada tataran
operasional yang dilaksanakan oleh para konselor di sekolah. Jadi, kalau ada
pertanyaan mengapa Bimbingan dan Konseling di sekolah kurang optimal, maka kita
bisa melihat sumber permasalahannya, yang salah-satunya adalah ketidakjelasan
dalam kebijakan pemerintah terhadap profesi bimbingan dan konseling.
Jika ke depannya, bimbingan dan konseling
masih tetap akan dipertahankan sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional,
kiranya perlu ada komitmen dan good will dari pemerintah untuk secepatnya
menata profesi konseling, salah satunya dengan berupaya melibatkan Asosiasi
Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) selaku wadah yang menaungi para
konselor dan para pakar konseling untuk duduk bersama merumuskan bagaimana
sebaiknya kebijakan konseling untuk hari ini dan ke depannya. Walaupun dalam
hal ini mungkin akan terjadi tawar-menawar yang cukup alot di dalamnya, tetapi
keputusan yang terbaik demi kemajuan profesi bimbingan dan konseling tetap
harus segeradiambil. !
Dengan teratasinya kelangkaan tenaga
konselor dan keberhasilan upaya pemerintah dalam menata profesi bimbingan dan
konseling, niscaya pada gilirannya akan memberikan dampak bagi perkembangan
konseling ke depannya, sehingga profesi konseling bisa tumbuh dan berkembang
menjadi sebuah profesi yang dapat memberikan manfaat besar bagi masyarakat dan
kemajuan negeri ini. Jika tidak, maka profesi bimbingan dan konseling tetap
saja dalam posisi termarjinalkan.
*)) Akhmad Sudrajat, M.Pd. Pengawas Satuan
Pendidikan Dinas Pendidikan Kabupaten Kuningan dan Dosen pada Program Studi
Pendidikan Ekonomi FKIP-UNIKU.
Seminar BK di Universitas Kuningan
Diterbitkan Maret 8, 2008
Jika tidak ada aral melintang
pada hari Selasa, 11 Maret 2008 Universitas Kuningan (UNIKU) bekerja sama
dengan Pengurus Asosiasi Bimbingan dan Konseling (ABKIN) Cabang Kabupaten
Kuningan hendak menyelenggarakan Seminar Sehari Bimbingan dan Konseling,
mengusung tema ” Arah Baru Kebijakan Bimbingan dan Konseling di Indonesia“,
dengan menghadirkan pembicara Dr. Uman Suherman, M.Pd. pakar
Bimbingan dan Konseling dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.
Tujuan seminar ini adalah untuk
memberikan pencerahan kepada para guru BK/Konselor di Kabupaten Kuningan
tentang “Arah dan Perspektif Bimbingan dan Konseling di Indonesia” yang saat
ini sedang digodok oleh ABKIN dan pihak yang berwenang lainnya untuk menjadi
kebijakan resmi penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling di Indonesia. Seminar
ini juga merupakan salah satu bentuk pengabdian masyarakat dan kepedulian
Universitas Kuningan terhadap profesi Bimbingan dan Konseling. Peserta tidak
dipungut biaya sepeser pun alias gratis dan disediakan Seminar Kit oleh panitia
Kepada pihak-pihak yang telah
menerima undangan, mari kita hadiri acara langka ini untuk kepentingan
penambahan wawasan kita.
Tips Advokasi Bimbingan dan Konseling
Diterbitkan Maret 6, 2008
Pekerjaan bimbingan dan
konseling kerapkali dipandang sebelah mata oleh orang-orang yang justru
memiliki kepentingan dengan bimbingan dan konseling itu sendiri, Misalnya, oleh
siswa, guru mata pelajaran, kepala sekolah, para pemegang kebijakan lainnya
atau masyarakat. Tidak sedikit mereka yang beranggapan bahwa konselor atau guru
BK di sekolah hanya makan gaji buta, tidak jelas kerjanya, atau hanya dianggap
sebagai pekerjaan embel-embel saja.
Ungkapan-ungkapan miring
semacam itu bisa ditepis jika saja konselor atau guru BK yang bersangkutan
dapat menunjukkan kinerjanya sekaligus mampu melakukan advokasi di hadapan
mitra-mitra kerjanya di sekolah.
Di bawah ini beberapa
tips untuk melakukan advokasi sekaligus untuk meyakinkan berbagai pihak yang
berkepentingan dengan bimbingan dan konseling di sekolah.
- Pada saat sedang mengikuti rapat, Anda minta waktu untuk berbicara dan pembicaraan Anda difokuskan pada hasil-hasil siswa bukan memaparkan apa yang telah dilakukan konselor. Yang dimaksud dengan hasil – hasil siswa adalah berbagai kemajuan yang dicapai siswa melalui intervensi bimbingan dan konseling, baik dalam bidang akademik, sosio-personal, maupun bidang karier.
- Dukung pembicaraan Anda dengan data-data, karena data akan lebih berbunyi keras dari pada kata-kata (data speak louder than words), gunakan chart atau grafik untuk menggambarkan hasil-hasil siswa tersebut.
- Untuk lebih meyakinkan bisa saja Anda memanfaatkan siswa untuk berbicara dalam forum mewakili kepentingan Bimbingan dan Konseling atau konselor, dengan menceritakan kisah sukses (success story) mereka atas bantuan layanan bimbingan dan konseling yang telah diterimanya.
- Program bimbingan dan konseling pada dasarnya merupakan investasi siswa di sekolah tersebut, oleh karena itu konselor dituntut dapat menunjukkan pengembalian investasi tersebut dalam bentuk hasil-hasil siswa tersebut
- Bertindak layaknya seorang ”politisi” yang aktif melakukan berbagai lobby dan berkomunikasi dengan seluruh mitra kerja yang ada sehingga kepentingan bimbingan dan konseling dapat terwakili dalam setiap keputusan atau kebijakan di sekolah.
- Ciptakan akuntabilitas kerja melalui laporan hasil bimbingan dan konseling, baik laporan harian, bulanan, atau tahunan.
In House Trainning di SMA N 1 Garawangi
Diterbitkan Juli 21, 2008
Hari Sabtu lalu (18-07-2008), saya diundang
untuk menjadi pemateri dalam acara In House Trainning yang
diselenggarakan SMA Negeri 1 Garawangi Kabupaten Kuningan. Berdasarkan
informasi dari Kepala Sekolah setempat, Bapak Drs. H. Rachmat Setiawan, M.M.Pd.
bahwa kegiatan pelatihan semacam ini memang telah menjadi agenda rutin setiap
akan memasuki tahun pelajaran baru dan diikuti oleh seluruh unsur guru dan staf
tata laksana. Tema pelatihan kali ini adalah “ Upaya terrealisasinya
Aplikasi Manajemen Pembelajaran bagi Pencapaian Mutu Pendidikan” dan pada
kesempatan ini saya diminta untuk menyampaikan materi tentang Layanan Konseling
di Sekolah. Untuk itu, saya memilih topik pembicaraan: “Layanan
Konseling: Konsep dan Pratik”, dengan harapan para peserta dapat
memahami: (1) konsep dasar layanan konseling di sekolah; (2) peran guru dalam
layanan konseling di sekolah; dan (3) aplikasi konsep konseling dalam PBM.
Materi yang disajikan merupakan kombinasi antara perspektif kebijakan dan
keilmuan (teoritis).
Dalam jadwal resmi,
sebetulnya saya hanya disediakan waktu 75 menit, namun karena enthusias dan
partisipasi peserta yang tinggi, maka atas seijin panitia setempat, penyajian
materi diperpanjang hingga hampir 120 menit. Penyajian semakin berkembang dan
interaktif tatkala dibuka kesempatan tanya jawab. Beberapa peserta ada yang
masih merasa penasaran dan ingin memperoleh penjelasan lebih lanjut terkait
dengan materi tentang optimalisasi peran guru dalam layanan Konseling, dan
relevansi penggunaan reinforcement negatif (hukuman) dalam rangka
pendisiplinan siswa di sekolah.
Tentunya saya berharap,
semoga saja apa yang telah disampaikan dalam pelatihan ini dapat dipahami dan
diimplementasikan dengan baik di SMA Negeri 1 Garawangi guna kepentingan
efektivitas pendidikan di SMA Negeri 1 Garawangi.
Sebagai Pengawas Sekolah
bidang Bimbingan dan Konseling maupun sebagai pribadi, maka sudah sepatutnya
jika saya menyampaikan terima kasih dan apresiasi yang setinggi-tinginya atas
komitmen dan kepedulian SMA Negeri 1 Garawangi untuk memajukan peran dan fungsi
Konseling di sekolah.
DI bawah ini tautan
materi yang disampaikan pada kegiatan IHT di SMA Negeri 1 Garawangi Kabupaten
Kuningan
INSTRUMEN BIMBINGAN DAN
KONSELING
Alat Ungkap Masalah
Diterbitkan Januari 12, 2008
Salah satu kompetensi yang harus
dikuasai oleh seorang guru bimbingan dan konseling (konselor) adalah memahami
konseli secara mendalam, termasuk didalamnya adalah memahami
kemungkinan-kemungkinan masalah yang dihadapi konseli. Melalui pemahaman yang
adekuat tentang masalah-masalah yang dihadapi konseli, seorang konselor
selanjutnya dapat menentukan program layanan bimbingan dan konseling, baik yang
bersifat preventif, pengembangan maupun kuratif, sehingga pada gilirannya
diharapkan upaya pemberian layanan dapat berjalan lebih efektifTentunya banyak
cara untuk memahami masalah-masalah yang dihadapi oleh konseli dan salah
satunya dapat dilakukan melalui penggunaan Alat Ungkap Masalah
atau biasa disebut AUM. Alat Ungkap Masalah adalah sebuah instrumen standar
yang dikembangkan oleh Prayitno, dkk. yang dapat digunakan dalam rangka
memahami dan memperkirakan (bukan memastikan) masalah-masalah yang dihadapi
konseli. Alat Ungkap Masalah ini didesain untuk mengungkap 10 bidang masalah
yang mungkin dihadapi konseli, Kesepuluh bidang masalah tersebut mencakup: (1)
Jasmani dan Kesehatan (JDK); (2) Diri Pribadi (DPI); (3) Hubungan Sosial (HSO);
(4) Ekonomi dan Keuangan (EKD); (5) Karier dan Pekerjaan (KDP); (6) Pendidikan
dan Pelajaran (PDP); (7) Agama, Nilai dan Moral (ANM); ( Hubungan Muda Mudi (HMM); (9) Keadaan
dan Hubungan dalam Keluarga (KHK); dan (10) Waktu Senggang (WSG). Jumlah
keseluruhan item sebanyak 225.
Untuk kepentingan analisis data,
telah disediakan software Aplikasi Program Alat Ungkap Masalah dalam bentuk
data base. Melalui analisis data berbasis komputer ini, kita dapat mengakses
informasi tentang masalah-masalah yang dihadapi konseli secara individual
maupun secara kelompok dengan cepat, mudah dan akurat. Tentunya, setelah
dilakukan input data terlebih dahulu.
Sayangnya, Aplikasi Program yang
sebagus ini belum bisa dibagikan secara gratis kepada para guru bimbingan dan
konseling (konselor) dan jika Anda ingin menggunakannya, Anda harus memesannya
kepada penyedia alat tersebut (vendor). Alat ini dilindungi password yang
menurut hemat penulis cenderung “over protection”, karena kesempatan
yang diberikan untuk menginstall ke komputer Anda hanya tiga kali, selanjutnya
software ini tidak bisa digunakan lagi atau Anda harus menghubungi penyedia
yang bersangkutan. Kecuali kalau Anda orang yang memang sangat paham tentang
seluk beluk Aplikasi Program Komputer mungkin Anda bisa membongkar password dan
pembatasan aplikasi tersebut. Kendati demikian, di beberapa sekolah telah
berhasil memanfaatkan teknologi yang satu ini guna menunjang kelancaran, efektivitas
dan efisiensi layanan bimbingan dan konseling di sekolah.
Tautan di bawah ini berisi tentang contoh Lembar Jawaban dan Daftar Masalah dari Alat Ungkap Masalah (AUM) untuk Siswa SMA. Anda dapat men-download materi tersebut, dan jangan lupa berikan komentar Anda !
Tautan di bawah ini berisi tentang contoh Lembar Jawaban dan Daftar Masalah dari Alat Ungkap Masalah (AUM) untuk Siswa SMA. Anda dapat men-download materi tersebut, dan jangan lupa berikan komentar Anda !
Inventori Tugas Perkembangan
Diterbitkan Februari 4, 2008
Manusia sepanjang hidupnya
selalu mengalami perkembangan. Perkembangan tersebut berlangsung dalam beberapa
tahap yang saling berkaitan. Gangguan pada salah satu tahap dapat mengakibatkan
terhambatnya perkembangan secara keseluruhan.
Untuk mengidentifikasi masalah
perkembangan, diperlukan pengukuran kuantitatif tentang tingkat-perkembangan
mulai dari tingkat sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi.
Salah satu instrumen yang dapat
digunakan untuk mengukur tingkat perkembangan peserta didik adalah ITP
(Inventori Tugas Perkembangan) yang dikembangkan oleh Sunaryo, dkk. Dengan alat
ITP, Guru Bimbingan dan Konseling (Konselor) dapat memahami tingkat
perkembangan individu maupun kelompok, mengidentifikasi masalah yang menghambat
perkembangan dan membantu peserta didik yang bermasalah dalam menyelesaikan
tugas perkembangannya.
Berdasarkan hasil pengukuran
ini, dapat disusun program bimbingan yang memungkinkan peserta didik dapat
berkembang secara wajar, utuh dan sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
ITP mengukur tujuh tingkat
perkembangan dan sebelas aspek perkembangan individu, merentang dari mulai usia
tingkat Sekolah Dasar sampai dengan Usia Perguruan Tinggi, dengan menggunakan
kerangka pemikiran dari Loevenger.
Ketujuh tingkat perkembangan
individu tersebut adalah :
- Impulsif, dengan ciri-ciri : (a) identitas diri terpisah dari orang lain; (b) bergantung pada lingkungan; (c) beorientasi hari ini; dan (d) individu tidak menempatkan diri sebagai penyebab perilaku.
- Perlindungan Diri, dengan ciri-ciri : (a) peduli terhadap kontrol dan keuntungan yang dapat diperoleh dari berhubungan dengan orang lain; (b) mengikuti aturan secara oportunistik dan hedonistik; (c) berfikir tidak logis dan stereotip; (d) melihat kehidupan sebagai “zero-sum game”; dan (e) cenderung menyalahkan dan mencela orang lain.
- Konformistik, dengan ciri-ciri : (a) peduli terhadap penampilan diri; (b) berfikir sterotip dan klise; (c) peduli akan aturan eksternal; (d) bertindak dengan motif dangkal; (e) menyamakan diri dalam ekspresi emosi; (f) kurang introspeksi; (f) perbedaan kelompok didasarkan ciri-ciri eksternal; (g) takut tidak diterima kelompok; (h) tidak sensitif terhadap keindividualan; dan (i) merasa berdosa jika melanggar aturan.
- Sadar Diri, dengan ciri-ciri: (a) mampu berfikir alternatif; (b) melihat harapan dan berbagai kemungkinan dalam situasi; (c) peduli untuk mengambil manfaat dari kesempatan yang ada; (d orientasi pemecahan masalah; (e) memikirkan cara hidup; dan (f) penyesuaian terhadap situasi dan peranan
- Seksama, dengan ciri-ciri : (a) bertindak atas dasar nilai internal; (b) Mampu melihat diri sebagai pembuat pilihan dan pelaku tindakan; (c) mampu melihat keragaman emosi, motif, dan perspektif diri; (d) peduli akan hubungan mutualistik; (e) memiliki tujuan jangka panjang; (f) cenderung melihat peristiwa dalam konteks sosial; dan (g) berfikir lebih kompleks dan atas dasar analisis.
- Individualistik, dengan ciri-ciri : (a) peningkatan kesadaran invidualitas; (b) kesadaran akan konflik emosional antara kemandirian dengan ketergantungan; (c) menjadi lebih toleran terhadap diri sendiri dan orang lain; (d) mengenal eksistensi perbedaan individual; (e) mampu bersikap toleran terhadap pertentangan dalam kehidupan; (f) membedakan kehidupan internal dan kehidupan luar dirinya; (g) mengenal kompleksitas diri; (h) peduli akan perkembangan dan masalah-masalah sosial.
- Otonomi; dengan ciri-ciri : (a) memiliki pandangan hidup sebagai suatu keseluruhan; (b) bersikap realistis dan obyektif terhadap diri sendiri maupun orang lain; (c) peduli akan paham abstrak, seperti keadilan sosial.; (d) mampu mengintegrasikan nilai-nilai yang bertentangan; (e) peduli akan self fulfillment; (f) ada keberanian untuk menyelesaikan konflik internal; (g) respek terhadap kemandirian orang lain; (h) sadar akan adanya saling ketergantungan dengan orang lain; dan (i) mampu mengekspresikan perasaan dengan penuh keyakinan dan keceriaan.
Sedangkan sebelas aspek
perkembangan individu yang diungkap melalui ITP mencakup : (1) landasan hidup
religius, (2) landasaan perilaku etis, (3) kematangan emosional, (4) kematangan
intelektual, (5) kesadaran tanggung jawab, (6) peran sosial sebagai pria atau
wanita, (7) penerimaan diri dan pengembangannya, ( kemandirian perilaku ekonomi, (9)
wawasan dan persiapan karir, (10) kematangan hubungan dengan teman sebaya, dan
(11) persiapan diri untuk pernikahan dan hidup berkeluarga. ITP untuk SD dan
SLTP hanya mengukur 10 aspek, sebab aspek yang ke-11 belum sesuai.
ITP berbentuk angket yang
terdiri atas kumpulan pernyataan yang harus dipilih oleh siswa. Setiap soal
(kumpulan butir pernyataan) terdiri atas empat butir pernyataan yang mengukur
satu sub aspek.
Tingkat perkembangan siswa dapat
dilihat dari skor yang diperoleh pada setiap aspek. Besar skor yang diperoleh
menunjukkan tingkat perkembangan siswa (lihat tabel berikut).
Tingkat sekolah dasar (ITP SD):
Jumlah soal 50 masing-masing
terdiri atas 4 butir pernyataan. Yang diskor 40 soal, yang 10 soal digunakan
untuk menghitung konsistensi jawaban siswa.
Tingkat SLTP (ITP SLTP):
Jumlah soal 50 masing-masing
terdiri atas 4 butir pernyataan.Yang diskor 40 soal, yang 10 soal digunakan
untuk menghitung konsistensi jawaban siswa.
Tingkat SLTA (ITP SLTA):
Jumlah soal 77 masing-masing
terdiri atas 4 butir pernyataan. Yang diskor 66 soal, yang 11 soal digunakan
untuk menghitung konsistensi jawaban siswa.
Tingkat Perguruan Tinggi
(ITP PT):
Jumlah soal 77 masing-masing
terdiri atas 4 butir pernyataan. Yang diskor 66 soal, yang 11 soal digunakan
untuk menghitung konsistensi jawaban siswa.
Bagaimana cara mengukur
konsistensi (keajegan) jawaban siswa?
Pada ITP SD dan ITP SLTP,
terdapat 10 butir soal yang diduplikasi, sedang pada ITP SLTA dan ITP PT,
terdapat 11 butir soal yang diduplikasi. Hasil duplikasi diletakkan di bagian
akhir angket. Setiap soal duplikasi mewakili satu aspek perkembangan. Jawaban
siswa dinyatakan konsisten bila jawaban untuk kedua soal itu sama. Semakin
tinggi skor konsistensi, semakin tinggi pula tingkat keseriusan siswa menjawab
angket.
Proses penyekoran, penghitungan
skor konsistensi, dan analisis hasil penyekoran dapat dilakukan secara manual.
Namun, untuk jumlah siswa yang besar, cara ini akan memakan waktu, menimbulkan
banyak kesalahan dan sangat membosankan.
Analisis Tugas
Perkembangan
Analisis Tugas Perkembangan
adalah perangkat lunak yang khusus dibuat untuk membantu anda mengolah ITP.
Dengan ATP, identifikasi perkembangan siswa dapat dilakukan dengan mudah, cepat
dan menyenangkan.
ATP menyediakan berbagai
fasilitas untuk memudahkan Anda dalam melakukan analisis terhadap perkembangan
peserta didik. Kemampuan-kemampuan tersebut antara lain:
Pengolahan data mentah secara
cepat. Pada komputer pentium 400 hanya dibutuhkan waktu satu detik untuk
mengolah data 100 orang peserta.Analisis kelompok, yang terdiri atas: profil
kelompok, grafik distribusi frekuensi untuk setiap aspek, grafik distribusi
frekuensi konsistensi, delapan butir tertinggi dan terendah.Analisis per
individu, yang terdiri atas: profil individual, distribusi frekuensi nilai,
delapan butir tertinggi dan terendah untuk individu tersebut.
Visualisasi hasil pengolahan
skor dalam bentuk grafik akan memudahkan dan mempercepat Anda dalam analisis.
Manajemen data, terdiri atas
pengelompokan siswa berdasarkan kriteria tertentu, dan penggabungan kelompok.
Expor hasil pengolahan data ke
Microsoft Excel®.
Impor data dari file Microsoft Excel.
Impor data dari file Microsoft Excel.
Multi window, beberapa window
bisa dibuka sekaligus untuk membandingkan hasil pengolahan.
Sumber :
Sunaryo, dkk . Manual Guide ATP
Versi 3.5
Saya tidak dapat cukup berterima kasih kepada Dr EKPEN TEMPLE kerana telah membantu saya mengembalikan kegembiraan dan ketenangan dalam perkahwinan saya setelah banyak masalah yang hampir menyebabkan perceraian, alhamdulillah saya bermaksud Dr EKPEN TEMPLE pada waktu yang tepat. Hari ini saya dapat mengatakan kepada anda bahawa Dr EKPEN TEMPLE adalah jalan keluar untuk masalah itu dalam perkahwinan dan hubungan anda. Hubungi dia di (ekpentemple@gmail.com)
BalasHapus